BAB I
PENDAHULUAN
terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya
untuk menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang
dilalui seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu
berpikir tentang apa yang telah dipikirkan.
Beberapa hasil penelitian (Ratnaningsih, 2007; Wardani, 2009;
Risnanosanti, 2010; Ismaimuza, 2010; Noer, 2010) menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika saat ini pada umumnya masih berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah, yang ditandai dengan
diberikannya tugas-tugas yang masih bersifat prosedural (Risnanosanti, 2012 :
MP-744). Kebanyakan siswa hanya mengikuti pola aturan untuk menyelesaikan
masalah matematika berdasarkan contoh yang diberikan guru. Namun apabila soal
yang diberikan tidak mirip seperti yang telah dijelaskan guru, siswa akan bingung
dan kesulitan mengerjakannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan
permasalahan matematika, siswa cenderung berfikir secara konvergen atau dengan
kata lain meniru cara yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi untuk
menyelesaikan persoalan. Inilah salah satu hal yang menyebabkan hilangnya
esensi kreativitas dalam mempelajari matematika. Apabila hal ini terus dibiarkan
dalam jangka waktu yang panjang dapat mematikan kreativitas dan rasa percaya
diri siswa, serta dapat berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.
Sejalan dengan pendapat Munandar (1992 : 88-93) berdasarkan hasil
survey yang dilakukan Indonesian Education Sector Survey Report, menjelaskan
bahwa pendidikan di Indonesia menekankan pada keterampilan rutin dan hafalan
semata. Lebih lanjut lagi Munandar beranggapan bahwa jika hal tersebut
dibiarkan terjadi pada proses pembelajaran, dikhawatirkan akan berdampak
negatif terhadap pengembangan kreativitas siswa. Selain itu Siswono (2004 : 1)
menyatakan bahwa kreativitas merupakan suatu hal yang jarang sekali
diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Guru menempatkan logika sebagai
titik incar pembicaraan dan menganggap kreativitas merupakan hal yang tidak
penting dalam pembelajaran matematika. Padahal kreativitas itu sangat
dibutuhkan dalam perkembangan pembelajaran matematika yang lebih tinggi.
Pentingnya kreativitas dalam matematika dikemukakan oleh Bishop
(1981 : 63) yang menyatakan bahwa seseorang memerlukan dua keterampilan
5
berpikir yang sangat berbeda dan saling melengkapi dalam matematika, yaitu
berpikir kreatif yang sering diidentikkan dengan intuisi dan kemampuan berpikir
analitik yang diidentikkan dengan kemampuan berpikir logis. Menurut The
Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera.
Makna kata “segera” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan
atau memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan
istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran atau justifikasi, tidak
membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali.
Dalam proses berpikir intuitif, individu tidak melakukan pemeriksaan
kembali terhadap ide yang sebelumnya telah ia peroleh untuk menyelesaikan
masalah. Kemunculan ide yang datang secara seketika dan bersifat otomatis
(immediate) atau muncul tiba-tiba (suddenly) merupakan karakter berpikir yang
melibatkan intuisi (Sa’o, 2016 : 46). Berbeda dengan berpikir kreatif, individu
perlu melewati tahap verifikasi untuk memeriksa kembali ide yang telah diperoleh
pada tahap iluminasi. Hal ini tentu bertujuan untuk menguji apakah ide tersebut
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, berpikir intuitif
pada hakikatnya termasuk ke dalam berpikir kreatif. Berpikir intuitif dilakukan
individu ketika melalui tahap iluminasi dalam berpikir kreatif. Setelah tahap
iluminasi dilewati, tahap selanjutnya dalam proses berpikir kreatif memerlukan
alur berpikir logis atau analitik.
Selain itu pentingnya berpikir kreatif juga diungkapkan oleh Peter (2012 :
39) yang mengatakan bahwa “Student who are able to think creatively are able to
solve problem effectively”, yang artinya siswa yang dapat berpikir secara kreatif
akan mampu menyelesaikan masalah secara efektif. Sementara Kiesswetter
(1983 : 63) menyatakan bahwa kemampuan berpikir fleksibel yang merupakan
salah satu aspek kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan penting
yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Pendapat ini
menegaskan eksistensi kemampuan berpikir kreatif matematis.
Rendahnya pengembangan kemampuan berpikir kreatif disebabkan
pembelajaran di sekolah pada umumnya hanya melatih proses berpikir konvergen,
terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis. Proses belajar yang dilakukan
hanya membentuk siswa yang bisa melakukan prosedur matematik tertentu tanpa
6
2.
8
Pada pola jawaban siswa yang pertama dalam Tabel 1.1 diatas, tampak
bahwa pemahaman siswa tersebut mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus
masih kurang. Sebab pada jawaban tersebut siswa menggambar rangkaian tujuh
buah persegi, padahal kubus hanya memiliki enam buah sisi yang berbentuk
persegi. Sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam buah persegi.
Sedangkan pada pola jawaban siswa yang kedua, tampak bahwa siswa tersebut
sudah memahami konsep kubus, namun rangkaian enam buah persegi yang
digambar bukanlah jaring-jaring kubus. Sebab ada dua buah sisi yang akan
berhimpit apabila rangkaian itu dilipat kembali sesuai rusuk-rusuknya.
Berdasarkan lembar jawaban siswa, seluruh siswa mampu menemukan
jaring-jaring kubus dengan bentuk yang berbeda atau lain daripada contoh yang
diberikan peneliti. Artinya siswa telah mencapai indikator originality karena
mampu memberikan jawaban yang baru. Secara umum jika dilihat dari jawaban
siswa untuk dua indikator berpikir kreatif lainnya, yaitu elaboration dan flexibility
belum tercapai. Dari keseluruhan hasil tes tersebut, jumlah maksimal jaring-jaring
kubus berbeda yang dapat ditemukan oleh siswa per individu sebanyak 5 buah.
Namun apabila dilihat dari seluruh jawaban siswa, keseluruhan jaring-jaring
kubus dapat ditemukan semuanya, yakni 11 buah. Tetapi kesebelas jaring-jaring
kubus tersebut ditemukan oleh siswa yang berbeda.
Hasil tes diatas didukung oleh hasil wawancara dengan siswa yang
menjawab salah pada Tabel 1.1 diatas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
siswa menemukan jaring-jaring kubus dengan cara membuat rangkaian enam buah
persegi menggunakan karton yang diberikan secara acak diatas meja. Kemudian,
9
untuk memeriksa apakah rangkaian yang disusun secara acak tersebut benar-benar
jaring-jaring kubus atau bukan adalah dengan mencoba melipat kembali rangkaian
persegi itu dalam pikiran (imajinasi) mereka saja. Setelah peneliti melakukan
pemeriksaan, ternyata jawaban siswa tersebut salah. Jadi dapat disimpulkan
bahwa siswa memiliki masalah saat tahap verifikasi. Kesalahan tersebut diduga
dapat terjadi karena siswa tidak melibatkan kesadarannya untuk untuk memeriksa
kembali jawaban yang sudah ia temukan.
Kesalahan siswa pada tahap verifikasi dapat dihindari dengan penggunaan
alat bantu atau media yang berbeda dalam menemukan jaring-jaring kubus.
Penggunaan media di dalam kelas akan membantu siswa memahami cara
menemukan jaring-jaring kubus. Pemahaman yang disertai dengan kegiatan
melihat, menyentuh, merasakan, atau mengalami melalui media akan lebih baik
hasilnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (1994) yang mengemukakan
bahwa pemakaian media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan
dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar
dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa.
Salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa menemukan
berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus adalah media kubus guling
berwarna (disingkat meku-guwa) (Rohim, 2015) dan (Kohar, 2011). Meku-guwa
terbuat dari styrofoam yang dibentuk menjadi kubus dan dilapisi kertas berwarna
yang berbeda setiap sisinya. Dengan menggunakan satu buah meku-guwa, dapat
ditemukan sebelas pola berbeda jaring-jaring kubus. Aturan penggunaan meku-
guwa adalah dengan cara menggulingkannya ke segala arah diatas kertas berpetak.
Kemudian satu persatu kotak pada kertas berpetak tersebut diwarnai sesuai
dengan warna sisi meku-guwa yang berhimpit dengan kertas.
Penggunaan meku-guwa dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa.
