Anda di halaman 1dari 12

Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018

101

Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kreatif dan Berpikir Logis


Mahasiswa dengan Adversity Quotient dalam Pemecahan Masalah

Nanang Diana

STKIP Taman Siswa Bima, Jalan Pendidikan Taman Siswa no.1, Bima-NTB
diana.nanang@yahoo.com/nanangdiana_mathematics@upi.edu

Abstrak

Pembelajaran merupakan proses interaksi peserta didik dan sumber belajar pada suatu
lingkungan belajar. Pembelajaran bertujuan untuk membangun pola berpikir dalam struktur
kognitif dan mengembangkan kemampuan berpikir terhadap mahasiswa. Salah satu hal yang
dilakukan adalah dengan mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan berpikir logis.
Berpikir kreatif merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila mengahadapi
suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan dan berusaha menciptakan gagasan yang
baru, sedangkan berpikir logis adalah suatu proses berpikir dengan menggunakan logika,
rasioanal dan masuk akal. Mahasiswa dalam memecahkan masalah tentunya mengalami
kesulitan yang dipengaruhi oleh Adversity Quotient. Adversity Quotient adalah kecerdasan
mengatasi masalah (daya juang), yaitu kecerdasan seseorang dalam menghadapi kesulitan
yang menghadangnya. Menurut Stoltz Adversity Quotient mempunyai tiga bentuk, yaitu
Adversity Quotient adalah suatu kerangka konseptual yang baru untuk memahami dan
meningkatkan semua segi kesuksesan, Adversity Quotient merupakan suatu ukuran untuk
mengetahui respon seseorang untuk menghadapi kesulitan, dan Adversity Quotient
merupakan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon
seseorang terhadap kesulitan. Ada tiga tipe adversity quition mahasiswa yaitu tipe quitters,
campers dan climber yang dapat dikembangkan proses berpikir kreatif dan logis dalam
pemecahan masalah matematika.

Kata kunci : Berpikir Kreatif, Berpikir Logis, Adversity Quotient, Pemecahan Masalah

Pendahuluan

Pembelajaran di perguruan tinggi bertujuan untuk membangun pola berpikir dan


berpikir kreatif dalam struktur kognitif dan membangkitkan kemampuan berpikir
mahasiswa. Mahasiswa dalam memecahkan masalah tentu mengalami kesulitan yang
dipengaruhi oleh adversity quotient. Adversity quotient merupakan kecerdasan untuk
mengatasi kesulitan, mengubah hambatan menjadi peluang. AQ dapat dipandang
sebagai ilmu yang menganalisis kegigihan manusia dalam menghadapi setiap
tantangan sehari-hari.

101
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
102

Kemampuan berpikir logis dan berpikir kreatif diperlukan individu, pada saat
beraktivitas dalam mengambil keputusan, menarik kesimpulan, dan melakukan
pemecahan masalah. Bentuk aktivitas yang dilakukan individu dalam berpikir logis
adalah ketika menjelaskan mengapa dan bagaimana suatu hasil diperoleh, bagaimana
cara menarik kesimpulan dari premis yang tersedia, dan menarik kesimpulan
berdasarkan aturan inferensi tertentu. Bentuk aktivitas yang lebih luas dari
kemampuan berpikir logis adalah menyelesaikan masalah secara masuk akal.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kehidupan memasuki era baru
yaitu era informasi dan globalisasi. Persaingan untuk mendapatkan kehidupan yang
lebih baik tidak terjadi pada skala lokal saja., akan tetapi meluas sampai berskala
internasional. Penyelesaian permasalahan yang dipertemukan pada kondisi demikian
membutuhkan individu kreatif dan pengambilan keputusan yang tepat.

Individu yang mampu bertahan dalam era informasi dan globalisasi, adalah yang
memiliki kemampuan berpikir kritis, logis, sistematis, dan kreatif (suryadi, 2005)
kemajuan ilmu teknologi (IPTEKS), tantangan, tuntutan, dan persaingan global yang
semakin ketat membutuhkan manusia yang memiliki kemampuan berpikir logis,
kritis, serta disposisi matematis (sumarmo, 2010).

