Anda di halaman 1dari 72

BAB I PENDAHULUAN

Jika kita berbicara tentang persalinan sudah pasti berhubungan dengan perdarahan, karena semua persalinan baik pervaginam ataupun perabdominal (sectio cesarea) selalu disertai perdarahan. Pada persalinan pervaginam perdarahan dapat terjadi sebelum, selama ataupun sesudah persalinan. Perdarahan bersama-sama infeksi dan gestosis merupakan tiga besar penyebab utama langsung dari kematian maternal.(1,2) Kematian maternal adalah kematian seorang wanita waktu hamil atau dalam 42 hari sesudah berakhirnya kehamilan oleh sebab apapun, terlepas dari tuanya kehamilan dan tindakan yang dilakukan untuk mengakhiri kehamilan.(1) Suatu perdarahan dikatakan fisiologis apabila hilangnya darah tidak melebihi 500 cc pada persalinan pervaginam dan tidak lebih dari 1000 cc pada sectio cesarea.(2) Frekuensi perdarahan pasca persalinan yang dilaporkan Mochtar, R. dkk. (1965-1969) di R.S. Pirngadi Medan adalah 5,1% dari seluruh persalinan. Dari laporan-laporan baik di negara maju maupun di negara berkembang angka kejadian berkisar antara 5% sampai 15%. Dari angka tersebut, diperoleh sebaran etiologi antara lain: atonia uteri (5060 %), sisa plasenta (2324 %), retensio plasenta (1617 %), laserasi jalan lahir (45 %), kelainan darah (0,50,8 %).(3) Untuk selanjutnya penulis akan membahas lebih banyak tentang perdarahan pasca persalinan pada persalinan perabdominal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Definisi
Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan atau hilangnya darah 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi sebelum, selama, atau sesudah lahirnya plasenta 1,2

Definisi lain menyebutkan Perdarahan Pasca Persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah plasenta lahir.(2) Menurut waktu terjadinya dibagi atas dua bagian : 1,2 a. Perdarahan postpartum primer (early postpartum hemorrhage) yang terjadi dalam 24 jam setelah anak lahir. b. Perdarahan postpartum sekunder (late postpartum hemorrhage) yang terjadi antara 24 jam dan 6 minggu setelah anak lahir.

Epidemiologi
1. Insiden Angka kejadian perdarahan postpartum setelah persalinan pervaginam yaitu 5-8 %.

Perdarahan postpartum adalah penyebab paling umum perdarahan yang berlebihan pada kehamilan, dan hampir semua tranfusi pada wanita hamil dilakukan untuk menggantikan darah yang hilang setelah persalinan.(5,6)

2. Peningkatan angka kematian di Negara berkembang Di negara kurang berkembang merupakan penyebab utama dari kematian maternal hal ini disebabkan kurangnya tenaga kesehatan yang memadai, kurangnya layanan transfusi, kurangnya layanan operasi.

Etiologi
Banyak faktor potensial yang dapat menyebabkan perdarahan postpartum, faktor-faktor yang menyebabkan hemorrhage postpartum adalah atonia uteri, perlukaan jalan lahir, retensio plasenta, sisa plasenta, kelainan pembekuan darah.(3,5) 1. Tone Dimished : Atonia uteri Atonia uteri adalah suatu keadaan dimana uterus gagal untuk berkontraksi dan mengecil sesudah janin keluar dari rahim. Perdarahan postpartum secara fisiologis di control oleh kontraksi serat-serat myometrium terutama yang berada disekitar pembuluh darah yang mensuplai darah pada tempat perlengketan plasenta. Atonia uteri terjadi ketika myometrium tidak dapat berkontraksi. Pada perdarahan karena atonia uteri, uterus membesar dan lembek pada palpasi. Atonia uteri juga dapat timbul karena salah penanganan kala III persalinan, dengan memijat uterus dan mendorongnya kebawah dalam usaha melahirkan plasenta, sedang sebenarnya bukan terlepas dari uterus. Atonia uteri merupakan penyebab utama perdarahan postpartum. Disamping menyebabkan kematian, perdarahan postpartum memperbesar kemungkinan infeksi puerperal karena daya tahan penderita berkurang. Perdarahan yang banyak bisa menyebabkan Sindroma Sheehan sebagai akibat nekrosis pada hipofisis pars anterior sehingga terjadi insufiensi bagian tersebut dengan gejala : astenia, hipotensi, dengan anemia, turunnya berat badan sampai menimbulkan kakeksia, penurunan fungsi seksual dengan atrofi

alat-alat genital, kehilangan rambut pubis dan ketiak, penurunan metabolisme dengan hipotensi, amenorea dan kehilangan fungsi laktasi. Beberapa hal yang dapat mencetuskan terjadinya atonia meliputi : (5,6,8) Manipulasi uterus yang berlebihan General anestesi (pada persalinan dengan operasi ) Uterus yang teregang berlebihan : o Kehamilan kembar o Fetal macrosomia ( berat janin antara 4500 5000 gram ) o polyhydramnion Kehamilan lewat waktu Partus lama Grande multipara ( fibrosis otot-otot uterus ) Anestesi yang dalam Infeksi uterus ( chorioamnionitis, endomyometritis, septicemia ) Plasenta previa Solutio plasenta

2. Tissue a. Retensio plasenta b. Sisa plasenta c. Plasenta acreta dan variasinya. Apabila plasenta belum lahir setengah jam setelah janin lahir, hal itu dinamakan retensio plasenta. Hal ini bisa disebabkan karena : plasenta belum lepas dari dinding uterus atau plasenta

sudah lepas akan tetapi belum dilahirkan. Jika plasenta belum lepas sama sekali, tidak terjadi perarahan, tapi apabila terlepas sebagian maka akan terjadi perdarahan yang merupakan indikasi untuk mengeluarkannya. Plasenta belum lepas dari dinding uterus karena : Kontraksi uterus kurang kuat untuk melepaskan plasenta ( plasenta adhesiva ) Plasenta melekat erat pada dinding uterus oleh sebab vilis komalis menembus desidua sampai miometrium sampai dibawah peritoneum (plasenta akreta perkreta) Plasenta yang sudah lepas dari dinding uterus akan tetapi belum keluar disebabkan oleh tidak adanya usaha untuk melahirkan atau karena salah penanganan kala III. Sehingga terjadi lingkaran konstriksi pada bagian bawah uterus yang menghalangi keluarnya plasenta ( inkarserasio plasenta ). Sisa plasenta yang tertinggal merupakan penyebab 20-25 % dari kasus perdarahan postpartum. Penemuan Ultrasonografi adanya massa uterus yang echogenic mendukung diagnosa retensio sisa plasenta. Hal ini bisa digunakan jika perdarahan beberapa jam setelah persalinan ataupun pada late postpartum hemorraghe. Apabila didapatkan cavum uteri kosong tidak perlu dilakukan dilatasi dan curettage.

3. Trauma Sekitar 20% kasus perdarahan postpartum disebabkan oleh trauma jalan lahir : a. Ruptur uterus b. Inversi uterus c. Perlukaan jalan lahir d. Vaginal hematom

Ruptur spontan uterus jarang terjadi, faktor resiko yang bisa menyebabkan antara lain grande multipara, malpresentasi, riwayat operasi uterus sebelumnya, dan persalinan dengan induksi oxytosin. Rupture uterus sering terjadi akibat jaringan parut section secarea sebelumnya. Laserasi dapat mengenai uterus, cervix, vagina, atau vulva, dan biasanya terjadi karena persalinan secara operasi ataupun persalinan pervaginam dengan bayi besar, terminasi kehamilan dengan vacuum atau forcep, walau begitu laserasi bisa terjadi pada sembarang persalinan. Laserasi pembuluh darah dibawah mukosa vagina dan vulva akan menyebabkan hematom, perdarahan akan tersamarkan dan dapat menjadi berbahaya karena tidak akan terdeteksi selama beberapa jam dan bisa menyebabkan terjadinya syok. Episiotomi dapat menyebabkan perdarahan yang berlebihan jika mengenai artery atau vena yang besar, jika episitomi luas, jika ada penundaan antara episitomi dan persalinan, atau jika ada penundaan antara persalinan dan perbaikan episitomi. Perdarahan yang terus terjadi ( terutama merah menyala ) dan kontraksi uterus baik akan mengarah pada perdarahan dari laserasi ataupun episitomi. Ketika laserasi cervix atau vagina diketahui sebagai penyebab perdarahan maka repair adalah solusi terbaik. Pada inversion uteri bagian atas uterus memasuki kovum uteri, sehingga fundus uteri sebelah dalam menonjol kedalam kavum uteri. Peristiwa ini terjadi tiba-tiba dalam kala III atau segera setelah plasenta keluar. Inversio uteri dapat dibagi : Fundus uteri menonjol kedalam kavum uteri tetapi belum keluar dari ruang tersebut. Korpus uteri yang terbalik sudah masuk kedalam vagina. Uterus dengan vagina semuanya terbalik, untuk sebagian besar terletak

diluar vagina. Tindakan yang dapat menyebabkan inversion uteri ialah perasat crede pada korpus uteri yang tidak berkontraksi baik dan tarikan pada tali pusat dengan plasenta yang belum lepas dari dinding uterus. Pada penderita dengan syok perdarahan dan fundus uteri tidak ditemukan pada tempat yang lazim pada kala III atau setelah persalinan selesai. Pemeriksaan dalam dapat menunjukkan tumor yang lunak diatas servix uteri atau dalam vagina. Kelainan tersebut dapat menyebabkan keadaan gawat dengan angka kematian tinggi ( 15 70 % ). Reposisi secepat mungkin memberi harapan yang terbaik untuk keselamatan penderita.

4. Thrombin : Kelainan pembekuan darah Gejala-gejala kelainan pembekuan darah bisa berupa penyakit keturunan kelainan pembekuan darah bisa berupa : Hipofibrinogenemia Trombocitopeni Idiopathic thrombocytopenic purpura HELLP syndrome ( hemolysis, elevated liver enzymes, and low platelet count ) Disseminated Intravaskuler Coagulation Dilutional coagulopathy bisa terjadi pada transfusi darah lebih dari 8 unit karena darah donor biasanya tidak fresh sehingga komponen fibrin dan trombosit sudah rusak. ataupun didapat,

Faktor Resiko
Riwayat hemorraghe postpartum pada persalinan sebelumnya merupakan faktor resiko paling besar untuk terjadinya hemorraghe postpartum sehingga segala upaya harus dilakukan untuk menentukan keparahan dan penyebabnya. Beberapa faktor lain yang perlu kita ketahui karena dapat menyebabkan terjadinya hemorraghe postpartum : (6,7,8) 1. Grande multipara 2. Perpanjangan persalinan 3. Chorioamnionitis 4. Kehamilan multiple 5. Injeksi Magnesium sulfat 6. Perpanjangan pemberian oxytocin

Diagnosis
Hemorraghe postpartum digunakan untuk persalinan dengan umur kehamilan lebih dari 20 minggu, karena apabila umur kehamilan kurang dari 20 minggu disebut sebagai aborsi spontan.(7) Beberapa gejala yang bisa menunjukkan hemorraghe postpartum : 1. Perdarahan yang tidak dapat dikontrol 2. Penurunan tekanan darah 3. Peningkatan detak jantung 4. Penurunan hitung sel darah merah ( hematokrit ) 5. Pembengkakan dan nyeri pada jaringan daerah vagina dan sekitar perineum. Perdarahan hanyalah gejala, penyebabnya haruslah diketahui dan ditatalaksana sesuai penyebabnya. 8

Perdarahan postpartum dapat berupa perdarahan yang hebat dan menakutkan sehingga dalam waktu singkat ibu dapat jatuh kedalam keadaan syok. Atau dapat berupa perdarahan yang merembes perlahan-lahan tapi terjadi terus menerus sehingga akhirnya menjadi banyak dan menyebabkan ibu lemas ataupun jatuh kedalam syok.(3) Pada perdarahan melebihi 20% volume total, timbul gejala penurunan tekanan darah, nadi dan napas cepat, pucat, extremitas dingin, sampai terjadi syok. Pada perdarahan sebelum plasenta lahir biasanya disebabkan retensio plasenta atau laserasi jalan lahir, bila karena retensio plasenta maka perdarahan akan berhenti setelah plasenta lahir. Pada perdarahan yang terjadi setelah plasenta lahir perlu dibedakan sebabnya antara atonia uteri, sisa plasenta, atau trauma jalan lahir. Pada pemeriksaan obstretik kontraksi uterus akan lembek dan membesar jika ada atonia uteri. Bila kontraksi uterus baik dilakukan eksplorasi untuk mengetahui adanya sisa plasenta atau laserasi jalan lahir. Berikut langkah-langkah sistematik untuk mendiagnosa perdarahan postpartum: (3) 1. Palpasi uterus : bagaimana kontraksi uterus dan tinggi fundus uteri 2. Memeriksa plasenta dan ketuban : apakah lengkap atau tidak 3. Lakukan ekplorasi kavum uteri untuk mencari : a. Sisa plasenta dan ketuban b. Robekan rahim c. Plasenta succenturiata 4. Inspekulo : untuk melihat robekan pada cervix, vagina, dan varises yang pecah. 5. Pemeriksaan laboratorium : bleeding time, Hb, Clot Observation test dan lain- lain.

Pencegahan Dan Manajemen


1. Pencegahan Perdarahan Postpartum Perawatan masa kehamilan Mencegah atau sekurang-kurangnya bersiap siaga pada kasus-kasus yang disangka akan

terjadi perdarahan adalah penting. Tindakan pencegahan tidak saja dilakukan sewaktu bersalin tetapi sudah dimulai sejak ibu hamil dengan melakukan antenatal care yang baik. Menangani anemia dalam kehamilan adalah penting, ibu-ibu yang mempunyai predisposisi atau riwayat perdarahan postpartum sangat dianjurkan untuk bersalin di rumah sakit.(3) Persiapan persalinan Di rumah sakit diperiksa keadaan fisik, keadaan umum, kadar Hb, golongan darah, dan

bila memungkinkan sediakan donor darah dan dititipkan di bank darah. Pemasangan cateter intravena dengan lobang yang besar untuk persiapan apabila diperlukan transfusi. Untuk pasien dengan anemia berat sebaiknya langsung dilakukan transfusi. Sangat dianjurkan pada pasien dengan resiko perdarahan postpartum untuk menabung darahnya sendiri dan digunakan saat persalinan.(7) Persalinan Setelah bayi lahir, lakukan massae uterus dengan arah gerakan circular atau maju mundur

sampai uterus menjadi keras dan berkontraksi dengan baik. Massae yang berlebihan atau terlalu keras terhadap uterus sebelum, selama ataupun sesudah lahirnya plasenta bisa mengganggu kontraksi normal myometrium dan bahkan mempercepat kontraksi akan menyebabkan kehilangan darah yang berlebihan dan memicu terjadinya perdarahan postpartum.(7) Kala tiga dan Kala empat

10

Uterotonica

dapat

diberikan

segera

sesudah

bahu

depan

dilahirkan.

