Anda di halaman 1dari 23

HUMANISME DAN IMPLIKASINYA TERHADAP WACANA SYARIAH KONTEMPORER Zulkarnain A.

Pendahuluan Nilai-nilai Humanisme seakan sudah menjadi trend masyarakat dunia saat ini. Lebih baik tidak religius tapi humanis, dari pada religius tapi tidak humanis, Tuhan tidak perlu dibela, yang perlu dibela adalah manusia1 adalah bentuk ungkapan dari para pengusung humanisme. Ungkapan ini mencerminkan keapatisan terhadap agama, sehingga mengangap dengan beragama, menjadikan orang tidak manusiawi. Paham ini selalu mendengung-dengungkan kemanusiaan, sehingga segala sesuatu hanya untuk manusia. Kebaikan bagi mereka cukup dengan mengabdi kepada manusia, tanpa harus menyembah Tuhan. Doktrin semacam ini seakan sudah menjadi pijakan baru bagi masyarakat saat ini, sehingga secara tidak sadar menggeser peran agama. Doktrin humanisme semakin menguat seiring kuatnya hegemoni Barat terhadap terhadap negara-negara berkembang, kususnya negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim. Inilah kemudian yang mempengaruhi beberapa pemikir Islam kontemporer. Dengan berusaha melegitimasi humanisme melalui doktrin agama, dimunculkanlah istilah, humanis religius. Sebagaimana diungkapkan Amin Abdullah, .sebagai pengecualian dari tradisi humanis (sekuler, ateis), ada beberapa pengusung humanis religius dalam tradisi Islam pada abad ke-20, diantaranya, Nasr Hamid Abu Zayd, Muhammad Arkoun, Najib Mahfuz..2 Ungkapan ini mengindikasikan, betapa kuatnya pengaruh humanisme sehingga mengesankan doktrin humanisme lebih superior dari pada agama. Yang pada gilirannya, agama harus menyesuaikan diri dengan humanisme. Pengaruh ini juga tampak pada beberapa pemikir Islam kontemporer dalam
1 http:/www.kompas.com/utama/news/0509/062628.htm. 2 Lihat. Amin Abdullah, Humanisme Religius Versus Humanisme Sekuler Menuju Sebuah Humanisme Spiritual. Dalam, Islam Dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah Krisis Humanisme Universal. (Yogyakarta, Pustaka pelajar dan IAIN wali Songo Semarang, 2007), p. 187.

pandangan mereka terhadap syariah. Dalam pandangan mereka, satu-satunya solusi agara masyarakat muslim bangkit dari ketertinggalan, harus melakukan reformasi syariah. Karena, bagi mereka syariah bukan berasal dari Tuhan, tapi hanyalah konstruksi manusia. Bahkan Al-Qur'anpun yang merupakan sumber utama syariah, di mata Nasr Hamid hanyalah hasil interpretasi manusia, dalam hal ini Nabi Muhammad. Dengan demikian, maka syariah harus disesuikan dengan konteks saat ini. Pandangan tersebut tidak hanya berlawanan dengan pandangan mainstream Islam tapi juga akan menimbulkan problem baru dalam ketentuan hukum Islam. Bertolak dari gambaran di atas, maka makalah ini akan mencoba menelusuri landasan filosofis dan historis dari humanisme. Sehingga sisi ontologis dan cara pandang humanisme terhadap realitas dan kebenaran bisa ditampakkan. Selanjutnya, akan melihat implikasi doktrin humanisme terhadap cara pandang sebagian pemikir Islam kontemporer terhadap syariah Islam serta pengaruhnya terhadap cara pandang masyarakat muslim khususnya di Indonesia. B. Basis Filosofis dan Historis Humanisme

1. Landasan Filosofis Humanisme merupakan doktrin filosofis yang menjadikan manusia sebagai ukuran segala sesuatu.3 Dalam pandangan Humanisme, manusia merupakan subjek
3 David Michel Levin, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, (London, Routledge, 1988), p. 3. Lihat juga. Loren Bagus, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996), p. 295. Zaenal Abidin, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung, Rosdakarya, 2006), cet. iv. p. 42. Pandangan ini sesungguhnya muncul sejak zaman Yunani Klasik. Ketika para pemikir Yunani kuno (6-4 SM) memusatkan perhatian mereka pada alam semesta, sehingga memunculkan apa yang dinamakan mitos kosmologi, yaitu mitos yang mencari keterangan tentang asal-usul, sifat-sifat kejadian dalam alam semesta serta pencipta alam semesta. Thales (biasanya disebut sebagai filosof Yunani awal yang hidup sekitar Abad ke-6 SM) misalnya mempertanyakan asal usul alam, dan dia menyatakan dari air, Anaximenes menyatakan dari udara, dan Herakleitos menyatakan dari api. Selain berbicara tentnag bahan baku alam, juga mengenai bentuk, Anaximandros (610-546 SM) menyatakan bahwa bumi berbentuk datar atau lempeng, bumi adalah benda padat yang tidak ditopang oleh apapun dan menggantung diruang angkasa. Dari mitos ini muncullah mitos tentang dewa-dewa, konsekuensinya manusia harus tunduk dengan alam dan dewa-dewa tersebut. Sehingga corak pemikiran Yunani kuno bersifaf kosmosentris. inilah yang digugat oleh Protagoras (480411 SM) seorang tokoh Sophist terkenal, ia ingin keluar dari mitos tentang alam dan dewa-dewa, ia menentang kekuasaan dewadewa bahkan meragukan adanya dewa-dewa, dia melihat ada kecendrungan mereduksi manusia

sentral dalam menentukan semua kebijakan tentang relasi manusia dengan alam semesta, relasi sesama manusia. Dengan perangkat rasio yang dimilikinya, manusia mampu menentukan sendiri cara menyikapi kehidupan dan menentukan standar moralnya sendiri tanpa perlu melibatkan agama ataupun Tuhan.4 Yang intinya segala sesuatu diperuntukkan dan dikembalikan kepada manusia atau serba human. Seperti dikatakan Diderot, seorang tokoh humanisme dan ensiklopediis Prancis abad ke-18, sebagaimana dikutip oleh Leela Gandhy, Manusia adalah tempat tinggal dimana kita harus mulai dan dimana kita merujuk atas segala sesuatu. 5 Linda Smith dan William Reaper mengutip beberapa tokoh Barat yang menegaskan hal tersebut, diantaranya Charles Swinburne menulis, Kemulyaan kepada manusia di tempat tiinggi! Karena manusia adalah tuan segalanya. Sir Julian Huxley, juga menambahkan, Manusia adalah bentuk kehidupan terakhir yang dominan dimuka bumi ini, dan satu-satunya pelaku di muka bumi ini. Pengagungan terhadap manusia ini, menurut Smith juga tergambar dalam karya Shakespeare:
Betapa indahnya manusia! Betapa agungnya di dalam budi! Betapa tak terbatasnya di dalam kemampuan-kemampuan! Didalam bentuk dan gerak betapa jelas dan menakjubkan! Di dalam tindakan betapa miripnya dengan malaikat! Di dalam pengertian betapa miripnya dengan seorang dewa! Keindahan dunia! Suri teladan segala binatang.6

