Anda di halaman 1dari 13

PENGGOLONGAN KONSEP-KONSEP KREATIVITAS

UJIAN AKHIR SEMESTER PSIKOLOGI SENI II

WARIDAH MUTHIAH NIM. 27110047 23 Mei 2011 JURUSAN MAGISTER DESAIN FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT TEKNOLOGI BANDUNG 2011

Menurut Arasteh dan Arasteh (1976) dalam Creativity in Human Development, kreativitas diartikan sebagai kemampuan untuk membuat yang tidak tampak menjadi tampak (to make the invisible visible). Di sini kreativitas adalah kemampuan penciptaan atau upaya produktif dari seseorang untuk menghasilkan sesuatu dari yang sebelumnya tidak ada menjadi ada. Berdasarkan cara berpikirnya, individu kreatif dapat dibagi menjadi dua tipe: a. Jenis Sistematis/Logis Individu bertipe sistematis/logis mendasarkan kemampuan penciptaannya dari kehendak atau kemauan sadar (consciousness) yang kuat. Jalan keluar dari permasalahan muncul melalui proses yang disadari sepenuhnya, dengan melalui tahapan-tahapan yang sistematis, metodis, logis, dan analitis. Dari bekal pengetahuan atau informasi yang dikumpulkan, individu secara sadar melakukan proses induktif dan deduktif guna menarik kesimpulan, sehingga tidak ada ide yang keluar semata-mata sebagai ilham. Ciri dari cara berpikir conscious menurut Dijkterhuis dan Nortgen (2006) dalam Moss (2008) adalah: Menghasilkan jawaban yang pasti dan tepat (precise answer) Hanya dapat mempertimbangkan dan memperbandingkan sedikit informasi pada satu waktu, sehingga lebih dapat diandalkan guna memutuskan alternatif yang memiliki dua hingga tiga atribut/koefisien, yang implikasi dari unsur-unsurnya dapat diukur Cenderung mengingat secara bias hal yang buruk/tidak disukai dari pilihan yang tidak diinginkan dan hal yang baik/disukai dari pilihan yang diinginkan Memfasilitasi cara berpikir divergen Memberi penilaian yang lebih tidak konsisten pada benda atau hal yang sama jika dibandingkan dengan benda-benda lain

b. Jenis Spekulatif/Intuitif Individu bertipe spekulatif/intuitif mendasarkan kemampuan penciptaannya dari inspirasi dan ketidaksadaran, ketimbang mempertimbangkan masalah dan memutuskan secara sistematis (Dijksterhuis dan Nortgen, 2006). Ide muncul secara tidak terduga, yang seringkali disebut sebagai ilham. Meskipun demikian, diyakini bahwa kreativitas tidak semata keluar out of the blue. Menurut Hogarth (2001), intuisi berangkat dari pengalaman dan pembelajaran. Dengan demikian, pada dasarnya jawaban tersebut hadir dari sintesa pengetahuan yang telah didapatkan sebelumnya, yang dierami dalam alam bawah sadar atau ambang sadarnya. Saat dihadapkan pada suatu permasalahan, secara tidak sadar, pikiran seseorang memproses informasi mengenai permasalahan tersebut dan disintesakan dengan pengetahuan yang sudah dimiliki. Pada titik ini, ia tersadarkan akan jawaban yang seakan-akan hadir sebagai 'ilham. Ciri dari cara berpikir unconscious menurut Dijkterhuis dan Nortgen (2004, 2006) adalah: Menghasilkan jawaban yang bersifat gambaran global tapi tidak spesifik; rata-rata, kira-kira, atau mendekati (jika berhubungan dengan angka) Dapat menggabungkan, menimbang, dan mengintegrasikan informasi untuk mengoptimalkan pengambilan keputusan, sehingga lebih dapat diandalkan untuk memutuskan alternatif yang melibatkan banyak koefisien, yang implikasi unsur-unsurnya tidak jelas/tidak dapat diprediksi 1

Meskipun juga dapat mengingat informasi secara bias, kebiasan ini hanya pada hal kecil yang tidak prinsipil sehingga tidak mengganggu objektivitas dari pengambilan keputusan Memfasilitasi cara berpikir konvergen Lebih mempertimbangkan preferensi daripada unsur lain, sehingga penilaian lebih konsisten Memungkinkan seseorang untuk mendeteksi kebohongan Lebih dipengaruhi oleh mood dan afeksi

