Anda di halaman 1dari 15

ANALISA SEMIOTIKA SOSIAL POSTER Q!

FILM FESTIVAL, JAKARTA 2009

WARIDAH MUTHIAH NIM.27110047

JURUSAN MAGISTER DESAIN FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011

1. PENDAHULUAN Q!FF (Queer Film Festival) adalah kegiatan pemutaran film-film yang mengangkat isu seputar homoseksualitas. Festival semacam ini biasanya digelar secara tahunan di beberapa negara seperti India, New Zealand, Australia, termasuk Indonesia. Di Indonesia, festival ini diadakan di beberapa kota yakni Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bali secara roadshow. Acara ini dihelat oleh organisasi Q!Munity, yakni organisasi yang memiliki kepedulian pada liberalisasi kaum homoseksual, biseksual, dan transgender. Queer Film Festival bertujuan untuk memberikan pembelajaran pada masyarakat secara luas mengenai kaum yang terpinggirkan tersebut. Acara ini sudah menjadi agenda tahunan rutin yang pada tahun 2010 memasuki masa penayangannya yang kesembilan (www.q-munity.org, tanggal akses 12 Mei 2011) Q! pada kata Q! Film Festival merupakan kependekan dari kata queer, yang secara harfiah berarti aneh (www.gaylife.about.com, tanggal akses 12 Mei 2011). Menurut situs WordOrigins.com, kata ini berasal dari kata dalam bahasa Jerman quer yang berarti across, oblique, perverse. Kata ini memiliki akar dari bahasa Indo-Eropa kuno twerk, yang menjadi dasar dari bahasa Inggris thwart dan bahasa Latin torquere yang mempunyai kesepadanan makna dengan twist (www.word-origins.com, tanggal akses 12 Mei 2011). Sedangkan menurut situs blog A Feminist Theory Dictionary, kata queer berakar dari bahasa Skotlandia yang pada tahun 1508 berarti strange, peculiar, eccentric. Dari yang semula merupakan kata sifat, pada 1812 queer dipakai sebagai kata kerja yang berarti to spoil, ruin. Sekitar tahun 1935, kata ini bermetamorfosis menjadi kata benda untuk menyebut kaum homoseksual. Hal ini menjadi awal dari pendefinisian kata tersebut secara negatif sebagai simptom kondisi patologis dalam bidang psikiatri, yakni secara mental tidak stabil, yang masih dipergunakan hingga tahun 1973 (afeministtheorydictionary.wordpress.com, tanggal akses 12 Mei 2011). Pemakaian kata ini secara spesifik untuk menyebut kelompok homoseksual diperkirakan dimulai oleh para marinir gay Amerika Serikat kepada sesamanya yang mengambil peran feminin dalam relasi seksual (Spencer, 2004: 406). Dalam perkembangannya kata ini lebih bermakna peyoratif, sehubungan dengan akar katanya yang mengisyaratkan sesuatu yang aneh, berbeda, atau menyimpang dari hal yang umum (www.urbandictionary.com, tanggal akses 12 Mei 2011). Penggunaan istilah ini untuk menyebut kaum homoseksual, biseksual, dan transgender pada dasarnya kontroversial, akan tetapi sejak tahun 1990-an, terjadi perubahan makna peyoratif dari kata ini menjadi istilah yang lebih positif. Hal ini diprakarsai oleh gerakan Queer Nation yang bertujuan untuk melawan homofobia dan kejahatan terhadap kaum homoseksual. Dalam agenda tersebut, salah satu langkah gerakan ini adalah melakukan resistansi bahasa, yakni dengan 1

mengembalikan kata 'queer'

sebagai istilah yang kuat secara politis. Hal ini ditandai oleh

penambahan huruf Q, kependekan dari queer, pada penamaan LGBTQ yang merupakan akronim dari Lesbian, Gay, Bisexual, Trans-identity, and Queer (www.womensweb.ca, tanggal akses 12 Mei 2011). Walaupun demikian, kepanjangan dari huruf Q di sini tidak melulu berarti queer, karena beberapa sumber menyebut istilah LGBTiQ sebagai akronim dari Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, and in Question (www.gayanusantara.co.id, tanggal akses 11 Mei 2011). Penggunaan Q sebagai akronim dari 'in Question' merujuk pada spektrum yang lebih sempit, yakni hanya mempermasalahkan persoalan identitas atau orientasi seksual, sedangkan penggunaan istilah queer dapat mencakup ruang yang lebih luas. Istilah ini dapat digunakan untuk menyebut semua kelompok, termasuk heteroseksual, yang memiliki kecenderungan seksual yang berbeda dengan heteronormativitas tunggal yang diterima secara umum di masyarakat (Irawaty, 2009, dalam www.komnasperempuan.or.id, tanggal akses 11 Mei 2011) 2. KAJIAN SEMIOTIKA SOSIAL POSTER Q! FILM FESTIVAL JAKARTA 2009 Pada pembahasan semiotika sosial ini, akan dikaji mengenai poster dari Q!FF ke-8. Festival ini diselenggarakan dari tanggal 27 Juli 2009 sampai 5 Agustus 2009 di Jakarta (www.q-munity.org, tanggal akses 10 Mei 2010)