Sehingga pada akhirnya segala sesuatu bagi humanisme bertolak dan berujung pada manusia. Manusia diangunggan sedemikian rupa, yang pada gilirannya semua yang ada tidak akan berarti apa-apa kalau bukan untuk dan demi manusia.
pada alam, baginya, Manusia adalah tolak ukur segalanya, jika manusia menganggapnya demikian maka demikianlah adanya, jika tidak demikian maka tak demikian pula. Sehingga mitos-mitos terbut tak lain adalah hasil imajinasi manusia yang dibuat dan disembahnya sendiri. Konsekuensi doktrin ini, bahwa kebenaran bersifat relatif, karena ketika setiap manusia mempunyai pandangan yang berbeda, maka tidak ada satupun yang berhah mengklaim bahwa dialah yang paling benar, tidak ada kebenaran yang objektif. Secara filosofis, inilah yang medasari kajian-kajian humanisme dalam perkembangan selanjutnya. . Lihat Bryan Magee, The Story of Philosphy, tert. Marcus Widodo, Hardono Hadi, (Yogayakarta, Kanisius, 2008), p. 12-17. Lihat juga, Robert Pepperel, Posthuman Kompleksitas Kesadaran, Manusia dan Teknologi, terj. Hadi Purwanto, (Yogyakarta, Kresasi Wacana, 2009), p. 279. 4 Prinsip ini ditetapkan oleh Dewan Humanisme Sekuler (council for Secular Humanism) yang dikutip oleh Saiyad Fareed Ahmad dan Sahuddin Ahmad. Lihat. Saiyad Fareed Ahmad dan Sahuddin Ahmad, 5 tangtangan Abadi Terhadap Agama, terj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung, Mizan, 2008), p. 259-260. 5 Leela Gandhy, Unwin, 1998), p. 41. Postcolonial Theory; A Critical Introduction, (Australia, Allen &

6 Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanesius, 2004), cet. v. p. 132.

Doktrin tentang superioritas manusia ini pada gilirannya menafikan eksistensi Tuhan. Hal ini tergambar dari beberapa pemikir Barat yang menegaskan hal tersebut. J. P. Sartre menyatakan, Kalau kita menerima manusia sebagai yang paling unggul, maka Tuhan tidak ada.7 Begitu juga dengan Feuerbach, Bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tapi angan-angan manusialah yang menciptakan Tuhan. Bahkan Nietzsche lebih dahsyat lagi, dia memproklamirkan penghapusan Tuhan dalam diri manusia, dengan menyatakan, Tuhan sudah mati. Nietzsche membunuh Tuhan dalam bentuk apapun, sehingga tidak ada ruang yang tersisa dalam diri manusia dan alam semesta bagi Tuhan.8 Dengan demikian, keberadaan Tuhan bagi masyarakat Barat merupakan musuh yang harus dimusnahkan. Pandangan ini tentunya tidak lepas dari trauma sejarah yang mereka alami. 2. Basis Historis Kalau ditelusuri jejak historisnya, humanime terlahir pada masa renaissans.9 Pada awal kemunculannya, sebagaimana dikatakan Paul Kristeller,10 Humanisme bukanlah suatu aliran ataupun sistem filsafat tertentu. tetapi merupakan rancangan pendidikan dan kebudayaan (a cultural and educational program). Kurikulumnya tersebut dinamakan Studia Humanitatis, yaitu Kurikulum yang mencetak manusia yang berwawasan luas, mengenal hakekat dirinya. Kurikulum ini mencakup bidang gramatikal, sastra, retorika, sejarah politik, dan etika. Sistem ini menggunakan pendekatan sejarah, filologi, bahasa, dan penelitian naskah yang sekaligus
7 Ibid, p. 10. 8 Hendrikus Endar S., Humanisme dan Agama, dalam Bambang Sugiharto (Ed.), Humanisme dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, (Yogyakarta, Jalasutra, 2008), p. 188189. 9 Francesco Fetrarch (1304-1374) adalah orang yang pertama kali membagi babakan sejarah Barat dalam tiga pase, pertama, zaman purba, yang berakhir ketika Roma berhasil direbut Visisgoth (puak bangsa Jermanik) pada tahun 410 M. Kedua, zaman tengah, atau disebut juga zaman gelap (yaitu ketika Barat berada dalam kungkungan gereja) berlansung dari abad V sampai dengan Abad XV. Ketiga, zaman baru atau zaman kelahiran semula (renascita atau renaissance). Pembabakan ini sekaligus mementahkan pembabakan sejarah Kristen yang menjadikan kelahiran Yesus sebagai zaman peralihan dari zaman gelam ke zaman baru dalam sejarah Barat. Lihat Dr. Syamsuddin Arif, MA. Pemikiran Barat Modern: Dari Renaissans hingga Postmoderenisme disampaikan pada acara workshop Program Kaderisasi Ulama (PKU), Kerja sama MUI (Majlis Ulama Indonesia) Pusat dengan ISID Gontor. Tanggal 2 Februari 2010. 10 Ibid

menggantikan sistem pendidikan skolastik yang menggunakan metode dialektika (soal jawab), debat, analisis, dan komentar.11 Sehingga era ini ditandai maraknya kajian-kajian terhadap karya seni dan sastra Yunani dan Romawi kuno,12 yang didapat melalui penerjemahan karya-karya cendikiawan muslim.13 Masa ini merupakan awal kebangkitan masyarakat Barat dalam ilmu pengetahuan. Jacob Burckhardt menyebut Renaissans sebagai zaman lahirnya manusia-manusia baru yang berupaya semaksimal mungkin memanusiakan dirinya, menaklukkan alam dan menikmanti kehidupan tanpa campur tangan gereja atau agama.14 Dengan kata lain, doktrin yang hendak mengembalikan manusia kepada asalnya sebagai makhluk mulia, merdeka, bebas menentukan nasibnya sendiri tanpa harus melibatkan agama. Doktrin humanisme berkembang di Italia kemudian menyebar ke Jerman, Prancis, dan Eropa lainnya.15

Doktrin humanisme semakin mendapat tempat dan mencapai puncaknya pada


11 Ibid 12 Georg Voigt menyatakan, sebagaimana dikutip Syamsuddin Arif, bahwa renaissance merujuk kepada era baru dimana kaum cendikiawan mulai meninggalkan skolastisisme dan merusaha menghidupkan kembali peradaban pra Eropa kuno dari zaman pra Kristen. Lihat. Dr. Syamsuddin Arif, MA. Pemikiran Barat Modern. 13 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, Gramedia, 2007), cet. II, p. 10. Lihat juga Karen Armstrong, Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta, Serambi, 2007), cet. v. p. 358. Ketika Barat dalam masa kegelapan (Abad V-Abad XIV) akibat kekuasaan gereja yang sangat dominan, Masyarakat Islam saat itu dalam puncak kejayaan. Ilmu pengetahuan dan saint berkembang sangat pesat. karya-karya ilmiah yang berbahasa Yunani (Greek) dan Suryani (Syriac) hampir semuanya dialih bahasakan ke dalam bahasa Arab. Cendikiawan muslim dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan bermunculan, seperi, Jabir Ibnu Hayyan (pakar Kimia), Al-Kindi (Ahli Filsafat dan Matematika), Abu Masyar (ahli astronomi), Al-Khowarizmi (pelopor matematika modern), Ibnu Sina (pakar metafisika dan kedokteran), Ibn Haytam (ahli fisika), Al-Biruni (peletak antropologi modern), Al-Idrisi (pakar geografi), dan banyak lagi yang lainnya. Karya-karya inilah kemudian diterjemahkan oleh orang-orang Barat kedalam Bahasa latin, dan ini berlansung sampai 5 abad (Abad XI-Abad XVI M). Tak bisa dipungkiri, bahwa setiap peradaban bisa berdiri sendiri ataupun menjiplak seratus persen peradaban lain. Inilah yang dinamakan dengan teori interdepedence, sebagaimana orang Yunani kuno mengambil pelajaran dari Mesir dan Babilonia, juga Barat (Eropa) berhutang budi kepada Islam. Untuk lebih jelasnya tentang perjalan keilmuan dari dunia Islam ke Eropa, lihat. Syamsuddin Arif, Transmisi Ilmu: Dari Dunia Islam ke Eropa, dalam, Laode M. Kamaluddin (Ed), On Islamic Cilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang, Unisula Press, 2010). 14 Dikutip dari Dr. Syamsuddin Arif, MA. Pemikiran Barat Modern: . 15 F. Budi Hardiman, Filsafat Modern ., p. 10