Pengelompokan teori-teori proses kreasi ke dalam salah satu tipe cara berpikir adalah sebagai berikut: a. Jenis sistematis (logis) 1) Discovering Problems Teori dari Getzels dan Cszkszenmihalyi ini berawal dari kenyataan bahwa selama ini menurut ukuran tradisional, kreativitas sama dengan kecerdasan, yakni kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Kedua peneliti ini berhipotesis bahwa kreativitas tidak hanya berhubungan dengan kemampuan menyelesaikan, tetapi lebih pada kemampuan menemukan masalah. Tantangan merupakan motivasi, karena kreativitas dapat muncul pada situasi tegang, yang menurut Freud muncul sebagai ekstasi. (Irma Damayanti, perkuliahan 1 Februari 2011) Teori kreativitas ini lebih mengacu pada pola pikir sistematis (logis), karena menurut teori ini, individu yang kreatif secara aktif mencari stimulus/rangsang bagi kreativitasnya, menuntut kesempurnaan, dan menjadikan hasil tersebut sebagai motivasi untuk mencari masalah lain atau dalam level yang lebih tinggi. Kendati dorongan ekstasi yang muncul pada saat proses pemecahan masalah dan memunculkan dorongan untuk menemukan masalah baru bersifat intuitif, tetapi proses saat mencari masalah dan menemukan pemecahan menggunakan pola yang metodis dan terstruktur. Individu terus melakukan eksplorasi secara sadar, dengan melibatkan penalaran atas informasi yang didapat. Munculnya masalah yang bisa diangkat dari suatu hal merupakan hasil dari pertimbangan dan deduksi yang dilakukan secara logis. Kelebihan: Dalam teori ini, kreativitas diartikan sejajar dengan kemampuan manusia untuk menganalisa lingkungan dan mendapatkan permasalahan sebagai deduksi dari analisa tersebut. Terlihat dua jenis tipe berpikir yakni sistematis (dalam mencari dan menganalisa masalah) serta intuitif (konsep ekstasi), tetapi pola sistematis lebih dominan karena sifat intuitif dari teori ini hanya muncul sebagai latar belakang yang mendorong seseorang untuk bergerak, bukan sebagai penentu kreativitas itu sendiri. Konsep ekstasi yang dimunculkan pada saat tegang dapat dipakai untuk menjelaskan kondisi ketika orang-orang tertentu berusaha mencari masalah yang lebih berat dari masalah yang bisa diselesaikan sebelumnya. Konsep tahap bertingkat ini dapat digunakan dalam pembelajaran untuk meningkatkan kreativitas seseorang. Kekurangan: Teori ini tidak mencakup aspek-aspek lain yang terlibat pada saat deduksi tersebut dimunculkan. Kreativitas diartikan secara sederhana sebagai kemampuan seseorang menganalisa permasalahan, 2

atau menganalisa lingkungan guna mendapatkan permasalahan. Dengan memfokuskan pada aspek kemampuan analisis seseorang, teori ini tidak bisa menjawab beberapa kasus seperti: a. Beberapa orang, setelah melalui tahapan analisis yang sama atau bahkan kurang daripada orang lain, seringkali menemukan permasalahan atau jawaban yang lebih kreatif dibanding yang lain b. Setelah melakukan analisa logis dan tidak kunjung menemukan jawaban, seseorang kadang mendapat jawaban justru bukan dari kesadaran, melainkan dari ketidaksadaran. Contoh dari kasus ini adalah penemuan ban oleh Goodyear dan lampu oleh Edison. 2) Conscious Craft Teori ini dibangun oleh beberapa peneliti seperti Rudolf Arnheim, Howard Grater, dan David Perkins yang menghubungkan antara kreativitas seniman atau peneliti dalam membuat karya dengan kapasitasnya untuk melakukan penelitian yang sistematis dan logis sehubungan dengan karya tersebut. Menurut Arnheim (1962), dalam berkreasi, seniman berjuang memecahkan masalah dengan kesadaran dan kemampuan intelektual. Seniman telah memiliki gambaran dalam kepalanya mengenai suatu gagasan, yang berusaha dimunculkan dengan menggunakan pengetahuan yang ia miliki (Irma Damayanti, perkuliahan 11 April 2011). Dalam proses kreasi, proses menemukan ide dapat melalui cara berpikir sadar (conscious thinking) yang logis maupun cara berpikir tidak sadar (unconscious thinking) yang mengandalkan intuisi dan inspirasi. Akan tetapi, proses penggodokan dan eksekusi ide hingga melahirkan karya fisik tentunya melalui proses logis dan sistematis. Penempatan bentuk, warna, serta penggunaan material dan teknik melibatkan logika, karena perlu mempertimbangkan konsep seperti estetika, komposisi, serta kesesuaian dengan konsep karya. Hal lain dalam proses kreasi juga berkaitan dengan cara seniman menyampaikan visinya. Beberapa karya seni atau desain memiliki misi retoris. Agar pesan ini sampai, seniman atau desainer harus mengkomunikasikan ide dengan menggunakan simbol-simbol yang dapat diapresiasi. Seringkali simbol yang digunakan adalah simbol yang dikenal masyarakat atau yang dapat diasosiasikan dengan makna lain. Di sini, dilakukan metode yang sistematis dalam pengumpulan data sebagai acuan karya, pengorganisasian data, analisis dan pemilihan data, hingga penggunaan data tersebut dalam karya. Beberapa seniman melakukan proses pengumpulan data sebagai latar belakang pembuatan karya. Karya-karya seni yang bersifat historis ataupun karya yang hadir sebagai kritik masyarakat adalah contohnya. Kreativitas dan inovasi hadir dari proses rasional analisis dan interpretasi data. Kelebihan: Teori ini menjelaskan kreativitas sebagai sebuah proses holistik. Teori ini menekankan aspek analisis dan eksekusi dalam pembuatan sebuah karya kreatif, tidak semata dari proses penemuan ide atau ilham. Kreativitas tidak hadir sebagai sesuatu yang tiba-tiba atau bakat yang tidak bisa ditawar, melainkan hadir sebagai hasil pengumpulan informasi, analisis data, membuat konsep, kematangan teknik, dan kemampuan menggabungkan dan menerapkan seluruh hal tersebut dalam karya. Kekurangan: Teori ini hanya dapat diterapkan pada individu yang mengedepankan logika, analisis, dan penguasaan teknik, tetapi tidak dapat diterapkan pada individu yang memang mengedepankan intuisi. Teori ini juga tidak menjelaskan beberapa konsep dan teknik berkarya yang memang 3

