Anda di halaman 1dari 15

SELF-KNOWLEDGE:

Bagaimana Kita Memahami Diri Sendiri

Penjelasan mengenai hal ini terdiri dari: (A) Sifat/ciri-ciri “the self”; (B) Mengenal
diri sendiri melalui introspeksi; (C) Mengenal diri sendiri dengan mengamati
perilaku kita sendiri; (D) Menggunakan orang lain untuk mengenal diri sendiri;
(F) Manajemen Kesan.

A. SIFAT/ CIRI-CIRI ’THE SELF’


Siapakah aku? Bagaimana kita memahami diri (self) kita sendiri? William James
(1842-1910), pendiri psikologi Amerika, menjelaskan adanya dualitas persepsi
kita mengenai diri sendiri:
- Self terdiri dari pikiran-pikiran dan keyakinan-keyakinan mengenai diri kita
sendiri, yang oleh James (1890) disebut sebagai the “known” (yang diketahui)
atau the “me” (aku yang diketahui).
- Selain itu, self sebagai pemroses (processor) informasi yang aktif, disebut
sebagai the ‘knower’ (yang mengetahui) atau “I” (aku yang mengetahui).
Dalam istilah modern,
- “Aku yang diketahui” disebut sebagai konsep diri (self-concept), yaitu
pengetahuan mengenai siapakah diri kita (isi dari self) ;
- “Aku yang mengetahui” menunjuk pada istilah kesadaran diri (self-
awareness), yaitu tindakan berpikir mengenai diri sendiri.
Kombinasi dari dua aspek diri ini menciptakan rasa identitas diri yang koheren
(jelas, terintegrasi).
Berikut ini beberapa informasi umum mengenai self:
- Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa binatang (simpanse, orang
utan, lumba-lumba (dolphin) juga memiliki ”rasa aku” (sense of self). Dalam
penelitian-penelitian itu simpanse, orang utan, dan lumba-lumba dibiasakan
dengan cermin di sekelilingnya. Setelah terbiasa, saat mereka tidur pada
bagian tubuh tertentu diberi warna oleh peneliti. Hasilnya, setelah melihat ke
cermin, mereka mengerti bahwa bagian tubuhnya telah berwarna (simpanse
dan orang utan memegang kepalanya yang berwarna merah; lumba-lumba
memutar badannya untuk melihat lebih jelas bagian tubuhnya yang
berwarna). Gallup dkk (2003) menyimpulkan bahwa binatang-binatang yang
diteliti tsb memiliki konsep diri yang belum sempurna. Mereka mengerti
bahwa mahluk pada cermin itu adalah dirinya, dan mengerti bahwa dirinya
nampak berbeda dari sebelumnya.
- Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa pengenalan akan diri (self
recognition) dimulai pada usia sekitar 2 tahun. Konsep diri yang awalnya

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 1


belum sempurna ini makin lama makin kompleks. Menjawab pertanyaan
”Siapakah aku?”, jawaban anak-anak masih bersifat kongkrit (menunjukkan
jenis kelamin, usia, orang terdekat, hobi, dsb). Setelah lebih matang kita
mengurangi fokus pada ciri-ciri fisik, melainkan kondisi psikologis (pikiran
dan perasaan) dan mempertimbangkan bagaimana penilaian orang lain.

1. Fungsi Self
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa self memiliki/melayani fungsi
organisasional (mengorganisir) dan fungsi eksekutif.
a. Fungsi Organisasional
- Fungsi ini menunjuk pada skema tentang diri (self-schemas), yaitu struktur
mental yang digunakan orang untuk mengorganisasikan pengetahuannya
mengenai diri sendiri, dan mempengaruhi bagaimana bagaima seseorang
mencatat, memikirkan, dan mengingat dirinya sendiri.
- Terdapat kecenderungan orang mengingat informasi secara lebih baik bila
informasi itu berkaitan dengan dirinya sendiri. Ini disebut sebagai self-
reference effect. Mengintegrasikan informasi dengan skema diri, ini
membantu kita mengorganisasikan informasi itu secara lebih baik dan
menghubungkannya dengan informasi lain mengenai diri sendiri, dan
memungkinkan kita lebih dapat mengingatnya pada waktu mendatang.
b. Regulasi Diri (Self-Regulation): Fungsi Eksekutif
- Fungsi eksekutif dari self: menyerupai CEO (chief executive officer) sebuah
perusahaan meregulasi perilaku, pilihan-pilihan, dan rencana-rencana untuk
masa mendatang.
- Regulasi diri berkaitan erat dengan pengendalian diri (self-control). Misalnya
diet (mengendalikan makan), mengatur perilaku belajar, dsb. Mengenai hal
ini terdapat model/teori yang disebut “self-regulatory resource model”. Teori
ini menjelaskan bahwa kontrol diri merupakan sumber daya yang terbatas,
seperti suatu otot yang lelah karena sering digunakan, tetapi kemudian pulih
kembali kekuatannya.
- Bila seseorang dalam keadaan stres, pengendalian diri sering gagal.
Mengapa? Stres menguras sumber daya diri sedemikian rupa sehingga tidak
tersedia sumber daya untuk hal lain. Pengendalian diri juga sering gagal pada
malam hari, karena individu sudah lelah setelah beraktivitas seharian.