Poster resmi Q! Film Festival Sumber:www.q-munity.org, tanggal akses 11 Mei 2011

2.1. MAKNA REPRESENTASIONAL Tanda-tanda yang muncul pada poster ini adalah sebagai berikut: a. b. c. d. e. wajah blok hitam yang menutupi mata bibir berwarna merah muda gigi yang mengatup garis melintang berwarna putih pada bagian tengah gambar

Poster ini tidak memiliki sebuah alur cerita yang dapat dibaca, sehingga tidak dapat dimaknai secara naratif. Akan tetapi, kehadiran tanda-tanda di atas memberi makna konseptual mengenai ide yang diusung.

Poster ini didominasi oleh citra sebentuk wajah berwarna abu-abu kecoklatan, menghadap ke arah pelihat. Wajah ditangkap dengan teknik close-up shot, yang mengisi sekitar 90 % ruang poster. Bentuk wajah yang lebar dengan rahang yang persegi, rambut-rambut tipis pada bagian dagu, bagian atas bibir, dan cambang menandakan jenggot dan kumis yang tidak tercukur dengan rapi atau tumbuh kembali setelah dicukur. Keseluruhan tanda ini menunjukkan bahwa pemilik wajah tersebut adalah seorang laki-laki. Namun, bibir laki-laki itu berwarna merah muda. Goresan merah muda di sisi bibir menunjukkan bahwa warna tersebut didapat dari pemakaian lipstik. Secara normatif, seorang laki-laki tidak dibenarkan memakai lipstik. Lipstik lekat dengan ciri feminin, sehingga lelaki berlipstik biasanya dianggap sebagai waria atau banci. Namun, wajah tersebut menunjukkan ciri maskulin. Hal ini berlawanan dengan citra lelaki waria dalam masyarakat, yang biasanya digambarkan memiliki ciri-ciri feminin, seperti wajah yang lembut dan sosok yang gemulai. Kontras antara raut wajah maskulin dan pemakaian lipstik yang bersifat feminin merupakan suatu paradoks yang mempertentangkan konsep waria dengan citra yang secara luas berkembang dalam masyarakat. Dalam teori psikoanalisa Jung, dalam tubuh seseorang terdapat jiwa (psyche) yang pada dasarnya bersifat androgynous, yakni memiliki kedua sifat gender yang berlawanan, yakni anima yang bersifat feminin dan animus yang bersifat maskulin. Seorang lelaki maskulin memiliki anima, demikian juga sebaliknya perempuan feminin memiliki animus. (www2.cnr.edu, tanggal akses 13 Mei 2011). Dalam teori ini, jenis kelamin dan ciri fisik seseorang tidak memiliki keterkaitan dengan gendernya. Hal inilah yang ditunjukkan dalam poster, bahwa seseorang dengan ciri fisik laki-laki dapat memiliki karakteristik gender feminin, yang ditunjukkan dengan pemakaian lipstik. Akan tetapi, lipstik yang dipakai oleh lelaki itu tidak terpasang dengan sempurna. Goresan di sisi kanan bibir menunjukkan pemakaian yang kasar atau upaya untuk menghapus lipstik tersebut. Alih-alih menunjukkan kecantikan, keberadaan lipstik di sini terasa sebagai sesuatu yang mengganggu. Hal ini dapat dihubungkan dengan citra kaum waria di masyarakat, khususnya di Indonesia, yang selalu memiliki konotasi negatif seperti mengganggu ketenteraman atau sebagai aib bagi masyarakat. Bentuk bibir yang terbuka menunjukkan bahwa sosok tersebut ingin menyuarakan sesuatu, tetapi gigi yang terkatup menyatakan bahwa kata-kata tersebut tidak dapat keluar dari mulutnya. Gigi atas dan bawah yang tertutup rapat, serta bibir yang terbuka bersama-sama juga dapat menunjukkan ekspresi kegeraman. Hal ini dapat dihubungkan dengan kondisi 4

