Anda di halaman 1dari 101

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah


Di era globalisasi seperti sekarang ini, perkembangan dalam teknologi dan
segala disiplin ilmu melaju dengan sangat pesat. Untuk mengimbangi laju
perkembangan tersebut tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang cerdas dan
berkualitas untuk membawa bangsa Indonesia agar tidak lagi tertinggal oleh
bangsa-bangsa lain dalam hal kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pendidikan mempunyai peran yang sangat penting sebagai pencetak generasi
bangsa yang terdidik dan berkompeten. Sesuai dengan Permendikbud Nomor 69
Tahun 2013 tentang tujuan Kurikulum 2013, yakni untuk mempersiapkan manusia
Indonesia agar memiliki kemampuan hidup sebagai pribadi dan warga negara
yang beriman, produktif, kreatif, inovatif, dan afektif serta mampu berkontribusi
pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, dan peradaban dunia.
Salah satu kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh siswa setelah
menempuh pendidikan adalah kemampuan berpikir kreatif. Pengembangan
kemampuan berpikir kreatif perlu dilakukan karena kemampuan ini merupakan
salah satu kemampuan yang dikehendaki dunia kerja. Sebagaimana yang
dikemukakan Career Center Maine Department of Labor (2004 : 3), kemampuan
berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk menciptakan ide atau produk.
Kompetensi ini menempati urutan kelima teratas karena penting dimiliki individu.
Kemampuan berpikir kreatif juga menjadi penentu keunggulan suatu
bangsa. Daya kompetitif suatu bangsa sangat ditentukan oleh kreativitas sumber
daya manusianya. Kemampuan untuk berkompetisi ini membutuhkan
pemikiran kritis, sistematis, logis, kreatif dan kemauan
bekerjasama yang efektif. Cara berpikir seperti ini dapat
dikembangkan melalui belajar matematika karena matematika
memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar
konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir
kreatif (Depdiknas, 2003 : 5).
2

Menurut McGregor (2007 : 168), berpikir kreatif adalah berpikir yang


mengarah pada pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru,
atau cara baru dalam memahami sesuatu. Berpikir kreatif melibatkan kemampuan
untuk menemukan sesuatu yang baru atau asli. Hal tersebut melibatkan
keterampilan yang memiliki fleksibilitas, orisinalitas, kefasihan, elaborasi, curah
gagasan (brainstorming), modifikasi, berkhayal, pemikiran asosiatif, daftar
atribut, dan berpikir metaforis. Menurut King (1997 : 13), tujuan dari berpikir
kreatif adalah untuk merangsang keingintahuan dan merangsang berpikir
divergen. Alasan tersebut mendorong anggapan untuk mengelompokan berpikir
kreatif dalam kategori keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking
skills). Selanjutnya menurut Alvino (1990 : 50), kreatif adalah melakukan suatu
kegiatan yang ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency (menurunkan
banyak ide), flexibility (mengubah perspektif dengan mudah), originality
(menyusun sesuatu yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide lain dari
suatu ide). Rincian ciri-ciri dari fluency, flexibility, originality, dan elaboration
dikemukan oleh Munandar (1999 : 88):
a. Ciri-ciri fluency diantaranya adalah: (1) Mencetuskan banyak ide, banyak
jawaban, banyak penyelesaian masalah, banyak pertanyaan dengan lancar;
(2) Memberikan banyak cara untuk melakukan sesuatu (3) Selalu
memikirkan lebih dari satu jawaban
b. Ciri-ciri flexibility diantaranya adalah : (1) Menghasilkan gagasan,
jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi, dapat melihat suatu masalah
dari sudut pandang yang berbeda-beda; (2) Mencari banyak alternatif atau
arah yang berbeda-beda; (4) Mampu mengubah cara pendekatan atau cara
pemikiran.
c. Ciri-ciri originality diantaranya adalah : (1) Mampu melahirkan ungkapan
yang baru dan unik; (2) Memikirkan cara yang tidak lazim untuk
mengungkapkan diri; (3) Mampu membuat kombinasi yang tidak lazim
dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
d. Ciri-ciri elaboration diantarnya adalah : (1) Mampu memperkaya dan
mengembangkan suatu gagasan atau produk; (2) Menambah atau
3

memperinci detail-detail dari suatu obyek, gagasan, atau situasi sehingga


menjadi lebih menarik.
Dalam kegiatan berpikir kreatif, seseorang akan melewati rangkaian proses
yang terdiri dari tahapan-tahapan. Hal ini diungkapkan oleh Wallas (1926) yang
menyatakan bahwa proses berpikir kreatif meliputi 4 tahap, yaitu : persiapan,
inkubasi, iluminasi, dan verifikasi. Berikut penjelasan tahapan berpikir kreatif.
1. Pada tahap persiapan, seseorang mempersiapkan diri untuk memecahkan
masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya kepada orang
lain untuk mengumpulkan informasi dan data yang relevan serta mencari
pendekatan untuk menyelesaikannya. Setelah seseorang mengelola
informasi yang telah diperoleh pada tahap persiapan, maka ia akan mulai
memikirkan ide apa yang akan ia buat atau strategi apa yang akan ia pilih
untuk menyelesaikan masalah. Proses berpikir kreatif berlanjut ke tahap
kedua, yaitu tahap inkubasi.
2. Tahap inkubasi adalah tahap dimana individu seakan-akan melepaskan diri
untuk sementara dari masalah tersebut, dalam arti seseorang tidak
memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi “menggeramnya” dalam alam
pra sadar. Selama masa ini, otak terus bekerja untuk mencari solusi dari
permasalahan yang sedang dipikirkan.
3. Selanjutnya ialah tahap iluminasi, merupakan tahap timbulnya “insight”,
saat timbulnya inspirasi atau gagasan baru serta proses psikologi yang
mengawali munculnya inspirasi baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul
dapat berupa gagasan kunci yang memberi arah kepada pemecahan
permasalahan, tetapi bukan pemecahan yang sempurna dari persoalan yang
dihadapi.
4. Terakhir tahap verifikasi atau evaluasi, yaitu tahap dimana ide atau kreasi
baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang
muncul dikembangkan dan diuji secara kritis. Kajian kritis rasional
merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada
pemikiran konvergen. Hingga yang muncul adalah ide kreatif yang telah
teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa seseorang
yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang
4

terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya
untuk menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang
dilalui seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu
berpikir tentang apa yang telah dipikirkan.
Beberapa hasil penelitian (Ratnaningsih, 2007; Wardani, 2009;
Risnanosanti, 2010; Ismaimuza, 2010; Noer, 2010) menunjukkan bahwa
pembelajaran matematika saat ini pada umumnya masih berfokus pada
pengembangan kemampuan berpikir tahap rendah, yang ditandai dengan
diberikannya tugas-tugas yang masih bersifat prosedural (Risnanosanti, 2012 :
MP-744). Kebanyakan siswa hanya mengikuti pola aturan untuk menyelesaikan
masalah matematika berdasarkan contoh yang diberikan guru. Namun apabila soal
yang diberikan tidak mirip seperti yang telah dijelaskan guru, siswa akan bingung
dan kesulitan mengerjakannya. Hal ini menunjukkan bahwa dalam menyelesaikan
permasalahan matematika, siswa cenderung berfikir secara konvergen atau dengan
kata lain meniru cara yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi untuk
menyelesaikan persoalan. Inilah salah satu hal yang menyebabkan hilangnya
esensi kreativitas dalam mempelajari matematika. Apabila hal ini terus dibiarkan
dalam jangka waktu yang panjang dapat mematikan kreativitas dan rasa percaya
diri siswa, serta dapat berakibat menurunnya kualitas sumber daya manusia.
Sejalan dengan pendapat Munandar (1992 : 88-93) berdasarkan hasil
survey yang dilakukan Indonesian Education Sector Survey Report, menjelaskan
bahwa pendidikan di Indonesia menekankan pada keterampilan rutin dan hafalan
semata. Lebih lanjut lagi Munandar beranggapan bahwa jika hal tersebut
dibiarkan terjadi pada proses pembelajaran, dikhawatirkan akan berdampak
negatif terhadap pengembangan kreativitas siswa. Selain itu Siswono (2004 : 1)
menyatakan bahwa kreativitas merupakan suatu hal yang jarang sekali
diperhatikan dalam pembelajaran matematika. Guru menempatkan logika sebagai
titik incar pembicaraan dan menganggap kreativitas merupakan hal yang tidak
penting dalam pembelajaran matematika. Padahal kreativitas itu sangat
dibutuhkan dalam perkembangan pembelajaran matematika yang lebih tinggi.
Pentingnya kreativitas dalam matematika dikemukakan oleh Bishop
(1981 : 63) yang menyatakan bahwa seseorang memerlukan dua keterampilan
5

berpikir yang sangat berbeda dan saling melengkapi dalam matematika, yaitu
berpikir kreatif yang sering diidentikkan dengan intuisi dan kemampuan berpikir
analitik yang diidentikkan dengan kemampuan berpikir logis. Menurut The
Encyclopedia of Philosopy, intuisi didefinisikan sebagai pemahaman segera.
Makna kata “segera” adalah tidak membutuhkan inferensi, tidak membutuhkan
atau memikirkan penyebab, tidak membutuhkan kemampuan mendefinisikan
istilah yang digunakan, tidak membutuhkan pembenaran atau justifikasi, tidak
membutuhkan penyimbolan, dan tidak memerlukan pemikiran kembali.
Dalam proses berpikir intuitif, individu tidak melakukan pemeriksaan
kembali terhadap ide yang sebelumnya telah ia peroleh untuk menyelesaikan
masalah. Kemunculan ide yang datang secara seketika dan bersifat otomatis
(immediate) atau muncul tiba-tiba (suddenly) merupakan karakter berpikir yang
melibatkan intuisi (Sa’o, 2016 : 46). Berbeda dengan berpikir kreatif, individu
perlu melewati tahap verifikasi untuk memeriksa kembali ide yang telah diperoleh
pada tahap iluminasi. Hal ini tentu bertujuan untuk menguji apakah ide tersebut
dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, berpikir intuitif
pada hakikatnya termasuk ke dalam berpikir kreatif. Berpikir intuitif dilakukan
individu ketika melalui tahap iluminasi dalam berpikir kreatif. Setelah tahap
iluminasi dilewati, tahap selanjutnya dalam proses berpikir kreatif memerlukan
alur berpikir logis atau analitik.
Selain itu pentingnya berpikir kreatif juga diungkapkan oleh Peter (2012 :
39) yang mengatakan bahwa “Student who are able to think creatively are able to
solve problem effectively”, yang artinya siswa yang dapat berpikir secara kreatif
akan mampu menyelesaikan masalah secara efektif. Sementara Kiesswetter
(1983 : 63) menyatakan bahwa kemampuan berpikir fleksibel yang merupakan
salah satu aspek kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan penting
yang harus dimiliki siswa dalam menyelesaikan masalah matematika. Pendapat ini
menegaskan eksistensi kemampuan berpikir kreatif matematis.
Rendahnya pengembangan kemampuan berpikir kreatif disebabkan
pembelajaran di sekolah pada umumnya hanya melatih proses berpikir konvergen,
terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis. Proses belajar yang dilakukan
hanya membentuk siswa yang bisa melakukan prosedur matematik tertentu tanpa
6

mengetahui alasan yang mendasarinya. Sehingga bila dihadapkan pada masalah


yang tidak biasa, siswa akan mengalami kesulitan dalam memecahkannya dengan
cara berfikir divergen. Karena menurut Guillford (1971) bahwa adanya
keterpaduan dua kemampuan berpikir yaitu kemampuan berpikir konvergen dan
divergen dapat mewujudkan kreativitas.
The Trends in International Mathematics and Science Study (2011) pada
surveinya mengatakan bahwa siswa SMP kelas delapan Indonesia mempunyai
pengetahuan dasar matematika, tetapi tidak cukup untuk menyelesaikan soal yang
non rutin. Pengembangan kemampuan berpikir kreatif salah satunya dapat
dilakukan dengan cara melatih siswa menyelesaikan soal yang non rutin atau
terbuka (open ended). Menurut Livne (2008 : 1) soal terbuka (open-ended
problem) adalah soal yang memiliki beragam jawaban. Dalam hal ini, aspek-aspek
yang diukur adalah kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian.
Salah satu bentuk soal terbuka yang dapat diujikan untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa adalah seperti berikut:
Tambahkanlah beberapa persegi lagi pada rangkaian dua buah persegi di bawah
ini agar menjadi jaring-jaring kubus!

Sebelum siswa menjawab soal yang diberikan, peneliti memberi arahan


dan mendemonstrasikan cara mendapatkan jaring-jaring kubus menggunakan 6
buah karton persegi. Selanjutnya siswa dipersilahkan untuk menemukan sendiri
jaring-jaring kubus yang berbeda dari contoh yang diberikan peneliti dengan cara
mencoba-coba. Dalam lembar kerja, peneliti menyediakan 9 rangkaian persegi
seperti gambar diatas, dengan harapan semua akan diisi oleh siswa. Karena jumlah
jaring-jaring kubus yang dapat dibuat sebanyak 11 buah, diharapkan akan ada
siswa yang menemukan seluruh jaring-jaring kubus meskipun tanpa bantuan
rangkaian dua buah persegi. Hal ini sesuai dengan Teori Vygotsky yang
menyatakan bahwa scaffolding yang diberikan sangat mempengaruhi peran siswa
dalam mengelola informasi untuk menghasilkan ide-ide kreatifnya (Schunk,
2012). Scaffolding yang diberikan kepada siswa harus dikurangi agar siswa
berkesempatan menemukan sendiri pengetahuannya.
7

Jika siswa mampu menemukan 9 buah jaring-jaring kubus, maka


dikatakan siswa tersebut telah memenuhi salah satu ciri berpikir kreatif, yaitu
fluency (kelancaran). Namun apabila siswa mampu menemukan 11 jaring-jaring
kubus, siswa dikatakan telah memenuhi indikator mengembangkan jawaban.
Siswa yang dapat menemukan jaring-jaring kubus yang berbeda dari contoh yang
diberikan peneliti, dikatakan bahwa siswa telah memenuhi indikator originality
(kebaruan). Namun apabila dalam menjawab soal ini siswa menemukan bentuk
jaring-jaring kubus yang baru dan unik tetapi salah, maka dikatakan siswa tersebut
memiliki masalah dalam tahap verifikasi jawaban pada proses berpikir kreatifnya.
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan di kelas VIII-1 SMP Al –
Washliyah 1 Medan, disimpulkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa masih
rendah. Banyak siswa yang hanya mampu mengisi 5 dari 9 rangkaian persegi
yang diberikan, artinya siswa tidak memenuhi indikator fluency. Adapun siswa
yang mengisi 6 jawaban atau lebih, namun jaring-jaring kubus yang digambar
banyak yang sama. Selain itu terdapat siswa yang masih salah menggambar
jaring-jaring kubus. Hal ini dapat terjadi karena siswa tidak melakukan verifikasi
terhadap jawaban yang telah dibuat, sehingga mengakibatkan ide kreatif yang
telah muncul pada tahap iluminasi menjadi sia-sia. Berikut pola dan ragam
jawaban siswa dipaparkan dalam Tabel 1.1.

Tabel 1.1 . Pola dan Ragam Jawaban Siswa

No. Pola dan Ragam Jawaban Siswa

1. Kesalahan yang ditemukan : Siswa menggambar


7 persegi pada jaring-jaring tersebut. Padahal
kubus hanya terdiri dari 6 sisi yang berbentuk
persegi. Hal ini mengakibatkan kubus yang
terbentuk memiliki satu sisi yang ganda.

2.
8

(a) (b) (c)


Kesalahan yang ditemukan : (a) Siswa salah menempatkan sebuah persegi
yang dilingkari pada gambar. Sehingga mengakibatkan jaring-jaring
tersebut tidak membentuk kubus. Dari jawaban (b) dan (c) terlihat bahwa
siswa tidak teliti memeriksa apakah jaring-jaring yang digambar sudah
benar atau belum. Sebab apabila dilipat sesuai rusuk-rusuknya, kubus yang
terbentuk akan memiliki satu sisi yang ganda, sedangkan sisi yang lain ada
yang kosong.

Pada pola jawaban siswa yang pertama dalam Tabel 1.1 diatas, tampak
bahwa pemahaman siswa tersebut mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus
masih kurang. Sebab pada jawaban tersebut siswa menggambar rangkaian tujuh
buah persegi, padahal kubus hanya memiliki enam buah sisi yang berbentuk
persegi. Sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam buah persegi.
Sedangkan pada pola jawaban siswa yang kedua, tampak bahwa siswa tersebut
sudah memahami konsep kubus, namun rangkaian enam buah persegi yang
digambar bukanlah jaring-jaring kubus. Sebab ada dua buah sisi yang akan
berhimpit apabila rangkaian itu dilipat kembali sesuai rusuk-rusuknya.
Berdasarkan lembar jawaban siswa, seluruh siswa mampu menemukan
jaring-jaring kubus dengan bentuk yang berbeda atau lain daripada contoh yang
diberikan peneliti. Artinya siswa telah mencapai indikator originality karena
mampu memberikan jawaban yang baru. Secara umum jika dilihat dari jawaban
siswa untuk dua indikator berpikir kreatif lainnya, yaitu elaboration dan flexibility
belum tercapai. Dari keseluruhan hasil tes tersebut, jumlah maksimal jaring-jaring
kubus berbeda yang dapat ditemukan oleh siswa per individu sebanyak 5 buah.
Namun apabila dilihat dari seluruh jawaban siswa, keseluruhan jaring-jaring
kubus dapat ditemukan semuanya, yakni 11 buah. Tetapi kesebelas jaring-jaring
kubus tersebut ditemukan oleh siswa yang berbeda.
Hasil tes diatas didukung oleh hasil wawancara dengan siswa yang
menjawab salah pada Tabel 1.1 diatas. Hasil wawancara menunjukkan bahwa
siswa menemukan jaring-jaring kubus dengan cara membuat rangkaian enam buah
persegi menggunakan karton yang diberikan secara acak diatas meja. Kemudian,
9

untuk memeriksa apakah rangkaian yang disusun secara acak tersebut benar-benar
jaring-jaring kubus atau bukan adalah dengan mencoba melipat kembali rangkaian
persegi itu dalam pikiran (imajinasi) mereka saja. Setelah peneliti melakukan
pemeriksaan, ternyata jawaban siswa tersebut salah. Jadi dapat disimpulkan
bahwa siswa memiliki masalah saat tahap verifikasi. Kesalahan tersebut diduga
dapat terjadi karena siswa tidak melibatkan kesadarannya untuk untuk memeriksa
kembali jawaban yang sudah ia temukan.
Kesalahan siswa pada tahap verifikasi dapat dihindari dengan penggunaan
alat bantu atau media yang berbeda dalam menemukan jaring-jaring kubus.
Penggunaan media di dalam kelas akan membantu siswa memahami cara
menemukan jaring-jaring kubus. Pemahaman yang disertai dengan kegiatan
melihat, menyentuh, merasakan, atau mengalami melalui media akan lebih baik
hasilnya. Hal ini sesuai dengan pendapat Hamalik (1994) yang mengemukakan
bahwa pemakaian media dalam pembelajaran dapat membangkitkan keinginan
dan minat yang baru, membangkitkan motivasi dan rangsangan kegiatan belajar
dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa.
Salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa menemukan
berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus adalah media kubus guling
berwarna (disingkat meku-guwa) (Rohim, 2015) dan (Kohar, 2011). Meku-guwa
terbuat dari styrofoam yang dibentuk menjadi kubus dan dilapisi kertas berwarna
yang berbeda setiap sisinya. Dengan menggunakan satu buah meku-guwa, dapat
ditemukan sebelas pola berbeda jaring-jaring kubus. Aturan penggunaan meku-
guwa adalah dengan cara menggulingkannya ke segala arah diatas kertas berpetak.
Kemudian satu persatu kotak pada kertas berpetak tersebut diwarnai sesuai
dengan warna sisi meku-guwa yang berhimpit dengan kertas.
Penggunaan meku-guwa dapat melatih kemampuan berpikir kreatif siswa.
Sebab dalam menggulingkan meku-guwa ke segala arah, diperlukan kreativitas
siswa agar jaring-jaring kubus yang diperoleh nantinya akan bervariasi. Selain
dengan penggunaan meku-guwa, agar kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa dapat meningkat dan memenuhi indikator berpikir kreatif, diperlukan suatu
fasilitas pembelajaran agar siswa dapat memahami konsep bangun ruang kubus
dan jaring-jaringnya secara bertahap dan bermakna. Oleh karena setiap siswa
10

didalam kelas memiliki daya nalar dan tingkat berpikir yang berbeda-beda. Agar
guru dapat mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa di dalam kelas
maka guru harus menyajikan materi pelajaran sesuai dengan tingkat
perkembangan siswa.
Tingkat perkembangan tersebut merupakan dasar dalam membuat
learning trajectory atau lintasan belajar. Lintasan belajar sangat berguna bagi
guru, khususnya dalam hal menjawab berbagai pertanyaan seperti: apa tujuan
pembelajaran yang akan dicapai? bagaimana memulainya? bagaimana langkah-
langkah yang akan dilakukan? bagaimana cara mencapai tujuan tersebut? dan
sebagainya. Hypothetical learning trajectory terdiri dari tujuan pembelajaran
untuk siswa, rencana aktivitas pembelajaran, dan dugaan dari proses pembelajaran
di kelas. Menurut Simonson (2006), pada waktu menyusun dugaan proses
pembelajaran di kelas, guru perlu memprediksi perkembangan pengetahuan
matematika dan pemahaman siswa yang mungkin muncul pada waktu kegiatan
pembelajaran sesungguhnya.
Lintasan belajar dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan
berpikir kreatif matematis jika dirancang sesuai dengan karakteristik yang telah
ditentukan. Pada saat merancang aktivitas pembelajaran guru perlu membuat
dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh sehingga memungkinan siswa
memunculkan ide atau gagasan kreatifnya. Sebab kemampuan awal siswa di
dalam kelas berbeda-beda, sehingga dengan bantuan dugaan lintasan belajar yang
dibuat oleh guru diharapkan dapat diikuti oleh seluruh siswa di dalam kelas. Baik
oleh siswa yang kemampuannya rendah, sedang, ataupun tinggi. Dengan demikian
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat dilatih sesuai tujuan
pembelajaran yang dibuat oleh guru.
Suatu pendekatan pembelajaran sangat diperlukan agar dapat mendukung
terciptanya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar
yang dirancang oleh guru sesuai tingkat berpikir siswa di dalam kelas. Salah satu
pendekatan pembelajaran yang dapat diterapkan ialah dengan menggunakan
pendekatan metakognitif. Metakognisi merupakan suatu istilah yang
diperkenalkan oleh Flavell pada Tahun 1976 dan menimbulkan banyak perdebatan
pada pendefinisiannya. Menurut Livingston (1997) kegiatan metakognitif pada
11

dasarnya merupakan kegiatan ”berpikir tentang berpikir”, yaitu merupakan


kegiatan mengontrol secara sadar tentang proses kognitifnya sendiri.
Indikator-indikator metakognisi menurut Hacker tergambar dari pengertian
metakognisi yang dikemukakannya dalam artikel yang berjudul “Metacognition:
Definitions and Empirical Foundations” bahwa metakognisi adalah proses
berpikir seseorang tentang berpikirnya sendiri. Wujud dari berpikir dalam
pengertian ini adalah: kesadaran tentang apa yang seseorang ketahui (pengetahuan
metakognisi), apa yang dilakukan seseorang (keterampilan metakognisi), dan
bagaimana keadaan kognitif dan afektif seseorang (pengalaman metakognisi).
Dapat dikatakan bahwa metakognisi merupakan kesadaran tentang apa yang
diketahui dan apa yang tidak diketahui.
Schoenfield (1987) mengemukakan secara lebih spesifik tiga cara untuk
menjelaskan tentang metakognisi dalam pembelajaran matematika, yaitu: (a)
keyakinan dan intuisi, (b) pengetahuan, dan (c) kesadaran diri (regulasi diri).
Keyakinan dan intuisi menyangkut ide-ide matematika apa saja yang disiapkan
untuk memecahkan masalah matematika dan bagaimana ide-ide tersebut
membentuk jalan/cara untuk memecahkan masalah matematika. Pengetahuan
tentang proses berpikir menyangkut seberapa akuratnya seseorang dalam
menggambar proses berpikirnya. Sedangkan kesadaran diri atau regulasi diri
menyangkut seberapa baiknya seseorang dalam menjaga dan mengatur apa yang
harus dilakukan ketika memecahkan masalah dan seberapa baiknya seseorang
menggunakan input dari pengamatan untuk mengarahkan aktivitas-aktivitas
pemecahan masalah.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena
memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh
kembangnya kemampuan berpikir kreatif. Oleh karena itu pelaksanaan
pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan
metakognitif ini, tidak hanya berpikir sepintas dengan makna yang dangkal
(Muhfida, 2008). Kegiatan metakognitif sangat penting karena dapat melatih
siswa untuk berpikir tingkat tinggi serta mampu merencanakan, mengontrol dan
merefleksi segala aktivitas berpikir yang telah dilakukan. Adapun aspek
aktivitas metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell (1976) adalah: (1)
12

kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan
bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan
menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi,
membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan
Peneliti memandang bahwa pendekatan metakognitif memiliki banyak
kelebihan jika digunakan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk
mengembangkan kemampuan berpikir kreatif pada siswa SMP. Pandangan ini
tentu saja berdasar, yakni dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya,
siswa akan lebih terlatih untuk selalu memikirkan ide-ide kreatif dalam memilih,
mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang diperoleh agar
dapat menyelesaikan masalah. Melalui pengembangan kesadaran metakognisi,
siswa diharapkan akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukannya. Hal ini tentu saja tidak akan membuat
siswa melakukan kesalahan saat melakukan verifikasi, karena siswa dapat dengan
sadar mengevaluasinya dengan baik.
Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul:
“Lintasan Belajar Berpikir Kreatif Pada Materi Jaring-jaring Kubus dengan
Penerapan Pendekatan Metakognitif Siswa Kelas VIII SMP Swasta Al –
Washliyah 1 Medan T.A. 2018/2019”

1.2. Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, dapat
diidentifikasi beberapa permasalahan sebagai berikut :
1. Siswa kurang mampu menyelesaikan soal yang non rutin atau terbuka
2. Siswa dalam menyelesaikan masalah matematika sering menggunakan
cara yang sudah ada dan tidak melakukan inovasi untuk menyelesaikan
masalah tersebut
3. Kreativitas merupakan hal yang jarang diperhatikan dalam pembelajaran
matematika
4. Kemampuan berpikir kreatif siswa masih rendah karena kurangnya
kemampuan siswa melakukan verifikasi atas jawaban yang sudah dibuat;
belum ada siswa yang menemukan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda;
indikator berpikir kreatif secara umum belum dipenuhi oleh seluruh siswa;
kurangnya pemahaman konsep kubus dan jaring-jaring kubus
13

5. Rendahnya pengembangan kemampuan berpikir kreatif pada pembelajaran


matematika di sekolah disebabkan pada umumnya hanya melatih proses
berpikir konvergen, terbatas pada penalaran verbal dan pemikiran logis
6. Perlunya membuat lintasan belajar (learning trayectory) dan penggunaan
media kubus guling berwarna dalam menemukan 11 pola jaring-jaring
kubus agar kemampuan berpikir kreatif siswa dapat meningkat dengan
pendekatan metakognitif.

1.3. Batasan masalah


Dari identifikasi masalah di atas, maka peneliti membatasi masalah dalam
penelitian ini pada kemampuan berfikir kreatif matematis, lintasan belajar kreatif
dalam pemecahan masalah matematik, dan penerapan pendekatan metakognitif
pada materi jaring-jaring kubus.