2. Perbedaan Budaya Dalam Mendefinisikan Self


Masako pada usia 29 tahun memutuskan menikah dengan Putera Mahkota
Jepang, Naruhito. Padahal ia seorang diplomat karier yang terdidik di
Universitas Harvard dan Oxford. Pilihannya ini tentu saja mengubur kariernya
yang cemerlang.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 2


Bagaimana perasaan Anda mengenai hal ini? Jawaban Anda dapat
mencerminkan ciri-ciri konsep diri Anda dan budaya yang mempengaruhi.
- Individu dalam berbagai budaya Barat memiliki pandangan mengenai diri
yang independen (independent view of the self). Masyarakat Barat belajar untuk
mendefinisikan dirinya sendiri sebagai hal yang terpisah dari orang lain, dan
menghargai kebebasan dan keunikan diri.  Dalam menilai keputusan
Masako, masayarakat Barat cenderung menduga bahwa ia dipaksa menikah
oleh masyarakat yang sexis (menganggap jenis kelamin tertentu lebih unggul)
dan tidak menghargai kebebasan individu.

INDEPENDENT VIEW OF THE SELF: suatu cara mendefinisikan diri sendiri


dengan kerangka pikiran, perasaan, dan perilakunya sendiri, dan bukan dalam
kerangka pikiran, perasaan, dan perilaku orang lain.

- Budaya-budaya di Asia dan berbagai budaya non-Barat memiliki pandangan


mengenai diri yang saling tergantung (interdependent view of the self).
Keterhubungan (connectedness) dan saling ketergantungan antar orang sangat
dihargai, sedangkan kemandirian dan keunikan disukai.  Bagi masyarakat
Jepang dan Asia lainnya, pilihan Masako untuk berhenti berkarier merupakan
konsekuensi alami dari pandangannya mengenai diri sendiri yang terkoneksi
dan memiliki kewajiban atas orang lain (orang tua dan keluarga kerajaan).

INTERDEPENDENT OF VIEW OF THE SELF: suatu cara mendefinisikan diri


sendiri dengan kerangka relasi diri sendiri dengan orang lain; menghargai bahwa
perilakunya sendiri sering ditentukan oleh pikiran, perasaan, dan perilaku orang
lain.

Penjelasan mengenai perbedaan budaya mengenai konsep diri di atas tidak


berarti bahwa semua anggota masyarakat Barat memiliki independent view of the
self dan semua anggota masyarakat Asia memiliki interdependent view of the self.
Di dalam tiap-tiap budaya bagiamanapun juga terdapat perbedaan konsep diri.
Selain itu, bila kontak antar budaya meningkat, perbedaan antar budaya akan
berkurang.

3. Perbedaan Gender Dalam Mendefinisikan Self


Terdapat stereotip yang menyatakan bahwa bila wanita berkumpul, mereka
mengobrol soal hubungan interpersonal, sedangkan pria mengobrol tentang
berbagai hal yang mereka sukai (biasanya sport). Stereotip ini merefleksikan
adanya perbedaan konsep diri antara laki-laki dan perempuan:

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 3


- Konsep diri perempuan lebih ke arah relational interdependence, yang berarti
bahwa mereka lebih berfokus pada hubungan erat, misalnya bagaimana
perasaannya terhadap pasangan dan anak-anaknya.
- Konsep diri laki-laki lebih ke arah collective interdependence, yang berarti bahwa
mereka lebih berfokus pada keanggotaanya dalam kelompok besar, misalnya
fakta bahwa mereka orang Amerika atau anggota suatu kelompok
persaudaraan.
Konsep diri bersifat adaptif terhadap semua budaya. Budaya dan juga gender
membentuk isi konsep diri. Bagaimana dua hal ini dapat terjadi? Jawabannya
adalah bahwa dalam diri tiap-tiap orang terdapat suatu motif dasar yang
menuntun bagaimana ia memandang dirinya. Individu menghendaki:
(a) pengetahuan yang akurat tentang diri sendiri (sel-knowledge; self-assessment),
(b) adanya konfirmasi atas apa yang diyakini,
(c) umpan balik yang positif (self-enhance).
Hal ini terjawab melalui budaya dan tipe gendernya.
Penekanan atas motif-motif tersebut berbeda-beda antar budaya. Artinya, ada
budaya yang menekankan motif-motif untuk memiliki pengetahuan tentang diri
(sel-knowledge; self-assessment) yang akurat, konfirmasi atas apa yang diyakini,
dan umpan balik yang positif (self-enhance), di sisi lain terdapat budaya yang
tidak terlalu menekankan hal tsb. Sedangkan di dalam suatu budaya yang sama,
perbedaan motif tersebut terletak pada keberadaan motif-motif tersebut pada
titik yang berbeda pada daur hidup individu.
Berikut ini diuraikan mengenai self-assessment atau berbagai cara individu
mendapatkan pengetahuan mengenai dirinya secara akurat.

B. MENGENAL DIRI SENDIRI MELALUI INTROSPEKSI

INTROSPEKSI adalah proses individu melihat ke dalam dirinya dan


menguji pikiran-pikiran, perasaan-perasaan, dan motif-motifnya sendiri.

Berikut ini beberapa penjelasan yang berkaitan dengan introspeksi.