kaum LGBT di Indonesia yang dibungkam, tidak dapat menunjukkan identitasnya yang sebenarnya. Poster ini menunjukkan bahwa ketidakmampuan bersuara tersebut memunculkan rasa geram dan kekesalan, namun tetap saja mereka tak dapat mengutarakan protes terhadap kondisi tersebut. Namun, identifikasi bentuk bibir yang terbuka ini juga dapat merepresentasikan hal lain. Jika dilihat, bagian atas bibir berbentuk dua kurva menonjol, sementara bagian bawah lebih lancip. Dilihat dari bentuknya, kurva bibir ini dapat diasosiasikan dengan bentuk hati, terlebih didukung oleh warna merah muda, yang memiliki makna konotatif cinta. Bentuk bibir yang terbuka ini juga mengingatkan pada bentuk rahim atau yoni, yang dalam berbagai kebudayaan selalu dihubungkan dengan bentuk-bentuk liang, lubang, gua, atau bentuk segitiga terbalik. Yoni dianggap sebagai simbol feminitas. Bentuk-bentuk ini berlawanan sekaligus berpasangan dengan representasi penis atau lingga yang dihubungkan dengan bentuk-bentuk tonggak, pasak, batang, gunung, atau bentuk segitiga (Sumardjo, 2002:14). Interpretasi bibir sebagai simbol feminitas juga diperkuat oleh warna merah muda menyala, serta bagian dalam bibir yang menyisakan ruang yang dapat dianggap sebagai simbolisasi gua (garba).

Bentuk bibir sebagai representasi feminitas dari rahim (yoni) Sumber: yunitapuspitasari.wordpress.com, tanggal akses 30 Mei 2011

Dalam konteks wacana homoseksualitas, salah satu bentuk representasi rahim, yakni bentuk segitiga terbalik, juga menjadi lambang kaum gay. Penggunaan lambang ini bermula pada masa teror Nazi Jerman pada tahun 1930-an di Eropa. Pada masa itu, kaum gay Jerman yang dianggap mencoreng ras Arya diberi penanda berupa lambang segitiga terbalik berwarna merah muda pada pakaiannya, sebagai pengganti lambang A besar yang merupakan singkatan dari Arshfucker. Praktik ini dimulai pada para tahanan di Dachau 5

Camp, Jerman. Sama seperti kasus penggunaan kata queer, lambang yang awalnya bersifat peyoratif ini akhirnya digunakan sebagai simbol identitas dan gerakan Gay Liberation pada 1970-an (www.hardenet.com, tanggal akses 12 Mei 2011). Warna pink menyala juga merupakan simbol dari seksualitas, sebagaimana ditampilkan dalam bendera pelangi yang merupakan lambang dari Gay Pride Movement (www.lambda.org, tanggal akses 12 Mei 2011)

Lambang segitiga merah muda dan adopsinya dalam lambang Gaya Nusantara Sumber :www.squareheatonline, www.gayanusantara.co.id, tanggal akses 12 Mei 2011

Wajah tersebut menghadap pemirsa, tetapi mata sosok dalam poster tertutup blok panjang berwarna hitam yang melintang dari tepi kanan ke tepi kiri. Mata selalu dianggap sebagai vocal point dari wajah. Bahkan dalam peribahasa Indonesia, ada ungkapan bahwa mata adalah jendela jiwa. Mata dapat menyatakan ekspresi dan isyarat seseorang, yang dengan demikian, pandangan mata dapat dianggap sebagai bentuk komunikasi. Selain berfungsi sebagai media alih informasi dari dalam, kegiatan 'melihat' juga merupakan upaya menerima informasi dari luar/lingkungan. Mata yang tertutup berarti orang tersebut tidak dapat mengutarakan ekspresinya, sekaligus juga tidak dapat menerima data dari lingkungan. Mata juga dapat menyatakan identitas. Dalam video dan foto pelaku kejahatan, kriminalitas, atau perbuatan yang dianggap asusila, mata pelaku seringkali ditutup dengan blok hitam untuk menyembunyikan identitas. Upaya penyembunyian identitas ini sebenarnya merupakan tindakan untuk melindungi pelaku dari rasa malu dan reaksi negatif dari lingkungan. Dengan mengasosiasikan bentuk penutup mata pelaku kejahatan dan sosok dalam poster, pembuat poster menunjukkan kondisi yang dialami oleh kaum LGBT. Perbuatan homoseksual dianggap bertentangan dengan masyarakat yang heteronormatif, pelakunya dianggap melakukan kejahatan sehingga secara normatif dikonstruksi untuk menyandang rasa malu. Karena tuntutan masyarakat dan rasa malu inilah, banyak di antara orang-orang yang memiliki kecenderungan homoseksual untuk menutup diri dan 6

