Anda di halaman 1dari 12

JOHN DEWEY:

1.

Riwayat Hidup John Dewey


John Dewey adalah seorang filsuf dari Amerika, teoretikus, reformator pendidikan

dan kritikus sosial yang lahir di Burlington, Vermont dalam tahun 1859, tepatnya pada
tanggal 20 Oktober. Dewey kecil adalah seorang yang gemar membaca namun tidak
menjadi seorang siswa yang brilian di antara teman-temannya ketika itu. Ia masuk ke
Universitas Vermont dalam tahun 1875 dan mendapatkan gelar B.A. Ia kemudian
melanjutkan kuliahnya di Universitas Jons Hopkins, di mana dalam tahun 1884 ia meraih
gelar doktornya dalam bidang filsafat di universitas tersebut. Di universitas terakhir ini,
Dewey pernah mengikuti kuliah logika dari Pierce, orang yang menggagas munculnya
pragmatisme. Disinilah beliau bersentuhan dengan filsafat pragmatism.
Walaupun demikian, pengaruh terbesar datang dari guru dan sahabatnya George
Sylvester Morris, seorang idealis yang sangat bersemangat mengajarkan filsafat Hegel
sehingga Dewey pun menjadi pengikut filsafat idealisme tersebut. Setelah menyelesaikan
doktornya, pada tahun 1884 hingga 1886, beliau mengajar filsafat dan psikologi di
Universitas Michigan atas undangan Morris. Dari tahun 1884 samai 1888, Dewey mengajar
pada Universitas Michigan dalam bidang filsafat.
Tahun 1889 ia pindah ke Universitas Minnesota. Akan tetapi pada akhir tahun yang
sama, ia pindah ke Universitas Michigan dan menjadi kepala bidang filsafat. Tugas ini
dijalankan sampai tahun 1894, dimana ia pindah ke Universitas Chicago yang membawa
banyak pengaruh pada pandangan-pandangannya tentang pendidikan sekolah di kemudian
hari. Salah satu keberatan Dewey terhadap program dan metode pendidikan saat itu
adalah bahwa mereka gagal memperhitungkan penemuan psikologi tentang aktivitas
belajar. Di Universitas Chicago beliau menjabat sebagai kepala departemen filsafat,
psikologi dan pedagogi. Ia berpaling dari filsafat Hegel ke teori yang meyakini bahwa
pengalaman sehari-hari dan pengalaman ilmiah menyiapkan landasan penting bagi realitas
maupun pemikiran. William James kemudian memproklamirkan Chicago University yang
berada di bawah pengaruh Dewey, sebagai mazhab filsafat yang baru.
Masa di Chicago mungkin adalah masa keemasannya. Di sinilah Dewey menjadi
terkenal dalam bidang pendidikan. Sedemikian kuat ketertarikannya pada bidang ini
sampai-sampai ia menegaskan bahwa semua filsafat adalah filsafat pendidikan. Ia
kemudian mendirikan Laboratory School yang kelak dikenal dengan nama The Dewey
School. Di pusat penelitian ini ia pun memulai penelitiannya mengenai pendidikan di
sekolah-sekolah dan mencoba menerapkan teori pendidikannya dalam praksis sekolahsekolah. Hasilnya, ia meninggalkan pola dan proses pendidikan tradisional yang
mengandalkan kemampuan mendengar dan menghafal. Sebagai ganti, ia menekankan

pentingnya kreativitas dan keterlibatan murid dalam diskusi dan pemecahan masalah.
Selama periode ini pula ia perlahan-lahan meninggalkan gaya pemikiran idealisme yang
telah mempengaruhi sejak pertemuan dengan Morris. Jadi selain menekuni pendidikan, ia
juga menukuni bidang logika, psikologi dan etika.
Pengalaman Dewey tidak hanya berhenti sampai di Universitas Chicago. Karena
bertentangan dengan rektor mengenai manajemen pembiayaan departemen pendidikan,
Dewey meninggalkan Chicago dan hijrah ke Universitas Columbia di New York. Terakhir ia
berkarya sebagai dosen di Universitas Colombia dalam tahun 1904. Di universitas ini,
Dewey berkarya sebagai seorang profesor filsafat sampai ia pensiun pada tahun 1929.
Setelah pindah ke New York, Dewey kerapkali menulis di berbagai media massa antara lain
the New Republic. Beliau juga terlibat dalam berbagai organisasi seperti the American
Civil Liberties Union di mana dia adalah pendiri dan ketuanya; dan Asosiasi Professor
Universitas Amerika sebagai pendiri dan presiden pertamanya.
Dalam periode ini, Dewey banyak mengadakan perjalanan antara lain ke negaranegara Eropa serta Jepang, Cina, Meksiko, dan Rusia. Di Jepang, misalnya, ia memberikan
kuliah-kuliah dalam bentuk ceramah yang kemudian akan menjadi dasar pengembangan
filsafat rekunstruksinya. Dalam tahun 1924, ia juga berkunjug ke Turky untuk mengadakan
rekunstruksi terhadap sistem pendidikan yang dijalankan di sana. Hal yang sama juga
dilakukan