Orang kreatif menggunakan pengetahuan untuk membuat strategi dan terobosan-


terobosan baru, dan memandang segala sesuatu dengan cara-cara yang baru. Individu
kreatif memandang masalah sebagi sebuah tantangan, dan mencoba mencari dan
menetapkan strategi dan perspektif yang lebih luas.

Kemampuan berpikir logis dan berpikir kreatif memiliki kegiatan yang berkaitan.
Kemampuan berpikir kreatif adalah keyakinan dan intuisi seseorang berkaitan dengan
ide-ide matematis yang dipersiapkan untuk menyusun strategi dalam menyelesaikan
masalah matematis (Runco, 1993), penyelesaian masalah matematis secara rasioanal
adalah ciri dari berpikir logis. Jika ide yang digunakan untuk menyusun strategi dan
konsep matematis yang sudah pasti logis, maka keterkaitan antara berpikir logis dan
berpikir kreatif adalah pada kegiatan memunculkan ide-ide, pada saat menyusun
strategi pemecahan masalah.

Mahasiswa dalam pemecahan masalah diharapkan mampu menunjukan kemampuan


dalam menyelesaikan soal dengan menyelesaikan secara logis dan mampu
mengunakan kemampuan berpikir kreatifnya sesuai dengan indikator-indikator dalam
berpikir logis dan berpikir kreatif, dan juga mahasiswa harus mampu memahami
masalah dan mampu melakukan keruntunan berpikir, mampu menyusun rencana dan
beragumen, dapat melaksanakan rencana dengan baik dan mampu memeriksa kembali
hasil pemecahan masalah dan menarik kesimpulan dengan baik.

102
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
103

Berpikir Kreatif

Berpikir pada umumnya didefinisikan sebagai proses mental yang dapat


menghasilkan pengetahuan. Berpikir adalah suatu kegiatan akal untuk mengolah
pengetahuan yang telah diperoleh melalui indra dan ditunjukan untuk mencapai
kebenaran (Rakhmat, 1991:138). (Maxwell, 2004:82) mengartikan berpikir sebagai
segala aktivitas yang membantu merumuskan atau memecahkan masalah, membuat
keputusan, atau memenuhi keinginan untuk memahami; berpikir adalah sebuah
pencairan jawaban, sebuah pencapaian makna.

Definisi kreativitas sebagai proses kreatif adalah tindakan yang berlangsung secara
kontinu, untuk membawa sesuatu yang baru menjadi ada (Best & Thomas, 2007).
Definisi yang mengacu pada produk kreatif meliputi aspek kelancaran, fleksibilitas
dan orisinalitas. Aspek-aspek ini merupakan karakteristik umum yang
menggambarkan hasil dari tindakan kreatif (Torrance, 1995).

Berpikir sebagai kemampuan mental seseorang yang dapat dibedakan menjadi


beberapa jenis, salah satunya adalah berpikir kreatif. Harris (dalam Siswono, 2008)
dan Mulyasa (2005) menjelaskan bahwa salah satu ciri pemikir kreatif yaitu
mempunyai lebih dari satu jawaban untuk kebanyakan pertanyaan dan mempunyai
lebih dari satu penyelesaian untuk masalah-masalah yang diajukan dan cenderung
terbuka terhadap ide-ide baru. Jadi orang berpikir kreatif adalah orang yang
mempunyai banyak penyelesaian untuk setiap masalah yang diajukan dan selalu
terbuka dengan ide-ide baru. Lebih lengkapnya pribadi yang kreatif yakni pribadi
yang memiliki dorongan atau motivasi untuk bersikap kreatif, memiliki kemampuan
berpikir kreatif dan menghasilkan sesuatu yang baru dan berdaya guna
(Munandar,2009;20). Pehkonen (dalam Siswono,2008) menjelaskan bahwa
kreativitas merupakan kinerja seorang individu yang menghasilkan sesuatu yang baru
dan tak terduga.

