Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH

Belajar dan Pembelajaran


John Dewey Dalam Aliran Konstruktivisme

Nur Armika Amir


1894042001
B/02

PENDIDIKAN EKONOMI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2019
JOHN DEWEY DALAM ALIRAN KONSTRUKTIVISME

A. Riwayat Hidup/ Pendidikan


John Dewey, 20 Oktober 1859 – 1 Juni 1952) ialah seorang Amerika Filsuf,
Psikolog, dan Pembaharu Pendidikan yang gagasannya telah berpengatuh terhadap
pendidikan dan reformasi sosial. Beliau dianggap sebagai salah satu Cendekiawan
Amerika paling terkemuka di paruh pertama abad kedua puluh.

John Dewey

Lahir 20 Oktober 1858, Burlington, Vermont, Amerika serikat.


Sekolah Instrumentalisme Pragmatisme.
Almamater Universitas Vermont dan Universitas Johns Hopkins.
Institusi Univesitas Michigan, Universitas Chicago, Universitas
Chicago Laboratorium Sekolah, dan Universitas Columbia.
Minat Utama Filsafat Pendidikan, Epistemologi, Jurnalisme, dan Etika
Gagasan Penting Berfikir Reflektif, Psikologi Fungsional, American
Association of Universitas Profesor, Empirisme Langsung,
Penyelidikan ke Moskow Menunjukkan Uji Coba Tentang
Trotsky, Education Progeressivism, dan Psychosi Pekerjaan.
Wilayah Filsafat Barat.
Zaman Filsafat Abad Ke-20.
Pengaruh Plato, Locke, Rousseau, Kant, Hegel, Darwin, Peirce, Hijau,
William James, Mead, George, Ward, Wundt, dan Parker.
Terpengaruh Vablen, Santayana, Martin, Kaplan, Hu Shih, Hook, Greene,
Richard McKeon, Margaret Naumburg, Putnam, Chomsky,
Habermas, Rorty, Barat, Taman, Durkheim, Herbert
Schneider, dan Mills.
Meninggal 1 Juni 1952 (Berusia 92), New York, Amerika Setikat.

Tema utama dari karya John Dewey, keyakinannya yang begitu mendalam
terhadap demokrasi, baik dalam politik, pendidikan/ komunikasi dan jurnalisme.
Seperti yang John Dewey nyatakan pada tahun 1888, ketika masih di Universitas
Michigan, “Demokrasi dan Cita-Cita kemanusianlah yang paling utama dan etis
menurut saya memiliki arti yang sama”. Dikenal dengan pembelaannya terhadap
demokrasi, dalam anggapan Dewey dua elemen yang mendasar disebuah sekolah
dan dikalangan masyarakat sipil yang sebagai topik utama dari yang membutuhkan
perhatian dan rekonstruksi untuk mendorong sebuah kecerdasan terhadap
eksperimental dan pluralitas.
Dewey menegaskan, demokrasi lengkap harus diperoleh tidak hanya untuk
memperluas hak suara tetapi juga untuk memastikan bahwasanya ada sepenuhnya
terbentuk opini, publik, yang dicapai dengan komunuikasi diantara Warga Negara,
Pakar, Politisi, dan terakhir bertanggung jawab atas kebijakan yang telah mereka
adopsi. Dewey merupakan salah satu tokoh utama yang terkait dengan Filsafat
Pragmatisme dan dianggap sebagai salah satu bapak dari Psikologi Fungsional.
Makalanya yaitu Konsep Busur Refleks dalam Psikologi itu sendiri, yang
diterbitkan pada tahun 1896, dan dianggap sebagai karya besar yang pertama
kalinya diskolah Fungsionalis (Chicago).
Sebuah survai terhadap tinjauan psikologi umum, yang telah diterbitkan
pada tahun 2002, menempatkan Dewey sebagai psikolog ke- 93 yang paling banyak
dikutip pada abad ke-20. Dewey juga reformator pendidikan yang utama untuk abad
ke- 20, seorang intelektual publikn yang begitu terkenal, Dewey adalah suara utama
pada pendidikan progtrefis dan liberalism. Saat ia menjadi profesor di Universitas
Chicago, Dewey mendirikan sekolah laboratorium di Universitas Chicago, dan ia
dapat menerapkan, menguji gagasannya dalam progresifnya mengenai metode
pedagosis. Meskipun Dewey yang dikenal terbaik untuk publikasinya terhadap
pendidikan, ia juga menulis tentang banyknya topik lain, termasuk epistemology,
metafisika, seni, logika, terori sosial serta etika.

