Anda di halaman 1dari 18

Perkembangan Kognitif Pada Masa Dewasa Awal

A. Melampaui Piaget : Cara-Cara Baru Orang Dewasa Berpikir


 Walaupun Piaget mendeskripsikan tahap operasional formal sebagai puncak pencapaian
kognitif, beberapa ilmuwan perkembangan bersikukuh bahwa perubahan-perubahan dalam
kognisi melampaui tahap tersebut.
 Salah satu point teori dan penelitian neo-piagetian berhubungan dengan penalaran abstrak
tingkat tinggi atau berpikir reflektif.
 Poin lain dalam penelitian mereka berurusan dengan pemikiran pascaformal yang
mengombinasikan pengalaman emosi dan praktis dalam pemecahan masalah yang ambigu.
 Berpikir Reflektif
- Berpikir reflektif (reflective thinking) adalah jenis berpikir logis yang mungkin muncul
pada masa dewasa melibatkan evaluasi terhadap informasi dan keyakinan secara
berkesinambungan dan aktif dengan mempertimbangan bukti dan implikasi.
- Pemikir refletif terus-menerus mempertanyakan hal-hal yang sudah dianggap fakta,
menarik kesimpulan, dan membuat hubungan-hubungan.
- Berdasarkan tahap operasional formal Piaget pemikir reflektif dapat menciptakan sistem
intelektual yang rumit mempertemuka ide-ide atau pertimbangan yang saling
bersebrangan. Contohnya menggabungkan berbagai teori fisika modern atau
perkembangan manusia menjadi satu teori menyeluruh yang dapat menjelaskan berbagai
tingkah laku.
- Kemampuan untuk berpikir reflektif diperkirakan muncul antara usia 20 dan 25 tahun.
- Baru Ketika wilayah kortikal di otak yang mengatur berpikir reflektif benar-benar
termielinasi. Pada saat yang sama otak membentuk koneksi-koneksi neuron dan sinaps
dan dendrit baru.
- Dukungan lingkungan dapat merangsang pertumbuhan koneksi kortikal yang lebih tebal
dan padat.
- Dengan demikian walaupun hampir semua orang dewasa mengembangkan kemampuan
menjadi pemikir reflektif hanya sedikit yang menjadi mahir dan bahkan lebih sedikit lagi
yang dapat menerapkanya secara konsisten dalam berbagai jenis masalah. Contoh, orang
dewasa awal dapat memahami konsep keadilan tetapi mungkin sulit
mempertimbangkannya sehubungan dengan konsep lain seperti kesejahteraan sosial,
hukum, etika, dan tanggung jawab.
 Pemikiran Pascaformal
- Pemikran pascaformal (Postformal Thought)
Adalah jenis berpikir matang yang bergantung pada pengalaman subjektif dan intuisi serta
logika, berguna dalam menghadap ambiguitas, ketidakpastian, inkonsistensi, kontradiksi,
ketidaksempurnaan dan kompromi.
- Pemikiran pascaformal bersifat fleksibel, terbuka, adaptif dan individualistis.
- Pemikiran dilandasi dan digambarkan dengan intuisi, emosi juga logika untuk membantu
seseorang mengatasi dunia yang berantakan.
- Pemikiran ini menerapkan hasil pengalaman terhadap berbagai situasi ambigu.
- Pemikiran pasca formal bersifat relativistik. Seperti berpikir reflektif, pemikiran
pascaformal memungkinkan orang dewasa untuk melampaui satu sistem logika (seperti
geometri Euclidean atau teori tertentu tentang perkembangan manusia atau sistem politik
yang baku) dan mempertemukan atau memilih diantara ide-ide atau tuntutan yang
berbentrokan (seperti konflik antara bangsa Israel dan palestina atau konflik antara
pasangan romantic), yang mana masing-masing dan dari masing-masing titik pandang
mungkin memiliki klaim kebenaran yang valid.
- Satu orang peneliti handal jan sinontt mengusulkan kriteria pemikiran pascaformal yaitu :
1) Shifting gears
Kemampuan berpikir paling tidak dua sistem logika yang berbeda serta saling
bergantian antara penalaran abstrak dan pertimbangan yang praktis dan realistis (“ini
mungkin berhasil diatas kertas tetapi tidak dalam kehidupan nyata”.).
2) Problem definition
Kemampuan mendefinisikan suatu masalah dengan memasukkanya ke dalam satu
kelas atau kategori problem logis dan mendefinisikan cakupannya. (“ini merupakan
masalah etis, bukan legal, sehingga preseden secara hukum tidak akan membantu
memecahkan masalah).
3) Process-product shift
Kemampuan untuk melihat kemungkinan akan menyelesaikan semua masalah dengan
baik melalui proses yang menggunakan penerapan umum dari masalah – masalah
yang mirip atau melalui produk dengan solusi konkret terhadap masalah yang khusus.
4) Pragmatism 
Kemampuan memilih yang terbaik dari solusi logis yang mungkin dan mengenali
kriteria pemilihan
5) Multiple solutions.
Kesadaran bahwa kebanyakan masalah memiliki lebih dari satu penyebab, bahwa
orang memiliki tujuan yang berbeda-beda, dan bahwa berbagai metode dapat
digunakan unutk mendapatkan lebih dari satu solusi.
6) Awareness of paradox
Adanya kesadaran bahwa memutuskan permasalahan dapat mengakibatkan
munculnya hal – hal yang sifatnya paradoks atau bertentangan, misalnya hasil yang
untung atau rugi, positif atau negatif. Individu dalan karakteristik ini berani dan tegas
dalam menghadapi konflik tanpa perlu melanggar berbagai prinsip kebenaran dan
keadilan.
7) Self Referential Thought
Adanya kesadaran seseorang bahwa dirinya juga dapat menjadi hakim dari logika
apapun yang digunakannya sendiri  dengan menggunakan pemikiran post formal.
- Beberapa penelitian telah menemukan kemajuan ke arah pemikiran pascaformal semasa
dewasa awal dan madya terutama Ketika emosi terlibat. Dalam sebuah penelitian
partisipan diminta untuk menilai apa yang menyebabkan serangkaian situasi hipotesis
seperti konflik pernikahan. Remaja dan orang dewasa awal cenderung menyalahkan
seseorang, sementara orang-orang paruh baya lebih cenderung mengatribusikan tingkah
laku kepada transaksi antara orang dan lingkungan. Makin ambigu situasi makin besar
perbedaan usia dalam menginterpretasinnya.