sepenuhnya baru atau tidak bersumber dari data/hal yang sudah ada. Jika menerapkan teori ini untuk menjelaskan hal tersebut, satu-satunya jawaban hanyalah teknik/konsep tersebut muncul setelah dilakukan analisa dan pengolahan atas yang lama/sudah ada, menemukan kekurangan atas hal tersebut, menganalisa kemungkinan lain, kemudian kebaruan tersebut hadir sebagai solusi. 3) Intelligence Teori Intellegence mengungkap beberapa aspek dalam kecerdasan, antara lain kecerdasan dihubungkan semata dengan kemampuan logika, matematika dan bahasa; kecerdasan dihubungkan dengan emosi, kecerdasan dihubungkan dengan kematangan spiritual, serta konsep Multiple Intelligence. Menurut teori Multiple Intelligence dari Howard Gardener, kecerdasan dapat dibagi menjadi kecerdasan logis-matematis, naturis, kinestetis, musik, visual-estetis, linguistis, interpersonal, intrapersonal, dan filosofis (Armstrong, 2007). Sesungguhnya, semua jenis kecerdasan memiliki aspek intuitif, yakni faktor bawaan, karena tidak semua orang memiliki jenis kecerdasan yang sama. Namun, dalam perkembangan kehidupan, setiap orang membutuhkan kemampuan analitis dan logis dalam pemanfaatan kecerdasan masing-masing. Kecerdasan logis dan matematis merupakan hal yang secara total sangat mengandalkan proses berpikir sistematis dalam mencari jawaban. Kecerdasan linguistik sangat berhubungan dengan logika dan analisa yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Demikian pula kecerdasan filosofis, yang sepenuhnya menggunakan nalar dan analisis yang sistematis dalam mengkaji sesuatu. Kecerdasan naturis mengandalkan intuisi di tahap pertama untuk merasa dekat dan berhubungan dengan alam, tetapi upaya untuk menunjukkan keterhubungan dengan alam diambil dengan pertimbanganpertimbangan logis. Kecerdasan kinestetis, visual-estetis, dan musik berawal dari bakat untuk dapat bergerak, melihat unsur keindahan dari sisi rupa, atau menangkap nada. Sebagian dari hal ini merupakan intuisi, tetapi pembelajaran untuk memaksimalkan hal tersebut merupakan hal yang dilakukan secara sistematis dan logis, bahkan justru keahlian dari pembelajaran ini yang seringkali menjadi dasar dari perkembangan intuisi. Kecerdasan interpersonal dan intrapersonal merupakan dua kecerdasan yang menggunakan cara berpikir intuitif dalam porsi yang besar, dalam berhubungan dengan diri sendiri maupun dengan orang lain, tetapi logika tetap digunakan dalam mencari jalan keluar dari masalah dan menetapkan keputusan. Kelebihan: Teori mengenai kecerdasan sebagai faktor penentu kreativitas menganggap bahwa kreativitas dapat diprediksi sebelumnya. Teori Multiple Intelligence menegaskan bahwa setiap individu memiliki kecerdasan berbeda. Pendeteksian sejak dini kemampuan seseorang dapat membimbing seseorang meningkatkan/mengasah kecerdasan yang ia miliki. Kekurangan: Teori IQ sebagai penentu kecerdasan menetapkan bahwa untuk dapat mengembangkan kreativitas, seseorang harus memiliki IQ minimal tertentu. Padahal, pada kenyataannya, penetapan IQ minimal ini tidak bisa menentukan kreativitas seseorang di bidang lain.

