Anda di halaman 1dari 7

MANUSIA SEBAGAI SYMBOLIC ANIMAL

MAKALAH

Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Manusia

Dosen Pengampu :

Nurul Shofiah, M.PD.

Disusun oleh :

1. Rofidatul Latifah (200401110260)


2. Fahma Mutia Wardah (200401110289)

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2021
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Dua definisi tentang manusia yang telah dibahas yaitu pada rational animal dan
religious animal telah menjelaskan hakikat manusia diteropong dari struktur metafisik dan
fisiknya namun pada definisi symbolic animal, manusia dilihat dari karya-karya manusia
sendiri. Konsep symbolic animal berasal dari Ernst Cassirer dalam buku An Essay on Man
(1944), menyebutkan manusia sebagai hewan yang menciptakan atau memaknai simbol (A
Symbol-making or Symbolizing Animal). Namun Cassirer membantah bahwa karakteristik
utama manusia bukan terletak dalam hakikat metafisik atau fisiknya dalam karyanya.

Manusia sebagai symbolic animal yakni makhluk yang mampu berbahasa baik
secara tulisan maupun lisan. Dengan bahasa manusia dapat mengembangkan pengetahuan
ilmiah-abstrak dan pengetahuan estetika demi memajukan kebudayaannya sepanjang segala
periode kehidupan manusia. Manusia adalah animal symbolicum, atau binatang yang
menghidupi dan dihidupi simbol. Ini adalah pernyataan Cassier perihal manusia dalam buku
An Essay on Man. Manusia dalam berkomunikasi membuat simbol-simbol untuk dapat saling
memahami, kebutuhan untuk saling berkomunikasi terjadi saat itu juga untuk memenuhi
kebutuhan manusia sebagai mahluk sosial. Namun tidak begitu dengan binatang, binatang
tidak memproduksi simbol untuk berkomunikasi, hanya sebatas tanda.

Simbol merupakan dimensi baru pada manusia yang tidak terdapat pada hewan. Dia
mendasarkan definisi hewan simbolis pada temuan-temuan ilmu biologi. Tanda berbeda
dengan symbol karena keduanya terletak pada dua bidang pembahasan yang berbeda. Tanda
adalah bagian dari dunia fisik, simbol adalah bagian dari duniamakna manusiawi. Tanda
merupakan suatu yang fisik dan substansial, simbol adalah suatu yang memiliki nilai
fungsional.
PEMBAHASAN

A. Konsep Symbolic Animal menurut Para Filosof

1. Pandangan Ernst Cassirer (1874-1945 M)

Ernst Cassier, filsuf Jerman dalam buku An Essay on Man: Introduction to a


Philosphy of Human Culture (1944). Yang mendefinisikan manusia sebagai animal
symbolicum. Penegasan Cassirer yang melihat manusia sebagai animal symbollicum
mengandaikan bahwa meskipun manusia dalam pemahamanan sich-nya merupakan homo
sapiens – suatu makhluk yang mempunyai kesadaran tinggi akan tingkat evolutifnya – tetapi
masih mempunyai suatu unsur kebinatangan dalam dirinya. Oleh karena itu, pernyataan
Cassirer tersebut dapat digunakan sebagai acuan bahwa manusia dengan kesadarannya harus
dapat mengeliminasi sifat kebinatangannya dan semakin meningkatkan sifat kemanusiaannya
sehingga manusia dapat mewujudkan personanya.
Ernst Cassirer mengungkapkan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Ernst
Cassirer mendefinisikan manusia sebagai animal symbolicum didasari atas refleksinya pada
simbol-simbol dalam realitas hidup manusia. Dalam refleksinya tersebut, ia menemukan
bahwa manusia hidup dalam “dunia ketiga”. “Dunia ketiga” adalah dunia simbol. Untuk lebih
meyakinkan dirinya bahwa manusia adalah animal symbolicum, ia membedakan manusia dan
binatang dalam ranah tanda dan simbol. Dalam pembedaannya tersebut, ia menemukan bahwa
binatang hanya mengenal tanda. Sedang manusia mengenal simbol. Pada manusia, simbol
merupakan bagian dari dunia makna. Tanda hanya terbatas pada relitas fisik. Dalam
kehidupan manusia, hal yang paling mencolok adalah pengetahuan simbolis dan imajinasi
simbolis. Dengan pengetahuan simbolis dan imajinasi simbolis tersebut manusia menciptakan
kebudayaan. Mitos, religi, bahasa, seni, sejarah dan ilmu pengetahuan adalah produk-produk
kebudayaan yang merupakan realitas simbol-simbol. Oleh karena itu, Ernst Cassirer
menyimpulkan bahwa manusia adalah animal symbolicum. Menurutnya, definisinya  tersebut
bukan bermaksud untuk menggantikan definisi  yang  telah  klasik, yakni animal
rationale (hewan  yang  berakal).
2. Pandangan Harold Dwight Lasswell (1902-1978 M)
Harold Dwight Lasswell. Beliau lahir pada tanggal 13 Februari 1902. Beliau adalah
seorang ilmuwan politik terkemuka Amerika Serikat dan dan seorang pencetus teori
komunikasi.
Komunikasi merupakan tindakan pertukaran simbol yang diberi makna. kehidupan
sosial pada dasarnya adalah “interaksi manusia dengan menggunakan symbol-simbol”.
Mereka tertarik pada cara manusia menggunakan symbol-simbol yang menginterpretasikan
apa yang mereka maksudkan untuk berkomunikasi dengan sesamanya, dan juga pengaruh
yang ditimbulkan penafsiran atas simbol-simbol ini terhadap perilaku pihak-pihak. yang
terlibat dalam interaksi sosial. Namun tidak begitu dengan binatang, binatang tidak
memproduksi simbol untuk berkomunikasi, hanya sebatas tanda. Manusia berkomunikasi
melalui simbol yang disepakati, seperti halnya bahasa, gambar, gestur tubuh, dan sebagainya.
Dalam komunikasi dikenal sebuah teori tentang interaksi manusia, yaitu teori
interaksi simbolik. Interaksi simbolik merupakan suatu aktivitas yang menjadi ciri khas
manusia, yaitu komunikasi dan pertukaran simbol yang diberi makna. Dalam interaksi sosial,
manusia mempelajari makna dan simbol yang memungkinkan mereka menerapkan
kemampuan khas mereka sebagai manusia, yaitu berpikir. Manusia berpikir untuk
menginterpretasi makna dari simbol-simbol yang mereka temukan dalam kehidupan
mereka.Makna dan simbol memungkinkan manusia melanjutkan tindakan dan interaksi.
Makna dan simbol yang telah diinterpretasi melalui berpikir oleh manusia kemudian
dilanjutkan dengan tindakan dan interaksi-interaksi selanjutnya yang kemudian menjadi
kebiasaan manusia dalam sehari-harinya.