1.4. Rumusan masalah


Berdasarkan identifikasi dan batasan masalah di atas, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :
1. Bagaimana tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis siswa kelas VIII
SMP Al – Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan
menggunakan pendekatan metakognitif?
2. Bagaimana tahapan proses berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP Al –
Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan menggunakan
pendekatan metakognitif?
3. Bagaimana lintasan belajar berpikir kreatif yang dilalui oleh siswa kelas
VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan pada materi jaring-jaring kubus dengan
menggunakan pendekatan metakognitif?

1.5. Tujuan penelitian


Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menemukan lintasan belajar
berpikir kreatif matematis siswa kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan melalui
penerapan pendekatan metakognisi. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah :
1. Mendeskripsikan tingkat kemampuan berpikir kreatif matematika siswa
kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan dengan menggunakan
pendekatan metakognitif
2. Mengetahui tahapan proses berpikir kreatif siswa kelas VIII SMP Al –
Washliyah 1 Medan dengan menggunakan pendekatan metakognitif
14

3. Menemukan lintasan belajar kreatif matematis yang dilalui oleh siswa


kelas VIII SMP Al – Washliyah 1 Medan dengan menggunakan
pendekatan metakognitif

1.6. Manfaat penelitian


Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan manfaat
sebagai berikut :
1. Bagi guru, dapat menjadikan penelitian ini sebagai pedoman dalam
membentuk kemampuan berpikir kreatif siswa melalui pendekatan
metakognitif
2. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam pengembangan dan
penyempurnaan program pembelajaran matematika di sekolah berbasis
kreativitas.
3. Bagi penulis, sebagai bahan informasi dan pegangan dalam menjalankan
tugas mengajar sebagai calon pendidik di masa yang akan datang.
4. Sebagai bahan informasi bagi pembaca atau peneliti lain yang ingin
melakukan penelitian sejenis.

1.7. Definisi Operasional Variabel


Untuk dapat melaksanakan dan menelusuri variabel-variabel penelitian di
lapangan, maka didefinisikan secara operasional sebagai berikut.
1. Kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan siswa
dalam menghasilkan ide atau gagasan yang memiliki nilai fluency,
flexibility, orisinil, dan elaboration pada pembelajaran matematika berupa
pemahaman mengenai konsep kubus dan jaring-jaring kubus serta mampu
menemukan 11 jaring-jaring kubus yang berbeda. Selanjutnya penjelasan
mengenai indikator berpikir kreatif matematis yaitu: (1) fluency yaitu
mampu menghasilkan lebih dari satu jawaban; (2) flexibility yaitu
mencetuskan jawaban yang bervariasi dan tidak ketat aturan; (3)
originality yaitu menemukan jawaban yang unik dan bersifat baru (4)
elaboration yaitu mengembangkan atau merinci secara detail suatu
gagasan menjadi lebih menarik
2. Tahapan proses berpikir kreatif matematis merupakan rute proses berpikir
kreatif matematis siswa mulai dari tahap persiapan, inkubasi, iluminasi,
dan verifikasi.
15

3. Metakognisi merupakan kesadaran siswa terhadap proses berpikirnya,


yakni meliputi kemampuan merefleksi kembali proses berpikirnya untuk
menemukan apa yang telah ia peroleh dari hasil berpikir itu dan mengatur
proses berpikir tersebut agar dapat menemukan pengetahuan yang belum
ia peroleh dari hasil berpikir itu.
4. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif merupakan
pembelajaran yang berpusat pada siswa yang melibatkan kemampuan
berpikir. Kemampuan berpikir yang dimaksud adalah kemampuan yang
dapat mengontrol kesadaran dalam berpikir, merencanakan dan memilih
strategi penyelesaian masalah matematika, memonitor strategi yang
dipilih, menganalisis efektivitas strategi yang digunakan, dan merubah
strategi sesuai kebutuhan.
5. Lintasan belajar (learning trajectory) adalah sederetan aktivitas terurut
yang dilalui siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran.
6. Lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif
merupakan dugaan terhadap rute (alur) belajar yang dilalui siswa untuk
mencapai tujuan pembelajaran dengan cara melewati setiap tahapan proses
berpikir kreatif melalui kegiatan orientasi masalah, merencanakan solusi
penyelesaian, memonitoring (mengontrol) solusi yang diperoleh, dan
merefleksi (mengevaluasi) solusi yang lebih memungkinkan.

BAB II
KAJIAN TEORI

2.1. Kerangka Teoritis


2.1.1. Pengertian Berpikir
Hal yang membedakan antara manusia dan makhluk hidup lainnya adalah
kemampuan berpikir. Dengan kemampuan tersebut manusia dapat membuat
peradabannya jauh lebih pesat berkembang. Keterampilan berpikir bukan hanya
penting dalam dunia kerja, pendidikan, pelatihan, atau riset. Namun juga sangat
penting dimiliki oleh setiap orang dalam menjalani kehidupan. Seseorang perlu
16

berpikir untuk mengetahui apa yang ia butuhkan dalam hidupnya, namun ia juga
harus berpikir bagaimana cara agar dapat memenuhi kebutuhan itu.
Dalam kamus Oxford Advanced Learner’s Dictionary (2010), istilah
‘thinking’, diartikan “ideas or opinions about something”. Pemikiran itu adalah
ide atau opini tentang sesuatu. Contohnya ketika kita tengah berbicara masalah
sepakbola, seperti Piala Eropa, orang yang bisa mengemukakan ide atau opini
dikategorikan sebagai orang yang sudah berpikir. Lain halnya menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, berpikir diartikan dengan menggunakan akal budi untuk
mempertimbangkan dan memutuskan sesuatu.
Lince (2016 : 207) mengklasifikasikan berpikir kedalam tiga komponen
utama, yaitu :
(1) think is a cognitive activity that occurs within the mental or a person's
mind, not visible, but can be inferred based on observed behavior, (2)
thinking is a process that involves multiple manipulations knowledge in
cognitive systems. Knowledge stored in the memory together with the
information now, so changing one's knowledge of the situation at hand,
and (3) the activity of thinking is directed to produce solutions to
problems.
Komponen pertama yaitu berpikir adalah aktivitas kognitif yang timbul
secara internal dalam pikiran tetapi dapat diperkirakan dari perilaku. Maksudnya
aktivitas berpikir terjadi di dalam pikiran individu dan hasil berpikir itu dapat
terlihat melalui tindakan yang dilakukan setelah aktivitas berpikir dilakukan.
Kedua, berpikir juga merupakan sebuah proses yang melibatkan manipulasi
berbagai pengetahuan dalam sistem kognitif. Pengetahuan tersimpan di dalam
ingatan bersamaan dengan informasi yang sekarang. Dalam kegiatan berpikir,
individu dapat mengolah atau mengombinasikan pengetahuan yang telah
tersimpan dalam ingatan dengan pengetahuan baru. Dan yang terakhir, aktivitas
berpikir dapat mengarah kepada menghasilkan solusi untuk menyelesaikan
masalah. Menurut John Dewey (Sudarma, 2013:38):
(1) berpikir adalah “stream of consciousness”. Arus kesadaran ini muncul
dan hadir setiap hari, mengalir tanpa terkontrol, termasuk di dalamnya
yaitu mimpi atau impian, dan lamunan. Hadirnya arus kesadaran tersebut
dapat dikategorikan pula sebagai bagian dari proses berpikir. (2) berpikir
adalah imajinasi atau kesadaran. Pada umumnya imajinasi ini muncul
secara tidak langsung atau tidak bersentuhan langsung dengan sesuatu
yang sedang dipikirkan. (3) berpikir semakna dengan keyakinan
(believing). Berpikir semakna dengan satu bentuk keyakinan yang dimiliki
17

seseorang sehingga dirinya dapat beropini, berpendapat, atau bertindak


seiring keyakinan yang dimaksud. (4) berpikir reflektif adalah rangkaian
pemikiran yang terbaik. Dalam berpikir reflektif ini, ada proses memahami
masalah, meneliti atau menggali informasi sampai memecahkan masalah.
Jenis berpikir ini merupakan karakter yang baik dan perlu dikembangkan
dalam dunia pendidikan atau pembelajaran.

Dapat disimpulkan bahwa aktivitas berpikir menurut John Dewey


dilakukan secara sadar, dapat berupa imajinasi atau keyakinan, dan mengalir
dalam proses memahami masalah sampai pada akhirnya memecahkan masalah.
Pendapat tersebut sejalan dengan beberapa pendapat ahli berikut.
Tabel 2.1. Definisi Berpikir Menurut Pendapat Ahli

Liputo Proses berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang disadari


(1996) dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang mungkin
dicapai dari berpikir selain untuk membangun dan memperoleh
pengetahuan, juga untuk mengambil keputusan, membuat
perencanaan, memecahkan masalah, serta untuk menilai tindakan.

Maxwell Berpikir sebagai segala aktivitas mental yang membantu


(2004 : 82) merumuskan atau memecahkan masalah, membuat keputusan,
atau memenuhi keinginan untuk memahami; sebuah pencarian
jawaban, dan sebuah pencapaian makna

Siswono Berpikir merupakan suatu kegiatan mental yang dialami


(2007) seseorang apabila ia dihadapkan pada suatu masalah atau situasi
yang harus dipecahkan.

Dari beberapa pengertian berpikir yang dikemukakan oleh pendapat ahli


diatas, berpikir diartikan sebagai suatu aktivitas yang terjadi dalam jiwa (mental)
individu yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu seperti mengingat,
memecahkan masalah, mengambil keputusan, memahami sesuatu, dan
sebagainya.
Secara garis besar dapat dibedakan dua macam cara berpikir, yaitu cara
berpikir autistik dan berpikir realistik. Berpikir autistik seringkali disebut sebagai
mengkhayal, melamun atau berfantasi. Dengan berpikir autistik orang melarikan
diri dari kenyataan, melihat hidup sebagai gambar-gambar yang fantastic.
18

Sebaliknya, berpikir realistik disebut sebagai nalar (reasoning), yaitu berpikir


secara logis, berdasarkan fakta-fakta yang ada dan menyesuaikan dengan dunia
nyata, beserta semua dalil/hukumnya. Proses berpikir manusia memiliki dua ciri
utama, yaitu:
a. Covert / unobservable (tidak terlihat)
Proses berpikir terjadi pada otak manusia dan secara fisik tidak dapat
dilihat prosesnya (dalam pengertian pemrosesan informasinya). Sejumlah ahli
yang mencoba memantau proses berpikir secara fisik hanya menemukan
aktivitas listrik arus lemah dan proses kimiawi pada otak manusia yang sedang
berpikir. Dengan demikian, proses pengolahan informasi tak dapat diamati dan
dilihat secara fisik maupun secara kimiawi. Pengolahan makna, baik semantic
maupun visual bersifat abstrak sehingga tidak dapat dideteks denan panca
indera.
b. Symbolic (melibatkan manipulasi dan penggunaan simbol)
Dalam berpikir, manusia mengolah informasi yang berupa symbol-simbol,
(baik simbol verbal maupun visual). Simbol-simbol itu akan memberikan makna
pada informasi yang diolah. Contohnya seperti tanda “ = “ , merupakan sebuah
simbol yang mengartikan kesetaraan, kata “skripsi” merupakan simbol yang
mengilustrasikan suatu karya tulis ilmiah berupa paparan tulisan hasil penelitian
yang membahas suatu permasalahan dalam bidang ilmu tertentu dengan aturan
yang berlaku, dan lain sebagainya.
Hasil dari aktivitas berpikir yang berupa imajinasi, khayalan, mimpi,
lamunan, atau keyakinan dilakukan dengan cara berpikir autistik. Sementara hasil
dari aktivitas berpikir realistik dapat terlihat melalui pembelajaran matematika
misalnya. Seperti contoh ketika siswa diminta untuk menyebutkan benda-benda
yang menyerupai kubus dalam kehidupan sehari-hari. Siswa akan menjawab
benda-benda seperti box, kardus, bak mandi merupakan benda-benda yang
menyerupai kubus. Jawaban tersebut diperoleh siswa melalui ingatan berdasarkan
fakta yang ada dan sesuai dengan kehidupan nyata.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan berpikir adalah suatu aktivitas mental yang terjadi dalam diri seseorang
baik dalam keadaan sadar maupun dalam bentuk imajinasi yang dapat
menghasilkan sebuah ide, gagasan, pendapat, atau dengan maksud untuk
19

memperoleh pengetahuan, mengambil keputusan, memecahkan masalah, dan


mencetuskan ide/gagasan baru.

2.1.2. Kemampuan Berpikir Kreatif


Kreativitas berasal dari kata “to create” yang artinya membuat. Dengan
kata lain, kreativitas adalah kemampuan seseorang untuk membuat sesuatu apakah
itu dalam bentuk ide, langkah, atau produk. Pada saat akan membuat sesuatu, ada
beberapa aspek penting yang menyertainya. Pertama, individu akan mampu
menemukan ide untuk membuat sesuatu. Ide yang dihasilkan merupakan ide
kreatif yang mampu merangsang orang lain untuk memahami maksud si pembuat
dengan mudah dan bahkan mampu mencerahkan pemikiran orang tersebut
(Sudarma, 2013 : 9).
Hal ini sesuai dengan pendapat Sternberg (2002) yang mengatakan bahwa
seseorang yang kreatif adalah seorang yang dapat berpikir secara sintesis artinya
dapat melihat hubungan-hubungan di mana orang lain tidak mampu melihatnya
yang mempunyai kemampuan untuk menganalisis ide-idenya sendiri serta
mengevaluasi nilai ataupun kualitas karya pribadinya, mampu menerjemahkan
teori dan hal-hal yang abstrak ke dalam ide-ide praktis, sehingga individu mampu
meyakinkan orang lain mengenai ide-ide yang akan dikerjakannya. Kedua,
mampu menemukan bahan yang akan digunakan dalam membuat produk tersebut.
Ketiga, mampu melaksanakannya dan terakhir, mampu menghasilkannya.
Terdapat banyak makna kreativitas yang dikemukakan oleh pendapat ahli
yang sangat beragam. Namun apabila orang yang kreatif ditanya mengenai makna
dari kreativitas, ia akan mampu mengemukakan pandangan kreatifnya terhadap
makna kreativitas itu sendiri. Sehingga apabila makna kreativitas itu dibakukan,
akan membekukan kreativitas. Oleh karena itu, bagi orang kreatif definisi
mengenai suatu hal akan dapat dimaknainya sendiri secara kreatif pula. Tanpa
harus terpaku dengan definisi yang ada, kita dapat memahami definisi kreativitas
dari para ahli bidang apa pun untuk dijadikan landasan dalam merumuskan makna
kreatif sendiri. Secara garis besar, kita dapat memandang kreativitas kedalam
empat aspek, yaitu :
1. Kreativitas dimaknai sebagai sebuah kekuatan atau energi yang ada
dalam diri individu
2. Kreativitas dimaknai sebagai sebuah proses
3. Kreativitas adalah sebuah produk
20

4. Kreativitas dimaknai pada individu kreatif itu sendiri


Dalam Kamus Besar Psikologi, Chaplin (1999 : 117) menyatakan arti
kreatif ialah berkenaan dengan penggunaan atau upaya memfungsikan
kemampuan mental produktif dalam menyelesaikan atau memecahkan masalah,
biasanya dengan maksud agar orang mampu menggunakan informasi yang tidak
berasal dari pengalaman atau proses belajar secara langsung, akan tetapi berasal
dari perluasan konseptual dari sumber-sumber informasi tadi. Sedangkan
kreativitas merupakan kemampuan menghasilkan bentuk baru dalam seni, atau
dalam permesinan, atau dalam memecahkan masalah dengan metode baru.
Hawadi, dkk (2001) mengatakan bahwa kreativitas merupakan
kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan
maupun karya nyata, baik dalam bentuk ciri-ciri aptitude maupun nonaptitude,
baik dalam karya baru maupun kombinasi dengan hal-hal yang sudah ada, yang
semuanya itu relatif berbeda dengan apa yang telah ada sebelumnya. Pendapat ini
terkait dengan pendapat Munandar yang menekankan kreativitas pada
kemampuan individu dalam mengolah informasi untuk menghasilkan sesuatu
yang baru. Munandar (2009) mengatakan bahwa kreativitas adalah kemampuan
untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa, tidak lazim, memadukan
informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan mencetuskan solusi-solusi baru
atau gagasan-gagasan baru yang menunjukkan kefasihan, keluwesan, dan
orisinalitas dalam berpikir.
Secara umum kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa
untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan
pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin
baik. Menurut Sudarma (2013 : 18), ada tiga dorongan yang menyebabkan orang
bisa kreatif, yaitu (1) kebutuhan untuk memiliki sesuatu yang baru, bervariasi dan
lebih baik (2) dorongan untuk mengomunikasi nilai dan ide, serta (3) keinginan
untuk memecahkan masalah. Torrance menekankan adanya ketekunan, keuletan,
kerja keras, jadi tidak tergantung pada inspirasi. Maksudnya bahwa kreativitas
membutuhkan proses yang cukup panjang, tidak terhenti pada timbulnya inspirasi
belaka. Kreativitas membutuhkan tindakan seperti ketekunan, keuletan, kerja
keras agar dapat mewujudkan keinginan. Hal ini bertentangan dengan pendapat
21

Timpe yang menyatakan bahwa kreativitas adalah suatu hal yang halus dan ilusif;
ia adalah perpaduan dari imajinasi, visi, kecerdikan, dan inspirasi. (Soesilo, 2014)
Perlu disadari bahwa pentingnya perwujudan ide-ide yang kreatif bukan
merupakan suatu anugerah yang sifatnya statis, tetapi dapat diajarkan dan
dikembangkan. Setiap individu tentu memiliki kreativitas, tetapi tidak semua
individu mampu untuk mengasah kreativitas itu dalam kehidupannya. Lembaga
pendidikan memiliki peran penting dalam pembinaan kreativitas peserta didiknya.
Dalam bidang pendidikan, guru tidak hanya memberikan pemahamanan mengenai
pengetahuan saja, tetapi metode dan proses pembelajaran perlu dirancang
sehingga mampu merangsang pengembangan kemampuan kreatif peserta didik.
Pengembangan kemampuan berpikir kreatif dapat dilakukan dengan
melatih peserta didik untuk memaksimalkan penggunaan otak kiri dan kanannya
dalam belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Risnanosanti (2012 : MP-746),
kreativitas juga merupakan hasil interaksi dari kedua belahan otak individu, selain
itu kreativitas dapat merupakan hasil dari sebuah latihan. Apabila tidak dilatih
maka kreativitas tidak dapat berkembang, bahkan bisa menjadi lumpuh.
Kreativitas dapat dipandang sebagai produk dari hasil pemikiran atau perilaku
manusia dan sebagai proses memikirkan berbagai gagasan dalam menghadapi
suatu persoalan.
Salah satu alasan mengapa kemampuan berpikir kreatif ini dapat dilatih
karena pada dasarnya setiap individu merupakan makhluk yang kreatif. Namun
untuk individu yang memiliki kreativitas pasif, butuh penyadaran atau pencerahan
untuk membangkitkannya. Hal ini dipertegas oleh Selo Soemardjan (dalam
Soesilo, 2014) yang mengatakan bahwa kreativitas merupakan sifat pribadi
seorang individu (bukan merupakan sifat sosial yang dihayati masyarakat) dan
tercermin dari kemampuan untuk menciptakan sesuatu yang baru.
Berdasarkan berbagai pandangan diatas disimpulkan bahwa kreativitas
adalah hasil pemikiran yang diperoleh melalui proses berpikir dan menghasilkan
sesuatu berupa produk, ide, atau karya yang sifatnya baru bagi diri penciptanya
maupun orang lain dan muncul dari pengetahuan, pengalaman, atau interaksi
individu dengan lingkungan.
22

Kreativitas sering dianggap sebagai bagian dari aktivitas dan produk dalam
bidang seni. Padahal sebenarnya kreativitas bukan hanya dimiliki oleh para
seniman saja, tetapi semua bidang membutuhkan kreativitas. Hal ini disampaikan
oleh Pehkonen (1997), kreativitas tidak hanya terjadi pada bidang-bidang tertentu,
seperti seni, sastra, atau sains, melainkan juga ditemukan dalam berbagai bidang
kehidupan, termasuk matematika. Siswono (2007) menjelaskan 6 alasan mengapa
pembelajaran matematika perlu menekankan pada kreativitas, yaitu (1)
matematika begitu kompleks dan luas untuk diajarkan dengan hafalan, (2) siswa
dapat menemukan solusi-solusi yang asli (original) saat memecahkan masalah, (3)
guru perlu merespon konstribusi siswa yang asli dan mengejutkan, (4)
pembelajaran matematika dengan hafalan dan masalah rutin membuat siswa tidak
termotivasi dan mengurangi kemampuannya, (5) keaslian merupakan sesuatu yang
perlu diajarkan, seperti membuat pembuktian asli dari teorema-teorema, (6)
kehidupan nyata sehari-hari memerlukan matematika, masalah sehari-hari bukan
hal rutin yang memerlukan kreativitas dalam menyelesaikannya.
Pembahasan mengenai kreativitas dalam matematika lebih ditekankan
pada prosesnya, yakni proses berpikir kreatif. Oleh karena itu kreativitas dalam
matematika lebih tepat diistilahkan sebagai kemampuan berpikir kreatif
matematis. Sebagai contoh dalam pembelajaran matematika, ketika siswa diminta
untuk menggambarkan sebuah kubus kemudian memberi nama pada setiap titik
sudut kubus, tentu ia akan berpikir berapa ukuran panjang sisi kubus yang akan ia
buat dan akan menamai titik sudutnya dengan simbol apa. Ukuran kubus yang
digambarkan setiap siswa tentu akan berbeda, begitu pula dengan cara siswa
untuk menamainya. Perbedaan ini bukan hanya disebabkan oleh pengetahuan
siswa dalam menggambar kubus, tetapi juga merupakan akibat dari kreativitas
sehingga dalam menyelesaikan tugas tersebut ditemukan jawaban siswa yang
bervariasi.
Berpikir kreatif adalah suatu proses memadukan berpikir divergen dan
berpikir logis. Berpikir divergen digunakan untuk mencari ide-ide untuk
memecahkan suatu masalah sedangkan berpikir logis digunakan untuk
memverifikasi ide-ide tersebut menjadi sebuah penyelesaian yang kreatif. Berpikir
kreatif merupakan salah satu cara yang dianjurkan untuk dapat mengembangkan
kemampuan diri. Kemampuan berpikir kreatif tentu sangat mungkin dapat
23

dikembangkan melalui mata pelajaran di sekolah. Namun permasalahan yang


sering dihadapi guru adalah lebih nyaman untuk memberi pelajaran yang
menekankan pola berpikir konvergen daripada berpikir divergen. Sehingga peserta
didik juga lebih banyak menggunakan cara berpikir konvergen, karena guru sering
tidak menghargai pendapat peserta didik apabila memiliki jawaban yang berbeda
dengan yang diberikan guru.
Menurut Huda (2011) berpikir kreatif adalah suatu pemikiran yang
berusaha menciptakan gagasan baru dan membangun ide atau pemikiran yang
baru. McGregor (2007 : 168), berpikir kreatif adalah berpikir yang mengarah pada
pemerolehan wawasan baru, pendekatan baru, perspektif baru, atau cara baru
dalam memahami sesuatu. Munandar (2009) mendefinisikan berpikir kreatif
merupakan kemampuan untuk melihat atau memikirkan hal-hal yang luar biasa,
tidak lazim, memadukan informasi yang tampaknya tidak berhubungan dan
mencetuskan solusi atau gagasan baru. Berbeda dengan Grieshober (2004) yang
mendefinisikan berpikir kreatif sebagai proses konstruksi ide yang menekankan
pada aspek kelancaran, keluwesan, kebaruan, dan keterincian.
Berpikir kreatif melibatkan kemampuan untuk menemukan sesuatu yang
baru atau asli. Hal tersebut melibatkan keterampilan yang memiliki fleksibilitas,
orisinalitas, kefasihan, elaborasi, curah gagasan (brainstorning), modifikasi,
berkhayal, pemikiran asosiatif, daftar atribut, dan berpikir metaforis. Tujuan dari
berpikir kreatif adalah untuk merangsang keingintahuan dan merangsang berpikir
divergen. Alasan tersebut mendorong anggapan untuk mengelompokan berpikir
kreatif dalam kategori keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher order thinking
skills) (King, 1997). Hal ini juga disampaikan oleh Presseisen (1996: 31)
menyebutkan bahwa yang termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah
kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan
(decision making), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical
thinking).
Menurut Harris (2000) terdapat tiga aspek kemampuan berpikir kreatif,
yaitu kesuksesan, efisiensi, dan koherensi. Kesuksesan berkaitan dengan
kesesuaian solusi dengan masalah yang diselesaikan. Efisiensi berkaitan dengan
kepraktisan strategi penyelesaian masalah. Sedangkan aspek koherensi berkaitan
dengan kesatuan atau keutuhan ide atau solusi. Ide yang koheren adalah ide yang
24

terorganisasi dengan baik, holistis, sinergis, dan estetis. Sementara Mann (2005)
mengidentifikasi aspek-aspek kemampuan berpikir kreatif matematis, yaitu
kelancaran, keluwesan, keaslian, elaborasi, dan sensitivitas.
Menurut Alvino (1990 : 50), kreatif adalah melakukan suatu kegiatan yang
ditandai oleh empat komponen, yaitu : fluency (menurunkan banyak ide),
flexibility (mengubah perspektif dengan mudah), originality (menyusun sesuatu
yang baru), dan elaboration (mengembangkan ide lain dari suatu ide). Berbeda
dengan Martin (2009) yang mengemukakan tiga aspek kemampuan berpikir
kreatif, yaitu produktivitas, originalitas atau keaslian, dan fleksibilitas atau
keluwesan. Produktivitas berkaitan dengan banyaknya hasil karya yang
dihasilkan. Originalitas berkaitan dengan suatu hasil karya yang berbeda dengan
hasil karya serupa di sekitarnya. Fleksibilitas merujuk pada kemauan untuk
memodifikasi keyakinan berdasarkan informasi baru. Seseorang yang tidak
berpikir fleksibel tidak mudah mengubah ide atau pandangan meskipun ia
mengetahui terdapat kontradiksi antara ide yang dimiliki dengan ide baru.
Secara khusus ciri-ciri kemampuan berpikir kreatif berdasarkan aptitude-nya
antara lain:
1. Keterampilan berpikir lancar, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mencetuskan
banyak gagasan, jawaban, penyelesaian masalah atau pertanyaan, (b)
memberikan banyak cara atau saran untuk melakukan berbagai hal, (c) Selalu
memikirkan lebih dari satu jawaban. Ciri-ciri perilaku individu yang memiliki
keterampilan berpikir lancar sebagai berikut :
a. Mengajukan pertanyaan
b. Menjawab dengan sejumlah jawaban jika ada pertanyaan
c. Mempunyai banyak gagasan mengenai suatu masalah
d. Bekerja lebih cepat dan melakukan lebih banyak dibandingkan orang
lain
e. Dapat dengan cepat melihat kekurangan pada suatu objek atau situasi
2. Keterampilan berpikir luwes (fleksibel), didefinisikan sebagai berikut: (a)
Menghasilkan gagasan, jawaban, atau pertanyaan yang bervariasi (b) Dapat
melihat masalah dari sudut pandang yang berbeda-beda (c) Mencari banyak
alternatif atau arah yang berbeda-beda (d) mampu mengubah cara pendekatan
atau cara pemikiran. Adapun ciri-ciri perilaku bagi individu yang memiliki
keterampilan berpikir luwes (fleksibel) sebagai berikut :
25

a. Memberikan aneka ragam penggunaan yang tidak lazim terhadap suatu


objek
b. Memberikan macam-macam penafsiran (interpretasi) terhadap suatu
gambar, cerita, atau masalah
c. Menerapkan suatu konsep atau asas dengan cara yang berbeda-beda
d. Memberikan pertimbangan terhadap situasi yang berbeda dari yang
diberikan orang lain
e. Dalam membahas atau mendiskusikan suatu situasi selalu mempunyai
posisi yang berbeda atau bertentangan dengan mayoritas kelompok
f. Jika diberi suatu masalah biasanya memikirkan macam-macam cara
yang berbeda untuk memecahkannya
g. Menggolongkan hal-hal menurut pembagian (kategori yang berbeda-
beda)
h. Mampu mengubah arah berpikir
3. Keterampilan berpikir rasional, didefinisikan sebagai berikut: (a) Mampu
melahirkan ungkapan baru dan unik (b) Memikirkan cara yang tidak lazim
untuk mengungkapkan diri (c) Mampu membuat kombinasi-kombinasi dari
bagian-bagian atau unsur-unsur.
Ciri-ciri perilaku individu yang memiliki keterampilan berpikir rasional
sebagai berikut :
a. Memikirkan masalah atau hal-hal yang tidak pernah terpikirkan orang
lain
b. Mempertanyakan cara-cara yang lama dan berusaha untuk memikirkan
cara baru
c. Memiliki cara berpikir yang lain daripada yang lain
d. Mencari pendekatan yang baru daripada stereotif
e. Setelah membaca dan mendengarkan gagasan, bekerja untuk
menemukan penyelesaian yang baru
4. Keterampilan memerinci atau mengelaborasi, didefinisikan sebagai berikut:
(a) Mampu memperkaya dan mengembangkan suatu gagasan atau produk, (b)
Menambahkan atau memperinci detail dari suatu objek, gagasan, atau situasi
sehingga lebih menarik.
Adapun ciri-ciri perilaku bagi individu yang memiliki keterampilan
memerinci atau mengelaborasi sebagai berikut :
a. Memberikan pertimbangan atas dasar sudut pandangnya sendiri
b. Menemukan pendapatnya sendiri atas suatu hal
c. Menganalisa suatu masalah atau penyelesaian secara kritis dengan
selalu menanyakan “mengapa”
26

d. Mempunyai alasan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk


mencapai suatu keputusan
e. Merencanakan suatu rencana kerja dari gagasan yang tercetus
f. Pada waktu tertentu tidak menghasilkan gagasan, tetapi menjadi
peneliti atau penilai yang kritis
g. Menentukan pendapat dan bertahan terhadapnya
(Soesilo, 2014:36)
Guilford (1971) menyebutkan lima indikator berpikir kreatif yaitu
kepekaan (problem sensitivity), kelancaraan (fluency), keluwesan (flexibility),
keaslian (originality), dan elaborasi (elaboration). Menurut Purwanto (2008)
bahwa tes kemampuan berpikir kreatif yang dikembangkan oleh Guilford
mengacu pada operasi, konten, dan produk dengan jawaban yang diinterpretasikan
pada kelancaran, keluwesan, dan keaslian. Lain halnya dengan Siswono (2005)
yang menyatakan bahwa kemampuan berpikir kreatif adalah kemampuan siswa
dalam memahami masalah dan menemukan penyelesaian dengan strategi atau
metode yang bervariasi (divergen). Livne (2008) juga mengatakan berpikir kreatif
matematis merujuk pada kemampuan untuk menghasilkan solusi bervariasi yang
bersifat baru terhadap masalah matematika yang bersifat terbuka. Krutetski (1976)
mendefinisikan kemampuan berpikir kreatif matematis sebagai kemampuan
menemukan solusi masalah matematika secara mudah dan fleksibel.
Berdasarkan uraian diatas, dalam penelitian ini dikemukakan bahwa
kemampuan berpikir kreatif matematis merupakan kemampuan siswa dalam
menghasilkan ide atau gagasan yang memiliki nilai fluency, flexibility, orisinil,
dan elaboration pada pembelajaran matematika berupa : pemahaman mengenai
konsep kubus dan jaring-jaring kubus serta mampu menemukan 11 jaring-jaring
kubus yang bervariasi. Selanjutnya penjelasan mengenai indikator berpikir kreatif
matematis yaitu: (1) fluency yaitu mampu menghasilkan lebih dari satu jawaban;
(2) flexibility yaitu mencetuskan atau memberikan banyak ide dalam
menyelesaikan masalah; (3) originality yaitu menemukan jawaban yang unik dan
bersifat baru (4) elaboration yaitu mengembangkan atau merinci secara detail
suatu gagasan.