zaman modern. Hal ini ditandai dengan bergantinya orientasi standar nilai dan kebenaran yang dianut oleh Barat, dari teosentris (berpusat pada Tuhan) ke antroposentris (berpusat pada manusia).16 Yang sebelumnya ditentukan oleh gereja dengan mengatas namakan agama, kitab suci, ataupun Tuhan, beralih kepada akal manusia yang otonom (rasionalisme), relalitas empirik dengan logika positivistik (empirisme) tanpa adanya campur tangan agama atau Tuhan (sekularisme). Atau dengan kata lain, dari mitologi irasional kepada nalar rasional scientific. Dari masyarakat dogamatis kepada masyarakat sekuler. Yang intinya segala sesuatu berpusat kepada manusia bukan Tuhan.17 Hal ini juga tergambar dari pernyataan David Ehmenfelt, sebagai berikut:
Satu-satunya yang tetap adalah mengurangi peran Tuhan, dan kita tiba pada kelahiran humanisme. Tuhan kemudian kita pensiunkan dini, masih dikemukakan dalam seremoni-seremoni , sehingga sedikit demi sedikit Dia didemistifikasi, dikebiri lalu ditinggalkan.18

Dengan demikian humanisme dengan proyek moderenisasi meniscayakan sekularissasi. Peter L. Berger menyatakan bahwa terjadinya kehancuran secara massif plausibilitas definisi realitas keagamaan trasional, telah menimbulkan sekularisasi.19 Dengan tergusurnya peran agama dalam masyarakat Barat, maka satu-satunya rujukan moral dalam kehidupan individu maupun social mereka adalah rasionalitas. H. S. Wood mengatakan, Taruhlah kepercayaanmu pada ilmu pengetahuan sepenuh-penuhnya, dan milikilah kepercaan diri sebesar-besarnya.20 Adapun JW Schoorl, sebagaimana dikutip Hamid Fahmi Zarkayi, mendifinisikan gerakan moderenisasi adalah, Penerapan pengetahuan ilmiyah yang ada kepada semua aktifitas, atau kepada semua aspek kehidupan masyarakat.21 Disinilah
16 Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta, Kanisius, 2006), p. 45. 17 Untuk lebih jelas tentang karaktristik pemikiran dan cara pandang Barat dalam melihat realitas, khususnya Barat pada masa modern dan postmodern, lihat. Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Central for Islamic and Occidental Studies-ISID Gontor, 2008). 18 David Ehrenfeld, The Arogance of Humanism, (Oxford, Oxford University Press, 1981), p. 8. 19 Pernyataan ini dikutip oleh Happy Susanto. Lihat Happy Susanto, Sekularisasi dan Ancaman Bagi Agama, dalam Jurnal Tsaqofah, Volume 3, Nomor 1, Dzulqadah 1427. p. 56. 20 Eka Darmaputra, 365 Anak Tangga menuju Hidup Berkemenangan, p. 543. 21 Lihat. Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi ., p. 8.

humanisme menemukan momentumnya, menjadi agama baru bagi masyarakat Barat. Sebagaimana dikatakan David Bell, Gerakan modernisme adalah gerakan agama yang melanggar agama, mengalihkan otoritas yang sakral kepada yang profan.22 Perubahan orientasi ini bukan hanya disebabkan kesadaran akan ilmu pengetahuan, tapi lebih karena faktor terauma terhadap agama. Keapatisan masyarakat Barat terhadap agama ini, karena dominasi gereja yang sangat kuat. Dominasi ini berakibat kepada bencana ilmu pengetahuan dan kemanusiaan.23 Fan Yew Teng mengutip keterangan beberapa ahli sejarah Barat, diantaranya, Yoseph Grunpeck, yang menerangkan situasi gereja pada abad pertengahan, zaman tersebut penuh dengan korupsi yang merajalela terhadap di seluruh dimensi kekristenan. Johann Huizinga, juga menggambarkan bahwa zaman itu merupakan zaman dengan suasana hidup yang sangat mengerikan, karena kematian terjadi setiap hari diseluruh daerah. Kirkpatrick menambahkan, bahwa kekerasan dan kebiadaban diseponsori oleh gereja melalui makamah inquisisi dengan sistematis. Dibawah yurisdiksinya jutaan orang dipasung di bawah tanah dan terbunuh. Ini merupakan makamah paling brutal sepanjang sejarah manusia.24 Karen Armstrong, seorang penulis terkenal dan mantan biarawati juga menerangkan institusi inquisisi,
Sebagian besar kita tentunya setuju bahwa satu dari institusi Kristen yang paling jahat adalah Inquisisi, yang merupakan instrument teror dalam Gereja Katolik sampai akhir abad ke-17 Metode inquisisi ini juga digunakan oleh gereja protestan untuk melakukan penindasan dan control terhadap kaum Katolik di Negara-negara mereka25 22 Dikutip dari Happy Susanto, Sekularisasi dan Ancaman Bagi Agama, dalam Jurnal Tsaqofah, Volume 3, Nomor 1, Dzulqadah 1427. p. 57. Untuk mengetahui lebih jelas tentang mengapa Barat menjadi sekuler, lihat Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler-Liberal, (Jakarta, Gema Insani Press, 2005). 23 Kasus Galelio (1564-1642) merupakan salah satu contoh dari sekian bentuk kekejaman yang dilakukan gereja terhadap orang yang dianggapnya tidak sepaham. Galelio yang dijatuhi hukuman mati oleh makamah inquisisi (Institusi pengadilan yang dibentuk oleh Gereja Katolik Roma untuk menghukum orang yang dianggap sesat), karena pendapatnya yang menyatakan Bumi berputar pada sumbunya dan mengelilingi matahari, pada akhirnya, tapi Galelio lansung mencabut pendapatnya karena takut kepada hukuman mati tersebut.. Setelah kekuasaan gereja melemah, pendapat inilah yang mereka percayai. Bryan Magee, The Story of Philosphy, tert. Marcus Widodo, Hardono Hadi, (Yogayakarta, Kanisius, 2008), p. 66. 24 Fan Yew Teng, Kejahatan Atas kemanusiaan, dalam Human Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia, Candra Muzaffar dkk. Terj. Anam Masrur Baali, (Yogyakarta, Pilar Media, 2007), p.55. 25 Karen Armstrong, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World, (New

Penomena inilah yang menjadikan masyarakat Barat bersikap apatis terhadap agama. Hal ini tergambar dalam tulisan Nietzsche, Sebagaimana dikutip Linda Smith dan William Raeper,
Penyingkapan topeng moralitas Kristen merupakan peristiwa yang tiada bandingnya Segala sesuatu yang sampai saat ini disebut Kebenaran dikenal sebagai bentuk tipuan yang paling merugikan, jahat, paling hina; dalih suci untuk memperbaiki umat manusia sebagai kelicikan untuk menghisap kehidupan sendiri dan membuatnya kekurangan darah. Moralitas sebagai vampirisme26