dalam

kunjugannya

ke

Meksiko

dan

Rusia

dalam

tahun

1928.

Sejak ia berhenti dari universitas Colombia, ia aktif dalam pengembangan filsafat dan
melanjutkan karya-karya dokrinnya. Dengan pelbagai usaha dan kerja yang dilakukannya
selama masih bekerja di universitas-universitas maupun setelah itu, ia kemudian dikenal
sebagai seorang yang mengembangkan filsafat secara baru di Amerika. Pemikirannya
banyak mempengaruhi perkembangan filsafat, politik, pendidikan, religiusitas dan
kesenian di Amerika.
Pada November 1951 tulang pinggulnya patah dan gagal disambung kembali dengan
baik. Pada 1 Juni 1952 Dewey wafat akibat pneumonia meninggalkan 6 orang anak kandung
dan 2 orang anak angkat. Beliau adalah tokoh yang sangat dihormati semasa hidupnya
dilihat dari banyaknya undangan ceramah yang datang dari bebagai negara dan bangsa.
2.

Karya-Karya John Dewey


Sudah sedikit disinggung di atas bahwa karya-karya Dewey banyak mempengaruhi

corak berpikir Amerika. Pengaruh ini juga banyak berasal dari buku-buku atau karya-karya
yang dihasilkannya. Bukunya yang pertama yakni Psychology yang diterbitkan dalam tahun
1891. Dalam tahun 1891, bukunya Outlines of a Critica Theory of Etics diterbitkan. Tiga
tahun kemudian, 1894, terbit lagi The Study Of Etics: A Syllabus. Ketika ia berkarya di

Universitas Chicago, berturut-turut ia menerbitkan My Pedagogic Creed (1897), The School


and Society (1903), dan Logical Conditions of a Scientific Treatment of Morality (1903). Ia
juga banyak menghasilkan uku-buku ketika berada di Universitas Colombia seperti Ethics
(1908), How We Think (1910), The Influence of Darwin and Other Essays in Contemporary
Thought (1910), School of Tomorrow (1915), Democraty and Education (1916), Essays in
Experimental Logic (1916), Recunstruction in Philosophy (1920), Human Nature and
Conduct (1922), Experience and Nature (1925), The Quest for Certainty (1929), Art as
Experience (1934), A Common Faith (1934), Experience and Education (1938), Logic: The
Theory of Inquiry (1938), Theory of Valuation (1939), Education Today (1940), Problem of
Men (1946), dan Knowing and The Known (1949).
Nampak jelas dari tulisan-tulisan Dewey bahwa ia menaruh minat besar pada
bidang logika, metafisika dan teori pengatahuan. Tetapi perhatian Dewey di bidang
pragmatisme terutama dicurahkan pada realitas sosial daripada kehidupan individual. Hal
ini nampak dalam tema-tema bukunya: pendidikan, demokrasi, etika, agama, dan seni.
KONSEP DEWEY TENTANG PENGALAMAN DAN PIKIRAN
Konsep kunci dalam filsafat Dewey adalah pengalaman. Pengalaman (Experience)
adalah salah satu kata kunci dalam filsafat instrumentalisme. Filsafat Dewey adalah
mengenai (about) dan untuk (For) pengalaman sehari-hari. Pengalaman adalah
keseluruhan drama manusia dan mencakup segala proses saling memengaruhi (take and
give) antara organisme yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik. Dewey menolak orang
yang mencoba menganggap rendah pengalaman manusia atau menolak untuk percaya
bahwa seseorang telah berbuat demikian. Dewey mengatakan bahwa pengalaman
bukannya suatu tabir yang menutupi menusia sehingga tidak melihat alam. Pengalaman
adalah satu-satunya jalan bagi manusia untuk memasuki rahasia-rahasia alam.
Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis adalah
satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang
bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem
yang organik. Menurutnya, pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan
menuju pengalaman-pengalaman. Gerak itu dibangkitkan segera dan kita dihadapkan
dengan suatu keadaan yang menimbulkan persoalan pada dunia sekitarnya, dan gerak itu
berakhir dalam beberapa perubahan dalam dunia sekitar atau dalam dunia kita.
Pengalaman yang langsung bukanlah soal pengetahuan, yang terkandung di
dalamnya pemisahan subyek dan obyek, pemisahan antara pelaku dan sarananya. Di dalam
pengalaman itu keduanya bukan dipisahkan, tetapi dipersatukan. Apa yang dialami tidak
dipisahkan dari yang mengalaminya sebagai satu hal yang penting atau yang berarti.