Kelemahan prinsip Multiple Intelligence adalah pada sistem pengkotak-kotakkan kecerdasan. Teori ini bisa dianggap bertumpang tindih dengan teori Bakat. Jika seseorang hanya memiliki kecerdasan di satu bidang, kecil kemungkinannya ia dapat menjadi kreatif di bidang lain. Selain itu, masih ada pertanyaan mengenai sampai sejauh mana kemampuan untuk meningkatkan kecerdasan seseorang. Seringkali muncul kasus seperti: a. Seseorang menemukan kemampuannya di bidang lain secara tiba-tiba, apakah itu bakat yang tidak disadari ataukah kemampuannya untuk menyerap sesuatu dan mempraktekkannya? b. Pada beberapa kasus, seseorang tidak bisa mengenali kemampuannya pada bidang tertentu justru karena ia memiliki kecerdasan di banyak bidang tetapi pada level rata-rata (tidak ada yang menonjol), sehingga perlu diperhatikan cara meningkatkan kreativitas pada orang seperti ini. c. Beberapa orang tidak memiliki kesempatan untuk mengenali kecerdasannya di suatu bidang 4) Reinforcement Pengenalan dan penguatan dari lingkungan akan kemampuan seseorang dalam berkarya menjadi hal yang penting dalam mendukung kreativitas. Hal ini muncul dari pertimbangan yang sangat logis, yakni bahwa dukungan lingkungan akan memunculkan percaya diri dan menciptakan iklim yang sesuai bagi munculnya berbagai ide dan karya. Dukungan lingkungan juga dapat hadir secara non-fisik dalam bentuk pujian dan dukungan, juga dapat dalam bentuk wadah atau kesempatan yang memerlukan sarana fisik seperti sekolah, institusi, panggung, teater, galeri, museum, pasar seni, festival, lomba, dan lain sebagainya. Di sini konsep penguatan atas bakat dan kemampuan dihadirkan dalam kerangka yang metodis dan sistematis, yakni dengan membuka kesempatan, memberi dukungan, dan menyediakan sarana untuk mempertunjukkan hasil yang dicapai seseorang, yang memberi motivasi untuk lebih mengeksplorasi kemampuan yang ia miliki sehingga memunculkan kreativitas. Kelebihan: Teori ini menjelaskan pengaruh daya dukung lingkungan yang positif terhadap pembentukan dan pengembangan kreativitas. Teori ini dapat diterapkan dalam pembentukan kebijakan dan strategi dalam peningkatan kreativitas. Kekurangan: Konsep reinforcement selama ini hanya diarahkan pada orang-orang yang benar-benar potensial atau sudah memiliki bakat. Dalam kelompok, hal ini biasanya menimbulkan rasa ketidakpercayaan diri bagi sebagian yang lain. Konsep ini juga tidak menjelaskan bagaimana kreativitas yang lebih tinggi muncul pada sebagian orang dalam kelompok yang diberi penguatan yang sama. b. Jenis spekulatif (intuitif) 1) Instinctual Drives Teori mengenai dorongan naluriah sebagai dasar proses kreatif dikemukakan oleh Freud, dihubungkan dengan aspek ketidaksadaran kolektif dari Jung dan teori psikoanalisa Lacan. Teori ini 5

menekankan pada aspek unconsciousness dalam penciptaan karya, yakni dorongan naluri atau intuisi yang melatarbelakangi penciptaan suatu karya yang dihubungkan dengan perkembangan psikologis seniman. Dalam psikoanalisa, hal yang terjadi di masa Golden Age mempengaruhi kepribadian pada saat dewasa, yang juga mempengaruhi pola pikir dan seringkali berpengaruh dalam proses kreasi. Dalam pikiran manusia sendiri, ada tiga unsur yang selalu saling bersitegang dalam setiap proses pengambilan keputusan, yakni ego, Inctinctual Drive (id), dan superego. Id atau insting adalah naluri dasar kebinatangan dalam diri manusia, hasrat dasar dan dorongan yang membuat manusia dapat survive seperti naluri agresi, dorongan biologis, dan trauma. Sifat id adalah mengutamakan azas pleasure, tidak mengindahkan rasio, dan impulsif. Sedangkan superego adalah sisi dalam pikiran manusia yang mengutamakan nilai-nilai yang dianut, seperti norma dan kontrol sosial, yang berperan sebagai kontra dari dorongan-dorongan id. Adapun ego adalah bagian dari pikiran yang bersifat rasional, berperan sebagai pengambil keputusan yang bersifat kompromistis dari konflik antara id dan superego. Ego merupakan sisi rasional yang berada di ranah consciousness mind, tetapi ia bisa dipengaruhi oleh id atau hasrat. Salah satu bagian dari id hadir dari aspek masa lalu, yakni trauma. Hal-hal seperti ini diendapkan dalam memori menjadi bagian dari ketidaksadaran (unconsciousness mind), yang merupakan bagian terbesar dari gunung es pikiran manusia. Teori ini dikategorikan sebagai teori cara berpikir intuitif karena relasinya yang sangat erat tentang upaya penciptaan karya dihubungkan dengan aspek unsconscious. Dalam teori ini, karya merupakan hasil dari dorongan naluri/id. Dorongan naluri membutuhkan pelampiasan, yang seringkali tidak dapat dihadirkan di dunia nyata karena berbenturan dengan norma dan hukum. Penghalangan bagi penyaluran naluri atau hasrat merupakan hal yang tidak sehat, karena bisa berujung pada kegilaan. Individu yang kreatif menjadikan kebutuhan untuk memenuhi hasratnya ini sebagai dasar baginya menciptakan dunia sendiri, yakni lewat karya. Di sini dorongan naluri disublimasikan ke dalam bentuk yang dapat diterima lingkungan, namun juga tidak menekan nalurinya sendiri. Kelebihan: Dengan mengembangkan teori psikonalisa Freud, teori sublimasi dorongan naluri menjelaskan fungsi alam bawah sadar dalam penemuan ide dan pengembangan konsep berkarya. Teori ini dapat digunakan dalam Art Theraphy. Kekurangan: Seniman seolah dianggap memiliki suatu kelemahan secara mental, sehingga karya seni dianggap sebagai perwujudan dunia yang ideal atau dunia tempat seniman dapat melepaskan hasrat yang tidak dapat diwujudkan di dunia nyata. Teori ini hanya dapat menjelaskan karya-karya yang memuat simbol-simbol yang tidak sadar diwujudkan seniman, tetapi tidak bisa menjelaskan proses pemilihan ide atau simbol tersebut yang dilakukan secara sadar. 2) Ego Strength Kekuatan ego seseorang berhubungan dengan kemampuan dan kecerdasan untuk mengambil keputusan untuk menunjukkan dirinya di hadapan masyarakat. Berbeda dengan anggapan Freud yang menyatakan bahwa kreativitas dapat hadir karena pengalaman-pengalaman masa lalu, yang bisa jadi traumatis, yang membutuhkan pelampiasan, dalam teori ego strength, individu yang kreatif secara emosional sehat dan kuat untuk memunculkan identitasnya dalam karya. Mereka biasanya 6