1. Teori Self Awareness


Seberapa sering individu berpikir mengenai dirinya sendiri?
Untuk menjawab pertanyaan tsb Csikszentmihalyi dan Figurski (1982)
melakukan penelitian terhadap 107 pekerja berusia 19-63 tahun dari berbagai
perusahaan. Subjek diminta mengenakan pager selama satu minggu. Pager
berbunyi dengan interfal acak antara pukul 7:30-22:30, secara keseluruhan
sebanyak 7-9 kali sehari. Saat pager berbunyi partisipan diminta menjawab

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 4


sejumlah pertanyaan mengenai aktivitasnya, pikirannya, dan mood-nya pada
saat itu.
Hasil penelitian atas pertanyaan “Apa yang Anda pikirkan?” menunjukkan
bahwa pikiran mengenai diri sendiri hanya sebanyak 8% dari keseluruhan
pikiran yang tercatat. Partisipan lebih sering berpikir mengenai pekerjaan, “tidak
berpikir apa-apa”, waktu, antara pekerjaan dan rumah, dan kegiatan di waktu
luang. Pikiran-pikiran yang lain yang frekuensinya kurang dari 8% adalah
mengenai orang-orang, percakapan dengan orang lain, hal-hal umum, TV dan
radio, makanan, projek penelitian.
Meskipun jarang berpikir mengenai diri sendiri, namun tentu saja kadang-
kadang kita mengubah arah perhatian menyadari diri sendiri, terutama bila
menghadapi situasi yang memicu kesadaran diri, misalnya melihat diri sendiri
dalam video atau cermin.
Menurut teori kesadaran diri (self awareness), bila kita memusatkan perhatian
pada diri sendiri, kita menilai dan membandingkan perilaku kita saat itu dengan
standar internal dan nilai-nilai kita. Kita menjadi sadar diri, dalam arti menjadi
objektif, menilai diri kita sendiri melalui pengamatan.

SELF-AWARENESS THEORY: gagasan bahwa bila orang memusatkan


perhatian terhadap dirinya sendiri, mereka menilai dan membandingkan
perilakunya dengan standar internal dan nilai-nilai mereka.

Dinamika self-awareness:
Dengan refleksi diri kita menjadi sadar akan kesenjangan antara perilaku
dengan standar internal kita. Bila kita merasa dapat mengubah perilaku sesuai
dengan standar internal, kita akan melakukannya, dan merasa nyaman
karenanya. Namun bila kita merasa tidak dapat mengubah perilaku kita, dalam
keadaan sadar diri, kita akan merasa tidak nyaman karena berhadapan dengan
umpan balik yang tidak menyetujui diri sendiri (Duval & Silvia, 2002). Karena
merasa tidak nyaman, biasanya orang cenderung melarikan diri dari kondisi
sadar diri.
Berikut ini beberapa catatan yang berkaitan dengan teori kesadaran diri:
- Kadang-kadang orang berharap menjauhkan diri dari kondisi sadar diri.
Berbagai upaya yang dilakukan, antara lain dengan menyalahgunakan
alkohol, pesta makanan, masokisme (lawan sadisme) seksual. Misalnya,
menjadi peminum alkohol merupakan cara untuk menghindari pikiran negatif
mengenai diri sendiri. Beberapa penulis menyimpulkan: kenyataan bahwa
orang-orang melakukan hal yang berbahaya, meskipun berisiko, merupakan
indikasi betapa tidak menyenangkan bila kita dalam kondisi sadar diri.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 5


- Tidak semua bentuk pelarian dari diri sendiri (escaping the self) itu bersifat
merusak. Berbagai bentuk pengalaman religius dan spiritual juga dapat
diartikan sebagai penghindaran dari kondisi terfokus pada diri sendiri
(Baumeister, 1991).
- Fokus pada diri sendiri tidak selalu tidak menyenangkan. Bila kita mengalami
sukses besar, berfokus pada diri sendiri dapat terasa sangat menyenangkan
karena hal itu memperjelas prestasi positif kita.
- Fokus pada diri sendiri dapat juga menjadi cara untuk keluar dari kesulitan,
yaitu mengingatkan kita akan mana yang benar dan yang salah, sehingga kita
memilih untuk bertindak benar.

2. “Menceritakan Lebih Banyak daripada yang Kita Ketahui” (Telling More


Than We Can Know)
Seperti telah dijelaskan dalam bab mengenai Kognisi Sosial (Bab 3), berbagai
proses mental terjadi di luar kesadaran (Wilson, 2002). Biasanya kita hanya sadar
akan hasil akhir proses berpikir kita (misalnya bahwa kita jatuh cinta), namun
tidak menyadari proses kognisi yang menyebabkan hasil tersebut. Itulah
sebabnya, hanya dengan introspeksi mungkin tidak membuat kita menemukan
penyebab pikiran atau perasaan kita, namun kita akan berhasil meyakinkan diri
mengenai penyebabnya.
Nisbett & Wilson (Nisbett & Ross, 1980; Nisbet & Wilson, 1977; Wilson, 2002)
menyebut fenomena ini sebagai ”telling more than we can know”, karena
penjelasan orang mengenai perilaku dan perasaannya sering jauh dari apa yang
dapat mereka ketahui secara rasional.
Sebagai contoh, penelitian Wilson, Laser, & Stone (1982) dengan partisipan
mahasiswa. Partisipan diminta mencatat suasana hatinya (mood) setiap hari
selama lima minggu. Mereka juga diminta melacak hal yang mungkin
menyebabkan mood mereka, misalnya cuaca, beban kerja, atau lama tidur pada
malam hari sebelumnya. Hasil analisis data menunjukkan bahwa dalam banyak
kasus, individu salah dalam memperkirakan apa yang mempengaruhi suasana
hati mereka. Misalnya, banyak orang mengira bahwa suasana hatinya
dipengaruhi oleh lamanya waktu tidur, padahal kenyataannya lamanya waktu
tidur tidak mempengaruhi mood.
Hal yang menjadi sandaran partisipan dalam memperkirakan penyebab
perasaan atau perilakunya adalah teori-teori kausal (causal theories) mereka.