2.1.3. Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif


Telah dijelaskan sebelumnya bahwa manusia adalah makhluk yang kreatif.
Namun tingkat kreativitasnya berbeda-beda. Hal ini dibuktikan oleh terciptanya
27

suatu karya mengagumkan hasil pemikiran orang-orang kreatif seperti Imam


Syafi”i, Thomas Alfa Edison, Nadiem Makarim, dan sebagainya. Hurlock (1999)
mengatakan kreativitas memiliki berbagai tingkatan sebagaimana mereka
memiliki berbagai tingkatan kecerdasan. Karena kreativitas merupakan
perwujudan dari proses berpikir kreatif, maka berpikir kreatif juga mempunyai
tingkat atau level. Beberapa ahli telah melakukan penelitian tentang penjenjangan
atau tingkat berpikir kreatif seperti Krulik & Rudnick, De Bono, dan Gotoh.
Krulik & Rudnick (1995) menyebutkan bahwa penalaran merupakan bagian dari
berpikir yang tingkatnya di atas pengingatan (recall). Dalam penalaran
dikategorikan dalam berpikir dasar (basic), berpikir kritis (critical) dan berpikir
kreatif.
Tingkat terendah dari berpikir adalah ingatan (recall) yang memasukkan
keterampilan-keterampilan berpikir yang hampir otomatis dan refleksif (tanpa
disadari). Tingkat berikutnya adalah dasar (basic), yaitu pemahaman dan
pengenalan konsep-konsep matematika seperti penjumlahan atau pengurangan dan
aplikasinya dalam masalah-masalah. Tingkat berikutnya adalah berpikir kritis.
Berpikir kritis merupakan berpikir yang melibatkan menguji, menghubungkan dan
mengevaluasi semua aspek sebuah situasi atau masalah. Termasuk dalamnya
adalah mengumpulkan, mengorganisasikan, mengingat dan menganalisis
informasi. Tingkat tertinggi adalah berpikir kreatif. Berpikir kreatif merupakan
pemikiran yang bersifat keaslian dan reflektif dan menghasilkan suatu produk
yang komplek. Berpikir tersebut melibatkan sintesis ide-ide, membangun ide-ide
baru dan menentukan efektivitasnya. Juga melibatkan kemampuan untuk
membuat keputusan dan menghasilkan produk yang baru.
De Bono (dalam Barak & Doppelt, 2000) mendefinisikan 4 tingkat
pencapaian dari perkembangan keterampilan berpikir kreatif yaitu kesadaran
berpikir, observasi berpikir, strategi berpikir dan refleksi berpikir.
Tabel 2.2. Tingkat Berpikir Kreatif dari De Bono
Level 1: Awareness of Thinking
General awareness of thinking as a skill. Willingness to think about something.
Willingness to investigate a particular subject. Willingness to listen to others.
Level 2: Observation of Thinking
Observation of the implications of action and choice, consideration of peers’
28

points view, comparison of alternative.


Level 3: Thinking strategy. Intentional use of a number of thinking tools,
organization of thinking as a sequence of steps. Reinforcing the sense of purpose
in thinking.
Level 4: Reflection on thinking. Structured use of tools, clear awareness of
reflective thinking, assesment of thinking by thinker himself. Planning thinking
tasks and methods to perform them.
Sumber: Siswono (2007:4)

Pada level 1 merupakan tingkat berpikir kreatif yang rendah, karena hanya
mengekspresikan terutama kesadaran siswa terhadap keperluan menyelesaikan
tugasnya saja. Sedangkan level 2 menunjukkan berpikir kreatif yang lebih tinggi
karena siswa harus menunjukkan bagaimana mereka mengamati sebuah implikasi
pilihannya, seperti penggunaan komponen-komponen khusus atau algoritma-
algoritma pemrograman. Level 3 merupakan tingkat yang lebih tinggi berikutnya
karena siswa harus memilih suatu strategi dan mengkoordinasikan antara
bermacam-macam penjelasan dalam tugasnya. Mereka harus memutuskan
bagaimana tingkat detail yang diinginkan dan bagaimana menyajikan urutan
tindakan atau kondisi logis dari sistem tindakan. Level 4 merupakan tingkat
tertinggi karena siswa harus menguji sifat-sifat produk final membandingkan
dengan sekumpulan tujuan. Menjelaskan simpulan terhadap keberhasilan atau
kesulitan selama proses pengembangan, dan memberi saran untuk meningkatkan
perencanaan dan proses konstruksi.
Sementara itu, Gotoh (2004) mengungkapkan tingkat berpikir matematis
dalam memecahkan masalah terdiri atas 3 tingkat yang dinamakan aktivitas
empiris (informal), algoritmis (formal), dan konstruktif (kreatif).

Tabel 2.3. Tingkat Berpikir Matematis dari Gotoh


Stage 1: Emperical (informal) activity.
In this stage, some kind of tecnical or practical application of mathematical rules
and procedures are used to solve problems without a certain kind of awareness.
Stage 2: The algoritmic (formal) activity.
In this stage, mathematical techniques are used explicitly for carrying out
mathematical operations, calculating, manipulating and solving.
Stage 3: The constructive (creative) activity.
29

In this stage, a non-algoritmic decision making is performed to solve non-routine


problem such as a problem of finding and constructing some rule.
Sumber : Siswono (2007:4)
Dalam tingkat pertama, berbagai teknik atau aplikasi praktis dari aturan
dan prosedur matematis digunakan untuk memecahkan masalah tanpa suatu
kesadaran yang pasti/tertentu, sehingga masih dalam coba-coba. Dalam tingkat
kedua, teknik-teknik matematis digunakan secara eksplisit untuk menuju operasi,
penghitungan, manipulasi dan penyelesaian masalah. Sedang pada tingkat ketiga,
pengambilan keputusan yang non algoritmis ditunjukan dalam memecahkan
masalah non rutin seperti suatu masalah penemuan dan pengkonstruksian
beberapa aturan.
Dalam penelitian ini akan diukur tingkar berpikir kreatif siswa
menggunakan penjenjangan tingkat kemampuan berpikir kreatif yang
dikemukakan oleh Siswono. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Siswono (2010)
diperoleh tingkat kemampuan berpikir kreatif (TKBK) terdiri dari 5 tingkat yaitu
TKBK 4 (sangat kreatif), TKBK 3 (kreatif), TKBK 2 (cukup kreatif), TKBK 1
(kurang kreatif), dan TKBK 0 (tidak kreatif). Berikut penjelasan mengenai tingkat
kemampuan berpikir kreatif pada Tabel 2.4. berikut.
Tabel 2.4. Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif

TKBK Keterangan
Tingkat 4 Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih dari satu
(Sangat
alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat
Kreatif)
masalah yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel.
Tingkat 3 Siswa mampu menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara
(Kreatif)
penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau
membuat berbagai jawaban yang baru meskipun tidak dengan cara
yang berbeda (tidak fleksibel). Selain itu, siswa dapat membuat
masalah yang berbeda dengan lancar (fasih) meskipun jawaban
masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan jawaban
divergen.
30

Tingkat 2 Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah yang berbeda
(Cukup
dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau fasih,
Kreatif)
atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang
berbeda dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak
baru.
Tingkat 1 Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah
(Kurang
yang berbeda (baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi,
Kreatif)
yaitu cara penyelesaian yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau
jawaban/masalah yang dibuat beragam (fasih).

Tingkat 0 Siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara


(Tidak
penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda dengan lancar
Kreatif)
(fasih) dan fleksibel.

Sumber : Modifikasi dari Siswono (2010:9)

2.1.4. Tahapan Proses Berpikir Kreatif


Ide mengenai tahapan berpikir kreatif dikembangkan oleh Krulik dan
Rudnick meliputi tahapan mensintesis ide-ide, membangkitkan atau membangun
(generating) ide-ide, dan menerapkan ide-ide tersebut. Siswono (2007) juga
mengembangkan tahapan berpikir kreatif. Tahap berpikir kreatif meliputi tahap
mensintesis ide, membangun ide, merencanakan penerapan ide, menerapkan ide.
Mensintesis ide artinya menjalin atau memadukan ide-ide (gagasan) yang
dimiliki yang dapat bersumber dari pembelajaran di kelas maupun pengalamannya
sehari-hari. Membangun ide artinya memunculkan ide-ide yang berkaitan dengan
masalah yang diberikan sebagai hasil dari proses sintesis ide sebelumnya.
Merencanakan penerapan ide artinya memilih suatu ide tertentu untuk digunakan
dalam menyelesaikan masalah yang diberikan atau yang ingin diselesaikan.
Menerapkan ide artinya mengimplementasikan atau menggunakan ide yang
direncanakan untuk menyelesaikan masalah.
Proses kreatif menurut Petty (dalam Soesilo, 2014:70) dijelaskan melalui 6
tahap, yang seringkali disebut ICEDIP. Disingkat ICEDIP karena terdiri dari tahap
inspirasi (inspiration), tahap klarifikasi (clarification),, tahap distalasi
(distillation), perspirasi (perspiration), evaluasi (evaluation), dan inkubasi
(incubation). Berikut penjelasannya :
31

1. Tahap inspirasi menekankan pengumpulan gagasan sebanyak-banyaknya.


Individu atau kelompok diharapkan berani mengeluarkan pendapat tanpa
takut adanya suatu kesalahan meskipun memiliki resiko akibat gagasan yang
dimunculkan. Gagasan yang bagus tidak harus merupakan sesuatu yang
benar-benar baru atau tidak pernah ada sebelumnya. Ciri proses ini ialah
spontanitas, eksperimentasi, intuisi, dan ambil resiko. Tahap ini tidak perlu
mengkhawatirkan bentuk, kepraktisan, irama, atau kualitas.
2. Tahap klarifikasi sebagai tahap yang memfokuskan pada sasaran/tujuan.
Berbagai gagasan yang ditemukan pada tahap inspirasi tidak semuanya dapat
digunakan untuk mewujudkan tujuan, namun harus dipilih yang paling sesuai.
3. Tahap distilasi menekankan pada memeriksa gagasan yang telah dihasilkan
dan mencoba untuk menentukan strategi yang akan dikerjakan. Tahap ini
merupakan tahap berpikir kritis yang memerlukan analisis dan penilaian.
Gagasan dari tahap inspirasi disaring, yang sesuai dengan tujuan dipilih dan
dikembangkan.
4. Tahap perspirasi menekankan pada pengerjaan gagasan yang terbaik, yakni
mengimplementasikan gagasan yang sudah dipilih.
5. Tahap evaluasi merupakan tahap dimana melihat keberhasilan dari suatu
pekerjaan berdasarkan tujuan semula. Dalam tahap ini individu memeriksa
kekuatan dan kelemahan pekerjaan yang dilakukan. Tahap evaluasi dan
perspirasi dapat terjadi secara bergantian membentuk sebuah siklus. Setelah
evaluasi, individu dapat melanjutkan pekerjaannya untuk memperbaiki hasil
pekerjaannya.
6. Tahap inkubasi menekankan untuk meninggalkan pekerjaan meskipun
terkadang masih mempertimbangkannya. Pada tahap ini menekankan adanya
kondisi mengistirahatkan diri dengan menjauhkan pikiran dari pekerjaan
tersebut.
Tak jauh berbeda dengan perspektif teori Wallas (1926), proses kreatif
meliputi 4 (empat) tahap, yaitu : persiapan, inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.
Hanya saja Wallas tidak menjelaskan apakah tahap-tahap tersebut harus diikuti
secara berurutan dari tahap pertama ke tahap kedua dan seterusnya, ataukah bisa
tanpa berurutan.
1. Tahap persiapan
32

Tahap persiapan merupakan tahap seseorang mempersiapkan diri untuk


memecahkan masalah dengan mempelajarinya, mencari jawaban, bertanya kepada
orang lain. Pada tahap ini proses kreativitas adalah mengumpulkan informasi dan
data yang relevan serta mencari pendekatan untuk menyelesaikan masalah atau
menghasilkan pemikiran kreatif. Tahap persiapan ini sangat penting dilalui siswa,
sebab ide yang muncul pada tahap ini sangat mungkin diperoleh melalui buku
atau referensi yang ditemukan.. Selain itu kegiatan bertanya dengan orang lain
atau guru di sekolah juga dapat mempengaruhi munculnya ide kreatif. Yakni
penjelasan atau penyampaian materi dari guru atau melalui teman sejawat yang
lebih dulu telah memahami materi yang terkait pemecahan masalah.
Sebagai contoh, siswa diminta oleh guru untuk mengubah bentuk kotak
kapur yang diketahui merupakan bangun ruang menjadi bentuk bangun datar. Hal
ini bertujuan agar siswa belajar bagaimana menemukan jaring-jaring kotak
tersebut. Dalam benaknya siswa akan bertanya-tanya bagaimana mungkin
mengubah bentuk kotak yang memiliki ruang (berdimensi tiga) menjadi bangun
datar yang tidak memiliki ruang (berdimensi dua). Hal yang dapat dilakukan
siswa ialah bertanya kepada guru langkah apa yang dapat dilakukan agar
persoalan tersebut bisa diselesaikan. Siswa juga akan mempelajari konsep materi
pelajaran yang dapat mendukung tercapainya solusi pemecahan masalah melalui
berbagai referensi.
Beberapa tindakan yang disebutkan diatas merupakan langkah persiapan
siswa untuk menyelesaikan masalah. Tahap persiapan ini sangat penting dilewati
siswa dalam proses berpikir kreatif. Sebab tahap persiapan ini dapat pula diartikan
sebagai kesiapan siswa dalam menemukan ide-ide yang kreatif. Apabila siswa
mempersiapkan segala hal yang dapat mendukung kelancaran menemukan ide
kreatif dengan baik, tentu akan memperoleh hasil yang baik pula. Seperti yang
dikemukakan oleh Soejanto (1991 : 5) kesiapan diri siswa sangat penting untuk
meraih keberhasilan dalam kegiatan belajar. Keberhasilan siswa melakukan
kesiapan sebelum mengikuti pelajaran dapat menentukan kesuksesan siswa dalam
belajar.
2. Tahap inkubasi
33

Tahap inkubasi adalah tahap dimana pengumpulan informasi dihentikan,


individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari masalah tersebut,
dalam arti seseorang tidak memikirkan masalahnya secara sadar, tetapi
“menggeramnya” dalam alam pra sadar. Selama masa ini, otak terus bekerja untuk
mencari solusi dari permasalahan yang sedang dipikirkan. Hal ini dapat dipahami
akibat kejenuhan memikirkan suatu persoalan justru membuat seseorang tidak
dapat menemukan solusi yang tepat untuk mengatasinya, bahkan bisa membuat
putus asa. Sebaliknya, ketika pikiran sedang jernih dalam kondisi relax, justru
akan menemukan ide yang tidak terduga untuk mengatasi masalah tersebut.
Kelanjutan dari contoh yang disajikan pada bagian tahap persiapan diatas,
maka pada tahap inkubasi ini siswa akan sejenak berhenti memikirkan cara-cara
yang mungkin dilakukan agar dapat mengubah kotak kapur menjadi bentuk
bangun datar. Namun di bawah alam prasadarnya, pikiran siswa tersebut tetap
bekerja untuk menemukan cara yang tepat. Siswa pada tahap ini lebih banyak
merenung, terdiam, atau melakukan aktivitas yang kadang tidak berhubungan
dengan aktivitas memecahkan masalah.
Tahap inkubasi ini sangat penting dilewati dalam tahap proses berpikir
kreatif. Hal ini dikemukakan oleh Posner (1973) yang menyatakan bahwa tahap
inkubasi dapat membebaskan kita dari pikiran melelahkan akibat proses
memecahkan masalah. Melupakan masalah yang berat untuk sementara waktu
dapat membantu kita menemukan ide-ide baru yang lebih sesuai untuk
memecahkan masalah tersebut. Menghentikan proses pemecahan masalah dapat
membantu kita menyusun kembali pemikiran kita terhadap masalah yang sedang
dihadapi.
3. Tahap iluminasi
Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya “insight”, saat timbulnya inspirasi
dan gagasan baru serta proses psikologi yang mengawali munculnya inspirasi
baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul dapat berupa gagasan kunci yang
memberi arah kepada pemecahan permasalahan, tetapi bukan pemecahan yang
sempurna dari persoalan yang dihadapi. Diharapkan pada suatu moment setelah
melewati masa inkubasi akan ditemukan jalan keluar untuk mengatasi masalah.
34

Sebab tidak jarang seseorang menemukan suatu solusi atas masalahnya ketika
sedang beristirahat atau melakukan kegiatan lain.
Kelanjutan pada contoh diatas, diharapkan siswa pada tahap ini
menemukan ide atau gagasan kunci yang dapat digunakan untuk menyelesaikan
masalah. Pada tahap ini siswa telah menemukan cara untuk mengubah kotak
menjadi sebuah bangun datar, yakni dengan cara menggunting kotak tersebut
mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian kotak yang terlepas. Sehingga akan
diperoleh sebuah bangun datar yang berdimensi dua. Namun siswa belum
sepenuhnya yakin dengan solusi tersebut. Sehingga ia perlu memeriksa apakah ide
yang diperolehnya itu benar atau tidak. Proses berpikir kreatif siswa berlanjut ke
tahap verifikasi atau evaluasi untuk berpikir secara konvergen terhadap solusi
yang ditemukan.
4. Tahap verifikasi atau evaluasi,
Tahap verifikasi atau evaluasi yaitu tahap dimana ide atau kreasi baru
tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang muncul
dikembangkan dan diuji secara kritis. Penyeleksian dari berbagai alternatif solusi
yang ditemukan untuk mencetuskan ide kreatif perlu dilakukan. Oleh karena itu
perlu alasan yang tepat untuk memilih ide kreatif yang tepat pula. Kajian kritis
rasional merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada
pemikiran konvergen yang bersifat analistis. Hingga yang muncul adalah ide
kreatif yang telah teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa
seseorang yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang
terhadap ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk
menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan. Artinya proses yang dilalui
seseorang pada tahap ini adalah melakukan metakognisi, yaitu berpikir tentang
apa yang telah dipikirkan.
Berkenaan dengan contoh pada tahap sebelumnya, dalam tahap ini siswa
akan menguji apakah benar dengan cara menggunting kotak mengikuti rusuk-
rusuknya kotak yang berdimensi tiga itu dapat berubah menjadi bangun datar
yang berdimensi dua. Setelah memastikan cara tersebut dapat digunakan sebagai
alternatif pemecahan masalah, maka siswa akan mencoba menerapkannya. Dalam
menggunting kotak kapur tersebut mengikuti rusuk-rusuknya tanpa ada bagian
35

yang terlepas, akan membuat siswa yang satu dengan yang lain berbeda-beda
dalam memulai rusuk mana yang lebih dulu akan digunting. Apabila siswa
mampu memulainya dengan rusuk yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan
hasil bangun datar yang berbeda pula. Kemampuan siswa ini memiliki nilai
flexibility (luwes), yaitu dikatakan siswa mampu menemukan banyak cara atau
pendekatan yang berbeda dalam menggunting kotak mengikuti rusuk-rusuknya.
Dengan cara yang berbeda-beda, tentu akan menghasilkan bentuk bangun
datar hasil bukaan dari kotak tersebut berbeda pula. Apabila siswa mampu
menemukan bangun datar dengan bentuk yang bervariasi artinya siswa lancar
dalam mencetuskan banyak jawaban. Dengan kata lain nilai fluency (kelancaran)
pada indikator berpikir kreatif telah dicapai oleh siswa. Selanjutnya apabila
terdapat hasil bangun datar yang dibuat oleh siswa memiliki nilai kebaruan, atau
dapat dikatakan belum pernah ditemukan, maka jawaban siswa tersebut memiliki
nilai originality.
Berdasarkan uraian diatas, maka dalam penelitian ini tahap berpikir kreatif
dirujuk berdasarkan Teori Wallas yang terdiri atas empat tahap, yaitu persiapan,
inkubasi, iluminasi, dan verifikasi.

2.1.5. Strategi Berpikir Kreatif


Kreativitas merupakan suatu keterampilan, artinya setiap individu yang
berusaha untuk menjadi kreatif dan ia mau melakukan latihan-latihan yang benar
maka ia akan menjadi kreatif. Kreativitas bukanlah sekedar bakat yang dimiliki
oleh individu tertentu saja, semua individu memiliki hak dan peluang untuk
menjadi kreatif. Kunci untuk menjadi kreatif adalah yakin bahwa kita berpotensi
untuk menjadi kreatif, dan berikutnya adalah berpikir secara kreatif dari masalah
yang sederhana menuju yang lebih kompleks secara bertahap.
Seperti yang dikemukakan oleh Herman (2008) bahwa tidak ada orang
yang sama sekali tidak memiliki kreativitas, seperti halnya tidak ada seorang pun
manusia yang intelegensinya nol, meskipun potensi kreativitas orang-orang dapat
berbeda antara orang yang satu dengan yang lain. Seseorang dapat menjadi kreatif
dengan melatih diri untuk berpikir kreatif. Ada empat langkah penting dalam
melatih berpikir kreatif yakni: 1) dalam berpikir jangan mudah puas dan jangan
36

menerima apa adanya 2) jangan terpaku pada satu cara 3) pertajam rasa ingin tahu
4) perlu latihan otak.
Berbeda dengan Langrehr (2006) yang mengatakan bahwa untuk melatih
berpikir kreatif siswa harus didorong untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan
dengan hal-hal berikut : (1) Membuat kombinasi dari beberapa bagian sehingga
terbentuk hal yang baru; (2) Menggunakan ciri-ciri acak dari suatu benda sehingga
terjadi perubahan dari desain yang sudah ada menjadi desain yang baru; (3)
Mengeliminasi suatu bagian dari sesuatu hal sehingga diperoleh sesuatu hal yang
baru; (4) Memikirkan kegunaan alternatif dari sesuatu hal sehingga diperoleh
kegunaan yang baru; (5) Menyusun ide-ide yang berlawanan dengan ide-ide yang
sudah biasa digunakan orang sehingga diperoleh ide-ide baru; (6) Menentukan
kegunaan bentuk ekstrim dari suatu benda sehingga ditemukan fungsi baru dari
benda itu.
Teknik berpikir kreatif akan menunjukkan cara menghasilkan ide dan
solusi kreatif yang dibutuhkan dalam kehidupan. Jika seseorang dapat
mengorganisasi pikiran dengan strategi berpikir kreatif, ia akan belajar melihat
apa yang tidak dilihat orang lain dan memikirkan yang tidak dipikirkan oleh orang
lain. Beberapa cara yang dapat dilakukan agar dapat melatih kemampuan berpikir
kreatif yaitu :
1. Berpikir Analogi
Istilah analogi mengandung arti “sama” atau “serupa”. Lebih tepatnya
istilah analogi ini mengandung makna: (1) berkenaan dengan persamaan atau
persesuaian dari dua hal yang berlainan (2) sifat memilih persamaan dalam
bentuk, susunan, atau fungsi dari dua hal yang berbeda. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa analogi adalah proses kognitif dengan cara mentransfer
informasi atau makna dari suatu subjek tertentu (analog atau sumber) ke topik
tertentu (target). Dalam berpikir analogi terdapat tiga aspek penting yang harus
ada, yaitu aspek sumber, kesamaan, dan aspek target. Sumber analogi harus
dipahami oleh kita sebagai pembuat analogi dan orang lain. Target analogi dipilih
yang berkaitan dengan masalah yang membutuhkan penyelesaian. Diantara
sumber analogi dan target analogi, harus ada aspek kesamaan diantara keduanya.
Pola pikir analogi tidak bisa dilakukan bila tidak mengembangkan pola
pikir yang logis atau rasional. Kreativitas kita dalam membuat analogi, akan
37

beriringan dengan kemampuan logis kita dalam membuat analogi tersebut.