Kreativitas merupakan sebuah kajian yang menarik karena masing-masing pakar


memberikan pengertian yang berbeda. Tidak ada pengertian umum yang diterima dan
digunakan untuk sebuah penelitian. Kreativitas secara umum mencakup kemampuan
kognitif, performa dan produk yang dihasilkan (Haylock,1997). Dalam matematika,
untuk mengenal berpikir kreatif adalah dengan melihat respons siswa dalam
memecahkan masalah dengan memperhatikan proses dan berpikir divergen yang
meliputi fleksibilitas, keaslian dan kelayakan (appropriateness/useful).

Dibidang psikologi, biasanya dinyatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan


manghasilkan hal baru dan tepat. Sederhananya, hal itu adalah proses mental yang
melibatkan ide-ide baru atau konsep atau asosiasi baru antara ide-ide atau konsep
yang telah ada. Dari sudut pandang ilmiah, produk pemikiran kreatif (kadang-kadang
disebut sebagai pemikiran divergen) biasanya dianggap memiliki keaslian dan

103
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
104

kesesuaian. (Tabbakh, 1998). Pandangan ini hendak menjelaskan bahwa nilai


kreativitas diukur berdasarkan kemampuan mengkombinasikan berbagai konsep dan
ide dengan cara-cara yang tidak biasa dan menghasilkan sesuatu yang baru. Hal baru
itu merupakan produk asli yang menggambarkan keseluruhan proses
pemecahanannya.

Guilford (dalam Munandar, 1977) menjelaskan tentang struktur model kreativitas.


Struktur model kreativitas Guilford sampai sekarang dijadikan sumber utama dalam
berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan gambaran tentang intelegensi individu,
dan termasuk hasil dari berpikir divergen. Berpikir kreatif terdiri dari aspek-aspek
sebagai berikut:

a. Fluency (kelancaran atau keahlian) yaitu kemampuan seorang individu dalam


membangun ide-ide berdasarkan kuantitas. Aspek kelancaran dapat dilihat dari
aspek associational fluency yaitu kemampuan dalam melakukan keterkaitan,
kemampuan menerapkan konstruksi analogi, dan expressional fluency, yaitu
kemampuan untuk mengkontruksi kalimat.
b. Flexibility yaitu keluwesan dan kelenturan. Terdapat dua jenis flexibility yaitu
spontaneous flexibility yang berarti kemampuan untuk beralih kejawaban lain
tanpa harus diarahkan terlebih dahulu, dan adaptive flexibility yang berarti
jawaban orisini yang diberikan
c. Elaborasi (keterincian) yaitu hasil dari berbagai implikasi
Menurut Guilford aspek keorisinian dalam berpikir kreatif termasuk pada aspek
adaptive flexibility. Pendapat lain menjelaskan bahwa nilai keorisinalan adalah
kemampuan dalam membuat dan menyusun keterhubungan atau ketekaitan baru,
perspektif baru, dan merupakan asspek tersendiri dalam berpikir kreatif (Torrance,
1993).

Berpikir Logis

Berpikir logis adalah aktivitas yang terkait dengan pengambilan keputusan dan
pemecahan masalah yang kompleks. Dua aktivitas tersebut seringkali ditemukan
dalam kehidupan sehari-hari adalah pada saat menentukan arah yang akan ditempuh
agar terhindar dari kemacetan. Contoh melakukan pemecahan masalah adalah pada
saat terjebak kemacetan, kemudian mencari strategi agar tidak terlambat dalam
menghadiri pertemuan tertentu.

Kemampuan berpikir logis adalah kemampuan dalam menggunakan pernyataan-


pernyataan berupa gagasan , dan diuraikan secara sistematis. Individu yang berpikir
logis akan mengungkapkan ide dan gagasannya dengan kata-kata terstruktu sehingga
alasan yang dikemukan menjadi argument yang benar.