B. Schale : Model Rentang Kehidupan Perkembangan Kognitif


 Model rentang kehidupan K. Warner Schale tentang perkembangan kognitif melihat
penggunaan intelek yang berkembang dalam suatu konteks sosial.
 Ketujuh tahapnya berkisar pada beberapa tujuan yang muncul pada berbagai tahap kehidupan.
Tujuan-tujuan ini bergerak dari pemerolehan informasi dan keterampilan (apa yang saya perlu
ketahui) ke integrasi praktis dari pengetahun dan keterampilan (mengapa saya harus tahu).
Tujuh tahap tersebut yaitu :
1) Tahap pemerolehan : acquisitive stage (masa anak dan remaja).
Anak dan remaja memperoleh informasi dan keterampilan terutama hanya sekedar
mendapatkannya atau sebagai persiapan untuk turut serta di masyarakat.
2) Tahap pencapaian : achieving stage (akhir masa remajaatau awal dua puluhan hingga awal
tiga puluhan).
Dewasa awal tidak lagi memperoleh pengetahuan dan keterampilan hanya untuk
memperoleh pengetahuan; mereka menggunakan pengetahuan yang mereka ketahui untuk
mengejar tujuan, seperti karier dan keluarga.
3) Tahap tanggung jawab : responsible stage (akhir tiga puluhan hingga awal enam
puluhan). 
Orang-orang pada usia paruh baya menggunakan pikiran mereka untuk memecahkan
masalah praktis yang berhubungan dengan tanggung jawab terhadap orang lain, seperti
anggota keluarga dan karyawan.
4) Tahap eksekutif : executive stage (tiga puluhan atau empat puluhan hingga setengah
baya). 
Individu-individu pada tahap eksekutif, yang mungkin tumpah tindih dengan tahap
pencapaian dan tanggung jawab, bertanggung jawab terhadap sistem masyarakat (seperti
pemerintahan atau organisasi bisnis) atau gerakan sosial. Mereka berhadapan dengan
hubungan kompleks pada banyak tingkatan.
5) Tahap reorganisasional : reoeganizational stage (akhir paruh baya, masa awal dewasa
akhir). 
Individu-individu yang memasuki usia pensiun mengatur ulang kehidupan dan energi
intelektual mereka disekitar pengejaran-pengejaran yang bermakna yang merupakan
pekerjaan-pekerjaan yang diberi upah.
6) Tahap reintegrasi : reintegrative stage (dewasa akhir). 
Dewasa yang lebih tua, yang mungkin melepaskan keterlibatan sosial tertentunya dan
yang fungsi kognitifnya mungkin terbatasi oleh perubahan biologis, sering kali lebih
selektif dalam memilih tugas yang mereka upayakan. Mereka berfokus pada tujuan
kegiatan mereka dan berkonsentrasi pada tugas-tugas yang paling bermakna bagi mereka.
7) Tahap penciptaan warisan : legacy-creating stage (lanjut usia). 
Mendekati akhir hidup, ketika reintegrasi telah utuh (atau sedang berjalan), orang-orang
lanjut usia mungkin membuat instruksi untuk menentukan kepemilihan dari barang-barang
mereka, merencanakan pengaturan pemakaman, dan menyampaikan sejarah secara lisan,
atau menulis cerita hidup mereka sebagai warisan bagi orang-orang yang mereka cintai.
Tugas-tugas ini melibatkan pelatihan kompetensi kognitif dalam konteks sosial dan
emosional.