1. Kehidupan dan Karya


Pada tahun 1899, Dewey terpilih menjadi presiden di American
Psychological Association. Dari 1940 sampai pensiun pada 1930, Dewey menjadi
Profesor Filsafat di Universitas Columbia. Pada tahun 1905, ia menjadi presiden
dari American Philosophical Association, dia adalah anggota lama dari Federasi
Guru Amerika bersama dengan sejarawan Charles A. Bearddan James Harvey
Rabinson, dan Ekonom Thorstein Vablen, Dewey salah satu pendiri dari The New
School. Tulisan Dewey yang signifikan ialah “Konsep Busur Refleks dalam
Psikologi” (1896), Kritik terhadap konsep psikologi standar dan dasar dari semua
pekerjaannya yang selanjutnya, Demokrasi dan Pendidikan (1916), karyanya yang
terkenal pada sebuah pendidikan progresif, Sifat dan Perilaku Manusia (1922),
sebuah studi tentang fungsi kebiasaan dalam perilaku manusia, The Publik dan
Masalahnya (1927), pertahanan demokrasi yang ditulis dalam menanggapai Walter
Lippmsnn’s Phantom Umum (1925). Experience and Nature (1925), gagasan
Dewey yang paling “metafisik” tentang kesan Rusia Soviet dan Revolusi (1929),
sebuah travelog bercahaya dari USRR yang baru lahit, yaitu seni sebagai
pengalaman (1934), karya utama Dewey dibidang Estetika adalah A Common Faith
(1934), pada studi humanistik agama awalnya disamapaikan sebagai Dwight H.
Terry Lectureship di Yale yaitu logika: Theory of Enguiry (1938), pernyataan
konsep Dewey terhadap logika; w (1939), karya politik yang meneliti akar fasisme,
mengetahui dan yang tidak diketahui (1949), dalam buku Dewey yang ditulis
bersama dengan Arthur F. Bentley secara sistematis menguraikan konsep-konsep
yang transaksi, yang merupakan pusat dari karya- karyanya yang lain bisa dilihat
(Transaksionalisme). Sementara itu, masing-masing karya yang ini berfokus pada
satu tema filosofis tertentu, Dewey memasukkan tema utamanya dalam sebagian
besar apa yang telah dia terbitkan, Dewey menerbitkan lebih dari 700 artikel di 140
jurnal, dan sekitar 40 buku.

2. Psikologi Fungsional
Di Universitas Michigan, Dewey menerbitkan dua buku pertamanya,
Psikologi (1887), dan Esai Baru Leibniz mengenai pemahaman manusia (1888),
dari buku tersebut mengungkapkan sebuah komitmen awal Dewey terhadap Neo-
Hegelianisme Inggris. Dalam psikologi, Dewey akan mencoba sintesis antara
idealisme dan sains eksperimental. Sementara profesor masih filsafata di Michigan,
Dewey dan rekan juniornya yaitu James Hayden Tufts dan George Hebert Mead,
serta muridnya James Rowland Angell, semuany sangat berpengaruh terhadap
publikasi terbaru dari William James’ Principles of Psychology (1890), ia mulai
merumuskan kembali tentang psikologi, menekankan lingkungan sosial pada
aktivitas pikiran dan perilaku daripada psikologi terhadap fisikologis Wilhelm
Wundt dan para pengikutnya. Pada tahun 1894, Dewey bergabung dengan Tufts
yang dengannya dia kemudian menulis Etika (1909) di Universitas Chicago yang
baru-baru ini didirikan dan mengundang Mead dan Angell untuk mengikutinya,
kekempat lelaki itu membentuk sebuah dasar dari apa yang disebut terhadap
“kelompok Chicago” dari psikologi. Gaya bru dari psikologi mereka, yang
kemudian dijuluki Psikologi Fungsional yang memiliki penerapan praktis pada
tindakan dan penerapan. Pada artikel Dewey “Konsep Busur Refleks dalam
Psikologi”, yang muncul dalm tinjauan psikologi pada tahun 1896, ia beralasan
menentang pemahaman dari stimulus-respons tradisional dari busur refleks
mendukung akun “melingkar” yang berfungsi sebagai “stimulus” dan apa sebagai
“respons” tergantung bagaimana seseorang mempertimbangkan situasi, dan
membela sifat kesatuan pada sirkuit motor sensorik.
Meskipun dia tidak menyangkal ada rangsangan, sensasi, dan respons, dia
tetap tidak setuju bahwa itu adalah peristiwa yang terpisah dan disandingkan
terhadap apa yang terjadi seperti pada rantai dalam sebuah rantai. Dia tetap
mengembangan gagasan bahwa adanya koordinasi dengan stimulasi yang
diperkaya oleh hasil pengalaman sebelumnya. Responnya dimodulasi oleh hasil
pengalaman Inderawi, dam Dewey terpilih sebagai preseiden American
Psychological Association pada tahun 1899. Pada tahun 1984, American
Psychological mengumumkan bahwa Lilian Moller Gilbreth (1878-1972) yang
telah menjadi psikolog pertama yang diperganti dengan perangko Amerika Serikat.
Namun, psikolog Gary Brucation dan John D. Hogan yang kemudian menyatakan
bahwa perbedaan ini yang sebenarnya dimiliki oleh John Dewey, yang telah
derayakan pada camp Amerika 17 tahun yang sebelumnya, dan sementrara
beberapa sejarawan psikologi menganggap bahwa Dewey lebih sebagai filsuf
daripada psikolog yang bonafide. Penulis yag mencatat bahwa Dewey ialah anggota
pendiri APA, yang menjabat sebagai presiden kedelapan APA pada tahun 1899,
Dewey juga adalah penulis artikel 1896 tentang Busur Refleks yang sekarang
dianggap sebagai dasar psikologi fungsional Amerika.