104
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
105

Ciri kemampuan berpikir logis memiliki keserupaan dengan penalaran logis. Ciri
kemampuan berpikr logis salah satunya adalah kemampuan membuat generalisasi dan
hubungan sebab akibat, sedangkan ciri penalaran logis diantaranya adalah membuat
generalisasi, dan menyusun kesimpulan logis berdasarkan aturan inferensi. Ciri dari
berpikir logis dan penalaran logis serupa, pada indikator membuat generalisasi dan
menyusun kesimpulan logis.

Alasan yang dikemukan diatas bukan berarti bahwa berpikir logis dan penalaran logis
adalah dua pengertian yang sama. Berpikir logis memiliki pengertian yang lebih luas
daripada penalaran logis, karena berpikir logis memuat kegiatan penalaran logis, dan
kemampuan berpikir lain. Pemahaman, melakukan koneksi matematis, komunikasi
matematis dan menyelesaikan masalah dengan logis adalah kemampuan yang terdapat
dalam berpikir logis (Keraf, Shurter dan Pierce dalam Sumarmo, 2011)

Copied an Tobin (1980, Sumarmo, 1987), mengukur kemampuan berpikir logis


berdasarkan teori perkembangan mental dari piaget. Teori perkembangan mental ini
untuk membedakan siswa tahap operasi konkrit dan operasi formal. Alat ukur yang
digunakan adalah Test of Logical Thingking (TOLT). Soal yang digunakan dalam
TOLT memiliki lima kemampuan yaitu:

a. Variabel Pengendali (Controlling Variable): Kemampuan untuk


menginterprestasikan informasi sebagai pengendali agar keterkaitan anatara
variable bebas dan terikat dipengaruhi oleh hal-hal yang lain.
b. Penalaran proporsional (Proportional Reasoning): Kemampuan siswa dalam
menentukan nilai kuantitas berdasarkan proporsi yang diberikan.
c. Penalaran probabilistik (Probabilistic Reasoning) : Kemampuan siswa dalam
menentukan kemungkinan terjadinya suatu kejadian tertentu.
d. Penalaran korelasional (Correlational Reasoning) : Kemampuan menarik
kesimpulan berdasarkan hubungan timbale balik dari pernyatan-pernyataan yang
diberikan.
e. Penalaran kombinatorik (Combinatorial Reasoning) : Kemampuan dalam
menetapkan seluruh alternative yang mungkin dalam suatu peristiwa tertentu.

Pengertian berpikir logis juga ditemukan oleh beberapa pakar lainnya (Albrecht,
1984, Minderovic, 2001, loveureyes, 2008, Sonias, 2011, Strydom, 2000,
Suryasumantri, 1996, dalam Aminah, 2011). Berpikir logis atau berpikir runtun
didefinisikan sebagai; proses mencapai kesimpulan mengunakan penalaran secara
konsisten (Albrech, 1984), berpikir sebab akibat (Strydom, 2000), berpikir menurut
pola tertentu atau aturan inferensi logis atau prinsip-prinsip logika untuk memperoleh
kesimpuan (Suryasumantri, 1996, Minderovic, 2001, Sponias, 2011 dalam Aminah,
2011), dan berpikir yang meliputi induksi, deduksi, analisis, da sintesis (loveureyes,
2008, dalam Aminah, 2011)

105
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
106

Adversity Quotient

Adversity quotient merupakan bentuk kecerdasan yang melatar belakangi kesuksesan


seseorang dalam menghadapi sebuah tantangan disaat terjadi kesulitan atau
kegagalan. Semua orang pasti ingin sukses dalam hidupnya. Akan tetapi banyak yang
tidak menyadari bahwa kemampuan meraih kesuksesan atau keberhasilan sangat
tergantung pada masing-masing individu. Hal ini terkait dengan kekuatan
kepribadian dan kemampuan masing-masing dalam merespon dan mengahadapi
hidup.

Menurut Stoltz (2004:8), kesuksesan seseorang dalam menjalani kehidupan terutama


ditentukan oleh tingkat adversity quotient. Adversity quotient tersebut terwujud
dalam tiga bentuk, yaitu:

a. Kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan


semua segi kesuksesan.
b. Suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan.
c. Serangkaian alat untuk memperbaiki respons seseorang terhadap kesulitan.

Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa adversity quotient


merupakan suatu kemampuan individu untuk bertahan dalam menghadapi segala
macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai
permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berpikir
dan sikap terhadap kesulitan tersebut.

Didalam merespon suatu kesulitan ada tiga kelompok tipe manusia dari tingkat
kemampuannya, Stoltz (2004:18)

a. Quitters
Quitters, mereka yang berhenti adalah seseorang yang memilih untuk keluar,
menghindari kewajiban, mundur dan berhenti apabila mengahadapi kesulitan. Orang-
orang jenis ini berhenti ditengah proses pendakian, gampang putus asa, menyerah
(Ginanjar, 2001:271). Orang dengan tipe inicukup puas dengan pemenuhan
kebutuhan dasar atau fisiologis saja dan cenderung pasif, memilih untuk keluar
menghindari perjalanan, selanjutnya mundur dan berhenti. Para quitters menolak
menerima tawaran keberhasilan yang disertai dengan tantangan dan rintangan. Orang
seperti ini akan banyak kehilangan kesempatan berharga dalam kehidupan. Dalam
hirarki Maslow tipe ini berada pada pemenuhan kebutuhan fisiologis yang letaknya
paling dasar dalam bentuk piramida.

b. Campers
Golongan ini puas dengan mencukupkan diri dan tidak mau mengembangkan diri.
Tipe ini merupakan golongan yang sedikit lebih banyak, yaitu mengusahakan
terpenuhinya kebutuhan keamanan dan rasa aman pada skala hirarki Maslow.

106
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
107

Kelompok ini juga tidak tinggi kapasitasnya untuk perubahan karena terdorong oleh
ketakutan dan hanya mencari keamanan dan kenyamanan. Campers setidaknya telah
melangkah dan menanggapi tantangan, tetapi setelah mencapai tahap tertentu,
campers berhenti meskipun masih ada kesempatan untuk lebih berkembang lagi.
Berbeda dengan quitters, campers sekurang-kurangnya telah menanggapi tantangan
yang dihadapinya sehingga telah mencapai tingkat tertentu.

c. Climbers
Climbers (pendaki) mereka selalu optimis, melihat peluang-peluang, melihat celah,
melihat sepatah harapan dibalik keputusan, selalu bergairah untuk maju. Noktah
kecil dianggap sepele. Climbers mampu dijadikannya sebagai cahaya pencerah
kesuksesan (Ginanjar, 2001:17).

Climbers merupakan kelompok orang yang selalu berupaya mencapai puncak


kebutuhan aktualisasi diri pada skala hirarki Maslow. Climbers adalah tipe manusia
yang berjuang seumur hidup, tidak peduli sebesar apapun kesulitan yang datang.
Climbers tidak dikendalikan oleh lingkungan, tetapi dengan berbagai kreativitasnya
tipe ini berusaha mengendalikan lingkungannya. Climbers akan selalu memikirkan
berbagai alternative permasalahan dan menganggap kesulitan dan rintangan yang ada
justru menjadi peluang untuk lebih maju, berkembang, dan mempelajari lebih banyak
lagi tentang kesulitan hidup. Tipe ini akan selalu siap menghadapi berbagai rintangan
dan menyukai tantangan yang diakibatkan oleh adanya perubahan-perubahan.

Stoltz (2004:140) menawarkan empat dimensi dasar yang akan menghasilkan


kemampuan adversity quotient yang tinggi, yaitu :

1. Control /Kendali (C)


Kendali berkaitan dengan seberapa besar orang merasa mampu mengendalikan
kesulitan-kesulitan yang dihadapinya dan sejauh mana individu merasakan bahwa
kendali itu ikut berperan dalam peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Semakin
besar kendali yang dimiliki semakin besar kemungkinan seseorang untuk dapat
bertahan mengahdapi kesulitan dan tetap teguh dalam niat serta ulet dalam mencari
penyelesaian. Demikian sebaliknya, jika semakin rendah kendali, akibatnya
seseorang menjadi tidak berdaya menghadapi kesulitan dan mudah menyerah.