Sebab dalam menggulingkan meku-guwa ke segala arah, diperlukan kreativitas
siswa agar jaring-jaring kubus yang diperoleh nantinya akan bervariasi. Selain
dengan penggunaan meku-guwa, agar kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa dapat meningkat dan memenuhi indikator berpikir kreatif, diperlukan suatu
fasilitas pembelajaran agar siswa dapat memahami konsep bangun ruang kubus
dan jaring-jaringnya secara bertahap dan bermakna. Oleh karena setiap siswa
10
didalam kelas memiliki daya nalar dan tingkat berpikir yang berbeda-beda. Agar
guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa di dalam kelas
maka guru harus menyajikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
Tingkat perkembangan tersebut merupakan dasar dalam membuat
learning trajectory atau lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi
guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan
pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkah-
langkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan
sebagainya. Hypothetical learning trajectory terdiri dari tujuan pembelajaran
untuk siswa, rencana aktivitas pembelajaran, dan dugaan dari proses pembelajaran
di kelas. Menurut Simonson (2006), pada waktu menyusun dugaan proses
pembelajaran di kelas, guru perlu memprediksi perkembangan pengetahuan
matematika dan pemahaman siswa yang mungkin muncul pada waktu kegiatan
pembelajaran sesungguhnya.
Lintasan belajar dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan
berpikir kreatif matematis jika dirancang sesuai dengan karakteristik yang telah
ditentukan. Pada saat merancang aktivitas pembelajaran guru perlu membuat
dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh sehingga memungkinan siswa
memunculkan ide atau gagasan kreatifnya. Sebab kemampuan awal siswa di
dalam kelas berbeda-beda, sehingga dengan bantuan dugaan lintasan belajar yang
dibuat oleh guru diharapkan dapat diikuti oleh seluruh siswa di dalam kelas. Baik
oleh siswa yang kemampuannya rendah, sedang, ataupun tinggi. Dengan demikian
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat dilatih sesuai tujuan
pembelajaran yang dibuat oleh guru.
Suatu pendekatan pembelajaran sangat diperlukan agar dapat mendukung
terciptanya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar
yang dirancang oleh guru sesuai tingkat berpikir siswa di dalam kelas. Salah satu
pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan ialah dengan menggunakan
pendekatan metakognitif. Metakognisi merupakan suatu istilah yang
diperkenalkan oleh Flavell pada Tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan
pada pendefinisiannya. Menurut Livingston (1997) kegiatan metakognitif pada
11
kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan
bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan
menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi,
membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan
Peneliti memandang bahwa pendekatan metakognitif memiliki banyak
kelebihan jika digunakan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada siswa SMP. Pandangan ini
tentu saja berdasar, yakni dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya,
siswa akan lebih terlatih untuk selalu memikirkan ide-ide kreatif dalam memilih,
mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang diperoleh agar
dapat menyelesaikan masalah. Melalui pengembangan kesadaran metakognisi,
siswa diharapkan akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentu saja tidak akan membuat
siswa melakukan kesalahan saat melakukan verifikasi, karena siswa dapat dengan
sadar mengevaluasinya dengan baik.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
“Lintasan Belajar Berpikir Kreatif Pada Materi Jaring-jaring Kubus dengan
Penerapan Pendekatan Metakognitif Siswa Kelas VIII SMP Swasta Al –
Washliyah 1 Medan T.A. 2018/2019”
BAB II
KAJIAN TEORI
berpikir untuk mengetahui apa yang ia butuhkan dalam hidupnya, namun ia juga
harus berpikir bagaimana cara agar dapat memenuhi kebutuhan itu.
Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2010), istilah
‘thinking’, diartikan “ideas or opinions about something”. Pemikiran itu adalah
ide atau opini tentang sesuatu. Contohnya ketika kita tengah berbicara masalah
sepakbola, seperti Piala Eropa, orang yang bisa mengemukakan ide atau opini
dikategorikan sebagai orang yang sudah berpikir. Lain halnya menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, berpikir diartikan dengan menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu.
Lince (2016 : 207) mengklasifikasikan berpikir kedalam tiga komponen
utama, yaitu :
(1) think is a cognitive activity that occurs within the mental or a person's
mind, not visible, but can be inferred based on observed behavior, (2)
thinking is a process that involves multiple manipulations knowledge in
cognitive systems. Knowledge stored in the memory together with the
information now, so changing one's knowledge of the situation at hand,
and (3) the activity of thinking is directed to produce solutions to
problems.
Komponen pertama yaitu berpikir adalah aktivitas kognitif yang timbul
secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku. Maksudnya
aktivitas berpikir terjadi di dalam pikiran individu dan hasil berpikir itu dapat
terlihat melalui tindakan yang dilakukan setelah aktivitas berpikir dilakukan.
Kedua, berpikir juga merupakan sebuah proses yang melibatkan manipulasi
berbagai pengetahuan dalam sistem kognitif. Pengetahuan tersimpan di dalam
ingatan bersamaan dengan informasi yang sekarang. Dalam kegiatan berpikir,
individu dapat mengolah atau mengombinasikan pengetahuan yang telah
tersimpan dalam ingatan dengan pengetahuan baru. Dan yang terakhir, aktivitas
berpikir dapat mengarah kepada menghasilkan solusi untuk menyelesaikan
masalah. Menurut John Dewey (Sudarma, 2013:38):
(1) berpikir adalah “stream of consciousness”. Arus kesadaran ini muncul
dan hadir setiap hari, mengalir tanpa terkontrol, termasuk di dalamnya
yaitu mimpi atau impian, dan lamunan. Hadirnya arus kesadaran tersebut
dapat dikategorikan pula sebagai bagian dari proses berpikir. (2) berpikir
adalah imajinasi atau kesadaran. Pada umumnya imajinasi ini muncul
secara tidak langsung atau tidak bersentuhan langsung dengan sesuatu
yang sedang dipikirkan. (3) berpikir semakna dengan keyakinan
(believing). Berpikir semakna dengan satu bentuk keyakinan yang dimiliki
17
Timpe yang menyatakan bahwa kreativitas adalah suatu hal yang halus dan ilusif;
ia adalah perpaduan dari imajinasi, visi, kecerdikan, dan inspirasi. (Soesilo, 2014)
Perlu disadari bahwa pentingnya perwujudan ide-ide yang kreatif bukan
merupakan suatu anugerah yang sifatnya statis, tetapi dapat diajarkan dan
dikembangkan. Setiap individu tentu memiliki kreativitas, tetapi tidak semua
individu mampu untuk mengasah kreativitas itu dalam kehidupannya. Lembaga
pendidikan memiliki peran penting dalam pembinaan kreativitas peserta didiknya.
Dalam bidang pendidikan, guru tidak hanya memberikan pemahamanan mengenai
pengetahuan saja, tetapi metode dan proses pembelajaran perlu dirancang
sehingga mampu merangsang pengembangan kemampuan kreatif peserta didik.
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan
melatih peserta didik untuk memaksimalkan penggunaan otak kiri dan kanannya
dalam belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Risnanosanti (2012 : MP-746),
kreativitas juga merupakan hasil interaksi dari kedua belahan otak individu, selain
itu kreativitas dapat merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih
maka kreativitas tidak dapat berkembang, bahkan bisa menjadi lumpuh.
Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau perilaku
manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi
suatu persoalan.
Salah satu alasan mengapa kemampuan berpikir kreatif ini dapat dilatih
karena pada dasarnya setiap individu merupakan makhluk yang kreatif. Namun
untuk individu yang memiliki kreativitas pasif, butuh penyadaran atau pencerahan
untuk membangkitkannya. Hal ini dipertegas oleh Selo Soemardjan (dalam
Soesilo, 2014) yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan sifat pribadi
seorang individu (bukan merupakan sifat sosial yang dihayati masyarakat) dan
tercermin dari kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Berdasarkan berbagai pandangan diatas disimpulkan bahwa kreativitas
adalah hasil pemikiran yang diperoleh melalui proses berpikir dan menghasilkan
sesuatu berupa produk, ide, atau karya yang sifatnya baru bagi diri penciptanya
maupun orang lain dan muncul dari pengetahuan, pengalaman, atau interaksi
individu dengan lingkungan.
22
Kreativitas sering dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan produk dalam
bidang seni. Padahal sebenarnya kreativitas bukan hanya dimiliki oleh para
seniman saja, tetapi semua bidang membutuhkan kreativitas. Hal ini disampaikan
oleh Pehkonen (1997), kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu,
seperti seni, sastra, atau sains, melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk matematika. Siswono (2007) menjelaskan 6 alasan mengapa
pembelajaran matematika perlu menekankan pada kreativitas, yaitu (1)
matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa
dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3)
guru perlu merespon konstribusi siswa yang asli dan mengejutkan, (4)
pembelajaran matematika dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak
termotivasi dan mengurangi kemampuannya, (5) keaslian merupakan sesuatu yang
perlu diajarkan, seperti membuat pembuktian asli dari teorema-teorema, (6)
kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan
hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya.