B. Mengenal Sosok John Dewey dan Teori Pendidikan Konstruktivisme


John Dewey lulus dengan gelar sarjana di Universitas of Vermont pada
tahun 1879, setelah menerima gelar Doctor dalam bidang filsafat di Universitas
John Hopkins pada tahun 1884, Dewey mulai mengajar filsafat serta psikologi di
University of Michigan. Disana minat Dewey yang secara bertahap bergeser dari
filosipi Georg Wilhelm Friedrich Hegel ke psikologi eksperimental yang baru
dikembangkan di Amerika Serikat oleh G. Stanley Hall, filsuf, dan psikolog
pragmatis William James. Kemudian studi yang lebih lanjut tentang psikolog anak
mendorong Dewey untuk mengembangkan filosofi pada pendidikan yang akan
memenuhi kebutuhan masyarakat demokratis yang berubah.
Pada tahun 1894, Dewey bergabung dengan fakultas di Universitas of
Chicago tempat ia mengembangkan pedadogi progresifnya lebih lanjut di Sekolah
Laboratorium Universitas. Pada tahun 1904 Dewey meninggalka Chicago ke
Universitas Columbia di New York City, dimana Dewey menghabiskan sebagian
besar karirnya dan menulis karya filosofinya yang paling terkenenal, yaitu
Experience and Nature (1925). Tulisannya, yang termasuk artikel pada majalah
popular, membahas topik dalam estetika, politik, dan agama.
Dalam teori dan metodenya ini, Dewey berpendapat bahwa untuk
mempelajari sesuatu, tidak perlu kita terlalu banyak mempelajri itu, dalam
melakukan apa yang hendak dipelajari itu, dengan sendirinya akan menguasai
gerakan-gerakan atau perubahan-perubahan yang tepat, sehingga bisa menguasai
hal yang dipelajari itu dengan sempurna. Dewey mengambil contoh tentang
seseorang yang akan belajar berenang, menurutnya seseorang itu tidak perlu diajari
macam-macam teori, cukup ia langsung disuruh masuk kolam renang dan mulai
untuk berenang, dengan cepat orang itu akan lebih menguasai kemampuan
berenang.