C. Sternberg : Wawasan dan Tahu Bagaimana


 Teori kecerdasan terakhir datang dari Robert Sternberg tahun 1985. Sternberg mendefinisikan
kecerdasan sebagai aktivitas mental yang diarahkan pada adaptasi yang bertujuan, seleksi, dan
pembentukan lingkungan dunia nyata yang relevan dengan kehidupan seseorang.
 Menurut Sternberg (1985a; 1988b), kecerdasan berjaya membawa maksud cara seseorang
individu memanipulasi dan menggunakan kekuatan yang ada sepenuhnya dan menangani
kelemahan bagi menyelesaikan masalah dalam kehidupan seharian dan seterusnya mencapai
kejayaan dalam masyarakat. Sternberg menegaskan bahwa penekanan pada konsep
kecerdasan harus diberikan kepada matlamat dan tujuan yang dikehendaki oleh masyarakat
dan budaya seseorang individu. Bagi Sternberg juga, individu yang berjaya ialah individu
yang mencapai kecemerlangan dalam masyarakat dan budaya yang dinaungi.
 Sternberg mengajukan tiga komponen yang mempengaruhi kecerdasan dalam teorinya, yaitu:
a) Unsur Pengalaman (experiental element)
Kecerdasan ini bisa dijelaskan artinya dengan kreativitas. Kecerdasan ini
memungkinkan dilihat sebagai kemampuan untuk mengatasi situasi baru lantas
mempelajari dari situasi tersebut. Dalam arti kata yang lain, individu yang berpengalaman
akan lebih efisien dalam memproses informasi dalam situasi baru.
Sub teori ini menunjukkan bahwa perilaku yang cerdas tidak akan selalu sama,
seiring dengan perkembangan waktu. Kemampuan ini sangat signifikan ketika seseorang
harus mengalami suatu hal baru atau harus menghadapi sesuatu persoalan secara spontan.
Mereka yang memiliki karakteristik seperti ini mungkin tidak dapat mencapai nilai tinggi
dalam tes kecerdasan, namun sering merupakan orang yang kreatif dalam menghadapi
hidup. Kecerdasan pengalaman terjadi ketika kita menciptakan, misalnya memproduksi
puisi, menciptakan permainan baru, menghasilkan lukisan dan sebagainya. Pengajaran dan
penilaian kreatif harus memungkinkan siswa mendefinisikan masalah disamping
memastikan siswa dapat menyelesaikan masalah dengan baik dan dapat mengutarakan ide-
ide mereka.
Contoh :
jika siswa diberi suatu tugas baru yang berhubungan dengan mereka, siswa-siswa yang
memiliki kecerdasan yang tinggi dalam kecerdasan pengalaman akan dapat belajar dengan
cepat, menggunakan strategi yang sesuai secara otomatis dan efisien tanpa membuang
waktu.
b) Unsur kontekstual/praktikal (Contextual Intelligence)
Ada beberapa orang yang mampu mengadaptasi diri mereka di dalam apa saja situasi
yang dituntut dalam lingkungan mereka. Mereka yang memiliki kecerdasan ini pandai
memulai langkah untuk sukses di dalam hidup. Bahkan mereka juga dapat bertahan dalam
hidup karena berhasil untuk mengatasi perubahan.
Kecerdasan ini meliputi adaptasi dengan lingkungan, pemilihan lingkungan yang
lebih optimal dari yang dimiliki sekarang, menata lingkungan yang ada agar sesuai dengan
keterampilan, minat dan nilai yang dimiliki. Kemampuan ini memungkinkan seseorang
untuk menyatu dengan lingkungan dengan mengubah orang, lingkungan, atau keduanya.
Dengan kata lain kemampuan untuk beradaptasi dengan dunia. Kecerdasan praktikal
berlaku apabila kita menggunakan ataupunmengaplikasikan apa yang telah dipelajari ke
dalam konteks dunia yang sebenarnya.
Contoh :
Ali belajar bahasa Inggeris di dalam kelas. Apabila Ali pergi jalan-jalan ke negara lain,
beliau menggunakan bahasa Inggris tersebut untuk berinteraksi dengan orang-orang di
negara tersebut.
c) Unsur analitik/componential (componential element)
Kecerdasan seseorang individu dalam bidang akademis bisa disebut sebagai
kecerdasan analitik. Kecerdasan menganalisis merupakan fitur utama kecerdasan ini.
Misalnya saja ada diantara siswa yang dikatakan memiliki kecerdasan luar biasa sehingga
dinaikkan beberapa tingkat dalam pendidikannya (sistem sekolah Barat). Menurut
Sternberg, aspek keterampilan memproses informasi (componential) menyatakan bahwa
proses kognitif bertanggung jawab terhadap perilaku kecerdasan. Kecerdasan analitik
digunakan untuk mengenali dan memecahkan masalah, merumuskan strategi, menyusun
dan menyampaikan informasi.
Sub teori ini menekankan pada struktur dan mekanisme yang mendasari perilaku
cerdas. Di dalamnya terdapat tiga komponen pengolahan data yaitu belajar melakukan
sesuatu, merencanakan apa yang akan dilakukan, dan bagaimana melakukan hal tersebut.
Orang yang tergolong dalam bentuk ini umumnya akan meraih nilai yang tinggi dalam tes
kecerdasan, tapi kurang kreatif dan kurang dapat berpikir kritis.
Contoh :
siswa berlatih Matematika. Di dalam proses menyelesaikan masalah Matematika, siswa
akan menganalisis informasi yang diberikan. Kemudian membuat gerak kerja solusi sesuai
formula tertentu.
 Pengetahuan Tacit
- Sebuah aspek penting dari kecerdasan praktis Adalah pengetahuan tacit (tacit knowledge).
- Pengetahuan tacit (tacit knowledge) Adalah istilah dari Sternberg untuk informasi yang
yang tidak diajarkan secara formal atau diungkapkan secara terbuka tetapi perlu untuk
berfungsi dengan berhasil.
- Pengetahuan tacit kebanyakkan diperoleh secara mandiri merupakan pengetahuan “awam”
tentang bagaimana untuk maju, bagaimana naik jabatan atau mengambil jalan pintas dari
prosedur formal.
- Pengetahuan ini tidak berkorelasi dengan pengukuran-pengukuran kemampuan kognitif
umum tetapi tetap menjadi predictor yang lebih baik bagi keberhasilan manajerial.
- Pengetahuan tacit meliputi yaitu :
1) Manajemen diri
Mengetahui bagaimana memotivasi diri sendiri serta mengatur waktu dan tenaga.
2) Manajemen Tugas
Mengetahui misalnya bagaimana menulis makalah atau proposal hibah.
3) Manajemen orang lain
Mengetahui kapan dan bagaimana memberi imbalan atau mengkritik bawahan.
- Metode Sternberg dalam menguji pengetahuan tacit Adalah dengan membandingkan
keputusan Tindakan peserta ujian terhadap situasi hipotesis yang berkaitan dengan
pekerjaan (seperti bagaimana cara terbaik untuk mendapat promosi jabatan) dengan
pilihan dari para ahli dibidang yang sama dan dengan “aturan umum” yang berlaku.
- Pengetahuan tacit diukur dengan cara ini, tampaknya tidak berhubungan dengan IQ dan
lebih baik dalam memprediksikan kinerja daripada tes psikometri.
- Pengetahuan tacit bukan satu-satunya yang dibutuhkan untuk berhasil.
- Aspek-aspek lain dari kecerdasan juga berperan. Namun dalam berbagai penelitian
terhadap manajer-manajer bisnis, pengujian pengetahuan tacit, IQ dan tes kepribadian
memprediksi hampir semua varians dalam kinerja seperti terukur oleh kriteria-kriteria
seperti gaji, jumlah tahun pengalaman manajemen dan keberhasilan perusahaan.
- Dalam sebuah penelitian pengetahuan tacit berhubungan dengan gaji yang manajer
dapatkan pada usia tertentu dan seberapa tinggi posisi mereka terlepas dari latar belakang
keluarga dan pendidikan. Manajer yang paling berpengetahuan bukanlah mereka yang
menghabiskan waktu bertahun-tahun dengan perusahaan atau bertahun-tahun sebagai
manajer tetapi mereka yang bekerja untuk kebanyakkan perusahaan mungkin
mendapatkan pengalaman yang lebih luas.