Pembahasan mengenai kreativitas dalam matematika lebih ditekankan
pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh karena itu kreativitas dalam
matematika lebih tepat diistilahkan sebagai kemampuan berpikir kreatif
matematis. Sebagai contoh dalam pembelajaran matematika, ketika siswa diminta
untuk menggambarkan sebuah kubus kemudian memberi nama pada setiap titik
sudut kubus, tentu ia akan berpikir berapa ukuran panjang sisi kubus yang akan ia
buat dan akan menamai titik sudutnya dengan simbol apa. Ukuran kubus yang
digambarkan setiap siswa tentu akan berbeda, begitu pula dengan cara siswa
untuk menamainya. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan oleh pengetahuan
siswa dalam menggambar kubus, tetapi juga merupakan akibat dari kreativitas
sehingga dalam menyelesaikan tugas tersebut ditemukan jawaban siswa yang
bervariasi.
Berpikir kreatif adalah suatu proses memadukan berpikir divergen dan
berpikir logis. Berpikir divergen digunakan untuk mencari ide-ide untuk
memecahkan suatu masalah sedangkan berpikir logis digunakan untuk
memverifikasi ide-ide tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang kreatif. Berpikir
kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan untuk dapat mengembangkan
kemampuan diri. Kemampuan berpikir kreatif tentu sangat mungkin dapat
23
terorganisasi dengan baik, holistis, sinergis, dan estetis. Sementara Mann (2005)
mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu
kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas.
Menurut Alvino (1990 : 50), kreatif adalah melakukan suatu kegiatan yang
ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency (menurunkan banyak ide),
flexibility (mengubah perspektif dengan mudah), originality (menyusun sesuatu
yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide lain dari suatu ide). Berbeda
dengan Martin (2009) yang mengemukakan tiga aspek kemampuan berpikir
kreatif, yaitu produktivitas, originalitas atau keaslian, dan fleksibilitas atau
keluwesan. Produktivitas berkaitan dengan banyaknya hasil karya yang
dihasilkan. Originalitas berkaitan dengan suatu hasil karya yang berbeda dengan
hasil karya serupa di sekitarnya. Fleksibilitas merujuk pada kemauan untuk
memodifikasi keyakinan berdasarkan informasi baru. Seseorang yang tidak
berpikir fleksibel tidak mudah mengubah ide atau pandangan meskipun ia
mengetahui terdapat kontradiksi antara ide yang dimiliki dengan ide baru.
Secara khusus ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif berdasarkan aptitude-nya
antara lain:
1. Keterampilan berpikir lancar, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mencetuskan
banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, (b)
memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, (c) Selalu
memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri perilaku individu yang memiliki
keterampilan berpikir lancar sebagai berikut :
a. Mengajukan pertanyaan
b. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan
c. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah
d. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak dibandingkan orang
lain
e. Dapat dengan cepat melihat kekurangan pada suatu objek atau situasi
2. Keterampilan berpikir luwes (fleksibel), didefinisikan sebagai berikut: (a)
Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi (b) Dapat
melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda (c) Mencari banyak
alternatif atau arah yang berbeda-beda (d) mampu mengubah cara pendekatan
atau cara pemikiran. Adapun ciri-ciri perilaku bagi individu yang memiliki
keterampilan berpikir luwes (fleksibel) sebagai berikut :
25
Pada level 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya
mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan
tugasnya saja. Sedangkan level 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi
karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi
pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-
algoritma pemrograman. Level 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya
karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara
bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan
bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan
tindakan atau kondisi logis dari sistem tindakan. Level 4 merupakan tingkat
tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan
dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau
kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran untuk meningkatkan
perencanaan dan proses konstruksi.
Sementara itu, Gotoh (2004) mengungkapkan tingkat berpikir matematis
dalam memecahkan masalah terdiri atas 3 tingkat yang dinamakan aktivitas
empiris (informal), algoritmis (formal), dan konstruktif (kreatif).
TKBK Keterangan
Tingkat 4 Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu
(Sangat
alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat
Kreatif)
masalah yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel.
Tingkat 3 Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara
(Kreatif)
penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau
membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara
yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat
masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban
masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban
divergen.
30
Tingkat 2 Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda
(Cukup
dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih,
Kreatif)
atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang
berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak
baru.
Tingkat 1 Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah
(Kurang
yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi,
Kreatif)
yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau
jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih).
Sebab tidak jarang seseorang menemukan suatu solusi atas masalahnya ketika
sedang beristirahat atau melakukan kegiatan lain.
Kelanjutan pada contoh diatas, diharapkan siswa pada tahap ini
menemukan ide atau gagasan kunci yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pada tahap ini siswa telah menemukan cara untuk mengubah kotak
menjadi sebuah bangun datar, yakni dengan cara menggunting kotak tersebut
mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian kotak yang terlepas. Sehingga akan
diperoleh sebuah bangun datar yang berdimensi dua. Namun siswa belum
sepenuhnya yakin dengan solusi tersebut. Sehingga ia perlu memeriksa apakah ide
yang diperolehnya itu benar atau tidak. Proses berpikir kreatif siswa berlanjut ke
tahap verifikasi atau evaluasi untuk berpikir secara konvergen terhadap solusi
yang ditemukan.
4. Tahap verifikasi atau evaluasi,
Tahap verifikasi atau evaluasi yaitu tahap dimana ide atau kreasi baru
tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang muncul
dikembangkan dan diuji secara kritis. Penyeleksian dari berbagai alternatif solusi
yang ditemukan untuk mencetuskan ide kreatif perlu dilakukan. Oleh karena itu
perlu alasan yang tepat untuk memilih ide kreatif yang tepat pula. Kajian kritis
rasional merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada
pemikiran konvergen yang bersifat analistis. Hingga yang muncul adalah ide
kreatif yang telah teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa
seseorang yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang
terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk
menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang dilalui
seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu berpikir tentang
apa yang telah dipikirkan.
Berkenaan dengan contoh pada tahap sebelumnya, dalam tahap ini siswa
akan menguji apakah benar dengan cara menggunting kotak mengikuti rusuk-
rusuknya kotak yang berdimensi tiga itu dapat berubah menjadi bangun datar
yang berdimensi dua. Setelah memastikan cara tersebut dapat digunakan sebagai
alternatif pemecahan masalah, maka siswa akan mencoba menerapkannya. Dalam
menggunting kotak kapur tersebut mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian
35
yang terlepas, akan membuat siswa yang satu dengan yang lain berbeda-beda
dalam memulai rusuk mana yang lebih dulu akan digunting. Apabila siswa
mampu memulainya dengan rusuk yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan
hasil bangun datar yang berbeda pula. Kemampuan siswa ini memiliki nilai
flexibility (luwes), yaitu dikatakan siswa mampu menemukan banyak cara atau
pendekatan yang berbeda dalam menggunting kotak mengikuti rusuk-rusuknya.
Dengan cara yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan bentuk bangun
datar hasil bukaan dari kotak tersebut berbeda pula. Apabila siswa mampu
menemukan bangun datar dengan bentuk yang bervariasi artinya siswa lancar
dalam mencetuskan banyak jawaban. Dengan kata lain nilai fluency (kelancaran)
pada indikator berpikir kreatif telah dicapai oleh siswa. Selanjutnya apabila
terdapat hasil bangun datar yang dibuat oleh siswa memiliki nilai kebaruan, atau
dapat dikatakan belum pernah ditemukan, maka jawaban siswa tersebut memiliki
nilai originality.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini tahap berpikir kreatif
dirujuk berdasarkan Teori Wallas yang terdiri atas empat tahap, yaitu persiapan,
inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.
menerima apa adanya 2) jangan terpaku pada satu cara 3) pertajam rasa ingin tahu
4) perlu latihan otak.
Berbeda dengan Langrehr (2006) yang mengatakan bahwa untuk melatih
berpikir kreatif siswa harus didorong untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan hal-hal berikut : (1) Membuat kombinasi dari beberapa bagian sehingga
terbentuk hal yang baru; (2) Menggunakan ciri-ciri acak dari suatu benda sehingga
terjadi perubahan dari desain yang sudah ada menjadi desain yang baru; (3)
Mengeliminasi suatu bagian dari sesuatu hal sehingga diperoleh sesuatu hal yang
baru; (4) Memikirkan kegunaan alternatif dari sesuatu hal sehingga diperoleh
kegunaan yang baru; (5) Menyusun ide-ide yang berlawanan dengan ide-ide yang
sudah biasa digunakan orang sehingga diperoleh ide-ide baru; (6) Menentukan
kegunaan bentuk ekstrim dari suatu benda sehingga ditemukan fungsi baru dari
benda itu.
