Anda di halaman 1dari 29

BAB II

KERANGKA TEORITIS

A. Kreativitas dan Berpikir Kreatif

Pembahasan pengertian berpikir kreatif tidak akan terlepas dari topik

kreativitas. Pada permulaan penelitian tentang kreativitas, istilah ini biasanya

dikaitkan dengan sikap seseorang yang dianggap sebagai kreatif. Pada berbagai

literatur terdapat banyak defenisi tentang kreativitas tetapi tampaknya tidak ada

defenisi umum yang sama.

Menurut Silver (1997) ada dua pandangan tentang kreativitas. Pandangan

pertama disebut pandangan kreativitas jenius. Menurut pandangan ini tindakan

kreatif dipandang sebagai ciri-ciri mental yang langka yang dihasilkan oleh

individu luar biasa berbakat melalui penggunaan proses pemikiran yang luar

biasa, cepat, dan spontan. Pandangan ini mengatakan bahwa kreativitas tidak

dapat dipengaruhi oleh pembelajaran dan kerja kreatif lebih merupakan suatu

kejadian tiba-tiba daripada suatu proses panjang sampai selesai seperti yang

dilakukan dalam sekolah, sehingga dalam pandangan ini ada batasan untuk

menerapkan kreativitas dalam dunia pendidikan. Pandangan kedua menyatakan

bahwa kreativitas berkaitan erat dengan pemahaman yang mendalam, fleksibel di

dalam isi dan sikap sehingga dapat dikaitkan dengan kerja dalam periode panjang

yang disertai perenungan. Jadi, kreativitas bukan hanya merupakan gagasan yang

cepat dan luar biasa. Menurut pandangan ini kreativitas dapat ditanamkan pada

kegiatan pembelajaran dan lingkungan sekitar.

19
20

Haylock (dalam Mina, 2006:10) mengemukakan kreativitas secara umum

sebagai paham yang secara luas meliputi gaya kognitif, kategori-kategori

pekerjaan dan jenis-jenis hasil karya. Cropley (dalam Mina, 2006:10)

mengemukakan paling sedikit ada dua cara dalam menggunakan istilah

kreativitas. Pertama kreativitas yang mengacu pada jenis tertentu berpikir atau

fungsi mental, jenis ini sering disebut berpikir divergen. Kedua, kreativitas

dipandang sebagai pembuatan produk-produk yang dianggap kreatif seperti karya

seni, arsitektur, atau musik. Untuk pembelajaran di sekolah, Cropley mengambil

istilah kreativitas yang pertama dan mengadaptasi pendirian tersebut bahwa

kreativitas adalah kemampuan untuk memperoleh ide-ide khususnya yang asli,

bersifat penemuan dan baru.

Harris (dalam Mina, 2006:11) dalam artikelnya mengatakan bahwa

kreativitas dapat dipandang sebagai suatu kemampuan, sikap, dan proses.

Kreativitas sebagai suatu kemampuan adalah kemampuan untuk menghasilkan

ide-ide baru dengan mengkombinasikan, mengubah atau menerapkan kembali ide-

ide yang telah ada. Kreativitas sebagai sikap adalah kemampuan diri untuk

melihat perubahan dan kebaruan, suatu keinginan untuk bermain dengan ide-ide

dan kemungkina-kemungkinan, kefleksibelan pandangan , sifat menikmati

kebaikan, sambil mencari cara-cara untuk memperbaikinya. Sedangkan kreativitas

sebagai proses adalah suatu kegiatan yang terus-menerus memperbaiki ide-ide dan

solusi-solusi dengan membuat perubahan yang bertahap dan memperbaiki karya-

karya sebelumnya.
21

Secara operasional, kreativitas dapat diartikan sebagai kemampuan yang

mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas) dan orisinalitas dalam

berpikir serta kemampuan untuk mengelaborasi, mengembangkan, memperkaya,

memperinci suatu gagasan. Seperti diungkapkan oleh Munandar ( dalam Mina

2006:12) bahwa kemampuan kreatif merupakan hasil belajar yang terungkap

secara verbal dalam kemampuan berpikir kreatif dan sikap kreatif. Kemampuan

berpikir kreatif dapat diartikan sebagai tingkat kesanggupan berpikir anak untuk

menemukan sebanyak-banyaknya, seberagam mungkin dan relevan, jaawaban atas

suatu masalah, lentur, asli dan terinci, berdasarkan data dan imformasi yang

tersedia.

Kreativitas berkaitan dengan faktor-faktor kognitif dan afektif. Kognitif

memiliki ciri-ciri aptitude (kecerdasan) sedangkan afektif memiliki ciri-ciri non-

aptitide. Ciri-ciri aptitude meliputi : keterampilan berpikir lancer, keterampilan

berpikir fleksibel, keterampilan berpikir orisinal, keterampilan berpikir

elaborasi/merinci dan keterampilan mengevaluasi. Ciri-ciri non-aptitude meliputi

rasa ingin tahu, bersifat imajinatif, merasa tertantang oleh kemajemukan, sifat

mengambil resiko dan sifat menghargai. Menurut Munandar (1999: 12)

pengembangan kreatifitas seseorang tidak hanya memperhatikan pengembangan

kemampuan berpikir kreatif tetapi juga pemupukan sikap dan ciri-ciri kepribadian

kreatif. Orang-orang kreatif memiliki rasa ingin tahu, banyak akal, memliki

keinginan menemukan, memilih pekerjaan sulit, senang menyelesaikan masalah,

memiliki dedikasi terhadap pekerjaan dan banyak lagi karakteristik yang lain.
22

Selanjutnya menurut Alvino (dalam Cotton, 1991), kreatif adalah

melakukan suatu kegiatan yang ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency

(menurunkan banyak ide), flexibility (mengubah perspektif dengan mudah),

originality (menyusun sesuatu yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide

lain dari suatu ide).

Rincian ciri-ciri dari fluency, flexibility, originality, dan elaboration

dikemukan oleh Munandar (1999), ciri-ciri fluency di antaranya adalah:

(1) Mencetuskan banyak ide, banyak jawaban, banyak penyelesaian masalah,

banyak pertanyaan dengan lancar;

(2) Memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal;

(3) Selalu memikirkan lebih dari satu jawaban.

Ciri-ciri flexibility di antaranya adalah :

(1) Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat

melihat suatu masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda;

(2) Mencari banyak alternatif atau arah yang berbeda-beda;

(3) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara pemikiran.

