Anda di halaman 1dari 4

Pemuda dan Kepemimpinan

by Herry Dharmawan on Thursday, January 28, 2010 at 11:29am

Masa muda adalah sebuah saat dimana potensi fisik seseorang sedang berada tingkat puncaknya, dimana hal tersebut berimbas pada keinginannya yang kuat untuk mencari jati diri, penuh semangat membela idealismenya dan cenderung melawan segala yang menjadi penghalangnya. Masa muda seringkali diidentikkan dengan masa yang produktif dan dinamis, sehingga tidak heran ketika ada lirik lagu yang berkata masa muda adalah masa yang berapiapi. Namun yang kini menjadi pertanyaan adalah akan dibawa kemana para pemuda itu? Ketika mereka dilepas begitu saja oleh lingkungan sekitarnya tanpa ada arahan dan bimbingan yang baik, maka hal tersebut berpotensi menimbulkan kerusakan dan anarkisme. Oleh karena itu dibutuhkan sebuah wadah yang jelas-jelas dapat membentuk potensi besar dari pemuda semenjak dini. Di sisi lain, kepemimpinan adalah sikap diri dari individu yang merupakan ruang representatif publik. Diri yang terpercaya atas dirinya disebabkan pemahaman diri yang demokratis, terbuka pada peluang-peluang baru atas pengetahuan-pengetahuan baru, hingga mengetahui dirinya pada keluasaan makna sosial; keberadaan dirinya ada dan terpercaya oleh keadaan lingkungan sosial pada zamannya. Hal tersebut menyiratkan bahwa dibutuhkan sebuah proses yang panjang untuk membentuk sebuah kepemimpinan yang ideal dan demokratis. Permasalahannya adalah keunikan pribadi tiap-tiap orang menghasilkan tipe kepemimpinan yang berbeda. Gandhi yang mampu memimpin rakyatnya dengan kearifan dan perdamaian, Soekarno yang membangkitkan gelora perlawanan dengan kekuatan orasi dan retorikanya, Muhammad SAW yang memimpin dengan keteladanan di seluruh aspek kehidupannya. Tak dapat kita nafikan bahwa para pemimpin dunia itu telah mengalami berbagai tempaan dimasa mudanya. Mulai dari cercaan, penjajahan, perenungan, membaca segala pertanda yang ada di dunia, hingga siksaan dan percobaan pembunuhan. Kekuatan para pemimpin yang mampu bertahan dalam segala tempaan dan tetap terfokus pada apa yang dicita-citakannya itulah yang pada akhirnya mampu menggerakkan semua potensi disekitarnya menuju sebuah titik tujuan bersama.

Kesejatian kepemimpinan merupakan kekuatan absolut dari terakumulasinya kesadaran atas variabel-variabel tatanan nilai sosial di masyarakat. Kepemimpinan yang ideal terwujud tanpa adanya sebuah tekanan atau intervensi yang menjanjikan sebagai kontrak politik dari sekelompok orang. Hal itulah yang membuat negeri ini kehilangan kepemimpinan sejati. Para pemegang kebijakan lebih cocok disebut pejabat dibanding pemimpin, para anggota dewan yang lebih tepat diisi oleh politikus dibanding negarawan. Pola-pola kebijakan yang dihasilkan cenderung parsial tanpa melihat substansi dari kebijakan itu sendiri. Bahwa sebuah kebijakan memang sudah sepantasnya ditentukan secara bijak, bukan asal-asalan dan menguntungkan segelintir pihak. Proses pembelajaran bagi seorang pemimpin, merupakan hal yang penting. Karena hal itu adalah dasar bagi penentuan untuk menentukan model kebijakan yang diputuskannya. Pembentukan sebuah keputusan didasarkan pada persoalan gejolak sosial yang kompleks, oleh karena itu tanpa adanya sebuah pemahaman dari kompleksitas persoalan masyarakat, tentu menjadi persoalan bagi keputusan yang dihasilkan. Pemimpin yang tidak mampu belajar banyak tentang realitas detail masyarakatnya, akan mengantarkan dirinya ke dalam pintu persoalan, dan menciptakan kegamangan proses pemerintahannya. Dilain pihak, proses pembelajaran kepemimpinan tidak akan didapatkan dari ruang-ruang kuliah yang tersekat dengan segala macam pemikirannya, dari seminar-seminar dan training leadership yang menjanjikan keluaran muluk-muluk. Karena hal tersebut hanya akan menambah knowledge, bukan character dari si pembelajar. Ingat bahwa knowledge is power, character is more. Sebuah pembelajaran bagi seorang pemimpin sejatinya adalah dengan turun langsung ke rakyatnya, melihat kondisi & realita, merasakan penderitaannya, lalu bergerak bersama dengan memaksimalkan seluruh potensi yang ada. Sebuah pemerintahan yang adil dan demokratis terbentuk dari pemimpin yang memahami bahwa dirinya adalah bagian dari publik. Berbeda dengan sebuah pemerintahan dictator yang melepas diri secara sempurna dari publik, yang dalam istilah Fadjroel Rahman- (1) Melepas negara dari publiknya; (2) Melepaskan parpol dari kepentingan publiknya; (3) Melepaskan pemimpin dari publiknya; (4) Melepaskan kaum demokrat dari publiknya; dan (5) Melepaskan gerakan mahasiswa dari publiknya. Keluasaan kepemerintahan bukan berarti keluasaan menkoptasi seluas-luasnya kemerdekaan setiap individu yang ada. Namun keluasaan yang memberi keleluasaan partisipasi masyarakat untuk penyelenggaraan pemerintahan. Memberi ruang bagi masyarakat untuk turut