Teknik berpikir kreatif akan menunjukkan cara menghasilkan ide dan
solusi kreatif yang dibutuhkan dalam kehidupan. Jika seseorang dapat
mengorganisasi pikiran dengan strategi berpikir kreatif, ia akan belajar melihat
apa yang tidak dilihat orang lain dan memikirkan yang tidak dipikirkan oleh orang
lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan agar dapat melatih kemampuan berpikir
kreatif yaitu :
1. Berpikir Analogi
Istilah analogi mengandung arti “sama” atau “serupa”. Lebih tepatnya
istilah analogi ini mengandung makna: (1) berkenaan dengan persamaan atau
persesuaian dari dua hal yang berlainan (2) sifat memilih persamaan dalam
bentuk, susunan, atau fungsi dari dua hal yang berbeda. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa analogi adalah proses kognitif dengan cara mentransfer
informasi atau makna dari suatu subjek tertentu (analog atau sumber) ke topik
tertentu (target). Dalam berpikir analogi terdapat tiga aspek penting yang harus
ada, yaitu aspek sumber, kesamaan, dan aspek target. Sumber analogi harus
dipahami oleh kita sebagai pembuat analogi dan orang lain. Target analogi dipilih
yang berkaitan dengan masalah yang membutuhkan penyelesaian. Diantara
sumber analogi dan target analogi, harus ada aspek kesamaan diantara keduanya.
Pola pikir analogi tidak bisa dilakukan bila tidak mengembangkan pola
pikir yang logis atau rasional. Kreativitas kita dalam membuat analogi, akan
37
3. Berpikir Mengembang
Kita dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan model berpikir
mengembang. Berpikir mengembang (divergent thinking) dimaksudkan untuk
menunjukkan kemampuan seseorang dalam meluaskan pemahaman, pengertian,
atau analisis. Berpikir mengembang dapat dikatakan sebagai upaya meluaskan
kajian atau bahasan ke arah luar. Pengetahuan awal digunakan sebagai pijakan
38
(Silver, 1997). Kedua instrumen ini berupa tugas membuat soal matematika
berdasarkan informasi yang terdapat pada soal terkait situasi sehari-hari yang
diberikan. Park (2004) berpendapat bahwa untuk mengukur kemampuan berpikir
kreatif matematis salah satunya dengan memberikan tugas membuat sejumlah
pertanyaan atau pernyataan berdasarkan informasi pada soal-soal yang diberikan.
Soal-soal yang diberikan tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau
diagram.
Silver (1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan
berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem).
Menurut Livne (2008) soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang
memiliki beragam jawaban. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah
kelancaran, keluwesan, dan kebaruan, dan keterincian. Berikut contoh soal
terbuka pada materi kubus yang dapat mengukur kemampuan berfikir kreatif
matematis siswa:
Perhatikan gambar kubus tertutup ABCD.EFGH berikut ini!
A B C D
Dalam memahami soal diatas, pengetahuan deklaratif siswa dapat terlihat
ketika siswa mengajukan pertanyaan pada diri sendiri apakah siswa telah
mengetahui ciri-ciri jaring-jaring kubus dan strategi yang dapat digunakan untuk
memperoleh jawaban dari soal tersebut. Siswa dapat menentukan mana yang
merupakan jaring-jaring kubus dengan menentukan salah satu sisi rangkaian
tersebut sebagai bidang alas (AL). Setelah itu dapat ditentukan bidang-bidang:
atas (AT), kanan (KA), kiri (KI), depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada sisi
44
yang berimpit maka rangkaian enam persegi tersebut merupakan suatu jaring-
jaring kubus. Hal ini merupakan wujud dari pengetahuan prosedural yang
dimiliki siswa. Namun siswa harus dapat memberikan alasan mengapa cara
tersebut dapat digunakan sebagai strategi penyelasaian masalah, ini termasuk
pengetahuan kondisional.
Flavell (1976) menegaskan bahwa pengetahuan metakognisi merupakan
pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu
pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif.
Flavell sendiri membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori :
(1) Pengetahuan tentang variabel-variabel personal yang berkaitan dengan
pengetahuan bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta
pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya.
(2) Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas, melibatkan pengetahuan
tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan dalam
menyelesaikan tugas itu. Dengan kata lain pengetahuan ini menyangkut
pengetahuan bahwa tugas-tugas yang berbeda menuntut pendekatan serta
jenis keterampilan yang berbeda pula untuk menyelesaikannya.
(3) Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan
kapan dan bagaimana penerapan strategi-strategi itu. Dengan pengetahuan
strategi, seseorang mengetahui strategi metakognitif mana yang akan
digunakan dan kapan digunakan dalam rangka penyelesaian suatu rangkaian
tugas. Pengetahuan strategi membantu pebelajar menjadi efisien dan efektif
dengan memberikan cara untuk menyeleksi strategi metakognitif yang
paling memadai untuk mencapai tujuannya.
b. Keterampilan Metakognisi
Metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol
proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir. Jika siswa memahami
keterampilan metakognisi yang dimilikinya maka siswa tersebut dapat dengan
baik menyelesaikan masalah matematika lebih sistematis, analitis, dan efisien.
Brown (1983) mengemukakan bahwa proses atau keterampilan metakognitif
memerlukan operasi mental khusus yang dengannya seseorang dapat memeriksa,
merencanakan, mengatur, memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses
berpikir mereka sendiri.
45
berpikir sumber
Mengetahui bahwa strategi elaborasi
meningkatkan pemahaman
Memikirkan bagaimana orang lain
memikirkan tugas
3. Merefleksi prosedur Menilai pencapaian tujuan
secara evaluatif Menyusun dan menginterpretasi data
Mengatasi hambatan dalam pemecahan
masalah
Mengidentifikasi sumber-sumber kesalahan
dari data yang diperoleh
4. Metransfer Menggunakan prosedur/cara yang berbeda
pengalaman untuk penyelesaian masalah yang sama
pengetahuan pada Menggunakan prosedur/cara yang sama untuk
masalah. Berikut ini tingkat kesadaran siswa dalam berpikir ketika menyelesaikan
suatu masalah oleh Swartz dan Perkins (1989), yaitu:
1. Tacit use adalah penggunaan pemikiran tanpa kesadaran. Jenis pemikiran
yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang
keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau
keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal
menjawab dalam memecahkan masalah.
2. Aware use adalah penggunaan pemikiran dengan kesadaran. Jenis pemikiran
yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa
melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini, siswa menyadari bahwa ia
harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan
penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut.
3. Strategic use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat strategis. Jenis
pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam proses
berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang
dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan
mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan
masalah.
4. Reflective use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat reflektif. Jenis
pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya
sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan
mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal
ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam
langkah-langkah penyelesaian masalah.
Lain halnya dengan Sperling, dkk (2002) yang menyebutkan bahwa siswa
yang memiki metakognisi tinggi adalah siswa yang memfokuskan perhatian,
belajar dengan sengaja, membuat rencana belajar, dapat menilai performa dirinya
sendiri secara akurat, dan bertanya untuk memastikan pemahamannya. Sedangkan
siswa yang memiliki metakognisi rendah adalah siswa yang perhatiannya acak,
belajar dengan sembarangan, tidak membuat perencanaan belajar, tidak dapat
menilai performa dirinya sendiri secara akurat, dan mengerjakan sesuatu tanpa
54
Namun dalam proses menyelesaikan masalah kita harus secara konstan melakukan
penyesuaian terhadap kendala yang dihadapi. Oleh karena itu kita terus menerus
berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang cara memecahkan masalah
maupun tentang kendala yang ditemui. Berdasarkan hal tersebut mungkin kita
akan mengubah cara menyelesaikan masalah berkenaan dengan tujuan untuk
memecahkan masalah. Kita dapat memodifikasi cara atau strategi yang dilakukan
sebagai hasil interaksi dengan orang lain yang kita tanya selama proses
pemecahan masalah. Kita dapat menambahkan tujuan-tujuan baru yang mana
tujuan baru itu tidak diketahui sebelum proses pemecahan masalah. Proses
pemecahan masalah yang secara aktual kita lalui itulah yang disebut dengan
proses belajar sebenarnya. Strategi yang kita ubah pada saat tertentu dalam proses
pemecahan masalah itulah yang disebut disebut proses belajar hipotetik.
Berdasarkan uraian diatas, Gambar 2.2 menunjukkan bahwa alur belajar
memberikan gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui
saat berinteraksi dengan lingkungan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah
sebuah alur belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat
yang telah dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu
titik ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan,
metode yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka
tunjukkan.