Demikian gambaran kebencian masyarakat Barat terhadap agama. Sehingga agama bagi mereka merupakan musuh yang harus disingkirkan. Pada gilirannya mereka mencari rujukan alternatif yang memihak kepada manusia. Sehingga bisa dikatakan bahwa Barat keluar dari ektrim yang satu ke ektrim yang lain. Dari agama yang telah memberangus kemanusiaan kepada rujukan kemanusiaan yang menyingkirkan agama. Sehingga pada akhirnya, manusia bagi Barat merupakan penguasa alam yang segala sesuatu harus merujuk dan diperuntukkan untuk manusia. Begitulah cara Barat memanusiakan manusia. Hal ini di tegaskan oleh Syed Muhammad Naquib al-Attas, bahwa di masyarakat Barat, Man is deified, Deity humanized.27 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa humanisme muncul sebagai reaksi terhadap penolakan Barat terhadap Agama. Agama yang sejatinya menjadi penjaga kondrat kemanusiaan, tapi di Barat justru menjadi alat untuk menjustifikasi kekejaman terhadap manusia, sebagaimana gambaran di atas. Pada akhirnya yang dijadikan rujukan alternative bagi Barat adalah paham yang anti terhadap agama. C. Dampak Humanisme Terhadap Kemanusiaan Pada kelanjutannya, cita-cita memanusiakan manusia, seperti konsep di atas, dianggap sebagai proyek besar yang harus direalisasikan. Hal inilah yang mendorong masyarakat Barat untuk melakukan imperialisasi dan kolonialisasi ke
York, Anchor Books, 2001), p. 62-63. Lihat juga terjemahan dalam bahasa Indonesia, Karen Armstrong, Perang Suci dari Perang Salib Hingga Perang Teluk, terj. Hikmat Darmawan, (Jakarta, Serambi, 2007), cet. v. p. 703. 26 Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat., p. 128. 27 Tuhan dimanusiakan, sedangkan manusia di tuhankan, Syed Muhammad Naquib alAttas, Prologomena to the Metaphysics of Islam (Kuala Lumpur, International of Islamic Thought and Civilization, 1995), p. 87.

wilayah lain. Alasan mereka manusia non Barat belum mengenal peradaban yang teknologis, rasional, atau modern.28 Dengan kemajuan tehnologi yang diperolehnya, masyarakat Barat modern semakin berambisi menaklukkan alam seisinya (termasuk manusia non Barat), dengan berdalih kemanusiaan. Ambisi tersebut pada akhirnya justru memusnahkan manusia itu sendiri. Peledakan bom atom, kebocoran reaktor nuklir Chernobyl, kerusakan ekosistem, kasus genocide, pembunuhan masal manusia dengan gas beracun oleh Nazisme Hitler, adalah sedikit contoh dari efek epistemologi humanisme. Anutan masyarakat Barat tersebut hanya bersandarkan diri pada kemampuan rasionalitas manusia dengan segala otoritasnya. Prikemanusiaan yang pada akhirnya hanya berlaku untuk yang memiliki otoritas. Dalam perjalanannya sejanjutnya ajaran-ajaran humanisme disebarkan Barat secara strategis dan politis. Doktrin-doktrin inti humanisme yang berupa kebebasan dan persamaan, dilembagakan dalam sebuah resulusi internasional (PBB) tentang hak asasi manusia (HAM).29 Hal ini ditegaskan oleh Gogineni,
Kami yakin catatan sejarah menunjukkan bahwa kaum humanis dan rasionalis abad pencerahan sangat penting dalam meletakkan dasar HAM modern, dan kami yakin sebagian besar pencapaian saat ini dalam hal HAM dan kebebasan dapat dilacak secara lansung pada kekuatan pembebasan ide-ide dan prinsip humanis. 30

Resolusi PBB tentang HAM yang selanjutnya disebut DUHAM (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia), oleh Barat dinobatkan sebagai ketentuan tentang nilai-nilai yang universal dan mendasar. Bagi mereka, hal ini sesuai dengan maratabat dan nilai perorangan dalam kesejajaran hak asasi laki-laki dan perempuan, bangsa-bangsa kecil maupun besar.31 Dengan alasan memajukan
28 Henry S. Sabari, Dostoevsky Menggugat Manusia Modern, (Yogyakarta, Kanisius, 2008),p. 34. 29 Mengenai peran humanisme dalam mencetuskan HAM, lihat. Marcolm D. Evan, Analisa Historis terhadap Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan sebagai Cara Menyelesaikan Konflik. Dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakianan: Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edy Bokso dan M. Ririfai Abduh, (Yogyakarta, Kanisius, 2010). 30 Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama ., p. 615. 31 Mustafa Ceric, Ilusi Hak Asasi Manusia Mengingat Kembali Tragedi BosniaHerzegivina, dalam Candra Muzaffar dkk, Human Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia. Terj. Anam Masrur Baali, (Yogyakarta, Pilar Media, 2007), p. 305.

kehidupan sosial dan standar hidup di alam kebebasan.32

Barat selalu

memproklamirkan dirinya sebagai masyarakat yang toleran, menerima perbedaan dalam multikultural, sehingga bagi mereka mereka bisa hidup dalam kedamaian dan keseimbangan, tanpa ada masalah inferioritas ataupun diskriminasi antara ras-ras yang ada.33 Inilah alasan mereka kenapa DUHAM tersebut harus diadopsi oleh semua konstitusi negara di dunia. . Namun, pelaksanaan DUHAM seringkali menimbulkan paradoks. Fakta ini

bisa dibuktikan pada kasus pembataian yang dilakukan oleh tentara Serbia terhadap rakyat muslim Bosnia Herzegovina. Pasukan pembela HAM dari Barat yang sudah dikirim untuk mengamankan keadaan, hanya berdiri tenang menyaksikan pembataian tersebut. Bagi mereka, keberadaan orang-orang Bosnia yang tidak bersenjata sedangkan pasukan Serbia bersenjata lengkap, dimaknai sebagai situasi ideal. Mereka berdalih, seandainya penduduk Bosnia dipersenjatai, maka akan menimbulkan lebih banyak korban. Karena selain penduduk Bosnia yang terbunuh, pasukan Serbia juga akan berjatuhan korban.34 Mahatir Muhammad menyatakan, ini merupakan realitas sekaligus ironi bagi HAM Barat, .35. Begitu juga, ketika Amerika melakukan embargo ekonomi bahkan penyerangan terhadap rakyat Irak yang telah menewaskan ratusan ribu rakyat tidak berdosa.36 Bush, dalam hal ini juga mengatasnamakan kemanusiaan, karena menurut Bush, Irak mempunyai senjata pemusnah masal (walaupun pada akhirnya tidak bisa dibuktikan). Sehingga
32 Akibatnya, individu-individu segera menentukan bahwa mereka akan menentang setiap aturan yang membelenggu kebebasan. Mulai dari hal-hal sederhana, seperti cara berpakaian, sampai penolakan terhadap pernikahan yang terinstitusi. Seks Di luar nikah menjadi norma, sedangkan institusi keluarga dianggap sebagai pengekang kebebasan laki-laki dan perempuan. Pemimpin-pemimpin mereka mepunyai catatan buruk tentang seks, perselingkuhan, istri simpanan, dan obat-oabatan terlarang. Demikian dituturkan Mahatir Muhammad dalam melihat realitas kehidupan masyarakat Barat dalam menyebarkan HAM yang paradoks itu. Mahatir Muhammad, Kembalinya Hegemono Itu, dalam , Candra Muzaffar dkk, Human Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia. Terj. Anam Masrur Baali, (Yogyakarta, Pilar Media, 2007), p. 13-17. 33 Lihat. Abu Anas, Masyarakat Multi Budaya Atau Masyarakat Rasis, dalam Jurnal AlInsan, No. 1. Vol. 3. 2008 (Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, ISSN:16934237) 34 Mahatir Muhammad, Kembalinya Hegemoni Itu, p. 19-20 35 Ibid. 36 Lihat. Adian Husaini, Kumpulan Catatan Akhir Pekan Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, (Pustaka Al-Kautsar, 2009), p. 1-6.