Berpikir analogi merupakan modal penting dalam mengembangkan kreativitas.
2. Berpikir Lateral
Pada tahun 1970-an, Dwi Suryanto mengatakan bahwa Edward de Bono
mengubah persepsi orang tentang kreativitas dengan konsepnya Lateral Thinking.
Pada dasarnya otak tidak didesain untuk kreatif. Namun dengan penerapan tools
dari Lateral Thinking Tools otak dapat dilatih untuk bergerak menyamping dari
pola yang sudah ada. Akibatnya ini akan membuka persepsi, konsep, dan gagasan-
gagasan baru. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, tercantum makna lateral yaitu
“posisi yang menunjukkan bahwa letaknya ada di bagian sisi”. Sementara istilah
kolateral mengandung makna “sejalan, berdampingan, sejajar, atau dikatakan
tentang garis famili yang mempunyai asal-usul. Dengan memerhatikan makna
dasar tersebut, dapat disederhanakan berpikir lateral adalah tradisi berpikir yang
bervariasi dan memiliki kualitas sejajar.
Berpikir lateral digunakan dan dikembangkan sebagai alat berpikir yang
dirancang untuk memperluas pola pikir, karakter berpikir, atau jalur berpikir dari
pola pikir yang sudah ada sebelumnya. James Darmawan saat mengulas pemikiran
de Bono mengatakan bahwa berpikir lateral adalah cara berpikir yang berusaha
mencari solusi melalui metode yang tidak umum, atau sebuah cara yang biasanya
akan diabaikan oleh pemikiran logis. Pola pikir ini dikelompokkan sebagai pola
pikir produktif, yakni alat berpikir yang membantu seseorang untuk memproduksi
ide-ide kreatif. Dalam pandangan de Bono, ada enam karakter berpikir
paralel/lateral ini, yaitu : (1) Mencari fakta yang dapat dipastikan kebenarannya,
(2) Mengambil keputusan yang lebih dipengaruhi aspek emosi atau perasaan (3)
Berpikir kritis, (4) Berpikir produktif, yakni berusaha untuk mencari alternatif,
gagasan konstruktif, atau solusi (5) Berpikir moderatoris, yakni mengatur dan
mengarahkan karakter berpikir sebelumnya.

3. Berpikir Mengembang
Kita dapat mengembangkan kreativitas berpikir dengan model berpikir
mengembang. Berpikir mengembang (divergent thinking) dimaksudkan untuk
menunjukkan kemampuan seseorang dalam meluaskan pemahaman, pengertian,
atau analisis. Berpikir mengembang dapat dikatakan sebagai upaya meluaskan
kajian atau bahasan ke arah luar. Pengetahuan awal digunakan sebagai pijakan
38

untuk mendapatkan pengetahuan berikutnya. Irma Damajanti (2006 : 52)


mengemukakan ada tiga ciri dari orang yang mampu berpikir mengembang, yakni
kelancaran, kelenturan, dan memiliki orisinalitas. Berdasarkan pertimbangan itu,
menurut Guillford mengatakan bahwa ciri dari orang kreatif itu memiliki
kemampuan dalam berpikir mengembang (divergen).
4. Berpikir Kombinasi
Kreatif dengan pendekatan kombinatif adalah upaya memanfaatkan
berbagai hal yang sudah ada untuk mendapatkan hal-hal baru. Pola pikir ini
menarik dan dapat merangsang pikiran-pikiran baru dalam membuat produk, ide,
atau memecahkan masalah. Dalam mengkombinasi ide, salah satunya dapat
dilakukan dengan menggunakan model kotak ide yang akan digunakan sebagai
bahan dasar melakukan kombinasi pemikiran menuju suatu produk baru. Pada
model kotak ini, kita dituntut mendata seluruh ide yang terpikir sehingga
terbentuklah bank data. Selanjutnya kita melakukan penyilangan kombinasi antara
satu ide dengan ide lainnya yang pada akhirnya akan membentuk kreasi yang
baru. (Sudarma, 2013)

2.1.6. Mengukur Kemampuan Berpikir Kreatif


Dalam pembelajaran tentu dibutuhkan penilaian atau evaluasi. Guru perlu
melakukan hal tersebut untuk mengukur seberapa besar kemampuan yang telah
dicapai peserta didiknya setelah pembelajaran dilakukan. Begitu pula dengan
kemampuan berpikir kreatif peserta didik, guru perlu untuk mengukurnya agar
dapat melakukan tindak lanjut terhadap hasil pengukuran tersebut. Menurut
Worthington (2006), mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa dapat dilakukan
dengan cara mengeksplorasi hasil kerja siswa yang merepresentasikan proses
berpikir kreatifnya. Sementara menurut McGregor (2007), mengukur kemampuan
berpikir kreatif siswa dapat pula dilakukan dengan mendasarkan pada apa yang
dikomunikasikan siswa, secara verbal maupun tertulis. Apa yang dikomunikasikan
siswa tersebut dapat berupa hasil kerja siswa terkait tugas, penyelesaian masalah,
atau jawaban lisan terhadap pertanyaan guru.
Beberapa ahli telah mengembangkan instrumen untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif matematis, seperti Balka dan Torrance. Balka
mengembangkan instrumen Creative Ability Mathematical Test (CAMT) dan
Torrance mengembangkan instrumen Torrance Tests of Creative Thinking (TTCT)
39

(Silver, 1997). Kedua instrumen ini berupa tugas membuat soal matematika
berdasarkan informasi yang terdapat pada soal terkait situasi sehari-hari yang
diberikan. Park (2004) berpendapat bahwa untuk mengukur kemampuan berpikir
kreatif matematis salah satunya dengan memberikan tugas membuat sejumlah
pertanyaan atau pernyataan berdasarkan informasi pada soal-soal yang diberikan.
Soal-soal yang diberikan tersebut disajikan dalam bentuk narasi, grafik, atau
diagram.
Silver (1997) mengemukakan cara lain untuk mengukur kemampuan
berpikir kreatif matematis, yakni dengan soal terbuka (open-ended problem).
Menurut Livne (2008) soal terbuka (open-ended problem) adalah soal yang
memiliki beragam jawaban. Dalam hal ini, aspek-aspek yang diukur adalah
kelancaran, keluwesan, dan kebaruan, dan keterincian. Berikut contoh soal
terbuka pada materi kubus yang dapat mengukur kemampuan berfikir kreatif
matematis siswa:
Perhatikan gambar kubus tertutup ABCD.EFGH berikut ini!

Apabila kubus tersebut digunting menurut rusuk-rusuknya


tanpa ada bagian yang terlepas, ada berapa banyak jaring-
jaring kubus yang terbentuk apabila rusuk EH, FG, AD, dan
BC harus digunting?
Pada soal diatas, ada beberapa variasi jaring-jaring kubus yang dapat
dibuat dengan menggunting rusuk EH, FG, AD, dan BC. Dengan banyaknya
variasi jaring-jaring tersebut, diharapkan dapat melatih kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa. Karena siswa diharuskan untuk memikirkan cara yang
berbeda dalam menggunting rusuk lain agar diperoleh jaring-jaring kubus yang
bervariasi.
Dalam penelitian ini, untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif siswa
digunakan soal terbuka yang dirancang dalam Lembar Aktivitas Siswa
berdasarkan dugaan lintasan belajar yang dapat membantu siswa menyelesaikan
masalah pada soal.

2.1.7. Pengertian Metakognisi


Kemampuan berpikir kreatif matematis tidak dapat dimiliki siswa jika
hanya sekedar menghafal materi pelajaran, namun siswa perlu memahami konsep
pelajaran. Konsep materi pelajaran ini dapat lebih mudah dipahami oleh siswa
40

apabila ia menyadari tentang proses berpikirnya ketika memahami konsep


tersebut. Contohnya ketika siswa mempelajari bangun ruang kubus. Apabila siswa
memiliki kesadaran untuk memikirkan apa itu bangun ruang kubus, maka siswa
akan tahu sejauh mana ia telah mengetahui sifat-sifat kubus, hal-hal apa yang
belum ia ketahui, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan tersebut.
Kesadaran siswa dalam menggunakan pemikirannya untuk merencanakan,
mengontrol, dan menilai proses dan strategi kognitifnya disebut metakognisi.
Metakognisi dapat memantau tahap berpikir siswa agar dapat merefleksi cara dan
hasil berpikirnya. Siswa akan sadar tentang proses berpikirnya dan mengevaluasi
diri sendiri terhadap hasil proses berpikirnya itu, sehingga hal tersebut akan
memudahkan siswa dalam melahirkan ide-ide kreatif yang teruji secara rasional.
Metakognisi pertama kali diperkenalkan oleh John Flavell, seorang
psikologi dari Universitas Stanford pada sekitar tahun 1976. John Flavell (1976)
mendefinisikan metakognisi sebagai kesadaran siswa, pertimbangan, dan
pengkontrolan terhadap proses serta strategi kognitif milik dirinya. Metakognisi
secara etimologi berasal dari dua kata yaitu meta dan kognisi (cognition). Istilah
meta berasal dari bahasa Yunani yang diterjemahkan dengan after, beyond, with,
adjacent adalah sesuatu yang digunakan dalam bahasa Inggris untuk menunjukkan
suatu abstraksi dari suatu konsep. Sedangkan cognition berarti mengetahui (to
know) dan mengenal (to recognize). Kognisi disebut juga gejala-gejala
pengenalan, merupakan “the act or process of knowing including both awareness
and judgement” (Kuntjojo, 2009).
Pengertian metakognisi yang lebih menekankan pada proses berpikir
diungkapkan oleh Wilson dan Clarke (2004) yang mengatakan bahwa metakognisi
merupakan kesadaran siswa akan proses berpikirnya, mengecek kembali proses
berpikirnya, dan mengatur proses berpikirnya. Selanjutnya Wilson
mengungkapkan bahwa kesadaran berpikir seseorang dapat diamati. Sehingga
tingkat kesadaran berpikir siswa dapat diamati pada langkah-langkah yang
dilakukannya dalam menyelesaikan suatu masalah. Weinert dan Kluwe (1987)
menyatakan bahwa metakognisi adalah second-order cognition yang memiliki arti
berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tentang
tindakan-tindakan.
Erat kaitannya dengan pembelajaran, Schraw & Dennison (1994)
mengungkapkan bahwa “metacognition refers to the ability to reflect upon,
41

understand, and control one’s learning”. Metakognisi mengarah pada kemampuan


untuk merefleksikan tentang memahami dan mengontrol belajar seseorang. Lebih
rinci Suherman, et al (2003) menjelaskan metakognisi merupakan suatu
kemampuan untuk menyadari apa yang siswa ketahui tentang dirinya sebagai
pembelajar, sehingga dapat mengontrol serta menyesuaikan perilakunya secara
optimal. Pendapat tersebut sejalan dengan Weinstein & Mayer (1986) yang
menyebutkan bahwa metakognisi berhubungan dengan kesadaran diri siswa
terhadap kemampuannya dalam area pembelajaran tertentu. Siswa mengevaluasi
performanya dalam pembelajaran dan mencoba memperbaikinya dengan cara
yang lebih baik. Dengan memiliki kesadaran untuk mengontrol aktivitas
belajarnya, maka siswa akan mengetahui kemajuan yang telah ia capai begitu pula
dengan kekurangannya, dan siswa akan dapat meningkatkan kemampuannya pada
kegiatan pembelajaran yang akan datang.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa metakognisi
merupakan kesadaran siswa terhadap proses berpikirnya dan mampu merefleksi
kembali proses berpikirnya untuk menemukan apa yang telah ia peroleh dari hasil
berpikir itu kemudian mengatur proses berpikir tersebut agar dapat menemukan
pengetahuan yang belum ia peroleh dari hasil berpikir itu.

2.1.8. Aspek-aspek Metakognisi


Pendekatan pembelajaran metakognitif meliputi beberapa komponen
menurut Elawar (1995) yakni:
a. Introductory Discussion, yakni menanamkan kesadaran kepada siswa
suatu proses bagaimana merancang, memonitor dan mengevaluasi
aktifitas yang dilakukan untuk menentukan solusi dari suatu
permasalahan dengan cara memfokuskan pertanyaan pada pemahaman
masalah.
b. Independent Work, yaitu pengembangan hubungan antara pengetahuan
yang lalu dan sekarang, serta penggunaan strategi penyelesaian masalah
yang tepat.
c. Conclussion, yakni merefleksikan proses dan solusi untuk
menyimpulkan apa yang telah dilakukan dan pengetahuan baru apa
yang diperoleh.
42

Flavel (1976) menjelaskan bahwa pendekatan metakognitif memiliki dua


aspek penting yaitu metacognitive knowledge (kesadaran seseorang akan
pengetahuan diri sendiri) dan metacognitive regulation (kemampuan seseorang
untuk mengelola proses berpikir sendiri). Aspek aktivitas metakognitif yang
dikemukakan oleh Flavell adalah: (1) kesadaran mengenal informasi, (2)
memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana mengerjakannya dengan
mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk
simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan membedakan solusi yang
lebih memungkinkan.
Metakognitif meliputi dua komponen yaitu pengetahuan metakognitif
(metakognitive knowledge); dan pengalaman/regulasi metakognitif (metakognitive
experience or regulation) atau disebut juga strategi metakognitif (Livingston,
1997). Lebih rinci Biryukov (2003) mengemukakan bahwa konsep metakognisi
merupakan dugaan pemikiran seseorang tentang pemikirannya yang meliputi
pengetahuan metakognitif (kesadaran seseorang tentang apa yang diketahuinya),
keterampilan metakognitif (kesadaran seseorang tentang sesuatu yang
dilakukannya) dan pengalaman metakognitif (kesadaran seseorang tentang
kemampuan kognitif yang dimilikinya). Berikut penjelasan aspek-aspek
metakognisi:
a. Pengetahuan Metakognisi
Pengetahuan metakognisi adalah pengetahuan tentang kesadaran berfikir
sendiri dan pengetahuan tentang kapan dan di mana menggunakan strategi.
Pengetahuan metakognisi mengacu pada pengetahuan seseorang tentang
kognisinya sendiri dan kognisi secara umum dalam memori jangka panjang
(Christoph, 2006).
Woolfolk (1995) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua komponen
terpisah yang terkandung dalam pengetahuan metakognisi, yaitu pengetahuan
deklaratif dan prosedural tentang keterampilan, strategi, dan sumber yang
diperlukan untuk melakukan suatu tugas. Mengetahui apa yang dilakukan,
bagaimana melakukannya, mengetahui prasyarat untuk meyakinkan kelengkapan
tugas tersebut, dan mengetahui kapan melakukannya. Lebih rinci Schraw and
Moshman (1995) mengungkapkan bahwa pengetahuan metakognisi dapat dibagi
menjadi tiga bagian yaitu pengetahuan deklaratif (mengetahui apa), pengetahuan
43

prosedural (mengetahui bagaimana) dan pengetahuan kondisional (mengetahui


kapan dan mengapa) .
Pengetahuan deklaratif yaitu pengetahuan tentang diri sendiri sebagai
pebelajar serta pengetahuan tentang strategi, keterampilan dan sumber-sumber
belajar yang dibutuhkannya untuk keperluan belajar. Dengan kata lain
pengetahuan deklaratif menyangkut pengetahuan faktual yang dimiliki siswa
tentang proses kognitifnya. Pengetahuan prosedural yaitu pengetahuan tentang
bagaimana menggunakan segala sesuatu yang telah diketahui dalam pengetahuan
deklaratif dalam aktivitas belajarnya. Pengetahuan prosedural merupakan
pengetahuan siswa tentang bagaimana menerapkan strategi untuk mencapai tujuan
kognitif.
Pengetahuan kondisional yaitu pengetahuan tentang menggunakan suatu
prosedur, keterampilan, atau strategi dan bilamana hal-hal tersebut tidak
digunakan, mengapa suatu prosedur berlangsung dan dalam kondisi yang
bagaimana berlangsungnya, dan mengapa suatu prosedur lebih baik daripada
prosedur-prosedur yang lain. Pengetahuan kondisional menyangkut pengetahuan
tentang kapan dan mengapa menerapkan berbagai jenis strategi pemecahan
masalah. Anderson & Krathwol (2001) menyatakan bahwa pengetahuan strategi
seperti pengetahuan prosedural adalah alat untuk membantu siswa dalam
membangun pemahaman yang kuat terhadap suatu masalah yang diberikan.
Sebagai contoh, siswa diberikan persoalan tentang jaring-jaring kubus
seperti berikut:
Dari gambar bangun datar berikut, manakah yang merupakan jaring-jaring kubus?

A B C D
Dalam memahami soal diatas, pengetahuan deklaratif siswa dapat terlihat
ketika siswa mengajukan pertanyaan pada diri sendiri apakah siswa telah
mengetahui ciri-ciri jaring-jaring kubus dan strategi yang dapat digunakan untuk
memperoleh jawaban dari soal tersebut. Siswa dapat menentukan mana yang
merupakan jaring-jaring kubus dengan menentukan salah satu sisi rangkaian
tersebut sebagai bidang alas (AL). Setelah itu dapat ditentukan bidang-bidang:
atas (AT), kanan (KA), kiri (KI), depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada sisi
44

yang berimpit maka rangkaian enam persegi tersebut merupakan suatu jaring-
jaring kubus. Hal ini merupakan wujud dari pengetahuan prosedural yang
dimiliki siswa. Namun siswa harus dapat memberikan alasan mengapa cara
tersebut dapat digunakan sebagai strategi penyelasaian masalah, ini termasuk
pengetahuan kondisional.
Flavell (1976) menegaskan bahwa pengetahuan metakognisi merupakan
pengetahuan yang diperoleh siswa tentang proses-proses kognitif yaitu
pengetahuan yang bisa digunakan untuk mengontrol proses-proses kognitif.
Flavell sendiri membagi pengetahuan metakognitif menjadi tiga kategori :
(1) Pengetahuan tentang variabel-variabel personal yang berkaitan dengan
pengetahuan bagaimana siswa belajar dan memproses informasi serta
pengetahuan tentang proses-proses belajar yang dimilikinya.
(2) Pengetahuan tentang variabel-variabel tugas, melibatkan pengetahuan
tentang sifat tugas dan jenis pemrosesan yang harus dilakukan dalam
menyelesaikan tugas itu. Dengan kata lain pengetahuan ini menyangkut
pengetahuan bahwa tugas-tugas yang berbeda menuntut pendekatan serta
jenis keterampilan yang berbeda pula untuk menyelesaikannya.
(3) Pengetahuan tentang variabel-variabel strategi melibatkan pengetahuan
kapan dan bagaimana penerapan strategi-strategi itu. Dengan pengetahuan
strategi, seseorang mengetahui strategi metakognitif mana yang akan
digunakan dan kapan digunakan dalam rangka penyelesaian suatu rangkaian
tugas. Pengetahuan strategi membantu pebelajar menjadi efisien dan efektif
dengan memberikan cara untuk menyeleksi strategi metakognitif yang
paling memadai untuk mencapai tujuannya.

b. Keterampilan Metakognisi
Metakognisi memiliki peranan penting dalam mengatur dan mengontrol
proses kognitif seseorang dalam belajar dan berpikir. Jika siswa memahami
keterampilan metakognisi yang dimilikinya maka siswa tersebut dapat dengan
baik menyelesaikan masalah matematika lebih sistematis, analitis, dan efisien.
Brown (1983) mengemukakan bahwa proses atau keterampilan metakognitif
memerlukan operasi mental khusus yang dengannya seseorang dapat memeriksa,
merencanakan, mengatur, memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses
berpikir mereka sendiri.
45

Beberapa indikator yang digunakan dalam keterampilan metakognisi


ditunjukkan oleh Tabel 2.5 berikut:
Tabel 2.5 Indikator Keterampilan Metakognisi

No Level Metakognitif Sublevel Metakognitif


1. Menyadari proses  Menyatakan tujuan
berpikir dan mampu  Mengetahui tentang apa dan bagaimana
 Menyadari bahwa tugas yang diberikan
menggambarkannya
membutuhkan banyak referensi
 Menyadari kemampuan sendiri dalam
mengerjakan tugas
 Mengidentifikasi informasi
 Merancang apa yang akan dipelajari
2. Mengembangkan  Memikirkan tujuan yang telah ditetapkan
pengenalan strategi  Mengelaborasi informasi dari berbagai

berpikir sumber
 Mengetahui bahwa strategi elaborasi
meningkatkan pemahaman
 Memikirkan bagaimana orang lain
memikirkan tugas
3. Merefleksi prosedur  Menilai pencapaian tujuan
secara evaluatif  Menyusun dan menginterpretasi data
 Mengatasi hambatan dalam pemecahan
masalah
 Mengidentifikasi sumber-sumber kesalahan
dari data yang diperoleh
4. Metransfer  Menggunakan prosedur/cara yang berbeda
pengalaman untuk penyelesaian masalah yang sama
pengetahuan pada  Menggunakan prosedur/cara yang sama untuk

konteks lain penyelesaian masalah lain


 Mengembangkan prosedur/cara untuk
masalah yang sama
 Mengaplikasikan pengalamannya pada situasi
yang baru
5. Menghubungkan  Menganalisis kompleksnya masalah
pemahaman  Menyeleksi informasi penting yang

konseptual dengan digunakan dalam pemecahan masalah


 Memikirkan proses berpikirnya selama
pengalaman
pemecahan masalah
prosedural
46

Sumber : (Iskandar, 2014:16)


Seseorang yang memiliki keterampilan metakognitif adalah seseorang
yang memiliki kemampuan menyusun strategi yang efektif, mengontrol strategi
kognitif, memotivasi diri, memiliki kepercayaan diri yang baik serta kemandirian
belajar (Nindiasari, 2013). Siswa mengetahui dengan baik segala kekurangannya
dalam belajar dan berusaha untuk menyempurnakan kekurangan itu dengan
memotivasi diri agar terus belajar. Erat kaitannya dengan keberhasilan
pembelajaran, keterampilan metakognitif dalam diri siswa perlu dimunculkan agar
siswa dapat mencapai tujuan kognitif secara maksimal tetapi tidak melupakan
proses kognitif yang dilaluinya.
c. Pengalaman Metakognisi (Regulasi Metakognisi)
Regulasi metakognisi mengacu pada aktivitas siswa dalam mengarahkan
belajarnya dan proses pemecahan masalah (Christoph, 2006). Pengalaman
metakognitif melibatkan penggunaan strategi metakognitif. Strategi metakognitif
adalah proses sekuensial untuk mengontrol aktivitas kognitif dan memastikan
bahwa tujuan kognitif telah dipenuhi. Strategi yang dapat digunakan untuk
mengontrol langkah-langkah metakognisi meliputi: proses perencanaan,
pemantauan, dan penilaian.
Menurut Schraw & Moshman (1995) ada tiga komponen pengalaman
metakognitif yaitu perencanaan, evaluasi, dan pemantauan. Perencanaan meliputi
menetapkan tujuan, mengaktifkan sumber daya yang relevan (termasuk waktu
anggaran) dan memilih strategi yang tepat. Evaluasi adalah menentukan tingkat
pemahaman seseorang dan bagaimana memilih strategi yang tepat. Pemantauan
melibatkan memeriksa kemajuan seseorang dan memilih strategi perbaikan yang
tepat ketika strategi yang dipilih tidak bekerja.
Tidak jauh berbeda, menurut Flavell (1976) metakognisi membantu untuk
mengatur dan mengawasi belajar siswa yang terdiri dari: (1) perencanaan
(planning), yaitu kemampuan merencanakan aktivitas belajarnya; (2) strategi
mengelola informasi (information management strategies), yaitu kemampuan
strategi mengelola informasi berkenaan dengan proses belajar yang dilakukan; (3)
memonitor secara komprehensif (comprehension monitoring), yaitu kemampuan
dalam memonitor proses belajarnya dan hal-hal yang berhubungan dengan proses;
(4) strategi debugging (debugging strategies), yaitu strategi yang digunakan untuk
membetulkan tindakan-tindakan yang salah dalam belajar; dan (5) evaluasi
47

(evaluation), yaitu mengevaluasi efektivitas strategi belajar, apakah ia akan


mengubah strategi, menyerah pada keadaan, atau mengakhiri kegiatan tersebut.
NCREL (1995) mengidentifikasi proses metakognisi menjadi tiga
kelompok.
1. Mengembangkan rencana tindakan dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
berikut.
a. Pengetahuan awal apakah yang akan menolong saya mengerjakan tugas-
tugas?
b. Dengan cara apakah saya mengarahkan pikiran saya?
c. Pertama kali saya harus melakukan apa?
d. Mengapa saya membaca bagian ini?
e. Berapa lama saya menyelesaikan tugas ini?
2. Memantau rencana tindakan, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Bagaimana saya melakukan tindakan?
b. Apakah saya berada pada jalur yang benar?
c. Bagaimana seharusnya saya melakukan?
d. Informasi apakah yang penting untuk diingat?
e. Haruskah saya melakukan dengan cara berbeda?
f. Haruskah saya menyesuaikan langkah-langkah tindakan dengan tingkat
kesukaran?
g. Jika tidak memahami, apakah yang perlu dilakukan?
3. Mengevaluasi rencana tindakan, meliputi pertanyaan-pertanyaan berikut.
a. Seberapa baik saya telah melakukan tindakan?
b. Apakah cara berpikir saya menghasilkan sesuai dengan harapan saya?
c. Apakah saya telah melakukan secara berbeda?
d. Bagaimana saya menerapkan cara berpikir ini terhadap masalah yang lain?
e. Apakah saya perlu kembali mengerjakan tugas ini untuk mengisi
kekosongan pemahaman saya?
Dengan melakukan kegiatan bertanya pada diri sendiri dapat membantu
siswa menyadari proses berpikir dan apa yang telah dilakukannya. Sehingga
apabila keterampilan menyadari apa yang telah dipikirkan ini dilatih secara
kontinu, dapat berimplikasi positif pada perkembangan kognitif siswa.
48