a. Teori pengetahuan
Fokus sentra dari minat filosofi John Dewey yang sepanjang karirnya ialah
apa yang secara tradisional disebut “epistemologi”, atau “teori pengetahuan”.
Tetapi, ini menunjukkan sikap kritis terhadap Dewey dalam upaya masa lalunya di
bidang ini, bahwa ia secara tegas menolak istilah “epistemologi”, dan lebih memilih
“teori penyelidikan” atau logika “logika eksperimental” sebagai mewakili
pendekatannya sendiri.
Dalam pandangan Dewey, epistemologi tradisional apakah rasionalis atau
empiris telah menarik perbedaan yang menolak antara pemikiran, domain
pengetahuan, dan dunia fakta yang konon yang disebut pemikiran: pikiran diyakini
ada terpisah dari dunia, secara epistemis sebagai objek kesadaran langsung,
ontologis yang sebagai aspek unik dari diri. Komitmen rasionalisme modern,
berasal dari Dercartes, ke doktrin ide bawaan, ide-ide yang terbentuk sejak lahirnya
hakikat pikiran itu sendiri, telah mempengaruhi dikotomi ini, tetapi kuam empiris
modern, dimulai dengan Locke, telah melakukan hal yang sama persis terhadap
komitmen mereka tentang metodologi introspektif dan teori ide-ide
representasional.
Pandangan yang dihasikannya membuat misteri dari relavansi pemikiran
dengan dunia: Jika pemikiran merupakan domain yang berdiri terpisah dari dunia,
bagaimana bisa akuratnya sebagai sebuah bagian dari perhitungan dunia yang
menjadi ada? Bagi John Dewey, sebuah modal baru yang menolak anggapan
tradisional, menginginkan, dan sebuah modal berusaha ia kembangkan dan ia
sempurnakan selama bertahun-tahun dalam penulisan dan refliksi.
Menurut pragmatisme John Dewey, atau yang disebut “instrumentalisme”,
adalah suatu pengetahuan dihasilkan dari ketajaman korelasi antara peristiwa, atau
proses perubahan. Dalam penyelidikan membutuhkan partisipasi aktif dalam proses
tersebut, penyelidik memperkenalkan variasi spesifik yang didalamnya untuk
menentukan perbedaan apa yang terjadi dalam proses terkait dan mengujur
bagaimana suatu peristiwa tertentu berubah dalam kaitannya dalam variasi
peristiwa terkait. Sebagai contoh, penyelidikan eksperimental ini dapat berupaya
untuk mengetahui bagaimana keganasan dalam suatu organisme manusia berubah
dalam kaitannya dengan sebuah variasi dan dalam bentuk-bentuk perlakuan
tertentu, atau bagaimana seorang siswa menjadi pembelajar yang lebih baik ketika
terdampar metode pengajaran tertentu.
Pragmatisma juga merupakan respons terhadap apa yang para filsuf
sebutkan dalam teori kebenaran dan makna: Gagasan bahwa dalam belajar kita
sebagai reseptor pasif dari rangsang sensorik. Pragmatisme, sebaiknya kita peroleh
dalam hidup kita sebagai hasil dari hubungan yang kompleks antara ide yang telah
diterima dan pengalaman yang sekarang. Dalam teori instrumentalisme, pikiran
berfungsi dalam penemuan-penemuan berdasarkan pengalaman yang mengenai
konsekuensi di masa depan.
Menurut Dewey, dapat dipahami denngn sebaik-baiknya dengan penelitian
tiga aspek dari yang mana kita namakan instrumentalisme:
1. Kata Temporalisme, yang berarti ada gerak dan ada kemajuan nyata dalam
waktu.
2. Kata Futurisme, yang berarti kita mendorong untuk melihat hari esok dan tidak
pada
hari kemarin.
3. Kata Milionarime, yang berarti bahwa dunia dapat dibuat lebih baik dengan
tenaga kita, pandagan ini juga dianut oleh William James.