bekalangan disinyalir, bahwa penyerangan Amerika terhadap Irak karena Amerika menginginkan pasokan minyak dari Irak.37 Dekianlah perjalanan humanisme yang dianut oleh masyarakat Barat. Citacita memanusiakan manusia tapi justru banyak menimbukkan bencana kemanusiaan. Sehingga sering terdengar ungkapan bahwa Barat merupakan ibu yang melahirkan humanisme, tapi juga sekaligus menjadi bapak yang membunuhnya.38 Sehingga wajah humanisme menjadi ambigu bahkan paradoks. Kerancuan humanisme dalam tataran aplikasi dan konsep ini merupakan konsekuensi logis dari orientasi antroposentris. Keberagaman manusia meniscayakan keberagaman kebenaran. Kierkegaard menulis, bahwa Kebenaran adalah subjektifitas.39 Bagi humanisme masing-masing manusia dianggap mempunyai ukuran kebenaran sendiri-sendiri, sehingga menapikan kebenaran absolut. Sebagaimana dikatakan Schiller, bahwa hakekat relatisvisme adalah penolakan terhadap eksistensi kebenaran yang absolut, dan ini merupakan ruh atau spirit aliran humanisme.40 Dengan kesadaran akan relatifitas kebenaran ini, maka masing-masing indifidu tidak bisa memaksakan kebenarannya kepada orang lain, sehingga harus menjunjung tinggi kebebasan. Hal ditegaskan oleh Gonineni, direktur Internasional Persatuan Humanis dan Etis Internasional, menjelaskan bahwa:
Sebagai kaum humanis kami menolak kekuasaan/otoritas mutlak. kami mengedepankan pencarian kebenaran secara bebas. dan yang terpenting bagi humanisme adalah pencarian kebenaran, bukan memiliki kebenaran. Kami berkomitmen terhadap kebebasan berpikir dan bertindak dan memusatkan perhatian kepada manusia.41 37 Lebih jelasnya tentang kejanggalan-kejanggalan yang dilakukan Barat dalam menegakkan DUHAM, Lihat. Human Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia, Candra Muzaffar dkk. Terj. Anam Masrur Baali, (Yogyakarta, Pilar Media, 2007). 38 Antonisus Subianto B., Humanisme: Agama Alternatif, dalam Bambang Sugiharto (ed.), Humanisme dan Humaniora , p. 211. 39 Linda Smith dan William Raeper, Ide-Ide Filsafat, p.79. 40 Pernyataan ini dikutip Anis Malik Thoha, dari Schiller, F. C. S., Humanism.. Lihat. Dr. Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta, Perspektif, 2005), p.51. 41 Rajaji Ramanadha Babu Gogineni dan Lars Gule, Humanisme dan Kebebasan dari Agama, dalam Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakianan: Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edy Bokso dan M. Ririfai Abduh, (Yogyakarta, Kanisius, 2010). p. 611-613.

11

Dengan demikian, konsep humanisme tidak akan pernah final. Humanisme akan terus mengalami pergantian wajah tergantung pada siapa yang menggunakan dan kepada manusia mana diperuntukkan. Jadi, dari paparan di atas bisa dilihat bahwa Humanime merupakan paham yang segala sesuatunya berpusat kepada manusia. humanime menekankan pada kebebasan, kesetaraan, serta tidak menerima kebenaran yang absolut. Humanisme tidak menghendaki keterkungkungan dan keterikatan dalam bentuk apapun terlebih agama, akibatnya humanisme menafikan adanya Tuhan. Dengan demikian humanisme bukanlah konsep yang universal. Humanisme terlahir dari peradaban Barat dengan miliu dan cara pandang (world view) Barat. Humanisme sudah menjadi agama bagi masyarakat Barat, sebagaimana dikatakan J. P. Sartre, humanisme merupakan alternative dari religiusitas.42 Dengan demikian, paham tersebut sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam. Dalam pandangan Islam, manusia merupakan hamba Allah yang harus tunduk dan taat dengan perintah Tuhannya.43 Sehingga fitrah manusia adalah bertuhan.44 Selain itu, manusia juga ditugaskan sebagai khalifah di atas dunia,45 yang diamanatkan untuk menjaga ketertiban dunia dengan menegakkan keadialan dan mencegah kezhaliman.46 Untuk menjalankan tugas kehambaan dan kekhalifahan
42 Ibid, p. 10. 34 Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Adz Dzariyat, 51: 56). 44 . Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah aku ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), Kami menjadi saksi". (kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya Kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)", (QS. Al-Araf, 7: 172). .. 54 Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: Sesungguhnya aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi. . (QS. Al-Baqarah, 2: 30). 64 Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali 'Imran, 3:104).

tersebut, Allah menurunkan kepada manusia syariah melalui para rasul-Nya. 47 Walaupun demikian, doktrin humanisme ini diproklamirkan oleh Barat sebagai paham yang universal yang harus dianut oleh bangsa lain terutama Islam. Karena dalam pandangan mereka Islam dianggap sebagai ancaman terbesar bagi gerak laju penyebaran ideologi mereka. Melalui proyek golabalisasi dan westernisasi, Barat terus berupaya menyebarkan paham-paham, budaya dan ideologi anutan mereka. Mega proyek ini dijalankan dengan tiga strategi jitu, yakni orientalisme dimanfaatkan untuk mengkaji sekaligus merusak pemahaman keislaman, misonarisme sebagai strategi untuk mempengaruhi umat Islam agar menerima ideologi mereka, dan kolonialisme sebagai langkah penaklukan. Program ini diperlancar dengan penguasaan mereka terhadap media informasi dan komunikasi.48 Akibatnya, tidak sedikit intelektual muslim yang mengadopsi dokrin ini, dan dijadikan sebagai rujukan dalam melihat syariah. D. Pengaruh Humanisme Terhadap Syariah Islam Implikasi paham humanisme terhadap sebagian pemikir Islam kontemporer terlihat dari cara pandang mereka terhadap syariah. Syariah yang selama ini diyakini umat Islam sebagai ketentuan yang baku dan final yang berasal dari Tuhan. Yang diperuntukkan kepada manusia sebagai rujukan dalam menjalani kehidupan agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat.49 Namun lain halnya di mata sebagian pemikir Islam kontemporer, seperti Abdullahi Ahmed An-Naim.50 Bagi
47 Syariah adalah setiap jalan yang ditetapkan oleh Allah untuk manusia, yang tidak berubah, dan melalui perantara nabi. Syariah mencakup ibadah, muamalah dan nlai-nilai yang terkandung dalam Al-Qur'an dan Hadis ahkam. Sehingga syariah adalah Islam itu sendiri. Dan syariah Islam adalah syariah penutup dan bersifat universal. Lihat. Muhammad Imarah, Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta, Rabbani Press, 1998), p. 102106. 48 Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, p. 48. 49 Muhammad Imarah, Perang Terminologi , p. 102-106. Lihat juga, Nirwan Syafrin, Konstruksi Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Dalam Jurnal Tsaqofah, Volume 5. Nomor 1. Dzulqadah 1429, (ISID-Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia, ISSN: 1411-0334)

50 Abdullahi Ahmed an-Na'im lahir di Sudan, 19 November 1946. Pendidikan S-1 ditempuh di Fakultas Hukum Universitas Khartoum, Sudan tahun 1970 dengan gelar LL.B. Kemudian tahun 1971-1973, ia menempuh studi magisternya di Universitas Cambridge Inggris dengan mengambil spesialisasi pada masalah hak-hak sipil dan hubungannya dengan konstitusi negara-negara berkembang serta hukum internasional (the law relating to the civil liberties,
13