Ciri-ciri originality di antaranya adalah :

(1) Mampu melahirkan ungkapan yang baru dan unik;

(2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk mengungkapkan diri;

(3) Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian

atau unsur-unsur.

Ciri-ciri elaboration di antaranya adalah :

(1) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk;


23

(2) Menambah atau memperinci detil-detil dari suatu obyek, gagasan, atau situasi

sehingga menjadi lebih menarik.

Berdasarkan pada uraian-uraian yang telah dikemukakan dirumuskan

pengertian kemampuan berpikir kreatif matematika sebagai berikut : Kemampuan

berpikir kreatif adalah kemampuan berpikir yang sifatnya baru yang diperoleh

dengan mencoba-coba dan ditandai dengan keterampilan berpikir lancar, luwes,

orisinal, dan elaborasi dan berpikir kreatif adalah suatu proses berpikir yang

menghasilkan bermacam-macam kemungkinan jawaban. Dalam pemecahan

masalah apabila menerapkan berpikir kreatif, akan menghasilkan banyak ide-ide

yang berguna dalam menemukan penyelesaian masalah. Pehkonen (1997:65)

mendefinisikan berpikir kreatif sebagai kombinasi antara berpikir logis dan

berpikir divergen yang didasarkan pada intuisi tapi masih dalam kesadaran. Ketika

seseorang menerapkan berpikir kreatif dalam suatu praktek pemecahan masalah,

pemikiran divergen menghasilkan banyak ide yang berguna dalam menyelesaikan

masalah.

B. Berpikir Kreatif dalam Pendidikan Matematika

Pada umunya orang beranggapan bahwa matematika dan kreativitas tidak

ada kaitannya satu sama lain. Padahal jika kita melihat seorang matematikawan

yang menghasilkan formula baru dalam bidang matematika maka tidak dapat

diabaikan potensi kreatifnya. Kreatif bukanlah sebuah ciri yang hanya ditemukan

pada seorang seniman atau ilmuwan, tetapi juga merupakan bagian dari kehidupan

sehari-hari.
24

Krutetskii (1976) menyamakan kreativitas matematika dengan

keterbakatan matematika. Menurut Krutetskii, kreativitas dalam memecahkan

masalah matematika dikarakteristikkan dengan kemampuan siswa dalam

merumuskan masalah secara bebas, bersifat penemuan dan baru. Ide-ide tersebut

sejalan dengan ide-ide seperti fleksibilitas, kelancaran (fluency), membuat asosiasi

baru dan menghasilkan jawaban divergen yang berkaitan dengan kreativitas secara

umum. Selanjutnya Krutetskii menekankan bahwa fleksibilitas adalah komponen

kunci dalam kemampuan kreatif matematik pada siswa-siswa sekolah. Harris

(1998:1) berpendapat bahwa salah satu ciri dasar pemikir kreatif yaitu mempunyai

lebih dari satu jawaban untuk kebanyakan pertanyaan dan mempunyai lebih dari

satu penyelesaian untuk masalah-masalah yang diajukan padanya.

Haylock (1997) membuat dua pendekatan untuk mengenali berpikir kreatif

dalam matematika. Pertama dengan memperhatikan jawaban-jawaban siswa

dalam memecahkan soal yang proses kognitifnya dianggap sebagai cirri berpikir

kreatif. Pendekatan ini mempertimbangkan salah satu kunci proses kognitif

dalam memecahkan masalah matematika secara kreatif yaitu mengatasi kekakuan

(overcoming fixation). Pendekatan kedua adalah dengan menentukan criteria bagi

sebuah produk yang diindikasikan sebagai hasil dari berpikir kreatif atau disebut

produk-produk divergen (divergent products). Berbagai jenis soal-soal produk

divergen dapat dibuat dalam matematika. Soal-soal tersebut menghasilkan

jawaban yang dapat dinilai dengan criteria seperti fleksibilitas, orisinalitas, dan

kesesuaian (appropriateness).
25

Pengertian kelancaran (fluency), fleksibilitas, dan keaslian dalam

kreativitas umum diadaptasi dan diterapkan dalam pendidikan matematika oleh

Balka (dalam Mina, 2006: 15). Dalam penelitiannya Balka meminta subyek

penelitiannya untuk mengajukan soal-soal matematika yang dapat dijawab

berdasarkan informasi yang tersedia dalam sebuah cerita tentang kehidupan

nyata. Berdasarkan analisa jawaban-jawaban subyek, Balka mengatakan bahwa

fluency berkaitan dengan banyaknya jawaban atau pertayaan yang dihasilkan,

fleksibilitas dikaitkan dengan sejumlah kategori berbeda dari pertanyaan yang

dihasilkan dan keaslian dikaitkan dengan jawaban benar yang berbeda atau

langka diantara semua jawaban yang ada. Dengan demikian berdasarkan

penelitian Balka, kreativitas sebenarnya dapat digali dalam matematika.

Soal-soal yang digunakan untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif

umum, diperkenalkan pertama kali oleh peneliti Amerika yaitu Guilford (1959)

dan Torrance (1969) pada tahun 50-an dan tahun 60- an. Dalam soal jenis ini

diberikan cerita open-ended yaitu cerita yang menghasilkan banyak jawaban

benar. Soal-soal matematika yang mengizinkan siswa untuk memperlihatkan

proses berpikir divergen atau kreatif telah banyak dikembangkan oleh para

peneliti.

C. Kemampuan Pemecahan Masalah

Dalam Depdiknas (2007) menyatakan bahwa : “dalam kehidupan sehari-

hari, kita tidak terlepas dari sesuatu yang namanya masalah, sehingga pemecahan

masalah merupakan fokus utama dalam pembelajaran matematika”.


26

Sebagian besar ahli pendidikan matematika menyatakan bahwa masalah

merupakan pertanyaan yang harus dijawab atau direspon siswa. Tidak semua

pertanyaan merupakan suatu masalah. Suatu pertanyaan akan menjadi masalah

hanya jika pertanyaan itu menunjukkan adanya suatu tantangan (challenge) yang

tidak dapat dipecahkan oleh prosedur rutin yang sudah diketahui oleh

siswa. Dalam Department of Education (1996) menyebutkan bahwa : “Apabila

kita menerapkan pengetahuan matematika, keterampilan atau pengalaman untuk

memecahkan suatu dilemma atau situasi yang baru atau yang membingungkan,

maka kita sedang memecahkan masalah”. Karenanya,dapat terjadi bahwa suatu

masalah bagi seseorang siswa akan menjadi “pertanyaan” bagi siswa lainnya

karena ia sudah mengetahui prosedur untuk menyelesaikannya.