Jikalau terdapat pemisahan di antara subyek dan obyek hal itu bukan pengalaman,
melainkan pemikiran kembali atas pengalaman tadi. Pemikiran, itulah yang menyusun
sasaran pengetahuan. Atas dasar ini pula, Dewey merumuskan tujuan filsafat sebagai
memberikan garis-garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Oleh karena
itu, filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran-pemikiran metafisis yang tidak
bermanfaat. Dalam konteks ini, filsafat digunakan sebagai dasar dan fungsi sosial.
Pokok pandangan ini muncul sebagai kritiknya atas pokok dari filsafat jaman
sebelumnya yang mengemukakan pandangan tentang realitas dan fungsi pengetahuan yang
membingungkannya. Menurutnya, kaum empiris telah beranggapan bahwa pikiran selalu
menunjuk pada obyek-obyek dari alam, dan bahwa setiap ide selalu berhubungan dengan
suatu realitas. Dengan kata lain, pengetahuan seakan-akan dibentuk setelah subyek
berhadapan dengan atau memandang sesuatu di luar dirinya. Inilah yang disebut a
spectator theory of knowledge. Menurut teori ini, subyek pengetahuan bertindak
bagaikan seorang penonton yang hanya dengan memandang sudah mendapatkan ide
tentang obyeknya. Inilah pandangan kaum rasionalis. Menurut pandangan ini, rasio
merupakan suatu instrumen untuk memperhatikan apa yang tetap dan pasti pada alam.
Alam dan rasio adalah dua hal yang terpisah dan berbeda.
Dewey beranggapan bahwa baik apa yang dikembangkan oleh kaum empiris maupun
kaum rasionalis terlalu statis di satu pihak dan terlampau mekanistik di lain pihak. Atas
pengaruh Hegelian, Dewey mengakui bahwa antara manusia dan lingkungan alamiahnya
terdapat dialektika yang konfliknya terselesaikan dalam pengalaman. Hal ini disebabkan
karena setiap pengalaman adalah kekuatan yang berdaya guna. Maksudnya, pengalaman
merupakan pertemuan antara manusia dengan lingkungan alam yang mengitarinya dan itu
membawa manusia pada pemahaman yang baru. Pengalaman juga bersifat dinamis karena
lingkungan juga bercorak dinamis. Inteligensi pada hakikatnya merupakan kekuatan yang
dimiliki manusia untuk menghadapi lingkungan hidup yang terserap dalam pengalamannya.
Dalam konteks ini, berpikir adalah suatu aktivitas inteligensi yang lahir karena adanya
pengalaman manusia dan bukan suatu akivitas yang terisolasi dalam pikiran semata.
Berdasarkan pendangannya tentang hubungan pengalaman dan corak berpikir di
atas, Dewey membagi aspek pemikiran dalam dua aspek. Pada mulanya aspek pimikiran
selalu berada dalam a) situasi yang membingkungkan dan tidak jelas, b) situsi yang jelas di
mana masalah-masalah terpecahkan. Menurutnya, aktivitas berpikir selalu merupakan
sarana untuk memecahkan masalah-masalah. Hal ini mengandaikan bahwa aktivitas
inteligensi lebih luas dari sekedar aktivitas kognitif, yaitu meliputi keinginankeinginan
yang muncul dalam diri subyek ketika berhadapan dengan kesekitarannya. Inilah yang
disebut Dewey teori instrumentalia tentang pengetahuan. Yang dimaksudkan dengan teori

instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis dan tepat dari
konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan dalam bentuknya
yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki bagaimana pikiran
berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman, yang mengenai
konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya untuk
menyebut