Harold Lasswell dalam karyanya, The Structure and Function of Communication in


Society, mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan komunikasi ialah menjawab
pertanyaan sebagai berikut: “Who Says What in Which Channel To Whom With What Effect”
atau “Siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui apa, kepada siapa, dan apa
pengaruhnya”.
Paradigma Lasswell di atas menunjukkan bahwa komunikasi meliputi lima unsur
sebagai jawaban dari pertanyaan yang diajukan itu, yakni: a. Pengirim Pesan atau
Komunikator (Communicator, Source, sender ) b. Pesan (message) c. Media (channel) d.
Penerima Pesan atau Komunikan (Communicant, Communicate, Receiver, Recipient) e. Efek
atau Umpan Balik (Effect, Impact, Influence, Feedback). Jadi berdasarkan paradigma
Lasswell tersebut, komunikasi adalah proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada
komunikan melalui media yang menimbulkan efek tertentu.
3. Pandangan Ibn Miskawaih (932-1030 M)
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-
keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para
filosof Yunani, seperti Aristoteles, plato, dan Galen dengan meramu pemikiran-pemikiran
tersebut dengan ajaran-ajaran Islam. Disamping itu, Ibnu Miskawaih juga banyak
dipengaruhi filosof Muslim, seperti al-Kindi, al- Farabi dan al-Razi serta lainnya.
Pemikirannya menujukkan bahwa manusia tidak terlepas dari simbol-simbol religius
yang membentuk nilai-nilai etika dan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan
bentuk jamak dari khuluq: “Keadaan jiwa yang mengajak atau mendorong seseorang
untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa difikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.
(Maskawaihi, 1967: 9). Hal yang senada di kemukakan oleh Aristoteles bahwa watak
seseorang sangat mungkin dapat berubah.
Dengan kata lain akhlak adalah keadaaan jiwa yang mendorong timbulnya
perbuatan-perbuatan secara spontan. Sikap jiwa atau keadaan jiwa seperti ini terbagi
menjadi dua; ada yang berasal dari watak (bawaan) atau fitrah sejak kecil dan ada pula yang
berasal dari kebiasaan latihan.
Dengan demikian yang dapat mendorong perbuatan manusia secara spontan
selain sebagai fitrah (naluri) manusia sejak kecil, juga dapat dilakukan melalui kebiasaan
latihan dan proses pendidikan sehingga perbuatan-perbuatan itu menjadi baik. Dari defenisi
di atas jelaslah bahwa Ibn Miskawaih menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang
mengatakan bahwa akhlak atau moralitas manusia berasal dari watak dan tidak mungkin
dapat berubah. Ia menegaskannya bahwa kemungkinan perubahan akhlak dan moralitas itu
selalu terbuka lebar terutama bila dilakukan melalui pendidikan (tarbiyyah). (Siregar 2018)
4. Pandangan Ibn Athaillah al-Sakandary
Sejatinya Syeikh Ibnu Atha’illah as-Sakandari adalah seorang tokoh tasawwuf
sehingga hampir keseluruhan karya-karyanya memaparkan tentang tasawwuf, salah satu
karyanya adalah kitab al-Hikam Al-Atha’iyyah. Pemikirannya menujukkan bahwa
manusia juga tidak terlepas dari simbol-simbol humanisme yang membentuk nilai-nilai
etika religius. Beliau juga menyinggung tentang karakter seseorang dalam kitab alHikam
Al-Atha’iyyah. Beliau mengatakan :