2. Ownership/Kepemilikan (O)
Kepemilikan atau dalam istilah lain disebut dengan asal usul dan pengakuan akan
mempertanyakan siapa atau apa yang menimbulkan kesulitan dan sejauh mana
seorang individu mennganggap dirinya mempengaruhi dirinya sendiri sebagai
penyebab asal-usul kesulitan. Orang yang skor origin (asal-usulnya) rendah akan
cenderung berpikir bahwa semua kesulitan atau permasalahan yang datang itu karena
kesalahan, kecerobohan, atau kebodohan dirinya sendiri serta membuat perasaan dan
pikiran merusak semangatnya.

107
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
108

3. Reach/Jangkauan
Jangkauan merupakan bagian dari adversity quotient yang mempertanyakan sejauh
manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari individu. Reach juga berarti
sejauh mana kesulitan yang ada akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan
seseorang. Reach atau jangkauan menunjukan kemampuan dalam melakukan
penilaian tentang beban kerja yang menimbulkan stress. Semakin tinggi jangkauan
seseorang semakin besar kemungkinannya dalam merespons kesulitan sebagai
sesuatu yang spesifik dan terbatas. Semakin efektif dalam menahan atau membantu
jangkauan kesulitan, maka seseorang akan lebih berdaya dan perasaan putus asa atau
kurang mampu membedakan hal-hal yang relevan dengan kesulitan.

4. Endurance/Daya Tahan
Dimensi ini lebih berkaitan dengan persepsi seseorang akan lama atau tidaknya
kesulitan akan berlangsung. Daya tahan dapat menimbulkan penilaian tentang situasi
yang baik atau buruk. Seseorang yang mempunyai daya tahan yang tinggi akan
memiliki harapan dan sikap optimis dalam mengatasi kesulitan atau tantangan yang
sedang dihadapi. Semakin tinggi daya tahan yang dimiliki oleh individu, maka
semakin besar kemungkinan seseorang dalam memandang kesuksesan sebagai
sesuatu hal yang bersifat sementara dan orang yang mempunyai adversity quotient
yang rendah akan menganggap bahwa kesulitan yang sedang dihadapi adalah sesuatu
yang bersifat abadi, dan sulit untuk diperbaiki.

Kesimpulan dan Saran

Dalam artikel ini membahas tentang bagaimana mengembangkan kemampuan


berpikir kreatif mahasiswa dan kemampuan berpikir logis mahasiswa yang dilihat
dari Adversity quotient. Dimana adversity quotient ada tiga tipe dengan diberikan
sebuah angket kepada responden yang memenuhi tiga tipe dari adversity quotient,
yaitu tipe quitters, tipe camper dan tipe climber. Setelah diperoleh tiga tipe ini
kemudian diberikan soal pemecahan masalah matematika untuk mengetahui
bagaimana cara mereka mengembangkan kemampuan berpikir kreatif dan
kemampuan berpikir logis mahasiswa dalam menyelesaikan soal pemecahan masalah
matematika.

Kemampuan berpikir kreatif merupakan gambaran tentang intelegensi individu, dan


termasuk hasil dari berpikir divergen. Berpikir kreatif terdiri dari aspek-aspek
sebagai berikut: fluency (kelancaran atau keahlian) yaitu kemampuan seorang
individu dalam membangun ide-ide berdasarkan kuantitas, flexibility yaitu
keluwesan dan kelenturan yang berarti kemampuan untuk beralih kejawaban lain
tanpa harus diarahkan terlebih dahulu, jawaban orisini yang diberikan, elaborasi
(keterincian) yaitu hasil dari berbagai implikasi aspek kemudian keorisinian adalah
kemampuan dalam membuat dan menyusun keterhubungan atau ketekaitan baru,
perspektif baru.

108
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
109

Kemampuan berpikir logis adalah kemampuan dalam menggunakan pernyatan-


pernyataan berupa gagasan , dan diuraikan secara sistematis. Individu yang berpikir
logis akan mengungkapkan ide dan gagasannya dengan kata-kata terstruktu sehingga
alasan yang dikemukan menjadi argument yang benar.