CAUSAL THEORIES: teori-teori mengenai penyebab perasaan dan perilaku


kita sendiri; di mana teori-teori tersebut sering kita pelajari dari budaya kita.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 6


Masalahnya, seperti telah dibahas pada Bab 3, skema dan teori-teori kita tidak
selalu benar dan dapat mengakibatkan kesalahan dalam menilai penyebab
tindakan-tindakan kita.
Selain bersandar pada teori-teori kausal, dalam memperkirakan penyebab
perasaan atau perilaku kita sendiri, kita juga bersandar pada informasi-
informasi yang kita miliki mengenai diri kita sendiri.
Fakta menunjukkan bahwa bagaimanapun juga introspeksi tidak selalu
memberikan jawaban yang benar mengenai penyebab perasaan dan perilaku
kita.

3. Konsekuensi Introspeksi Mengenai Alasan Bertindak


Tim Wilson dkk (Wilson, 2002; Wilson dkk, 1989; Wilson dkk, 1995) telah
menemukan bahwa menganalisa alasan/penyebab dari perasaan kita bukan
selalu merupakan strategi terbaik dan dapat menyebabkan terjadi kesalahan.
Mengapa? Alasan-alasan yang nampaknya masuk akal dan mudah dikatakan,
seringkali mengakibatkan perubahan sikap. Perubahan sikap seperti ini disebut
sebagai reasons-generated attitude change.

REASONS-GENERATED ATTITUDE CHANGE: perubahan sikap yang


terjadi akibat seseorang berpikir mengenai alasan sikapnya; individu
beranggapan bahwa sikapnya sesuai dengan alasan-alasan yang masuk akal
dan mudah dikatakan.

C. MENGENAL DIRI SENDIRI MELALUI PENGAMATAN TERHADAP


PERILAKU SENDIRI
Teori persepsi diri (self-perception theory) dari Bem (1972) menyatakan bahwa
bila sikap dan perasaan kita tidak menentu atau kabur, kita mencoba menarik
kesimpulan dengan mengamati perilaku kita sendiri dan situasi yang ada.
Berikut ini diuraikan beberapa hal berkaitan dengan teori persepsi diri.

1. Motivasi Intrinsik versus Ekstrinsik

Orang tua atau pendidik sering berusaha mendorong anak untuk melakukan
suatu hal yang baik, misalnya kesenangan membaca. Mendorong anak untuk
suka membaca itu tidak mudah, karena harus bersaing dengan berbagai hal lain
yang menarik perhatian anak, antara lain menonton TV, video games, atau
internet. Untuk itu mereka seringkali menyediakan hadiah-hadiah.

Bagaimana efek pemberian hadiah terhadap kecintaan anak untuk membaca?


Berdasar program yang pemberian hadiah yang diterapkan di beberapa sekolah

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 7


di beberapa negara bagaian AS, tidak diragukan lagi bahwa hadiah-hadiah (uang
maupun pizza) merupakan motivator yang berdaya guna.

Namun demikian, manusia bukan binatang. Manusia berpikir mengenai dirinya


sendiri, mengenai konsep dirinya, dan motivasinya melakukan sesuatu. Bila
anak diberi hadiah (dibayar) setelah menyelesiakan membaca buku, maka ia
akan berpikir bahwa dirinya belajar demi mendapatkan uang, bukan karena
menemukan bahwa membaca itu sendiri adalah aktivitas yang menyenangkan
(dapat dinikmati). Bila program pemberian hadiah telah berakhir, tidak ada lagi
uang ataupun pizza sebagai hadiah membaca buku, mungkin anak justru lebih
sedikit membaca bila dibanding sebelum ada program pemberian hadiah.
Lain halnya pada anak-anak yang sudah suka membaca, mereka memiliki
motivasi intrinsik. Motivasi intrinsik, yaitu kebutuhan untuk melakukan suatu
aktivitas karena mereka menikmatinya atau menemukan bahwa aktivitas itu
menarik, bukan karena ganjaran eksternal ataupun adanya tekanan. Alasan
untuk melakukan aktivitas ada dalam diri anak itu sendiri, yaitu kesenangan dan
kenikmatan bila melakukannya.
Apa yang terjadi bila anak mulai mendapatkan hadiah untuk aktivitasnya
membaca? Semula mereka membaca dengan motivasi intrinsik, sekarang dipacu
dengan motivasi ekstrinsik. Motivasi ekstrinsik, yaitu kebutuhan untuk
melakukan aktivitas karena adanya ganjaran eksternal (dari luar diri) atau
adanya tekanan, bukan karena menikmatinya atau menemukan bahwa aktivitas
itu menarik.