sistemnya

dengan

istilah

instrumentalisme

daripada

disebut

sebagai

pragmatisme.
Dunia yang ada sekarang ini, yakni dunia pria dan wanita, dunia sawah dan pabrik,
dunia tumbuhan dan binatang, dunia yang kita hiruk pikuk dan bangsa-bangsa yang
berjuang, adalah dunia pengalaman kita. Kita harus berusaha memakainya dan kemudian
berusaha membentuk suatu masyarakat diamana setiap orang dapat hidup dalam
kemerdekaan dan kecerdasan.
Dalam perjalanan pengalaman seseorang, pikiran selalu muncul untuk memberikan
arti dari sejumlah situasi-situasi yang terganggu oleh pekerjaan diluar hipotesis atau
membimbing kepada perbuatan yang akan dilakukan. Kata Dewey, kegunaan kerja pikiran
tidak lain hanya merupakan cara jalan untuk melayani kehidupan. Makanya, ia dengan
kerasnya menuntut untuk menggunakan metode ilmu alam (Scientific Method) bagi semua
lapangan pikiran, terutama dalam menilai persoalan akhlak(etika), estetika, politik dan
lain-lain. Dengan demikian, cara penilaian bisa berubah dan bisa disesuaikan dengan
lingkungan dan ebutuhan hidup.
Menurut Dewey yang dimaksud dengan Scientific Method ialah cara yang dipakai
oleh seseorang sehingga bisa melampaui segi pemikiran semata-mata pada segi amalan.
Dengan demikian, suatu pikiran bisa diajukan sebagai pemecahan suatu kesulitan (to solve
problematic situation), dan kalau berhasil maka pikiran itu benar.
Dengan demikian, pengalaman merupakan salah satu kata kunci dalam filsafat
instrumentalisme. Pengalaman tidak akan bisa terlepas, karena pengalaman berintegrasi
dengan alam dan kehidupan manusia. Pengalaman tidak bisa kita lupakan karena,
pengalaman bisa menjadi tolak ukur kita untuk melangkah ke depan dengan lebih baik.
Pandangan John Dewey dalam pemikiran dan pengalaman ada istilah yang disebut
instrumental. Dewey merumuskan esensi instrumentalisme pragmatis sebagai to conceive
of both knowledge and practice as means of making good excellencies of all kind secure
in experienced existence. Demikianlah, Dewey memberikan istilah pragmatisme dengan
instrumentalism, operationalism, functionalism, dan experimentalism. Yang dimaksudkan
dengan teori instrumentalisme adalah suatu usaha untuk menyusun suatu teori yang logis
dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan, penyimpulan-penyimpulan
dalam bentuknya yang bermacam-macam, dengan cara pertama-tama menyelidiki

bagaimana pikiran berfungsi dalam penentuan-penentuan yang berdasarkan pengalaman,


yang mengenai konsekuensi-konsekuensi di masa depan. Teori ini juga yang mendorongnya
untuk menyebut sistemnya dengan istilah instrumentalisme daripada disebut sebagai
pragmatisme.
KONSEP DEWEY TENTANG DEMOKRASI DAN PENDIDIKAN
Dewey memandang bahwa tipe dari pragmatismenya diasumsikan sebagai sesuatu
yang mempunyai jangkauan aplikasi dalam masyrakat. Pendidikan dipandang sebagai
wahana yang strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup dimasa depan.
Pendidikan nasional Amerika, Menurut Dewey, hanya mengajarkan muatan-muatan yang
sudah usang (out of date) dan hanya mengulang-ngulang sesuatu yang sudah lampau, yang
sebenarnya tidak layak lagi diajarkan kepada anak didik. Pendidikan yang demikian hanya
mengebiri intelektualitas anak didik. Dalam bukunya Democracy and Education (1961),
Dewey

menawarkan

suatu

konsep

pendidikan

yang

adaptif

and

progresif

bagi

perkembangan masa depan.


Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be
patterned after it so that when children graduate from school they will be properly
adjusted to asumse their place in sociaty.
Kutiapan diatas dapat dipahami secara bebas bahwa pendidikan harus mampu
membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya.
Sehingga, apabila anak didik telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan
masyarakat.
Untuk

merealisasikan

konsep

tersebut,

Dewey

menawarkan

dua

metode

pendekatan dalam pengajaran. Pertama, problem solving method. Dengan metode ini anak
dihadapkan pada berbagai situasi dan masalah-masalah yang menantang, dan anak didik
diberi kebebasam sepenuhnya. untuk memecahkan suatu maslah-masalah tersebut sesuai
dengan perkembangan kemampuannya. Dalam proses belajar mengajar model ini guru
bukan hanya satu-satunya sumber, bahka kedudukan seorang guru hanya membantu siswa
dalam memecahkan kesulitan yang dihadainya. Dengan metode semacam ini, dengan
sendirinya pola lama yang hanya mengandalkan guru sebagai satu-satunya pusat informasi
(metode pedagogy) diambil alih kedudukan oleh metode andragogy yang lebih menghargai
perbedaan individu anak didik. Kedua, learning by doing, konsep ini diperlukan untuk
menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat.
Supaya anak didik bisa eksis dalam masyarakat bila telah selesai menyelesaikan
pendidikannya. Maka, mereka dibekali keterampilan-keterampilan prkatis sesuai dengan
kebutuhan masyarakat sosialnya.

Dari uraian diatas dapat saya simpulkan bahwa pendidikan progresif menurut John
Dewey dalah pendidikan yang mampu membekali peserta didik agar bisa menyesuaikan,
berpartisipasi maupun eksis dalam masyarakat. John Dewey menawarkan 2 metode
pendekatan dalam pengajaran dengan cara problem solving method dan learning by doing.
Metode problem solving method lebih menekankan tantangan dan kebebasan kepada
peserta didik, dan guru bukan satu-stunya yang menjadi sumber. Metode learning by doing
peserta didik dituntut agar dapat berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat. Selain
dituntut, peserta didik juga dibekali beberapa materi atau keterampilan agar mereka
ketika keluar atau lulus dari sekolahnya dapat menyesuaikan dengan lingkungannya
maupun masyarakatnya.
Dewey sangat menganggap penting pendidikan dalam rangka mengubah dan
membaharui suatu masyarakat. Ia begitu percaya bahwa pendidikan dapat berfungsi
sebagai sarana untuk peningkatan keberanian dan disposisi inteligensi yang terkonstitusi.
Dengan itu, dapat pula diusahakan kesadaran akan pentingnya pengormatan pada hak dan
kewajiban yang paling fundamental dari setiap orang. Gagasan ini juga bertolak dari
gagasannya tentang perkembangan seperti yang sudah di bahas sebelumnya. Baginya ilmu
mendidik tidak dapat dipisahkan dari filsafat. Maksud dan tujuan sekolah adalah untuk
membangkitkan sikap hidup yang demokratis dan untuk mengembangkannya.
Pendidikan merupakan kekuatan yang dapat diandalkan untuk menghancurkan
kebiasaan yang lama, dan membangun kembali yang baru. Bagi Dewey, lebih penting
melatih pikiran manusia untuk memecahkan masalah yang dihadapi, daripada mengisisnya
secara sarat dengan formulasi-formulasi secara sarat teoretis yang tertib. Pendidikan
harus pula mengenal hubungan yang erat antara tindakan dan pemikiran, antara
eksperimen dan refleksi. Pendidikan yang bertolak dan merupakan kontuinitas dari refleksi
atas pengalaman juga akan mengembangkan moralitas dari anak didik. Dengan demikian,
belajar

dalam

arti

mencari

pengetahuan,

merupakan

suatu

proses

yang

berkesinambungan. Dalam proses ini, ada perjuangan terus-menerus untuk membentuk


teori dalam konteks eksperimen dan pemikiran.
Bagi Dewey, kehidupan masyarakat yang berdemokrtatis adalah dapat terwujud bila
dalam dunia pendidikan hal itu sudah terlatih menjadi suatu kebiasaan yang baik. Ia
menyatakan bahwa ide pokok demokrasi adalah pandangan hidup yang dicerminkan
dengan perlunya partisipasi dari setiap warga yang sudah dewasa dalam membentuk nilainilai yang mengatur kehidupan bersama. Ia menekankan bahwa demokrasi merupakan
suatu keyakinan, suatu prinsip utama yang harus dijabarkan dan dilaksanakan secara
sistematis dalam bentuk aturan sosial politik. Dari pernyataan ini, bagi Dewey demokrasi
bukan

sekedar

menyangkut

suatu

bentuk

kehidupan

bersama

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Demokrasi berarti setiap orang mengalami


kebebasannya untuk berkreasi dan mengungkapkan pengalaman humanitasnya dalam
partisipasi

bersama.