Pada waktu menyusun dugaan proses pembelajaran di kelas, guru perlu
memprediksi perkembangan pengetahuan matematika di kelas dan pemahaman
atau strategi siswa yang mungkin muncul sebagaimana yang terjadi pada waktu
kegiatan pembelajaran sesungguhnya (Simonson, 2006). Suatu lintasan belajar
disediakan oleh guru harus didasarkan pada pemikiran untuk memilih desain
pembelajaran khusus, sehingga hasil belajar terbaik sangat mungkin untuk
dicapai. Hal ini dapat terlihat dalam pemikiran dan perencanaan yang terjadi
dalam pengajaran, termasuk respon spontan yang dibuat dalam menanggapi
pemikiran siswa.
Pengajuan learning trajectory dapat hanya berupa hipotesis, karena
pengalaman guru membuat keputusan dan mengadaptasi aspek-aspek dari
aktivitas yang direncanakan dalam respon adalah untuk membuktikan pemikiran
dan belajar yang dilakukan siswa, perbedaan aspek dan tingkat pemahaman akan
58
menjadi jelas terlihat bagi guru. Selain itu istilah hipotesis digunakan agar guru
menjadi fleksibel dalam merubah arah pembelajaran dan mengadaptasi aspek-
aspek aktivitas yang telah direncanakan dalam menanggapi respon siswa
sepanjang pembelajaran. Oleh karena learning trajectory yang dirancang masih
berupa dugaan maka disebut dengan Hypothetical Learning Trajectory.
(Risnanosanti, 2012 : MP-745)
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Hadi (2006), alur belajar hipotetik
adalah dugaan seorang desainer atau seorang peneliti mengenai kemungkinan alur
belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang pembelajaran. Karena bersifat
hipotetik tentu tidak selalu benar. Pada kenyataannya memang banyak salah
karena apa yang terjadi di kelas sering tak terduga. Setelah peneliti melakukan uji
coba, diperoleh alur pembelajaran yang sebenarnya, itulah yang disebut dengan
alur belajar. Pada siklus pembelajaran berikutnya alur belajar tadi dapat dijadikan
sebagai sebuah alur belajar hipotetik yang baru.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa lintasan belajar
merupakan barisan aktivitas yang dilalui siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Pada penelitian ini lintasan belajar yang dirancang oleh peneliti
dalam LAS mencerminkan keterampilan metakognisi siswa untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif matematis. Adapun keterampilan metakognisi yang
dimaksud yaitu meliputi perencanaan strategi untuk memperoleh solusi
penyelesaian, kemampuan mengelola informasi yang berkenaan dengan solusi,
memonitor (mengontrol) solusi yang didapatkan, membetulkan tindakan yang
salah dalam mencapai solusi dan mengevaluasi efektivitas solusi yang diperoleh.
Dengan demikian, dapat didefinisikan lintasan belajar berpikir kreatif pada
penerapan pendekatan metakognitif merupakan dugaan terhadap rute (alur) belajar
yang dilalui siswa untuk memcapai tujuan pembelajaran dengan cara melewati
setiap tahapan proses berpikir kreatif melalui kegiatan orientasi masalah,
merencanakan solusi penyelesaian, memonitoring (mengontrol) solusi yang
diperoleh, dan merefleksi (mengevaluasi) solusi yang lebih memungkinkan.
Lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif
dimulai dengan merencanakan tindakan, memantau rencana tindakan, dan
mengevaluasi rencana tindakan. Tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan
belajar dengan pendekatan metakognitif dari “merencanakan tindakan
penyelesaian masalah menuju memantau rencana tindakan” diduga adalah
59
persiapan, inkubasi, dan iluminasi. Pada tahap persiapan, hal yang dapat
dilakukan siswa adalah: (1) mengamati masalah, (2) memahami masalah; (3)
memperoleh informasi, dan (4) mengajukan pertanyaan.
Pada tahap inkubasi, dua hal penting yang dilakukan siswa adalah
menenangkan diri dan mengalami kebuntuan berpikir. Karena mengalami
kebuntuan berpikir, hal yang mungkin dapat dilakukan siswa adalah: (1)
mengamati dan memahami kembali tahap persiapan, (2) mengingat pengetahuan
yang dimiliki, (3) mencoba memunculkan ide yang belum sempurna. Pada tahap
iluminasi, hal yang dapat dilakukan siswa ialah: (1) menemukan ide-ide yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (2) menerapkan strategi
penyelesaian masalah.
Selanjutnya tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan belajar dengan
pendekatan metakognitif dari “memantau rencana tindakan menuju mengevaluasi
rencana tindakan” ialah verifikasi. Ketika memantau rencana tindakan, siswa
memeriksa penerapan ide kreatif yang apakah sesuai untuk menyelesaikan
masalah. Apabila tidak sesuai, siswa perlu memilih strategi perbaikan yang tepat
ketika strategi yang dipilih sebelumnya tidak bekerja. Saat kondisi seperti ini,
tahap verifikasi diperlukan untuk evaluasi terhadap rencana tindakan. Pada tahap
verifikasi siswa melakukan: (1) pemeriksaan hasil penyelesaian masalah dengan
cara mendiskusikan ide kreatifnya dengan guru atau teman sebagai proses koreksi,
(2) mengecek kembali proses pembentukan ide kreatif, mulai dari tahap persiapan
sampai iluminasi (3) merevisi hasil penyelesaian masalah yang salah, (4)
menelusuri kembali informasi yang berkenaan dengan penyelesaian masalah
untuk proses evaluasi.
Pada lintasan belajar dengan pendekatan metakognitif “mengevaluasi
rencana tindakan”, siswa mengevaluasi efektivitas strategi pemecahan masalah
yang diterapkan sebelumnya. Apabila strategi pemecahan masalah yang
diterapkan sudah sesuai dengan tujuan, maka akan diperoleh hasil pemecahan
masalah. Namun jika sebaliknya, maka siswa akan melakukan pemantauan
kembali terhadap strategi penyelesaian masalah.
Berdasarkan uraian diatas, lintasan belajar berpikir kreatif dengan
penerapan pendekatan metakognitif dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.
60
sumber belajar lain untuk memudahkan siswa belajar matematika serta materi
yang sesuai dengan kapasitas siswa. Teori Vygotsky yang mendasari penelitian ini
adalah perlunya penggunaan media kubus guling berwarna sebagai salah satu
MKO untuk memudahkan siswa menemukan pola jaring-jaring kubus. Selain itu
bantuan guru (scaffolding) diberikan kepada siswa melalui pertanyaan
metakognitif ketika siswa melewati setiap titik lintasan belajarnya. Sehingga pada
ZPD siswa dapat berpikir secara maksimal untuk menemukan ide kreatifnya
memecahkan persoalan.
2.1.14. Media Kubus Guling Berwarna
Dalam menemukan pola jaring-jaring kubus dapat dilakukan dengan
menggunting benda yang berbentuk kubus sesuai rusuk-rusuknya tanpa ada
bagian yang terlepas. Untuk menemukan pola jaring-jaring kubus dengan cara
seperti itu akan membutuhkan waktu yang relatif lama apabila diterapkan pada
saat pembelajaran di kelas. Untuk itu diperlukan strategi yang lebih efektif agar
memungkinkan siswa menemukan seluruh pola jaring-jaring kubus. Sebagaimana
yang dikatakan Susilo (2014) bahwa pembelajaran merupakan proses yang
membutuhkan berbagai sumber untuk penunjang keberhasilan belajar. Sumber
belajar yang dibutuhkan sangat beragam sesuai dengan materi dan kondisi
pembelajaran. Salah satu sumber belajar itu adalah media pembelajaran.
Media didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa,
sehingga dapat terdorong untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Manfaat
penggunaan media pembelajaran adalah : (1) memperjelas penyajian pesan agar
tidak terlalu verbalistik, (2) Mengatasi keterbatasan ruang. (3) Mengatasi
kepasifan siswa dalam kelas, (4) Mengatasi kesulitan guru karena perbedaan latar
belakang dan pengalaman siswa. (Barokati, 2013 : 3).
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang penggunaan media untuk
menemukan pola jaring-jaring kubus. Penelitian yang dilakukan oleh Riana
(2013). Media yang dipakai adalah berupa bangun kubus. Melalui imajinasi siswa,
siswa membuat jaring-jaring kubus pada kertas berpetak dan menemukan rumus
luas permukaan kubus. Penelitian Widjayanto (2014) yang berjudul peningkatan
hasil belajar materi jaring-jaring balok dan kubus dengan menggunakan media
karton berpetak. Penggunaan media ini juga membutuhkan daya imajinasi siswa.