D. Kecerdasaan Emosional
 Pada tahun 1990 dua psikolog yaitu Peter Salovey dan John Mayer menetapkan istilah
kecerdasaan emosional (emotional intelligence).
 Kecerdasaan emosional Adalah Kemampuan untuk mengenali dan menangani perasaan
sendiri dan perasaan orang lain.
 Daniel Goleman psikolog dan penulis sains yang memopulerkan konsep ini memperluasnya
hingga mencakup beberapa kualitas seperti, optimisme, kecermatan (conscientiousness),
motivasi, empati, dan kompetensi sosial.
 Menurut Goleman kualitas-kualitas ini mungkin merupakan hal yang penting bagi
keberhasilan dalam pekerjan dan kepentingan lain daripada IQ.
 Goleman mengutip penelitian-penelitian terhadap 500 perusahaan dimana orang-orang yang
mendapat skor emotional intelligence tertinggi menanjak puncak.
 Emotional intelligence tampaknya mendasari kompetensi yang memberikan kontribusi pada
efektifitas kinerja dalam pekerjaan.
 Kompetensi-kompetensi ini, menurut Goleman (1998, 2001) masuk dalam kategori :
- Kesadaran diri (kesadaran diri emosional, asesmen diri yang akurat, dan kepercayaan diri)
- Manajemen diri (kontrol diri, dapat dipercaya, kecermatan, kemampuan beradaptasi,
dorongan prestasi dan inisiatif).
- Kesadaran sosial (empati, orientasi melayani, kesadaran dan organisasional).
- Manajemen hubungan (mengembangkan orang lain, menerapkan pengaruh, komunikasi,
manajemen konflik, kepemimpinan, menjadi katalis perubahan, menjalin ikatan, serta
kerja tim dan kolaborasi).