Untuk

tujuan

ini,

maka

sekolah

menjadi

medium

yang

mengungkapkan bagaimana hidup dalam suatu komunitas yang demokratis.


Dewey selalu mengatakan bahwa sekolah merupakan suatu kelompok sosial yang
kecil (minoritas); yang menggambarkan atau menjadi cerminan dari kelompok sosial yang
lebih besar (mayoritas). Ia menegaskan bahwa sosialisasi nilai-nilai demokratis harus
dilaksanakan oleh sekolah yang demokratis. Dan ini diusahakan antara lain dengan
menekankan pentingnya kebebasan akademik dalam lingkungan pendidikan. Ia dengan
secara

tidak

langsung

menyatakan

bahwa

kebebsan

akademik

diperlukan

guna

mengembangkan prinsip demokrasi di sekolah yang bertumpu pada interaksi dan


kerjasama, berdasarkan pada sikap saling menghormati dan memperhatikan satu sama
lain; berpikir kreatif menemukan solusi atas problem yang dihadapi bersama, dan
bekerjasama untuk merencanakan dan melaksanakan solusi. Secara implisit hal ini berarti
sekolah yang demokratis harus mendorong dan memberikan kesempatan kepada semua
siswa untuk aktif berpartisipasi dalam pengambilan keputusan, merencanakan kegiatan
dan melaksanakan rencana tersebut.
PEMIKIRAN & PROBLEM ESTETIKA
Seni sebagai Pengalaman (1934) adalah tulisan utama Dewey pada estetika. Hal ini,
menurut tempatnya dalam tradisi pragmatis yang menekankan komunitas, sebuah studi
dari objek seni individu sebagai tertanam dalam (dan tak terpisahkan dari) pengalaman
budaya lokal. Dewey mencoba untuk membenarkan koleksi istimewa seni modern yang
dirancang oleh orang kaya C.Albert Barnes di Barnes Foundation.
Lihatnya Pengalaman dan Alam untuk diskusi diperpanjang Pengalaman dalam
filsafat Dewey,Sementara dalam demokrasi,Tema utama dari karya Dewey adalah
keyakinan yang mendalam dalam demokrasi, baik dalam politik, pendidikan atau
komunikasi dan jurnalisme. Seperti Dewey sendiri menyatakan pada tahun 1888,
sementara masih di University of Michigan, adalah Demokrasi dan satu, utama, yang ideal
etika kemanusiaan dalam benak saya sinonim.
Sehubungan dengan perkembangan teknologi dalam demokrasi:
Orang tidak menjadi masyarakat dengan hidup dalam kedekatan fisik lebih
daripada seorang pria berhenti secara sosial dipengaruhi dengan menjadi kaki begitu
banyak atau mil dihapus dari orang lain -John Dewey dari Masyarakat di Era Digital
Andrew Feenberg yang Karyanya pada demokrasi dipengaruhi salah seorang siswa, Dr.
Ambedkar , yang kemudian kemudian menjadi salah satu bapak pendiri India merdeka.

Penedekatan Dewey pada seni berbeda dengan para Idealis. Dia tidak prihatin
dengan segala usaha untuk menemukan suatu yang lebih dahulu sebagai standar yang
indah dalam analisa para genius . Maksud utama dari seni ini adalah memberikan suatu
ilmu sosiologi dan penjelasan empiris dari setiap subyek. Seni tidak berakhir dalam
pencarian lewat diri sendiri. Itu dibuat dengan fungsi untuk menjadikan suatu kehidupan
indah. Kekeliruan teori dari estetika yang klasik adalah pembagian antara seni dan ilmu,
antara seni dan moral.
Dalam pendidikan seni, pengaruh Dewey telah masuk didalamnya. Dia membiarkan
partisipasi

ilmu

lain

pada

seni

untuk

dipelajari

oleh

para

pelajar.

Pada zaman Dewey, terdapat reaksi yang bertentangan dengan semangat yang ada dalam
seni. Banyak kritik yang diberikan terhadap konsep seni pada abad pertengahan dan zaman
renessance. Paham industrialis memunculkan kembali apa yang terjadi pada zaman klasik
dimana moral dan seni disatukan.
Dewey lebih percaya para ahli seni tidak hanya berada dalam sekolah-sekolah dan
museum tetapi berada juga di pabrik dan di rumah-rumah. Dengan cara ini hal pokok dari
seni adalah berkehendak menemukan apa yang menjadi bagian dari harian hidup manusia.
ANALISIS KRITIS KEKUATAN DAN KELEMAHAN PRAGMATISME
Didalam aliran pragmatisme terdapat kekuatan maupun kelemahannya. Kekuatan
dan kelemahannya sebagai berikut:
1.
a.