64
Kedua penelitian itu berhasil meningkatkan prestasi siswa, akan tetapi siswa
belum mengetahui secara luas tentang pola jaring-jaring kubus.
Dengan demikian, jaring-jaring kubus yang bervariasi dapat dibuat melalui
banyak cara dan melalui berbagai media. Akan tetapi diperlukan sebuah media
yang terbukti efektif dalam menemukan secara luas pola jaring-jaring kubus.
Salah satunya dengan media kubus guling berwarna. Media kubus guling
berwarna adalah salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa
menemukan berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus (Rohim, 2015) dan
(Kohar, 2011). Meku-guwa dibuat dari styrofoam berbentuk kubus yang dilapisi
dengan kertas karton berwarna yang setiap sisinya berbeda warna. Adapun Meku-
guwa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:
(a) (b)
Gambar 2.5 Penggunaan Meku-guwa, (Sumber: Rohim, 2015:334)
Dari jawaban siswa diatas, bagian yang diarsir merupakan bagian yang
berhimpit dengan sisi pada meku-guwa. Apabila rangkaian enam persegi yang
diarsir pada Gambar 2.4(a) tersebut diberi batas seperti Gambar 2.4 (b), maka kita
akan memperoleh sebuah jaring-jaring kubus. Tampak melalui penggunaan media
ini siswa dapat menemukan kesebelas jaring-jaring kubus secara efektif.
(Sumber: wordpress.com)
Gambar 2.6 Disket, Bantal, dan Papan Catur,
Unsur-unsur bangun persegi yaitu dibentuk oleh empat buah rusuk (sisi)
dan memiliki empat titik sudut. Adapun sifat-sifat persegi yaitu sebagai berikut:
a. Semua sisinya sama panjang dan sisi-sisinya yang berhadapan sejajar.
b. Setiap sudutnya merupakan sudut siku-siku, yaitu sebesar 900.
c. Mempunyai dua buah diagonal yang sama panjang, berpotongan di
tengah-tengah, dan membentuk sudut siku-siku.
d. Setiap sudutnya dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya.
e. Memiliki empat sumbu simetri lipat.
Apabila enam buah bangun datar persegi dibentuk sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu bangun baru yang memiliki ruang, bangun ruang itu
dinamakan kubus.
Gambar 2.9 Diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal kubus
d. Dalam Gambar 2.4(a), pada kubus ABCD.EFGH terdapat garis AF
yang menghubungkan dua titik sudut yang saling berhadapan dalam
satu sisi/ bidang. Ruas garis tersebut dinamakan sebagai diagonal
bidang. Ada 12 diagonal bidang, yaitu AF, BE, BG, CF, AH, DE, DG,
CH, EG, HF, AC, BD.
e. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(b). Pada kubus
tersebut, terdapat ruas garis HB yang menghubungkan dua titik sudut
yang saling berhadapan dalam satu ruang. Garis HB membelah ruang
kubus menjadi dua bagian yang sama besar. Ruas garis tersebut disebut
diagonal ruang. Ada 4 diagonal ruang pada kubus yaitu HB, DF, EC,
GA.
f. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(c), terlihat dua buah
diagonal bidang pada kubus yaitu AC dan EG. Ternyata diagonal bidang
AC dan EG beserta dua rusuk kubus yang sejajar, yaitu AE dan CG
membentuk suatu bidang di dalam ruang kubus bidang ACGE pada
kubus ABCD.EFGH. Bidang ACGE disebut sebagai bidang diagonal.
Ada 6 bidang diagonal, yaitu ACGE, DBFH, BGHA, AFGD, CDEF,
dan BEHC.
(Sumber: matematohir.wordpress.com)
Gambar 2.11 Benda-benda yang menyerupai kubus,
Menurut Adinawan dan Sugiono (2007 : 96) dalam hakikat jaring-jaring
bangun ruang disebutkan bahwa satu bangun ruang diiris pada beberapa rusuknya
kemudian direbahkan sehingga terjadi bangun datar maka bangun itu disebut
jaring-jaring. Sementara Harta (2011) menekankan bahwa jaring-jaring adalah
69
Gambar 2.13 (a) Kubus, (b) Bukaan Kubus, (c) Jaring-jaring kubus
Kubus merupakan bangun ruang istimewa karena dibentuk oleh enam sisi
persegi yang kongruen sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam
buah persegi yang kongruen dan apabila dilipat kembali dapat membentuk kubus.
Tetapi rangkaian enam buah persegi yang kongruen belum tentu merupakan jaring
– jaring kubus, karena apabila dilipat kembali tidak dapat membentuk kubus
tertutup. Misalnya rangkaian enam persegi pada Gambar 2.8 (a) bukanlah jaring-
jaring kubus, karena rangkaian enam persegi yang susunannya seperti itu tidak
dapat dibentuk menjadi kubus. Akan tetapi rangkaian enam persegi pada Gambar
2.8 (b) merupakan jaring-jaring kubus.
mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa yang cukup kreatif. (4)
Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda
(baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian
yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat
beragam (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai
siswa yang kurang kreatif. (5) Siswa tidak mampu membuat alternatif
jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda
dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat
dinamakan sebagai siswa yang tidak kreatif.
6. Mursidik, E.M., dkk. (2015) meneliti kemampuan berpikir kreatif siswa SD
ditinjau dari indikator kemampuan berpikir kreatif dalam menyelesaikan soal
open-ended berdasarkan tingkat kemampuan matematika siswa. Hasil
penelitian menunjukkan kemampuan berpikir kreatif siswa yang memiliki
tingkat kemampuan matematikanya tinggi pada aspek berpikir lancar sangat
baik karena siswa kategori tinggi mampu memunculkan lebih dari satu ide
dalam menyelesaikan masalah matematika open-ended. Untuk aspek berpikir
luwes, siswa pada kategori tinggi berada pada kriteria baik artinya pada
umumnya mampu menentukan satu cara dalam menyelesaikan masalah
matematika open-ended. Aspek keaslian juga berada pada kriteria baik artinya
cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang umum
tetapi mengarah pada penyelesaian. Sedangkan kemampuan pada aspek
berpikir elaboratif sangat baik, artinya siswa dapat memperjelas penyelesaian
dengan rinci dan tepat. Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori
sedang pada aspek berpikir lancar, berpikir luwes, dan berpikir orisinil berada
pada kriteria baik. Sedangkan kemampuan pada aspek berpikir elaboratif
berada pada kriteria sangat baik, artinya siswa dapat memperinci penjelasan
dengan tepat.Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori rendah secara
keseluruhan berada pada kriteria kurang baik. Secara keseluruhan untuk siswa
kemampuan rendah masih perlu pembinaan.
7. Kurniawan, Indra, Kusmayadi, T.A., dan Sujadi, Imam. (2015) meneliti
proses berpikir kreatif siswa climber dalam pemecahan masalah matematika
pada materi peluang. Proses tersebut ialah : (1) pada tahap persiapan, siswa
semangat saat diberikan tes pemecahan masalah. Siswa menyampaikan hal
77
yang diketahui dan ditanyakan secara lengkap dan benar dengan berbagai
cara, yaitu: (a) menuliskan langkah-langkah dan mengubah ke dalam bentuk
pemisalan, (b) hanya menuliskan langkah-langkah pengerjaan, (c) hanya
mengubah hal yang diketahui ke dalam bentuk pemisalan; (2) pada tahap
inkubasi, saat memahami peluang suatu kejadian, ada siswa yang: (a)
mempraktekkan peluang tersebut, (b) fokus memahami permasalahan, (c)
kurang fokus memahami permasalahan. Selanjutnya siswa mendapatkan ide
dengan membuat diagram lengkap kemudian mengalikan kemungkinan yang
terjadi pada peluang pengambilan pertama dan kedua; (3) pada tahap
iluminasi, siswa menghitung nilai peluang yang ditanyakan berdasarkan
diagram lengkap dengan menjumlahkan kemungkinan peluang yang sesuai.
Siswa mendapatkan berbagai cara baru, yaitu: (a) diagram tidak lengkap dan
rumus peluang, (b) diagram tidak lengkap, (c) rumus peluang. Siswa
menjelaskan asal mula cara baru yang didapat. Siswa menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan cara baru; (4) pada tahap verifikasi, siswa
mengawali dengan menguji kembali semua hal yang telah dikerjakan pada
cara lama dan cara baru.
8. Habiba, F.E., Sunardi, dan Trapsilasiwi, D. (2015) mendeskripsikan
keterampilan metakognisi berdasarkan kemampuan berpikir kreatif dalam
menyelesaikan masalah matematika. Hasil penelitian menunjukkan siswa
kategori tidak kreatif tidak memenuhi indikator keterampilan metakognisi.