b. Konsep Pendidikan John Dewey


Pada konsep pendidikan John Dewey memberikan prioritas terhadap
kegiatan yang sangat bermakna terhadap sebuah pembelajaran dan partisipasinya
dalam demokrasi kelas sangat bermakna. Bukan seperti halnya model pengajaran
yang sebelumnya, yang hanya saja mengandalkan otoriteriaanisme dan hafalan,
pada pendidikan progresif menegaskan bahwa siswa harus diinvestasikan terhadap
apa yang telah dipelajarinya/ pahami. Dewey berpendapat bahwa kurikulum yang
relevan harus dengan kehidupan siswa. Dewey melihat belajar dengan melakukan
sebuah pengembangan kererampilan terhadap hidup yang praktis, sebagai hal yang
penting untuk pendidikan anak-anak. Beberapa kritikus mengemukakan
berpendapat bahwa, di bawah sistem Dewey; sorang siswa akan gagal memperoleh
keterampilan, pengetahuan akademik yang dasar, dan yang lain percaya bahwa
sebuah tata ruang kelas dan otoritas seorang guru akan hilang.
John Dewey, keharusan yang etis sentral dalam sebuah pendidikan ialah
demokrasi. Setiap sekolah, yang telah ditulisnya di “The School and Society”, harus
menjadi “kehidupan yang komunitas embiro, aktuif dengan jenis pekrjaan apapun
yang mencerminkan dalam sebuah kehidupan dimasyarakat yang lebih luas dan
meresap ke seluruh dalam semangat seni, sejarah dan sains. Saat sekolah
memperkenalkan dan melatih setiap anak dimasyarakat setempat untuk menjadi
anggota dalam sebuah komunitas yang kecil, dan menjenuhkannga dengan
semangat pelayanan, serta memberinya sebuah instrument pengarahan terhadap diri
sendiri agar efektif, maka dari itu kita akan memiliki sebuah jaminan terdalam dan
terbaik dikalangan masyarakat yang lebih besar dimana layaknya, menyenangkan
dan harmonis”.
Dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education (1916), Dewey
menawarkan sebuah konsep terhadap pendidikan yang adaptif dan progresif
terhadap perkembangan masa depan.
“Dewey elaborated upon his theory that school reflect the community and be
patterned after it so that when children graduate from school they will be properly
adjusted to asumse their place in society”.
Dalam kutipan diatas telah dapat dipahami secara bebas bahwa
pendidikanlah yang harus mampu membekali setiap anak didik yang sesuai dengan
kebutuhannya, yang telah ada dilingkungan sosialnya sendiri, sehingga seorang
anak didik yang telah lulus di suatu lembaga sekolah, mereka bisa beradaptasi
terhadap kalangan masyarakat.
Untuk merealisasikan terhadap konsep tersebut, Dewey menawarkan dua
metode dalam pendekatan pembelajaran:
1. Problem Solving Method, dalam metode ini anak dihadapkan pada berbagai
situasi dan masalah-masalah yang sangat menantang, dan anak didik diberikan
kebebasan yang sepenuhnya agar dapat memecahkan permasalahn tersebut
sesuai dengan pekembangan dan kemampuannya. Dalam proses belajar-
mengajar model ini seorang guru bukannya satu-satunya sumber, bahkan
kedudukan seorang guru hanya membantu siswa dalam memecahklan sebuah
kesulitan yang dihadapinya. Dalam metode semacam ini, dengan sendirinya
pola yang lama hanya mengandalkan seorang guru sebagai satu-satunya sumber
informasi (metode pedagogy) yang diambil alih kedudukannya oleh metode
andragogy yang lebih menghargai terhadap perbedaan individu anak didik.
2. Learning by Doing, pada konsep ini sangat diperlukan untuk menjabani
kesenjangan terhadap dunia pendidikan dengan apa yang dibutuhkan dalam
masyarakat, agar anak didik bisa lebih eksis dalam masyarakat bila telah
menyelesaikan pendidikannya, maka mereka akan dibekali keterampilan-
keterampilan yang praktis dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.