memiliki kepribadian yang kuat, percaya diri, memiliki tingkat leadership yang tinggi, berorientasi pada tujuan, serta cenderung individualistis. Orientasi pada diri sendiri ini memunculkan keinginan untuk menonjolkan diri, sehingga mendapatkan pengakuan dari lingkungan. Meskipun ego dianggap sebagai bagian yang rasional, namun di sini ego dihubungkan dengan hasrat dan kemampuan intuitif. Teori ini digolongkan pada teori cara berpikir intuitif karena berhubungan sangat erat dengan hasrat dan kepribadian. Hasrat untuk menonjolkan diri ini merupakan bagian dari id dan dimunculkan oleh ego, berakar dari unconscious mind yang membentuk kepribadiannya. Kelebihan: Teori ini menekankan pada kepribadian kuat seniman dalam berkarya. Berbeda dengan teori Inferiority Feeling atau Instinctual Drive, teori ini berpendapat bahwa seniman bukan orang yang secara mental bermasalah dengan dirinya atau lingkungan, bahkan ia memiliki ego yang sangat kuat bahkan bisa mengendalikan lingkungan. Kekurangan: Teori ini meyatakan bahwa seniman atau orang yang kreatif adalah orang yang individualistis dan memiliki ego yang kuat untuk dapat menonjolkan diri. Ciri ini bersesuaian dengan ciri orang bertipe koleris/dominan. Dengan meletakkan salah satu ciri dari tipe kepribadian tertentu sebagai faktor penentu kreativitas, teori ini seakan menyatakan bahwa kreativitas tertinggi hanya bisa dimiliki oleh orang dengan tipe kepribadian tersebut. Konsep ini cocok diterapkan pada seniman besar yang berada di puncak piramida atau pemimpin sebuah perusahaan desain. Dalam seni, hal tersebut sangat dimungkinkan, sesuai dengan sifat dasar penciptaan seni yang bersifat individualistis. Namun, hal tersebut tidak bisa secara penuh diterapkan dalam menganalisa kreativitas dalam bidang desain. Banyak perusahaan desain yang tidak semata menggantungkan keputusan desain pada pemimpinnya, melainkan kepada tim pengonsep, pengembang, bahkan artisan. Banyak desain yang merupakan karya bersama, sehingga tidak dapat dikatakan orang yang bertanggung jawab atau mengambil keputusan desain adalah orang yang memiliki kreativitas tertinggi. Teori ini terlalu menekankan pada kreativitas yang ada di puncak gunung es dan mengabaikan kreativitas yang dimiliki oleh pendukung yang memungkinkan keberadaan karya itu sendiri. 3) Athypical Thinking Ada tiga teori mengenai cara berpikir tidak biasa (athypical thinking), yakni: Divergen Thinking Kemampuan kreativitas seseorang yang dihubungkan dengan cara pemikirannya dikemukakan oleh Guilford. Ia menyatakan bahwa individu kreatif cenderung berpikir secara menyebar (divergen), bukan hanya memusat (konvergen). Menurut Guilford, ada beberapa hal yang menunjukkan tingkat kekreatifan seseorang, yakni kemampuannya memiliki kosakata/perbendaharaan bahan yang siap dipakai (affluency), memiliki fleksibilitas dalam pemikiran (flexibility), tidak konvensional, dan memiliki pemikiran yang asli (originality). Pola pikir divergen merupakan salah satu cirri dari cara berpikir intuitif/ unconscious. Kekreatifan ini juga dihubungkan dengan kemauan seseorang untuk mencari atau membekali diri dengan 7