menyembunyikan bahkan mengingkari identitasnya. Mata yang ditutupi juga menunjukkan bahwa kaum LGBTQ tidak diperkenankan untuk menunjukkan ekspresi dan

wacana/pandangannya, bahkan dihalangi untuk mendapatkan informasi mengenai dunia homoseksual yang notabene merupakan dunianya sendiri. Hal ini kian dipertegas oleh tag bertuliskan You are not supposed to watch this. Menempatkan tulisan ini pada mata yang tertutup mempertegas stigma masyarakat dan opresi terhadap kaum homoseksual. Tulisan ini juga menjadi penanda yang menunjukkan isi dari festival tersebut, yakni film bertema LGBTQ, yang bagi masyarakat yang berpijak pada heteronormativitas merupakan hal yang tabu. Jika dikaitkan dengan isu yang lebih luas dalam masyarakat, penutupan mata ini dapat dihubungkan dengan upaya pelarangan praktik seksual secara luas dan pendiskreditan pelakunya. Seperti ditanamkan dalam masyarakat, agama-agama besar seperti Islam, Nasrani, dan Yahudi menentang bahkan mengutuk homoseksualitas (Dzulkarnain, 2006, www.scribd.com; ayatquran.wordpress.com; tanggal akses 10 Mei 2011). Begitu pula pemerintah melalui berbagai undang-undang dan tindakan aparat berupaya menutup kanal informasi dari internet dan film. Pada saat penyelenggaraan festival tersebut pada 2009, khususnya, sedang mencuat wacana pelarangan pada beberapa ekspresi homoseksualitas melalui rencana undang-undang pornografi (ruuappri.blogsome.com, www.pespektif.net, tanggal akses 11 Mei 2011). Waria merupakan salah satu sasaran operasi razia yang secara rutin digelar aparat. Selain itu, penutup mata yang dihubungkan dengan kriminalitas ini juga dapat dikaitkan dengan isu yang tengah marak pada saat itu, yakni kasus pembunuhan oleh Ryan yang terungkap pada 2008. Kasus ini, yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki orientasi homoseksual, telah turut menambah stigma negatif pada kaum homoseksual secara luas berkenaan dengan pembingkaian berita tersebut dalam media (Santosa, 2008, dalam www.kompas.com; Yusuf, 2009, dalam dewey.petra.ac.id, tanggal akses 30 Mei 2011). Jika sebelumnya kaum transeksual dan homoseksual terpinggirkan dalam koridor agama dan perilaku normatif, pada saat itu bertambah stigma lain yakni sebagai pihak yang potensial melakukan kekerasan fisik atau kriminalitas, serta memperkuat stigma sakit mental yang memang sejak dulu berkembang di masyarakat. Persoalan keterpinggiran juga ditampilkan lewat keberadaan garis melintang berwarna putih dan serabut-serabut acak garis putih di beberapa tempat pada bagian tengah gambar. Garis tersebut menyiratkan kesan foto yang dilipat dan tak dirawat. Foto yang dilipat umumnya disimpan, namun tidak ditunjukkan. Namun garis acak menimbulkan kesan foto 7