Kekuatan Pragmatisme
Kemunculan

pragmatisme

sebagai

aliran

filsafat

dalam

kehidupan

kontemporer, khususnya di Amerika Serikat, telah membawa kemajuan-kemajuanyan


yang pesat baik dalam pengetahuan maupun teknologi. Pragmatisme telah berhasil
membumikan dari corak yang bersifat Tender Minded yang cenderung berfikir
metafisi, idealis, abstrak, intelektualis, dan cenderung berfikir hal-hal yang
memikirkan atas kenyataan, matrealis, dan didasrkan atas kebutuhan-kebutuhan
disini(dunia), bukan

nanti diakhirat. Dengan demikian, filsfat

pragmatisme

mengarahkan aktivitas manusia untuk hanya sekadar mempercayai(belief) pada halhal yang sifatnya rill, indrawi, dan yang manfaatnya bisa dinikmati secara praktispragmatis dalam kehidupan sehari-hari.
b.

Pragmatisme telah berhasil mendorong berfikir yang liberal, bebas dan


selalu menyangsikan segala yang ada. Berangkat dari sifat skeptis tersebut,
pragmatisme telah mampu mendorong dan memberi semangat pada seseorang untuk
berlomba-lomba

membuktikan

suatu

konsep

melalui

penelitian-penelitian,

pembuktian-pembuktian, dan eksperimen-eksperimen sejingga muncullah temuan

baru dalam dunia ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu mendorong secara
dahsyat terhadap kemajuan dibidang sosial dan ekonomi.
c.

Sesuai dengan coraknya yang sekuler, pragmatisme tidak mudah percaya


pada kepercayaan yang mapan. Suatu kepercayaan dapat diterima apabila terbukti
kebenaranya lewat pembuktian yang praktis sehingga pragmatisme tidak mengakui
adanya sesuatu yang sakral dan mitos. Dengan coraknya yang terbuka, kebanyakan
kelompok pragmatism merupakan pendukung terciptanya demokratisasi, kebebasan
manusia, dan gerak-gerakan progresif dalam masyarakat modern.
2.

Kelemahan Pragmatisme

a.

Karena pragmatisme tidak mau mengakui sesuatu yang bersifat metafisika


dan kebenaran absolut (kebenaran tunggal), hanya mengakui kebenaran apabila
terbukti secara ilmiah, dan percaya bahwa dunia ini mampu dibikin manusia
sendiri, secra tidak langsung pragmatisme sudah mengingkari sesuatu yang
trensendental.

Kemudian

pada

perkembangan

lanjut,

pragmatisme

sangat

mendewakan kemampuan akal dalam upaya mencapai kebutuhan kehidupan, maka


sikap-sikap semacam ini menjurus kepada sikap Ateisme.
b.

Karena yang menjadi kebutuhan utama dalam filsafat pragmatisme adalah


sesuatu yang nyata, dan langsung dapat dinikmati hasilnya oleh manusia, maka
pragmatisme menciptakan pola pikir masyarakat yang materealis. Manusia berusaha
secra keras untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan yang bersifat ruhanyah, maka
dalam otak masyarakat pragmatisme telah dihinggapi oleh penyakit materealisme.

c.

Untuk mencapai tujuan materealisme, manusia mengejarnya dengan


berbagai cara, tanpa memperdulikan lagi bahwa dirinya merupakan anggota dari
masyarakat sosialnya. Ia bekerja tanpa mengenal waktu hanya sekadar memenuhi
kebutuhan materinya, maka dalam struktur masyarakatnya manusia hidup semakin
egois

individualis.

Dari

sini,

masyarakat

pragmatisme

menderita

penyakit

humanisme.
Dengan demikian, bahwa di Negara Amerika serikat atau seluruh dunia yang
menganut paham filsafat John Dewey dan (William James) kebanyakan mengarah kearah
materealis, ateis, dan dehumanis. Paham pragmatisme mendewakan akal. Padahal akal itu
terbatas, maka hal inilah yang tidak disadari oleh pakar ilmuan barat, pada hakikatnya
yang dilakuakn manusia pasti ada campur tangan tuhan.