Study

memperlihatkan penurunan insiden perdarahan postpartum pada pasien yang mendapat oxytocin setelah bahu depan dilahirkan, tidak didapatkan peningkatan insiden terjadinya retensio plasenta. Hanya saja lebih baik berhati-hati pada pasien dengan kecurigaan hamil kembar apabila tidak ada USG untuk memastikan. Pemberian oxytocin selama kala tiga terbukti mengurangi volume darah yang hilang dan kejadian perdarahan postpartum sebesar 40%. Pada umumnya plasenta akan lepas dengan sendirinya dalam 5 menit setelah bayi lahir. Usaha untuk mempercepat pelepasan tidak ada untungnya justru dapat menyebabkan kerugian. Pelepasan plasenta akan terjadi ketika uterus mulai mengecil dan mengeras, tampak aliran darah yang keluar mendadak dari vagina, uterus terlihat menonjol ke abdomen, dan tali plasenta terlihat bergerak keluar dari vagina. Selanjutnya plasenta dapat dikeluarkan dengan cara menarik tali pusat secara hati-hati. Segera sesudah lahir plasenta diperiksa apakah lengkap atau tidak. Untuk manual plasenta ada perbedaan pendapat waktu dilakukannya manual plasenta. Apabila sekarang didapatkan perdarahan adalah tidak ada alas an untuk menunggu pelepasan plasenta secara spontan dan manual plasenta harus dilakukan tanpa ditunda lagi. Jika tidak didapatkan perdarahan, banyak yang menganjurkan dilakukan manual plasenta 30 menit setelah bayi lahir. Apabila dalam pemeriksaan plasenta kesan tidak lengkap, uterus terus di eksplorasi untuk mencari bagian-bagian kecil dari sisa plasenta. Lakukan pemeriksaan secara teliti untuk mencari adanya perlukaan jalan lahir yang dapat menyebabkan perdarahan dengan penerangan yang cukup. Luka trauma ataupun episiotomy segera dijahit sesudah didapatkan uterus yang mengeras dan berkontraksi dengan baik.(5)

11

2. Manajemen Perdarahan Postpartum Tujuan utama pertrolongan pada pasien dengan perdarahan postpartum adalah menemukan dan menghentikan penyebab dari perdarahan secepat mungkin.(8) Terapi pada pasien dengan hemorraghe postpartum mempunyai 2 bagian pokok: (7) a. Resusitasi dan manajemen yang baik terhadap perdarahan Pasien dengan hemorraghe postpartum memerlukan penggantian cairan dan pemeliharaan volume sirkulasi darah ke organ organ penting. Pantau terus perdarahan, kesadaran dan tandatanda vital pasien. Pastikan dua kateler intravena ukuran besar (16) untuk memudahkan dan darah secara bersamaan apabila diperlukan resusitasi cairan cepat. Pemberian cairan : berikan normal saline atau ringer lactate Transfusi darah : bisa berupa whole blood ataupun packed red cell Evaluasi pemberian cairan dengan memantau produksi urine (dikatakan perfusi cairan ke ginjal adekuat bila produksi urin dalam 1jam 30 cc atau lebih) b. Manajemen penyebab hemorraghe postpartum Tentukan penyebab hemorraghe postpartum : Atonia uteri Periksa ukuran dan tonus uterus dengan meletakkan satu tangan di fundus uteri dan lakukan massase untuk mengeluarkan bekuan darah di uterus dan vagina. Apabila terus teraba lembek dan tidak berkontraksi dengan baik perlu dilakukan massase yang lebih keras dan pemberian oxytocin. Pengosongan kandung kemih bisa mempermudah kontraksi uterus dan memudahkan tindakan selanjutnya. Lakukan kompres bimanual apabila perdarahan masih berlanjut, letakkan satu tangan di belakang fundus uteri dan tangan yang satunya dimasukkan lewat jalan lahir dan pemberian cairan

12

ditekankan pada fornix anterior. Pemberian uterotonica jenis lain dianjurkan apabila setelah pemberian oxytocin dan kompresi bimanual gagal menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah ergotamine. Sisa plasenta Apabila kontraksi uterus jelek atau kembali lembek setelah kompresi bimanual ataupun massase dihentikan, bersamaan pemberian uterotonica lakukan eksplorasi. Beberapa ahli menganjurkan eksplorasi secepatnya, akan tetapi hal ini sulit dilakukan tanpa general anestesi kecuali pasien jatuh dalam syok. Jangan hentikan pemberian uterotonica selama dilakukan eksplorasi. Setelah eksplorasi lakukan massase dan kompresi bimanual ulang tanpa menghentikan pemberian uterotonica. Pemberian antibiotic spectrum luas setelah tindakan ekslorasi dan manual removal. Apabila perdarahan masih berlanjut dan kontraksi uterus tidak baik bisa dipertimbangkan untuk dilakukan laparatomi. Pemasangan tamponade uterrovaginal juga cukup berguna untuk menghentikan perdarahan selama persiapan operasi. Trauma jalan lahir Perlukaan jalan lahir sebagai penyebab pedarahan apabila uterus sudah berkontraksi dengan baik tapi perdarahan terus berlanjut. Lakukan eksplorasi jalan lahir untuk mencari perlukaan jalan lahir dengan penerangan yang cukup. Lakukan reparasi penjahitan setelah diketahui sumber perdarahan, pastikan penjahitan dimulai diatas puncak luka dan berakhir dibawah dasar luka. Lakukan evaluasi perdarahan setelah penjahitan selesai. Hematom jalan lahir bagian bawah biasanya terjadi apabila terjadi laserasi pembuluh darah dibawah mukosa, penetalaksanaannya bisa dilakukan incise dan drainase.

13

Apabila hematom sangat besar curigai sumber hematom karena pecahnya arteri, cari dan lakukan ligasi untuk menghentikanperdarahan. Gangguan pembekuan darah Jika manual eksplorasi telah menyingkirkan adanya rupture uteri, sisa plasenta dan perlukaan jalan lahir disertai kontraksi uterus yang baik maka kecurigaan penyebab perdarahan adalah gangguan pembekuan darah. Lanjutkan dengan pemberian product darah pengganti (trombosit, fibrinogen). Terapi pembedahan Laparatomi Pemilihan jenis irisan vertical ataupun horizontal (Pfannenstiel) adalah tergantung operator. Begitu masuk bersihkan darah bebas untuk memudahkan mengeksplorasiuterus dan jaringan sekitarnya untuk mencari tempat rupture uteri ataupun hematom. Reparasi tergantung tebal tipisnya rupture. Pastikan reparasi benarbenar menghentikan perdarahan dan tidak ada perdarahan dalam karena hanya akan menyebabkan perdarahan keluar lewat vagina. Pemasangan drainase apabila perlu. Apabila setelah pembedahan ditemukan uterus intact dan tidak ada perlukaan ataupun rupture lakukan kompresi bimanual disertai pemberian uterotonica. Ligasi arteri Ligasi uteri uterine Prosedur sederhana dan efektif menghentikan perdarahan yang berasal dari uterus karena uteri ini mensuplai 90% darah yang mengalir ke uterus. Tidak ada gangguan aliran menstruasi dan kesuburan.

14

Ligasi arteri ovarii Mudah dilakukan tapi kurang sebanding dengan hasil yang diberikan. Ligasi arteri iliaca interna Efektif mengurangi perdarahan yany bersumber dari semua traktus genetalia dengan mengurangi tekanan darah dan circulasi darah sekitar pelvis. Apabila tidak berhasil menghentikan perdarahan, pilihan berikutnya adalah histerektomi.

Histerektomi Merupakan tindakan curative dalam menghentikan perdarahan yang berasal dari uterus. Total histerektomi dianggap lebih baik dalam kasus ini walaupun subtotal histerektomi lebih mudah dilakukan, hal ini disebabkan subtotal histerektomi tidak begitu efektif menghentikan perdarahan apabila berasal dari segmen bawah rahim, servix,fornix vagina.

Referensi pemberian uterotonica: (7) 1. Pitocin a. Onset in 3 to 5 minutes b. Intramuscular : 10-20 units c. Intravenous : 40 units/liter at 250 cc/hour 2. Ergotamine ( Methergine ) a. Dosing : 0.2 mg IM or PO every 6-8 hour b. Onset in 2 to 5 menit c. Kontraindikasi

15

Hypertens Pregnancy Induced hypertention hypersensitivity 3. Prostaglandin ( Hemabate ) a. Dosing : 0.25 mg Intramuscular or intra myometrium b. Onset < 5 minutes c. Administer every 15 minutes to maximum of 2 mg 4. Misoprostol 600 mcg PO or PR

Atonia Uteri
definisi Atonia uteri (relaksasi otot uterus) adalah Uteri tidak berkontraksi dalam 15 detik setelah dilakukan pemijatan fundus uteri (plasenta telah lahir). (4)

Faktor Penyebab Terjadinya Dalam kasus atonia uteri penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Namun demikian ada beberapa faktor predisposisi yang biasa dikenal. Antara lain: Distensi rahim yang berlebihan Penyebab distensi uterus yang berlebihan antara lain: a. kehamilan ganda b. poli hidramnion c. makrosomia janin (janin besar)

16

Peregangan uterus yang berlebihan karena sebab-sebab tersebut akan mengakibatkan uterus tidak mampu berkontraksi segera setelah plasenta lahir. a. Pemanjangan masa persalinan (partus lama) dan sulit Pada partus lama uterus dalam kondisi yang sangat lelah, sehingga otot-otot rahim tidak mampu melakukan kontraksi segera setelah plasenta lahir. b. Grandemulitpara (paritas 5 atau lebih) Kehamilan seorang ibu yang berulang kali, maka uterus juga akan berulang kali teregang. Hal ini akan menurunkan kemampuan berkontraksi dari uterus segera setelah plasenta lahir. c. Kehamilan dengan mioma uterus Mioma yang paling sering menjadi penyebab perdarahan post partum adalah mioma intra mular, dimana mioma berada di dalam miometrium sehingga akan menghalangi uterus berkontraksi. d. Persalinan buatan (SC, Forcep dan vakum ekstraksi) Persalinan buatan mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi. e. Persalinan lewat waktu Peregangan yang berlebihan ada otot uterus karena besarnya kehamilan, ataupun juga terlalu lama menahan beban janin di dalamnya menjadikan otot uterus lelah dan lemah untuk berkontraksi. f. Infeksi intrapartum Korioamnionitis adalah infeksi dari korion saat intrapartum yang potensial akan menjalar pada otot uterus sehingga menjadi infeksi dan menyebabkan gangguan untuk melakukan kontraksi. g. Persalinan yang cepat Persalainan cepat mengakibatkan otot uterus dipaksa untuk segera mengeluarkan buah kehamilan dengan segera sehingga pada pasca salin menjadi lelah dan lemah untuk berkontraksi.

17

h. Kelainan plasenta Plasenta akreta, plasenta previa dan plasenta lepas prematur mengakibatkan gangguan uterus untuk berkontraksi. Adanya benda asing menghalangi kontraksi yang baik untuk mencegah terjadinya perdarahan. i. Anastesi atau analgesik yang kuat Obat anastesi atau analgesi dapat menyebabkan otot uterus menjadi dalam kondisi relaksasi yang berlebih, sehingga saat dibutuhkan untuk berkontraksi menjadi tertunda atau terganggu. Demikian juga dengan magnesium sulfat yang digunakan untuk mengendalikan kejang pada preeklamsi/eklamsi yang berfungsi sebagai sedativa atau penenang. i. Induksi atau augmentasi persalinan Obat-obatan uterotonika yang digunakan untuk memaksa uterus berkontraksi saat proses persalinan mengakibatkan otot uterus menjadi lelah. j. Penyakit sekunder maternal Anemia, endometritis, kematian janin dan koagulasi intravaskulere diseminata merupakan penyebab gangguan pembekuan darah yang mengakibatkan tonus uterus terhambat untuk berkontraksi.

Tanda Dan Gejala


Tanda dan gejala atonia uteri adalah: a. Perdarahan pervaginam Perdarahan yang terjadi pada kasus atonia uteri sangat banyak dan darah tidak merembes. Yang sering terjadi adalah darah keluar disertai gumpalan, hal ini terjadi karena tromboplastin sudah tidak mampu lagi sebagai anti pembeku darah. b. Konsistensi rahim lunak Gejala ini merupakan gejala terpenting/khas atonia dan yang membedakan atonia dengan penyebab perdarahan yang lainnya. c. Fundus uteri naik Disebabkan adanya darah yang terperangkap dalam cavum uteri dan menggumpal 18

d. Terdapat tanda-tanda syok Tekanan darah rendah, denyut nadi cepat dan kecil, ekstremitas dingin, gelisah, mual dan lain-lain. Pencegahan Atonia Uteri Pemberian oksitosin rutin pada kala III dapat mengurangi risiko perdarahan pospartum lebih dari 40%, dan juga dapat mengurangi kebutuhan obat tersebut sebagai terapi. Manajemen aktif kala III dapat mengurangi jumlah perdarahan dalam persalinan, anemia, dan kebutuhan transfusi darah. Kegunaan utama oksitosin sebagai pencegahan atonia uteri yaitu onsetnya yang cepat, dan tidak menyebabkan kenaikan tekanan darah atau kontraksi tetani seperti ergometrin. Pemberian oksitosin paling bermanfaat untuk mencegah atonia uteri. Pada manajemen kala III harus dilakukan pemberian oksitosin setelah bayi lahir. Aktif protokol yaitu pemberian 10 unit IM, 5 unit IV bonus atau 10-20 unit per liter IV drip 100-150 cc/jam. Analog sintetik oksitosin, yaitu karbetosin, saat ini sedang diteliti sebagai uterotonika untuk mencegah dan mengatasi perdarahan pospartum dini. Karbetosin merupakan obat longacting dan onset kerjanya cepat, mempunyai waktu paruh 40 menit dibandingkan oksitosin 410 menit. Penelitian di Canada membandingkan antara pemberian karbetosin bolus IV dengan oksitosin drip pada pasien yang dilakukan operasi sesar. Karbetosin ternyata lebih efektif dibanding oksitosin.