tersebut sudah lama tidak dirawat, bahkan menjadi sampah. Hal ini menunjukkan realitas yang dihadapi kaum homoseksual yang tidak dapat membuka diri. Walau keberadaannya tidak bisa dipungkiri, namun eksistansinya disembunyikan atau bahkan dibuang menjadi sampah masyarakat. Selain wajah, bagian tubuh yang terlihat hanyalah leher dan bagian atas tubuh, yakni bahu dan sebagian dada. Sejauh terlihat, sosok tersebut tidak berbusana. Kondisi tak berbusana identik dengan sisi seksualitas seseorang. Hal ini dapat dimaknai sebagai elemen kunci yang menguatkan bahwa permasalahan yang ingin diutarakan oleh tokoh adalah permasalahan seksualitas. 2.2. MAKNA INTERAKSI Makna interaksi dapat dimunculkan dari elemen-elemen dalam teks maupun interaksi antara pelihat dengan teks. Karena ilustrasi dalam poster tersebut hanya menampilkan satu sosok, tidak ada interaksi antarmanusia dalam teks. Walaupun wajah sosok dalam teks menghadap pelihat, dan dengan demikian seharusnya menghadirkan kontak mata dengan pelihat, tetapi mata yang ditutup membuat kontak tersebut absen. Akan tetapi, karena absennya kontak dimunculkan dengan paksa, yakni dengan keberadaan blok hitam pada mata, muncul situasi ketika pelihat merasa sosok dalam poster ingin menatap dan bicara padanya, namun tidak terakomodasi. Hal ini lebih ditunjang oleh ekspresi wajah tokoh sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Komunikasi yang terputu ini justru memunculkan kontak tidak secara fisik, namun secara emosional. Jarak emosional dibangun antara pelihat dan sosok dalam gambar lewat teknik zoom in atau close-up shot yang hanya menampilkan wajah tampak depan. Jarak emosional ini juga dimungkinkan dengan mempertimbangkan sasaran pelihat dalam lingkup sempit sebagaimana diisyaratkan oleh tag Q! Film Festival sendiri, yakni kelompok LGBTQ. Dengan melihat ciri fisik dan ekspresi tokoh, pada pelihat muncul perasaan sama atau senasib, yang memunculkan empati. Efek yang muncul adalah Mirror effect, ketika pelihat dapat mengenali tanda-tanda dan mengasosiasikan tokoh atau kondisi yang dialami tokoh dengan dirinya. Di sini fungsi poster adalah untuk mengkomunikasikan dan menyadarkan pelihat akan realitas melalui simbol.

2.3. MAKNA KOMPOSISI Menurut van Leeuwen (2005: 211), komposisi adalah cara penyusunan elemenmanusia, benda, bentuk-bentuk abstrakdi dalam atau di luar ruang semiotik. Pada gambar poster Q!FF 2009, makna komposisi muncul dari keberadaan elemen-elemen tulisan dalam teks, tata letak gambar dan simbol, serta warna yang memunculkan arti tertentu. Framing pada teks muncul dari batas bidang gambar. Pelihat dihadapkan hanya pada wajah dan sedikit bagian atas dada, yang menekankan ekspresi pada wajah tokoh, bukan gesturnya. Penekanan pada ekspresi ini bertujuan untuk menghadirkan empati lewat proses Mirror image. Elemen-elemen pada sebuah gambar diseimbangkan dengan berlandaskan pada bobot visual, yang diturunkan dari salience perseptual objek-objek. Salience merupakan hasil dari interaksi antara ukuran relatif, ketajaman atau fokus, kontras tone, kontras warna, penempatan dalam ruang visual. Keberadaan figur manusia atau simbol kultural pada objek desain biasanya secara otomatis menempatkan figur atau simbol tersebut pada titik fokus. (van Leeuwen, 2005:211) Pada poster Q!FF 2009, elemen-elemen pada poster diatur berdasarkan komposisi simetris kanan-kiri. Wajah berada tepat di tengah bidang gambar, posisi kepala yang tegak dan bentuk bibir memberi kesan keseimbangan simetris. Akan tetapi menurut Leeuwen, keseimbangan akan lebih menarik jika satu sisi secara visual lebih berat ketmbang sisi lainnya, untuk memberikan kesempatan bagi persepsi manusia mencari keseimbangannya sendiri. Pada gambar, konsep ini dimunculkan lewat keberadaan coretan lipstik pada bagian kiri gambar dan posisi penutup mata yang agak miring. Dengan menempatkan coretan pada bagian kiri gambar, artinya coretan tersebut berada pada bagian kanan wajah sosok dalam foto. Arah kanan dapat juga dimaknai secara kultural dengan mempertimbangkan sasaran pelihat yang merupakan masyarakat Indonesia. Secara tradisional, kanan selalu dianggap sebagai bagian yang baik, berlawanan dengan kiri. Kanan merupakan sisi terang dari kiri dalam struktur bipolar, sekaligus juga dikonotasikan dengan laki-laki dan sifat maskulin. Kanan adalah yang benar, yang normatif. Menempatkan coretan pada sebelah kanan wajah berarti mencoreng sisi yang baik tersebut. Coretan tersebut merefleksikan pandangan masyarakat mengenai kaum GLBTQ, yakni bahwa pelaku homoseksual, khususnya waria sebagaimana disampaikan pada gambar, mencoreng muka masyarakat dalam kaidah normatif. 9