Pemecahan masalah (problem solving) merupakan proses menerapkan

pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya ke dalam situasi baru yang belum

dikenal atau proses berpikir untuk menentukan apa yang harus dilakukan ketika

kita tidak tahu apa yang harus kita lakukan. Dari pernyataan tersebut, (dalam

B.Sinaga) menyatakan bahwa “kemampuan pemecahan masalah adalah

kemampuan atau kompetensi strategis yang ditunjukkan siswa dalam memahami,

memilih pendekatan dan strategi pemecahan dan menyelesaikan model untuk

menyelesaikan masalah”.

Indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah antara lain

adalah:
27

1. menunjukkan pemahaman masalah

2. mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam

pemecahan masalah

3. menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk

4. memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat

5. mengembangkan strategi pemecahan masalah

6. membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah

7. menyelesaikan masalah yang tidak rutin

Untuk menjadi seorang pemecah masalah yang baik, siswa membutuhkan

banyak kesempatan untuk menciptakan dan memecahkan masalah dalam bidang

matematika dan dalam konteks kehidupan nyata. Menurut Sumarmo (2003)

(http: //educare .e_fkipunla .net /index .php ?option .com) menyatakan bahwa:

Aktivitas-aktivitas yang tercakup dalam kegiatan pemecahan masalah


meliputi: (1) mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan, serta
kecukupan unsur yang diperlukan,(2) merumuskan masalah situasi sehari-
hari dan metematik; menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai
masalah (sejenis dan masalah baru) dalam atau luar matematika,(3)
menjelaskan/ menginterpretasikan hasil sesuai masalah asal,(4) menyusun
model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan
menggunakan matematika secara bermakna.
Strategi untuk memecahkan suatu masalah matematika ada beberapa

strategi yang dapat digunakan bergantung pada masalah yang akan dipecahkan.

Namun, ada strategi pemecahan masalah yang bersifat umum yaitu yang

disarankan oleh George Polya. Menurut Polya (dalam Ruseffendi, 1991), untuk

memecahkan suatu masalah ada empat langkah yang dapat dilakukan, yakni:
28

1. Memahami masalah.

Kegiatan dapat yang dilakukan pada langkah ini adalah: apa (data) yang

diketahui, apa yang tidak diketahui (ditanyakan), apakah informasi cukup,

kondisi (syarat) apa yang harus dipenuhi, menyatakan kembali masalah

asli dalam bentuk yang lebih operasional (dapat dipecahkan).

2. Merencanakan pemecahannya.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: mencoba mencari

atau mengingat masalah yang pernah diselesaikan yang memiliki

kemiripan dengan masalah yang akan dipecahkan, mencari pola atau

aturan, menyusun prosedur penyelesaian (membuat konjektur).

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menjalankan

prosedur yang telah dibuat pada langkah sebelumnya untuk mendapatkan

penyelesaian.

4. Memeriksa kembali prosedur dan hasil penyelesaian.

Kegiatan yang dapat dilakukan pada langkah ini adalah: menganalisis dan

mengevaluasi apakah prosedur yang diterapkan dan hasil yang diperoleh

benar, atau apakah prosedur dapat dibuat generalisasinya.

Memecahkan soal berbentuk cerita berarti menerapkan pengetahuan yang

dimiliki secara teoritis untuk memecahkan persoalan nyata/keadaan sehari-

hari.Untuk memahaminya, guru dapat meminta siswa menyatakan pendapatnya

dengan menggunakan bahasanya sendiri. Guru dapat mengecek apakah ada

istilah-istilah yang mungkin belum diketahui/dilupakan. Soal cerita dapat


29

dikerjakan langsung tanpa ada gambar karena dari masalah tersebut siswa kurang

lebih sudah dapat memahaminya. Sedangkan jika soal berbentuk gambar, guru

lebih menekankan kepada siswa untuk memahami gambar dan dirangkaikan

kembali ke dalam soal cerita. Karena siswa dapat mengerti dan memahami unsur-

unsur yang ada pada gambar.

Dengan demikian inti dari belajar memecahkan masalah, supaya siswa

terbiasa mengerjakan soal-soal yang tidak hanya mengandalkan ingatan yang baik

saja, tetapi siswa diharapkan dapat mengaitkan dengan situasi nyata yang pernah

dialaminya atau yang pernah dipikirkannya. Kemudian siswa bereksplorasi

dengan benda kongkrit, lalu siswa akan mempelajari ide-ide matematika secara

informal, selanjutnya belajar matematika secara formal.

D. Pendekatan Open-Ended

Pendekatan Open-Ended merupakan salah satu upaya inovasi pendidikan

matematika yang pertama kali dilakukan oleh para ahli pendidikan matematika

Jepang. Dipandang dari strategi bagaimana materi pelajaran disampaikan, pada

prinsipnya pendekatan open-ended sama dengan pembelajaran berbasis masalah

yaitu suatu pendekatan pembelajaran yang dalam prosesnya dimulai dengan

memberi suatu masalah kepada siswa.

Menurut Nohda (dalam Mina, 2006: 17) tujuan pembelajaran dengan

pendekatan open-ended adalah mendorong kegiatan kreatif dan pemikiran

matematik siswa dalam memecahkan masalah matematika secara simultan. Dalam

pelaksanaannya siswa diminta untuk memecahkan masalah dengan membiarkan

siswa mengembangkan cara berpikirnya dan menggunakan strategi penyelidikan


30

masalah yang meyakinka baginya. Pendekatan ini member keleluasaan kepada

siswa untuk melakukan elaborasi lebih besar sehingga memungkinkan

bertambahnya kemampuan berpikir matematiknya dan meningkatnya kegiatan

kreatif untuk setiap siswa.

Pendekatan open-ended menjanjikan kepada suatu kesempatan kepada

siswa untuk meginvestigasi berbagai strategi dan cara yang diyakininya sesuai

dengan kemampuan mengelaborasi permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah

agar kemampuan berpikir matematika siswa dapat berkembang secara maksimal

dan pada saat yang sama kegiatan-kegiatan kreatif dari setiap siswa terkomunikasi

melalui proses pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran pembelajaran

dengan open-ended, yaitu pembelajaran yang membangun kegiatan interaktif

antara matematika dan siswa sehingga mengundang siswa untuk menjawab

permasalahan melalui berbagai strategi.