PENUTUP
Satu hal yang harus digarisbawahi adalah bahwa pragmatisme merupakan filsafat
bertindak. Dalam menghadapi berbagai persoalan, baik bersifat psikologis, epistemologis,
metafisik, religius dan sebagainya, pragmatisme selalu mempertanyakan bagaimana
konsekuensi praktisnya. Setiap solusi terhadap masalah apa pun selalu dilihat dalam
rangka konsekuansi praktisnya, yang dikaitkan dengan kegunaannya dalam hidup manusia.
Dan konsekuensi praktis yang berguna dan memuaskan manusia itulah yang membenarkan
tindakan tadi.
Dalam rangka itulah, kaum pragmatis tidak mau berdiskusi bertele-tele, bahkan
sama sekali tidak menghendaki adanya diskusi, melainkan langsung mencari tindakan yang
tepat untuk dijalankan dalam situasi yang tepat pula. Kaum pragmatis adalah manusiamanusia empiris yang sanggup bertindak, tidak terjerumus dalam pertengkaran ideologis
yang mandul tanpa isi, melainkan secara nyata berusaha memecahkan masalah yang
dihadapi dengan tindakan yang konkret.
Karenanya, teori bagi kaum pragmatis hanya merupakan alat untuk bertindak,
bukan untuk membuat manusia terbelenggu dan mandeg dalam teori itu sendiri. Teori yang
tepat adalah teori yang berguna, yang siap pakai, dan yang dalam kenyataannya berlaku,
yaitu yang mampu memungkinkan manusia bertindak secara praktis. Kebenaran suatu
teori, ide atau keyakinan bukan didasarkan pada pembuktian abstrak yang muluk-muluk,
melainkan didasarkan pada pengalaman, pada konsekuansi praktisnya, dan pada kegunaan
serta kepuasan yang dibawanya. Pendeknya, ia mampu mengarahkan manusia kepada
fakta atau realitas yang dinyatakan dalam teori tersebut.
Pragmatisme mempunyai dua sifat, yaitu merupakan kritik terhadap pendekatan
ideologis dan prinsip pemecahan masalah. Sebagi kritik terhadap pendekatan ideologis,
pragmatisme mempertahankan relevansi sebuah ideologi bagi pemecahan, misalnya fungsi
pendidikan. Pragmatisme mengkritik segala macam teori tentang cita-cita, filsafat,
rumusan-rumusan abstrak yang sama sekali tidak memiliki konsekuansi praktis. Bagi kaum
pragmatis, yang penting bukan keindahan suatu konsepsi melainkan hubungan nyata pada
pendekatan masalah yang dihadapi masyarakat.
Sebagai prinsip pemecahan masalah, pragmatisme mengatakan bahwa suatu
gagasan atau strategi terbukti benar apabila berhasil memecahkan masalah yang ada,
mengubah situasi yang penuh keraguan dan keresahan sedemikian rupa, sehingga keraguan
dan keresahan tersebut hilang.
Dalam kedua sifat tersebut terkandung segi negatif pragmatisme dan segi-segi
positifnya. Pragmatisme, misalnya, mengabaikan peranan diskusi. Justru di sini muncul
masalah, karena pragmatisme membuang diskusi tentang dasar pertanggungjawaban yang

diambil sebagai pemecahan atas masalah tertentu. Sedangkan segi positifnya tampak pada
penolakan kaum pragmatis terhadap perselisihan teoritis, pertarungaan ideologis serta
pembahasan nilai-nilai yang berkepanjangan, demi sesegera mungkin mengambil tindakan
langsung.
Dalam
pembagian

kaitan

yang

dengan

tetap

dunia

terhadap

pendidikan,
persoalan

kaum

yang

pragmatisme

bersifat

teoritis

menghendaki
dan

praktis.

Pengembangan terhadap yang teoritis akan memberikan bekal yang bersifat etik dan
normatif, sedangkan yang praktis dapat mempersiapkan tenaga profesional sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Proporsionalisasi yang teoritis dan praktis itu penting agar
pendidikan tidak melahirkan materialisme terselubung ketika terlalu menekankan yang
praktis. Pendidikan juga tidak dapat mengabaikan kebutuhan praktis masyarakat, sebab
kalau demikian yang terjadi berarti pendidikan tersebut dapat dikatakan disfungsi, tidak
memiliki konsekuansi praktis.

Anda mungkin juga menyukai