Pada gambar terdapat dua fokus, yakni bibir sebagai fokus pertama dan mata yang tertutup sebagai fokus kedua. Fokus pertama muncul dari bentuk bibir yang abnormal serta kontras antara warna bibir merah muda menyala dengan wajah dan latar yang berwana monoton dan pucat. Adapun mata sebagai fokus kedua muncul dikarenakan kondisi mata yang juga abnormal, bahkan dalam kasus ini sengaja diabnormalisasikan dengan blok hitam tersebut. Kehadiran fokus mengarahkan pembaca untuk melihat kondisi abnormalitas tersebut dan mengasosiasikannya dengan kondisi yang dihadapi kelompok GLBTQ. Warna merah muda pada bibir juga diulangi pada warna tulisan yang berisi informasi mengenai acara, waktu, dan tempat pelaksanaan Q!FF. Penggunaan warna yang kontras dengan latar mengarahkan pelihat untuk langsung membaca tulisan tersebut. Nilai informasi dari teks muncul dari tulisan dan simbol. Tulisan You are not supposed to watch this menjangkarkan makna pada sesuatu yang tidak patut dilihat, tabu, dan bertentangan dengan norma umum. Sedangkan tulisan Q! Film Festival merujuk pada hal yang tidak patut dilihat tersebut, yakni film bertajuk queer movies. Hal ini merupakan suatu ironi, karena poster festival seharusnya bertujuan untuk mengiklankan festival tersebut. Di sini, yang dilakukan adalah penjungkiran makna dengan bahasa. Tulisan tersebut memperkuat citra dan tanda-tanda yang muncul dari gambar sebagaimana telah diterangkan di atas, yakni opresi terhadap kaum LGBTQ. Namun yang dimunculkan adalah ironi. Tulisan tersebut menggarisbawahi dengan nada sinis pandangan masyarakat pada homoseksualitas, dengan menyatakan bahwa film yang diputar adalah film queer, yang secara eksplisit mengandung muatan yang dianggap negatif dalam heteronormativitas. Tulisan tersebut bermain dalam ketidaksadaran manusia yang cenderung ingin tahu atau penasaran dengan hal yang dilarang, sehingga apa-apa yang dinyatakan dilarang atau disertai peringatan justru menjadi daya tarik tersendiri (www.the-marketeers.com, tanggal akses 30 Mei 2011). Sehingga dengan demikian, tulisan tersebut memiliki dua fungsi, di satu sisi merupakan ironi bagi pandangan masyarakat dan di sisi lain menjadi tag penting yang mengiklankan festival tersebut sekaligus menunjukkan isi festival. 3. MAKNA DARI SIMBOL Secara garis besar, dari tanda-tanda yang muncul dan representasi atas tanda, diperoleh pemaknaan sebagai berikut: 1. Makna representasional 10

a)

Makna simbolik Poster ini menampilkan sosok seorang laki-laki waria/transgender. Kekaburan identitas gender ini diperlihatkan oleh raut wajah yang meperlihatkan ciri maskulin, namun menggunakan identitas feminin yakni lipstik berwarna merah muda. Tubuh bagian atas yang terbuka memperlihatkan seksualitas, namun identitasnya tertutupi, diperlihatkan oleh mata yang ditutupi blok hitam. Bibirnya terbuka, namun gigi yang terkatup menunjukkan bahwa ia tak dapat bersuara, sekaligus juga menunjukkan kegeraman. Hal ini menunjukkan opresi terhadap kaum LGBTQ sekaligus ketidakmampuan untuk menentang hal tersebut.

b)

Makna analitik Di dalam poster tersebut tampak isu-isu seputar LGBT, yakni: 1) Isu transgender Isu transgender dipertlihatkan oleh kekaburan identitas sang tokoh. Dalam masyarakat yang heteronormatif, bahkan dalam sebagian kalangan homoseksual sendiri, golongan transgender kerap mengalami pendiskreditan dan kekerasan. Lipstik yang tercoreng di bagian kanan wajah menunjukkan sikap kalangan masyarakat yang menganggap kalangan LGBT mencoreng masyarakat. 2) Isu penolakan terhadap homoseksualitas Penolakan ini ditampilkan lewat mata sang tokoh yang tertutupi blok hitam. Dengan pemakaian blok hitam yang kerap digunakan untuk menutupi identitas penjahat, di sini homoseksualitas dianggap sebagai sesuatu yang buruk, jahat, bahkan dapat dihubungkan dengan kriminalitas. Penolakan ini juga diperlihatkan oleh garis melintang pada gambar seperti foto yang terlipat dan kusut, yang dianalogikan dengan sampah, menyatakan eksistensi yang terpinggirkan. 3) Isu keterbungkaman kalangan LGBT Hal ini diperlihatkan oleh bibir yang terbuka, gigi yang terkatup. Walaupun gigi yang terkatup merupakan simbol kegeraman, sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan, tetapi hal ini tidak dapat terlontarkan. Masyarakat melalui berbagai institusi berupaya 11