PenatalaksanaanAtonia Uteri 1. Resusitasi Apabila terjadi perdarahan pospartum banyak, maka penanganan awal yaitu resusitasi dengan oksigenasi dan pemberian cairan cepat, monitoring tanda-tanda vital, monitoring 19

jumlah urin, dan monitoring saturasi oksigen. Pemeriksaan golongan darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan transfusi darah. 2. Masase dan kompresi bimanual Masase dan kompresi bimanual akan menstimulasi kontraksi uterus yang akan menghentikan perdarahan.

Pemijatan fundus uteri segera setelah lahirnya plasenta (max 15 detik) 1) Jika uterus berkontraksi Evaluasi, jika uterus berkontraksi tapi perdarahan uterus berlangsung, periksa apakah perineum / vagina dan serviks mengalami laserasi dan jahit atau rujuk segera 2) Jika uterus tidak berkontraksi maka : Bersihkanlah bekuan darah atau selaput ketuban dari vagina & lobang serviks Pastikan bahwa kandung kemih telah kosong Lakukan kompresi bimanual internal (KBI) selama 5 menit. Jika uterus berkontraksi, teruskan KBI selama 2 menit, keluarkan tangan perlahan-lahan dan pantau kala empat dengan ketat. Jika uterus tidak berkontraksi, maka : Anjurkan keluarga untuk mulai melakukan kompresi bimanual eksternal; Keluarkan tangan perlahanlahan; Berikan ergometrin 0,2 mg LM (jangan diberikan jika hipertensi); Pasang infus menggunakan jarum ukuran 16 atau 18 dan berikan 500 ml RL + 20 unit oksitosin. Habiskan 500 ml pertama secepat mungkin; Ulangi KBI Jika uterus berkontraksi, pantau ibu dengan seksama selama kala empat Jika uterus tidak berkontraksi maka rujuk segera

Kompresi Bimanual Atonia Uteri

20

Peralatan : sarung tangan steril; dalam keadaan sangat gawat; lakukan dengan tangan telanjang yang telah dicuci Teknik : 1. Basuh genetalia eksterna dengan larutan disinfektan; dalam kedaruratan tidak diperlukan 2. Eksplorasi dengan tangan kiri. Sisipkan tinju kedalam forniks anterior vagina 3. Tangan kanan (luar) menekan dinding abdomen diatas fundus uteri dan menangkap uterus dari belakang atas. 4. Tangan dalam menekan uterus keatas terhadap tangan luar Ia tidak hanya menekan uterus, tetapi juga meregang pembuluh darah aferen sehingga menyempitkan lumennya. Kompresi uterus bimanual dapat ditangani tanpa kesulitan dalam waktu 10-15 menit.

Retensio Plasenta
Definisi
Retensio Plasenta o adalah terlambatnya kelahiran plasenta selama setengah jam setelah kelahiran bayi. Plasenta harus dikeluarkan karena dapat menimbulkan bahaya perdarahan, infeksi karena sebagai benda mati, dapat terjadi plasenta inkarserata, dapat terjadi polip plasenta, dan terjadi degenerasi ganas korio karsinoma (Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan, hal. 300). Retensio Plasenta o adalah tertahannya plasenta atau belum lahirnya plasenta liingga atau melebihi waktu 30 menit setelah bayi lahir (Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal, 2002:178). Retensio Plasenta o adalah plasenta belum labir 1/2 jam sesudah anak lahir (Obstetri Patologi, hal. 234).

21

Anatomi
Plasenta berbentuk bundar atau hampir bundar dengan diameter 15 sampai 20 cm dan tebal lebih kurang 2.5 cm, beratnya rata-rata 500 gram. Tali pusat berhubungan dengan plasenta biasanya di tengah (insertion sentralis).

Gambar : anatomi plasenta

Umumnya plasenta terbentuk lengkap pada kehamilan lebih kurang 16 minggu dengan ruang amnion telah mengisi seluruh kavum uteri. Bila diteliti benar, maka plasenta sebenarnya berasal dari sebagian besar dari bagian janin, yaitu vili korialis yang berasal dari korion, dan sebagian kecil dari bagian ibu yang berasal dari desidua basalis. Darah ibu yang berada di ruang interviller berasal dari spiral arteri yang berada di desidua basalis. Pada systole darah disemprotkan dengan tekanan 70-80 mmHg seperti air mancur ke dalam ruang interviller sampai mencapai chorionic plate, pangkal dari kotiledon-kotiledon janin. Darah tersebut membasahi semua vili korialis dan kembali perlahan-lahan, dengan tekanan 8 mmHg ke vena-vena di desidua.

22

Gambar : letak plasenta normal

Plasenta berfungsi sebagai alat yang memberi makanan pada janin, mengeluarkan sisa metabolism janin, membei zat asam dan mengeluarkan CO2, membentuk hormone, serta penyalur berbagai antibodi ke janin.

Insiden
Perdarahan merupakan penyebab kematian nomor satu (40%60%) kematian ibu melahirkan di Indonesia. Insiden perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta dilaporkan berkisar 16%17% Di RSU H. Damanhuri Barabai, selama 3 tahun (19971999) didapatkan 146 kasus rujukan perdarahan pasca persalinan akibat retensio plasenta. Dari sejumlah kasus tersebut, terdapat satu kasus (0,68%) berakhir dengan kematian ibu.

Jenis-Jenis Retensio Plasenta


1. Plasenta Adhesiva adalah implantasi yang kuat dari jonjot korion plasenta sehingga menyebabkan kegagalan 23

mekanisme separasi fisiologis. 2. Plasenta Akreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga memasuki sebagian lapisan miornetrium. 3. Plasenta Inkreta adalah implantasi jonjot korion plasenta hingga mencapai / memasuki miornetnum. 4. Plasenta Perlireta adalah implantasi jonjot korion plasenta yang menembus lapisan otot hingga mencapai lapisan serosa dinding uterus.

Gambar : jenis retensio plasenta

Gambar : jenis retensio plasenta

24

5. Plaserita Inkarserata adalah tertahannya plasenta di dalam kavum uteri disebabkan oleh kontriksi osteum intra uteri.

Etiologi
1. Kelainan dari uterus sendiri, yaitu anomali dari uterus atau serviks; kelemahan dan tidak efektifnya kontraksi uterus; kontraksi yang tetanik dari uterus; serta pembentukan constriction ring. 2. Kelainan dari plasenta, misalnya plasenta letak rendah atau plasenta previa; implantasi di cornu; dan adanya plasenta akreta. 3. Kesalahan manajemen kala tiga persalinan , seperti manipulasi dari uterus yang tidak perlu sebelum terjadinya pelepasan dari plasenta menyebabkan kontraksi yang tidak ritmik; pemberian uterotonik yang tidak tepat waktunya yang juga dapat menyebabkan serviks kontraksi dan menahan plasenta; serta pemberian anestesi terutama yang melemahkan kontraksi uterus.

Patogenesis
Setelah bayi dilahirkan, uterus secara spontan berkontraksi. Kontraksi dan retraksi otot-otot uterus menyelesaikan proses ini pada akhir persalinan. Sesudah berkontraksi, sel miometrium tidak relaksasi, melainkan menjadi lebih pendek dan lebih tebal. Dengan kontraksi yang berlangsung kontinyu, miometrium menebal secara progresif, dan kavum uteri mengecil sehingga ukuran juga mengecil. Pengecilan mendadak uterus ini disertai mengecilnya daerah tempat perlekatan plasenta. Ketika jaringan penyokong plasenta berkontraksi maka plasenta yang tidak dapat berkontraksi mulai terlepas dari dinding uterus. Tegangan yang ditimbulkannya menyebabkan lapis dan desidua spongiosa yang longgar memberi jalan, dan pelepasan plasenta terjadi di tempat itu. Pembuluh darah yang terdapat di uterus berada di antara serat-serat otot miometrium yang saling bersilangan. Kontraksi serat-serat otot ini menekan pembuluh darah dan retraksi otot ini mengakibatkan pembuluh darah terjepit serta perdarahan berhenti. 25

Pengamatan terhadap persalinan kala tiga dengan menggunakan pencitraan ultrasonografi secara dinamis telah membuka perspektif baru tentang mekanisme kala tiga persalinan. Kala tiga yang normal dapat dibagi ke dalam 4 fase, yaitu: 1. Fase laten, ditandai oleh menebalnya dinding uterus yang bebas tempat plasenta, namun dinding uterus tempat plasenta melekat masih tipis. 2. Fase kontraksi, ditandai oleh menebalnya dinding uterus tempat plasenta melekat (dari ketebalan kurang dari 1 cm menjadi > 2 cm). 3. Fase pelepasan plasenta, fase dimana plasenta menyempurnakan pemisahannya dari dinding uterus dan lepas. Tidak ada hematom yang terbentuk antara dinding uterus dengan plasenta. Terpisahnya plasenta disebabkan oleh kekuatan antara plasenta yang pasif dengan otot uterus yang aktif pada tempat melekatnya plasenta, yang mengurangi permukaan tempat melekatnya plasenta. Akibatnya sobek di lapisan spongiosa. 4. Fase pengeluaran, dimana plasenta bergerak meluncur. Saat plasenta bergerak turun, daerah pemisahan tetap tidak berubah dan sejumlah kecil darah terkumpul di dalam rongga rahim. Ini menunjukkan bahwa perdarahan selama pemisahan plasenta lebih merupakan akibat, bukan sebab. Lama kala tiga pada persalinan normal ditentukan oleh lamanya fase kontraksi. Dengan menggunakan ultrasonografi pada kala tiga, 89% plasenta lepas dalam waktu satu menit dari tempat implantasinya. Tanda-tanda lepasnya plasenta adalah sering ada pancaran darah yang mendadak, uterus menjadi globuler dan konsistensinya semakin padat, uterus meninggi ke arah abdomen karena plasenta yang telah berjalan turun masuk ke vagina, serta tali pusat yang keluar lebih panjang. Sesudah plasenta terpisah dari tempat melekatnya maka tekanan yang diberikan oleh dinding uterus menyebabkan plasenta meluncur ke arah bagian bawah rahim atau atas vagina. Kadangkadang, plasenta dapat keluar dari lokasi ini oleh adanya tekanan inter-abdominal. Namun, wanita yang berbaring dalam posisi terlentang sering tidak dapat mengeluarkan plasenta secara spontan. Umumnya, dibutuhkan tindakan artifisial untuk menyempurnakan persalinan kala tinggi. Metode yang biasa dikerjakan adalah dengan menekan dan mengklovasi uterus, bersamaan dengan tarikan ringan pada tali pusat.

26

Gejala Klinis
a. Anamnesis, meliputi pertanyaan tentang periode prenatal, meminta informasi mengenai episode perdarahn postpartum sebelumnya, paritas, serta riwayat multiple fetus dan polihidramnion,. Serta riwayat postpartum sekarang dimana plasenta tidak lepas secara spontan atau timbul perdarahan aktif setelah bayi dilahirkan b. Pada pemeriksaan pervaginam, plasenta tidak ditemukan di dalam kanalis servikalis tetapi secara parsial atau lengkap menempel di dalam uterus.

Pemeriksaan Penunjang
a. Hitung darah lengkap: untuk menentukan tingkat hemoglobin (Hb) dan hematokrit (Hct), melihat adanya trombositopenia, serta jumlah leukosit. Pada keadaan yang disertai dengan infeksi, leukosit biasanya meningkat. b. Menentukan adanya gangguan koagulasi dengan hitung protrombin time (PT) dan activated Partial Tromboplastin Time (aPTT) atau yang sederhana dengan Clotting Time (CT) atau Bleeding Time (BT). Ini penting untuk menyingkirkan perdarahan yang disebabkan oleh faktor lain.

Diagnosis Banding
Meliputi plasenta akreta, suatu plasenta abnormal yang melekat pada miometrium tanpa garis pembelahan fisiologis melalui garis spons desidua.

Penatalaksanaan
Apabila plasenta belum lahir jam setelah anak lahir, harus diusahakan untuk mengeluarkannya. Dapat dicoba dahulu perasat menurut Crede. Tindakan ini sekarang tidak banyak dianjurkan karena memungkinkan terjadinya inversio uteri; tekanan yang keras pada uterus dapat pula menyebabkan perlukaan pada otot uterus dan rasa nyeri keras dengan kemungkinan syok. Akan tetapi, dengan teknik yang sempurna hal-hal itu dapat dihindarkan. 27

1.

Syarat perasat crede Uterus berkontraksi baik dan vesika urinaria kosong

2.