Dalam pembelajaran dengan pendekatan open-ended, siswa diharapkan

bukan hanya mendapatkan jawaban tetapi lebih menekankan pada proses

pencarian suatu jawaban. Menurut Erman dkk (2003:124) mengemukakan bahwa

dalam kegiatan matematik dan kegiatan siswa disebut terbuka jika memenuhi

ketiga aspek berikut:

a. Kegiatan siswa harus terbuka


Yang dimaksud kegiatan siswa harus terbuka adalah kegiatan pembelajaran
harus mengakomodasi kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu
secara bebas sesuai kehendak mereka.
b. Kegiatan matematika merupakan ragam berpikir
Kegiatan matematik adalah kegiatan yang didalamnya terjadi proses
pengabstraksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari ke
dalam dunia matematika atau sebaliknya.
c. Kegiatan siswa dan kegiatan matematika merupakan satu kesatuan
31

Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat


pemahaman dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan individu.
Meskipun pada umumnya guru akan mempersiapkan dan melaksanakan
pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan masing-masing.
Guru bisa membelajarkan siswa melalui kegiatan-kegiatan matematika
tingkat tinggi yang sistematis atau melalui kegiatan-kegiatan matematika
yang mendasar untuk melayani siswa yang kemampuannya rendah.
Pendekatan uniteral semacam ini dapat dikatakan terbuka terhadap kebutuhan
siswa ataupun terbuka terhadap ide-ide matematika.

Pada dasarnya, pendekatan open-ended bertujuan untuk mengangkat

kegiatan kreatif siswa dan berpikir matematika secara simultan. Oleh karena itu

hal yang perlu diperhatikan adalah kebebasan siswa untuk berpikir dalam

membuat progress pemecahan sesuai dengan kemampuan, sikap, dan minatnya

sehingga pada akhirnya akan membentuk intelegensi matematika siswa.Dalam

proses pembelajaran dengan pendekatan open-ended, biasanya lebih banyak

digunakan soal-soal open-ended sebagai instrumen dalam pembelajaran. Terdapat

keserupaan terhadap pengertian mengenai soal open-ended. Hancock soal open-

ended adalah soal yang memiliki lebih dari satu penyelesaian yang benar.

Pertanyaan yang mempunyai jawaban benar lebih dari satu dan siswa menjawab

dengan caranya sendiri tanpa harus mengikuti proses pengerjaan yang sudah ada.

Berenson dan Garter mengidentifikasi masalah open-ended sebagai tipe masalah

yang mempunyai banyak penyelesaian dan banyak cara penyelesaian. Ciri

terpenting dari soal open-ended adalah tersedianya kemungkinan banyak jawaban

serta tersedia keleluasaan bagi siswa untuk memakai sejumlah metoda yang

dianggapnya paling sesuai menyelesaikan soal tersebut.

Jenis masalah yang digunakan dalam pembelajaran melalui pedekatan

open-ended adalah masalah yang tidak rutin dan bersifat terbuka. Sedangkan dasar
32

keterbukaannya (openness) dapat diklarifikasi kedalam tiga tipe, yaitu: process is

open, end products are open, dan ways to develop are open. Proses terbuka

maksudnya adalah tipe soal yang diberikan memiliki banyak cara penyelesaian

yang benar. Hasil akhir yang terbuka, maksudnya adalah tipe soal yang diberikan

memiliki jawaban yang banyak (multiple). Sedangkan maksud cara

pengembangan lanjutannya terbuka adalah ketika siswa telah selesai

menyelesaikan masalah awal mereka dapat menyelesaikan masalah baru dengan

mengubah kondisi dari masalah yang pertama (asli). Dengan demikian pendekatan

ini selain membuat siswa dapat menyelesaikan maslaah tetapi juga dapat

mengembangkan masalah baru (from problem to problem).

Menurut Sawada (dalam Mina 2006:20), bila open-ended problems

semacam soal tadi diberikan pada para siswa di sekolah, setidaknya ada lima

keuntungan yang dapat diharapkan, yaitu :

1. Para siswa terlibat lebih aktif dalam proses pembelajaran dan mereka dapat
mengungkapkan ide-ide mereka secara lebih sering. Para siswa tidak hanya
pasif menirukan cara yang dicontohkan gurunya. Pemecahan masalah open-
ended memberikan lingkungan pembelajaran yang bebas, responsive, dan
mendukung kareana banyak jawaban.
2. Para siswa mempunyai kesempatan yang lebih dalam menggunakan
pengetahuan dan keterampilan matematika mereka secara menyeluruh. Ya,
mereka terlibat lebih aktif dalam menggunakan potensi pengetahuan dan
keterampilan yang sudah dimiliki sebelumnya.
3. Setiap siswa dapat menjawab permasalahan dengan caranya sendiri. Ini artinya,
tiap kreativitas siswa dapat terungkapkan.
4. Pembelajaran dengan menggunakan open-ended problems semacam ini
memberikan pengalaman nyata bagi siswa dalam proses bernalar.
5. Ada banyak pengalaman-pengalaman (berharga) yang akan didapatkan siswa
dalam bentuk kepuasan dalam proses penemuan jawaban dan juga mendapat
pengakuan dari siswa-siswa lainnya

Disamping keunggulan, menurut Suherman, dkk (2003: 133) terdapat pula

kelemahan dari pendekatan Open-Ended, diantaranya:


33

1. Membuat dan menyiapkan masalah matematika yang bermakna bagi siswa


bukanlah pekerjaan mudah.
2. Mengemukakan masalah yang langsung dapat dipahami siswa sangat sulit
sehingga banyak siswa yang mengalami kesulitan bagaimana merespon
permasalahan yang diberikan.
3. Siswa dengan kemampuan tinggi bisa merasa ragu atau mencemaskan jawaban
mereka.

Mungkin ada sebagian siswa yang merasa bahwa kegiatan belajar mereka mereka

tidak menyenangkan karena kesulitan yang mereka hadapi.