Pada monitoring, siswa tidak dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Pada evaluasi, siswa tidak mengevaluasi atau memperbaiki kembali
cara dan perhitungan. Siswa kategori kurang kreatif dapat memahami soal
dan menentukan rencana di awal. Pada monitoring, strategi diselesaikan
dengan langkah-langkah yang sudah benar. Pada evaluasi, siswa secara sadar
mengetahui kesalahannya tetapi tidak mengevaluasi kembali pekerjaannya.
Siswa kategori cukup kreatif memenuhi indikator keterampilan metakognisi.
Siswa mengidentifikasi informasi dan menentukan rencana awal dengan baik.
Pada monitoring, siswa dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Pada evaluasi, siswa mengevaluasi langkah atau perhitungan
pemecahan masalah.
78
Ide kreatif yang mungkin muncul ketika siswa melewati setiap rute
belajarnya dapat terekam dengan baik oleh siswa apabila guru membantu dengan
mengajukan pertanyaan yang dapat memicu kesadaran siswa tentang proses
berpikirnya. Pertanyaan-pertanyaan itu disebut pertanyaan metakognisi. Melalui
pertanyaan metakognisi siswa dilatih untuk memiliki keterampilan metakognisi,
yakni dapat merencanakan ide kreatifnya, memonitor (mengatur) ide tersebut agar
dapat digunakan sebagai pemecahan masalah, dan mengevaluasi ide kreatifnya
apakah memiliki kekurangan, dan berusaha menyempurnakannya.
Pendekatan pembelajaran yang sangat diperlukan agar dapat mendukung
meningkatnya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar
ialah menggunakan pendekatan metakognitif. Beberapa aspek metakognisi yaitu
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural memberikan pengaruh pada
kreativitas. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan
menyediakan informasi faktual dan pengetahuan prosedural mempengaruhi
kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir.
Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena
memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh
kembangnya kemampuan berpikir kreatif. Oleh karena itu pelaksanaan
pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan
metakognisi ini.
BAB III
METODE PENELITIAN
Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 dan VIII-3 SMP
Swasta Al-Washliyah 1 Medan. Subjek penelitian pada pilot experiment berjumlah
10 (sepuluh) orang siswa kelas VIII-1. Siswa yang berasal dari kelas VIII-1 dipilih
sebagai subjek penelitian pada pilot experiment berdasarkan tingkat kemampuan
berpikir kreatifnya. Tingkat kemampuan berfikir kreatif siswa diketahui melalui
soal terbuka yang diberikan peneliti pada saat melakukan observasi. Masing-
masing 2 orang subjek berasal dari siswa yang berkemampuan “sangat kreatif”,
“kreatif”, “cukup kreatif”, “kurang kreatif”, dan “tidak kreatif”. Selain
menggunakan hasil tes observasi, pemilihan siswa yang akan dijadikan subjek
penelitian dibantu oleh Guru Bidang Studi Matematika.
Selanjutnya pada teaching experiment subjek penelitian berjumlah 17 orang
siswa kelas VIII-3. Kelas VIII-3 dipilih sebagai subjek penelitian karena secara
umum siswa-siswa di kelas tersebut memiliki antusiasme yang tinggi terhadap
pembelajaran dan lebih aktif dalam belajar. Hal ini menjadi alasan agar
memudahkan peneliti mengungkap lintasan belajar berpikir kreatif siswa,
terutama dalam mengungkap tahapan proses berpikir kreatif. Selain itu kelas VIII-
3 merupakan kelas dengan siswa yang jumlahnya paling sedikit dibandingkan
kelas lain yang setara. Hal ini bertujuan agar aktivitas siswa pada saat
pembelajaran dapat diamati lebih spesifik karena jumlah siswanya yang sedikit.
Berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa yang akan
diberikan pada akhir pembelajaran, akan dipilih minimal 3 orang siswa yang
berpikir kreatif berdasarkan indikator berpikir kreatif yang telah dijelaskan diatas.
Siswa-siswa tersebut dipilih dari masing-masing indikator berpikir kreatif.
Selanjutnya mereka akan dijadikan sebagai informan kunci pada penelitian ini.
Informan lain pada penelitian ini adalah guru dan teman siswa itu sendiri.
Perubahan penetapan siswa sebagai informan kunci pada saat penelitian berjalan
sangat mungkin dilakukan. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat hambatan dalam
mengungkap lintasan proses berpikir kreatif siswa, misalnya siswa sulit berbicara
saat diwawancarai atau karena faktor lain. Namun penetapan informan kunci tetap
berdasarkan indikator berpikir kreatif.
Penelitian ini terdiri dari tiga tahap pelaksanaan yang dikemukakan oleh
Gravemeijer & Cobb (2006), yaitu tahap persiapan eksperimen, tahap pelaksanaan
eksperimen dan tahap analisis retrospektif. Pada tahap persiapan eksperimen,
disusun perangkat pembelajaran berdasarkan dugaan alur belajar perbandingan
yang telah dirumuskan, kemudian perangkat divalidasi dan diuji keterbacaannya
sebelum digunakan. Pada tahap pelaksanaan eksperimen, perangkat pembelajaran
diujicobakan dan dugaan alur belajar menjadi acuan dalam menentukan fokus
pengamatan. Pada tahap analisis retrospektif, data-data yang diperoleh saat
maupun setelah tahap pelaksanaan eksperimen dianalisis dengan dugaan alur
belajar sebagai acuan dalam menentukan fokus analisis.
Dalam uji coba desain pada penelitian design research terdiri atas proses
siklik dari eksperimen pikiran dan eksperimen pembelajaran. Siklus kecil dari
eksperimen pikiran (thought experiment) dan eksperimen pembelajaran
(instruction experiment) menyediakan pengembangan teori pembelajaran lokal.
Dalam kenyataannya, ada relasi reflektif antara eksperimen pikiran dan
85
pembelajaran atau yang tidak terekam. Berdasarkan potongan video yang telah
dipilih dan hasil pekerjaan siswa, selanjutnya data-data tersebut dikonfirmasikan
dengan data hasil wawancara sebagai bagian dari upaya untuk memperoleh
informasi tentang proses belajar siswa jika terdapat hasil pekerjaan siswa yang
berbeda dengan apa yang terekam pada video kegiatan pembelajaran.
Jika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai dengan desain HLT yang
sudah dirancang, maka peneliti meginvestigasi apa yang menjadi penyebabnya
dan apa yang harus dilakukan pada rancangan HLT berikutnya, untuk
memperbaiki alur belajar siswa. Setelah peneliti melakukan pendesainan kembali
(though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru (instruction
experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa. Proses ini berlangsung
secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai dengan ALT
(Actual Learning Trajectory). Selanjutnya kesimpulan ditarik berdasarkan hasil
analisis yang memaparkan deskripsi alur belajar siswa untuk memperoleh jawaban
atas pertanyaan penelitian
Produk yang dihasilkan oleh penelitian ini ialah suatu teori pembelajaran
lokal (local instruction theory). Desain yang dikembangkan adalah dugaan
lintasan belajar atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang memuat
sederetan aktivitas pembelajaran yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran dari
suatu topik yang dipilih, yaitu menemukan berbagai pola jaring-jaring kubus. HLT
tersebut direvisi secara berulang sampai dianggap cukup untuk menghasilkan
sebuah LIT (local instruction theory).
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini menghasilkan data berupa jawaban tertulis atau
lisan dari subjek dan perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan untuk
mendeskripsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan lintasan belajar yang
dilalui siswa pada materi jaring-jaring kubus, proses berpikir kreatif dan tingkat
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Melalui bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang
berdasarkan Hypothetical Learning Trajectory dan dengan kegiatan belajar
menggunakan pendekatan metakognitif dalam menemukan jaring-jaring kubus
diharapkan dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif matematis. Adapun hypothetical learning trajectory pada materi jaring-
jaring kubus ditunjukkan oleh Tabel 3.1 berikut.