An-Naim syariah tak lain hanyalah produk sejarah yang dikonstruksi manusia, yang terus mengalami evolusi untuk guna penyesuaian dengan realitas.51 An-Naim menegaskan bahwa syariah hanyalah, the product of process of interpretation of analogical derivation from the text of the Quran and Sunna and other tradition.52 Sehingga apapun namanya selama itu merupakan hasil persepsi dan interpretasi manusia, termasuk penentuan metodologi dan kriteria-kriteria seperti qoth'i, dzonni ataupun muhkamaat, mutasyabihaat, semuanya itu dapat dipakai, diubah dan dikembangkan atau bahkan ditinggalkan sama sekali, tergantung ada dan tidaknya maslahat bagi kehidupan manusia pada masa tertentu. Hal ini lebih di karenakan bahwa maslahat adalah esensi dari tujuan diundangkannya syariah. Dengan demikian, syariah yang dianggap baku oleh kaum muslim pada masa dan tempat tertentu dapat saja ditinggalkan atau direvisi ketika dirasakan sudah tidak memadai lagi bagi masyarakat kontemporer. Sebaliknya, syariah yang pernah ditinggalkan dapat pula dipergunakan kembali ketika kebutuhan dan maslahat masyarakat menghendakinya.53 Maslahat yang dimaksud An-Naim dalam hal ini adalah ketentuan yang ditetapkan oraganisasi internasional. Sehingga dalam konteks modern saat ini, menurut An-Naim, hukum internasional, resolusi PBB tentang HAM merupakan
constitutional law of developing countries and private international law). Pada tahun serta di universitas yang sama, ia juga mengambil program magister bidang kriminologi. Sedangkan untuk program doktor (Ph. D.) ditempuhnya di Universitas Edinburg, Skotlandia dalam bidang hukum pada tahun 1976 dengan disertasi berjudul Comparative pre-Trial Criminal Procedure: English, Scottish, U.S. and Sudanese Law, yakni suatu kajian mengenai perbandingan prosedur praperadilan kriminal antara hukum Inggris, Skotlandia, Amerika Serikat dan Sudan). Lihat Adib Abdushomad GJA (ed), Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, (Yogyakarta, Gama Media,2004), p.20-22. 51 Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin ArRany, (Yogyakarta, LKiS, 1994), p. 19-20. Lihat juga, Adib Abdushomad GJA (ed), Reformasi Syariah ., p. 135.

52 hasil dari proses penafsiran, derivasi melalui qiyas terhadap teks al-Quran, Sunnah, dan tradisi yang lain. Lihat. Abdullahi Ahmed An-Naim, Toward an Islamic Reformation: Civil Liberties, Human Right, and International Law, (Syracuse, New York, Syracuse University Press, 1990), p. 11. Lihat juga terjemahan dalam bahsa indonesia, Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar-Rany, (Yogyakarta, LKiS, 1994), p. 20.
53 Tholhatul Choir dan Ahwan Fanani (Ed), Islam dalam Berbagai Pembacaaan Kontemporer, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009), p. 343.

barometer relevan tidaknya syariah diterapkan. Sehingga, lanjut an-Naim, ketentuan syariah seperti hukum hudud, qishas, status wanita dan non-muslim, dan seterusnya harus didekonstruksi karena tidak sesuai dengan ketentuan HAM internasional.54 Lebih jelasnya ia menyatakan bahwa ...some definite and generally agreed principles of Sharia are in clear conflict with corresponding principles of international law,55 sehingga keduanya tidak mungkin dapat hidup berdampingan.56 Dengan demikian, An-Naim menegaskan, "... syariahlah yang harus direvisi..., untuk memelihara hak-hak asasi manusia universal tersebut".57 kemaslahatan yang dimaksud oleh An-Naim adalah ketentuan-ketentuan tentang kemanusiaan yang dihasilkan oleh masyarakat Barat yang notabenenya mempunyai cara pandang yang sangat berbeda secara substansial dengan Islam. Jadi, An-Naim sesungguhnya lebih mengedepankan HAM daripada ketentuan syariah. Hal ini tampak ketika terjadi pertentangan antara syariah dengan ketentuan HAM, maka menurutnya syariah harus dirubah. Sedangkan HAM itu sendiri bukanlah kitab suci yang tidak mempunyai cacat. Ketentuan-ketetnuan yang ada dalam HAM lebih kepada cerminan dari konsep hidup masyarakat Barat. Karena HAM dibangun berdasarkan landasan filosofis dan pandangan hidup (world view) masyarakat Barat, sehingga ketentuan HAM bukanlah konsep netral dan universal.58 Dengan demikian, kalau syariah ditarik untuk menyesuaikan dengan ketentuan HAM maka akan menghilangkan syariah itu sendiri. Selain An-Naim, pemikir Islam kontemporer yang merupaya melakukan dekonstruksi syariah adalah Muhammad Syahrur.59 Menurut Syahrur,

54 Muhyar Fanani, Abdullahi Ahmed Na'im: Paradigma Baru Hukum Publik Islam, dalam A. Khudori Soleh (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer,(Yogyakarta, Jendela, 2003), p. 49-50. 55 sebagian prinsip-prinsip syariah yang pasti dan secara umum disepakati terangterangan bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional. Lihat. Abdullahi Ahmed AnNaim, Toward an Islamic Reformation, p. 151. 56 Ibid, p. 8. 57 Abdullahi Ahmed An-Naim, Dekonstruksi Syariah, p. 284-285. 58 Nirwan Syafrin, Kritik Terhadap Paham Liberalisasi Syariat Islam, , p. 295. 59 Muhammad Syahrur dilahirkan pada tanggal 11 April 1938 di Damaskus, Syria. Meraih sarjana Teknik Sipil di Saratow Moskow tahun 1964, dan meraih gelar MA dan Ph.D di bidang Mekanika Tanah dan Tehnik Pondasi di University College di Dublin (1968-1972). Kemudian ia diangkat menjadi Profesor jurusan Teknik Sipil di Universitas Damaskus (1972-

15

"...Penerapan ayat-ayat hukum pada alam realitas adalah aplikasi relatif-historis. Dengan demikian gugurlah qiyas dan tetaplah ijtihad terhadap ayat-ayat hukum. Prinsipnya adalah akal dan kesesuaian ijtihad dengan realitas objektif".60 Dalam pandangan Syahrur, hukum Islam terus mengalami perubahan seiring dengan perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat. Akhirnya yang menjadi tolak ukur kebenaran dalam melakukan interpretasi terhadap teks AlQur'an adalah realitas empirik. Sehingga menurut Syahrur dalam merealisasikan ketentuan syariah atau hukum Islam dalam konteks saat ini, tidak bisa disamakan dengan generasi Islam sebelumnya. Sebagaimana ditegaskan Syahrur, "....masingmasing generasi menafsirkan al-Qur'an berdasar pada realitas tertentu pada masa mereka hidup, kita yang hidup pada abad 20 ini juga berhak menafsirkan alQur'an berdasar 'semangat zaman' yang mencitrakan kondisi pada masa sekarang."61 Terlebih, ketika ketentuan hukum tidak disebutkan secara tekstual, maka lanjut Syahrur, 26." Sehingga dalam pandangan Syahrur, tidak ada ketentuan hukum Islam yang bersifat permanen dan final, semuanya bisa berubah seiring perubahan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Dari sini terlihat bahwa Syahrur lebih mengedepankan relaitas dari ketentuan wahyu. Dengan demikian, maka tidak ada lagi ajaran agama yang bersifat sakral dan permanen, bahkan Al-Qur'anpun yang selama ini dianggap sebagai kalamullah, yang merupakan sumber utama syariah, juga tidak luput dari serangan.
1999) disamping mengelola sebuah perusahaan kecil milik pribadi di bidang tehnik. Ia tidak bergabung dengan institusi Islam manapun, dan ia juga tidak pernah menempuh pelatihan resmi atau memperoleh sertifikat dalam ilmu-ilmu keislaman. Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, terjemah Sahiron Syamsuddin, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, (Yogyakarta,eLSAQ Press, 2008), p. 19 60 Muhamad Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer , terj. Sahiron Syamsuddin,, (Yogyakarta, eLSAQ Press, 2008), p. 106. 61 Muhamad Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah (Kaioro dan Damaskus, Sina lil al- Nasr, 1992), p. 44, 47 dalam Wael B. Hallaq Membaca Teori Batas M. Shahrur dalam M. Shahrur, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah, terjemah Sahiron Syamsuddin Prinsip Dasar Hermeneutika Hukum Islam Kontemporer, (Jogyakarta,2007), p. 3. 62 ....ketika tidak adanya teks, seorang penetap hukum diperkenankan menetapkan hukum sesukanya. Muhammad Syahrur, Dirasah Islamiyyah: Nahw Ushul Jadidah Li al-Fiqh al-Islami, (Damaskus, Al-Ahali, 2000), p. 56.