E. Perkembangan Keyakinan Sepanjang Rentang Kehidupan


 Tahap fowler kira-kira sesuai dengan tahap yang dideskripsikan oleh Piaget, Kohlberg dan
erikson.
 Keyakinan menurut fowler berawal pada usia 18 hingga 24 bulan setelah anak menjadi sadar
diri mulai menggunakan Bahasa dan simbolik dan mengembangkan yang erikson sebut
sebagai basic trust : rasa seseorang bahwa kebutuhannya akan dipenuhi oleh orang lain yang
lebih.
 Dari studinya ia memulai risetnya sendiri tentang perkembangan iman. Fowler telah membuat
studi tentang iman ini sebagai fokus pekerjaan hidupnya.
 Ketika ia memeriksa proses perkembangan iman, ia mengenali karakteristik proses yang
umum di antara orang-orang dari berbagai agama, termasuk Kristen, Yudaisme, Islam, dan
humanism sekuler.
 Fowler mengajukan enam tahap perkembangan iman yang berkaitan dengan teori
perkembangan Erikson, Piaget, & Kohlberg, yaitu :
a) Tahap 1 Tahap intuitif-proyektif atau intuitive-projective faith (masa kanak-kanak awal)
(usia 18-24 bulan).
Setelah bayi belajar mempercayai pengasuhnya, mereka menemukan gambaran
intuitifnya sendiri mengenai apa yang baik dan apa yang jahat. Ketika anak-anak mulai
memasuki tahap praoperasional menurut Piaget, dunia kognitif mereka mulai terbuka
terhadap berbagai kemungkinan baru. Benar dan salah dilihat menurut konsekuensi bagi
dirinya. Anak-anak mulai percaya akan adanya malaikat dan hal-hal gaib.
b) Tahap 2 Tahap mistis-literal atau mythic literal faith (masa kanak-kanak pertengahan
dan akhir) (usia 7 hingga 12 tahun)
Ketika anak-anak mulai memasuki tahap operasional konkret menurut Piaget,
mereka mulai bernalar secara lebih logis, konkret, namun tidak abstrak. Mereka
memandang dunia secara lebih teratur. Anak-anak usia sekolah menginterpretasikan
kisah-kisah religius secara literalis, dan pandangan mereka mengenai Tuhan sangat
menyerupai gambaran mereka mengenai orang tua yang memberikan ahdiah untuk
kebaikan yang dilakukan dan memberikan hukuman untuk keburukan yang dilakukan.
Pandangan mengenai kebenaran sering kali ditinjau berdasarkan pertukaran yang adil.
c) Tahap 3. Tahap sintesis-konvensionalatau synthetic-conventional faith (transisi antara
masa kanak-kanak dan remaja, remaja awal).
Sekarang remaja mulai mengembangkan pemikiran operasional formal (tahap
tertinggi menurut Piaget) dan mulai mengintegrasikan hal-hal yang pernah dipelajari
mengenai agama ke dalam suatu sistem keyakinan yang koheren. Menurut Fowler,
meskipun iman sintetis-konvensional lebih abstrak dibandingkan dua tahap sebelumnya,
remaja muda masih cenderung patuh terhadap keyakinan religius orang-orang lain
(sebagaimana yang dinyatakan dalam tahap moralitas konvensional menurut Kohlberg)
dan belum mampu menganalisis ideology alternative secara memadai. Benar salahnya
perilaku seseorang ditinjau menurut apakah perilaku itu membahayakan relasi atau apa
yang akan dikatakan oleh orang lain. Menurut Fowler, sebagian besar orang dewasa
terpaku pada tahap ini dan tidak pernah beralih ke tahap yang lebih tinggi dalam
perkembangan religiusnya. Iman remaja sering kali melibatkan sebuah relasi pribadi
dengan Tuhan. Tuhan dipandang sebagai sosok yang “selalu hadir untukku.”
d) Tahap 4. Iman individuatif-reflektif atau individuative-reflective faith (transisi antara
masa remaja dan masa dewasa, dewasa awal).
Menurut Fowler, di tahap ini untuk pertama kalinya individu mampu sepenuhnya
bertanggung jawab terhadap keyakinan religiusnya. Tahap ini sering kali didahului oleh
pengalaman meninggalkan-rumah, di mana orang muda mulai bertanggung jawab
terhadap kehidupannya sendiri dan mereka harus memperluas usahanya untuk mengikuti
rangkaian hidup tertentu. Individu mulai dihadapkan pada keputusan0keputusan seperti:
“Apakah saya sebaiknya mendahulukan kepentingan saya sendiri, atau sebaiknya saya
mempertimbangkan kesejahteraan orang lain terlebih dahulu?” “Apakah doktrin agama
yang diajarkan kepada saya itu bersifat mutlak atau relative sesuai dengan keyakinan
saya?” Menurut Fowler, pemikiran dan intelektual operasional formal yang menantang
nilainilai dan ideology religius individu yang sering kali muncul di kampus, merupakan
hal yang penting untuk mengembangkan iman individiatif-reflektif.
e) Tahap 5. Iman konjungtif atau conjunctive faith (masa dewasa pertengahan).
Menurut Fowler, jumlah orang dewasa yang memasuki tahap ini hanya sedikit.
Tahap ini lebih terbuka terhadap paradox dan mengandung berbagai sudut pandang yang
saling bertolak-belakang. Keterbukaan ini beranjak dari kesadaran seseorang mengenai
keterbatasan mereka. Salah seorang perempuan yang berada di tahap ini
mengungkapkan pemahaman religius yang kompleks sebagai berikut, “Tidak peduli
apakah kamu menyebutnya sebagai Tuhan atau Yesus atau Aliran Kosmik atau Realitas
atau Cinta, tidak peduli bagaimana Anda menyebutnya, Ia ada”.
f) Tahap 6. Iman universal atau universal faith (masa dewasa pertengahan tau masa dewasa
akhir).
Menurut Fowler, tahap tertinggi dari perkembangan religius melibatkan
transendensi dari sistem keyakinan tertentu untuk mencapai penghayatan kesatuan
dengan semua keberadaan dan komitmen untuk mengatasi berbagai rintangan yang
memecahbelah orang-orang di planet ini. Peristiwa-peristiwa yang menimbulkan konflik
tidak lagi dipandang sebagai paradoks. Menurut Fowler, hanya sangat sedikit orang
yang berhasil mencapai tahap perkembangan iman yang tertinggi ini. Tiga orang yang
menurut Fowler berhasil mencapai tahap inia dalah Mahatma Gandhi, Martin Luther
King, Jr., dan Bunda Teresa.