Teknik pelaksanaan Fundus uterus dipegang oleh tangan kanan sedemikian rupa, sehingga ibu jari terletak pada permukaan depan uterus sedangkan jari lainnya pada fundus dan permukaan belakang. setelah uterus dengan rangsangan tangan berkontraksi baik, maka uterus ditekan ke arah jalan lahir. gerakan jari-jari seperti meremas jeruk. perasat Crede tidak boleh dilakukan pada uterus yang tidak berkontraksi karena dapat menimbulkan inversion uteri

Perasat Crede dapat dicoba sebelum meningkat pada pelepasan plasenta secara manual

Salah satu cara lain untuk membantu pengeluaran plasenta adalah cara Brandt. Dengan salah 1 tangan, penolong memegang tali pusat dekat vulva. Tangan yang lain diletakkan pada dinding perut diatas simfisis sehingga permukaan palmar jari-jari tangan terletak di permukaan depan rahim, kira-kira pada perbatasan segmen bawah dan badan rahim. Dengan melakukan tekanan kearah atas belakang, maka badan rahim akan terangkat. Apabila plasenta telah lepas, maka tali pusat tidak tertarik ke atas. Kemudian tekanan di atas simfisis diarahkan ke bawah belakang, ke arah vulva. Pada saat ini dilakukan tarikan ringan pada tali pusat untuk membantu mengeluarkan plasenta. Yang selalu tidak dapat dicegah adalah bahwa plasenta tidak dapat dilahirkan seluruhnya, melainkan sebagian masih ketinggalan yang harus dikeluarkan manual dengan tangan. Teknik Plasenta Manual Sebelum dikerjakan, penderita disiapkan pada posisi litotomi. Keadaan umum penderita diperbaiki sebesar mungkin, atau diinfus NaCl atau Ringer Laktat. Anestesi diperlukan kalau ada constriction ring dengan memberikan suntikan diazepam 10 mg intramuskular. Anestesi ini berguna untuk mengatasi rasa nyeri. Operator berdiri atau duduk dihadapan vulva dengan salah

28

satu tangannya (tangan kiri) meregang tali pusat, tangan yang lain (tangan kanan) dengan jari-jari dikuncupkan membentuk kerucut.

Gambar . Meregang tali pusat dengan jari-jari membentuk kerucut

Dengan ujung jari menelusuri tali pusat sampai plasenta. Jika pada waktu melewati serviks dijumpai tahanan dari lingkaran kekejangan (constrition ring), ini dapat diatasi dengan mengembangkan secara perlahan-lahan jari tangan yang membentuk kerucut tadi. Sementara itu, tangan kiri diletakkan di atas fundus uteri dari luar dinding perut ibu sambil menahan atau mendorong fundus itu ke bawah. Setelah tangan yang di dalam sampai ke plasenta, telusurilah permukaan fetalnya ke arah pinggir plasenta. Pada perdarahan kala tiga, biasanya telah ada bagian pinggir plasenta yang terlepas.

29

Gambar . Ujung jari menelusuri tali pusat, tangan kiri diletakkan di atas fundusSumber :

Melalui celah tersebut, selipkan bagian ulnar dari tangan yang berada di dalam antara dinding uterus dengan bagian plasenta yang telah terlepas itu. Dengan gerakan tangan seperti mengikis air, plasenta dapat dilepaskan seluruhnya (kalau mungkin), sementara tangan yang di luar tetap menahan fundus uteri supaya jangan ikut terdorong ke atas. Dengan demikian, kejadian robekan uterus (perforasi) dapat dihindarkan.

30

Gambar . Mengeluarkan plasenta

Setelah plasenta berhasil dikeluarkan, lakukan eksplorasi untuk mengetahui kalau ada bagian dinding uterus yang sobek atau bagian plasenta yang tersisa. Pada waktu ekplorasi sebaiknya sarung tangan diganti yang baru. Setelah plasenta keluar, gunakan kedua tangan untuk memeriksanya, segera berikan uterotonik (oksitosin) satu ampul intramuskular, dan lakukan masase uterus. Lakukan inspeksi dengan spekulum untuk mengetahui ada tidaknya laserasi pada vagina atau serviks dan apabila ditemukan segera di jahit. Pada plasenta yang sudah lepas, akan tetapi terhalang untuk dilahirkan karena lingkaran konstriksi (inkarserasio plasenta) tangan kiri penolong dimasukkan ke dalam vagina dan ke bagian bawah uterus dengan dibantu oleh anestesi umum untuk melonggarkan konstriksi. Dengan tangan tersebut sebagai petunjuk dimasukkan cunam ovum melalui lingkaran konstriksi untuk memegang plasenta, dan perlahan-lahan plasenta sedikit demi sedikit ditarik ke bawah melalui tempat sempit itu.

31

Gambar : usaha pengeluaran retensio plasenta

Komplikasi Tindakan Plasenta Manual Tindakan plasenta manual dapat menimbulkan komplikasi sebagai berikut : Terjadi perforasi uterus.

Terjadi infeksi : terdapat sisa plasenta atau membran dan bakteria terdorong ke dalam rongga rahim.

Terjadi perdarahan karena atonia uteri.

Untuk memperkecil komplikasi dapat dilakukan tindakan profilaksis dengan :


Memberikan uterotonika intramuskular atau intravena. Memasang tamporiade uterovaginal. Memberikan antibiotika. Memasang infus. Persiapan transfusi darah.

32

Banyak kesulitan dialami dalam pelepasan plasenta pada plasenta akreta, plasenta hanya dapat dikeluarkan sepotong demi sepotong dan bahaya perdarahan serta perforasi mengancam.

Apabila berhubungan dengan kesulitan-kesulitan tersebut di atas akhirnya diagnosis plasenta inkreta dibuat, sebaiknya usaha mengeluarkan plasenta secara bimanual dihentikan, lalu dilakukan histerektomi. Skema Penatalaksanaa Retensio Plasenta RETENSIO PLASENTA Belum lahir setelah jam bayi lahir

Sikap : Evaluasi sebabnya Konsultasi dengan : puskesmas & dokter Merujuk ke : puskesmas atau rumah sakit

Indikasi Plasenta Manual : Perdarahan 400 cc Riwayat retensio plasenta berulang Tindakan dengan narkosa Sejarah habitual HPP (berulang)

Retensio Plasenta tanpa Perdarahan : Perdarahan terlalu banyak Keseimbangan bekuan darah di tempat plasenta lepas. Perlekatan erat Persiapan merujuk penderita Infus cairan pengganti Petugas untuk pertolongan darurat. Keluarga untuk donor darah.

Komplikasi : Antonia uteri Perforasi Perdarahan terus Tamponade gagal Segera merujuk penderita rumah sakit

ke 33

Tindakan di rumah sakit : Perbaikan keadaan umum - Infus transfusi - Antibiotika Tindakan plasenta manual Atau histerektomi.

Komplikasi Retensio Plasenta Komplikasi yang dapat terjadi meliputi 1. Komplikasi yang berhubungan dengan transfuse darah yang dilakukan 2. Multiple organ failure yang berhubungan dengan kolaps sirkulasi dan penurunan perfusi organ. 3. Sepsis 4. Kebutuhan terhadap histerektomi dan hilangnya potensi untuk memiliki anak selanjutnya.

PROGNOSIS Prognosis tergantung dari lamanya, jumlah darah yang hilang, keadaan sebelumnya serta efektifitas terapi. Diagnosa dan penatalaksanaan yang tepat sangat penting.

inversio Uteri
Inversio uteri adalah suatu keadaan dimana uterus terbalik dengan fundus uteri masuk sebagian atau seluruhnya ke dalam kavum uteri, vagina atau keluar dari vulva.5,6

Klasifikasi
Ada beberapa macam klasifikasi dari inversio uteri. A. Berdasarkan gradasi beratnya:5,7 1. Inversio uteri ringan: jika fundus uteri terputar balik menonjol ke dalam kavum uteri, tetapi belum keluar dari kavum uteri. 2. Inversio uteri sedang: jika fundus uteri terbalik masuk ke dalam vagina. 3. Inversio uteri berat: bila semua bagian fundus uteri bahkan terbalik dan sebagian sudah menonjol keluar vagina atau vulva. B. Berdasarkan derajat kelainannya: 3-6,9,16,18

34

1. Derajat satu (inversio uteri subtotal/inkomplit): bila fundus uteri belum melewati kanalis servikalis. 2. Derajat dua (inversio uteri total/komplit): bila fundus uteri sudah melewati kanalis servikalis. 3. Derajat tiga (inversio uteri prolaps): bila fundus uteri sudah menonjol keluar dari vulva. C. Berdasarkan pada waktu kejadian:3,6,17-19, 1. Inversio uteri akut: suatu inversio uteri yang terjadi segera setelah kelahiran bayi atau plasenta sebelum terjadi kontraksi cincin serviks uteri. 2. Inversio uteri subakut: yaitu inversio uteri yang terjadi hingga terjadi kontraksi cincin serviks uteri. 3. Inversio uteri kronis: yaitu inversio uteri yang terjadi selama lebih dari 4 minggu ataupun sudah didapatkan gangren. D. Berdasarkan etiologinya:9,11 1. Inversio uteri nonobstetri 2. Inversio uteri puerpuralis

Etiologi
Penyebab terjadinya inversio uteri belum dapat diketahui sepenuhnya dengan pasti dan dianggap ada kaitannya dengan abnormalitas dari miometrium. Inversio uteri sebagian dapat terjadi apontan dan lebih sering terjadi karena prosedur tindakan persalinan dan kondisi ini tidak selalu dapat dicegah.3-6,19 Berdasarkan etiologinya inversio uteri dibagi menjadi dua, yaitu inversio uteri nonobstetri dan inversio uteri puerperalis.9,11 Pada inversio uteri nonobstetri biasanya diakibatkan oleh perlengketan mioma uteri submukosa yang terlahir, polip endometrium dan sarkoma uteri. yang menarik fundus uteri ke arah bawah yang dikombinasikan dengan kontraksi miometrium yang terus menerus mencoba mengeluarkan mioma seperti benda asing.17,19-22 Faktor-faktor predisposisi terjadinya inversio uteri pada yang berasal dari kavum uteri antara lain; 1. Keluarnya tumor dari kavum uteri yang mendadak, 2. Dinding uterus yang

35

tipis, 3. Dilatasi dari serviks uteri, 4. Ukuran tumor, 5. Ketebalan tangkai dari tumor, 6. Lokasi tempat perlekatan tumor.22 Pada inversio uteri purperalis dapat terjadi secara spontan, tetapi lebih sering disebabkan oleh pertolongan persalinan yang kurang baik.3 Bila terjadi spontan, lebih banyak didapatkan pada kasus-kasus primigravida terutama yang mendapat MgSO4 IV untuk terapi PEB16,17 dan cenderung untuk berulang pada kehamilan berikutnya.2,9,23,24 Hal ini kemungkinan berhubungan dengan abnormalitas uterus atau kelainan kongenital uterus lain. Keadaan lain yang dapat menyebabkan inversio uteri yaitu pada grandemultipara, atau pada keadaan atonia uteri, kelemahan otot kandungan, atau karena tekanan intra abdomen yang meningkat, misalnya ada batuk, mengejan ataupun dapat pula terjadi karena tali pusat yang pendek.3-6 Pada kasus inversio uteri komplit hampir selalu akibat konsekuensi dari tarikan tali pusat yang kuat dari plasenta yang berimplantasi di fundus uteri.14,15,19,23 Inversio uteri karena tindakan atau prosedur yang salah baik kala II ataupun kala III sangat dominan disebabkan oleh faktor penolong (4/5 kasus).20 Dibuktikan bahwa lebih banyak kasus didapatkan oleh tenaga tidak terlatih/dukun beranak dan hampir tidak pernah oleh ahli kebidanan selama prakteknya mendapatkan kasus inversio uteri. Harer dan Sharkly mendapatkan 76% kasus disebabkan oleh teknik penanganan persalinan yang salah.3

Ada beberapa faktor penyebab yang mendukung untuk terjadinya suatu inversio uteri yaitu: A. Faktor predisposisi 12,20,23,25, 1. Abnormalitas uterus a. Plasenta adhesiva b. Tali pusat pendek c. Anomali kongenital (uterus bikornus) d. Kelemahan dinding uterus e. Implantasi plasenta pada fundus uteri (75% dari inversio spontan) f. Riwayat inversio uteri sebelumnya 2. Kondisi fungsional uterus a. Relaksasi miometrium 36

b. Gangguan mekanisme kontraksi uterus c. Pemberian MgSO4 d. Atonia uteri B. Faktor pencetus, antara lain:19,20,25-28 1. Pengeluran plasenta secara manual 2. Peningkatan tekanan intrabdominal, seperti batuk-batuk, bersin, mengejan dan lainlain. 3. Kesalahan penanganan pada kala uri, yaitu: a. Penekanan fundus uteri yang kurang tepat b. Prasat Crede c. Penarikan tali pusat yang kuat d. Penggunaan oksitosin yang kurang bijaksana 4. Partus presipitatus 5. Gemelli

Gejala Klinis Inversio uteri sering kali tidak menampakkan gejala yang khas, sehingga dignosis sering tidak dapat ditegakkan pada saat dini. Syok merupakan gejala yang sering menyertai suatu inversio uteri.7,8 Syok atau gejala-gejala syok terjadi tidak sesuai dengan jumlah perdarahan yang terjadi, oleh karena itu sangat bijaksana bila syok yang terjadi setelah persalinan tidak disertai dengan perdarahan yang berarti untuk memperkirakan suatu inversio uteri6-8 Syok dapat disebabkan karena nyeri hebat, akibat ligamentum yang terjepit di dalam cincin serviks dan rangsangan serta tarikan pada peritoneum atau akibat syok kardiovaskuler.7-9 Perdarahan tidak begitu jelas, kadang-kadang sedikit, tetapi dapat pula terjadi perdarahan yang hebat, menyusul inversio uteri prolaps dimana bila plasenta lepas atau telah lepas perdarahan tidak berhenti karena tidak ada kontraksi uterus. Perdarahan tersebut dapat memperberat keadaan syok yang telah ada sebelumnya 6,7 bahkan dapat menimbulkan kematian. Dilaporkan 90% kematian terjadi dalam dua jam postpartum akibat perdarahan atau syok.8,9 Pada pemeriksaan palpasi, didapatkan cekungan pada bagian fundus uteri, bahkan kadang-kadang fundus uteri tidak dijumpai dimana seharusnya fundus uteri dijumpai pada 37

pemeriksaan tersebut. Pada pemeriksaan dalam teraba tumor lunak di dalam atau di luar serviks atau di dalam rongga vagina, pada keadaan yang berat (komplit) tampak tumor berwarna merah keabuan yang kadang-kadang plasenta masih melekat7-9 dengan ostium tuba dan endometrium berwarna merah muda dan kasar serta berdarah.8,9 Tetapi hal ini dibedakan dengan tumor / mioma uteri submukosa yang terlahir, pada mioma uteri yang terlahir, fundus uteri masih dapat diraba dan berada pada tempatnya serta jarang sekali mioma submukosa ditemukan pada kehamilan dan persalinan yang cukup bulan atau hampir cukup bulan. Pada kasus inversio uteri yang kronis akan didapatkan gangren dan strangulasi jaringan inversio oleh cincin serviks. 9 Mengingat kasus ini jarang didapatkan dan kadang-kadang tanpa gejala yang khas maka perlu ketajaman pemeriksaan dengan cara :8 1. Meningkatkan derajat kecurigaan yang tinggi 2. Palpasi abdomen segera setelah persalinan 3. Periksa dalam 4. Menyingkirkan kemungkinan adanya ruptur uteri