c. Teori Konstruktivisme
Beberapa kalangan menyebutkan bahwa pendiri pada teori konstruktivisme
ialah Jean Piaget. Namun, Dewey yang biasa dikutip sebagai pendiri dari filosofis
terhadap pendekatan teori konstruktivisme, Bruner dan Piaget yang telah dianggap
sebagai ahli dari teori uatama diantara konstruktivis kognitif, sementara Vygotsy
ialah ahli dari teori utama diantaranya konstruktivis sosial.
Dalam konstruktivisme John Dewey menolak akan anggapan bahwa
sekolah harus fokus terhadap pengulangan, hafalan yang menghafal dan
mengusulkan metode yang “hidup terarah”, dan siswa akan terlibat dalam lokakarya
yang praktis didunia nyata dalam halknya mereka akan selalu menunjukkan
pengetahuan yang mereka lalui terhadap kreativitas dan kolaburasi yang dimilikiya.
Siswa harus diberikan kesempatan untuk dapat berfikir dan dari diri mereka sendiri
akan mengartikulasuikan pemikiran mereka. Dewey menyuarakan agar pendidikan
didasarkan pada pengalaman yang nyata, Dewey menulis “jika anda ragu tentang
bagaimana pembelajaran yang terjadi, terlibatlah dalam penyelidikan yang
berkelanjutan, diama belajar, merenungkan, mempetimbangkan kemungkinan yang
alternative dan sampai pada keyakinan yang didasarkan oleh bukti”.
John Dewey menyatakan bahwa belajar tergantung dari pengalaman dan
minat siswa sendiri terhadap topik dalam kurikuklum yang seharusnya harus saling
terintegrasi, tidak saling terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain.
Sugihartono dkk, pada tahun 2007 dalam (Just Weare Noegayya 2012). Dalam
belajar siswa tergantung terhadap pengalaman dan minat seorang siswa maka
suasana dalam pembelaran akan menjadi lebih menyenangkan, dalam hal ini akan
mendorong siswa untuk lebih berfikir proaktif serta mempu mencari pemecahan
masalah, maka dari itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar
pembelaran dapat berjalan dengan baik serta memiliki hasil yang maksimal.
Menurut John Dewey, pendidikan merupakan rekonstruksi atau reorganisasi
terhadap pengalaman yang menambah suatu pengalaman, serta menambah sebuah
kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya. Dimana telah diuraikan
diawal bahwa dalam teori dari konstruktivisme dijelaskan bahwa dalam
permasalahan muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa itu
sendiri, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan
antara siswa dengan pemecahan yang telah dihadapi dan siswa tersebut yang
merekonstruksi lewat pengetahuan yang mereka miliki.
Dapat disimpulkan, dimana pendekatan konstruktivisme mempunyai
beberapa konsep umum, diantaranya:
1. Pelajar yang aktif akan membina pengetahuan yang berasaskan pengalaman
yang sudah ada.
2. Dalam konteks pembelajaran, pelajar yang seharusnya mampu membina
mereka secara mandiri/ perorangan.
3. Pentingnya dalam membina suatu pengetahuan yang secara aktif oleh pelajar
itu sendiri
melalui proses yang saling berpengaruh, diantaranya pembelajaran terdahulu
dengan pembelajaran yang terbaru.
4. Unsur terpenting dalam teori ini adalah seseorang yang membina pengetahua
dirinya secara aktif serta dengan cara membandingkan informasi yang baru dan
pemehamannya yang sudah ada.
5. Ketidakseimbangan merupakan faktor dari motivasi pembelajaran yang utama.
Dimana faktor ini berlaku apabila seorang pelajar menyadari gagasannya yang
tidak konsisten atau sesuai dengan pengetahuan ilmiah.
6. Bahan pengajaran yang telah disediakan perlu mempunyai kaitan terhadap
pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar.

C. Konstruktivisme Menurut John Dewey


Dewey dan Pembelajaran Demokratis
Pembelajaran yang berbasis masalah menemukan akar yang intelektual
pada penelitian John Dewey (Ibrahim dan Nur, 2004). Dalam sebuah dmokrasi dan
pendidikan Dewey dimana menyampaikan pandangannya bahwa sekolah yang
seharusnya mencerminkan masyarakat yang lebih besar, serta kelas merupakan
laboratorium untuk memecahkan suatu masalah dalam kehidupan nyata. Dimana
ilmu mendidik Dewey agar menganjurkan pembelajaran untuk dapat mendorong
pembelajaran yang terlibat dalam proyek atau tugas beriorentasi terhadap masalah
dan membantu mereka menyelidiki masalah-masalah yang intelektual dan sosial.
Dewey juga menjelaskan bahwa suatu pembelajaran disebuah sekolah yang
seharusnya lebih memiliki manfaat dari pada abstrak dan pembelajran yang
memiliki sebuah manfaat yang
terbaik dapat dilakukan oleh pelajar dalam suatu kelompok-kelompok kecil dalam
penyelesai-an proyek yang nampak menarik yang merupakan pilihan mereka
sendiri.

D. Teori Belajar Konstruktivisme


Menurut John Dewey (1856-1952)
Sebagai filosof dan banyak menulis tentang pendidikan, John Dewey
dikenal sebagai Bapak konstruktivisme. Idenya yang digunakan sebagai dasar
metode konstruktivisme dan Discovery Learning . Dewey mengemukakan bahwa
belajar tergantung pada pengalaman dan minat siswa sendiri dan topik dalam
kurikulum yang seharusnya saling terintegrasi bukan saling terpisah atau tidak
mempunyai kaitan satu sama lain. Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat,
berpusat pada siswa SCL= Student Centered Learning dalam konteks pengalaman
sosial kesadaran, sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan. Dalam sebuah
pembelajaran membutuhkan keterlibatan siswa dan kerjasama tim dalam
mengerjakan tugas. Guru bertindak sebagai fasilitator, mengambil bagian sebagai
anggota kelompok dan diadakan kegiatan diskusi dan reviu teman. Dewey juga
menyarankan pnggunaan media teknologi sebagai sarana belajar, konsep Dewey
sudah banyak dipakai di Indonesia terutama untuk pembelajaran di perguruan
tinggi.