Efek dari Pembenaran yang Berlebihan (Overjustification). Menurut teori


persepsi diri, hadiah dapat menurunkan motivasi intrinsik. Bila sebelumnya
anak telah menyukai aktivitas membaca karena memang menikmatinya, setelah
ada program pemberian hadiah ia membaca sedemikian rupa untuk
mendapatkan hadiah. Mengganti motivasi intrinsik dengan motivasi ekstrinsik,
hasilnya sungguh tidak menguntungkan, membuat orang kehilangan minat
terhadap aktivitas yang sebelumnya mereka nikmati. Hasil seperti inilah yang
disebut sebagai overjustivication effect.

OVERJUSTIFICATION EFFECT: kecenderungan orang-orang untuk


melihat perilakunya disebabkan oleh alasan ekstrinsik (di luar dirinya) yang
menarik, ini membuat mereka meremehkan kemungkinan perilakunya
disebabkan alasan intrinsik (dari dalam dirinya).

Melestarikan Minat Intrinsik. Bagaimana kita dapat melindungi motivasi


intrinsik dari bahaya masyarakat yang menggunakan sistem ganjaran?
Untunglah, kondisi overjustivication effect dapat dihindari. Ganjaran akan

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 8


merusak minat (interest) hanya jika minat tersebut semula tinggi (Calder & Staw,
1975; Tang & Hall, 1995). Bila seorang anak tidak memiliki minat membaca,
kemudian ditawari hadiah agar ia mebaca, hal ini tidak menjadi masalah, karena
tidak ada minat awal yang dirusak.
Selain itu, jenis ganjaran juga menentukan. Dua jenis ganjaran yang
dimaksudkan adalah:
- Ganjaran bergantung pada tugas (Task-contingent rewards), adalah ganjaran
yang diberikan setelah tugas diselesaikan, tanpa memperhatikan kualitas
penyelesaian tugasnya.
- Ganjaran bergantung pada kinerja (Performance-continent rewards), adalah
ganjaran yang diberikan berdasarkan kualitas kinerja dalam suatu tugas.
Ganjaran yang bergantung pada kinerja, lebih kecil kemungkinannya
menurunkan minat, bahkan memungkinkan terjadinya peningkatan minat.
Mengapa? Karena ganjaran seperti itu membawa pesan ”Kamu bagus dalam
melakukan tugasmu” (Deci & Ryan, 1985; Sansone & Harackiewicz, 1997).
Namun demikian, perlu diketahui bahwa meskipun orang menyukai adanya
umpan balik positif, namun mereka tidak suka bila menemukan dirinya sedang
dievaluasi (Harackiewicz, 1989; Harackiewicz dkk, 1984). Jadi, pemberian
ganjaran yang bergantung pada kinerja memiliki efek positif, asalkan tidak
membuat individu merasa tegang karena mengetahui dirinya dievaluasi.

2. Memahami Emosi Kita: Teori Emosi Dua Faktor


Bagaimana kita memahami emosi yang kita alami (senang, marah, takut, dsb)?
Terjadinya memiliki banyak kesamaan dengan proses persepsi diri yang telah
dibahas di atas.
Stanley Schachter (1964) mengemukakan teori emosi yang menyatakan bahwa
kita menyimpulkan emosi kita dengan cara yang sama seperti menyimpulkan
orang seperti apakah diri kita. Dalam tiap-tiap kasus kita mengamati perilaku
kita, dan kemudian menjelaskan mengapa kita berperilaku seperti itu. Bedanya,
dalam dalam hal emosi, yang kita amati adalah perilaku internal kita, yaitu
bagaimana kita merasa terbangkitkan/bergejolak (aroused) secara fisiologis.
Teori Schachter disebut teori emosi dua faktor (two-factor theory of emotion).

TWO-FACTOR THEORY OF EMOTION: gagasan bahwa pengalaman


emosi adalah hasil dari dua langkah proses persepsi diri, di mana individu
pertama-tama mengalami gejolak fisiologis (arousal) dan kemudian mencari
penjelasan yang tepat untuk gejolak fisiologis tsb.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 9