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis inversio uteri didapatkan tanda-tanda sbb : A. Pada penderita pasca persalinan ditemukan : 1. Nyeri yang hebat 2. Syok / tanda-tanda syok, dengan jumlah perdarahan yang tidak sesuai 3. Perdarahan 4. Nekrosis / gangren / strangulasi B. Pada pemeriksaan dalam didapatkan : 1. Bila inversio uteri ringan didapatkan fundus uteri cekung ke dalam 2. Bila komplit, di atas simfisis uterus tidak teraba lagi, sementara di dalam vagina teraba tumor lunak 3. Kavum uteri tidak ada ( terbalik )

Penatalaksanaan

38

Mengingat bahaya syok dan kematian maka pencegahan lebih diutamakan pada persalinan serta menangani kasus secepat mungkin setelah diagnosis ditegakkan. A. Pencegahan3,4,11 1. Dalam memimpin persalinan harus dijaga kemungkinan timbulnya inversio uteri, terutama pada wanita dengan predisposisinya. 2. Jangan dilakukan tarikan pada tali pusat dan penekanan secara Crede sebelum ada kontraksi. 3. Penatalaksaan aktif kala III dapat menurunkan insiden inversio uteri. 4. Tarikan pada tali pusat dilakukan bila benar-benar plasenta sudah lepas. B. Pengobatan7 1. Perbaikan keadaan umum dan atasi komplikasi 2. Reposisi.1,2 Pada kasus yang akut biasanya dicoba secara manual dan bila gagal dilanjutkan metode operatif, sedangkan pada kasus yang subakut dan kronis biasanya dilakukan reposisi dengan metode operatif. a. Manual : cara Jones, Johnson, OSullivan b. Operatif: - Transabdominal : cara Huntington, Haulstain - Transvaginal : cara Spinelli, Kustner, Subtotal histerektomi

Keberhasilan penatalaksanaan dari inversio uteri tergantung dari deteksi penyakit yang lebih cepat. Semakin lama uterus terbalik maka semakin sulit untuk

mengembalikannnya. Terapi terhadap hipovolemia dan syok sebaiknya diberikan segera dengan jarum intravena besar (18) dan penggantian cairan.23 Penggantian cairan yang hilang diberikan dengan larutan kristaloid selama 15-30 menit. Volume dari resusitasi awal dihitung sebanyak tiga kali dari perkiraan darah yang hilang. Dipertimbangkan untuk memasang akses intravena tambahan, kesiapan anestesia, persiapan kamar operasi, dan asisten bedah. Lakukan pemeriksaan hemoglobin dan hematokrit dan faktor pembekuan, golongan darah. Lakukan transfusi darah. Monitor tanda vital ibu sesering mungkin oleh satu individu. Pasang kateter menetap untuk menilai pengeluaran urin. Pemberian antibiotika bermanfaat untuk mencegah timbulnya sepsis paskapersalinan.23 39

Oksitosin sebaiknya ditunda dan dicoba resposisi uterus secara manual melalui vagina. Kebanyakan penulis merekomendasikan usaha reposisi secara manual sebelum plasenta dilepaskan dan sebelum tindakan reposisi secara operatif dilakukan.29 Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi intrauterin, pasien beresiko untuk mengalami kehilangan darah dan syok. Plasenta biasanya akan mudah dilepaskan setelah reposisi.

A. Reposisi manual cara Johnson Pada kebanyakan kasus plasenta telah lepas, jika plasenta belum lepas atau sudah lepas tetapi belum dilahirkan maka plasenta dilepaskan setelah reposisi berhasil atau dilakukan bersama-sama. Bila plasenta dilepaskan sebelum reposisi maka dapat terjadi perdarahan hebat. Reposisi manual yang tervaforit adalah dengan metode Johnson (1949). Teknik dari metode Johnson yaitu memasukkan seluruh tangan ke dalam jalan lahir, sehingga ibu jari dan jari-jari yang lain pada cervical utero junction dan fundus uteri dalam telapak tangan. Uterus diangkat ke luar dari rongga pelvis dan dipertahankan di dalam rongga abdomen setinggi umbilikus. Tindakan ini membuat peregangan dan tarikan pada ligamentum rotundum akan memperlebar cincin servik, selanjutnya akan menarik fundus uteri ke arah luar melewati cekungan. Bila spasme miometrium dan kontriksi cincin menghambat reposisi dapat diberikan anestesi seperti halothane atau tokolitik . MgSO4 dapat diberikan intravena 1 g permenit selama 4 menit. Bila tidak efektif dapat diberikan terbutaline 0,125-0,25 mg intravena,9,18,32 ritrodrine 0,150 mg intravena. Bahkan nitroglycerin dapat digunakan untuk secara efektif merelaksasikan cincin konstriksi menggantikan kebutuhan akan anestesia umum.Untuk mendapatkan hasil yang memuaskan maka posisi tersebut dipertahankan selama 3 5 menit hingga fundus uteri berangsur angsur bergeser dari telapak tangan. Setelah uterus direposisi, tangan operator tetap didalam kavum uteri hingga timbul kontraksi uterus yang keras dan hingga diberikan oksitosin intravena.3-6,8,9,13-15,33-35 Beberapa penulis menganjurkan pemberian oksitosin atau ergot alkaloid dan pemasangan tampon uterovaginal diteruskan sampai 24 jam.17,19 Pada keadaan dimana kontraksi uterus tetap lemah dapat ditambahkan dengan injeksi Prostin 15M (15[s]-15 methyl prostaglandin) intravenous.2,32

40

B. Reposisi manual cara Jones Jari tangan yang terbungkus handscoen ditempatkan pada bagian tengah dari fundus uteri yang terbalik, sementara itu diberikan tekanan ke atas secara lambat. Sementara itu serviks ditarik dengan arah yang berlawanan dengan ring forceps.9 C. Reposisi manual cara OSullivan OSullivan pertama kali menggunakan tekan hidrostatis untuk mereposisi inversio uteri pueperalis (1945). Dua liter cairan garam fisiologis ditempat pada tiang infus dan lebih kurang dua meter dari permukaan lantai. Dua buah tube karet ditempatkan pada fornik posterior vagina. Sementara itu cairan dibiarkan mengalir cepat, dan tangan operator menutup introitus untuk mencegah keluar cairan. Dinding vagina mulai teregang dan fundus uteri mulai terangkat. Setelah inversio terkoreksi, cairan dalam vagina dikeluarkan secara lambat. Kemudian pasien diberi 0,5 mg ergonovine intravena. Lalu diberikan infus 1000 cc dekstrose 5% dengan oksitosin 20 unit. Reposisi dari uterus biasanya didapatkan dalam 5-10 menit. 8,9,14,20,36

D. Reposisi operatif cara Huntington Pada tindakan reposisi operatif perabdominam sebaiknya dicoba dahulu dengan cara Huntington. Pendekatan Huntington yaitu setelah tindakan laparatomi dilanjutkan dengan menarik fundus uteri secara bertahap dengan bantuan forsep Allis. Forsep Allis dipasang + 2 cm di bawah cincin pada kedua sisinya, kemudian ditarik ke atas secara bertahap sampai fundus uteri kembali pada posisinya semula. Selain tarikan ke atas maka dorongan dari luar ( pervaginam ) oleh asisten akan mempermudah pelaksanaan prosedeur tersebut.3-6,9,34,37

E. Reposisi operatif cara Haultin Pada reposisi dengan cara Haultin, dilakukan insisi longitudinal sepanjang dinding posterior uterus dan melalui cincin kontriksi. Jari kemudian dimasukkan melalui insisi ke titik di bawah fundus uteri yang terbalik dan diberikan tekanan pada fundus atau tekanan secara simultan dari tangan asisten. Bila reposisi telah komplit, luka insisi dijahit dengan jahitan terputus dengan chromic.9,35 41

F. Reposisi operatif cara Spinelli Tindakan operatif menurut Spinelli dilakukan pervaginam yaitu dengan cara dinding anterior vagina dibuat tegang berlawanan dengan arah tarikan dari retraktor dan dilakukan insisi transversal tepat di atas portio anterior. Kemudian plika kandung kemih dipisahkan dari serviks dan segmen bawah rahim. Insisi mediana dibuat melalui serviks pada jam 12, secara komplit membagi cincin konstriksi. Insisi dilakukan pada linea mediana sampai fundus uteri. Uterus dibalik dengan cara telunjuk mengait ke dalam insisi pada permukaan endometrium yang terbuka dan membuat tekanan yang berlawanan dengan ibu jari pada bagian peritoneal. Uterus direposisi seperti pada gambar 7.9 G. Reposisi operatif cara Kustner Tindakan operatif menurut Kustner dilakukan pada inversio uteri kronis. Dengan cara membuka dinding posterior kavum douglas. Dilakukan kolpotomi transversa transvaginal dengan insisi sedalam ketebalan serviks pada jam 6 sampai dinding posterior uterus. Insisi dibuat sepanjang garis putus-putus seperti pada gambar 8. Kemudian dengan menggunakan ibu jari uterus direversi sepanjang sisi insisi. Setelah uterus direversi, insisi dinding posterior uterus dan servik diperbaiki, demikian juga dengan insisi transversa dan kolpotomi pada vagina. Luka ditutup dengan jahitan terputus dan uterus ditempatkan kembali ke dalam kavum pelvis. Bila inversio uteri sudah terjadi gangren atau inversio uteri terjadi pada wanita yang usianya sudah mendekati akhir masa reproduksi dapat dilakukan histerektomi pervaginam.2,6,16 Kerugian dari teknik ini adalah mempunyai resiko yang besar untuk terjadinya perlengketan pelvis. Pada kehamilan selanjutnya dapat terjadi ruprura uteri yang tersembunyi.

H.

Subtotal vaginal histerektomi Dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus dengan benang zeyde no.1 untuk hemostasis. Kemudian dilakukan sayatan melingkar pada korpus uterus distal 42

dari jahitan sedikit demi sedikit sehingga tidak mengenai organ adneksa yang terperangkap di kantung inversio. Perdarahan yang terjadi dirawat. Keadaan pangkal tuba ovarium, ligamentum rotundum dan jaringan lain dievaluasi. Dengan bantuan sonde transuretra diidentifikasi vesika urinaria. Selanjutnya dilakukan jahitan seperti rantai melingkari korpus uterus tahap II kurang lebih 2 cm di luar introitus vagina. Setelah itu dilakukan pemotongan melingkar lagi terhadap korpus uterus di bagian distal jahitan tahap II. Langkah selanjutnya kedua ligamen rotundum diklem, dipotong dan dijahit dengan chromic catgut no.2. Jika diyakini tidak ada perdarahan, tunggul uterus dimasukkan ke dalam vagina. Operasi selesai.17

Prognosis
Walaupun inversio uteri kadang-kadang terjadi tanpa banyak gejala dan penderita tetap dalam keadaan baik, tetapi sebaliknya dapat pula terjadi keadaan darurat sampai terjadi kematian penderita baik karena syoknya sendiri ataupun karena perdarahannya. Kematian karena kasus inversio uteri cukup tinggi yaitu 15 75% dari kasus. Oleh karena itu makin cepat dan tepat diagnosis ditegakkan dan segera dilakukan tindakan reposisi, maka prognosisnya makin baik. Sebaliknya makin lambat diatasi maka prognosisnya menjadi buruk. Akan tetapi bila penderita dapat bertahan dengan keadaan tersebut setelah 48 jam maka prognosisnya berangsur angsur menjadi baik.3,13,14

Ruptur Uteri
Definisi Ruptur Uteri adalah robekan pada rahim sehingga rongga uterus dan rongga peritoneum dapat berhubungan. Yang dimaksud dengan ruptur uteri komplit adalah keadaan robekan pada rahim dimana telah terjadi hubungan langsung antara rongga amnion dan rongga peritoneum. Peritoneum viserale dan kantong ketuban keduanya ikut ruptur dengan demikian janin sebagia atau seluruh tubuhnya telah keluar oleh kontraksi terakhir rahim dan berada dalam kavum peritonei atau rongga abdomen. 43

Pada ruptura uteri inkomplit hubungan kedua rongga tersebut masih dibatasi oleh peritoneum viserale. Pada keadaan yang demikian janin belum masuk ke dalam rongga peritoneum. Apabila pada rupture uteri peritoneum pada permukaan uterus ikut robek, hal tersebut dinamakan rupture uteri komplet. Pada dehisens (regangan) dari parut bekas bedah sesar kantong ketuban juga belum robek, tetapi jika kantong ketuban ikut robek maka disebut telah terjadi ruputura uteri pada parut. Dehisens bisa berubah jadi ruputura pada waktu partus atau akibat manipulasi pada rahim yang berparut, biasanya bekas bedah sesar yang lalu. Dehisens terjadi perlahan, sedangkan ruptura uteri terjadi secara dramatis. Pada dehisens perdarahan minimal atau tidak berdarah, sedangkan pada ruptur uteri perdarahannya banyak yang berasal dari pinggir parut atau robekan baru yang meluas.

Epidemiologi
Terjadinya rupture uteri pada seorang ibu hamil atau sedang bersalin masih merupakan suatu bahaya besar yang mengancam jiwanya dan janinya. Kematian ibu dan anak akibat rupture uteri masih tinggi. Sebuah kajian deskriptif tentang profil kematian janin dalam rahim di RS Hasan Sadikin, Bandung periode 2000-2002 mendapatkan 168 kasus kematian janin dalam rahim dari 2974 persalinan. Penyebab kematian janin dalam rahim paling tinggi oleh karena faktor ibu yaitu ibu dengan penyulit kehamilan ruptur uteri dan penyulit medis diabetes melitus. Lebih lanjut, dilakukan pula evaluasi kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin dan 3 rumah sakit jejaringnya pada periode 1999-2003. Hasilnya, insiden kasus ruptur uteri di RS Hasan Sadikin 0,09% (1 : 1074). Insiden di rumah sakit jejaring sedikit lebih tinggi yaitu 0,1% (1:996). Di RSHS, tidak didapatkan kematian ibu, sedangkan di 3 rumah sakit jejaring didapatkan sebesar 0,4%. Sebaliknya, kematian perinatal di RSHS mencapai 90% sedangkan di rumah sakit jejaring

44

100%. Maka dari itu dapat disimpulkan, kasus ruptur uteri memberi dampak yang negatif baik pada kematian ibu maupun bayi.