Sebagaimana pendapat yang dilontarkan Nasr Hamid Abu Zayd, pemikir asal Mesir ini memandang bahwa al-Quran merupakan teks manusiawi (al-Nash al-Insani). Dalam logikanya, keberadaan Allah pada suatu dimensi tidak memungkinkan berkomunikasi dengan manusia yang berada pada lain yang berbeda. The Word of God needed to adapt itself become human because God wanted to communicate to human beings. If God spoke God-language, human beings would understand nothing.63 Dengan demikian, al-Quran bukanlah Kalam Allah sebagaimana diyakini masyarakat Islam pada umumnya. Melainkan hanyalah hasil interpretasi Nabi Muhammad terhadap ide Tuhan, The word of Muhammad reporting what he asserts is the Word of God. This is the Qur'an.64 Disini tampak Abu Zayd berusaha menggeser otoritas Tuhan dalam Al-Qur'an kepada sentralitas manusia. Dari uraian di atas, bisa dilihat bagaimana cara pandang mereka terhadap syariah. Pertama, syariah bagi mereka bukan diformulasikan oleh Allah akan tetapi hasih konstruksi manusia. Kedua, syariah harus menyesuaikan diri dengan konteks zaman, sehingga terus berevolusi mengiringi perkembangan manusia. Ketiga, yang menjadi rujukan dalam menentukan syariah adalah nalar publik, atau hasil kesepakatan bersama yang dalam konteks sekarang terkonseptulaisasikan dalam bentuk kebebasan, kesetaraan gender, Hak Asasi Manuisa (HAM) internasional. Keempat, sumber utama syariah yaitu Al-Qur'an tidak lain hanyalah hasil interpretasi manusia. Dari pandangan ketiga pemikir tersebut, tampak mereka telah mengalihkan sakralitas syariah yang bersumber dari Tuhan kepada ranah manusia. Sehingga peran Tuhan dalam menentukan syariah coba untuk dihilangkan. Karena sifatnya yang manusiawi, maka syariah tidak lagi bersifat pasti dan universal. Jika demikian halnya, maka Al-Qur'an bisa diinterpretasikan oleh siapa saja tergantung kepentingan penafsir. Sehingga Al-Qur'an bisa saja dipergunakan hanya untuk
63 "Bagaimanapun, Kalam Ilahi perlu mengadaptasi diri dan menjadi manusiawi karena Tuhan ingin berkomunikasi dengan manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti. Lihat. Nashr Hamid Abu Zayd dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection on Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004), p. 97. 64 "Perkataan Muhammad yang menjelaskan Kalam Tuhan, itulah Al-Qur'an. Ibid, p. 96.

17

melegitimasi kepentingan kelompok atau individu tertentu. Begitu juga halnya, apabila penafsiran Al-Qur'an hanya merujuk kepada relalitas publik, maka maknanya akan terus berubah. Apabila publik menganggap bahwa suatu perbuatan itu baik, maka Al-Qur'an akan dipaksa untuk menjustifikasi perbuatan tersbut. Walaupun pada hakekatnya perbuatan itu bertentangan dengan kemanusiaan. Karena bagaimanapun, suatu perbuatan yang negative apabila selalu disuguhkan kepada ruang publik, maka lama-kelamaan publik menganggap itu hal yang biasa. Apabila demikian halnya, maka Al-Qur'an akan menjadi alat justifikasi kemaksiatan. Dari sini tampak mereka ingin membawa syariah yang berorientasi ilahiyah kepada cara pandang antroposentris. Sehingga semuanya berpusat kepada manusia dan menafikan intervensi Tuhan dalam kehidupan. Apabila dirunut lebih lanjut, maka nilai-nilai yang dijadikan rujukan oleh para pemikir tersebut, seperti kebebasan, kesetaraan, Hak Asasi Manusia, tak lain merupakan dokrin dari humanisme. Yaitu doktrin yang menjadikan manusia sebagai pusat segala-galanya. Yang lebih merisaukan lagi, diskursus ini bukan hanya sebatas wacana, tapi sudah mempengaruhi cara berpikir masyarakat terhadap syariah. Hal ini terbukti, dari beberapa statemen bahkan gerakan masyarakat khususnya di Indonesia, dalam menentukan hukum Islam. E. Implikasi Dekonstruksi Syariah Terhadap Masyarakat Muslim Apa yang dilakukan oleh para pemikir di atas berimplikasi luas terhadap masyarakat Muslim. Di Indonesia cara pandang seperti ini, terlihat dari beberapa pandangan tokoh Islam Liberal terhadap syariah. Dalam pernyataan salah satu tokoh Islam Liberal, bahwa tidak ada yang namanya hukum Tuhan, yang ada hanyalah hukum manusia, sebab semuanya merupakan hasil pemikiran manusia. Karena merupakan konstruksi manusia, maka ketentuan hukum tersubut tidak lepas dari pengaruh sosio kultural para penggagasnya. Seperti hukum qishash, rajam, potong tangan bagi pencuri, atapun masalah jilbab merupakan refleksi dari budaya Arab waktu itu. Dengan demikian, ketentuan tersebut tidak bersifat universal dan

permanen. Ketentuan itu bisa berubah seiring perubahan waktu dan tempat.65 Dari sini tampak jelas bahwa pemikiran mereka tidak jauh berbeda dengan apa yang digagas oleh para pemikir Islam kontemporer yang sudah disebutkan di atas. Pengaruh ini juga tampak dalam pemikiran Tim Pengaruutamaan Gender Departemen Agama ketika mereka menggugat ketentuan KHI (Kompilasi Hukum Islam). Bagi mereka Kompilasi Hukum Islam yang saat ini digunakan oleh Pengadilan Agama sebagai rujukan dalam menentukan hukum perdata Islam sudah tidak relevan. Mereka menilai bahwa ketentuan-ketentuan hukum yang ada dalam KHI sangat bias gender sehingga diskriminatif terhadap perempuan. Dengan demikian KHI yang ada sekarang ini harus direvisi. Mereka menawarkan draft KHI baru yang menurut mereka lebih akomodatif terhadap perkembangan zaman serta lebih objektif terhadap perempuan. Sebagai contoh, ketentuan tentang iddah, dalam tawaran mereka, tidak hanya perempuan yang mempunyai iddah tapi laki-lakipun harus mempunyai iddah. Mereka juga mengharamkan poligami, dan membolehkan kawin kontrak. Kemudian warisan yang diperoreh perempuan harus sama dengan laki-laki. Mereka juga mengijinkan pernikahan beda agama, yang dalam KHI sekarang dengan tegas menyatakan ketidak bolehannya. Dengan adanya rumusan baru KHI ini bagi mereka, hukum Islam bisa menyesuaikan diri dengan konteks kekinian yang menjunjung tinggi, kesetaraan gender, Ketentuan HAM, demokrasi, serta pluralisme.66 Mereka berpendapan bahwa, KHI yang ada sekarang ini tidak paralel dengan produk perundang-undangan, baik hukum nasional maupun internasional yang telah diratifikasi.... Dalam konteks internasional, juga bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang telah diratifikasi, dan beberapa instrumen penegakan dan perlindungan HAM lain seperti Deklarasi Universal HAM (1948), Kovenan Internasional tentang Hak-hak
65 Ulil Abshar Abdalla, "Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam" Artikel diterbitkan oleh Koran Harian Kompas pada tanggal 18-11-2002. 66 Untuk melihat lebih jelas, ketentuan-ketentuan hukum Islam yang ingin dirombak oleh Tim Pengarusutamaan Gender Depag 2004, lihat Pembaruan Hukum Islam: Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (Jakarta: Tim Pengarusutamaan Gender, Departemen Agama RI, 2004)