Eksperimen Untuk Menguji Teori Emosi Dua Faktor:
Umpamakan bahwa Anda berpartisipasi dalam penelitian yang dilakukan oleh
Schachter & Singer (1962) yang menguji teori emosi dua faktor. Partisipan
diberitahu oleh eksperimenter bahwa ia hendak meneliti efek vitamin yang
disebut Suproxin terhadap pengelihatan. Diberitahukan bahwa setelah diinjeksi
Suproxin partisipan diminta menanti sementara vitamin itu bekerja.
Eksperimenter memperkenalkan tiap partisipan kepada partisipan yang lain
yang katanya juga telah diinjeksi Suproxin. Eksperimenter memberikan kuesioner
kepada tiap partisipan untuk diisi, dan mengatakan akan kembali lagi untuk
melakukan tes pengelihatan.
Partisipan melihat bahwa kuesioner itu sangat pribadi dan menghina. Misalnya,
berupa pertanyaan ”Dengan berapa banyak laki-laki (selain ayahmu) ibumu
telah melakukan hubungan di luar nikah?”. Beberapa partisipan lain (yang
sebenarnya adalah anak buah eksperimenter) bereaksi sangat marah, geram,
hingga menyobek-nyobek kuesioner, melemparnya ke lantai, dan keluar ruang.
Bagaiman reaksi Anda bila menjadi partisipan dalam eksperimen tsb? Apakah
Anda juga marah?
Eksperimen ini sebenarnya tidak bertujuan untuk menguji pengelihatan,
melainkan untuk melihat adanya arousal dan interpretasi terhadap arousal tsb
dalam pengalaman emosi. Partisipan tidak benar-benar diinjeksi vitamin,
melainkan sebagian partisipan diinjeksi epinephrine, yaitu hormon yang secara
alami diproduksi dalam tubuh manusia yang menyebabkan arousal (suhu badan,
detak jantung dan pernafasan meningkat), dan sebagian partisipan lainnya
menerima placebo yang tidak memiliki efek fisiologis apapun.
Hasilnya, partisipan yang diinjeksi epinephrin (tanpa menyadari bahawa ada
pengaruh epinephrin dalam tubuhnya) bereaksi jauh lebih marah daripada
partisipan yang diinjeksi placebo. Kemarahan mereka distimulasi oleh epinephrin
maupun oleh kuesioner, namun mengira penyebab kemarahannya semata-mata
akibat kuesioner.
Implikasi yang menarik dari teori Scachter dan Singer adalah bahwa emosi
manusia merupakan sesuatu yang sewenang-wenang, tergantung penjelasan
yang paling masuk akal terhadap arousal yang dialaminya.
Schachter & Singer (1962) melakukan eksperimen untuk lebih memperjelas hal
tersebut dengan dua cara:
(1) Pertama, mereka menunjukkan bahwa kemarahan partisipan dapat dicegah
dengan cara memberitahukan kepada partisipan yang diinjeksi epinephrin
bahwa hal itu akan meningkatkan detak jantung, membuat wajah terasa
hangat dan memerah, dan menyebabkan tangan mereka agak gemetar.
Hasilnya, dalam kondisi eksperimen ini partisipan menginterpretasi bahwa
arousal yang dialami bukan karena marah melainkan karena efek dari

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 10


epinephrin. Partisipan tidak bereaksi marah terhadap kuesioner, meskipun
kuesionernya berisi pertanyaan yang melecehkan.
(2) Dalam kondisi yang lain, Schachter & Singer menunjukkan bahwa mereka
dapat membuat partisipan mengalami emosi yang sangat berbeda, dengan
mengubah penjelasan yang paling masuk akal terhadap arousal yang mereka
alami. Partisipan tidak menerima kuesioner yang melecehkan, dan anak buah
eksperimenter tidak menunjukkan respon marah, melainkan malah bereaksi
gembira, masa bodoh, bermain basket dengan gulungan kertas, membuat
pesawat kertas, dan bermain dengan hula hoop yang ditemukan di sudut
ruang. Bagaimana respon partisipan dalam kondisi ini? Bila partisipan
menerima epinephrin tapi tidak diberitahu bagaimana efeknya, mereka
menyimpulkan bahwa dirinya harus merasa bahagia, dan sering ikut
berkelakar dengan anak buah eksperimenter. Efek dari epinephrine tidak
disadarinya; partisipan menyandarkan pada petunjuk eksternal untuk
menjelaskan perilakunya.

3. Menemukan Penyebab yang Salah: Kesalahan Mengatribusi Arousal


Dalam situasi sehari-hari, sering kali ditemukan lebih dari satu penyebab yang
masuk akal bagi arousal yang kita alami, dan sulit untuk mengidentifikasi mana
penyebab yang paling menimbulkan arousal. Dalam keadaan demikian, dapat
terjadi kesalahan mengatribusi arousal (misattribution of arousal).

MISSATRIBUTION OF AROUSAL: proses di mana orang-orang membuat


kesalahan dalam menyimpulkan penyebab dari apa yang mereka rasakan.

Untuk menguji fenomena kesalahan atribusi ini, Dutton & Aron (1974)
melakukan eksperimen lapangan, di mana seorang wanita melakukan
pendekatan kepada pria-pria, memintanya mengisi kuesioner, dalam dua kondisi
eksperimen yang berbeda. Dalam salah satu kondisi, wanita itu melakukan
pendekatan kepada pria-pria yang tengah di atas jembatan gantung yang
membentang di atas jurang dan memintanya mengisi kuesioner. Hasilnya,
sekitar 65% pria yang didekati tertarik pada wanita itu dan melponnya untuk
berkencan. Dalam kondisi yang lain, wanita yang sama mendekati para pria dan
memintanya mengisi kuesioner setelah mereka selesai melintas jembatan dan
telah beristirahat. Hasilnya relatif sedikit (sekitar 30%) pria yang kemudian
menelponnya untuk berkencan.
KESIMPULAN: Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pria yang didekati
si wanita di atas jembatan telah melakukan kesalahan atribusi, yaitu arousal yang
disebabkan ia melintasi jembatan (jantung berdebar, nafas lebih cepat, dan mulai
berkeringat) mereka simpulkan sebagai ketertarikan terhadap kecantikan si
wanita.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 11


Kesalahan atribusi seperti ini juga ditemukan terjadi dalam beberapa penelitian
lainnya. Hasil-hasil penelitian ini memberikan pesan moral: Bila Anda
menghadapi pria atau wanita yang menarik dan jantung anda mulai dag-dig-
dug, Anda perlu hati-hati berpikir mengenai penyebab debaran jantung itu --
mungkin saja Anda telah jatuh cinta karena ada penyebab yang lain.