2.1.9. Pendekatan Metakognitif


Dalam banyak kasus tidak semua siswa memiliki kesadaran tentang
memikirkan apa yang telah ia peroleh selama proses pembelajaran. Guru harus
dapat menumbuhkan kesadaran siswa dalam melakukan aktivitas pembelajaran
sehingga siswa tidak hanya memiliki keterampilan melakukan sesuatu tetapi harus
memahami mengapa aktivitas itu dilakukan dan apa implikasinya. Guru tidak
hanya memberikan penekanan pada pencapaian tujuan kognitif saja tetapi juga
harus memperhatikan dimensi proses kognitif, khususnya pengetahuan
metakognitif dan keterampilan metakognitif.
Proses pembelajaran matematika harus dapat melibatkan proses dan
aktivitas berpikir siswa secara aktif dengan mengembangkan perilaku
metakognitif. Salah satunya dengan menerapkan pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif. Pendekatan adalah jalan atau arah yang ditempuh oleh guru atau
siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran dilihat bagaimana materi itu disajikan.
Dilihat dari pendekatannya, terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran, yaitu: (1)
pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa (student
centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau
berpusat pada guru (teacher centered approach).
Pendekatan metakognitif ini merupakan pendekatan pembelajaran yang
berpusat pada siswa. Sebab difokuskan kepada proses berpikir siswa yang
selanjutnya siswa tersebut mampu untuk mengontrol dan mengevaluasi proses
berpikirnya. Suzana (2004: B4-3) mendefinisikan pembelajaran dengan
pendekatan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran
bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka
ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya.
Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif menitikberatkan pada aktivitas
belajar siswa, membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan, serta
membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan saat
belajar matematika.
Pendapat tersebut sejalan dengan Halter (2013) yang menyatakan bahwa
pendekatan metakognitif dapat mengontrol kesadaran dalam belajar,
merencanakan dan memilih strategi, memonitor kemajuan belajar, mengoreksi
kesalahan, menganalisis efektivitas strategi belajar, dan merubah tingkah laku
49

belajar dan strategi sesuai kebutuhan. Kim (1998) mengungkapkan bahwa


pendekatan metakognitif melibatkan kemampuan berpikir dalam menentukan
strategi, merencanakan, menetapkan tujuan, mengatur ide-ide, dan mengevaluasi
apa yang diketahui dan tidak diketahui. Lebih lanjut Kim juga mengatakan bahwa
pendekatan metakognitif membuat proses berpikir lebih terlihat.
Ada dua konteks yang mesti dipahami agar siswa mampu belajar secara
baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan
metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan strategi kognitif dan
strategi kognitif metakognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut
Hartono (Nindiasari, 2004), pengertian strategi kognitif adalah penggunaan
keterampilan-keterampilan intelektual secara tepat oleh seseorang dalam
mengorganisasi aturan-aturan ketika menanggapi dan menyelesaikan soal,
sedangkan strategi kognitif metakognitif adalah mengontrol seluruh aktivitas
belajarnya, bila perlu memodifikasi strategi yang biasa digunakan untuk mencapai
tujuan. Bila diterapkan dalam belajar, anak bertanya pada dirinya sendiri untuk
menguji pemahamannya tentang materi yang dipelajari.
Kegiatan-kegiatan metakognitif dalam pembelajaran muncul melalui
empat situasi, yaitu: (1) siswa diminta untuk menjustifikasi suatu kesimpulan atau
mempertahankan sanggahan; (2) situasi kognitif dalam menghadapi suatu masalah
membuka peluang untuk merumuskan pertanyaan; (3) siswa diminta untuk
membuat kesimpulan, pertimbangan dan keputusan yang benar sehingga
diperlukan kehati-hatian dalam memantau dan mengatur proses kognitifnya; dan
(4) situasi siswa dalam kegiatan kognitif mengalami kesulitan, misalnya dalam
pemecahan masalah.
Pendekatan metakognitif memiliki ciri utama yaitu guru menyadarkan
kemampuan metakognitif siswa dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan
metakognitif berisi pemahaman masalah, perencanaan penyelesaian masalah dan
meriview hasil penyelesaian masalah (Nindiasari, 2013). Pertanyaan metakognitif
adalah pertanyaan-pertanyaan yang di dalamnya terdapat tiga jenis pertanyaan
yaitu pertanyaan pemahaman, pertanyaan koneksi dan pertanyaan strategi (Masni,
2015). Dengan pengajuan pertanyaan metakognitif, siswa akan mampu memantau
50

proses berpikirnya sehingga secara tidak langsung siswa telah mampu


mengembangkan pengaturan diri (self regulation).
Menurut Murni (2013), kegiatan guru dalam menumbuhkan metakognisi
siswa dalam pembelajaran matematika dapat dilakukan dengan: (1) Guru sebagai
fasilitator yang mendukung dan membantu siswa agar dapat mengontrol proses
dan aktivitas berpikirnya, memilih strategi pemecahan masalah, melakukan
evaluasi diri, melakukan refleksi diri, dan tidah mudah menyerah, (2) Bersama
siswa mengecek kebenaran jawaban siswa dan memberi penghargaan, (3)
Meminta siswa menuliskan catatan harian tentang pengalaman mengikuti
pembelajaran, (4) Memodelkan perilaku metakognitif dalam pembelajaran.
Selanjutnya kegiatan siswa dapat dilakukan dengan hal-hal berikut: (1)
Mengontrol proses berpikir tentang pengetahuan dan strategi pemecahan masalah,
(2) Menyatakan proses berpikir dalam diskusi, (3) Membuat rencana kegiatan
belajar seperti mengatur waktu, bahan ajar, prosedur pemecahan masalah dan
sebagainya, (4) Membuat catatan harian, (5) Mengevaluasi keberhasilan aktivitas
pembelajaran.
Hargrove (2007) mengatakan bahwa metakognisi sebagai pengetahuan
tentang regulasi proses kognitif diri sendiri merupakan penyaluran yang logis
untuk mengembangkan pemecahan masalah secara kreatif di kelas. (Hargrove,
2007) juga menyarankan bahwa panduan pembelajaran dengan pendekatan
metakognitif dapat meningkatkan potensi siswa untuk berpikir kreatif.
Metakognitif bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena memuat
unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh kembangnya
kemampuan inkuiri dan kreativitas. Penggunaan proses metakognitif selama
pembelajaran, akan membantu siswa agar mampu memperoleh pembelajaran yang
bertahan lama dalam ingatan dan pemahaman siswa.
Pendekatan keterampilan metakognitif sangat baik diterapkan dalam
proses pembelajaran di kelas, karena dengan penerapan pendekatan ini terdapat
pengaruh strategi metakognitif terhadap keterampilan berpikir tingkat tinggi
siswa. Hal ini dibuktikan bahwa keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa yang
memiliki strategi metakognitif tinggi ada perbedaan yang signifikan secara
statistik dengan siswa yang memiliki strategi metakognitif rendah (Iskandar,
2014 : 16). Salah satu kemampuan berpikir tingkat tinggi termasuk didalamnya
51

kemampuan berpikir kreatif. Dengan memilih pendekatan metakognitif


diharapkan guru dapat membimbing peserta didik untuk menyadari alur
berpikirnya dan mengontrol proses kognitifnya, sehingga kemampuan berpikir
kreatif siswa dapat meningkat.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa pendekatan
metakognitif merupakan pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa yang
dapat mengontrol kesadaran dalam belajar, merencanakan dan memilih strategi,
memonitor kemajuan belajar, menganalisis efektivitas strategi belajar, dan
merubah strategi belajar sesuai kebutuhan.

2.1.10. Langkah-Langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif


Guru dapat menerapkan pendekatan keterampilan metakognitif yang
terdiri dari: 1) penetapan tujuan pembelajaran; 2) bagaimana cara mencapai
tujuan; 3) pengecekan apakah tujuan sudah tercapai, apabila belum tercapai
bagaimana cara mengatasinya; dan 4) evaluasi menyeluruh. Dengan menerapkan
keterampilan metakognitif maka siswa diharapkan dapat mengontrol proses
konstruk pengetahuan (Iskandar dan Fitriyah, 2013).
Secara lebih rinci prosedur pembelajaran dengan pendekatan metakognitif
yang diadopsi dan dikombinasikan antara model Mayer dan metode IMPROVE
(dalam Fauzi, 2010:9 ) adalah dengan menyajikan proses pembelajaran dalam tiga
tahapan, yaitu :
1. Tahap pertama adalah diskusi awal
a. Pada tahap ini guru, menjelaskan tujuan umum mengenai topik yang akan
dan sedang dipelajari.
b. Guru membentuk kelompok belajar yang terdiri dari 4-5 siswa, kemudian
setiap siswa menerima bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS).
Proses penanaman konsep berlangsung dengan menjawab pertanyaan-
pertanyaan yang tertera dalam bahan ajar tersebut. Kesalahan siswa dalam
memahami konsep, diminimalisir dengan intervensi guru dengan
membimbing siswa untuk memahami konsep tanpa memberikan bentuk
akhir begitu saja.
c. Siswa dibimbing untuk menanamkan kesadaran dengan bertanya pada diri
sendiri saat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam bahan
ajar untuk menemukan konsep dasar atau mengantarkan ke konsep baru.
52

d. Pada akhir proses pemahaman konsep, diharapkan siswa dapat memahami


semua materi pelajaran dan menyadari akan apa yang telah dilakukannya,
bagaimana melakukannya, bagian mana yang belum di pahami, pertanyaan
seperti apa yang belum terjawab, bagaimana cara menemukan solusi
dengan berbagai cara dari pertanyaan tersebut.
2. Tahap kedua adalah siswa bekerja secara mandiri berlatih mengajukan
dan menjawab pertanyaan metakognisinya dalam menyelesaikan masalah
matematis.
a. Siswa diberikan persoalan dengan topik yang sama dan mengerjakannya
secara individual.
b. Guru memantau pekerjaan siswa dan memberi feedback secara
interpersonal kepada siswa. Feedback metakognitif akan menuntun siswa
untuk memusatkan perhatiannya pada kesalahan yang ia lakukan dan
memberi petunjuk agar siswa dapat mengoreksi kesalahannya tersebut.
c. Guru membantu siswa mengawasi cara berpikirnya, tidak hanya
memberikan jawaban benar ketika siswa membuat kesalahan.
3. Tahap ketiga adalah membuat simpulan atas apa yang dilakukan di kelas
dengan menjawab pertanyaan.
a. Mendiskusikan jawaban yang dibuat siswa dengan teman sekelompoknya,
apakah jawabannya sudah benar, diskusikan permasalahan di depan kelas
(permasalahan yang dianggap guru penting). Hal ini diperlukan untuk
memperkaya dan mendalami lebih jauh tentang topik yang dikaji, bisa
dikategorikan untuk mengembangkan berpikir kreatif siswa yang sangat
dibutuhkan dalam pemecahan masalah matematis.
b. Penyimpulan yang dilakukan siswa merupakan rekapitulasi dari apa yang
dilakukan di kelas. Pada tahap ini siswa menyimpulkan sendiri dan guru
membimbing dengan memberi pertanyaan-pertanyaan menggiring
(promting questions) atau pertanyaan-pertanyaan menggali (probing
questions) sehingga siswa menyadari akan kemampuan kognitif yang
dimilikinya.

2.1.11. Tingkat-tingkat Metakognisi


Untuk meningkatkan keterampilan metakognisi diperlukan adanya
kesadaran yang harus dimiliki siswa pada setiap langkah berpikirnya. Namun
setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda-beda dalam menghadapi
53

masalah. Berikut ini tingkat kesadaran siswa dalam berpikir ketika menyelesaikan
suatu masalah oleh Swartz dan Perkins (1989), yaitu:
1. Tacit use adalah penggunaan pemikiran tanpa kesadaran. Jenis pemikiran
yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tanpa berpikir tentang
keputusan tersebut. Dalam hal ini, siswa menerapkan strategi atau
keterampilan tanpa kesadaran khusus atau melalui coba-coba dan asal
menjawab dalam memecahkan masalah.
2. Aware use adalah penggunaan pemikiran dengan kesadaran. Jenis pemikiran
yang berkaitan dengan kesadaran siswa mengenai apa dan mengapa siswa
melakukan pemikiran tersebut. Dalam hal ini, siswa menyadari bahwa ia
harus menggunakan suatu langkah penyelesaian masalah dengan memberikan
penjelasan mengapa ia memilih penggunaan langkah tersebut.
3. Strategic use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat strategis. Jenis
pemikiran yang berkaitan dengan pengaturan individu dalam proses
berpikirnya secara sadar dengan menggunakan strategi-strategi khusus yang
dapat meningkatkan ketepatan berpikirnya. Dalam hal ini, siswa sadar dan
mampu menyeleksi strategi atau keterampilan khusus untuk menyelesaikan
masalah.
4. Reflective use adalah penggunaan pemikiran yang bersifat reflektif. Jenis
pemikiran yang berkaitan dengan refleksi individu dalam proses berpikirnya
sebelum dan sesudah atau bahkan selama proses berlangsung dengan
mempertimbangkan kelanjutan dan perbaikan hasil pemikirannya. Dalam hal
ini, siswa menyadari dan memperbaiki kesalahan yang dilakukan dalam
langkah-langkah penyelesaian masalah.
Lain halnya dengan Sperling, dkk (2002) yang menyebutkan bahwa siswa
yang memiki metakognisi tinggi adalah siswa yang memfokuskan perhatian,
belajar dengan sengaja, membuat rencana belajar, dapat menilai performa dirinya
sendiri secara akurat, dan bertanya untuk memastikan pemahamannya. Sedangkan
siswa yang memiliki metakognisi rendah adalah siswa yang perhatiannya acak,
belajar dengan sembarangan, tidak membuat perencanaan belajar, tidak dapat
menilai performa dirinya sendiri secara akurat, dan mengerjakan sesuatu tanpa
54

pemahaman. Dengan demikian guru perlu memunculkan kemampuan metakognisi


siswa dan melatihnya pada proses pembelajaran.

2.1.12. Lintasan Belajar


Tingkat perkembangan kognitif siswa dalam satu kelas tentu berbeda-beda.
Menurut Soedjadi (2007 : 31) secara umum perkembangan kemampuan kognitif
anak mulai dengan hal yang konkrit secara bertahap mengarah ke hal yang
abstrak. Bagi setiap anak perjalanan dari konkrit ke abstrak dapat saja berbeda.
Ada yang cepat dan ada yang lamban sekali. Bagi yang cepat mungkin tidak
memerlukan banyak tahapan, tetapi bagi yang tidak cepat, tidak mustahil perlu
melalui banyak tahapan. Dengan demikian bagi setiap anak mungkin saja
memerlukan learning trajectory atau alur belajar yang berbeda. Selanjutnya
Soedjadi memberikan sebuah ilustrasi tentang alur belajar (learning trajectory)
seperti gambar berikut:

Gambar 2.1. Sebuah Ilustrasi tentang Alur Belajar


(Sumber : Nurdin, 2011:4)
Alur belajar tersebut atau yang lebih dikenal sebagai lintasan belajar dapat
membantu guru dalam menetapkan tujuan pembelajaran, kemudian merencanakan
langkah-langkah pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran
tersebut. Pentingnya lintasan belajar bisa dianalogikan dengan perencanaan rute
perjalanan. Jika kita memahami rute-rute yang mungkin untuk menuju tujuan, kita
bisa memilih rute terbaik untuk menuju tujuan kita (Wijaya, 2009). Dengan
mengetahui lintasan belajar siswa, guru bisa mendapatkan lintasan belajar yang
tepat untuk digunakan dalam membantu siswa memahami sebuah konsep.
Istilah “learning trajectory” atau lintasan belajar digunakan untuk
menggambarkan transformasi belajar yang dihasilkan dari partisipasi dalam
55

aktivitas belajar matematika. Lintasan belajar matematika diajukan oleh Sarama


dan Clements (2009) pada pembelajaran konsep pengukuran panjang yang
dirancang dari penelitian berbasis teori yang telah dikembangkan dari teori belajar
Piaget dan Vygotski. Sarama dan Clements (2009) menyatakan bahwa
Mathematichal Learning Trajectory terdiri dari tiga bagian: Math learning
trajectories have three parts: a mathematical goal, a developmental path along
which children’s math knowledge grows to reach that goal, and a set of
instructional tasks, or activities, for each level of children’s understanding along
that path to help them become proficient in that level before moving on to the next
level.
Lintasan belajar matematika mempunyai tiga bagian penting yakni: tujuan
pembelajaran matematika yang ingin dicapai, lintasan perkembangan yang akan
dikembangkan oleh siswa dalam mencapai tujuan pembelajaran, dan seperangkat
kegiatan pembelajaran ataupun tugas-tugas, yang sesuai dengan tingkatan berpikir
pada lintasan perkembangan yang akan membantu anak dalam mengembangkan
proses berpikirnya bahkan sampai pada proses berpikir tingkat tinggi.
Simon (1995) mengajukan konsep tentang hypothetical learning trajectory
sebagai berikut.
“A hypothetical learning trajectory provides the teacher with a rationale
for choosing a particular instructional design; thus, I (as a teacher) make
my design decisions based on my best guess of how learning might
proceed. This can be seen in the thinking and planning that preceded my
instructional interventions … as well as the spontaneous decisions that I
make in response to students’ thinking.
Bagian dari lintasan cenderung fleksibel. Tujuan belajar dan aktivitas
disesuaikan dengan persepsi tingkat pemahaman siswa. Evaluasi dilakukan secara
terus menerus terhadap kinerja tugas kelas dari siswa. Jadi lintasan belajar yang
sebenarnya tidak dapat diketahui terlebih dahulu. Tujuan pembelajaran akan
menentukan arah belajar-mengajar yang diinginkan. Kegiatan yang akan
dilakukan oleh guru dan siswa menjadi prediksi tentang bagaimana pemikiran dan
pemahaman siswa akan berkembang dalam konteks belajar.
Sebuah lintasan belajar dapat memberikan petunjuk bagi guru untuk
menentukan tujuan pembelajaran yang akan dicapai. Selanjutnya guru dapat
membuat keputusan tentang strategi yang akan digunakan untuk mewujudkan
56

tujuan tersebut. Sebelum menentukan langkah-langkah yang akan ditempuh dalam


pembelajaran, guru harus memiliki informasi tentang pengetahuan prasyarat,
strategi berpikir yang digunakan siswa, level berpikir yang mereka tunjukkan dan
bagaimana variasi aktivitas yang dapat menolong mereka mengembangkan
pemikiran yang dibutukan untuk tujuannya tersebut. Dengan mengetahui level dan
alur berpikir yang dimiliki siswa, dalam proses pembelajaran kita dapat
mengetahui mana yang harus didahulukan dalam proses pengembangan alur
belajarnya.
Dengan analogi yang sama, hypothetical learning trajectory dapat
digunakan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif matematis siswa.
Guru perlu membuat dugaan rute perjalanan yang akan ditempuh sehingga
memungkinan siswa memunculkan ide atau gagasan kreatifnya. Sebab
kemampuan awal siswa di dalam kelas berbeda-beda, sehingga dengan bantuan
dugaan lintasan belajar yang dibuat oleh guru diharapkan dapat diikuti oleh
seluruh siswa di dalam kelas. Baik oleh siswa yang kemampuannya rendah,
sedang, ataupun tinggi. Dengan demikian kemampuan berpikir kreatif matematis
siswa dapat dilatih sesuai tujuan pembelajaran yang dibuat oleh guru.
Berikut ini adalah sebuah siklus pembelajaran yang memuat alur belajar
yang dikonstruk oleh guru untuk perencanaan pembelajaran yang mengacu pada:
(a) tujuan belajar, (b) pengaturan pembelajaran dan aktivitas, dan (c) proses
belajar yang mungkin untuk melibatkan peserta didik secara aktif.

Gambar 2.2 Siklus pembelajaran matematika menurut Simon


(Sumber : Nurdin, 2011:6)
Simon memberikan ilustrasi bahwa pada saat kita menemui masalah dalam
kehidupan sehari-hari, kita akan mencoba menyelesaikan masalah tersebut
menurut cara yang mampu kita lakukan atau pengetahuan yang kita miliki.
57

Namun dalam proses menyelesaikan masalah kita harus secara konstan melakukan
penyesuaian terhadap kendala yang dihadapi. Oleh karena itu kita terus menerus
berusaha untuk memperoleh pengetahuan tentang cara memecahkan masalah
maupun tentang kendala yang ditemui. Berdasarkan hal tersebut mungkin kita
akan mengubah cara menyelesaikan masalah berkenaan dengan tujuan untuk
memecahkan masalah. Kita dapat memodifikasi cara atau strategi yang dilakukan
sebagai hasil interaksi dengan orang lain yang kita tanya selama proses
pemecahan masalah. Kita dapat menambahkan tujuan-tujuan baru yang mana
tujuan baru itu tidak diketahui sebelum proses pemecahan masalah. Proses
pemecahan masalah yang secara aktual kita lalui itulah yang disebut dengan
proses belajar sebenarnya. Strategi yang kita ubah pada saat tertentu dalam proses
pemecahan masalah itulah yang disebut disebut proses belajar hipotetik.
Berdasarkan uraian diatas, Gambar 2.2 menunjukkan bahwa alur belajar
memberikan gambaran secara utuh tentang apa yang terjadi atau yang kita temui
saat berinteraksi dengan lingkungan. Dengan demikian dalam pemecahan masalah
sebuah alur belajar akan memberikan gambaran tentang pengetahuan prasyarat
yang telah dimiliki peserta didik (sebagai titik start) dan setiap langkah dari satu
titik ke titik berikutnya menggambarkan proses berpikir yang mereka gunakan,
metode yang mereka pakai, ataupun tingkat-tingkat berpikir yang mereka
tunjukkan.
Pada waktu menyusun dugaan proses pembelajaran di kelas, guru perlu
memprediksi perkembangan pengetahuan matematika di kelas dan pemahaman
atau strategi siswa yang mungkin muncul sebagaimana yang terjadi pada waktu
kegiatan pembelajaran sesungguhnya (Simonson, 2006). Suatu lintasan belajar
disediakan oleh guru harus didasarkan pada pemikiran untuk memilih desain
pembelajaran khusus, sehingga hasil belajar terbaik sangat mungkin untuk
dicapai. Hal ini dapat terlihat dalam pemikiran dan perencanaan yang terjadi
dalam pengajaran, termasuk respon spontan yang dibuat dalam menanggapi
pemikiran siswa.
Pengajuan learning trajectory dapat hanya berupa hipotesis, karena
pengalaman guru membuat keputusan dan mengadaptasi aspek-aspek dari
aktivitas yang direncanakan dalam respon adalah untuk membuktikan pemikiran
dan belajar yang dilakukan siswa, perbedaan aspek dan tingkat pemahaman akan
58

menjadi jelas terlihat bagi guru. Selain itu istilah hipotesis digunakan agar guru
menjadi fleksibel dalam merubah arah pembelajaran dan mengadaptasi aspek-
aspek aktivitas yang telah direncanakan dalam menanggapi respon siswa
sepanjang pembelajaran. Oleh karena learning trajectory yang dirancang masih
berupa dugaan maka disebut dengan Hypothetical Learning Trajectory.
(Risnanosanti, 2012 : MP-745)
Tidak jauh berbeda dengan pendapat Hadi (2006), alur belajar hipotetik
adalah dugaan seorang desainer atau seorang peneliti mengenai kemungkinan alur
belajar yang terjadi di kelas pada saat merancang pembelajaran. Karena bersifat
hipotetik tentu tidak selalu benar. Pada kenyataannya memang banyak salah
karena apa yang terjadi di kelas sering tak terduga. Setelah peneliti melakukan uji
coba, diperoleh alur pembelajaran yang sebenarnya, itulah yang disebut dengan
alur belajar. Pada siklus pembelajaran berikutnya alur belajar tadi dapat dijadikan
sebagai sebuah alur belajar hipotetik yang baru.
Berdasarkan uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa lintasan belajar
merupakan barisan aktivitas yang dilalui siswa dalam mencapai tujuan
pembelajaran. Pada penelitian ini lintasan belajar yang dirancang oleh peneliti
dalam LAS mencerminkan keterampilan metakognisi siswa untuk mengukur
kemampuan berpikir kreatif matematis. Adapun keterampilan metakognisi yang
dimaksud yaitu meliputi perencanaan strategi untuk memperoleh solusi
penyelesaian, kemampuan mengelola informasi yang berkenaan dengan solusi,
memonitor (mengontrol) solusi yang didapatkan, membetulkan tindakan yang
salah dalam mencapai solusi dan mengevaluasi efektivitas solusi yang diperoleh.
Dengan demikian, dapat didefinisikan lintasan belajar berpikir kreatif pada
penerapan pendekatan metakognitif merupakan dugaan terhadap rute (alur) belajar
yang dilalui siswa untuk memcapai tujuan pembelajaran dengan cara melewati
setiap tahapan proses berpikir kreatif melalui kegiatan orientasi masalah,
merencanakan solusi penyelesaian, memonitoring (mengontrol) solusi yang
diperoleh, dan merefleksi (mengevaluasi) solusi yang lebih memungkinkan.
Lintasan belajar berpikir kreatif pada penerapan pendekatan metakognitif
dimulai dengan merencanakan tindakan, memantau rencana tindakan, dan
mengevaluasi rencana tindakan. Tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan
belajar dengan pendekatan metakognitif dari “merencanakan tindakan
penyelesaian masalah menuju memantau rencana tindakan” diduga adalah
59

persiapan, inkubasi, dan iluminasi. Pada tahap persiapan, hal yang dapat
dilakukan siswa adalah: (1) mengamati masalah, (2) memahami masalah; (3)
memperoleh informasi, dan (4) mengajukan pertanyaan.
Pada tahap inkubasi, dua hal penting yang dilakukan siswa adalah
menenangkan diri dan mengalami kebuntuan berpikir. Karena mengalami
kebuntuan berpikir, hal yang mungkin dapat dilakukan siswa adalah: (1)
mengamati dan memahami kembali tahap persiapan, (2) mengingat pengetahuan
yang dimiliki, (3) mencoba memunculkan ide yang belum sempurna. Pada tahap
iluminasi, hal yang dapat dilakukan siswa ialah: (1) menemukan ide-ide yang
dapat digunakan untuk memecahkan masalah, (2) menerapkan strategi
penyelesaian masalah.
Selanjutnya tahapan proses berpikir kreatif pada lintasan belajar dengan
pendekatan metakognitif dari “memantau rencana tindakan menuju mengevaluasi
rencana tindakan” ialah verifikasi. Ketika memantau rencana tindakan, siswa
memeriksa penerapan ide kreatif yang apakah sesuai untuk menyelesaikan
masalah. Apabila tidak sesuai, siswa perlu memilih strategi perbaikan yang tepat
ketika strategi yang dipilih sebelumnya tidak bekerja. Saat kondisi seperti ini,
tahap verifikasi diperlukan untuk evaluasi terhadap rencana tindakan. Pada tahap
verifikasi siswa melakukan: (1) pemeriksaan hasil penyelesaian masalah dengan
cara mendiskusikan ide kreatifnya dengan guru atau teman sebagai proses koreksi,
(2) mengecek kembali proses pembentukan ide kreatif, mulai dari tahap persiapan
sampai iluminasi (3) merevisi hasil penyelesaian masalah yang salah, (4)
menelusuri kembali informasi yang berkenaan dengan penyelesaian masalah
untuk proses evaluasi.
Pada lintasan belajar dengan pendekatan metakognitif “mengevaluasi
rencana tindakan”, siswa mengevaluasi efektivitas strategi pemecahan masalah
yang diterapkan sebelumnya. Apabila strategi pemecahan masalah yang
diterapkan sudah sesuai dengan tujuan, maka akan diperoleh hasil pemecahan
masalah. Namun jika sebaliknya, maka siswa akan melakukan pemantauan
kembali terhadap strategi penyelesaian masalah.
Berdasarkan uraian diatas, lintasan belajar berpikir kreatif dengan
penerapan pendekatan metakognitif dapat dilihat pada Gambar 2.3 dibawah ini.
60

Gambar 2.3. Lintasan Belajar Berpikir Kreatif


2.1.13. Teori Belajar yang Mendukung
1. Teori Belajar Piaget
Piaget terkenal dengan teori perkembangan kognitifnya. Ia memaparkan
bahwa terkait dengan perkembangan usia, maka kemampuan kognitif anak juga
berkembang. Piaget kemudian membagi perkembangan kognitif anak dalam
empat tahap:
(1) Tahap sensori motorik yaitu sejak lahir hingga anak berusia 2 tahun,
(2) Tahap praoperasional konkrit yaitu sejak usia 2 tahun hingga 7 tahun,
(3) Tahap operasional konkrit yaitu sejak usia 7 tahun hingga 11 tahun, dan
(4) Tahap operasional formal yaitu sejak usia 11 tahun dan seterusnya.
Perkembangan kognitif yang dipengaruhi oleh usia inilah yang kemudian
menjadi acuan pembelajaran matematika. Pemahaman bahwa anak-anak perlu
kapasitas struktur kognitif tertentu untuk mempelajari matematika pada tingkat
tertentu berimplikasi pada strategi mengajar guru. Misalnya, anak pada taraf
berpikir operasional konkrit maka materi matematika hendaknya dihadirkan
melalui objek konkrit yang dapat dimanipulasi oleh siswa. Dengan demikian,
belajar matematika menurut teori Piaget perlu disesuaikan dengan taraf
perkembangan kognitif individu.
Bagi pembelajaran matematika, teori Piaget jelas sangat relevan, karena
dengan menggunakan teori ini, guru dapat mengetahui adanya tahap
61

perkembangan tertentu pada kemampuan berpikir anak di kelas. Dengan demikian


guru bisa memberikan perlakuan yang tepat bagi siswanya, misalnya dalam
memilih cara penyampaian materi bagi siswa, penyediaan alat-alat peraga dan
sebagainya, sesuai dengan tahap perkembangan kemampuan berpikir yang
dimiliki oleh siswa masing-masing. Guru perlu mencermati apakah symbol-
simbol matematika yang digunakan guru dalam mengajar cukup mudah dipahami
siswa, dengan mengingat tingkat kemampuan berpikir yang dimiliki oleh masing-
masing siswa.
Dalam kaitannya dengan epistemologi, Piaget berpendapat bahwa anak
membentuk pengetahuan melalui eksplorasi lingkungan secara aktif. Problem
pembelajaran matematika di Indonesia yang cenderung individual dapat direduksi
dengan mengelola pembelajaran yang memungkinkan anak untuk berinteraksi
sosial. Namun, guru harus mempertimbangkan jenis dan model interaksi yang
sesuai dengan taraf berpikir anak.
Konsep Piaget yang mendasari dalam penelitian ini adalah bahwa siswa
dalam proses menemukan ide-ide kreatif harus melalui tahapan-tahapan sesuai
tingkat perkembangan kognitif siswa yang tercermin oleh lintasan belajar yang
akan dirancang dalam LAS. Dengan pendekatan metakognitif memungkinkan
siswa untuk berinteraksi dengan siswa lainnya dalam proses berpikir kreatif
melalui kegiatan diskusi, belajar mandiri, dan membuat kesimpulan atas apa yang
telah dipelajari dengan menerapkan keterampilan metakognisi.