menentukan nasib atas dirinya sendiri. Hal tersebut termaktub dalam pemikiran Marx tentang alam kemerdekaan. Dimana untuk pertama kalinya manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri. Sekilas doktrin Marx tentang keniscayaan perubahan seperti semacam sintesis Hegelian yang menghasilkan tuntutan bahwa karena perubahan tidak dapat seluruhnya dihentikan, seharusnya perubahan setidaknya direncanakan dan dikontrol oleh negara yang kekyasaanya sangat diperluas. Sebuah contoh yang menarik adalah pada kasus PLTSa Bandung. Disana kita bisa melihat bagaimana pemerintah kota Bandung memaksakan kehendaknya sebagai salah satu representasi publik, padahal hal tersebut sangat bertentangan dengan persoalan publik. Sebuah artikel yang pernah saya baca menyatakan bahwa pemerintah kota Bandung melegitimasi hasil AMDAL yang bermasalah tak lain karena feasibility study yang dilakukan pun berdasarkan data-data yang tidak akurat- dengan mengeluarkan PERDA RTRW no. 2 tahun 2004 dan PERDA RTRW n.3 tahun 2006 ke dalam pasal no.685 tahun 2006 tentang RTDRK Gede Bage. Hal tersebut patut menjadi pertanyaan, karena pemerintah seakan menutup mata terhadap suara publik yang terpampang jelas di depan mata untuk menolak pembangunan PLTSa tersebut. Di akhir saya menekankan, layaknya cahaya yang memancar menerangi jalan buntu, menembus batas-batas, menemu kehidupan yang sesungguhnya dirasa masyarakat, adalah bentuk yang ideal disadari seorang pemimpin. Kehadirannya dalam menentukan sikap atas proses pembelajaran, penalaran, dan ketergantungan pada suara publik merupakan hal yang sepatutnya ada dalam dirinya (pemimpin). Bukan sebaliknya, dimana kepemimpinan diraih atas segala tekanan dan tipuan atas nama demokrasi. Menampilkan diri sebagai pemimpin, secara moral justru tindakan yang meragukan. Orang yang pamer kekuasaan sebenarnya malah menunjukan bahwa dia tidak memiliki kekuasaan Dan untuk itulah pemuda meski memulai memilih proses pembelajarannya dengan arif dan biijaksana, karena pemuda adalah potensi besar yang tak tergantikan oleh kelompok umur manusia lainnya. berikan aku sepuluh pemuda, maka aku akan merubah dunia SoekarnoHerry Dharmawan Mahasiswa Aeronautika dan Astronautika ITB 2006.

Disusun sebagai syarat mengikuti Young leadership course yang diselanggarakan oleh Soegeng Sarjadi School of Government

Anda mungkin juga menyukai