Klasifikasi
1. Menurut sebabnya : a. Kerusakan atau anomali uterus yang telah ada sebelum hamil i. pembedahan pada miometrium : seksio sesarea atau histerektomi, histerorafia, miomektomi yang sampai menembus seluruh ketebalan otot uterus, reseksi pada kornua uterus atau bagian interstisial, metroplasti. ii. Trauma uterus koinsidensial : instrumentasi sendok kuret atau sonde pada penanganann abortus, trauma tumpul atau tajam seperti pisau atau peluru, ruptur tanpa gejala pada kehamilan sebelumnya (silent rupture in previous pregnancy). iii. Kelainan bawaan : kehamilan dalam bagian rahim (born) yang tidak berkembang b. Kerusakan atau anomali uterus yang terjadi dalam kehamilan i. sebelum kelahiran anak : his spontan yang kuat dan terus menerus, pemakaian oksitosin atau prostaglandin untuk merangsang persalinan, trauma luar tumpul atau tajam, versi luar, pembesaran rahim yang berlebihan misalnya hidramnion atau kehamilan ganda. ii. Dalam periode intrapartum : versi-ekstraksi, ekstraksi cunam yang sukar, ekstraksi bokong, anomali janin yang menyebabkan distensi berlebihan

45

pada segmen bawah rahim, tekanan kuat pada uterus dalam persalinan, kesulitan dalam melakukan manual plasenta. iii. Cacat rahim yang didapat : plasenta inkreta atau perkreta, neoplasia trofoblas, inkarserata. 2. Menurut Lokasinya : a. Korpus uteri, ini biasanya terjadi pada rahim yang sudah pernah mengalami operasi seperti seksio sesarea klasik ( korporal ), miemektomi b. Segmen bawah rahim ( SBR ), ini biasanya terjadi pada partus yang sulit dan lama tidak maju, SBR tambah lama tambah regang dan tipis dan akhirnya terjadilah ruptur uteri yang sebenarnya c. Serviks uteri ini biasanya terjadi pada waktu melakukan ekstraksi forseps atau versi dan ekstraksi sedang pembukaan belum lengkap d. Kolpoporeksis, robekan-robekan di antara serviks dan vagina. 3. Menurut etiologinya : a. Ruptur uteri spontanea Rupture uteri spontanea dapat terjadi akibat dinding rahim yang lemah seperti pada bekas operasi sesar, bekas miomektomi, bekas perforasi tindakan kuret atau bekas tindakan plasenta manual. Rupture uteri spontan dapat pula terjadi akibat peregangan luar biasa dari rahim seperti pada ibu dengan panggul sempit, janin yang besar, kelainan kongenital dari janin, kelainan letak janin, grandemultipara dengan perut gantung (pendulum) serta pimpinan persalinan yang salah. b. Ruptur uteri violenta gestasional, adenomiosis, retroversio uterus gravidus

46

Rupture uteri violenta dapat terjadi akibat tindakan tindakan seperti misalnya Ekstraksi forceps, versi dan ekstraksi ,embriotomi ,braxton hicks version, manual plasenta,kuretase ataupun trauma tumpul dan tajam dari luar.

Etiologi
Ruptura uteri bisa disebabkan oleh anomali atau kerusakan yang telah ada sebelumnya, karena trauma, atau sebagai komplikasi persalinan pada rahim yang masih utuh. Paling sering terjadi pada rahim yang telah diseksio sesarea pada persalinan sebelumnya. Lebih lagi jika pada uterus yang demikian dilakukan partus percobaan atau persalinan dirangsang dengan oksitosin atau sejenisnya.

Pasien yang berisiko tinggi antara lain : A. persalinan yang mengalami distosia, grande multipara, penggunaan oksitosin atau prostaglandin untuk mempercepat persalina B. pasien hamil yang pernah melahirkan sebelumnya melalui bedah seksio sesarea atau operasi lain pada rahimnya C. pernah histerorafi D. pelaksanaan trial of labor terutama pada pasien bekas seksio sesarea, dan sebagainya. Oleh sebab itu, untuk pasien dengan panggul sempit atau bekas seksio sesarea klasik berlaku adagium Once Sesarean Section always Sesarean Section. Pada keadaan tertentu seperti ini dapat dipilih elective cesarean section (ulangan) untuk mencegah ruputura uteri dengan syarat janin sudah matang.

47

Gambar . Klasik dan low transverse insisi pada bedah sesar (

Patofisiologi
Saat his korpus uteri berkontraksi dan mengalami retraksi. Dengan demikian, dinding korpus uteri atau segmen atas rahim menjadi lebih tebal dan volume korpus uteri menjadi lebih kecil. Akibatnya tubuh janin yang menempati korpus uteri terdorong ke dalam segmen bawah rahim. Segmen bawah rahim menjadi lebih lebar dan karenanya dindingnya menjadi lebih tipis karena tertarik keatas oleh kontraksi segmen atas rahim yang kuat, berulang dan sering sehingga lingkaran retraksi yang membatasi kedua segmen semakin bertambah tinggi. Apabila bagian terbawah janin tidak dapat turun oleh karena suatu sebab (misalnya : panggul sempit atau kepala besar) maka volume korpus yang bertambah mengecil pada waktu ada his harus diimbangi perluasan segmen bawa rahim ke atas. Dengan demikian lingkaran retraksi fisiologis semakin meninggi kearah pusat melewati batas fisiologis menjadi patologis yang disebut lingkaran bandl (ring van bandl). Ini terjadi karena, rahim tertarik terus menerus kearah proksimal tetapi tertahan dibagian distalnya oleh serviks yang dipegang ditempatnya oleh 48

ligamentum ligamentum pada sisi belakang (ligamentum sakrouterina), pada sisi kanan dan kiri (ligamentum cardinal) dan pada sisi dasar kandung kemih (ligamentum vesikouterina). Jika his berlangsung terus menerus kuat, tetapi bagian terbawah janin tidak kunjung turun lebih ke bawah, maka lingkaran retraksi semakin lama semakin tinggi dan segmen bawah rahim semakin tertarik ke atas dan dindingnya menjadi sangat tipis. Ini menandakan telah terjadi rupture uteri iminens dan rahim terancam robek. Pada saat dinding segmen bawah rahim robek spontan dan his berikutnya dating, terjadilah perdarahan yang banyak (rupture uteri spontanea). Ruptur uteri pada bekas seksio sesarea lebih sering terjadi terutama pada parut pada bekas seksio sesarea klasik dibandingkan pada parut bekas seksio sesarea profunda. Hal ini disebabkan oleh karena luka pada segmen bawah uterus yang tenang pada saat nifas memiliki kemampuan sembuh lebih cepat sehingga parut lebih kuat. Ruptur uteri pada bekas seksio klasik juga lebih sering terjadi pada kehamilan tua sebelum persalinan dimulai sedangkan pada bekas seksio profunda lebih sering terjadi saat persalinan. Rupture uteri biasanya terjadi lambat laun pada jaringan jaringan di sekitar luka yang menipis kemudian terpisah sama sekali. Disini biasanya peritoneum tidak ikut serta, sehingga terjadi rupture uteri inkompleta. Pada peristiwa ini perdarahan banyak berkumpul di ligamentum latum dan sebagian lainnya keluar.

Diagnosis
Ruptura uteri iminens mudah dikenal pada ring van Bandl yang semakin tinggi dan segmen bawah rahim yang tipis dan keadaan ibu yang gelisah takut karena nyeri abdomen atau his kuat yang berkelanjutan disertai tanda-tanda gawat janin. Gambaran klinik ruptura uteri adalah khas sekali. Oleh sebab itu pada umumnya tidak sukar menetapkan diagnosisnya atas

49

dasar tanda-tanda klinik yang telah diuraikan. Untuk menetapkan apakah ruptura uteri itu komplit perlu dilanjutkan dengan periksa dalam. Pada ruptura uteri komplit jari-jari tangan pemeriksa dapat menemukan beberapa hal berikut : 1. jari jari tangan dalam bisa meraba permukaan rahim dan dinding perut yang licin 2. dapat meraba pinggir robekan, biasanya terdapat pada bagian depan di segmen bawah rahim 3. dapat memegang usus halus atau omentum melalui robekan 4. dinding perut ibu dapat ditekan menonjol ke atas oleh ujung-ujung jari-jari tangan dalam sehingga ujung jari-jari tangan luar saling mudah meraba ujung jari-jari tangan dalam.

Gambar . Ring van Bandle

Gejala klinis
Gejala Saat Ini : o Nyeri Abdomen dapat tiba-tiba, tajam dan seperti disayat pisau. Apabila terjadi ruptur sewaktu persalinan, konstruksi uterus yang intermitten, kuat dapat berhenti dengan tiba-tiba. Pasien mengeluh nyeri uterus yang menetap. o Perdarahan Pervaginam dapat simptomatik karena perdarahan aktif dari pembuluh darah yang robek. o berhentinya persalinan dan syok 50

o Nyeri bahu dapat berkaitan dengan perdarahan intraperitoneum. Riwayat Penyakit Dahulu Ruptur uteri harus selalu diantisipasi bila pasien memberikan suatu riwayat paritas tinggi, pembedahan uterus sebelumnya, seksio sessaria atau miomektomi. Pemeriksaan Umum Takikardi dan hipotensi merupakan indikasi dari kehilangan darah akut, biasanya perdarahan eksterna dan perdarahan intra abdomen. Pemeriksaan Abdomen o Sewaktu persalinan, kontur uterus yang abnormal atau perubahan kontur uterus yang tiba-tiba dapat menunjukkan adanya ekstrusi janin.Kontraksi uterus dapat berhenti dengan mendadak dan bunyi jantung janin tiba-tiba menghilang. o Sewaktu atau segera melahirkan, abdomen sering sangat lunak, disertai dengan nyeri lepas mengindikasikan adanya perdarahan intraperitoneum. Pemeriksaan Pelvis o Menjelang kelahiran, bagian presentasi mengalami regresi dan tidak lagi terpalpasi melalui vagina bila janin telah mengalami ekstrusi ke dalam rongga peritoneum. o Perdarahan pervaginam mungkin hebat. o Ruptur uteri setelah melahirkan dikenali melalui eksplorasi manual segmen uterus bagian bawah dan kavum uteri.Segmen uterus bagian bawah merupakan tempat yang paling lazim dari ruptur.

Komplikasi
51

Syok hipovolemik karena perdarahan yang hebat dan sepsis akibat infeksi adalah dua komplikasi yang fatal pada peristiwa ruptura uteri. Syok hipovolemik terjadi bila pasien tidak segera mendapat infus cairan kristaloid yang banyak untuk selanjutnya dalam waktu yang cepat digantikan dengan transfusi darah segar. Darah segar mempunyai kelebihan selain menggantikan darah yang hilang juga mengandung semua unsur atau faktor pembekuan dan karena itu lebih bermanfaat demi mencegah dan memngatasi koagulopati dilusional akibat pemberian cairan kristaloid yang umumnya banyak diperlukan untuk mengatasi atau mencegah gangguan keseimbangan elektrolit antar-kompartemen cairan dalam tubuh dalam menghadapi syok hipovolemik. Infeksi berat umumnya terjadi pada pasien kiriman dimana ruptura uteri telah terjadi sebelum tiba di rumah sakit dan telah mengalami berbagai manipulasi termasuk periksa dalam yang berulang. Jika dalam keadaan yang demikian pasien tidak segera memperoleh terapi antibiotika yang sesuai, hampir pasti pasien akan menderita peritonitis yang luas dan menjadi sepsis pasca bedah. Sayangnya hasil pemeriksaan kultur dan resistensi bakteriologik dari sampel darah pasien baru diperoleh beberapa hari kemudian. Antibiotika spektrum luas dalam dosis tinggi biasanya diberikan untuk mengantisipasi kejadian sepsis. Syok hipovolemik dan sepsis merupakan sebab-sebab utama yang meninggikan angka kematian maternal dalam obstetrik. Meskipun pasien bisa diselamatkan, morbiditas dan kecacatan tetap tinggi. Histerektomi merupakan cacat permanen, yang pada kasus yang belum punya anak hidup meninggalkan sisa trauma psikologis yang berat dan mendalam. Jalan keluar bagi kasus ini untuk mendapatkan keturunan tinggal satu pilihan melalui assisted reproductive technology termasuk pemanfaatan surrogate mother yang hanya mungkin dikerjakan pada rumah sakit tertentu dengan biaya tinggi dan dengan keberhasilan yang belum sepenuhnya menjanjikan serta dilema etik. Kematian

52

maternal dan/atau perinatal yang menimpa sebuah keluarga merupakan komplikasi sosial yang sulit mengatasinya.

Penatalaksanaan
Dalam menghadapi masalah ruptura uteri semboyan prevention is better than cure sangat perlu diperhatikan dan dilaksanakan oleh setiap pengelola persalinan di mana pun persalinan itu berlangsung. Pasien risiko tinggi haruslah dirujuk agar persalinannya berlangsung di rumah sakit yang mempunyai fasilitas yang cukup dan berpengalaman. Bila telah terjadi ruptura uteri tindakan terpilih hanyalah histerektomi dan resusitasi serta antibiotika yang sesuai. Diperlukan infus cairan kristaloid dan transfusi darah yang banyak, tindakan antisyok, serta pemberian antibiotika spektrum luas, dan sebagainya. Tindakan tindakan pada rupture uteri : a. Histerektomi Histerektomi adalah operasi pengangkatan kandungan (rahim dan uterus) pada seorang wanita, sehingga setelah menjalani operasi ini dia tidak bisa lagi hamil dan mempunyai anak. Histerektomi dapat dilakukan melalui irisan pada bagian perut atau melalui vagina. Pilihan ini bergantung pada jenis histerektomi yang akan dilakukan, jenis penyakit yang mendasari, dan berbagai pertimbangan lainnya. Ada beberapa jenis histerektomi yang perlu kita ketahui. Berikut ini adalah penjelasannya : o Histerektomi parsial (subtotal). Pada histerektomi jenis ini, rahim diangkat, tetapi mulut rahim (serviks) tetap dibiarkan. Oleh karena itu, penderita masih dapat terkena kanker mulut rahim sehingga masih perlu pemeriksaan pap smear (pemeriksaan leher rahim) secara rutin.