F. Budaya dan Penalaran Moral


 Kohlberg mengusulkan bahwa tahap perkembangan moralnya bersifat universal.
 Untuk menguji konsep tersebut, para peneliti menguji dilemma moral Kohlberg dibeberapa
budaya nonbarat.
 Di india, biarawan buddha mendapat skor lebih rendah daripada orang awam karena ternyata
model Kohlberg tidak cukup memadai untuk menaksir prinsip Kerjasama dan nonkekerasan
para pemeluk buddha.
 Dilemma Heinz direvisi untuk digunakan di Taiwan.
 Dalam revisi tersebut, seorang penjaga took tidak akan memberikan orang lain makanan
untuk istrinya yang sedang sakit. Versi ini tampak sulit dipercaya bagi para penduduk cina
yang lebih terbiasa mendengar seorang penjaga toko dalam situasi tersebut berkata, “kamu
harus membiarkan orang lain mendapatkan sesuatu terlepas dari mereka memiliki uang atau
tidak”.
 Sementara sistem Kohlberg didasarkan pada keadilan, etos masyarakat cina condong ke arah
kerukunan dan harmoni.
 Dalam format Kohlberg, responden mengambil keputusan ya atau tidak berdasarkan sistem
kepercayaan mereka sendiri.
 Dalam masyarakat cina, orang-orang yang dihadapkan pada dilemma moral diharapkan untuk
mendiskusikannya secara terbuka, dipundu oleh standar komunitas dan mencoba menemukan
cara mengatasi masalah yang menguntungkan sebanyak mungkin pihak.
 Dibarat, bahkan orang baik pun dapat dihukum berat jika mereka dalam desakan situasi
melanggar hukum.
 Masyarakat cina tidak terbiasa dengan hukum yang berlaku universal mereka diajarkan untuk
patuh pada keputusan dari penilaian yang bijak.

G. Gender dan Penalaran Moral


 Karena penelitian orisinal Kohlberg dilakukan terhadap anak laki-laki dan laki-laki.
 Carol Gilligan berpendapat bahwa sistemnya menempatkan lebih tinggi nilai keadilan (justice
dan fairness) yang “maskulin” daripada nilai-nilai belas kasihan, tanggung jawab, dan
pengasih yang “feminism”.
 Gillingan mengusulkan bahwa dilemma moral sentral perempuan Adalah konflik antara
kebutuhannya dan kebutuhan orang lain. Sementara kebanyakkan masyarakat biasanya
mengharapkan keasertifan dan penilaian mandiri dari laki-laki, mereka mengharapkan dari
perempuan pengorbanan diri dan perhatian terhadap orang lain.
 Untuk mencari tau bagaimana perempuan menentukan pilihan moral, gilingan mewawancarai
29 perempuan hamil tentang keputusan mereka melanjutkan atau mengakhiri kehamilan
mereka.
 Para perempuan ini memandang moralitas dalam konteks sifat mementingkan diri sendiri
(selfishness) versus tanggung jawab didefinisikan sebagai kewajiban untuk menerapkan
perhatian dan menghindari menyakiti orang lain.
 Gilingan menyimpulkan bahwa perempuan lebih sedikit memikirkan keadilan (justice dan
fairness) abstrak daripada laki-laki dan lebih banyak memikirkan tentang tanggung jawab
pada orang-orang tertentu. (table 13-1)

 Namun, penelitian lain belum secara keseluruhan menemukan perbedaan gender yang
signifikan pada penalaran moral.
 Pada suatu analisis berskala besar yang membandingkan hasil 66 penelitian, tidak ditemukan
perbedaan yang signifikan pada respons laki-laki dan perempuan terhadap dilemma Kohlberg
sepanjang rentang kehidupan.
 Dalam beberapa penelitian dimana laki-laki mendapat skor sedikit lebih tinggi temuan-
temuannya tidak jelas apakah memang berkaitan dengan gender karena lelaki umumnya lebih
berpendidikan dan memiliki pekerjaan lebih baik daripada perempuan.
 Analisis yang lebih baru terhadap 113 penelitian memperoleh kesimpulan yang agak sedikit
berbeda. Walaupun perempuan lebih besar kemungkinan berpikir tentang perhatian dan laki-
laki lebih besar berpikir tentang keadilan, perbedaan ini sangat kecil terutama diantara
mahasiswa universitas. Usia responden dan jenis dilemma atau pertanyaan yang diberikan
lebih menjadi faktor pembeda daripada gender.
 Dengan demikian, pengaruh dari bukti-bukti tersebut tampaknya tidak mendukung tentangan
Gillligan : bias lelaki dalam teori Kohlberg atau perspektif perempuan yang berbeda tentang
moralitas.