19

Sipil dan Politik (1966).67 Pandangan ini tidak berbeda dengan pandangan AnNaim di atas, yang lebih mengutamakan HAM dari pada ketentuan syariah. F. Penutup Dari uraian di atas menunjukkan bahwa humanisme terlahir dari rahim peradaban Barat yang trauma kepada agama. Akibatnya, humanisme dengan orientasi antroposentrisnya anti terhadap agama (ateis). Sehingga paham ini tidak bisa didialogkan dengan Islam, karena secara ontologis dari keduanya sangat paradaoks. Islam dengan orientasi ilahiyyah serta ketundukan kepada Tuhan, sedangkan humanisme memiliki orientasi antroposentris dengan semangat kebebasan dan menghilangkan unsur ketuhanan. Dengan demikian apabila humanisme dijadikan cara pandang dalam mengkaji syariah Islam, justru yang akan memunculkan nilai humanisme dan menghilangkan nilai keislaman. Untuk itu, di era perang pemikiran (ghazwul fikri) saat ini, sebagaimana diakui oleh Amin Abdullah, dan menurutnya diperlukan sikap kritis, konseptual, dan argumentatif.68 Tidak menerima begitu saja apa yang datang dari peradaban lain, tanpa kritik. Karena bagaimanapun setiap ilmu tidak ada yang bebas nilai (value free).69 Setiap ilmu lahir dari masyarakat yang mempunyai cara pandang (world view) tersendiri dalam meliat relaitas. Dan tiap-tiap masyarakat mempunyai world view yang berbeda-beda.70 Demikianlah mengapa sikap kritis dibutuhkan.

Wallahualam.

67 Abd Moqsith Ghazali, Argumen Metodologis http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=774

CLD

KHI,

o8/03/2005,

68 M. Amin Abdullah, Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan IntegratifInterkonektif, (Yogyakarta, ustaka Pelajar, 2010), cet. II. P. 8. 69 Ibid, p. 104. 70 Hamid Fahmi Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam., p. 41.

Daftar Pustaka Abdullah M. Amin, Humanisme Religius Versus Humanisme Sekuler Menuju Sebuah Humanisme Spiritual. Dalam, Islam Dan Humanisme Aktualisasi Humanisme Islam Di Tengah Krisis Humanisme Universal. (Yogyakarta, Pustaka pelajar dan IAIN Wali Songo Semarang, 2007).

----------, Islamic studies di Perguruan Tinggi Pendekatan Integratif-Interkonektif,


(Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010) Abdushomad Adib GJA (ed), Reformasi Syariah dan HAM dalam Islam: Bacaan Kritis Terhadap Pemikiran An-Naim, (Yogyakarta, Gama Media, 2004). Abidin Zaenal, Filsafat Manusia Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Bandung, Rosdakarya, 2006). Abu Zayd Nashr Hamid dan Esther R. Nelson, Voice of an Exile: Reflection on Islam, (London: Westport, Connecticut, 2004). An-Naim Abdullahi Ahmed, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak Asasi Manusia, dan Hubungan Internasional dalam Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amirudin Ar-Rany, (Yogyakarta, LKiS, 1994). Armstrong Karen, Holy War: The Crusades and Their Impact on Todays World, (New York, Anchor Books, 2001). Bagus Loren, Kamus Filsafat, (Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1996). Choir Tholhatul, Fanani Ahwan (ed), Islam dalam Berbagai Pembacaaan Kontemporer, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009). D Ehrenfeld., The Arogance of Humanism, (Oxford, Oxford University Press, 1981). Fahmi Hamid Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo, Central for Islamic and Occidental Studies-ISID Gontor, 2008). Fareed Saiyad Ahmad, Sahuddin Ahmad, 5 tangtangan Abadi Terhadap Agama, terj. Rudy Harisyah Alam, (Bandung, Mizan, 2008). Gandhy Leela, Postcolonial Theory; A Critical Introduction, (Sidney, Allen & Unwin, 1998). Griffin David Ray, Tuhan dan Agama dalam Dunia Postmodern, terj. Gunawan Admiranto, (Yogyakarta, Kanisius, 2005). Hardiman F. Budi, Filsafat Modern dari Machiavelli sampai Nietzsche, (Jakarta, Gramedia, 2007). Henry S. Sabari, Dostoevsky Menggugat Manusia Modern, (Yogyakarta, Kanisius,

21

2008). Husaini Adian, Kumpulan Catatan Akhir Pekan Membendung Arus Liberalisme di Indonesia, (Jakarta, Pustaka Al-Kautsar, 2009). Imarah Muhammad, Perang Terminologi Islam Versus Barat, terj. Musthalah Maufur, (Jakarta, Rabbani Press, 1998). Kamaluddin Laode M. (Ed), On Islamic Cilization Menyalakan Kembali Lentera Peradaban yang Sempat Padam, (Semarang, Unisula Press, 2010). Levin David Michel, The Opening of Vision: Nihilism and the Postmodernism Situation, (London, Routledge, 1988). Magee Bryan, The Story of Philosphy, tert. Marcus Widodo, Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanisius, 2008). Muzaffar Candra dkk., Human Wrong: Rekor Buruk Dominasi Barat Atas Hak Asasi Manusia, Terj. Anam Masrur Baali, (Yogyakarta, Pilar Media, 2007). Salim Fahmi, Kritik terhadap Studi Al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta, Perspektif, 2010). Shahrur Muhamad, al-Kitab wa al-Qur'an: Qira'ah Mu'ashirah (Kaioro dan Damaskus, Sina lil al- Nasr, 1992). -------------Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terj. Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta,eLSAQ Press, 2008). Shalahuddin Henri, Al-Qur'an di Hujat, (Jakarta, Al-Qalam, 2007). Smith Linda, Raeper William, Ide-Ide Filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang, terj. P. Hardono Hadi, (Yogyakarta, Kanesius, 2004). Soleh A. Khudori (Ed.), Pemikiran Islam Kontemporer,(Yogyakarta, Jendela, 2003). . Sudiarja A., Agama (di zaman) yang Berubah, (Yogyakarta, Kanesius, 2006). Sugiharto Bambang (ed.), Humanisme dan Humaniora Relevansinya bagi Pendidikan, (Yogyakarta, Jalasutra, 2008). Suseno Franz Magnis, Menalar Tuhan, (Yogyakarta, Kanisius, 2006). Thoha Anis Malik, Tren Pluralisme Agama Tinjauan Kritis, (Jakarta, Perspektif, 2005). Tore Lindholm, W. Cole Durham, Jr., Bahia G Tahzib Lie, (ed), Kebebasan Beragama atau Berkeyakianan: Seberapa Jauh?, terj. Rafael Edy Bokso dan M. Ririfai Abduh, (Yogyakarta, Kanisius, 2010).

Jurnal dan makalah

Anas Abu, Masyarkat Multi Budaya Atau Masyarakat Rasis, dalam Jurnal AlInsan, No. 1. Vol. 3. 2008 (Depok, Lembaga Kajian dan Pengembangan Al-Insan, ISSN:1693-4237). Arif Syamsuddin, Pemikiran Barat Modern: Dari Renaissans hingga Postmoderenisme. Makalah. disampaikan pada acara workshop Program Kaderisasi Ulama (PKU), Kerja sama MUI Pusat dengan ISID Gontor. Tanggal 2 Februari 2010. Susanto Happy, Sekularisasi dan Ancaman Bagi Agama, dalam Jurnal Tsaqofah, Volume 3, Nomor 1, Dzulqadah 1427 (ISID-Pondok Modern Darussalam Gontor Indonesia. ISSN: 1411-0334). Syafrin Nirwan, Konstruksi Epistemologi Islam: Telaah bidang Fiqh dan Ushul Fiqh. Dalam Jurnal Tsaqofah, Volume 5. Nomor 1. Dzulqadah 1429.

23

Anda mungkin juga menyukai