2. Teori Belajar Vygotsky


Perkembangan kognitif dalam pandangan Vygotsky diperoleh melalui dua
jalur, yaitu proses dasar secara biologis dan proses psikologi yang bersifat
sosiobudaya (Elliot, et.al, 2000: 52). Studi Vygotsky fokus pada hubungan antara
manusia dan konteks sosial budaya di mana mereka berperan dan saling
berinteraksi dalam berbagi pengalaman atau pengetahuan. Kemajuan
perkembangan kognitif anak diperoleh sebagai hasil interaksi sosial dengan orang
lain yang lebih memahami tentang sesuatu hal. Dalam kaitannya dengan
pemikiran matematika, maka anak akan berkembang kemampuan berpikir
matematisnya melalui interaksinya dengan orang lain yang menguasai matematika
dengan lebih baik.
62

Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip


seperti yang dikutip oleh Slavin (2000: 256) yaitu:
(1) Pembelajaran sosial (social leaning).
Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran
kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi
bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap. Vygotsky
memberinya istilah More Knowledgable Other (MKO) atau orang lain yang
lebih tahu. MKO mengacu kepada siapa saja yang memiliki pemahaman yang
lebih baik, pemahaman yang lebih baik ini sehubungan dengan tugas tertentu,
proses, atau konsep yang sedang dipelajari oleh siswa. MKO biasanya
dianggap sebagai seorang guru, pelatih, atau orang dewasa yang lebih tua,
tetapi MKO juga bisa menjadi teman sebaya, orang yang lebih muda, atau
bahkan komputer atau media belajar lainnya.
(2) ZPD (zone of proximal development).
Zone of Proximal Development (ZPD) adalah jarak antara kemampuan siswa
untuk melakukan tugas di bawah bimbingan orang dewasa dan atau dengan
kolaborasi teman sebaya dan pemecahan masalah secara mandiri sesuai
kemampuan siswa. Implikasinya dalam pembelajaran matematika adalah
ZPD dapat berguna dalam menjembatani antara berpikir konkrit dan berpikir
abstrak. Pada umumnya siswa mengalami kesulitan dalam memahami
matematika yang abstrak, kemampuan tersebut dapat didorong melalui
interaksi sosial melalui ZPD.
Siswa akan dapat mempelajari konsep-konsep dengan baik jika berada dalam
ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah
sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan dari
MKO. Bantuan dimaksud agar siswa mampu untuk mengerjakan tugas-tugas
yang lebih tinggi kerumitannya daripada tingkat perkembangan kognitif anak.
(3) Masa Magang Kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang
menjadikan siswa sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual
melalui interaksi dengan orang yang lebih ahli, atau teman yang lebih pandai.
(4) Pembelajaran Termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada
scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan
kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkan masalah siswa.
Terdapat beberapa pendapat Vygotsky yang berimplikasi terhadap
pembelajaran matematika, yaitu pandangan Vygotsky tentang perlu adanya
63

sumber belajar lain untuk memudahkan siswa belajar matematika serta materi
yang sesuai dengan kapasitas siswa. Teori Vygotsky yang mendasari penelitian ini
adalah perlunya penggunaan media kubus guling berwarna sebagai salah satu
MKO untuk memudahkan siswa menemukan pola jaring-jaring kubus. Selain itu
bantuan guru (scaffolding) diberikan kepada siswa melalui pertanyaan
metakognitif ketika siswa melewati setiap titik lintasan belajarnya. Sehingga pada
ZPD siswa dapat berpikir secara maksimal untuk menemukan ide kreatifnya
memecahkan persoalan.
2.1.14. Media Kubus Guling Berwarna
Dalam menemukan pola jaring-jaring kubus dapat dilakukan dengan
menggunting benda yang berbentuk kubus sesuai rusuk-rusuknya tanpa ada
bagian yang terlepas. Untuk menemukan pola jaring-jaring kubus dengan cara
seperti itu akan membutuhkan waktu yang relatif lama apabila diterapkan pada
saat pembelajaran di kelas. Untuk itu diperlukan strategi yang lebih efektif agar
memungkinkan siswa menemukan seluruh pola jaring-jaring kubus. Sebagaimana
yang dikatakan Susilo (2014) bahwa pembelajaran merupakan proses yang
membutuhkan berbagai sumber untuk penunjang keberhasilan belajar. Sumber
belajar yang dibutuhkan sangat beragam sesuai dengan materi dan kondisi
pembelajaran. Salah satu sumber belajar itu adalah media pembelajaran.
Media didefinisikan sebagai segala sesuatu yang dapat dipergunakan untuk
menyalurkan pesan, merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa,
sehingga dapat terdorong untuk terlibat dalam proses pembelajaran. Manfaat
penggunaan media pembelajaran adalah : (1) memperjelas penyajian pesan agar
tidak terlalu verbalistik, (2) Mengatasi keterbatasan ruang. (3) Mengatasi
kepasifan siswa dalam kelas, (4) Mengatasi kesulitan guru karena perbedaan latar
belakang dan pengalaman siswa. (Barokati, 2013 : 3).
Ada beberapa penelitian yang membahas tentang penggunaan media untuk
menemukan pola jaring-jaring kubus. Penelitian yang dilakukan oleh Riana
(2013). Media yang dipakai adalah berupa bangun kubus. Melalui imajinasi siswa,
siswa membuat jaring-jaring kubus pada kertas berpetak dan menemukan rumus
luas permukaan kubus. Penelitian Widjayanto (2014) yang berjudul peningkatan
hasil belajar materi jaring-jaring balok dan kubus dengan menggunakan media
karton berpetak. Penggunaan media ini juga membutuhkan daya imajinasi siswa.
64

Kedua penelitian itu berhasil meningkatkan prestasi siswa, akan tetapi siswa
belum mengetahui secara luas tentang pola jaring-jaring kubus.
Dengan demikian, jaring-jaring kubus yang bervariasi dapat dibuat melalui
banyak cara dan melalui berbagai media. Akan tetapi diperlukan sebuah media
yang terbukti efektif dalam menemukan secara luas pola jaring-jaring kubus.
Salah satunya dengan media kubus guling berwarna. Media kubus guling
berwarna adalah salah satu media yang efektif yang dapat membantu siswa
menemukan berbagai pola berbeda dari jaring-jaring kubus (Rohim, 2015) dan
(Kohar, 2011). Meku-guwa dibuat dari styrofoam berbentuk kubus yang dilapisi
dengan kertas karton berwarna yang setiap sisinya berbeda warna. Adapun Meku-
guwa tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8 berikut:

Gambar 2.4 Media Kubus Guling Berwarna, (Sumber: Rohim, 2015:30)


Media ini dinamakan media kubus guling berwarna karena berbentuk
kubus berwarna yang dalam penggunaannya dilakukan dengan cara
menggulingkan kubus pada kertas berpetak. Aturan dalam menggunakan meku-
guwa ini adalah :
1. Salah satu alas meku-guwa diletakkan pada salah satu persegi dalam kertas
berpetak
2. Warnai persegi tersebut dengan warna yang sama pada alas media
3. Meku-guwa dapat digulingkan kesegala arah dengan ketentuan tidak boleh
ada warna yang sama dalam satu pola.
4. Pola yang sudah ditemukan, diberikan warna sesuai dengan warna yang ada
di permukaan yang bersentuhan dengan meku-guwa.
5. Jaring-jaring yang sudah terbentuk dapat digunting.
Adapun salah satu contoh penggunaan meku-guwa dapat dilihat pada
gambar berikut.
65

(a) (b)
Gambar 2.5 Penggunaan Meku-guwa, (Sumber: Rohim, 2015:334)
Dari jawaban siswa diatas, bagian yang diarsir merupakan bagian yang
berhimpit dengan sisi pada meku-guwa. Apabila rangkaian enam persegi yang
diarsir pada Gambar 2.4(a) tersebut diberi batas seperti Gambar 2.4 (b), maka kita
akan memperoleh sebuah jaring-jaring kubus. Tampak melalui penggunaan media
ini siswa dapat menemukan kesebelas jaring-jaring kubus secara efektif.

2.1.15. Tinjauan materi jaring-jaring kubus


Perhatikanlah gambar benda-benda berikut ini!

(Sumber: wordpress.com)
Gambar 2.6 Disket, Bantal, dan Papan Catur,

Dalam kehidupan sehari-hari kita sering melihat bangun datar yang


berbentuk persegi panjang, tetapi seluruh panjang sisinya sama. Bangun ini
disebut persegi. Kesamaan yang dimiliki oleh ketiga benda pada gambar 2.5 diatas
adalah bentuknya, yaitu berbentuk persegi. Masih ingatkah kalian dengan bangun
datar persegi ? Menurut Wikipedia Bahasa Indonesia, persegi adalah bangun datar
dua dimensi yang dibentuk oleh empat buah sisi yang sama panjang dan memiliki
empat buah sudut yang semuanya adalah sudut siku-siku. Bangun ini dahulu
disebut sebagai bujur sangkar.
66

Gambar 2.7 Bangun Datar Persegi

Unsur-unsur bangun persegi yaitu dibentuk oleh empat buah rusuk (sisi)
dan memiliki empat titik sudut. Adapun sifat-sifat persegi yaitu sebagai berikut:
a. Semua sisinya sama panjang dan sisi-sisinya yang berhadapan sejajar.
b. Setiap sudutnya merupakan sudut siku-siku, yaitu sebesar 900.
c. Mempunyai dua buah diagonal yang sama panjang, berpotongan di
tengah-tengah, dan membentuk sudut siku-siku.
d. Setiap sudutnya dibagi dua sama besar oleh diagonal-diagonalnya.
e. Memiliki empat sumbu simetri lipat.
Apabila enam buah bangun datar persegi dibentuk sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu bangun baru yang memiliki ruang, bangun ruang itu
dinamakan kubus.

Gambar 2.8 Enam buah persegi yang kongruen membentuk kubus


Kubus adalah bangun ruang tiga dimensi yang dibatasi oleh enam bidang
sisi yang kongruen berbentuk persegi. Unsur-unsur kubus yaitu :
a. Dibentuk oleh enam bidang datar berbentuk persegi yang kongruen,
yaitu ABCD (sisi bawah), EFGH (sisi atas), ABFE (sisi depan), CDHG
(sisi belakang), ADHE (sisi samping kiri), dan BCGF (sisi samping
kanan).
b. Garis potong antara dua sisi bidang kubus dan terlihat seperti kerangka
yang menyusun kubus disebut rusuk, ada 12 rusuk pada kubus yaitu
rusuk AB, BC, AC, DA, AE, BF, CG, DH, EF, FG, GH, HF.
c. Titik temu ketiga rusuk disebut sudut, ada 8 titik sudut pada kubus
yakni sudut A, B, C, D, E, F, G, dan H.
Selain ketiga unsur di atas, kubus juga memiliki diagonal. Diagonal pada
kubus ada tiga, yaitu diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal. Untuk
lebih jelasnya perhatikan gambar dibawah ini.
67

Gambar 2.9 Diagonal bidang, diagonal ruang, dan bidang diagonal kubus
d. Dalam Gambar 2.4(a), pada kubus ABCD.EFGH terdapat garis AF
yang menghubungkan dua titik sudut yang saling berhadapan dalam
satu sisi/ bidang. Ruas garis tersebut dinamakan sebagai diagonal
bidang. Ada 12 diagonal bidang, yaitu AF, BE, BG, CF, AH, DE, DG,
CH, EG, HF, AC, BD.
e. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(b). Pada kubus
tersebut, terdapat ruas garis HB yang menghubungkan dua titik sudut
yang saling berhadapan dalam satu ruang. Garis HB membelah ruang
kubus menjadi dua bagian yang sama besar. Ruas garis tersebut disebut
diagonal ruang. Ada 4 diagonal ruang pada kubus yaitu HB, DF, EC,
GA.
f. Perhatikan kubus ABCD.EFGH pada Gambar 2.4(c), terlihat dua buah
diagonal bidang pada kubus yaitu AC dan EG. Ternyata diagonal bidang
AC dan EG beserta dua rusuk kubus yang sejajar, yaitu AE dan CG
membentuk suatu bidang di dalam ruang kubus bidang ACGE pada
kubus ABCD.EFGH. Bidang ACGE disebut sebagai bidang diagonal.
Ada 6 bidang diagonal, yaitu ACGE, DBFH, BGHA, AFGD, CDEF,
dan BEHC.

Gambar 2.10 Kubus ABCD.EFGH


68

Untuk memahami sifat-sifat kubus, coba kamu perhatikan Gambar 2.5


diatas. Gambar tersebut menunjukkan kubus ABCD.EFGH yang memiliki sifat –
sifat sebagai berikut.
a. Semua sisi kubus berbentuk persegi. Jika diperhatikan, sisi ABCD, EFGH,
ABFE, dan sisi lainnya memiliki bentuk persegi dan memiliki luas yang
sama.
b. Semua rusuk kubus berukuran sama panjang dan terdapat rusuk – rusuk
yang saling sejajar, seperti AB, DC, EF, dan HG.
c. Setiap diagonal bidang pada kubus memiliki ukuran yang sama panjang.
Perhatikan garis BG dan CF pada Gambar 2.5, kedua garis tersebut
merupakan diagonal bidang kubus ABCD.EFGH yang memiliki ukuran
sama panjang.
d. Setiap diagonal ruang pada kubus memiliki ukuran sama panjang. Dari
Gambar 2.5, terdapat dua diagonal ruang HB dan DF yang keduanya
berukuran sama panjang.
e. Setiap bidang diagonal kubus memiliki bentuk persegi panjang. Perhatikan
bidang diagonal ACGE pada Gambar 2.5. terlihat dengan jelas bahwa
bidang diagonal tersebut memiliki bentuk persegi panjang.
f. Bidang yang sejajar dengan bidang gambar disebut bidang frontal, yaitu
bidang ABFE dan DCGH. Bidang yang tegak lurus dengan bidang
gambar disebut bidang ortogonal, yaitu bidang ADHE, BCGF, ABCD dan
EFGH.
Adapun benda-benda dalam kehidupan sehari-hari yang dapat kita temui
berbentuk kubus seperti gambar-gambar berikut ini.

(Sumber: matematohir.wordpress.com)
Gambar 2.11 Benda-benda yang menyerupai kubus,
Menurut Adinawan dan Sugiono (2007 : 96) dalam hakikat jaring-jaring
bangun ruang disebutkan bahwa satu bangun ruang diiris pada beberapa rusuknya
kemudian direbahkan sehingga terjadi bangun datar maka bangun itu disebut
jaring-jaring. Sementara Harta (2011) menekankan bahwa jaring-jaring adalah
69

pola suatu bangun ruang sehingga jika sisi-sisinya disambungkan akan


membentuk bangun ruang tersebut.
Untuk mendapatkan jaring-jaring kubus, coba ambil kardus atau kotak kue
yang berbentuk kubus, beri nama setiap sudutnya. Kemudian irislah beberapa
rusuk tanpa ada bagian dari kardus yang terlepas sehingga apabila dibuka dan
direbahkan pada bidang datar akan membentuk bangun datar. Coba perhatikan
gambar berikut!

Gambar 2.12 Kubus, Bukaan Kubus, dan Jaring-jaring kubus


Gambar 2.11 diatas merupakan gambar kubus yang digunting pada tiga
buah rusuk atapnya serta empat buah rusuk tegaknya, yang direbahkan pada
bidang datar sehingga membentuk jaring-jaring kubus. Apabila rusuk yang
digunting pada kubus berbeda-beda, maka akan menghasilkan bentuk jaring-
jaring kubus yang berbeda pula. Sebagai contoh, dengan menggunting sebuah
rusuk alas, tiga buah rusuk tegak, dan tiga buah rusuk atap, maka akan diperoleh
jaring-jaring kubus seperti berikut ini.

Gambar 2.13 (a) Kubus, (b) Bukaan Kubus, (c) Jaring-jaring kubus

Shadiq (2006 : 1) mengungkapkan bahwa ada 11 pola jaring-jaring kubus


yang berbeda, tidak lebih dan tidak kurang. Untuk meyakinkan diri kita bahwa
hanya ada 11 jaring-jaring kubus dapat dilakukan dengan membuat kartu
polymino. Kartu polymino ialah kartu yang mewakili bentuk jaring-jaring kubus
dan terdiri atas enam buah monomino yang kongruen. Cara membuatnya ialah
sebagai berikut :
70

1. Langkah pertama ialah dengan membuat monomino dan domino.


Monomino terbentuk dari satu persegi saja, sedangkan
domino terbentuk dari dua persegi yang kongruen dan
saling berimpitan tepat pada salah satu sisinya.

2. Dari domino asal di atas, dengan menambah satu monomino


pada sisi-sisinya mengikuti arah yang berlawanan dengan
arah jarum jam, akan didapat beberapa tromino seperti
berikut.

Ternyata dari enam bentuk tromino itu ada beberapa


tromino yang bentuknya sama setelah diputar atau dibalik.
Contohnya, tromino pertama sama dengan tromino
keempat. Begitu juga tromino kedua, ketiga, kelima, dan
keenam adalah sama jika diputar atau dibalik sehingga pada
akhirnya hanya didapat dua macam atau dua bentuk
tromino saja, yaitu:

3. Dengan mengulangi langkah 2 pada kedua tromino di atas,


akan didapat lima macam rangkaian empat persegi yang
saling berimpitan paling tidak tepat pada salah satu sisinya
yang disebut dengan tetromino.

4. Selanjutnya dengan merangkaikan satu monomino berturut-turut pada salah


satu kartu tetromino di atas, akan didapat rangkaian lima persegi yang tepat
saling berimpitan paling tidak pada salah satu sisinya yang dikenal dengan
pentomino. Ternyata ada 12 macam pentomino seperti ditunjukkan gambar
di bawah ini.
71

Dari 12 kartu berbentuk pentomino di atas, ada 8 pentomino yang


merupakan jaring-jaring kubus tanpa tutup dan ditunjukkan oleh keterangan
gambar yang berwarna merah.
5. Dengan melakukan hal yang sama pada 8 pentomino diatas, akan diperoleh
35 hexomino dan akan didapat 11 hexomino saja yang merupakan jaring-
jaring kubus. Adapun jaring-jaring kubus yang diperoleh yaitu :
 Pola 1-4-1 sebanyak 6 macam. Pola 1-4-1 berarti
terdiri atas rangkaian empat persegi pada satu baris di
bagian tengah diikuti dengan masing-masing 1 persegi
pada sebelah menyebelah rangkaian empat persegi
tersebut.
 Pola 2-3-1 sebanyak 3 macam. Pola 2-3-1 berarti
terdiri atas rangkaian tiga persegi pada satu baris di
bagian tengah diikuti dengan dua persegi pada bagian
atas dan satu persegi pada bagian bawah rangkaian
tiga persegi tadi.
 Pola 2-2-2 dan pola 3-3 masing-masing sebanyak 1
macam.
72

Kubus merupakan bangun ruang istimewa karena dibentuk oleh enam sisi
persegi yang kongruen sehingga jaring-jaringnya pun merupakan rangkaian enam
buah persegi yang kongruen dan apabila dilipat kembali dapat membentuk kubus.
Tetapi rangkaian enam buah persegi yang kongruen belum tentu merupakan jaring
– jaring kubus, karena apabila dilipat kembali tidak dapat membentuk kubus
tertutup. Misalnya rangkaian enam persegi pada Gambar 2.8 (a) bukanlah jaring-
jaring kubus, karena rangkaian enam persegi yang susunannya seperti itu tidak
dapat dibentuk menjadi kubus. Akan tetapi rangkaian enam persegi pada Gambar
2.8 (b) merupakan jaring-jaring kubus.

Gambar 2.14 Rangkaian enam buah persegi

Untuk memastikan apakah rangkaian enam buah persegi merupakan


jaring-jaring kubus atau tidak, dapat dilakukan dengan menentukan salah
satu sisi rangkaian tersebut sebagai bidang alas (AL). Setelah itu
dapat ditentukan bidang-bidang: atas (AT), kanan (KA), kiri (KI),
depan (D), dan belakang (B). Jika tidak ada sisi yang berimpit
maka rangkaian enam persegi tersebut merupakan suatu jaring-
jaring kubus.
73

Pada Gambar 2.8(a) di atas, dimulai


dengan memilih salah satu sisi sebagai sisi alas
(AL), akan didapat sisi kanan (KA), kiri (KI),
belakang (B), dan depan (D). Perhatikan
sekarang sisi X, yang jika dilihat dari sisi
belakang (B) akan menjadi sisi kiri (KI). Dengan
demikian sisi X akan berimpit dengan sisi kiri
(KI). Simpulannya, rangkaian enam persegi
tersebut bukanlah jaring-jaring kubus.
Jaring-jaring yang sudah ditemukan akan membantu siswa menemukan
konsep luas permukaan kubus. Pembelajaran seperti ini bisa dipakai acuan pada
bangun ruang sisi datar yang lain dengan maksud untuk menemukan konsep luas
permukaan.

2.2. Penelitian yang Relevan


Sebelum adanya penelitian ini, sudah ada beberapa penelitian tentang
lintasan proses berpikir kreatif matematis yang menerapkan pendekatan
metakognitif pada beberapa mata pelajaran yang berbeda maupun dengan mata
pelajaran yang sama. Penelitian-penelitian pendukung tersebut dipaparkan sebagai
berikut.
1. Graham Wallas (1926) dalam penelitiannya mengidentifikasi empat tahap
dalam proses berpikir kreatif, yaitu persiapan, inkubasi, iluminasi, dan
verifikasi. Pada tahap persiapan, seseorang mempersiapkan diri untuk
memecahkan masalah dengan belajar berpikir, mencari jawaban, bertanya
kepada orang lain untuk mengumpulkan informasi dan data yang relevan
serta mencari pendekatan untuk menyelesaikannya. Tahap inkubasi adalah
tahap dimana individu seakan-akan melepaskan diri untuk sementara dari
masalah tersebut, dalam arti seseorang tidak memikirkan masalahnya secara
sadar, tetapi “menggeramnya” dalam alam pra sadar. Selama masa ini, otak
terus bekerja untuk mencari solusi dari permasalahan yang sedang dipikirkan.
Tahap iluminasi adalah tahap timbulnya “insight”, saat timbulnya inspirasi
atau gagasan baru serta proses psikologi yang mengawali munculnya inspirasi
baru. Pada tahap ini, gagasan yang muncul dapat berupa gagasan kunci yang
74

memberi arah kepada pemecahan permasalahan, tetapi bukan pemecahan


yang sempurna dari persoalan yang dihadapi.
Selanjutnya tahap verifikasi atau evaluasi, yaitu tahap dimana ide atau kreasi
baru tersebut harus diuji terhadap realitas. Pada tahap ini, inspirasi yang
muncul dikembangkan dan diuji secara kritis. Kajian kritis rasional
merupakan ciri pokok tahap ini dan pemikiran divergen masuk pada
pemikiran konvergen. Hingga yang muncul adalah ide kreatif yang telah
teruji secara rasional. Kajian kritis juga dapat dimaknai bahwa seseorang
yang telah berada pada tahap verifikasi melakukan pengkajian ulang terhadap
ide kreatif yang diperoleh pada tahap berpikir kreatif sebelumnya untuk
menguji kebenaran ide kreatif yang dihasilkan.
2. Alex Osborn (1953) dalam penelitiannya mengidentifikasi tahapan proses
berpikir kreatif ke dalam 7 (tujuh) tahap, yaitu: orientasi, persiapan, analisis,
ideation, inkubasi, sintesis, dan evaluasi. Pada tahap orientasi melibatkan
suatu tahap pemikiran divergen yang menghasilkan sejumlah ide atau
gagasan, dan kemudian tahap berpikir konvergen yang memilih hanya sebuah
gagasan untuk eksplorasi lebih lanjut. Plsek menyatakan bahwa langkah
analisis dan ideation memerlukan berpikir secara kreatif, sedangkan tahap-
tahap lainnya memerlukan berpikir secara analitik.
3. Getzelts dan Jackson (dalam Silver, 1997) mengembangkan suatu tes untuk
mengukur kreativitas. Salah satu tugas meminta subjek untuk mengajukan
masalah matematika yang jawabannya menggunakan informasi yang
disediakan dalam suatu kumpulan cerita tentang situasi sehari-hari. Tugas lain
ialah menilai kefasihan dan keaslian jawaban subjek ketika ia memecahkan
masalah yang mempunyai jawaban beragam atau menggunakan strategi yang
berbeda. Hasil pengembangan ini menunjukkan bahwa aktivitas dalam
memecahkan masalah dan mengajukan masalah sangat baik digunakan untuk
mengukur kreativitas dalam pembelajaran matematika.
4. Sarama dan Clements (2009) dalam penelitiannya menghasilkan tiga temuan
penting:
a. Learning substantial math is critical for primary grade children.
b. All children have the potential to learn challenging and interesting
math.
c. Understanding children’s mathematiccal development helps teachers
be knowledgeable and effective in teaching math.
75