H. Transisi Perguruan Tinggi


 Perguruan tinggi merupakan jalur penting menuju kedewasaan, walaupun hanya merupakan
salah satu jalur dan baru belakangan ini menjadi pilihan yang paling umum.
 Sejumlah proporsi lulusan sekolah menengah atas AS yang melanjutkanke perguruan tinggi
dua atau empat tahun bertambah kurang dari setengah (49%) menjadi hampir 2/3 (64%).
 Mayoritas mahasiswa S1 mendaftar ke institusi yang memberikan gelar dengan lama studi
dua hingga empat tahun, tetapi proporsi yang terus bertambah memilih untuk menjalani
program perguruan tinggi paruh waktu atau mengikuti community college yang berorientasi
kejuruan dengan lama studi dua tahun.
 Angka pendaftaran pendidikan perguruan tinggi juga telah meningkat di negara-negara
industry lain.
 Pendaftaran perguruan tinggi di AS sedang pada rekor tertingginya 38% dari semua anak
berusia 18 hingga 24 tahun.
 Pada tahun 1970 perempuan lebih kecil kemungkinannya daripada laki-laki untuk
melanjutkan ke perguruan tinggi dan juga lebih kecil kemungkinan menyelesaikan studinya.
Kini, walaupun individu muda yang melanjutkan studi lebih banyak daripada tahun-tahun
sebelumnya partisipasi perempuan telah mengalahkan laki-laki sehingga saat ini perempuan
mencakup 56 persen dari mahasiswa S1.

I.Menyesuaikan Diri Dengan Dunia Perguruan Tinggi


 Banyak mahasiswa baru yang kelimpungan dengan tuntutan-tuntutan perkuliahan.
 Dukungan keluarga, baik finansial maupun emosional tampak menjadi faktor kunci dalam
penyesuaian diri baik bagi mahasiswa yang menempuh jarak jauh dari rumah dan bagi bagi
mereka yang menetap dikampus.
 Mahasiswa mampu beradaptasi memiliki bakat yang tinggi dan keterampilan memecahkan
masalah yang baik, terlibat secara aktif dalam studi dan lingkungan akademisnya serta
menikmati hubungan dekat, tetapi mandiri dengan orang tua mereka, cenderung paling baik
menyesuaikan diri dan memetic keuntungan paling banyak dari kehidupan perkuliahannya.
 Mahasiswa yang mandiri dan berorientasi pada prestasi cenderung menunjukkan kinerja
terbaik dikelas yang menekankan pada pembelajaran arahan-mandiri (self-directed),
sementara mahasiswa yang lebih bergantung pada orang lain dan mudah beradaptasi dengan
lingkungan, belajar lebih baik dalam lingkungan yang terstruktur.
 Mampu membangun jaringan sosial dan akademis yang kuat diantara teman-teman sebaya
dan instruktur juga penting.

J. Pertumbuhan Kognitif Di Perkuliahan


 Perkuliahan dapat menjadi periode penemuan intelektual dan pertumbuhan pribadi terutama
dalam keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, serta penalaran moral.
 Para mahasiswa berubah sebagai respon, yaitu :
1) Kurikulum yang menyodorkan berbagai wawasan baru dan cara berpikir baru.
2) Mahasiswa lain yang menantang pandangan dan nilai-nilai yang telah lama dianut.
3) Budaya mahasiswa yang berbeda dengan budaya masyarakat luas.
4) Anggota fakultas yang memberikan panutan baru.
 Pengalaman perguruan tinggi dapat mengarah ke perubahan fundamental dalam cara berpikir
mahasiswa.
 Dalam sebuah penelitian klasik yang menjadi dasar bagi penelitian mutakhir tentang
pemikiran positif dan refletif, wiliam perry mewawancarai 67 mahasiswa Harvard dan
radclife sepanjang masa studi S1 mereka dan menemukan bahwa cara berpikir mereka
bergerak maju dari kekakuan ke fleksibilitas dan akhirnya ke berbagai komitmen yang dipilih
secara bebas. Banyak mahasiswa yang mulai berkuliah memiliki ide-ide yang kaku tentang
kebenaran mereka tidak bisa melahirkan jawaban kecuali jawaban yang benar. Sejalan dengan
mahasiswa yang mulai berhadapan dengan ruang gagasan dan pandangan yang luas kata perry
mereka berlayar dilautan ketidakpastian. Namun mereka mengganggap tahap ini bersifat
sementara dan berharap akan mempelajari jawaban yang benar pada akhirnya. Kemudian
mereka menyadari semua pengetahuan dan nilai bersifat relatif.
 Mereka mengenali bahwa masyarakat yang berbeda dan individu yang berbeda memiliki
sistem mereka sendiri-sendiri.
 Mereka kini menyadari bahwa pendapat mereka tentang banyak isu ternyata sevalid pendapat
orang lain, bahwa pendapat orang tua atau guru. Tetapi mereka tidak dapat menemukan
makna atau nilai dalam teka-teki sistem dan kepercayaan ini.
 Ketidakberaturan kini menggantikan keteraturan. Akhirnya, mereka mencapai komitmen
dalam relativisme : mereka membuat penilaian mereka sendiri serta memiliki kepercayaan
dan nilai mereka sendiri walaupun ditengah ketidakpastian dan kesadaran akan adanya
kemungkinan lain yang juga valid.