53

o Histerektomi total. Pada histerektomi ini, rahim dan mulut rahim diangkat secara keseluruhannya. o Histerektomi dan salfingo-ooforektomi bilateral. Histerektomi ini mengangkat uterus, mulut rahim, kedua tuba fallopii, dan kedua ovarium. o Histerektomi radikal. Histerektomi ini mengangkat bagian atas vagina, jaringan, dan kelenjar limfe disekitar kandungan. Operasi ini biasanya dilakukan pada beberapa jenis kanker tertentu untuk bisa menyelamatkan nyawa penderita.

Gambar Macam Histerektomi b. Histerorafi

Histerorafi adalah tindakan operatif dengan mengeksidir luka dan dijahit dengan sebaikbaiknya. Jarang sekali bisa dilakukan histerorafia kecuali bila luka robekan masih bersih dan rapi pasiennya belum punya anak hidup.

54

Prognosis
Prognosis bergantung pada apakah ruptur uteri pada uterus yang masih utuh atau pada bekas seksio sesarea atau suatu dehisens. Bila terjadi pada bekas seksio sesarea atau pada dehisens perdarahan yang terjadi minimal sehingga tidak sampai menimbulkan kematian maternal dan kematian perinatal. Faktor lain yang mempengaruhi adalah kecepatan pasien menerima tindakan bantuan yang tepat dan cekatan. Ruptura uteri spontan dalam persalinan pada rahim yang tadinya masih utuh mengakibatkan robekan yang luas dengan pinggir luka yang tidak rata dan bisa meluas ke lateral dan mengenai cabang-cabang arteri uterina atau ke dalam ligamentum latum atau meluas ke atas atau ke vagina disertai perdarahan yang banyak dengan mortalitas maternal yang tinggi dan kematian yang jauh lebih tinggi.

55

Ruptur perineum
Definisi Ruptur adalah robekan atau koyaknya jaringan secara paksa,3Perineum adalah bagianyang terletak antara vulva dan anus panjangnya rata-rata 4 cm.2 Robekan perineum terjadi pada hampir semua persalinan dan tak jarang juga pada persalinan berikutnya. Robekan ini dapat dihindarkan atau dikurangi dengan menjaga jangan sampai dasar panggul dilalui oleh kepala janin dengan cepat. Sebaliknya kepala janin yang akan lahir jangan ditahan terlampau kuat dan lama, karena akan menyebabkan asfiksia dan perdarahan dalam tengkorak janin, dan melemahkan otot-otot dan fasia pada dasar panggul karena diregangkan terlalu lama. Robekan perineum umumnya terjadi di garis tengah dan bias menjadi luas apabila kepala janin lahir terlalu cepat, sudut arkus pubis lebih kecil daripada biasa sehingga kepala janin terpaksa lahir lebih ke belakang dari pada biasa, kepala janin melewati pintu bawah panggul dengan ukuran yang lebih besar daripada sirkumferensia suboksipito-bregmatika, atau anak dilahiirkan dengan pembedahan vaginal.1

A.

Anatomi perineum
Menurut para ahli anatomi, perineum adalah wilayah pelvic aoutlet diujung diafragma pelvic (levator ani). Batasannya dibentuk oleh pubic rami di depan ligament sacro tuberos di belakang. Pelvic outletnya dibagi oleh garis melintang yang menghubungkan bagian depan ischial tuberosities ke dalam segitiga urogenital dan sebuah segitiga belakang anal.4

Segitiga urogenital Otot-otot diwilayah ini dikelompokkan ke dalam kelompok superfisial (dangkal) dan dalam bergantung pada membran perineal. Bagian bulbospongiosus, perineal melintang dangkal

56

dan otot ischiocavernosus terletak dalam bagian terpisah yang superfisial. Otot bulbospongiosus melingkari vagina dan masuk melalui bagian depan corpora cavernosa clitoridis. Di bagian belakang, senagian serabutnya mungkin menyatu dengan otot contralateral superfisial transverse perineal (otot yang melintang contralateral dipermukaan perineal) juga dengan cincin otot anus (sfingter).4 Kelenjar bartholini merupakan struktur berbentuk kacang polong dan bagian duktusnya membuka ke arah introitus vagina di permukaan selaput dara pada persimpangan duapertiga bagian atas dan sepertiga bagian bawah labia minora.4 Pada wanita, otot perineal profunda melintang antara bagian depan dan belakang fasia membran perineal yang membentuk diafragma urogenital berbentuk tipis dan sukar untuk digambarkan, karena itu kehadirannya tidak diakui oleh sebagian ahli. Dibagian yang sama terletak juga otot cincin external uretra.4

Segitiga anal Wilayah ini mencakup otot luar anus dan lubang ischiorectal.4

Badan perineal Bagian perineal merupakan wilayah fibromuskular (berotot serabut) antara vagina dan kanal anus. Pada dataran saggita berbentuk segitiga. Pada sudut segitiganya terdapat ruang rectovaginal dan dasarnya dibentuk oleh kulit perineal antara bagian belakang fouchette vulva dan anus. Dalam bagian perineal terdapat lapisan otot fiber bulbospongiosus, dataran perineal melintang dan otot cincin anus bagian luar.4 Diatas bagian ini terdapat otot dubur membujur dan serat tengah otot pubo rectalis, karena itu sandaran panggul dan juga sebagian hiatus urogenitalis antara otot levator ani bergantung pada keseluruhan badan perineal. Bagi ahli kesehatan ibu dan anak, istilah perineum merujuk sebagian besar pada wilayah fibromuskular antara vagina dan kanal anus.4

Anatomi anorektum Anorektum merupakan bagian yang paling jauh dari traktus gastrointestinalis dan terdiri dari dua bagian yaitu kanal anus dan rektum. Kanal anus berukuran 3,5 cm dan terletak dibawah persambungan anorektal yang dibentuk oleh otot puborectalis. Otot cincin anus terdiri dari tiga 57

bagian ( subcutaneus / bawah kulit ), superfisial (permukaan) dan bagian profunda (dalam) dan tidak bisa dipisahkan dari permukaan puborectalis. Cincin otot anus bagian dalam merupakan lanjutan menebalnya otot halus yang melingkar. Bagian ini dipisahkan dari bagian luar cincin otot anus oleh otot penyambung yang membujur rektum4.

B. Etiologi rupture perineum


Robekan pada perineum umumnya terjadi pada persalinan dimana : 1.kepala janin terlalu cepat lahir5

58

2. persalinan tidak dipimpin sebagaimana mestinya5 3. sebelumnya pada perineum terdapat banyak jaringan parut5 4. pada persalinan dengan distosia bahu5

Persalinan seringkali menyebabkan perlukaan pada jalan lahir. Perlukaan pada jalan lahir tersebut terjadi pada : Dasar panggul/perineum, vulva dan vagina, servik uteri, uterus sedangkan ruptur pada perineum spontan disebabkan oleh : Perineum kaku, kepala janin terlalu cepat melewati dasar panggul, bayi besar, lebar perineum, paritas.1

C. Klasifikasi Rupture Perineum 1) Ruptur Perineum Spontan Yaitu luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur.2,5 2) Ruptur perineum yang disengaja (Episiotomi) Yaitu luka perineum yang terjadi karena dilakukan pengguntingan atau perobekan pada perineum: Episiotomi adalah torehan yang dibuat pada perineum untuk memperbesar saluran keluar vagina.2,5

D.I. Rupture Perineum Spontan


Definisi : Luka pada perineum yang terjadi karena sebab-sebab tertentu tanpa dilakukan tindakan perobekan atau disengaja. Luka ini terjadi pada saat persalinan dan biasanya tidak teratur. Tingkat robekan perineum dapat dibagi atas 4 tingkatan : 1. Tingkat I :

59

Robekan hanya terjadi pada selaput lender vagina dengan atau tanpa mengenai kulit perineum sedikit2,5 2. Tingkat II: Robekan yang terjadi lebih dalam yaitu selama mengenai selaput lendir vagina juga mengenai muskulus perinei transversalis, tapi tidak mengenai sfingter ani2,5 3. Tingkat III: Robekan yang terjadi mengenai seluruh perineum sampai mengenai otot-otot sfingter ani.2,5 Ruptura perinei totalis di beberapa kepustakaan yang berbeda disebut sebagai termasuk dalam robekan derajat III atau IV. Beberapa kepustakaan juga membagi tingkat III menjadi beberapa bagian seperti : Tingkat III a. Robekan < 50 % ketebalan sfingter ani 6 Tingkat III b. Robekan > 50% ketebalan sfinter ani 6 Tingkat III c. Robekan hingga sfingter ani interna 6 4. Tingkat IV Robekan hingga epitel anus 6 Robekan mukosa rectum tanpa robekan sfingter ani sangat jarang dan tidak termasuk dalam klasifikasi diatas.6

60

Teknik menjahit robekan perineum 1. Tingkat I :

Penjahitan robekan perineum tingkat I dapat dilakukan hanya dengan memakai catgut yang dijahitkan secara jelujur (continuous suture) atau dengan cara angka delapan (figure of eight)5 2. Tingkat II :

Sebelum dilakukan penjahitan pada robekan perineum tingkat II maupun tingkat III, jika dijumpai pinggir yang tidak rta atau bergerigi, maka pinggir be rgerigi tersebut harus diratakan terlebih dahulu.pinggir robekan sebelah kiri dan kanan masing-masing diklem terlebih dahulu Kemudian digunting. Setelah pinggir robekan rata, baru dilakukan penjahitan luka robekan. Mula-mula otot-otot dijahit denbgan catgut. Kemudian selaput lendir vgina dijahiot dengan catgut secra terputus-putus atau jelujur. Penjahitan selaput lendir vagina dimulai dari puncak robekan . terakhir kulit pwerineum dijahit dengan benang sutera secara terputus-putus.5 3. Tingkat III :

61

Mula-mula dinding depan rectum yang robek dijahit. Kemudian fasia peirektal dan fasia septum rektovaginal dijahit dengan catgut kromik, sehingga bertemu kembali. Ujungujung otot sfingter ani yang terpisah oleh karena robekan diklem dingan klem pean lurus. Kemudian dijahit dengan 2-3 jahitan II.5 4. Tingkat IV : catgut kromil sehingga bertemu kembali.

Selanjutnya robekan dijahit lapis demi lapis seperti menjahit robekan perineum tingkat

Pasien dirujuk ke fasilitas dan tenaga kesehatan yang memadai.7

D.2. Rupture Perineum Yang Disengaja ( Episiotomi )


Definisi Episiotomi adalah suatu tindakan insisi pada perineum yang menyebabkan terpotongnya selaput lendir vagina, cincin selaput dara, jaringan pada septum rektovaginal, otot-otot dan fasia perineum dan kulit sebelah depan perineum.5 Di masa lalu, dianjurkan untuk melakukan episiotomi secara rutin yang tujuannya adalah untuk mencegah robekan berlebihan pada perineum, membuat tepi luka rata sehingga mudah dilakukan penjahitan (reparasi), mencegah penyulit atau tahanan pada kepala dan infeksi tetapi hal tersebut ternyata tidak didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang cukup. Tetapi sebaliknya, hal ini tidak boleh diartikan bahwa episiotomi tidak boleh dilakukan karena ada indikasi tertentu untuk melakukan episiotomi (misalnya, persalinan dengan ekstraksi cunam, distosia bahu, rigiditas perineum, dsb). Para penolong persalinan harus cermat membaca kata rutin pada episiotomi karena hal itulah yang tidak dianjurkan, bukan episiotominya.7 Episiotomi rutin tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan : 1. Meningkatnya jumlah darah yang hilang dan berisiko hematoma 2. Kejadian laserasi derajat tiga atau empat lebih banyak pada episiotomi rutin dibandingkan dengan tanpa episiotomi. 3. Meningkatnya nyeri pascapersalinan di daerah perineum 62

4. Meningkatnya resiko infeksi.7

Indikasi
Indikasi untuk melakukan episiotomi dapat timbul dari pihak ibu maupun pihak janin.5 1. Indikasi janin. a. Sewaktu melahirkan janin premature. Tujuannya untuk mencegah terjadinya trauma yang berlebihan pada kepala janin. b. Sewaktu melahirkan janin letak sungsang, melahirkan janin dengan cunam, ekstraksi vakum, dan janin besar.5 2. Indikasi ibu Apabila terjadi peregangan perineum yang berlebihan sehingga ditakuti akan terjadi robekan perineum, umpama pada primipara, persalinan sungsang, persalinan dengan cunam, ekstraksi vakum, dan anak besar.5 Namun indikasi sekarang yang digunakan untuk melakukan episiotomi telah banyak berubah. Indikasi untuk melakukan episiotomi untuk mempercepat kelahiran bayi bila didapatkan : 1. Gawat janin dan bayi akan segera dilahirkan dengan tindakan. 2. Penyulit kelahiran pervaginam ( sungsang, distosia bahu, ekstraksi cunam (forcep) atau ekstraksi vakum ) 3. Jaringan parut pada perineum atau vagina yang memperlambat kemajuan persalinan7