Tabel 2.1 Sintaks Pembelajaran dengan Pendekatan Open-Ended


No. Fase Pembelajaran Kegiatan Pembelajaran
Memberikan problem terbuka kepada siswa,
sehingga siswa mendapatkan kesempatan untuk
1 Menyajikan masalah
melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai
kehendak mereka.
Guru mengarahkan siswa untuk menumbuhkan
orisinilitas ide, kreativitas, kognitif tinggi, kritis,
2 Pengorganisasian
komunikasi-interaksi, sharing, keterbukaan, dan
pembelajaran
sosialisasi.
Guru harus menyiapkan atau menuliskan daftar
antisipasi respons siswa terhadap
3 Perhatikan dan catat masalah. Sehingga siswa dapat mengekpresikan ide
respon siswa atau pikirannya sebagai upaya mengarahkan dan
membantu siswa memecahkan masalah sesuai
dengan cara kemampuannya.
Guru memberikan bimbingan dan arahan
kepada siswa untuk berimprovisasi mengembangkan
4 Bimbingan dan metode, cara, atau pendekatan yang bervariasi
pengarahan
dalam memperoleh jawaban sehingga jawaban
siswa beragam
5 Membuat Siswa diminta untuk menjelaskan proses mencapai
kesimpulan. jawaban tersebut
(Sumber : Suyatno, Model-Model Pembelajaran beserta Sintaksnya)

E. Pendekatan Pembelajaran Konvensional

Pembelajaran biasa (konvensional) lebih sering dilakukan oleh guru,

karena sangat sederhana. Pada pembelajaran model biasa (konvensional) guru

tampaknya lebih aktif sebagai motivator pengetahuan tentang materi pelajaran dan
34

metode yang digunakan umumnya metode ceramah yang diselingi dengan Tanya

jawab, diskusi dan penugasan. Siswa dalam hal inimkurang aktif mendapatkna

informasi atau konsep sebagai tujuan pembelajaran.

Brooks & Brooks (Fakhruddin, 2011: 36) mengemukakan pembelajaran

konvensional mengikuti pola sebagai berikut : (a) guru sering mencontohkan pada

siswa bagaimana menyelesaikan soal, (b) siswa belajar dengan cara mendengar

dan menonton guru melakiukan matematik, kemudian mencoba memecahkan

sendiri, (c) pada saatmengajar matematik, guru langsung menjelaskan topik yang

akan dipelajari, dilanjutkan dengan pemberian contoh dan soal untuk latihan.

Dalam proses belajar metode ceramah memang diperlukan tapi sebaiknya

metode ini harus digunkana dengan secara jeli dengan melihat kondisi dari peserta

didik, khususnya dalam pembelajaran matematika yang ditunutut adalah sikap

ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan dengan cara mencari, mengamati,

maupun menemukan. Pada dasarnya pembelajran biasa memiliki beberapa faktor

yang perlu diperhatikan, yaitu dapat menyampaikan nilai-nilai intrinsic dari materi

pelajaran, menyajikan materi pelajaran dengan cara yang cepat dan sederhana

serta dalam waktu yang sama dapat menjangkau jumlah pebelajar yang besar,

pengendalian yang maksimal berada di tangan guru. Pembelajaran biasa yang

mengacu pada metode ceramah ini disebabkan oleh berbagai pertimbangan dan

juga faktor kebiasaan sebagaimana dikemukan oleh(Sanjaya 2008), guru merasa

belum puas manakala dalam proses pengelolaan pembelajaran tidak melakukan

ceramah, demikian juga siswa mereka akan belajar manakala ada guru yang

memberikan materi pelajaran melalui ceramah, sehingga ada guru yang


35

berceramah berarti ada proses belajar. Gambaran sepintas mengenai pembelajaran

konvensional (biasa) yaitu diawali oleh guru memberikan informasi, kemudian

menerangkan konsep, siswa bertanya, guru memeriksa apakah siswa sudah

mengerti atau belum, memberikan contoh aplikasi konsep, selnjutnya meminta

siswa untuk mengerjakan di papan tulis. Siswa bekerja individual atau bekerja

sama dengan teman yang duduk di sampingnya, kegiatan terakhir siswa mencatat

materi yang diterangkan dan diberikan soal-soal rumah.

Beberapa perbedaan yang mendasar antara pembelajaran open-ended dan

pembelajaran konvensional adalah :

Tabel 2.2 Perbedaan Pedagogik antara Pendekatan Open-ended dengan


Pendekatan Konvensional
Pembelajaran
No. Pembelajaran Pendekatan Open-Ended Pendekatan
Konvensional
Konsep dari
Konsep dari pembelajaran dimulai pembelajaran diawali
dengan memberikan problem terbuka kepada dengan hal yang
1.
siswa abstrak.

Siswa secara pasif


Siswa melakukan beragam menerima rumus tanpa
aktivitas untuk menjawab problem yang diber memberikan kontribusi
2.
ikan ide dalam proses
pembelajaran.
Memberikan waktu yang cukup Siswa belajar dari
kepada siswa untuk mengeksplorasi problem. rumus dan dilanjutkan
3.
dengan soal-soal.
Keterampilan
Siswa membuat rangkuman dari proses
dikembangkan atas
4. penemuan yang mereka lakukan.
dasar latihan.

Pembelajaran
Diskusi kelas mengenai strategi dan
menggunakan rumus
pemecahan dari problem serta
yang harus diterangkan,
5. penyimpulan dengan bimbingan guru.
diterima, dihapalkan,
dan dilatihkan.
(Sumber : Suyatno, Model-Model Pembelajaran beserta Sintaksnya)
36

F. Teori Belajar Pendukung


Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan open-ended merupakan

salah satu metode yang dapat menjadikan siswa bisa berpikir kreatif, logis, dan

kritis. Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam metode pengajaran pendekatan

open-ended mula-mula siswa akan dihadapkan pada soal open-ended, yang

dirancang untuk mempunyai banyak jawaban, berupa strategi penyelesaian atau

hasil akhir, yang benar dan pembelajaran open-ended diawali dengan memberikan

masalah terbuka kepada siswa. Sehingga hal ini dapat menyediakan pengalaman

dalam mencari sesuatu yang baru dan mengkombinasikan pengetahuan,

kemampuan, atau cara-cara berpikir yang telah siswa pelajari. Pendekatan ini

diharapkan bisa menggantikan pendekatan pembelajaran ekspositori, yang selama

ini diterapkan, serta meningkatkan kemampuan berpikir kreatif.