Uraian diatas dapat diartikan : (a) Belajar matematika cukup penting


untuk anak-anak kelas dasar. (b) Semua anak memiliki potensi merasa
tertantang dan tertarik untuk mempelajari matematika. (c) Memahami
perkembangan matematika anak dapat membantu guru menjadi
berpengetahuan luas dan efektif dalam mengajar matematika.
Dari hasil penelitiannya, Sarama dan Clements memberikan saran pendekatan
pengajaran di kelas awal sebagai berikut: 1. Mengetahui dan menggunakan
lintasan belajar. 2. Menyertakan berbagai kegiatan pembelajaran. Lintasan
belajar memberikan panduan untuk kegiatan yang cenderung menantang
anak-anak untuk menciptakan strategi baru dan membangun pengetahuan
baru. 3. Menggunakan kombinasi strategi pengajaran. 4. Salah satu
pendekatan yang efektif adalah (a) mendiskusikan masalah dengan kelompok,
(b) menindaklanjuti dengan bekerja berpasangan, dan kemudian (c)
mengharuskan anak-anak berbagi strategi penyelesaian dengan kelompoknya
semula. Diskusikan strategi dengan anak-anak secara berpasangan dan
individual. Membedakan instruksi dengan memberi kelompok atau individu
jenis masalah yang berbeda.
5. Siswono (2011) mendeskripsikan karakteristik tingkat berpikir kreatif siswa
di kelas matematika melalui pengajuan masalah. Hasil penelitian
menunjukkan : (1) Siswa mampu menyelesaikan suatu masalah dengan lebih
dari satu alternatif jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah
yang berbeda-beda dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai
tingkat ini dinamakan sebagai siswa yang sangat kreatif. (2) Siswa mampu
menunjukkan suatu jawaban yang baru dengan cara penyelesaian yang
berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau membuat berbagai jawaban
yang baru meskipun tidak dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel). Selain
itu, siswa dapat membuat masalah yang berbeda dengan lancar (fasih)
meskipun jawaban masalah tunggal atau membuat masalah yang baru dengan
jawaban divergen. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai
siswa yang kreatif. (3) Siswa mampu membuat satu jawaban atau masalah
yang berbeda dari kebiasaan umum meskipun tidak dengan fleksibel atau
fasih, atau mampu menunjukkan berbagai cara penyelesaian yang berbeda
dengan fasih meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru. Siswa yang
76

mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai siswa yang cukup kreatif. (4)
Siswa tidak mampu membuat jawaban atau membuat masalah yang berbeda
(baru), meskipun salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian
yang dibuat berbeda-beda (fleksibel) atau jawaban/masalah yang dibuat
beragam (fasih). Siswa yang mencapai tingkat ini dapat dinamakan sebagai
siswa yang kurang kreatif. (5) Siswa tidak mampu membuat alternatif
jawaban maupun cara penyelesaian atau membuat masalah yang berbeda
dengan lancar (fasih) dan fleksibel. Siswa yang mencapai tingkat ini dapat
dinamakan sebagai siswa yang tidak kreatif.
6. Mursidik, E.M., dkk. (2015) meneliti kemampuan berpikir kreatif siswa SD
ditinjau dari indikator kemampuan berpikir kreatif dalam menyelesaikan soal
open-ended berdasarkan tingkat kemampuan matematika siswa. Hasil
penelitian menunjukkan kemampuan berpikir kreatif siswa yang memiliki
tingkat kemampuan matematikanya tinggi pada aspek berpikir lancar sangat
baik karena siswa kategori tinggi mampu memunculkan lebih dari satu ide
dalam menyelesaikan masalah matematika open-ended. Untuk aspek berpikir
luwes, siswa pada kategori tinggi berada pada kriteria baik artinya pada
umumnya mampu menentukan satu cara dalam menyelesaikan masalah
matematika open-ended. Aspek keaslian juga berada pada kriteria baik artinya
cara yang digunakan dalam menyelesaikan masalah dengan cara yang umum
tetapi mengarah pada penyelesaian. Sedangkan kemampuan pada aspek
berpikir elaboratif sangat baik, artinya siswa dapat memperjelas penyelesaian
dengan rinci dan tepat. Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori
sedang pada aspek berpikir lancar, berpikir luwes, dan berpikir orisinil berada
pada kriteria baik. Sedangkan kemampuan pada aspek berpikir elaboratif
berada pada kriteria sangat baik, artinya siswa dapat memperinci penjelasan
dengan tepat.Kemampuan berpikir kreatif siswa untuk kategori rendah secara
keseluruhan berada pada kriteria kurang baik. Secara keseluruhan untuk siswa
kemampuan rendah masih perlu pembinaan.
7. Kurniawan, Indra, Kusmayadi, T.A., dan Sujadi, Imam. (2015) meneliti
proses berpikir kreatif siswa climber dalam pemecahan masalah matematika
pada materi peluang. Proses tersebut ialah : (1) pada tahap persiapan, siswa
semangat saat diberikan tes pemecahan masalah. Siswa menyampaikan hal
77

yang diketahui dan ditanyakan secara lengkap dan benar dengan berbagai
cara, yaitu: (a) menuliskan langkah-langkah dan mengubah ke dalam bentuk
pemisalan, (b) hanya menuliskan langkah-langkah pengerjaan, (c) hanya
mengubah hal yang diketahui ke dalam bentuk pemisalan; (2) pada tahap
inkubasi, saat memahami peluang suatu kejadian, ada siswa yang: (a)
mempraktekkan peluang tersebut, (b) fokus memahami permasalahan, (c)
kurang fokus memahami permasalahan. Selanjutnya siswa mendapatkan ide
dengan membuat diagram lengkap kemudian mengalikan kemungkinan yang
terjadi pada peluang pengambilan pertama dan kedua; (3) pada tahap
iluminasi, siswa menghitung nilai peluang yang ditanyakan berdasarkan
diagram lengkap dengan menjumlahkan kemungkinan peluang yang sesuai.
Siswa mendapatkan berbagai cara baru, yaitu: (a) diagram tidak lengkap dan
rumus peluang, (b) diagram tidak lengkap, (c) rumus peluang. Siswa
menjelaskan asal mula cara baru yang didapat. Siswa menyelesaikan
permasalahan yang ada dengan cara baru; (4) pada tahap verifikasi, siswa
mengawali dengan menguji kembali semua hal yang telah dikerjakan pada
cara lama dan cara baru.
8. Habiba, F.E., Sunardi, dan Trapsilasiwi, D. (2015) mendeskripsikan
keterampilan metakognisi berdasarkan kemampuan berpikir kreatif dalam
menyelesaikan masalah matematika. Hasil penelitian menunjukkan siswa
kategori tidak kreatif tidak memenuhi indikator keterampilan metakognisi.
Pada monitoring, siswa tidak dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Pada evaluasi, siswa tidak mengevaluasi atau memperbaiki kembali
cara dan perhitungan. Siswa kategori kurang kreatif dapat memahami soal
dan menentukan rencana di awal. Pada monitoring, strategi diselesaikan
dengan langkah-langkah yang sudah benar. Pada evaluasi, siswa secara sadar
mengetahui kesalahannya tetapi tidak mengevaluasi kembali pekerjaannya.
Siswa kategori cukup kreatif memenuhi indikator keterampilan metakognisi.
Siswa mengidentifikasi informasi dan menentukan rencana awal dengan baik.
Pada monitoring, siswa dapat menentukan strategi untuk menyelesaikan
masalah. Pada evaluasi, siswa mengevaluasi langkah atau perhitungan
pemecahan masalah.
78

9. Anggraini, M.D. (2016) menganalisis kemampuan berpikir kreatif


berdasarkan kemampuan metakognisi siswa pada pembelajaran matematika.
Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut:
a. Siswa dengan kemampuan metakognisi tinggi termasuk ke dalam
kelompok siswa yang kreatif karena memenuhi dua aspek yaitu kefasihan
dan fleksibilitas. Siswa tersebut mensintesis ide melalui pengalaman
sehari-hari dan buku serta tidak merasa kesulitan dalam menemukan cara
apa yang harus digunakan. Pada tahap membangun ide, siswa
mempertimbangkan informasi yang diketahui pada soal dan dapat
menggabungkan beberapa ide dalam menyelesaikan masalah. Siswa
merencanakan penerapan ide dengan mencoret-coret ide yang muncul
dalam pikirannya dan tidak mengaitkan konsep lain dalam
menyelesaikan soal yang diberikan. Sedangkan pada tahap menerapkan
ide, ide yang digunakan merupakan cara atau konsep yang baru dengan
memperhatikan yang diketahui, rumus-rumus dan soalsoal yang pernah
diberikan oleh guru.
b. Siswa dengan kemampuan metakognisi sedang termasuk ke dalam
kelompok siswa yang sangat kreatif dan kurang kreatif. Siswa yang
sangat kreatif memenuhi aspek fleksibilitas dan kebaruan sedangkan
siswa yang kurang kreatif hanya memenuhi aspek kefasihan. Pada tahap
mensintesis ide siswa yang sangat kreatif mendapatkan ide dari
pengalaman mengerjakan soal-soal di internet, tempat les dan buku,
sedangkan siswa yang kurang kreatif mendapatkan ide dengan mengira-
ngira rumus yang pernah di dapatkan dalam pembelajaran. Dalam
membangun ide, siswa-siswa tersebut mempertimbangkan apa yang
diketahui pada soal untuk memunculkan ide, tidak merasa kesulitan
membangun ide untuk memecahkan soal yang diberikan dan dapat
menggabungkan beberapa ide dalam menyelesaikan masalah. Pada tahap
merencanakan penerapan ide siswa yang sangat kreatif membayangkaan
ide, kemudian ditulis di lembar jawab yang disediakan, sedangkan siswa
yang kurang keratif merencanakan penerapan dengan mencoret-coret
idenya. Akan tetapi siswa-siswa tersebut tidak mengaitkan konsep lain
dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Siswa-siswa tersebut
79

menerapkan ide berdasarkan cara baru dengan memperhatikan yang


diketahui pada soal dan soal yang pernah diberikan oleh guru. Akan
tetapi siswa yang kurang kreatif mempertimbangkan soal yang mudah
dahulu.
10. Chuang (2002) menerapkan alur belajar dalam pemecahan masalah. Chuang
lebih melihat alur belajar sebagai barisan aktivitas atau proses. Para
responden diminta untuk memberikan komentar terhadap pernyataan Barbara
beserta alasannya. Barbara mengatakan bahwa panjang dari keempat sisi dari
segiempat yang paling kanan pada gambar dibawah ini adalah sama, jadi
bangun tersebut adalah belah ketupat.

Dalam penelitian tersebut ditemukan beberapa alur belajar berupa proses


belajar yang bersifat hipotetik tentang bagaimana responden mengomentari
pernyataan tersebut lengkap dengan alasannya. Alur belajar tesebut sebagai
berikut: (1) dugaan lugu dari responden mengenai pernyataan Barbara, (2)
penjelasan dangkal (3) penjelasan tidak lengkap dengan argumen ada yang
benar dan ada yang tidak benar (4) menuju penjelasan lengkap (5) penjelasan
lengkap.
11. Lestari, July, Pranata, O.H., dan Muiz L, D.A. (2018) merancang sebuah
desain didaktis jaring-jaring kubus dan balok yang dapat mengembangkan
kemampuan berpikir kreatif siswa. Desain didaktis dikembangkan dalam
bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa yang dirancang berdasarkan
hypothetical learning trajectory. Penelitian ini menghasilkan data mengenai
hambatan belajar siswa pada materi jaring-jaring kubus dan balok, desain
didaktis yang dapat mengatasi hambatan belajar siswa pada materi jaring
kubus dan balok, dan implementasi desain didaktis jaring kubus dan balok
untuk mengembangkan kemampuan berpikir kreatif siswa dalam proses
pembelajaran. Berdasarkan implementasi desain yang dilakukan, diketahui
bahwa Lembar Aktivitas Siswa dapat digunakan pada proses pembelajaran
80

jaring-jaring kubus dan balok yang dapat mengarahkan siswa untuk


mengembangkan kemampuan berpikir kreatifnya.
12. Abdur Rohim (2015) meneliti tentang efektivitas penggunaan media kubus
guling berwarna (meku-guwa) dalam menemukan pola jaring-jaring kubus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 4 siswa dari 5 siswa yang
berhasil menemukan minimal 5 pola berbeda jaring-jaring kubus dalam waktu
30 menit. Hasil ini memberikan arti bahwa penggunaan media kubus guling
berwarna dalam menemukan pola jaring-jaring kubus efektif. Lebih lanjut,
Abdur Rohim (2016) mengembangkan suatu desain pembelajaran atau teori
pembelajaran lokal (local instruction theory) yang menghasilkan learning
trajectory penemuan konsep luas permukaan kubus melalui jaring-jaring
kubus yang diperoleh menggunakan media kubus guling berwarna (meku-
guwa) pada siswa kelas VIII. Berdasarkan hasil penelitian langkah-langkah
pembelajaran luas permukaan kubus adalah: 1. Menentukan tujuan
pembelajaran 2. Menjelaskan penggunaan media kubus guling berwarna
(meku-guwa) 3. Menemukan berbagai pola jaring-jaring kubus 4.
Memberikan pertanyaan bertahap untuk mengarahkan siswa menemukan
konsep luas permukaan kubus 5. Mengechek pemahaman siswa dengan
variasi soal yang beragam dan bertingkat (masalah sederhana ke masalah
kompleks).

2.3. Kerangka Konseptual

Siswa yang dapat berpikir kreatif akan mampu menyelesaikan masalah


secara efektif. Agar kemampuan berpikir kreatif matematis siswa dapat
meningkat, guru dapat membantu dengan cara membuat lintasan belajar. Lintasan
belajar sangat berguna bagi guru, khususnya dalam menentukan tujuan
pembelajaran yang akan dicapai, kemudian merencanakan langkah-langkah
pembelajaran agar siswa dapat mencapai tujuan pembelajaran tersebut. Bagi
siswa, lintasan belajar dapat memfasilitasi tumbuh-kembangnya kemampuan
berpikir kreatif matematis jika dirancang sesuai dengan karakteristik tujuan
belajar. Pada saat merancang aktivitas belajar, guru perlu membuat dugaan rute
perjalanan yang akan ditempuh siswa agar dapat mencapai tujuan pembelajaran
tetapi harus dapat memungkinkan siswa memunculkan ide kreatifnya.
81

Ide kreatif yang mungkin muncul ketika siswa melewati setiap rute
belajarnya dapat terekam dengan baik oleh siswa apabila guru membantu dengan
mengajukan pertanyaan yang dapat memicu kesadaran siswa tentang proses
berpikirnya. Pertanyaan-pertanyaan itu disebut pertanyaan metakognisi. Melalui
pertanyaan metakognisi siswa dilatih untuk memiliki keterampilan metakognisi,
yakni dapat merencanakan ide kreatifnya, memonitor (mengatur) ide tersebut agar
dapat digunakan sebagai pemecahan masalah, dan mengevaluasi ide kreatifnya
apakah memiliki kekurangan, dan berusaha menyempurnakannya.
Pendekatan pembelajaran yang sangat diperlukan agar dapat mendukung
meningkatnya kemampuan berpikir kreatif siswa dengan fasilitas lintasan belajar
ialah menggunakan pendekatan metakognitif. Beberapa aspek metakognisi yaitu
pengetahuan deklaratif dan pengetahuan prosedural memberikan pengaruh pada
kreativitas. Pengetahuan deklaratif dapat meningkatkan kreativitas dengan
menyediakan informasi faktual dan pengetahuan prosedural mempengaruhi
kreativitas dengan menyediakan petunjuk-petunjuk untuk strategi berpikir.
Metakognisi bisa digolongkan pada kemampuan kognitif tinggi karena
memuat unsur analisis, sintesis, dan evaluasi sebagai cikal bakal tumbuh
kembangnya kemampuan berpikir kreatif. Oleh karena itu pelaksanaan
pembelajaran semestinya membiasakan siswa untuk melatih kemampuan
metakognisi ini.

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini akan dilaksanakan di SMP Swasta Al-Washliyah 1 Medan
yang beralamat di Jalan Ismailiyah No 10 pada Semester Ganjil T.A. 2018/2019.

3.2. Subjek dan Objek Penelitian


3.3.1. Subjek Penelitian
82

Subjek dalam penelitian ini adalah siswa kelas VIII-1 dan VIII-3 SMP
Swasta Al-Washliyah 1 Medan. Subjek penelitian pada pilot experiment berjumlah
10 (sepuluh) orang siswa kelas VIII-1. Siswa yang berasal dari kelas VIII-1 dipilih
sebagai subjek penelitian pada pilot experiment berdasarkan tingkat kemampuan
berpikir kreatifnya. Tingkat kemampuan berfikir kreatif siswa diketahui melalui
soal terbuka yang diberikan peneliti pada saat melakukan observasi. Masing-
masing 2 orang subjek berasal dari siswa yang berkemampuan “sangat kreatif”,
“kreatif”, “cukup kreatif”, “kurang kreatif”, dan “tidak kreatif”. Selain
menggunakan hasil tes observasi, pemilihan siswa yang akan dijadikan subjek
penelitian dibantu oleh Guru Bidang Studi Matematika.
Selanjutnya pada teaching experiment subjek penelitian berjumlah 17 orang
siswa kelas VIII-3. Kelas VIII-3 dipilih sebagai subjek penelitian karena secara
umum siswa-siswa di kelas tersebut memiliki antusiasme yang tinggi terhadap
pembelajaran dan lebih aktif dalam belajar. Hal ini menjadi alasan agar
memudahkan peneliti mengungkap lintasan belajar berpikir kreatif siswa,
terutama dalam mengungkap tahapan proses berpikir kreatif. Selain itu kelas VIII-
3 merupakan kelas dengan siswa yang jumlahnya paling sedikit dibandingkan
kelas lain yang setara. Hal ini bertujuan agar aktivitas siswa pada saat
pembelajaran dapat diamati lebih spesifik karena jumlah siswanya yang sedikit.
Berdasarkan hasil tes kemampuan berpikir kreatif siswa yang akan
diberikan pada akhir pembelajaran, akan dipilih minimal 3 orang siswa yang
berpikir kreatif berdasarkan indikator berpikir kreatif yang telah dijelaskan diatas.
Siswa-siswa tersebut dipilih dari masing-masing indikator berpikir kreatif.
Selanjutnya mereka akan dijadikan sebagai informan kunci pada penelitian ini.
Informan lain pada penelitian ini adalah guru dan teman siswa itu sendiri.
Perubahan penetapan siswa sebagai informan kunci pada saat penelitian berjalan
sangat mungkin dilakukan. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat hambatan dalam
mengungkap lintasan proses berpikir kreatif siswa, misalnya siswa sulit berbicara
saat diwawancarai atau karena faktor lain. Namun penetapan informan kunci tetap
berdasarkan indikator berpikir kreatif.

3.3.2. Objek Penelitian


Objek yang diamati dalam penelitian ini adalah perilaku kreatif siswa dan
kegiatan belajar saat proses pembelajaran menggunakan pendekatan metakognitif
83

pada materi jaring-jaring kubus. Variabel-variabel penelitian yang dijadikan titik


incar untuk menjawab rumusan masalah adalah berupa: (1) kemampuan berpikir
kreatif matematis siswa; (2) lintasan belajar siswa; dan (3) tahapan proses berpikir
kreatif matematis siswa.

3.3. Jenis dan Desain Penelitian


Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
desain (design research). Penelitian desain merupakan metode penelitian yang
fokus pada pengembangan Local Instructional Theory (LIT) dengan kerjasama
antara peneliti dan guru untuk meningkatkan kualitas pembelajaran (Gravemeijer
& Eerde, 2009). Menurut Plomp (2007:13), design research adalah suatu kajian
sistematis tentang merancang, mengembangkan dan mengevaluasi intervensi
pendidikan (seperti program, strategi dan bahan pembelajaran, produk dan sistem)
sebagai solusi untuk memecahkan masalah yang kompleks dalam praktik
pendidikan, yang juga bertujuan untuk memajukan pengetahuan kita tentang
karakteristik dari intervensi-intervensi tersebut serta proses perancangan dan
pengembangannya.
Menurut Cobb (dalam Bakker, 2004) istilah design research juga dimasukan
ke dalam penelitian pengembangan (developmental research), karena berkaitan
dengan pengembangan materi dan bahan pembelajaran. Gravemeijer dan Eerde
(2009) menyatakan bahwa terdapat dua karakteristik yang menonjol dalam design
research, yaitu peran khusus dari desain dan peran khusus dari eksperimen.
Walaupun memiliki beberapa karakteristik yang sama dengan model penelitian
pengembangan yang lain, design research memiliki karakteristik khusus sebagai
berikut (dalam van den Akker et al., 2006 : 5).
a. Interventionist, penelitian bertujuan untuk merancang suatu intervensi
dalam dunia nyata. Design research bersifat fleksibel karena desain aktivitas
pembelajaran dapat diubah selama penelitian untuk mengatur situasi
pembelajaran
b. Iterative, penelitian menggabungkan pendekatan siklikal (daur) yang
meliputi perancangan, evaluasi dan revisi. Proses pembelajaran yang
sebenarnya digunakan sebagai dasar untuk merevisi aktivitas berikutnya.
c. Process oriented, desain disusun berdasarkan rencana pembelajaran dan
sebagai alat atau perangkat yang digunakan untuk membantu pembelajaran
84

d. Utility oriented, keunggulan dari rancangan diukur untuk bisa digunakan


secara praktis oleh pengguna.
e. Theory oriented, rancangan dibangun didasarkan pada preposisi teoritis
kemudian dilakukan pengujian lapangan untuk memberikan konstribusi
pada teori.
Ada tiga motif penggunaan design research (van den Akker et al., 2006),
yaitu untuk meningkatkan relevansi penelitian, mengembangkan landasan teori
secara empiris, dan meningkatkan kekokohan penerapan rancangan. Penggunaan
design research didasarkan pada keinginan untuk meningkatkan relevansi
penelitian dengan kebijakan dan praktik pendidikan. Design research memiliki
tujuan untuk mengembangkan teori-teori yang diperoleh dari pengalaman empiris
dengan menggabungkan kajian pada proses pembelajaran dengan berbagai aspek
yang mendukung proses pembelajaran tersebut. Motif ini menegaskan design
research sebagai penelitian design experiment yang menghasilkan landasan teori
(grounded theory) melalui pendekatan kualitatif. Dalam upaya meningkatkan
kekokohan dari penerapan sebuah rancangan, ada kebutuhan untuk mengekstrak
rancangan penbelajaran agar eksplisit dan menghasilkan upaya pengembangan
rancangan berikutnya.

Penelitian ini terdiri dari tiga tahap pelaksanaan yang dikemukakan oleh
Gravemeijer & Cobb (2006), yaitu tahap persiapan eksperimen, tahap pelaksanaan
eksperimen dan tahap analisis retrospektif. Pada tahap persiapan eksperimen,
disusun perangkat pembelajaran berdasarkan dugaan alur belajar perbandingan
yang telah dirumuskan, kemudian perangkat divalidasi dan diuji keterbacaannya
sebelum digunakan. Pada tahap pelaksanaan eksperimen, perangkat pembelajaran
diujicobakan dan dugaan alur belajar menjadi acuan dalam menentukan fokus
pengamatan. Pada tahap analisis retrospektif, data-data yang diperoleh saat
maupun setelah tahap pelaksanaan eksperimen dianalisis dengan dugaan alur
belajar sebagai acuan dalam menentukan fokus analisis.
Dalam uji coba desain pada penelitian design research terdiri atas proses
siklik dari eksperimen pikiran dan eksperimen pembelajaran. Siklus kecil dari
eksperimen pikiran (thought experiment) dan eksperimen pembelajaran
(instruction experiment) menyediakan pengembangan teori pembelajaran lokal.
Dalam kenyataannya, ada relasi reflektif antara eksperimen pikiran dan
85

eksperimen pembelajaran dengan teori pembelajaran lokal yang dikembangkan.


Di satu sisi, dugaan teori pembelajaran lokal mengarahkan eksperimen pikiran dan
eksperimen pembelajaran, di lain sisi, eksperimen pikiran dan eksperimen
pembelajaran mempertajam teori pembelajaran lokal (local instructional theory).
Adapun proses siklik yang dimaksud ditunjukkan oleh Gambar 3.1 berikut.

Gambar 3.1. Siklus Design Research


Hypothetical learning trajectory (HLT) merupakan instrumen yang
digunakan dalam keseluruhan tahap design research (Bakker, 2004). HLT berisi
rencana aktivitas pembelajaran dan antisipasi segala kemungkinan yang akan
terjadi di kelas, dengan tetap memperhatikan tujuan pembelajaran. HLT digunakan
sebagai acuan untuk mengumpulkan data yang akan dianalisis, meliputi data hasil
validasi, data proses belajar siswa, data hasil wawancara, data hasil tes dan data
catatan lapangan. Melalui HLT sebagai acuan, peneliti membandingkan dugaan
alur belajar (HLT) dengan proses belajar siswa yang sesungguhnya (Actual
Learning Trajectory) selama kegiatan pembelajaran.
Peneliti menginvestigasi bagaimana HLT yang telah dibuat dapat berjalan
di kelas, dengan mengamati video kegiatan pembelajaran dan menelaah hasil
pekerjaan siswa berupa hasil tes. Melalui video kegiatan pembelajaran, peneliti
memilih beberapa momen penting (potongan video yang menunjukkan proses
belajar siswa) yang sesuai atau tidak sesuai dengan HLT. Selanjutnya, dibuat
transkrip dari percakapan yang terjadi pada potongan video yang telah dipilih
tersebut. Transkrip ini merupakan dasar empiris dalam menginterpretasikan
kesesuaian dugaan alur belajar (HLT) dengan proses belajar siswa (ALT).
Kemudian peneliti menelaah data hasil pekerjaan siswa sebagai sumber data
lain untuk menginvestigasi kesesuaian dugaan alur belajar dengan proses belajar
siswa, baik yang mendukung proses belajar yang terekam pada video
86

pembelajaran atau yang tidak terekam. Berdasarkan potongan video yang telah
dipilih dan hasil pekerjaan siswa, selanjutnya data-data tersebut dikonfirmasikan
dengan data hasil wawancara sebagai bagian dari upaya untuk memperoleh
informasi tentang proses belajar siswa jika terdapat hasil pekerjaan siswa yang
berbeda dengan apa yang terekam pada video kegiatan pembelajaran.
Jika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai dengan desain HLT yang
sudah dirancang, maka peneliti meginvestigasi apa yang menjadi penyebabnya
dan apa yang harus dilakukan pada rancangan HLT berikutnya, untuk
memperbaiki alur belajar siswa. Setelah peneliti melakukan pendesainan kembali
(though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru (instruction
experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa. Proses ini berlangsung
secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai dengan ALT
(Actual Learning Trajectory). Selanjutnya kesimpulan ditarik berdasarkan hasil
analisis yang memaparkan deskripsi alur belajar siswa untuk memperoleh jawaban
atas pertanyaan penelitian
Produk yang dihasilkan oleh penelitian ini ialah suatu teori pembelajaran
lokal (local instruction theory). Desain yang dikembangkan adalah dugaan
lintasan belajar atau Hypothetical Learning Trajectory (HLT) yang memuat
sederetan aktivitas pembelajaran yang berkaitan dengan tujuan pembelajaran dari
suatu topik yang dipilih, yaitu menemukan berbagai pola jaring-jaring kubus. HLT
tersebut direvisi secara berulang sampai dianggap cukup untuk menghasilkan
sebuah LIT (local instruction theory).
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hal ini
dikarenakan dalam penelitian ini menghasilkan data berupa jawaban tertulis atau
lisan dari subjek dan perilaku yang diamati. Penelitian ini dilakukan untuk
mendeskripsikan segala sesuatu yang berkaitan dengan lintasan belajar yang
dilalui siswa pada materi jaring-jaring kubus, proses berpikir kreatif dan tingkat
kemampuan berpikir kreatif siswa.
Melalui bahan ajar berupa Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang
berdasarkan Hypothetical Learning Trajectory dan dengan kegiatan belajar
menggunakan pendekatan metakognitif dalam menemukan jaring-jaring kubus
diharapkan dapat memfasilitasi siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir
kreatif matematis. Adapun hypothetical learning trajectory pada materi jaring-
jaring kubus ditunjukkan oleh Tabel 3.1 berikut.
87
88

Tabel 3.1 Hypothetical Learning Trajectory Materi Jaring-Jaring Kubus

Periode Periode 1 ————→ Periode 2 ——————→ Periode 3 ———————→ Periode 4 ——————→ Periode 5
Topik Kubus dan Jaring-jaring Kubus
Subtopik Persegi dan sifat- Kubus dan sifat-sifatnya Pengenalan Jaring- Membuat jaring-jaring Mengenali
sifatnya jaring Kubus kubus perbedaan
jaring-jaring
kubus dan yang
bukan jaring-
jaring kubus
Pertemuan ke- I II III IV V

Rencana (1) Review (1) Mengonstruksi enam (1) Menyebutkan 1. Menemukan jaring- Membedakan
Aktivitas mengingat buah persegi menjadi benda-benda yang jaring kubus dengan rangkaian
Pembelajaran bangun datar sebuah bangun ruang menyerupai kubus pola 1-4-1 bangun datar
persegi dalam kehidupan 2. Menemukan jaring- mana yang
sehari-hari jaring kubus dengan merupakan
(2) Memahami (2) Memahami pengertian (2) Memahami pola 2-3-1 jaring-jaring
pengertian bangun ruang yang pengertian jaring- 3. Menemukan jaring- kubus dan mana
persegi terbentuk dan jaring kubus jaring kubus dengan yang bukan
mengetahui nama pola 2-2-2 jaring-jaring
bangun tersebut 4. Menemukan jaring- kubus
(3) Menyebutkan (3) Menyebutkan unsur- (3) Memahami sifat- jaring kubus dengan
unsur-unsur unsur bangun tersebut sifat yang dimiliki pola 3-3
persegi jaring-jaring kubus 5. Menemukan jaring-
jaring kubus yang
(4) Menyebutkan (4) Menyebutkan sifat-sifat (4) Mengetahui cara baru (jika ada)
sifat-sifat bangun tersebut membuat jaring-
persegi jaring kubus
Keterangan : Periode 1,2,3,.. : Urutan waktu pembelajaran → : Urutan antar subtopik ↓ : Urutan antar submateri
89