K. Menyelesaikan Perguruan Tinggi


 Walaupun mendaftar perguruan tinggi telah menjadi lazim di AS, tidak demikian dengan
menyelesaikan perguruan tinggi. Hanya 1 dari 4 orang yang mendaftar perguruan tinggi (1
dari 2 pada institusi 2 tahun) menerima gelar setelah 5 tahun. Ini tidak berarti bahwa sisanya
mengundurkan diri.
 Makin banyak mahasiswa terutama laki-laki yang berkuliah lebih dari 5 tahun atau berpindah
dari institusi 2 tahun ke institusi 4 tahun menunjukkan konsistensi usaha mereka untuk
mendapatkan gelar.
 Keputusan apakah seseorang menyelesaikan kuliah atau tidak bukan hanya bergantung pada
motivasi, bakat akademis, dan persiapan dan kemampuan untuk bekerja mandiri tetapi juga
pada integrasi dan dukungan sosial : kesempatan bekerja, dukungan finansial, kecocokan
dengan pengaturan, kualitas, interaksi sosial dan akademis serta kecocokan anatara yang
ditawarkan oleh perguruan tinggi dan apa yang mahasiswa ingin dan butuhkan.

L. Pertumbuhan Kognitif Pada Dunia Kerja


 Kompleksitas substantif (Substantive complexity)
Adalah derajat dimana pekerjaan seseorang menuntut pemikiran dan penilaian mandiri serta
fleksebilitas seseorang dalam mengatasi tuntutan kognitif.
 Hipotesis tumpah (Substantive complexity of work)
Adalah bahwa terdapat korelasi positif antara intelektualitas pekerjaan dan aktivitas waktu
senggang karena terbawanya perolehan kognitif dari pekerjaan ke waktu sengang.
M. Menggabungkan Pekerjaan Dengan Sekolah
 Menurut catatan harian penggunaan waktu yang disimpan oleh dewasa awal usia 18-34 tahun
di 11 negara. Mahasiswa menghabiskan waktu bekerja pada tahun 1990an daripada dasawarsa
sebelumnya.
 Kerja paruh waktu memberikan pengaruh positif mungkin karena pekerjaan memaksa
mahasiswa mengatur waktu mereka secara efisien dan belajar baik tentang kebiasaan kerja.
 Namun bekerja lebih dari 15 – 20 jam perminggu cenderung memiliki dampak yang negative.

N. Pelatihan Literasi
 Literasi (literacy)
Kemampuan menggunakan informasi tercetak dan tertulis untuk berfungsi dalam masyarakat
mencapai berbagai tujuan dan mengembangkan berbagai pengetahuan dan potensi
 menurut survei literasi nasional dan internasional yang dilakukan sepanjang tahun 1990an
hampir setengah orang dewasa amerika tidak dapat memahami materi tertulis, memanipulasi
angka dan menggunakan dokumen cukup baik untuk berhasil di ekonomi sekarang.
 Pada tahun 2003 orang dewasa amerika mendapatkan skort es literasi internasional rendah
daripada orang dewasa di Bermuda norwegia dan sis tetapi lebih tinggi daripada mereka di
itali.
 Literasi terutama lazim bagi perempuan di negara-negara berkembang dimana pendidikan
biasanya dipandang tidak penting bagi perempuan.

O. Memperlancar Transisi Menuju Dunia Kerja


 Beberapa ilmuwan perkembangan mengusulkan beberapa pertimbangan untuk memperkuat
hubungan antara institusi kerja dan pendidikan, terutama community college yaitu :
a) Memperbaiki dialog antara pendidik dan pemberi kerja.
b) Memodifikasi jadwal sekolah dan kerja untuk beradaptasi terhadap kebutuhan mahasiswa
yang bekerja.
c) Memberikan kesempatan pemberi kerja merancang program-program kerja-belajar.
d) Meningkatkan ketersediaan pekerjaan sementara dan paruh waktu.
e) Menghubungkan lebih bai kapa yang mahasiswa pelajari di pekerjaan dan sekolah.
f) Memperbaiki pelatihan-pelatihan konselor bimbingan karier.
g) Menggunakan dengan lebih baik kelompok belajar dan pendukung serta tutoring dan
mentoring.
h) Menyediakan beasiswa, dukungan finansial, dan asuransi Kesehatan untuk mahasiswa
dengan pekerjaan paruh waktu dan juga penuh waktu.

Anda mungkin juga menyukai