Salah satu teori belajar atau pandangan yang sangat terkenal berkaitan

dengan masalah terbuka, dimana kegiatan pembelajaran harus mengakomodasi

kesempatan siswa untuk melakukan segala sesuatu secara bebas sesuai kehendak

mereka sehingga siswa lebih aktif dan guru berfungsi sebagai motivator bagi

siswa dalam mendapatkan pengalaman yang memungkinkan mereka menemukan

dan menyelesaikan masalah yaitu teori pembelajaran Ausubel. Menurut Ausubel

(Suparno, 1997:54) belajar bermakna timbul jika siswa mencoba menghubungkan

pengetahuan baru dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika pengetahuan baru

tidak berhubungan dengan pengetahuan yang ada, maka pengetahuan itu akan

dipelajari siswa melalui belajar hafalan. Hal ini disebabkan pengetahuan yang

baru tidak diasosiasikan dengan pengetahuan yang ada.


37

Untuk membantu guru dalam mengajar dengan menggunakan prinsip

diatas, maka Ausubel mengemukakan apa yang disebut pengorganisir awal, yaitu

suatu kegiatan yang dimaksudkan untuk mengawali pembelajaran suatu materi

tertentu, khususnya pembelajaran dengan materi yang baru. Pengorganisir awal

disini dimaksudkan untuk membantu siswa dalam mempersiapkan struktur

kognitif yang dimiliki agar siswa siap menerima materi pembelajaran yang baru.

Selanjutnya kegiatan-kegiatan siswa dalam pembelajaran pendekatan

open-ended ini yang merupakan ragam berpikir dimana didalamnya terjadi proses

pengabstaksian dari pengalaman nyata dalam kehidupan sehari-hari kedalam

dunia matematika atau sebaliknya yang sejalan dengan teori Bruner karena

mengajak siswa menyukai matematika dengan memperlihatkan kepada mereka

cara mempelajari matematika melalui pengalaman nyata dalam kehidupan

sehari-hari kedalam dunia nyata ataupun pengalaman langsung ke alam sekitar

yang memungkinkan siswa mengalami sendiri proses mirip dengan penciptaan

matematika melalui kegiatan mematematisasi kontekstual yaitu kegiatan

enaktif, ikonik dan simbolik. Pola pikir siswa dikembangkan dari hal–hal yang

bersifat konkret ke yang abstrak. Aktifitas belajar dilakukan melalui peraga-

peraga yang melibatkan seluruh panca indra terutama indra penglihatan,

pendengaran dan peraba.

Kemudian kegiatan-kegiatan siswa dan kegiatan matematik dalam

pembelajaran pendekatan open-ended merupakan satu kesatuan, dimana guru

diharapkan dapat mengangkat pemahaman siswa bagaimana memecahkan

permasalahan dan perluasan serta pendalaman dalam berpikir matematik sesuai


38

dengan kemampuan individu sehingga guru akan mempersiapkan dan

melaksanakan pembelajaran sesuai dengan pengalaman dan pertimbangan

masing-masing sejalan dengan teori Piaget. Piaget (Hergenhann, B.R & Matthew,

H.W, 2008:325) mengemukakan bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif

oleh seseorang, melainkan melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif

seseorang bergantung pada seberapa jauh mereka aktif memanipulasi dan

berinteraksi terhadap lingkungannya. Dari teori ini berarti bahwa pembelajaran

sebagai proses aktif sehingga pengetahuan yang diberikan kepada siswa tidak

diberikan dalam ”bentuk jadi” melainkan mereka harus membentuknya sendiri,

sehingga dalam hal ini guru dalam proses belajar mengajar berfungsi sebagai

fasilitator. Dalam hubungannya dengan penelitian ini, bahwa untuk memperoleh

konsep baru, siswa selalu diajak bahkan ditugaskan dalam kerja kelompok untuk

mencari, menyelesaikan masalah, menggeneralisasikan, dan menyimpulkan hasil

kajian atau temuan mereka.

Vygotsky juga sejalan dengan teori perkembangan Piaget yang meyakini

bahwa perkembangan intelektual terjadi pada saat individu menghadapi tantangan

dan pengalaman baru, serta untuk memecahkan masalah yang muncul. Dalam

upaya mendapatkan pemahaman, individu yang bersangkutan berusaha

mengkaitkan pengalaman baru dengan pengalaman yang telah dimilikinya

kemudian membangun pengertian baru.

Vygotsky dalam teorinya menekankan pada interaksi individu dengan

orang lain merupakan faktor yang terpenting yang mendorong perkembangan

kognitif seseorang. Maksudnya yaitu siswa dalam menyelesaikan tugas belajarnya


39

tidak dapat sendiri. Jadi disini guru mengatur dan menyediakan lingkungan

belajar, mengatur tugas-tugas yang harus dikerjakan siswa, serta memberikan

dukungan sehingga setiap siswa dapat berkembang secara maksimal.

Tujuan ideal dalam pembelajaran matematika adalahagar peserta didik

mampu memecahkan masalah (problem solving) yang dihadapi dengan

berdasarkan penalaran dan kajian ilmiahnya. Berdasarkan teori belajar yang

dikemukakan Gagne (dalam Suherman dkk., 2003:89) bahwa keterampilan

intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah. Hal

ini dapat dipahami sebab pemecahan masalah merupakan tipe belajar paling tinggi

dari delapan tipe yang dikemukakan Gagne.

G. Penelitian yang Relevan

Penelitian Enden (2006) terhadap siswa Kelas 2 di salah satu SMA di

Bandung menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang

memperoleh pembelajaran dengan pendekatan open-ended lebih baik daripada

kemampuan kreatif matematik siswa yang memperoleh pembelajaran biasa dan

berdasarkan jawaban-jawaban dari angket sikap siswa, siswa memiliki sikap

positif terhadap pembelajaran dengan pendekatan open-ended.

Tatag (2004) melakukan penelitian deskriptif untuk menyelidiki

peningkatan kemampuan berpikir kreatif matematik siswa kelas VII-4 SMPN 2

Sidoarjo. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah

baik, karena siswa yang mendapat skor antara 50-100 sebanyak 52,5% dan

kemampuan berpikir kreatif siswa meningkat, dan respon siswa positif.


40

Selanjutnya Wasi’ah (2005) dalam penelitian tesisnya menunjukkan

bahwa pendekatan pembelajaran open-ended lebih efektif bila dibandingkan

dengan pendekatan pembelajaran ekspositori di SLTPN XI Malang pada pokok

bahasan perbandingan. Kemampuan rata-rata siswa yang digunakan pendekatan

pembelajaran dengan open-ended cenderung lebih merata.