4. Menginterpretasi Dunia Sosial: Teori-teori Penilaian Emosi (apprisal


theories of emotion)

APPRISAL THEORIES OF EMOTIONS: teori-teori yang menyatakan


bahwa emosi merupakan hasil dari interpretasi dan penjelasan individu
terhadap kejadian-kejadian, bahkan ketika dalam keadaan tidak ada arousal
fisiologis.

Terdapat dua jenis penilaian (penilaian kognitif terhadap emosi) yang penting,
yaitu:
(a) Apakah kejadian/peristiwa yang ada memiliki implikasi (pengaruh) yang
baik atau buruk bagi kita? Misalnya, bila mendengar kabar sukses seorang
teman berarti kegagalan kita (dalam kompetisi), berarti kejadian itu memiliki
implikasi negatif untuk kita, maka kita kecewa. Sebaliknya, bila mendengar
kabar sukses seorang teman yang selama ini kita dukung, berarti kejadian itu
memiliki implikasi positif untuk kita, dan kita merasa bangga.
(b) Bagaimana penjelasan kita mengenai penyebab peristiwa tsb? Misalnya jika
dalam suatu kompetisi basket tim kita kalah, dan kita menilai bahwa pihak
lawan memang bekerja keras dan bermain fair, maka kita mungkin merasa
kagum. Namun bila kita menilai pihak lawan bermain curang, maka kita
merasa marah.
Teori ini memiliki kesamaan dengan salah satu faktor dari teori dua faktornya
Schachter, yaitu bagian yang menjelaskan bahwa individu mencoba menjelaskan
penyebab kejadian dan reaksinya terhadap hal itu. Perbedaannya, menurut teori
penilaian kognitif, arousal (faktor lain dalam teori dua faktor) tidak selalu ada;
penialian kognitif itu sendiri telah cukup menjadi penyebab terjadinya reaksi
emosi.

D. MENGGUNAKAN ORANG LAIN UNTUK MENGENAL DIRI SENDIRI


Konsep diri kita berkembang bukan hanya oleh diri kita sendiri, melainkan juga
dibentuk oleh orang-orang di sekitar kita. Bila kita tidak pernah berinteraksi
dengan orang lain, maka gambaran diri kita akan kabur, karena kita tidak
melihat diri kita yang berbeda dengan orang lain.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 12


1. Mengetahui Diri Sendiri melalui Perbandingan Diri Sendiri Dengan Orang
Lain
Bagaimana cara kita menggunakan orang lain untuk mendefinisikan diri kita?
Salah satu caranya adalah mengetahui kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap
kita dengan melihat bagaimana kita dibanding dengan orang lain (perbandingan
sosial).

TEORI PERBANDINGAN SOSIAL (social comparison theory): gagasan


bahwa kita belajar mengenai kemampuan-kemampuan dan sikap-sikap kita
sendiri dengan cara membandingkan diri sendiri dengan orang lain.

Kapan kita melakukan perbandingan sosial? Sesorang melakukan


perbandingan sosial bila tidak ada standar objektif yang dapat digunakan untuk
mengukur dirinya sendiri dan bila ia mengalami ketidakpastian mengenai
dirinya sendiri dalam bidang tertentu (Suls & Fletcher, 1983; Suls & Miller, 1977).
Misalnya bila dalam suatu acara amal pengunjung dimintai sumbangan, kita
sebagai salah satu penyumbang mungkin berusaha mengetahui seberapa murah
hati diri kita dengan cara membandingkan besarnya sumbangan kita bila
dibanding orang lain.
Dengan siapa kita membandingkan diri kita? Hasil penelitian Gilbert dkk
(1983) dan juga Mussweiler dkk (2004) menyimpulkan bahwa secara cepat dan
otomatis kita cenderung membandingkan diri dengan siapa saja yang ada di
sekitar kita. Namun, sesudahnya kita menilai seberapa tepat perbandingan sosial
itu.
Perbandingan sosial dapat juga dilakukan dengan strategi tertentu, sesuai
dengan tujuan kita:
a. Perbandingan sosial ke bawah (downward), yaitu membandingkan diri
dengan orang yang memiliki ciri-ciri atau kemampuan tertentu lebih buruk
daripada diri kita sendiri. Hal ini merupakan strategi untuk meningkatkan
diri (self enhancing), perlindungan bagi diri sendiri, mendorong ego kita
sendiri. Misalnya, bila membandingkan diri dengan orang yang tidak
sepandai kita, maka perasaan mengenai diri kita sendiri akan lebih baik. Kita
juga merasa lebih baik bila membandingkan diri sendiri di masa sekarang
dengan diri di masa lalu.
b. Perbandingan sosial ke atas (upward), yaitu membandingkan diri dengan
orang yang memiliki ciri-ciri atau kemampuan tertentu lebih baik daripada
diri kita sendiri. Hal ini kita lakukan bila kita ingin mengetahui siapa yang
posisinya ”best of the best”, yang dapat kita jadikan aspirasi untuk
mengembangkan diri.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 13