63

Teknik
1. Episiotomi medialis a. Pada teknik ini insisi dimulai dari ujung terbawah introitus vagina sampai batas atas otot-otot sfingter ani. Cara anestesi yang dipakai adalah cara anestesi infiltrasi antara lain dengan larutan procaine 1%-2%; atau larutan lidonest 1%-2%; atau larutan xylocaine 1%-2%. Setelh pemberian anestesi dilakukan insisi dengan mempergunakan gunting yang tajam dimulai dari bagian terbwah introitus vagina menuju anus, tetapi sampai tidak memotong pinggir atas sfingter ani, jingga kepala dapat dilahirkan. Bila kurang lebar disambung ke lateral (episiotomi mediolateralis). b. Untuk menjahit luka episiotomi medialis mula-mula otot perineum kiri dan kanan dirapatkan dengan beberapa jahitan. Kemudian fasia dijahit dengan beberapa jahitan. Lalu selaput lendir vagina dijahit dengan empat atau lima jahitan. Jahitan dapat dilakukan secara terputius-putus (interupted suture) atau secara jelujur (continuous suture). Benang yang dipakai untuk menjahit otot, fasia dan selaput lendir adalah catgut chromic, sedang untuk kulit perineum dipakai benang sutera. 5 64

2. Episiotomi mediolateralis a. Pada teknik ini insisi dimulai dari bagian belakang introitus vagina menuju kearah belakang dan samping. Arah insisi ini dapat dilakukan kearah kanan atau pun kiri, tergantung pada kebiasaan orang yang melakukannya. Panjang insisi kira-kira 4 cm. b. Tekhnik menjahit luka pada episiotomi mediolateralis hampir sama dengan tekhnik menjahit episiotomi medialis. Penjahitan dilakukan sedemikian rupa sehingga setelah penjahitan luka selesai hasilnya harus simetris 3. Episiotomi lateralis5 a. Pada tekhnik ini insisi dilakukan kearah lateral mulai dari kira-kira pada jam 3 atau 9 menurut arah jarum jam. b. Tekhnik ini sekarang tidsak dilakukan lagi oleh karena banyak menimbulkan komplikasi. Luka insisi ini dapat melebar kearah dimana terdapat pembuluh darah pudendal interna, sehingga dapat menimbulkan perdarahan yang banyak. Selain itu parut yang terjadi dapat menimbulkan rasa nyeri yang mengganggu penderita. 5

65

Dalam buku acuan asuhan persalinan normal dijabarkan mengenai menjahit laserasi perineum atau episiotomi yang intinya hampir sama dengan yang telah dijabarkan diatas. Dikarenakan buku acuan asuhan persalinan normal adalah standar baku yang digunakan di Indonesia, tidak ada salahnya bila akan dijabarkan kembali pada paragraph-paragraph berikut ini. Tujuan menjahit laserari atau episiotomi adalah untuk menyatukan kembali jaringan tubuh (mendekatkan) dan mencegah kehilangan darah yang tidak perlu (memastikan haemostasis). Ingat bahwa setiap kali jarum masuk kedalam jaringan tubuh, jaringan akan terlukadan menjadi tempat yang potensial untuk timbulnya infeksi. Oleh sebab itu pada saat menjahit laserasi atau episiotomi gunakan benang yang cukup panjang dan gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mencapai tujuan pendekatan dan haemostasis.7 Keuntungan-keuntungan teknik penjahitan jelujur : 1. Mudah dipelajari ( hanya perlu belajar satu jenis penjahitan dan satu atau atau dua jenis simpul ) 2. Tidak terlalu nyeri karena lebih sedikit benang yang digunakan 3. Menggunakan lebih sedikit jahitan.

66

Mempersiapkan penjahitan 1. Bantu ibu mengambil posisi litotomi shingga bokongnya berada ditepi tempat tidur atau meja. Topang kakinya dengan alat penopang atau minta anggota keluarga untuk memegang kaki ibu sehingga ibu tetap berada dalam posisi litotomi. 2. Tempatkan handuk atau kain bersih dibawah bokong ibu. 3. Jika mungkin, tempatkan lampu sedemikian rupa sehingga perineum bias dilihat dengan jelas. 4. Gunakan teknik aseptic pada memeriksa robekan atau episiotomi, memberikan anestesi local dan menjahit luka. 5. Cuci tangan menggunakan sabun dan air bersih yang mengalir. 6. Pakai sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril. 7. Dengan teknik aseptic, persiapkan peralatan dan bahan-bahan disinfektan tingkat tinggi untuk penjahitan 8. Duduk dengan posisi santai dan nyaman sehingga luka bisa dengan mudah dilihat dan penjahitan bisa dilakukan tanpa kesulitan. 9. Gunakan kain atau kassa disinfeksi tingkat tinggi atau bersih untuk menyeka vulva, vagina dan perineum ibu dengan lembut, bersihkan darah atau bekuan darah yang ada sambil menilai dalam dan luasnya luka. 10. Periksa vagina, serviks dan perineum secara lengkap. Pastikan bahwa laserasi/ sayatan perineum hanya merupakan derajat satu atau dua. Jika laserasinya dalam atau episiotomi telah meluas, periksa lebih jauh untuk memeriksa bahwa tidak terjadi robekan derajat tiga atau empat. Masukkan jari yang bersarung tangan ke dalam anus dengan hati-hati dan angkat jari tersebut perlahan-lahan untuk mengidentifikasikan sfingter ani. Raba tonus atau ketegangan sfingter. Jika sfingter terluka, ibu mengalami laserasi derajat tiga atau empat dan harus dirujuk segera. Ibu juga dirujuk jika mengalami laserasi serviks. 11. Ganti sarung tangan dengan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril yang baru setelah melakukan rectum. 12. Berikan anestesi lokal. 67

13. Siapkan jarum dan benang. Gunakan benang kromik 2-0 atau 3-0. Benang kromik bersifat lentur, kuat, tahan lama, dan paling sedikit menimbulkan reaksi jaringan. 14. Tempatkan jarum pada pemegang jarum dengan sudut 90 derajat, jepit dan jepit jarum tersebut. 7 Memberikan Anestesi Lokal Berikan anestesi kepada setiap ibu yang memerlukan penjahitan laserasi atau episiotomi. Penjahitan sangat menyakitkan dan menggunakan anestesi lokal merupakan asuhan sayang ibu. Jika ibu dilakukan episiotomi dengan anestesi lokal, lakukan pengujian pada luka untuk mengetahui bahwa bahan anestesi masih bekerja. Sentuh luka dengan jarum yang tajam atau cubit dengan forcep/cunam. Jika ibu merasa tidak nyaman, ulangi pemberian anestesi lokal. Gunakan tabung suntik steril sekali pakai dengan jarum ukuran 22 panjang 4 cm. Jarum yang lebih panjang atau tabung suntik yang lebih besar bisa digunakan, tapi jarum harus berukuran 22 atau lebih kecil tergantung pada tempat yang memerlukan anesthesia. Obat standar untuk anesthesia lokal adalah 1% lidokain tanpa epinefrin (silokain). Jika lidokain 1% tidak tersedia, gunakan lidokan 2% yang dilarutkan dengan air steril atau normal salin dengan perbandingan 1:1. 1. 2. Jelaskan pada ibu apa yang akan d\anda lakukan dan bvantu ibu merasa santai. Hisap 10 ml larutan lidokain 1% kedalam alat suntik sekali pakai ukuran 10 ml (tabung suntik yang lebih besar boleh digunakan jika diperlukan). Jika lidokain 1% tidak tersedia, larutkan 1 bagian 2% dengan 1 bagian normal salin atau air steril yang sudah disuling. 3. 4. Tempelkan jarum ukuran 22 sepanjang 4 cm ke tabung suntik tersebut. Tusukkan jarum ke ujung atau pojok laserasi atau sayatan lalu tarik jarum sepanjang tepi luka (ke arah bawah ke arah mukosa dan kulit perineum). 5. Aspirasi (tarik pendorong tabung suntik) untuk memastikan bahwa jarum tidak berada di dalam pembuluh darah. Jika darah masuk ke dalam tabung suntik, jangan

68

masukkan lidokain dan tarik jarum seluruhnya. Pindahkan posisi jarum dan suntikkan kembali. Alasan: ibu bisa mengalami kejang dan kematian bisa terjadi jika lidokain disuntikkan ke dalam pembuluh darah 6. Suntikan anesthesia sejajar dengan permukaan luka pada saat jarum suntik ditarik perlahan-lahan. 7. 8. Tarik jarum hingga sampai ke bawah tempat dimana jarum tersebut disuntikkan. Arahkan lagi jarum ke daerah di atas tengah luka dan ulangi langkah ke-4, dan sekali lagi ulangi langkah ke-4 sehingga tiga garis di satu sisi luka mendapatkan anestesi lokal. Ulangi proses proses ini di sisi lain dari luka tersebut. Setiap sisi luka akan memerlukan kurang lebih 5 ml lidokain 1% untuk mendapatkan anestesi yang cukup. 9. Tunggu selama 2 menit dan biarkan anestesi tersebut bekerja dan kemudian uji daerah yang dianastesi dengan cara dicubit dengan forcep atau disentuh dengan jarum yang tajam. Jika ibu merakan jarum atau cubitan tersebut, tunggu 2 menit lagi dan kemudian uji kembali sebelum menjahit luka. 7

Penjahitan Laserasi Pada Perineum 1. Cuci tangan dengan cara seksama dan gunakan sarung tangan disinfeksi tingkat tinggi atau steril. Ganti sarung tangan jika sudah terkontaninasi atau tertusuk jarum maupun peralatan tajam lainnya. 2. 3. Pastikan bahwa perlatan dan bahan-bahan yang digunakan sudah steril. Setelah memberikan anestesi lokal dan memastikan bahwa daerah tersebut sudah dianatesi, telusuri dengan hati-hati menggunakan satu jari untuk secara jelas menetukan batas-batas luka. Nilai kedalaman luka dan lapisan jaringan mana yang terluka. Dekatkan tepi laserasi untuk menentukan bagaimana cara manjahitnya menjadi satu dengan mudah.

69

4.

Buat jahitan pertama kurang lebih 1 cm di atas ujung laserasi di bagian dalam vagina. Setelah membuat tusukan pertama, buat ikatan dan potong pendek benang yang lebih pendek dari ikatan.

5. 6.

Tutp mukosa vagina dengan jahitan jelujur, jahit ke bawah ke arah cincin hymen. Tepat sebelum cincin hcicncin hymen, masukkan jarum ke dalam mukosa vagina lalu ke bawah cincin hymen sampai jarum berada di bawah laserasi. Periksa bagian antara jarum di perineum dan bagian atas laserasi. Perhatikan seberapa dekat jarum ke puncak luka.

7.

Teruskan ke arah bawah tapi tetap pada luka, menggunakan jahitan jelujur, hingga mencapai bagian bawah laserasi. Pastikan bahwa jarak setiap jahitan sama dan otot yang terluka telah dijahit. Jika laserasi meluas ke dalam otot, mungkin perlu melakukan satu atau dua lapis jahitan terputus-putus untuk menghentikan perdarahan dan atau mendekatkan jaringan tubuh secara efektif.

8.

Setelah mencapai ujung laserasi, arahkan jarum ke atas dan teruskan penjahitan menggunakan jahitan jelujur untuk menutup lapisan subkutikuler. Jahitan ini akan menjadi jahitan lapis kedua. Perikas lubang bekas jarum tetap terbuka berukuran 0,5 cm atau kurang. Luka ini akan menutup dengan sendirinya pada saat penyembuhan luka.

9.

Tusukkan jarum dari robekan perineum ke dalam vagina. Jarum harus keluar dari belakang cincin hymen.

10. Ikat benang dengan membuat simpul di dalam vagina. Potong ujung benang dan sisakan sekitar 1,5 cm. Jika ujung benang dipotong terlalu pendek, simpul akan longgar dan laserasi akan membuka. 11. Ulangi pemeriksaan vagina dengan lembut untuk memastikan bahwa tidak ada kasa atau peralatan yang tertinggal di dalamnya. 12. Dengan lembut masukkan jari yang paling kecil ke anus. Raba apakah ada jahitan pada rectum. Jika ada jahitan yang teraba, ulangi pemeriksaan rectum 6 minggu pasca persalinan. Jika penyembuhan belum sempurna (misalkan jika ada fistula rektovaginal atau ibu melaporkan incontinesia alvi atau feses), ibu segera dirujuk ke fasilitas kesehatan rujukan.

70

13. Cuci daerah genital dengan lembut dengan sabun dan air disinfeksi tinggkat tinggi, kemudian keringkan. Bantu ibu mencari posisi yang aman. 14. Nasehati ibu untuk: a. Menjaga perineumnya selalu bersih dan kering. b. Hindari penggunaan obat-obatan tradisional pada perineumnya. c. Cuci perineumnya dengan sabun dan air bersih yang mengalir 3 sampai 4 kali perhari. d. Kembali dalam seminggu untuk memeriksa penyembuhan lukanya. Ibu harus kembali lebih awal jika ia mengalami demam atau mengeluarkan cairan yang berbau busuk dari daerah lukanya atau jika daerah tersebut menjadi lebih nyeri. 7 Ingat: 1. Tidak usah menjahit laserasi derajat satu yang tidak mengalami perdarahan dan mendekat dengan baik. 2. Gunakan sesedikit mungkin jahitan untuk mendekatkan jaringan dan memastikan hemostasis. 3. Selalu gunakan teknik aseptik. 4. Jika ibu mengeluh sakit pada saat penjahitan dilakukan, berikan lagi anestisia lokal untuk memastikan kenyaman ibu, inilah yang disebut asuhan sayang ibu. 7

Penjahitan Episiotomi Secara umum prosedur untuk menjahit episiotomi sama dengan menjahit laserasi perineum. Jika episiotomi sudfah dilakukan, lakukan penilaian secara hati-hati untuk memastikan lukannya tidak meluas. Sedapat mungkin, gunakan jahitan jelujur. Jika ada sayatan yang terlalu dalam hingga mencapai lapisan otot, mungkin perlu dilakukan penjahitan secara terputus untuk merapatkan jaringan.7

71

BAB III KESIMPULAN

Perdarahan adalah salah satu penyebab utama langsung kematian maternal, terutama di Negara yang kurang berkenbang perdarahan merupakan penyebab terbesar kematian maternal. Perdarahan pasca persalinan adalah perdarahan 500 cc atau lebih yang terjadi setelah anak lahir. Perdarahan dapat terjadi secar massif dan cepat, atau secara perlahan lahan tapi secara terus menerus. Perdarahan hanyalah gejala, harus dicari tahu penyebabnya untuk memberikan pertolongan sesuai penyebabnya.

72

Anda mungkin juga menyukai