Penelitian Rina (2005) terhadap siswa IV SDN Landungsari 01 Dau

Malang menunjukkan bahwa Pembelajaran dengan open-ended dapat memotivasi

siswa untuk lebih memahami suatu masalah yang diajukan.

Penelitian Yuli (2007) terhadap siswa kelas VII Semester II di SMPN 6

Semarang menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa dengan menggunakan pembelajaran open-ended lebih baik dari pada siswa

yang memperoleh pembelajaran konvensional.

Hasil-hasil penelitian dan kerangka teoritis yang telah diutarakan di atas

menjadi acuan peneliti untuk mengungkapkan dan mengembangkan kemampuan

kreatif dan pemecahan masalah khusunya pada siswa SMP. Pembelajaran dengan

pendekatan open-ended dalam upaya mengembangkan kemampuan berpikir

kreatif dan pemecahan masalah matematik siswa. Metode penelitian yang

digunakan dan instrumen penelitian yang digunakan secara lengkap dibahas pada

BAB III.

H. Kerangka Konseptual

Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai.

Dalam pembelajaran matematika, guru diharapkan dapat mengangkat pemahaman

dalam berpikir matematika sesuai dengan kemampuan masing-masing individu.


41

Siswa biasanya dapat berpikir mengenai persoalan matematika jika siswa dapat

memahami persoalan matematika tersebut. Cara pandang siswa tentang persoalan

matematika mempengaruhi pola fikir tentang penyelesaian yang dilakukan.

Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai,

diantaranya adalah mengembangkan kemampuan pemecahan masalah.

Kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan

berpikir matematika tingkat tinggi karena dalam kegiatan pemecahan masalah

terangkum kemampuan matematika lainnya seperti penerapan aturan pada

masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, pemahaman konsep, dan

komunikasi matematika.

Kemampuan berpikir kreatif dan pemecahan masalah matematik siswa

dalam pembelajaran mengalami beberapa kesulitan karena peserta didik kurang

terlatih dalam mengembangkan ide-idenya di dalam memecahkan masalah. Selain

itu, peserta didik juga kurang percaya diri dan tidak berani mengemukakan

pendapat.

Untuk mengatasi permasalahan tersebut, diperlukan suatu pendekatan

pembelajaran yang tepat dan menarik, dimana peserta didik dapat belajar secara

aktif untuk menyelesaikan soal dengan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan

pembelajaran pendekatan open-ended.

Dalam pembelajaran pendekatan open-ended siswa diberi permasalahan

yang sifatnya memiliki multijawaban yang benar. Kebebasan berpikir pada

pembelajaran pendekatan open-ended akan memudahkan siswa dalam memahami

satu topik dan keterkaitannya dengan topik lainnya baik dalam pembelajaran
42

matematika maupun dalam kehidupan sehari-hari. Dengan pembelajaran

pendekatan open-ended siswa akan lebih terasah dengan baik.

Oleh sebab itu, peneliti akan mencoba memaparkan kerangka berpikir

sesuai dengan apa yang ada dirumusan masalah pada BAB I. Adapun aspek yang

akan dikaji adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematik antara siswa

yang diberi pembelajaran open-ended dengan pembelajaran konvensional.

Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami seseorang bila

mereka dihadapkan pada suatu masalah atau situasi yang harus dipecahkan. Jika

seseorang mengerjakan soal matematika maka ia tidak terlepas dari aktivitas

berpikir. Berpikir kreatif adalah suatu proses berpikir yang menghasilkan

bermacam-macam kemungkinan jawaban. Dalam pemecahan masalah apabila

menerapkan berpikir kreatif, akan menghasilkan banyak ide-ide yang berguna

dalam menemukan penyelesaian masalah. Untuk meningkatkan kemampuan

berpikir kreatif dibutuhkan pendekatan pembelajaran yang dapat memotivasi

siswa untuk mengembangkan cara berpikirnya.

Pembelajaran konvensional yang dilakukan oleh guru selama ini hanya

berpusat pada guru sebagai penyampai informasi, sementara siswa hanya

mendengarkan dan mencatat. Pembelajaran tersebut kurang memberi motivasi

kepada siswa untuk terlibat langsung dalam pembentukan pengetahuan

matematika.

Dalam proses pembelajaran konvensional hanya menuntut kemampuan

siswa menghafal dan mengingat informasi. Siswa berperan sebagai penerima


43

informasi, sedangkan guru sebagai penyampai informasi. Hal tersebut kurang

mendukung untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa.

Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan Open-ended yaitu siswa

diberi kesempatan untuk menginvestigasi berbagai strategi dan cara yang

diyakininya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya untuk mengelaborasi

permasalahan. Tujuannya tiada lain adalah agar kemampuan berpikir kreatif

matematik siswa dapat berkembang secara maksimal dan juga pada saat yang

sama dalam kegiatan-kegiatan pembelajaran. Inilah yang menjadi pokok pikiran

pembelajaran dengan pendekatan Open-ended, yaitu pembelajaran yang

menyajikan suatu permasalahan yang memiliki banyak proses dalam

menyelesaikan permasalahan dalam menemukan jawaban atau metode

penyelesaian yang benar lebih dari satu serta mungkin juga dengan banyaknya

proses tersebut sehingga menimbulkan banyak jawaban (yang benar).

Dengan menerapkan karakteristik pendekatan open-ended pada proses

pembelajaran sangat dimungkinkan mengakibatkan kemampuan berpikir kreatif

matematik siswa akan lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran

konvensional. Karena pada pembelajaran open-ended diawali dengan memberikan

masalah terbuka kepada siswa serta kegiatan pembelajarannya harus mengarah

dan membawa siswa dalam menjawab masalah dengan banyak cara serta mungkin

juga dengan banyak jawaban (yang benar), sehingga merangsang kemampuan

intelektual dan pengalaman siswa dalam proses menemukan sesuatu yang baru

daripada siswa yang hanya setelah diberi pembelajaran yang diakhiri dengan

latihan tanpa melihat bagaimana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri


44

yang pada akhirnya menjawab masalah dengan sesuai dengan apa yang

diharapkan guru-guru konvensional. Dengan demikian sangat dimungkinkan

kemampuan berpikir kreatif matematik siswa yang menggunakan pendekatan

open-ended lebih baik dari pada kemampuan berpikir kreatif matematik siswa

dengan yang memperoleh pembelajaran secara konvensional.

2. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematik antara

siswa yang diberi pembelajaran open-ended dengan pembelajaran

konvensional.

Pembelajaran matematika memiliki beberapa tujuan yang harus dicapai, di

antaranya adalah mengembangkan kemampuan memecahkan masalah.

Kemampuan memecahkan masalah merupakan salah satu bentuk kemampuan

berpikir matematika tingkat tinggi karena dalam kegiatan pemecahan masalah

terangkum kemampuan matematika lainnya seperti penerapan aturan pada

masalah tidak rutin, penemuan pola, penggeneralisasian, pemahaman konsep, dan

komunikasi matematika. Sehingga mereka mencoba mengkonstruksi pengetahuan

sendiri untuk mencapai pemecahan masalah yang baik.

Dengan menerapkan karakteristik pendekatan open-ended pada proses

pembelajaran akan mengakibatkan kemampuan pemecahan masalah matematika

siswa akan lebih baik daripada siswa dengan pembelajaran konvensional serta

dengan menerapkan 4 aspek proses pemecahan masalah menurut Polya akan lebih

membantu siswa dalam memecahkan masalah karena salah satunya siswa mampu

membuat pemodelan dalam mempermudah pemecahan masalahnya. Daripada

siswa yang hanya setelah diberi pembelajaran yang diakhiri dengan latihan tanpa
45

melihat bagaimana siswa mengkonstruksi pengetahuannya sendiri yang pada

akhirnya proses pemecahan masalah sesuai dengan apa yang diharapkan guru-

guru konvensional.

3. Aktifitas aktif siswa yang diberi pembelajaran open-ended memenuhi


batas toleransi waktu ideal.

Aktifitas belajar siswa atau kegiatan yang dilakukan dalam proses interaksi

selama proses pembelajaran yang menggunakan pemdekatan open-ended dan

aktifitas siswa dengan menggunakan pembelajaran konvensional otomatis

berbeda. Pada kegiatan belajar mengajar dengan menggunakan open-ended, ada

aspek-aspek perilaku yang diharapkan dari siswa memiliki ciri-ciri, misalnya, di

kelas mereka aktif dalam diskusi, mengajukan pertanyaan dan gagasan, serta aktif

dalam mencari bahan-bahan pelajaran yang mendukung apa yang tengah

dipelajari; mampu bekerja sama dengan membuat kelompok-kelompok belajar;

bersifat demokratis, yakni berani menyampaikan gagasan, mempertahankan

gagasan dan sekaligus berani pula menerima gagasan orang lain; serta memiliki

kepercayaan diri yang tinggi. Sehingga dari komponen-komponen yang diamati

dapat memenuhi batas toleransi waktu ideal.

Sedangkan aktifitas belajar yang terjadi pada siswa yang menggunakan

pembelajaran konvensional cenderung lebih monoton dan berpusat pada guru,

kurang adanya interaksi berkelompok, dan terjadi pembelajaran yang pasif.

pembelajaran konvensional lebih menekankan kepada tujuan pembelajaran berupa

penambahan pengetahuan, sehingga belajar dilihat sebagai proses “meniru” dan

siswa dituntut untuk dapat mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah


46

dipelajari melalui kuis atau tes terstandar. Siswa hanya menerima saja apa-apa

yang disampaikan oleh guru, begitupun aktivitas siswa untuk menyampaikan

pendapat sangat kurang, sehingga siswa menjadi pasif dalam belajar, dan belajar

siswa kurang bermakna karena lebih banyak hapalan.

4. Respon siswa terhadap pembelajaran yang diberi pembelajaran open-

ended lebih positif

Belajar merupakan hasil sentral dalam mempelajari tingkah laku. Tingkah

laku dikontrol oleh stimulasi dan respon yang diberikan siswa. Adapun pengertian

dari respon siswa adalah prilaku yang lahir sebagai hasil masuknya stimulus yang

diberikan guru kepadanya ataupun tanggapan untuk mempelajari sesuatu dengan

perasaan senang. Oleh karena itu, respon siswa merupakan salah satu factor

penting yang ikut menentukan keberhasilan belajar matematika. Kurangnya

respon siswa terhadap pelajaran matematika akan menghambat proses

pembelajaran.

Rendahnya respon siswa belum tentu sumber kesalahan materi ajar pada

diri siswa, kemampuan guru menyampaikan materi yang kurang memadai dapat

menyebabkan kelas menjadi kurang menarik dan cenderung membosankan siswa.

Suara guru yang kurang keras, guru yang kurang tegas, metode pembelajaran yang

kurang tepat, atau posisi guru saat mengajar banyak duduk dapat membawa

suasana yang tidak menarik perhatian, membuat siswa menjadi takut dan tidak

senang yang mengakibatkan menurunnya respon.

Sebagian besar pendekatan pembelajaran yang digunakan guru adalah

konvensional. Dalam pembelajaran konvensional, pembelajaran disampaikan


47

dengan menggunakan sistem ceramah sehingga mendorong aktivitas belajar siswa

yang cenderung diam, mendengarkan dan mencatat hal-hal yang penting dari

pelajaran. Hal ini mengakibatkan sikap anak yang pasif terhadap pelajaran yang

disampaikan. Respon siswa terhadap kegiatan pembelajaran dengan menggunakan

pendekatan open-ended lebih cenderung ke arah positif yaitu melibatkan perasaan

senang terhadap komponen pembelajaran yang dikembangkan. Sedangkan respon

siswa pada pembelajaran konvensional cenderung biasa saja dalam menerima

pembelajaran yang diberikan guru. Hal itu disebabkan oleh kebiasaan cara guru

menyampaikan pelajaran sehingga siswa menjadi monoton ataupun bosan. Dari

uaraian di atas dapat disimpulkan bahwa jika mendapat pembelajaran open-ended

maka respon siswa akan positif.

I. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan deskripsi teori dan kerangka berpikir diatas, maka yang

menjadi hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat perbedaan kemampuan berpikir kreatif matematik antara siswa yang

diberi pembelajaran open-ended dengan siswa yang diberi pembelajaran

konvensional.

2. Terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah antara siswa yang diberi

pembelajaran pembelajaran open-ended dengan siswa yang diberi

pembelajaran konvensional.

Anda mungkin juga menyukai