Penjelasan mengenai hal ini terdiri dari: (A) Sifat/ciri-ciri “the self”; (B) Mengenal
diri sendiri melalui introspeksi; (C) Mengenal diri sendiri dengan mengamati
perilaku kita sendiri; (D) Menggunakan orang lain untuk mengenal diri sendiri;
(F) Manajemen Kesan.
1. Fungsi Self
Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa self memiliki/melayani fungsi
organisasional (mengorganisir) dan fungsi eksekutif.
a. Fungsi Organisasional
- Fungsi ini menunjuk pada skema tentang diri (self-schemas), yaitu struktur
mental yang digunakan orang untuk mengorganisasikan pengetahuannya
mengenai diri sendiri, dan mempengaruhi bagaimana bagaima seseorang
mencatat, memikirkan, dan mengingat dirinya sendiri.
- Terdapat kecenderungan orang mengingat informasi secara lebih baik bila
informasi itu berkaitan dengan dirinya sendiri. Ini disebut sebagai self-
reference effect. Mengintegrasikan informasi dengan skema diri, ini
membantu kita mengorganisasikan informasi itu secara lebih baik dan
menghubungkannya dengan informasi lain mengenai diri sendiri, dan
memungkinkan kita lebih dapat mengingatnya pada waktu mendatang.
b. Regulasi Diri (Self-Regulation): Fungsi Eksekutif
- Fungsi eksekutif dari self: menyerupai CEO (chief executive officer) sebuah
perusahaan meregulasi perilaku, pilihan-pilihan, dan rencana-rencana untuk
masa mendatang.
- Regulasi diri berkaitan erat dengan pengendalian diri (self-control). Misalnya
diet (mengendalikan makan), mengatur perilaku belajar, dsb. Mengenai hal
ini terdapat model/teori yang disebut “self-regulatory resource model”. Teori
ini menjelaskan bahwa kontrol diri merupakan sumber daya yang terbatas,
seperti suatu otot yang lelah karena sering digunakan, tetapi kemudian pulih
kembali kekuatannya.
- Bila seseorang dalam keadaan stres, pengendalian diri sering gagal.
Mengapa? Stres menguras sumber daya diri sedemikian rupa sehingga tidak
tersedia sumber daya untuk hal lain. Pengendalian diri juga sering gagal pada
malam hari, karena individu sudah lelah setelah beraktivitas seharian.
Dinamika self-awareness:
Dengan refleksi diri kita menjadi sadar akan kesenjangan antara perilaku
dengan standar internal kita. Bila kita merasa dapat mengubah perilaku sesuai
dengan standar internal, kita akan melakukannya, dan merasa nyaman
karenanya. Namun bila kita merasa tidak dapat mengubah perilaku kita, dalam
keadaan sadar diri, kita akan merasa tidak nyaman karena berhadapan dengan
umpan balik yang tidak menyetujui diri sendiri (Duval & Silvia, 2002). Karena
merasa tidak nyaman, biasanya orang cenderung melarikan diri dari kondisi
sadar diri.
Berikut ini beberapa catatan yang berkaitan dengan teori kesadaran diri:
- Kadang-kadang orang berharap menjauhkan diri dari kondisi sadar diri.
Berbagai upaya yang dilakukan, antara lain dengan menyalahgunakan
alkohol, pesta makanan, masokisme (lawan sadisme) seksual. Misalnya,
menjadi peminum alkohol merupakan cara untuk menghindari pikiran negatif
mengenai diri sendiri. Beberapa penulis menyimpulkan: kenyataan bahwa
orang-orang melakukan hal yang berbahaya, meskipun berisiko, merupakan
indikasi betapa tidak menyenangkan bila kita dalam kondisi sadar diri.
Orang tua atau pendidik sering berusaha mendorong anak untuk melakukan
suatu hal yang baik, misalnya kesenangan membaca. Mendorong anak untuk
suka membaca itu tidak mudah, karena harus bersaing dengan berbagai hal lain
yang menarik perhatian anak, antara lain menonton TV, video games, atau
internet. Untuk itu mereka seringkali menyediakan hadiah-hadiah.
Untuk menguji fenomena kesalahan atribusi ini, Dutton & Aron (1974)
melakukan eksperimen lapangan, di mana seorang wanita melakukan
pendekatan kepada pria-pria, memintanya mengisi kuesioner, dalam dua kondisi
eksperimen yang berbeda. Dalam salah satu kondisi, wanita itu melakukan
pendekatan kepada pria-pria yang tengah di atas jembatan gantung yang
membentang di atas jurang dan memintanya mengisi kuesioner. Hasilnya,
sekitar 65% pria yang didekati tertarik pada wanita itu dan melponnya untuk
berkencan. Dalam kondisi yang lain, wanita yang sama mendekati para pria dan
memintanya mengisi kuesioner setelah mereka selesai melintas jembatan dan
telah beristirahat. Hasilnya relatif sedikit (sekitar 30%) pria yang kemudian
menelponnya untuk berkencan.
KESIMPULAN: Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pria yang didekati
si wanita di atas jembatan telah melakukan kesalahan atribusi, yaitu arousal yang
disebabkan ia melintasi jembatan (jantung berdebar, nafas lebih cepat, dan mulai
berkeringat) mereka simpulkan sebagai ketertarikan terhadap kecantikan si
wanita.
Terdapat dua jenis penilaian (penilaian kognitif terhadap emosi) yang penting,
yaitu:
(a) Apakah kejadian/peristiwa yang ada memiliki implikasi (pengaruh) yang
baik atau buruk bagi kita? Misalnya, bila mendengar kabar sukses seorang
teman berarti kegagalan kita (dalam kompetisi), berarti kejadian itu memiliki
implikasi negatif untuk kita, maka kita kecewa. Sebaliknya, bila mendengar
kabar sukses seorang teman yang selama ini kita dukung, berarti kejadian itu
memiliki implikasi positif untuk kita, dan kita merasa bangga.
(b) Bagaimana penjelasan kita mengenai penyebab peristiwa tsb? Misalnya jika
dalam suatu kompetisi basket tim kita kalah, dan kita menilai bahwa pihak
lawan memang bekerja keras dan bermain fair, maka kita mungkin merasa
kagum. Namun bila kita menilai pihak lawan bermain curang, maka kita
merasa marah.
Teori ini memiliki kesamaan dengan salah satu faktor dari teori dua faktornya
Schachter, yaitu bagian yang menjelaskan bahwa individu mencoba menjelaskan
penyebab kejadian dan reaksinya terhadap hal itu. Perbedaannya, menurut teori
penilaian kognitif, arousal (faktor lain dalam teori dua faktor) tidak selalu ada;
penialian kognitif itu sendiri telah cukup menjadi penyebab terjadinya reaksi
emosi.