3.4. Prosedur Penelitian


Gravemeijer & Cobb (2006) mengungkapkan bahwa terdapat tiga tahap dalam
penelitian desain, yaitu preparing for experiment, design experiment, dan retrospective
analysis. Berikut penjelasan dari masing-masing tahap tersebut.
1. Preparing for the Experiment
a. Desain Pendahuluan (Preliminary Design)
Tujuan utama dari tahap ini adalah untuk mengembangkan urutan aktivitas pembelajaran
dan mendesain instrumen untuk mengevaluasi proses pembelajaran tersebut (Widjaja, 2008).
Pada tahap ini peneliti mengklarifikasi tujuan pembelajaran yang akan dicapai siswa dan
menentukan titik awal pembelajaran, merencanakan kegiatan pembelajaran, dan membuat
konjektur pemikiran siswa. Adapun rincian hal-hal yang dilakukan pada tahap ini yaitu :
 Mengkaji literatur. Beberapa literatur yang dijadikan sebagai bahan penelitian yaitu
tentang kemampuan berpikir kreatif, pendekatan metakognitif, lintasan belajar (learning
trajectory), materi jaring-jaring kubus, media kubus guling berwarna, dan design
research, sehingga dapat dibentuk suatu konjektur strategi dan berpikir siswa.
 Melakukan diskusi antara peneliti dan guru mengenai kondisi kelas, keperluan penelitian,
jadwal dan cara pelaksanan penelitian.
 Peneliti menelusuri kemampuan awal siswa dengan memberikan tes berupa soal terbuka
untuk mengukur kemampuan berpikir kreatif yang diberikan pada saat observasi. Hasil
ini digunakan sebagai landasan dalam membuat learning trajectory sehingga desain
instruksionalnya lebih sesuai dengan kemampuan siswa.
 Merancang HLT. Pada tahap ini peneliti membuat rancangan HLT, yaitu prediksi urutan
aktivitas pembelajaran pada materi jaring-jaring kubus. Perkiraan dari HLT disesuaikan
dengan tahapan pembelajaran siswa selama penelitian berlangsung.
 Merancang perangkat pembelajaran, berupa RPP dan LAS, dan instrumen penelitian
 Menyusun lembar validasi untuk RPP, LAS, dan tes kemampuan berpikir kreatif.
b. Percobaan penelitian (Pilot Experiment)
Percobaan penelitian ini merupakan jembatan antara tahap desain awal dan tahap
teaching experiment. Tujuan dari percobaan penelitian ini adalah untuk menguji HLT awal.
Sasaran utama dari tahap ini adalah mengumpulkan data untuk mendukung kesesuaian HLT
awal dengan lintasan belajar sesungguhnya. Pada tahapan ini HLT akan diujicobakan pada 6
siswa kelas VIII-1 dengan tingkat kemampuan berpikir kreatif yang berbeda. Kemudian
keenam siswa tersebut juga akan diwawancarai untuk mengetahui pemahaman dan kesulitan
siswa secara mendalam. Hasil diskusi dengan guru dan wawancara dengan siswa akan
digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam memperbaiki HLT.
2. Teaching Experiment
Tahap ini merupakan tahap pelaksanaan desain eksperimen yang dilakukan setelah tahap
persiapan. Menurut Gravemeijer dan Cobb (dalam Akker et al, 2006) tujuan dari uji coba
90

desain adalah menguji dan meningkatkan dugaan teori pembelajaran lokal (a conjecture local
instruction theory) yang sudah dikembangkan pada tahap pertama, serta mengembangkan
pemahaman bagaimana desain tersebut bekerja selama eksperimen berlangsung. Pada tahap
ini dilakukan pengumpulan data untuk menjawab pertanyaan penelitian. Selama proses
pembelajaran berjalan, konjektur dapat dimodifikasi sebagai revisi dari local instructional
theory untuk aktivitas berikutnya.
Sebelum melakukan kegiatan pembelajaran dalam teaching experiment, peneliti dan guru
melakukan diskusi tentang kegiatan pembelajaran. Peneliti bertindak sebagai pengajar dan
dibutuhkan dua pengamat lain untuk mengamati setiap aktivitas dan momen penting selama
proses uji coba tersebut. Pada tahap ini sederetan aktivitas pembelajaran dilakukan sesuai
dengan aktivitas yang ada pada HLT, lalu pengamat mengobservasi apa yang terjadi selama
proses pembelajaran berlangsung di kelas. Kegiatan pembelajaran di kelas dilakukan selama
2 jam pelajaran pada 5 pertemuan Selama pelaksanaan tahap teaching experiment, peneliti
melakukan pengumpulan data dengan menggunakan foto dan video, hasil kerja siswa, lembar
observasi aktivitas siswa dan beberapa siswa dipilih untuk diwawancarai.

3. Retrospective Analysis
Pada tahap retrospective analysis, data yang diperoleh akan dianalisis untuk
mengetahui apakah desain HLT yang dirancang sesuai atau tidak dengan ALT (Actual
Learning Trajectory). Peneliti membandingkan HLT dengan aktivitas pembelajaran yang
telah terlaksana dan kemudian digunakan sebagai panduan referensi utama dalam menjawab
rumusan masalah penelitian. Selain itu HLT juga dibandingkan dengan data-data yang
dihasilkan untuk mendeskripsikan kemampuan berpikir kreatif siswa.
Data yang dianalisis meliputi rekaman video proses pembelajaran dan hasil interview
terhadap siswa dan guru, Lembar Aktivitas Siswa, hasil tes kemampuan berpikir kreatif pada
materi jaring-jaring kubus, serta rekaman audio hasil wawancara yang memuat proses
penelitian. Setelah melakukan analisis terhadap data yang diperoleh, maka selanjutnya dapat
ditarik kesimpulan mengenai pertanyaan penelitian.

3.5. Perancangan Perangkat Pembelajaran


Rancangan perangkat pembelajaran disusun sesuai dengan prinsip dan karakteristik
pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kreatif siswa. Perangkat
pembelajaran yang akan dirancang yaitu Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan
Lembar Aktivitas Siswa (LAS).
91

Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun berdasarkan pada komponen


sintaks pembelajaran dengan pendekatan metakognitif. RPP ini digunakan sebagai pegangan
guru dalam melaksanakan kegiatan pembelajaran di kelas setiap pertemuan. Komponen
utama RPP yang disusun meliputi: (1) Identitas sekolah, mata pelajaran, dan kelas/semester,
(2) Kompetensi Inti, (3) Kompetensi Dasar, (4) Indikator Pencapaian Kompetensi, (5) Materi
Pokok, (6) Model, strategi, dan pendekatan pembelajaran, (7) Skenario pembelajaran, berisi
kegiatan guru dan siswa selama proses pembelajaran dan pemberian petunjuk penggunaan
fasilitas pembelajaran (8) Media/alat, bahan, sumber bacaan, dan (9) Penilaian.
Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang disusun didasarkan pada komponen sintaks
pembelajaran dengan pendekatan metakognitif dan berisi soal-soal terbuka untuk melatih
kemampuan berpikir kreatif matematis siswa. LAS ini digunakan oleh siswa dalam
memahami konsep kubus dan jaring-jaring kubus dengan cara menyelesaikan masalah yang
terdapat di dalamnya. Pada LAS ini, disajikan langkah-langkah serta petunjuk pemecahan
masalah dengan tujuan agar siswa melakukan kegiatan pemecahan masalah dan memahami
berbagai konsep dan prinsip materi jaring-jaring kubus. Di bagian akhir LAS, disajikan soal
tantangan yang akan diselesaikan siswa sebagai aplikasi konsep dan prinsip matematika yang
telah dipahami. Komponen utama LAS yang disusun meliputi: (1) Kompetensi Inti, (2)
Kompetensi Dasar, (3) Indikator Pencapaian Kompetensi, (4) Petunjuk penggunaan LAS, dan
(5) Sajian langkah-langkah dan petunjuk pemecahan masalah.

3.6. Teknik Pengumpulan Data


Berdasarkan metode dan prosedur yang digunakan, maka teknik pengumpulan data
yang digunakan dalam penelitian ini ada 5 (lima) cara, yaitu :
a. Tes Tertulis
Tes dalam hal ini adalah seperangkat soal-soal open ended berbentuk uraian yang
digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan berpikir kreatif matematis yang diberikan
kepada siswa sesudah pembelajaran dilaksanakan. Tes dilakukan untuk menentukan minimal
3 (tiga) orang siswa yang akan dijadikan sebagai informan kunci yang memiliki kemampuan
berpikir kreatif matematis. Penentuan informan kunci dilihat dari hasil tes berdasarkan
indikator berpikir kreatif, yaitu keluwesan (fluency), kelenturan (flexibility), kebaruan
(originality), dan mengembangkan (elaboration). Keluwesan (fluency) merupakan
banyaknya alternatif jawaban yang diberikan siswa. Kelenturan (flexibility) merujuk pada
alternatif jawaban yang tidak ketat aturan. Kebaruan (originality) merujuk pada banyaknya
alternatif jawaban yang unik dan baru, dan mengembangkan (elaboration) merujuk pada
alternatif jawaban yang rinci dan detail sehingga membuatnya lebih menarik.
92

Selain itu tes dilakukan untuk mengetahui sejauh mana kemampuan berpikir kreatif
siswa setelah mengikuti pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif pada
materi jaring-jaring kubus berbantuan media kubus guling berwarna. Berdasarkan hasil tes
siswa akan dikelompokkan pada tingkat kemampuan berpikir kreatifnya. Adapun penentuan
untuk mengelompokkan siswa ke dalam tingkat kemampuan berpikir kreatif yaitu
berdasarkan Tabel 3.2 berikut.

Tabel 3.2 Karakteristik Tingkat Kemampuan Berpikir Kreatif


TKBK Keterangan
Tingkat 4 Siswa mampu menghasilkan lebih dari satu alternatif jawaban (fasih)
(Sangat
yang bervariasi (fleksibel) dan unik (original), serta mampu membuat
Kreatif)
jawaban tersebut menjadi lebih menarik (mengembangkan).
Tingkat 3 Siswa mampu menghasilkan jawaban yang baru (original) dengan cara
(Kreatif)
penyelesaian yang berbeda (fleksibel) meskipun tidak fasih atau
membuat berbagai jawaban yang baru (original) meskipun tidak
dengan cara yang berbeda (tidak fleksibel)
Tingkat 2 Siswa mampu membuat satu jawaban yang berbeda dari kebiasaan
(Cukup
umum (fleksibel) meskipun tidak fasih, atau mampu menunjukkan
Kreatif)
berbagai cara penyelesaian yang berbeda (fleksibel) dengan fasih
meskipun jawaban yang dihasilkan tidak baru.
Tingkat 1 Siswa tidak mampu membuat jawaban yang berbeda (baru), meskipun
(Kurang
salah satu kondisi berikut dipenuhi, yaitu cara penyelesaian yang
Kreatif)
dibuat bervariasi (fleksibel) atau jawaban yang dibuat beragam (fasih).
Tingkat 0 Siswa tidak mampu membuat alternatif jawaban maupun cara
(Tidak Kreatif)
penyelesaian yang berbeda dengan lancar (fasih) dan fleksibel.

Tes disusun berdasarkan materi ajar “jaring-jaring kubus” di kelas VIII SMP dengan
jumlah soal sebanyak 2 butir. Dalam perancangan tes, dilakukan kegiatan berikut: (1)
membuat kisi-kisi tes; (2) merancang masalah untuk setiap indikator pencapaian kompetensi
dasar; (3) membuat kunci jawaban untuk setiap masalah yang diajukan, dan (4) membuat
rubrik penskoran (tes uraian). Berikut kisi-kisi instrumen tes berpikir kreatif matematis .

Tabel 3.3. Kisi-kisi Instrumen Tes Berpikir Kreatif Matematis

Kompetensi Dasar Aspek Indikator Penilaian


Penilaian
93

1.1 Menghargai dan Kelancaran  Menghasilkan banyak alternatif jawaban,


menghayati ajaran (fluency) gagasan, dan penyelesaian masalah dalam
agama yang dianutnya menemukan pola jaring-jaring kubus
Keluwesan
2.1 Menunjukkan sikap  Menemukan pola jaring-jaring kubus yang
(flexibility)
logis, kritis, analitik, bervariasi dan tidak ketat aturan
konsisten dan teliti,  Dapat melihat suatu masalah yang berkaitan
Kebaruan dengan jaring-jaring kubus dari sudut
bertanggung jawab,
(originality) pandang yang berbeda
responsif, dan tidak
 Mampu menemukan pola jaring-jaring kubus
mudah menyerah dalam
yang baru dan unik
memecahkan masalah.  Memikirkan cara yang tidak lazim untuk
Memperinci
3.9 Menentukan luas
(elaborasi) menemukan pola jaring-jaring kubus yang
permukaan dan volume
baru
kubus, balok, prisma,  Mengembangkan atau merinci secara detail
dan limas jawaban sehingga menjadi lebih menarik.
4.9 Menyelesaikan
masalah yang berkaitan
dengan luas permukaan
dan volume bangun
ruang sisi datar (kubus,
balok, prima dan limas),
serta gabungannya

Tes tertulis yang dilakukan pada saat proses pembelajaran berlangsung ialah dengan
menggunakan Lembar Aktivitas Siswa (LAS) yang dirancang oleh peneliti untuk
membimbing siswa memahami konsep kubus dan jaring-jaring kubus. Soal yang diberikan
dalam LAS dikerjakan secara berkelompok oleh siswa dan berguna untuk melihat
perwujudan HLT. Melalui LAS, lintasan belajar sesungguhnya (ALT) dapat dibandingkan
dengan dugaan lintasan belajar yang dirancang dalam LAS. Dengan demikian apabila
lintasan belajar yang sesungguhnya telah diperoleh melalui tahap teaching experiment dapat
diwujudkan kembali dalam LAS yang baru hasil revisi LAS awal.
b. Observasi
Proses observasi dilakukan selama proses pembelajaran dengan menggunakan skema
observasi dan rekaman video. Kegiatan siswa yang diamati disesuaikan dengan kegiatan
siswa yang ada pada panduan wawancara. Observasi dilakukan terhadap tahap proses
berpikir kreatif siswa saat pembelajaran berlangsung, mulai dari tahap persiapan, inkubasi,
94

iluminasi, sampai tahap verifikasi. Observasi ini sekaligus digunakan untuk mengetahui
kepraktisan dan keefektifan dari desain pembelajaran yang telah dirancang.
Dalam penelitian ini, peneliti dibantu oleh dua orang observer yang bertugas
mengamati aktivitas siswa. Observer hanya melakukan check list pada lembar observsi yang
disediakan. Adapun indikator penilaian yang diobservasi dipaparkan pada Tabel 3.4 berikut.

Tabel 3.4 Lembar Observasi Proses Kreatif Siswa

No. Kegiatan yang Diamati Hasil Pengamatan Keterangan


Ya Tidak
1. Membaca buku atau referensi
lain
2. Membuat ringkasan dari
buku yang dibaca
3. Bertanya kepada teman
4. Berdiskusi dengan teman
5. Bertanya kepada guru
6. Melakukan kegiatan lain
yang tidak berhubungan
dengan aktivitas pemecahan
masalah
Melakukan aktivitas untuk menemukan ide kreatif
7. Menggunakan media dalam
proses pencarian ide
95

8. Menggunting kertas dan


kemudian melipat-lipatnya
9. Menggambar objek-objek
matematika
Kegiatan presentasi
10. Mengkritisi jawaban teman
dengan bertanya
11. Menanggapi kritikan teman
12. Memperbaiki jawaban

Pada kolom “Keterangan”, observer memberi keterangan pada masing-masing item


yang diamati bila di checklist “YA”, misalnya:
1. Menuliskan nama referensi dan materi yang dibaca siswa
2. Menuliskan isi ringkasan dari referensi yang dibaca siswa
3. Menuliskan apa yang didiskusikan dengan temannya
4. Menuliskan apa yang ditanya kepada temannya
5. Menuliskan apa yang ditanya kepada gurunya
6. Menuliskan kegiatan lain yang dilakukan siswa
Melakukan aktivitas untuk menemukan ide kreatif
7. Menuliskan media yang digunakan siswa untuk menemukan ide
8. Menuliskan nama bangun datar yang digunting kemudian dilipat-lipat
9. Menuliskan nama bangun datar yang digambar
Kegiatan presentasi
10. Menuliskan apa yang dikritisi oleh temannya
11. Menuliskan isi tanggapan kritikan teman
12. Menuliskan jawaban yang diperbaiki siswa
c. Wawancara
Pada tahap preparing for the experiment wawancara dilakukan kepada guru mengenai
rancangan HLT awal dan pembelajaran yang akan menggunakan pendekatan metakognitif.
Setelah pelaksanaan teaching experiment, wawancara dilakukan kepada siswa yang berperan
sebagai informan kunci untuk mengetahui proses berpikir kreatifnya ketika memecahkan
masalah dalam LAS dan tes akhir berdasarkan tahapan proses berpikir kreatif menurut
Wallas. Adapun indikator panduan wawancara yang dirancang dipaparkan pada Tabel 3.5.
96

Tabel 3.5 Panduan Wawancara Proses Kreatif Siswa

No. Tahapan Berpikir Kreatif Indikator


1 Persiapan  Siswa mengumpulkan semua data-data yang relevan
dengan pemecahan masalah
 Mempersiapkan bahan materi berupa buku, bahan
bacaan, dan sumber data lain.
 Siswa membuat ringkasan dari bahan yang dibaca
 Berusaha memahami masalah
 Mencoba mengubah masalah kedalam bentuk
penyelesaian yang lebih memungkinkan
 Melakukan penyelidikan terhadap masalah dengan
salah satu cara bertanya kepada guru atau teman
2 Inkubasi  Siswa mengalihkan perhatian ke masalah lain dan
cenderung tidakpeduli terhadap masalah yang dihadapi
 Siswa merasa bosan dan melakukan kegiatan lain
 Melakukan aktivitas merenung atau terdiam
 Siswa merasa gelisah dan kurang koordinasi
 Siswa membaca soal berkali-kali
 Mencoba mengingat pelajaran yang berkaitan dengan
pemecahan masalah
 Mencoba membuat sketsa, mencoret-coret, atau
membuat catatan untuk menghasilkan ide pemecahan
masalah
3 Iluminasi  Siswa terlihat menemukan idenya tiba-tiba
 Mencoba menyusun ide-ide kreatif yang telah muncul
 Siswa mencoba menerapkan ide kreatifnya
4 Verifikasi  Siswa merasa kurang yakin atas ide yang ia cetuskan
 Siswa melakukan evaluasi terhadap jawabannya
apabila ditemui jawaban tersebut masih salah
 Siswa mencoba mencari cara lain untuk menyelesaikan
masalah

d. Rekaman video dan foto


Rekaman video yang digunakan pada penelitian ini untuk merekam strategi-strategi
siswa dalam menyelesaikan masalah pada saat pembelajaran berlangsung, baik secara
individu maupun secara berkelompok. Selain itu rekaman video juga berguna untuk
memudahkan peneliti dalam mengamati dan menganalisis aktivitas pembelajaran yang telah
dilakukan. Rekaman video tersebut dilakukan pada tahap teaching experiment. Selain
97

rekaman video, peneliti juga merekam hasil kegiatan siswa, berupa foto kegiatan, baik dalam
proses pembelajaran, diskusi dan hasil jawaban, sebagai bukti yang terkait dalam
pelaksanaan penelitian.

3.7. Teknik Analisis Data


Analisis data yang dilakukan pada penelitian ini ialah membandingkan hasil
pengamatan selama proses pembelajaran dengan HLT yang telah didesain pada tahap
preliminary design. Design research merupakan metode kualitatif, maka teknik analisis data
pada penelitian ini dilakukan secara kualitatif dengan memperhatikan hasil pengumpulan data
yang telah dilakukan. Data yang telah memenuhi proses validitas dan reliabilitas yang
dilakukan kemudian dianalisis lebih lanjut dengan metode berikut:
a. Metode deskriptif, metode ini digunakan untuk menguraikan informasi yang diperoleh
dalam pelaksanaan kegiatan penelitian desain.
b. Metode transkrip, metode ini digunakan untuk mentransfer informasi rekaman video
ke dalam bahasa tulisan.
c. Metode klasifikasi, metode ini digunakan untuk menginterpretasi hasil observasi yang
diperoleh dalam kegiatan desain riset.
Selain menganalisis hasil tes tertulis siswa, analisis data pada metode design research
ini juga dilakukan untuk melihat ketepatan antara HLT yang dirancang dengan hasil data
yang diperoleh. Dalam retrospective analysis peranan HLT yang telah dirancang
dibandingkan dengan proses pembelajaran yang dilakukan siswa sehingga dapat dilakukan
penyelidikan dan dijelaskan bagaimana siswa memahami konsep kubus dan menemukan pola
jaring-jaring kubus. Untuk suatu penelitian yang memperhatikan validitas dan reliabilitas,
kedua hal ini diuraikan sebagai bagian dalam proses analisis data.
a. Validitas
Validitas berasal dari kata validity yang artinya sejauh mana ketepatan dan kecermatan
suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Djaali & Muljono, 2008). Lebih jauh Djaali
& Muljono (2008) menjelaskan bahwa validitas suatu instrumen mempermasalahkan apakah
instrument atau tes tersebut benar-benar mengukur apa yang hendak diukur. Data yang akan
divalidasi adalah RPP, lintasan belajar yang tercermin dalam LAS, dan tes kemampuan
berpikir kreatif. Validitas data secara kualitatif dalam penelitian ini mengacu pada:
 Rencana lintasan belajar sebagai acuan; rencana lintasan belajar memuat tujuan
pembelajaran untuk siswa, aktivitas pembelajaran terencana, dan suatu dugaan proses
pembelajaran dan bagaimana kemampuan pemahaman siswa yang berkembang dalam
98

aktivitas pembelajaran selama penelitian. Bagian-bagian tersebut termuat dalam suatu


jalur yang diharapkan terlaksana sehingga terlihat dengan jelas dan baik untuk
mengemukakan jawaban terhadap pertanyaan penelitian yang diajukan. Selain itu,
melihat keterkaitan dan menghubungkan dugaan sebelumnya dengan data yang
dikumpulkan dan menghindari bias sistematik, sehingga HLT ini berperan untuk
mendukung validitas yang berfungsi sebagai pedoman dan titik acuan dalam menjawab
pertanyaan penelitian pada tahap retrospective analysis.
 Pengambilan kesimpulan; proses pengambilan kesimpulan mengacu pada rekaman
video, hasil observasi dan hasil kerja siswa. Informasi tersebut memungkinkan pembaca
untuk membangun penalaran dan mengarahkan argument menuju suatu kesimpulan.

b. Reliabilitas
Reliabilitas berasal dari kata reliability yang berarti sejauh mana hasil suatu pengukuran
dapat dipercaya (Djaali & Muljono, 2008). Suatu hasil pengukuran hanya dapat dipercaya
apabila dalam beberapa kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama,
diperoleh hasil pengukuran yang relatif sama, selama aspek yang diukur dalam diri subjek
memang belum berubah. Reliabilitas dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif.
Reliabilitas secara kualitatif dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu:
 Triangulasi data, di mana teknik ini akan digunakan untuk melihat keterkaitan yang
diperoleh dari sumber data berupa tes, lembar observasi dan rekaman video terhadap
rencana lintasan belajar.
 Interpretasi silang, dimana teknik ini akan digunakan untuk meminta pertimbangan pakar
(misalnya, pembimbing) untuk memberikan saran mengenai data yang diperoleh seperti
video. Hal ini dilakukan untuk mengurangi subjektivitas peneliti dalam menginterpretasi
hasil penelitian yang diperoleh di lapangan.

Reliabilitas pada penelitian design research terbagi atas dua jenis, yaitu :
 Reliabilitas internal, dilakukan dengan cara memisahkan data berdasarkan jenisnya,
memberikan kode tertentu pada setiap data yang telah terkumpul, terutama untuk data
video dan foto, dan melakukan diskusi dengan observer tentang tugas dan perannya
selama teaching eksperimen berlangsung
99

 Reliabilitas eksternal, dilakukan dengan cara melaporkan hasil penelitian, baik


keberhasilan maupun kegagalan, menjelaskan prosedur yang dijalani selama penelitian,
kerangka teori yang digunakan, dan alasan yang dibuat untuk tiap pilihan. (Novianda,
Sudaryani, & Meiliasari, 2014),
Untuk memperjelas posisi antara data, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data,
berikut disertakan tabel untuk memilah data, bagaimana cara mengumpulkan data, serta
bagaimana cara menganalisis data yang didapatkan.
Tabel 3.6. Data, Teknik Pengumpulan Data dan Teknik Analisis Data
Kegiatan Penelitian Tahapan Teknik Instrumen Teknik Analisis
Pengumpulan Data
Data
Mengetahui kesulitan isi Preparing Komentar Panduan Deskriptif
HLT, dan ketersediaan for the pembimbing dan wawancara kualitatif
waktu untuk penelitian Experimen pendapat guru
Memvalidasi HLT awal Tes tertulis LAS Metode
t
deskriptif
Menguji HLT awal Pilot Tes tertulis, LAS, kamera, Metode
sekaligus melihat Experimen rekaman video, panduan deskriptif,
kemampuan awal siswa t wawancara wawancara metode
klasifikasi
Pengujian kembali HLT Teaching - Tes tertulis - LAS - Metode
hasil revisi dari tahap Experimen - Rekaman - Kamera deskriptif
sebelumnya t video - Panduan - Metode
- Wawancara Wawancara klasifikasi

Mengetahui kepraktisan - Observasi - Lembar - Metode


dan keefektifan dari - Rekaman observasi klasifikasi
desain yang dirancang video - Kamera - Metode
transkrip
3.8. Indikator Keberhasilan Penelitian
Kriteria keberhasilan penelitian ini akan dilihat dari proses pembelajaran dan hasil tes
kemampuan berpikir kreatif. Keberhasilan penelitian design research dilihat dari kesesuaian
antara dugaan lintasan belajar (HLT) yang dirancang dengan proses pembelajaran
sesungguhnya yang dilalui siswa (ALT). Jika pembelajaran yang dilakukan tidak sesuai
dengan desain HLT yang sudah dirancang atau setelah melakukan analisis retrospektif
peneliti menemukan desain HLT tersebut memiliki kekurangan, maka peneliti melakukan
100

pendesainan kembali (though experiment) terhadap HLT, kemudian HLT yang baru
(instruction experiment) tersebut akan diujikan kembali kepada siswa pada siklus berikutnya.
Proses ini berlangsung secara terus menerus sampai desain HLT yang dirancang sesuai
dengan ALT (Actual Learning Trajectory) dan dianggap cukup untuk menghasilkan sebuah
local instruction theory (LIT). (Prahmana, 2017 : 23)
Selain itu, untuk melihat tingkat kemampuan berpikir kreatif siswa, pada penelitian ini
dapat diketahui melalui tes kemampuan berpikir kreatif yang skornya dihitung dengan
menggunakan rumus berikut.
Jumlah skor yang diperoleh
Nilai = �100%
Jumlah skor maksimal
Nilai Kriteria
81,25% ≤ N <100% Sangat Kreatif
62,5% ≤ N < 81,25% Kreatif
43,75% ≤ N < 62,5% Cukup Kreatif
25% ≤ N < 43,75% Kurang Kreatif
< 43,75% Tidak Kreatif
Sumber : Sudijono (2008)
Djamarah (2006 : 107) mengatakan bahwa keberhasilan proses mengajar dapat
mencapai kriteria baik atau minimal apabila 60% sampai dengan 75% siswa menguasai bahan
ajar dan 75% atau lebih yang mengikuti proses belajar mengajar mencapai taraf keberhasilan
minimal, optimal, maupun maksimal. Dengan berlandaskan pendapat tersebut, maka
ketuntasan minimal pada masing-masing tingkat kemampuan berpikir kreatif dicapai oleh
siswa secara klasikal adalah sebesar 70%. Apabila belum tercapai 70%, maka penelitian akan
lanjut ke siklus berikutnya pada penelitian design research. Adapun rancangan penelitian
design research pada penelitian ini, ditunjukkan pada Gambar 3.2.
101

Gambar 3.2. Rancangan penelitian

Anda mungkin juga menyukai