‫ك ُمتَ َحقَّقًا‬
َ ِ‫اف ُعب ُْو ِديَّت‬
ِ ‫ص‬َ ‫اف ُرب ُْوبِيَّتِ ِه ُمتَ َعلَّقًا َوبِأ َ ْو‬
ِ ‫ص‬َ ‫ُك ْن بِأ َ ْو‬
Artinya : “ Bergantunglah kepada sifat-sifat rububiyyah Allah swt., dan wujudkanlah sifat-
sifat ubudiyyah mu”. Kalam hikmah di atas dijelaskan bahwa seseorang dituntut untuk
mendalami sifat-sifat kemanusiannya sehingga akan muncul karakter-karakter yang harus
dimiliki oleh seseorang tersebut untuk menjadi manusia seutuhnya. Kalam hikmah tersebut
memaparkan tentang karakter Seseorang untuk menjadi pribadi yang baik disi Allah swt
dengan mendalami sifat-sifat kehambaannya. (Fauzan 2017)

Perilaku simbolis manusia dan hewan

Perilaku dimiliki oleh setiap makhluk hidup seperti manusia, hewan dan tumbuhan.
Perilaku manusia dapat dibentuk dan diubah sesuai dengan keinginannya masing-masing.
Pengaruh dari lingkungan sekitar dapat menjadi faktor eksternal yang mengubah perilakunya.
Pendidikan, agama, kebudayaan dan sosial ekonomi merupakan faktor eksternal tersebut.
Perilaku manusia dapat diamati dari segala aktivitas manusia sehari-hari. Arti perilaku itu
sendiri yaitu segala gerakan atau kegiatan manusia yang dapat diamati langsung maupun tidak
langsung oleh pihak luar seperti marah, senang, berjalan, bekerja dan sebagainya . Jika
perilaku hewan antara lain mencari makanan dan air, bertarung, menandai wilayahnya,
menarik lawan jenis untuk kawin, membuat sarang, marah, takut dan perilaku lainnya.
Terdapat persamaan antara manusia dan hewan dalam perilaku demi pemenuhan kebutuhan
hidup agar dapat mempertahankan kelangsungan hidup masing-masing antara lain
membutuhkan makan, menjaga wilayah tempat tinggal dan mencari pasangan untuk memiliki
keturunan.

Salah satu hewan yang memiliki persamaan perilaku dengan manusia adalah
bunglon. Bunglon merupakan salah satu hewan eksotis berbentuk kadal yang hidup di pohon.
bunglon merupakan hewan reptil yang memiliki wajah ekspresif seperti manusia dan dapat
merubah warna tubuhnya menjadi berbagai warna untuk memberikan isyarat, yang tidak
dimiliki oleh hewan lain. Hewan ini memiliki karakteristik tersendiri pada fisiknya seperti
mata yang bulat menonjol keluar, ekor yang dapat melingkar ke dalam dan memiliki lima jari
kaki dengan susunan dua dan tiga jari yang saling merapat. Simbol diartikan sebagai
perumpamaan berupa bentuk dan gerakan. Walaupun diawal telah dibahas tentang perilaku
manusia dan hewan yang memiliki kesamaan, namun bunglon hanya dijadikan objek yang
menampilkan gerakan, ekspresi wajah dan warna tubuh sebagai perumpamaan perilaku
manusia. (Kriya and Seni 2015)

DAFTAR PUSTAKA

Fauzan, Ahmad. 2017. “PENDIDIKAN KARAKTER DALAM KITAB AL-HIKAM


AL-ATHA’IYYAH KARYA SYEIKH IBNU ATHA’ILLAH AS-SAKANDARI
Kriya, Jurusan, and Fakultas Seni. 2015. “Simbolisasi Perilaku Manusia Dalam Bentuk
Bunglon.”
Siregar, Alfin. 2018. “Struktur Kepribadian Menurut Ibn.” 8(1):1–15.
Zulkarimen Nasution. Komunikasi Politik Suatu Pengantar. Jakarta: PT Ghalia Indonesia.
1990, hlm.14

Anda mungkin juga menyukai