Teori Belajar Konstruktivisme Menurut John Dewey (1856-1952):


 Belajar harus bersifat aktif, langsung terlibat, berpusat pada siswa (SCL =
Student-Centered Learning) dalam konteks pengalaman sosial.
 Kesadaran sosial menjadi tujuan dari semua pendidikan.
 Guru bertindak sebagai fasilitator.

E. Teori John Dewey Dalam Psikologi Pendidikan


John Dewey ialah seorang penggerak dalam aplikasi praktis psikologi.
Gagasan John Dewey yang dapat memberikan inspirasi terhadap pendidikan dimasa
kini, diantranya adalah sebagai berikut:
Pertama, Dewey memandang anak sebagai pembelajar yang aktif. Diera
sebelum Dewey, diyakini bahwa anak harus duduk tenang dikursi mereka dan
secara pasif belajar dengan cara menghafal. Sebaliknya, Dewey berargumen bahwa
anak-anak akan belajar sangat baik dengan cara mempraktikkanya.
Kedua, Dewey yang berpendapat bahwa pendidikan harus berfokus
terhadap satu anak secara menyeluruh dan menekankan adaptasi anak terhadap
lingkungannya. Dewey berpikir bahwa anak-anak seharusnya tidak hanya dididik
dalam mata pelajaran akademis, tetapi juga cara berpikir dan beradaptasi mereka
dengan dunia diluar sekolah. Dewey berpikir bahwa anak-anak seharusnya
mempelajari cara untuk menjadi pemecah masalah yang reflektif.
Ketiga, kita berutang ide terhadap Dewey yang meyakini bahwa semua
anak-anak pantas mendapatkan pendidikan yang kompeten (Dewey, 1933, dalam
Santrock, 2011).
Teori pendidikan dalam psikologi dipelopori oleh seorang psikolog asal
Amerika Serikat yaitu John Dewey yang telah memiliki ilmu dasar, Teori John
Dewey dalam Psikologi yaitu:
a. Pengertian
John Dewey menjelaskan bahwa belajar tergantung pada pengalaman dan
minat siswa sendiri dan topik dalam kurikulum seharusnya saling terintegrasi bukan
terpisah atau tidak mempunyai kaitan satu sama lain (Sugihartono dkk, 2007:108).
Apabila proses belajar siswa tergantung pada pengalaman serta minat siswa maka
suasana belajar siswa akan menjadi lebih menyenangkan, maka hal ini akan
mendorong siswa untuk berfikir proaktif serta mampu mencari pemecahan masalah,
di samping itu kurikulum yang diajarkan harus saling terintegrasi agar proses
pembelajaran dapat berjalan dengan baik dan memiliki hasil maksimal.
John Dewey dalam bukunya yang berjudul Democracy and Education
(1950: 89 90, dalam Dwi Siswoyo dkk, 2011), pendidikan merupakan rekonstruksi
atau reorganisasi pengalaman yang menambah makna pengalaman, dan yang
menambah proses kemampuan untuk mengarahkan pengalaman selanjutnya.
Seperti telah diuraikan di muka bahwa dalam teori pendidikan disebutkan bahwa
permasalahan yang muncul dibangun dari rekonstruksi yang dilakukan oleh siswa
sendiri, hal ini dikatakan bahwa dalam pendidikan ada keterkaitan antara siswa
dengan permasalahan yang mereka hadapi dan siswa tersebut yang merekonstruksi
lewat pengetahuan yang mereka dimiliki. Selain itu dari teori kognitif yang
menegaskan bahwa pengalaman sebagai landasan pembelajaran yang sangat
relevan.
John Dewey tidak hanya mengembangkan sebuah teori pendidikan yang
terangkum dalam teori kognitif, tetapi juga mengembangkan teori perkembangan
moral peserta didik. Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga
konsepan, diantaranya konsep premoral atau preconventional, konsep conventional,
dan konsep autonomous (Dwi Siswoyo dkk, 2011).