untuk membungkam kalangan GLBT. Dengan budaya malu akan orientasi seksualnya yang ditanamkan, kaum LGBT pun tidak berani menyuarakan dirinya bahkan sebagaian besar memilih untuk tetap merahasiakan identitasnya. 2. Makna interaktif a) Kontak mata Kontak mata seharusnya ada karena wajah tokoh sepenuhnya menghadap pelihat, tetapi mata yang tertutup membuat kontak tersebut absen. b) Jarak emosional Hal yang ditampilkan dengan ketiadan kontak mata, namun disampaikan lewat symbolsimbol lain, menciptakan Mirror Image pada diri pelihat. Justru hal ini membangun kontak emosional sehingga pelihat mencitrakan diri sebagai tokoh, dan berempati dengan realita yang dihadapi kaum LGBT 3. Makna komposisi a) Information value Poster ini memiliki tujuan lain di luar mengiklankan atau menginformasikan acara Gay Film Festival tahun 2009. Poster ini juga berusaha menyadarkan mengenai realita yang dihadapi kaum LGBT. Poster ini bersifat sinis, dengan mengutarakan isu-isu serius seperti keterbungkaman, peminggiran, dan isu transgender. Yang diharapkan dari poster ini dengan menyentil isu tersebut adalah timbulnya kesadaran dan keberanian dalam upaya untuk melawan ketidakadilan tersebut. b) Framing Poster ini membingkai realita mengenai sisi negatif yang dialami kaum LGBTQ dalam kaitannya dengan heteronormativitas, sehingga isu yang diangkat adalah isu hak asasi manusia dan persoalan identitas. c) Salience Kehadiran dua fokus, yakni bibir dan mata yang abnormal mengarahkan pembaca untuk melihat kondisi abnormalitas tersebut dan mengasosiasikannya dengan kondisi yang dihadapi kelompok GLBTQ. 12

4. KESIMPULAN Poster ini berusaha menampilkan sisi negatif dari realita yang dihadapi kaum LGBT saat berhadapan dengan heteronormativitas yang dianggap lazim. Poster ini berusaha mengangkat isu kemanusiaan, antara lain isu transgender, penolakan, dan keterbungkaman kaum LGBTQ, dengan tujuan membuat pelihat merasakan empati dan simpati terhadap kondisi tersebut. Perasaan ini dihadirkan dalam proses Mirror Effect, dengan mempertimbangkan sasaran pelihat secara sempit yang merupakan kaum LGBTQ. Namun, bermain dalam sisi psikologi manusia yang cenderung ingin tahu pada hal-hal yang dilarang, poster ini mengedepankan isu pelarangan homoseksualitas guna menarik perhatian yang lebih luas.

SUMBER About.com. Queer. Gaylife. Diakses pada 12 Mei 2011, pukul 01.10. http://www.gaylife.about.com Ayatquran. Gay, Lesbian, Waria, Banci Adalah Kaum Yang Melampaui Batas. Modifikasi terakhir pada 9 Februari 2009. Diakses pada 10 Mei 2011, pukul 02.40. http://ayatquran.wordpress.com/ 2009/02/09/gay-lesbian-waria-banci-adalah-kaum-yang-melampaui-batas/ Dzulkarnain, Iskandar. Perilaku Homoseksual di Pondok Pesantren. Tesis. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada, 2006. Format elektronik diakses pada 10 Mei 2011, pukul 03.30. http://www.scribd.com/ doc/53870519/16/b-1-Homoseksual-Pada-Sejarah-Awal Gaya Nusantara. Identitas LGBTiQ. http://www.gayanusantara.or.id/ Diakses pada 11 Mei 2011, pukul 03.10.