informasi dan kemampuan untuk menerapkannya saat dihadapkan pada situasi tertentu. Kemampuan menggunakan informasi ini merupakan ciri dari pola pikir unsconscious juga, karena informasi yang dimunculkan dihadirkan kembali memori yang berada dari ambang bawah sadar. Remote Associates Thinking Konsep ini dikemukakan oleh Sarnoff Mednick pada 1960, yang berfokus pada kemampuan seseorang menghasilkan hubungan-hubungan (asosiasi). Individu yang kreatif ditandai oleh kemampuannya menghasilkan asosiasi-asosiasi yang tidak biasa atau tidak terpikirkan sebelumnya, dalam waktu singkat secara spontan. Kespontanan dan asosiasi merupakan ciri dari cara berpikir intuitif, karena cara berpikir sistematis lebih mengutamakan analisis ketimbang spontanitas, serta pola asosiasi yang wajar/lumrah dan logis ketimbang asosiasi yang tidak biasa. Janusian Thinking Konsep Janusian Thinking dimunculkan oleh Albert Rottenberg pada 1971. Nama ini berasal dari nama dewa Romawi, Janus, dewa penjaga pintu dan gerbang surga yang memiliki dua wajah. Konsep Janusian Thinking berfokus pada antonimi, yakni perbandingan kata atau benda/hal yang memiliki sifat-sifat berbeda. Individu yang kreatif dapat menemukan persamaan dari elemenelemen yang tampaknya berbeda. Meskipun sebenarnya terkesan logis, kemampuan ini merupakan salah satu ciri kemampuan berpikir intuitif/spekulatif, karena persamaan dari elemen yang berbeda merupakan hal yang secara logis akan ditolak. Prinsip Janusian Thinking mengabaikan kategorisasi dan pemisahan yang dibuat akal pada awal dihadapkan pada masalah yang berbeda bahkan kadang berlawanan, sehingga lebih mengandalkan intuisi, yang hadir dari pengalaman, untuk melihat persamaan-persamaan yang mungkin ada. Kelebihan: Ketiga teori Athypical Thinking menekankan pada kemampuan seseorang untuk mencari jawaban yang lebih atau berbeda dengan jawaban-jawaban umum. Kemampuan ini adalah sesuatu yang sangat berharga dalam industri kreatif ataupun dalam pencarian solusi alternatif. Kekurangan: Ketiga tes yang dipakai dalam menentukan tingkat kreativitas seseorang terfokus pada bahasa, sedangkan hal ini dibatasi oleh perbendaharaan kata yang dimiliki seseorang. Di dunia nyata, konsep athypical thinking lebih pada konsep guna mencari pemecahan masalah. Selain itu, kemampuan seseorang dalam berpikir konvergen ataupun divergen sangat terikat pada faktor budaya dan tingkat pembelajaran. 4) Unconscious Incubation Dalam teori ini, kreativitas hadir sebagai hasil dari mekanisme pikiran bawah sadar dalam menyimpan informasi dan menggunakannya dalam menjawab suatu permasalahan, yang merupakan salah satu ciri cara berpikir tidak sadar (unconscious thinking). Suatu pengalaman yang seakan terlupakan sesungguhnya tidak hilang, melainkan diendapkan sebagai memori di tingkat ambang sadar untuk kemudian dipanggil kembali. Berbeda dengan alam pikiran bawah sadar, 8

tingkat ambang sadar tidak menyimpan memori yang berhubungan dengan trauma, sehingga lebih mudah dimunculkan kembali ke tingkat kesadaran Bowers, Regehr, Balthazard, and Parker (1990) dalam Moss (2008) mengembangkan model operasi dari intuisi dan cara berpikir tidak sadar. Intuisi hadir melalui dua fase, yakni: 1. Guiding. Ketika dihadapkan pada masalah, pikiran seseorang secara otomatis mengaktifkan jaringan memori. Hal ini dilakukan dengan memanggil kembali dan menghubungkan memorimemori yang terkait. 2. Integrative stage. Jaringan memori bergabung memunculkan suatu hipotesis yang menembus ambang kesadaran, yang dirasakan oleh individu sebagai sensasi penemuan atau pencerahan. Kelebihan: Teori ini mengembangkan prinsip Instinctual Drive dan menambahkan satu tingkat pada konsep lapis-lapis pikiran/memori manusia, yakni keberadaan ambang sadar sebagai lapisan yang memungkinkan ingatan untuk mudah dipanggil kembali. Teori ini juga menjelaskan mekanisme terjadinya ilham/inspirasi yang muncul tiba-tiba, yang seringkali menjadi tahap yang menentukan kreativitas seseorang. Teori ini dapat melengkapi teori Discovering Problems dan Conscious Craft, yakni bahwa dalam proses pencarian masalah yang bersifat analitik/sistematis pun, pola pikir unconscious yang bersifat intuitif dapat berperan. Kekurangan: Tidak semua orang dapat mengaktifkan intuisinya untuk menemukan solusi yang kreatif dalam pemecahan masalah. Kemampuan memanfaatkan dan menajamkan intuisi adalah sesuatu yang bisa dilatih. Karena secara tidak langsung teori ini juga menyatakan bahwa hal yang tersimpan di ambang sadar adalah hasil pembelajaran/memori yangdiendapkan, orang yang lebih banyak memiliki pengalaman lebih mungkin untuk mendapatkan ilham yang lebih kreatif daripada orang yang kurang berpengalaman. Dengan demikian, tahap unconscious ini juga melewati tahap conscious, yakni pada proses penyediaan informasi tersebut. 5) Inferiority Feeling Teori yang dikembangkan dari teori psikonalisa Freud ini menyatakan bahwa kreativitas dapat hadir sebagai sublimasi perasaan rendah diri. Seseorang yang memiliki suatu kekurangan di suatu bidang atau pengalaman buruk di masa lalu mengalihkan perasaan tersebut sebagai cambuk untuk menguatkan kepribadiannya. Seseorang yang kreatif dapat menutupi kekurangan tersebut dengan mengasah kemampuannya atau menonjolkan dirinya di bidang lain sebagai kompensasi ketidakmampuan atau kekurangan dirinya, tetapi orang yang tidak kreatif cenderung terseret dalam rasa rendah diri, sehingga menderita inferiority complex. Kelebihan: Teori ini menjelaskan proses pembentukan kepribadian pada orang yang mengalami perasaan rendah diri. Berlawanan dengan teori reinforcement, di sini perasaan rendah diri atau sikap lingkungan yang negatif tidak menjadi faktor yang mematikan kreativitas. Justru sebaliknya, hal tersebut dapat memicu perasaan ingin menonjolkan diri yang mendukung munculnya kreativitas 9