87
88
Periode Periode 1 ————→ Periode 2 ——————→ Periode 3 ———————→ Periode 4 ——————→ Periode 5
Topik Kubus dan Jaring-jaring Kubus
Subtopik Persegi dan sifat- Kubus dan sifat-sifatnya Pengenalan Jaring- Membuat jaring-jaring Mengenali
sifatnya jaring Kubus kubus perbedaan
jaring-jaring
kubus dan yang
bukan jaring-
jaring kubus
Pertemuan ke- I II III IV V
Rencana (1) Review (1) Mengonstruksi enam (1) Menyebutkan 1. Menemukan jaring- Membedakan
Aktivitas mengingat buah persegi menjadi benda-benda yang jaring kubus dengan rangkaian
Pembelajaran bangun datar sebuah bangun ruang menyerupai kubus pola 1-4-1 bangun datar
persegi dalam kehidupan 2. Menemukan jaring- mana yang
sehari-hari jaring kubus dengan merupakan
(2) Memahami (2) Memahami pengertian (2) Memahami pola 2-3-1 jaring-jaring
pengertian bangun ruang yang pengertian jaring- 3. Menemukan jaring- kubus dan mana
persegi terbentuk dan jaring kubus jaring kubus dengan yang bukan
mengetahui nama pola 2-2-2 jaring-jaring
bangun tersebut 4. Menemukan jaring- kubus
(3) Menyebutkan (3) Menyebutkan unsur- (3) Memahami sifat- jaring kubus dengan
unsur-unsur unsur bangun tersebut sifat yang dimiliki pola 3-3
persegi jaring-jaring kubus 5. Menemukan jaring-
jaring kubus yang
(4) Menyebutkan (4) Menyebutkan sifat-sifat (4) Mengetahui cara baru (jika ada)
sifat-sifat bangun tersebut membuat jaring-
persegi jaring kubus
Keterangan : Periode 1,2,3,.. : Urutan waktu pembelajaran → : Urutan antar subtopik ↓ : Urutan antar submateri
89
desain adalah menguji dan meningkatkan dugaan teori pembelajaran lokal (a conjecture local
instruction theory) yang sudah dikembangkan pada tahap pertama, serta mengembangkan
pemahaman bagaimana desain tersebut bekerja selama eksperimen berlangsung. Pada tahap
ini dilakukan pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selama proses
pembelajaran berjalan, konjektur dapat dimodifikasi sebagai revisi dari local instructional
theory untuk aktivitas berikutnya.
Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran dalam teaching experiment, peneliti dan guru
melakukan diskusi tentang kegiatan pembelajaran. Peneliti bertindak sebagai pengajar dan
dibutuhkan dua pengamat lain untuk mengamati setiap aktivitas dan momen penting selama
proses uji coba tersebut. Pada tahap ini sederetan aktivitas pembelajaran dilakukan sesuai
dengan aktivitas yang ada pada HLT, lalu pengamat mengobservasi apa yang terjadi selama
proses pembelajaran berlangsung di kelas. Kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan selama
2 jam pelajaran pada 5 pertemuan Selama pelaksanaan tahap teaching experiment, peneliti
melakukan pengumpulan data dengan menggunakan foto dan video, hasil kerja siswa, lembar
observasi aktivitas siswa dan beberapa siswa dipilih untuk diwawancarai.
3. Retrospective Analysis
Pada tahap retrospective analysis, data yang diperoleh akan dianalisis untuk
mengetahui apakah desain HLT yang dirancang sesuai atau tidak dengan ALT (Actual
Learning Trajectory). Peneliti membandingkan HLT dengan aktivitas pembelajaran yang
telah terlaksana dan kemudian digunakan sebagai panduan referensi utama dalam menjawab
rumusan masalah penelitian. Selain itu HLT juga dibandingkan dengan data-data yang
dihasilkan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Data yang dianalisis meliputi rekaman video proses pembelajaran dan hasil interview
terhadap siswa dan guru, Lembar Aktivitas Siswa, hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada
materi jaring-jaring kubus, serta rekaman audio hasil wawancara yang memuat proses
penelitian. Setelah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh, maka selanjutnya dapat
ditarik kesimpulan mengenai pertanyaan penelitian.
Selain itu tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir kreatif
siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif pada
materi jaring-jaring kubus berbantuan media kubus guling berwarna. Berdasarkan hasil tes
siswa akan dikelompokkan pada tingkat kemampuan berpikir kreatifnya. Adapun penentuan
untuk mengelompokkan siswa ke dalam tingkat kemampuan berpikir kreatif yaitu
berdasarkan Tabel 3.2 berikut.
Tes disusun berdasarkan materi ajar “jaring-jaring kubus” di kelas VIII SMP dengan
jumlah soal sebanyak 2 butir. Dalam perancangan tes, dilakukan kegiatan berikut: (1)
membuat kisi-kisi tes; (2) merancang masalah untuk setiap indikator pencapaian kompetensi
dasar; (3) membuat kunci jawaban untuk setiap masalah yang diajukan, dan (4) membuat
rubrik penskoran (tes uraian). Berikut kisi-kisi instrumen tes berpikir kreatif matematis .
Tes tertulis yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung ialah dengan
menggunakan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang oleh peneliti untuk
membimbing siswa memahami konsep kubus dan jaring-jaring kubus. Soal yang diberikan
dalam LAS dikerjakan secara berkelompok oleh siswa dan berguna untuk melihat
perwujudan HLT. Melalui LAS, lintasan belajar sesungguhnya (ALT) dapat dibandingkan
dengan dugaan lintasan belajar yang dirancang dalam LAS. Dengan demikian apabila
lintasan belajar yang sesungguhnya telah diperoleh melalui tahap teaching experiment dapat
diwujudkan kembali dalam LAS yang baru hasil revisi LAS awal.
b. Observasi
Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran dengan menggunakan skema
observasi dan rekaman video. Kegiatan siswa yang diamati disesuaikan dengan kegiatan
siswa yang ada pada panduan wawancara. Observasi dilakukan terhadap tahap proses
berpikir kreatif siswa saat pembelajaran berlangsung, mulai dari tahap persiapan, inkubasi,
94
iluminasi, sampai tahap verifikasi. Observasi ini sekaligus digunakan untuk mengetahui
kepraktisan dan keefektifan dari desain pembelajaran yang telah dirancang.
Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh dua orang observer yang bertugas
mengamati aktivitas siswa. Observer hanya melakukan check list pada lembar observsi yang
disediakan. Adapun indikator penilaian yang diobservasi dipaparkan pada Tabel 3.4 berikut.
rekaman video, peneliti juga merekam hasil kegiatan siswa, berupa foto kegiatan, baik dalam
proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban, sebagai bukti yang terkait dalam
pelaksanaan penelitian.
b. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran
dapat dipercaya (Djaali & Muljono, 2008). Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya
apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama,
diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek
memang belum berubah. Reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.
Reliabilitas secara kualitatif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
Triangulasi data, di mana teknik ini akan digunakan untuk melihat keterkaitan yang
diperoleh dari sumber data berupa tes, lembar observasi dan rekaman video terhadap
rencana lintasan belajar.
Interpretasi silang, dimana teknik ini akan digunakan untuk meminta pertimbangan pakar
(misalnya, pembimbing) untuk memberikan saran mengenai data yang diperoleh seperti
video. Hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasi
hasil penelitian yang diperoleh di lapangan.
Reliabilitas pada penelitian design research terbagi atas dua jenis, yaitu :
Reliabilitas internal, dilakukan dengan cara memisahkan data berdasarkan jenisnya,
memberikan kode tertentu pada setiap data yang telah terkumpul, terutama untuk data
video dan foto, dan melakukan diskusi dengan observer tentang tugas dan perannya
selama teaching eksperimen berlangsung
99
pendesainan kembali (though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru
(instruction experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa pada siklus berikutnya.
Proses ini berlangsung secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai
dengan ALT (Actual Learning Trajectory) dan dianggap cukup untuk menghasilkan sebuah
local instruction theory (LIT). (Prahmana, 2017 : 23)
Selain itu, untuk melihat tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa, pada penelitian ini
dapat diketahui melalui tes kemampuan berpikir kreatif yang skornya dihitung dengan
menggunakan rumus berikut.
Jumlah skor yang diperoleh
Nilai = �100%
Jumlah skor maksimal
Nilai Kriteria
81,25% ≤ N <100% Sangat Kreatif
62,5% ≤ N < 81,25% Kreatif
43,75% ≤ N < 62,5% Cukup Kreatif
25% ≤ N < 43,75% Kurang Kreatif
< 43,75% Tidak Kreatif
Sumber : Sudijono (2008)
Djamarah (2006 : 107) mengatakan bahwa keberhasilan proses mengajar dapat
mencapai kriteria baik atau minimal apabila 60% sampai dengan 75% siswa menguasai bahan
ajar dan 75% atau lebih yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan
minimal, optimal, maupun maksimal. Dengan berlandaskan pendapat tersebut, maka
ketuntasan minimal pada masing-masing tingkat kemampuan berpikir kreatif dicapai oleh
siswa secara klasikal adalah sebesar 70%. Apabila belum tercapai 70%, maka penelitian akan
lanjut ke siklus berikutnya pada penelitian design research. Adapun rancangan penelitian
design research pada penelitian ini, ditunjukkan pada Gambar 3.2.
101