Grace, Andre P. The Meaning of Queer: Moving Beyond Our Resistance to Language. Womens Web. Diakses pada 12 Mei 2011, pukul 02.40. http://www.womensweb.ca/lgbt/queer.php Hermawan. Kaum Gay Ibukota Parno Gara-gara Kasus Ryan. Modifikasi terakhir pada 30 Mei 2011. Diakses pada 30 Mei 2011, pukul 15.36. http://iklanvoucher.com/iklan/kaum-gay-ibukota-parnogara-gara-kasus-ryan-verry-idam-henyansyah.html Irawaty, Diah. Dari peluncuran Buku Hasrat Perempuan membongkar mitos Seksualitas Tunggal. Komnas Perempuan. Diakses pada 11 Mei 2011, pukul 00.30. http://www.komnasperempuan.or.id/2009/06/dari-peluncuran-buku-%E2%80%9Chasratperempuan%E2%80%9D-membongkar-mitos-seksualitas-tunggal/ Jung, C.Q. Jungian Models of The Psyche. Diakses pada 13 Mei 2011, pukul 00.20. http://www.schuelers.com/ChaosPsyche/part_1_17.htm Lambda Community. Symbols of the Gay, Lesbian, Bisexual, and Transgender Movements. Modifikasi terakhir pada 26 Desember 2004. Diakses pada 12 Mei 2011, pukul 06.43. http://www.lambda.org/symbols.htm

13

Mansur, Hayat. UU Pornografi dan Pemilu 2009. Perspektif Online. Modifikasi terakhir pada 31 Oktober 2008. Diakses pada 11 Mei 2011, pukul 00.28. http://www.perspektif.net/article/article.php?article_id=978 Marketeers. Story that Creates Word of Mouth. New Wave Marketing. Diakses pada 30 Mei 2011, pukul 16.40. http://the-marketeers.com/archives/story-that-creates-word-of-mouth.html McManus, Barbara F. Anima/Animus: The Archetype of Contrasexuality. Diakses pada 10 Mei 2011, pukul 07.15. http://www2.cnr.edu/home/bmcmanus/anima.html Nymph. Queer. A Feminist Theory Dictionary. Modifikasi terakhir pada 15 Juli 2007. Diakses pada 12 Mei 2011, pukul 02.09. http://afeministtheorydictionary.wordpress.com/2007/07/15/queer/ Oswald, Lewis. Pink Triangle. Homocaust: The Gay Victim of The Holocaust. Modifikasi terakhir pada 2004. Diakses pada 12 Mei 2011, 04.25. http://www.hardenet.com/ homocaust/pinktriangles.htm Santosa, Iwan. Kasus Ryan, Jangan Pojokkan Gay. Kompas.com. Modifikasi terakhir pada 24 Juli 2008. Diakses pada 30 Mei 2011, pukul 15.34. http://nasional.kompas.com/read/ 2008/07/24/06123111/kasus.ryan.jangan.pojokkan.gay Puspitasari, Yunita. Mukjizat dalam Rahim. Yunita Puspitasaris Blog. Modifikasi terakhir pada 2 April 2009. Diakses pda 30 Mei 2011, pukul 16.29. http://yunitapuspitasari.wordpress.com/ 2009/04/02/mukjizat-dalam-rahim/ Queertheory.com. Gender/Sex/Orientation. Queer Theory. Diakses pada 10 Mei 2011, pukul 03.30. http://www.queertheory.com/identities/default.htm Q-munity. Q Film Festival. Diakses pada 10 Mei 2011, pukul 03.20. http://www.q-munity.org Sandhy, Wayan. Simbol dan Filosofi: Pria dan Wanita. Mayapada Prana. Modifikasi terakhir pada 9 Juni 2006. Diakses pada 30 Mei 2011, pukul 16.25. http://www.mail-archive.com/ mayapadaprana@yahoogroups.com/msg03397.html Siregar, Arfanda. Quo Vadis RUU APP. RUU APPRI Blog. Diakses pada 11 Mei 2011, pukul 00.45. http://ruuappri.blogsome.com/category/1/page/32/ Spencer, Colin. Sejarah Homoseksualitas. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. Sumardjo, Jakob. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogyakarta: CV. Qalam, 2002. Urban Dictionary.com. Queer. Diakses pada http://www.urbandictionary.com/define.php?term=queer 12 Mei 2011, pukul 02.30.

Van Leeuwen, Theo. Introducing Social Semiotics. London: Routledge, 2005. Word-Origins.com. Queer Word Origin. Diakses pada 12 Mei 2011, pukul 02.10. http://www.wordorigins.com/definition/queer.html Yusuf, Evelyn Pratiwi. Pembingkaian Gay dalam Kasus Ryan di Surat Kabar Surya dan Radar Surabaya. Skripsi. Surabaya: Universitas Kristen Petra, 2009. Format elektronik diakses pada 30 Mei 2011, pukul 15.43. http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dt_11437_1.html

14

Anda mungkin juga menyukai