Kekurangan: Teori ini berseberangan namun saling melengkapi dengan teori reinforcement. Penempatan teori ini bisa untuk menganalisa suatu karya atau karakter seseorang, tetapi untuk menempatkannya sebagai strategi atau kebijakan dalam meningkatkan kemampuan kreatif seseorang perlu dipertanyakan. Hanya orang dengan dasar ego strength dan kepribadian yang pada dasarnya memang kuat, yang dapat menjadikan rasa inferior, sebagai dampak reaksi negatif dari lingkungan, sebagai pijakan untuk menguatkan dirinya. Akan tetapi, jika diterapkan pada orang yang salah, hal ini justru dapat membuatnya menderita inferiority complex. Tipe Gabungan 1) Talent Meskipun bakat sebagai faktor yang mempengaruhi kreativitas merupakan faktor bawaan, yang seakan-akan sangat intuitif, namun ada aspek dalam penajaman bakat yang memerlukan proses yang sistematis dan logis. Bahkan pengenalan atas bakat sendiri, yang menjadi kekuatan pendorong bagi seseorang untuk dapat berkarya, terkadang bukan hal yang secara alamiah disadari. Beberapa orang menemukan bakatnya setelah melalui proses eksplorasi diri dengan melalui dan mencoba berbagai hal. Bakat juga dapat ditentukan oleh lingkungan. Proses pembelajaran dan pembiasaan dapat menentukan hal yang disukai dan kemampuan seseorang dalam bidang tersebut. Misalnya seseorang yang lahir dari keluarga musisi atau seniman, seringkali dikatakan memiliki insting dan intuisi kesenimanan dalam darahnya, namun lingkungan juga berperan sangat penting, baik karena keterbiasaan maupun karena adanya satu wadah atau kesempatan dalam iklim yang tepat sehingga seseorang mengetahui bahwa ia memiliki bakat tersebut. Pengetahuan seseorang akan bakat yang ia miliki, daya dukung lingkungan, dan adanya kesempatan membuat seseorang percaya diri untuk secara sadar mengembangkan bakatnya. Bakat juga memerlukan proses pembelajaran agar bakat tersebut dapat dimanfaatkan secara maksimal. Proses ini memerlukan tahapan-tahapan sistematis yang harus dilalui. Ada idiom di masyarakat bahwa bakat yang tidak diasah tidak akan menghasilkan sesuatu, sehingga tanpa pembelajaran, eksplorasi, dan kerja keras, seseorang yang berbakat tidak mungkin memunculkan kreativitasnya, atau lebih lagi memunculkan ciri khas atau orisinalitas. Kelebihan: Teori tentang bakat sebagai penentu kreativitas secara luas dianut oleh masyarakat. Kekurangan: Teori ini menjelaskan tentang kemampuan dasar seseorang sebagai penentu kreativitas, tetapi tidak menjelaskan bagaimana suatu bakat bisa dimiliki oleh seseorang atau bagaimana bakat tersebut dapat menjadi faktor penentu yang menentukan tingkat kreativitasnya. Teori tentang bakat dan teori reinforcement pada dasarnya saling menguatkan, karena bakat saja tidak dapat menentukan tingkat kreativitas jika tidak diiringi oleh pengenalan dan penguatan atas bakat tersebut. 2) Hierarchy of Needs Teori ini dikembangkan dari teori Abraham Maslow mengenai skema piramida kebutuhan manusia. Dasar piramida ditempati kebutuhan dasar/primer, yakni sandang-pangan-papan-seks. Dilanjutkan 10

oleh level kedua, kebutuhan sekunder, yakni keamanan. Level ketiga, kebutuhan tersier, terdiri atas kebutuhan akan kepemilikan dan cinta. Level keempat adalah kebutuhan akan penghargaan terhadap diri. Kebutuhan level teratas adalah kebutuhan untuk mencapai aktualisasi diri, sebagai sesuatu yang bersifat rohaniah dan spiritual.