Adversity quotient merupakan bentuk kecerdasan yang melatar belakangi kesuksesan


seseorang dalam menghadapi sebuah tantangan disaat terjadi kesulitan atau
kegagalan.

Semoga artikel ini bermanfaat bagi pembaca pada pada umumnya, dan bagi saya
sendiri pada khususnya. Saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan demi
kesempurnaan dalam rancangan penelitian saya.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan Terima Kasih saya sampaikan kepada Dosen pembimbing matakuliah saya
diprogram Doktor Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung ibu
Prof. Dr. Utari Sumarmo atas saran dan masukan yang sangat bermanfaat demi
menyelesaikan artikel ini serta teman-teman angkatan 2017 pada program studi
pendidikan matematika. Artikel ini merupakan salah satu hasil tugas akhir pada
mmatakuliah yang saya tempuh dan akan dijadikan salah satu acuan dalam
menyusun disertasi. Serta saya ucapkan terimaksih kepada Ketua STKIP Taman
Siswa Bima Bapak Dr.Ibnu Khaldun Sudirman, M.Si atas motivasi dan dorongan
dalam melanjutkan Studi sampai saat ini, serta mensponsori dalam keikutsertaan
dalam publikasi pada seminar nasional ini.

Daftar Pustaka

Aminah, M. (2011). Mengembangkan kemampuan berpikir logis matemtais melalui


pembelajaran Metakognitif. Makalah pada sekolah Pascasarjana UPI. Tidak
dipublikasi.

Bambang Sri Anggoro, 2014. Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis dan


Disposisi Matematis siswa Melalui Metode Pembelajaran Improve. Disertasi
SPS UPI Bandung. Tidak diterbitkan.

Csikszentmihalyi, Mihaly. 1997. Creativity. New York : HarperPerennial

Bentley, Joseph. 1966. Creativity dan Academic Achievement. The Journal Of


Educational Research volume 59 no 16. Clark Uniersity

Brookfield- 1987. Developing Critical Thinkers. San Fransisco: Jossey Bass Publiser

Dimyati. 1988. Landasan Keguruan Suatu Pengantar Pemikiran Keilmuan Tentang


Kegiatan Guruan. Dirjen Guruan Tinggi. Depdiknas.

109
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
110

Dimyati. 1996. Guruan Keilmuan di Indonesia: Suatu, Dilema Pengajaran dan


Penelitian. Jurnal Guruan Humaniora dan Sains. September. 2(1&2)

Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan,


Depdiknas. 2008. Kreativitas. Jakarta : Depdiknas.

Drost, 2000. Reformasi Pengajaran: Salah Asuhan Orang Tua, Jakarta. Gramedia
Widisarana, Indonesia

Gie,The Liang. 2003. Teknik Berpikir Kreatif. Yogyakarta: Sabda Persada


Yogyakarta.

Harris, Robert 1998. Introduction to Creative Thingking.


http://www.virtualsalt.com/crebook1.htm diakses tanggal 9 Desember 2017.

Haylock, Derek. 1997. Recognising Mathematical Creativity in Schoolchildren.


http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a2.pdf. diakses tanggal 3
Desember 2017.

http//indosdm.com/pengertian_”adversity-quotient”dan-manfaatnya-dalam
pemberdayaan-karyawan.html diakses tanggal 25 November 2017

Hossoubafi,Z. Develoving Creative and Critical Thinking Skills (terjemahan) . 2004.


Bandung: Yayasan Nuansa Cendia

Ideational Fluency and other Characteristics of Creative Individuals.


http://www.is.wayne.edu/drbowen/CRTVYW99/Guilford.htm

Kamdi, W. 2002. Mengajar Berdasarkan Model Dimensi Belajar. Gentengkali:


Jurnal Guruan Dasar dan Menengah. 4 (5 dan 6): 29-35

Kusuma,Yuriadi. 2010. Creative problem solving. Jakarta : Rumah Pengetahuan

Lumsdaine, Edward. 2007. Creative Problem Solving in Capstone Design


http://www.innovationtoday.biz/pubs/2007_ASEE_CPS_Design.pdf diakses
tanggal 3 Desember 2017.