c. Bila kita ingin mengukur secara akurat kemampuan dan pandangan-
pandangan kita, seringkali akan lebih bermanfaat bila kita membandingkan
diri dengan orang yang memiliki latar belakang sama dengan diri kita.
2. Mengetahui Diri Sendiri Dengan Mengadopsi Pandangan Orang-orang
Lain
Kadang-kadang kita menggunakan orang lain sebagai tolok ukur untuk menilai
kemampuan kita sendiri. Pandangan kita tentang dunia sosial, seringkali kita
adopsi dari pandangan teman-teman kita. Orang cenderung berpegang pada
pandangan umum. Mengapa?
- Orang-orang yang memiliki pandangan yang sama saling tertarik satu sama
lain, dan lebih sering membentuk ikatan sosial bila dibanding orang yang
berbeda pandangan.
- Di dalam kondisi yang sama, orang cenderung mengadopsi pandangan orang-
orang lain yang sepergaulan. Charles Cooley (1902) menyebut fenomena ini
sebagai ”looking glass self”, yaitu bahwa kita melihat diri sendiri dan dunia
sosial kita melalui pandangan orang-orang lain dan sering mengadopsi
pandangan itu. Beberapa penelitian yang lebih mutakhir (Hardin & Higgins,
1996; Huntstinger, 2005) menyatakan bahwa fenomena ini benar sepanjang
satu sama lain ingin bergaul.
Tidak mengherankan bahwa antar teman saling mempengaruhi pandangan. Hal
yang mengherankan adalah apa yang disebut sebagai SOCIAL TUNING, yaitu
proses di mana orang-orang mengadopsi sikap orang lain. Hal ini dapat terjadi
meskipun kita baru berjumpa untuk pertama kali, sepanjang kita ingin bergaul
dengan orang itu. Social tuning dapat terjadi tanpa disadari (otomatis).

E. MANAJEMEN KESAN: DUNIA SEBAGAI PANGGUNG


MANAJEMEN KESAN adalah usaha orang untuk mendapati orang lain melihat
dirinya sebagaimana ia ingin dilihat. Bukan hanya para politisi, melainkan dalam
kehidupan sehari-hari kita pun melakukan manajemen kesan.
Terdapat beberapa strategi manajemen kesan (Jones & Pittman, 1982):
a. Ingratiation: proses di mana orang merayu, memberikan pujian, dan secara
umum mencoba membuat dirinya menyenangkan bagi orang lain, biasanya
orang lain yang statusnya lebih tinggi. Kita dapat melakukan ingratiation
melalui penghormatan, dengan menyetujui gagasan orang lain, menunjukkan
rasa simapti, dsb. Ingratiation merupakan strategi yang berdaya guna,
sepanjang itu baik. Namun dapat menjadi bumerang bila kita bermuka dua.
b. Self-Handicaping: Strategi di mana orang menciptakan hambatan dan
alasan-alasan bagi diri sendiri sedemikian rupa sehingga jika dirinya
melakukan tugas dengan buruk, dapat menghindar dari kesalahan diri

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 14


sendiri. Hal ini kita lakukan karena bila gagal dalam tugas, konsep diri kita
cidera. Oleh sebab itu untuk menghindarinya, kita membuat hambatan
(misalnya mengonsumsi alkohol, dsb) ataupun membuat alasan (mengaku
sakit, dsb). Strategi ini berisiko kita tidak disukai orang lain; pada umumnya
orang tidak menyukai orang yang menggunakan strategi ini (Hirt dkk, 2003;
Rhodwalt dkk, 1995). Lebih baik kita belajar secara keras dan melakukan
yang terbaik dari pada mengkhawatirkan bagaimana penilaian orang lain bila
kita gagal.

Budaya, Manajemen Kesan, dan Self-Enhancement


Orang dari budaya manapun peduli untuk melakukan manajemen kesan, namun
sifat kepedulian dan strategi yang dipilih berbeda-beda, dipengaruhi oleh
budaya. Misalnya, orang Asia lebih memiliki pandangan interdependent terhadap
dirinya bila dibanding orang Barat. Konsekuensinya, dalam budaya Asia,
menyelamatkan muka (safing face) atau menghindari malu di hadapan publik,
merupakan hal yang penting.
Bagaimanapun, kebutuhan untuk melakukan manajemen kesan pada budaya
Barat juga kuat. Orang dari budaya manapun menginginkan orang lain
memandang dirinya sebagai orang yang baik yang bertindak dengan cara yang
tepat (Heine, 2005). Terdapat kecenderungan yang disebut sebagai self-
enhancement.

SELF-ENHANCEMENT: kecenderungan untuk berfokus pada informasi


positif dan menampilkan informasi positif mengenai diri sendiri, dan
meminimalkan informasi negatif.

Handout Psi Sosial II: SELF-KNOWLWDGE / M.M. Nilam Widyarini 15

Anda mungkin juga menyukai