Piramida Kebutuhan Maslow Sumber: http://www.businessballs.com/maslow.htm

Dalam konsep Hierarchy of Needs, manusia selalu berusaha memenuhi kebutuhan dari level yang paling rendah, kemudian menanjak ke level di atasnya, hingga mencapai level tertinggi. Kebutuhan level kedua tidak akan dipenuhi sebelum memenuhi kebutuhan di level sebelumnya, demikian seterusnya. Kebutuhan untuk memunculkan kreativitas, khususnya yang menonjolkan identitas pribadi, adalah kebutuhan untuk mendapatkan penghargaan, yang merupakan landasan tahap aktualisasi diri, yang merupakan puncak piramida. Konsep ini menggabungkan antara pola pikir conscious dan unconscious. Disebut unconscious karena hasrat untuk memenuhi kebutuhan secara alamiah dan naluriah diinginkan oleh manusia, misalnya hasrat untuk memenuhi kebutuhan biologis. Tetapi, cara kerja untuk mendapatkan hal tersebut adalah melalui pola-pola yang sistematis, terencana, dan dilakukan secara sadar. Pola berjenjang sendiri menunjukkan sifat sistematis tersebut. Kelebihan: Teori ini dapat digunakan untuk memahami motivasi manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Hingga saat ini, teori Maslow masih dipergunakan dalam pelatihan manajemen, motivasi diri, hingga sebagai dasar kebijakan strategis bagi pemerintah dan perusahaan untuk memenuhi kebutuhan rakyat/karyawan dan meningkatkan taraf hidup. Teori ini dapat digunakan untuk menguatkan seseorang untuk mencapai tahap aktualisasi diri dan mengembangkan potensi dan kreativitas yang dimiliki, sehingga orang tersebut dapat berguna bagi negara/masyarakat. 11

Kekurangan: Teori ini menyatakan bahwa kebutuhan manusia berjenjang, begitu pula sifat pemenuhannya. Seseorang dapat mengembangkan potensi dirinya dengan maksimal, yang berarti mencapai aktualisasi diri, hanya jika seluruh kebutuhan di bawahnya terpenuhi. Akan tetapi, pemenuhan kebutuhan pada tingkat-tingkat awal adalah hal yang sulit terutama bagi masyarakat yang hidup di bawah garis kemiskinan, di negara berkembang, atau di daerah konflik. Namun, seringkali orang yang hidup kekurangan juga bisa mencapai tahap aktualisasi diri, dengan merasa lengkap. Misalnya orang dengan tingkat spiritualitas diri yang tinggi atau orang yang merasa bahagia. Terkadang, kreativitas dan pengenalan identitas pribadi tidak hadir setelah kebutuhan awal terpenuhi, melainkan tak jarang kreativitas dimunculkan untuk memenuhi kebutuhan primer, yakni untuk mencari nafkah hidup. Pengelompokan teori-teori tentang kreativitas ke dalam salah satu jenis cara berpikir spekulatif/intuitif atau sistematis/logis tidak bisa dilakukan secara kaku, karena masing-masing teori melihat kreativitas sebagai gabungan dari kedua hal tersebut, walaupun dalam kadar yang berbeda-beda. Kendati demikian, dapat dilakukan pemetaan dari teori-teori tersebut dalam skema berikut ini: consciousness
CONSCIOUS CRAFT EGO STRENGTH REINFORCEMENT ATHYPICAL THINKING HIERARCHY OF NEEDS

INTELLIGENCE

Intuitive/speculative

Systematic/logic
DISCOVERING PROBLEMS

INFERIORITY FEELING INSTINCTUAL DRIVE UNCONSCIOUS INCUBATION

TALENT

unconsciousness

Sumber:
Arasteh, A. R. dan Arasteh, J. D. 1976. Creativity in Human Development: An Interpretive and Annotated Bibliography. Cambridge, Massachussets: Wiley. Armstrong, Thomas. 2007. Multiple Intelligence. Tanggal akses 18 April 2011. www.thomasarmstrong.com. Damayanti, Irma. 2006. Psikologi Seni: Sebuah Pengantar. Bandung: PT Kiblat Buku Utama. Moss, Simon. 2008. Unconscious Thinking Theory, dalam Psychlopedia. Tanggal akses 18 April 2011. www. psychit.com.au. Bussiness Balls.com. Abraham Maslows Hierarchy of Needs Motivational Model, dalam Leadship/Management. http://www.businessballs.com/maslow.htm

12

Anda mungkin juga menyukai