Lumsdaine, Edward. 2007. Entrepreneur, creativity anda innovation. Universita of


Pretoria.http://www.ee.up.ac.za/main/_media/en/undergrad/subjects/snv111/l
ecture_2_and_3_part1.pdf. didownload tanggal 3 Desember 2017.

Marzano. 1988. Dimensions of Thinking: A Framework for Curriculum and


Instruction. Alexandria, Va: ASCD

Munandar, Utami. 2009. Pengembangan Kreativitas Anak Berbakat. Jakarta : Rineka


Cipta

Munandar, U (1977) Creativity and Education. Disertasi Doktor. Fakultas Psikologi-


UI Jakarta: Tidak diterbitkan

110
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
111

NCTM. 2000. Principles and Standards for School Mathematics. USA : NCTM

Pehkonen, Erkki. 1997. The State-of-Art in Mathematical Creativity.


http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a1.pdf diakses tanggal 6 Desember
2017.

Polking J. (1998). Respons To NCTM’S Round 4 Questions (ONLINE) in


http://www.ams.org/goverment/argrpt4.html.

Perkins,D.N. & Weber,R.J. 1992. Inventive Mind: Creative in Technology. New


York: University Press

Rahmat, J. 2005. Belajar Cerdas: Belajar Berbasis Otak. Bandung: Mizan Leraning
Center (MLC)

Ronnie, M.D. The Power Of Emotiona; and Adversity Quotient For Teacher. Jakarta:
Hikmah (PT. Mizan Publika)

Robert. 1998. Introduction to Creative Thinking. July (1). Virtual Salt.

Setiawati E, 2014. Mengembangkan Kemampuan Berpkir Logis, Kreatif, dan Habits


Of Mind Matematis Melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Disertasi SPS
UPI Badung. Tidak diterbitkan.

Silver, Edward A. (1997). Fostering Creativity through Instruction Rich in


Mathematical Problem Solving and Thinking in Problem Posing.
http://www.emis.de/journals/ZDM/zdm973a3.pdf diakses tanggal 7
Desember 2017.

Siswono, Tatag Y. E. 2007. Penjenjangan Kemampuan Berpikir Kreatif Dan


Identifikasi Tahap Berpikir Kreatif Siswa Dalam Memecahkan Dan
Mengajukan Masalah Matematika. Disertasi, Universitas Negeri Surabaya

Slavin. 1997. Educational Psycology Theory and Practice. Five Edition. Boston:
Allin and Bacon

Stoltz, P.G.2000. Adversity Quotient: Turning Obstacles Into Opprtunities


(Mengubah hambatan menjadi peluang). Terjemahan oleh: T. Hermaya.
Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Sumarmo, U. (1987). Kemampuan Pemahaman dan Penalaran Matematika siswa


SMA dikaitkan dengan Kemampuan Penalaran Logis Siswadan Beberapa
Unsur Proses Belaja-Mengajar. Disertasi pada FBS IKIP Bandung: tidak
diterbitkan

Sumarmo, U. (2010). Pedidikan Karakter, Berpikir dan Disposisi Logis, Kritis, dan
Kreatif dalam Pembelajaran Matematika. Makalah pada Perkuliahan
Evaluasi Matematika 2011 SPS UPI: Tidak Diterbitkan

Tabbakh, Nabil. 1998. Creativity and Medical Education. Al-Azhar Medical School.

111
Prosiding SNMPM II, Prodi Pendidikan Matematika, Unswagati, Cirebon, 10 Maret 2018
112

Torrance, Paul. 1993. Understanding Creativity: Where to Start?. Psychological


Inquiry, Vol. 4, No. 3. (1993), pp. 232-234.

Yamamoto, Kaoru and Davis. 1964. Creative Thingking and Achievment Test item
Responses of Elementary School Pupils : A Premilinary Investigation. Kent
State University Ohio

112

Anda mungkin juga menyukai