b. Konsep
John Dewey, (Dwi Siswoyo dkk, 2011) menjelaskan beberapa konsep yang
telah dikemukakannya, yaitu:
 Konsep premoral, ialah tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang
bersifat fisikal atau sosial.
 Konsep convention, adalah seseorang yang mulai bisa menerima nilai
dengan sedikit kritis berdasarkan kriteria kelompoknya.
 Konsep autonomous, afalah seseorang yang sudah mulai bisa berbuat serta
bertingkah laku sesuai dengan akal pikiran dan pertimbangan dirinya
sendiri, tidak sepenuhnya dapat menerima kriteria kelompoknya.
Teori perkembangan moral terhadap peserta didik sangat berhubungan
dengan teori pembelajaran kognitif. Dimana hal ini dapat dilihat dalam teori
perkembangan moral peserta didik, seseorang yang mengalami beberapa tahap
dalam bertingkah laku di lingkungan sosial atau kelompoknya dan hal ini akan
membawa pengalaman serta memberi pengetahuan pada siswa tersebut.
Teori kognitif yang pada dasarnya membahas faktor faktor kognisi yang
berhubungan dengan jiwa atau kondisi psikologi seseorang. Definisi dari teori
kognisi yaitu suatu proses atau upaya manusia dalam mengenal berbagai macam
stimulus atau informasi yang masuk ke dalam alat inderanya, menyimpan,
menghubung-hubungkan, menganalisis, dan memecahkan suatu permasalahan
berdasarkan stimulus atau informasi tersebut (Sugihartono dkk, 2007). Pengertian
tersebut mengandung arti bahwa gejala dari teori kognisi sering dikaitkan dengan
proses pembelajaran seseorang yang didapat dari pengamatan termasuk
pengalaman serta melalui alat indera hingga pada akhirnya dapat digunakan untuk
memecahkan suatu masalah.

c. Penerapan
John Dewey, 1990 dan Dimyati, 1990 menjelaskan beragam macam
penerapan teorinya diantaranya:
 Maladjusment, adalah orang yang dimotovir dalam menghadapi suatu/
sebuah rintangan (menghadapi problem).
 Diagnosis, adalah orang yang melokalisir sumber problimnya serta
mempertimbangkan strukturnya. Dalam langkah ini menyangkut
kemampuan analisis untuk mengabstraksi dan membentuk sebuah konsep.
 Hipotesis, adalah orang yang membuat satu/ lebih dugaan. Pada langkah ini
menyangkut imajinasi kreatif.
 Deduksi, adalah orang yang berusaha menentukan bahwa dugaannya itu
akan benar. Pada langkah ini menyangkut logika serta pengalaman.
 Verifikasi, adalah orang yang mengecek langkah keempat dengan fakta
fakta yang ada. Pada langkah ini menyangkut sampling serta eksperimen.

Penerapan Pada Pembelajaran Siswa Dalam Psikologi Pendidikan


Pada teori kognitif John Dewey, dapat diaplikasikan terhadap pembelajaran
siswa khususnya pada pembelajaran kognitif. Pembelajaran yang kognitif dapat
menekankan pada keaktifan siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah
dengan cara merekonstruksi masalah tersebut dengan pengetahuan dan pengalaman
yang telah didapat. Hal ini tentunya akan melatih siswa untuk berpikir secara
rasional dalam memecahkan sebuah masalah. Proses pembelajaran yang kognitif
harus dilakukan secara berkelanjutan agar adanya perkembangan dalam
kemampuan berpikir siswa.
Melalui strategi pembelajaran kognitif merupakan kemampuan yang
memperoleh saat menganalisis, serta mengolah informasi dengan cermat dalam
kemampuan memecahkan masalah. Dalam hal ini siswa dituntut agar menjalani
proses pembelajaran yang bersifat intensif agar siswa yang memiliki kemampuan
untuk memperoleh suatu informasi hingga memperoleh kemampuan dalam
memecahkan sebuah masalah. Berdasarkan pandangan kognitif tentang bagaimana
pengetahuan yang diperoleh atau dibentuk, belajar adalah proses yang aktif dari
pembelajar untuk membangun pengetahuannya (Sugihartono dkk, 2007). Teori
kognitif adalah landasan pokok dalam pembelajaran seorang siswa karena teori ini
mengutamakan kemampuan seorang siswa secara verbal. Tujuan pendidikan
menurut teori belajar kognitif yaitu (Sugihartono dkk, 2007):
 Menghasilkan individu atau seorang siswa yang memiliki kemampuan
dalam berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi.
 Kurikulum yang dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan serta keterampilan dapat direkonstruksi oleh
peserta didik.
 Latihan memecahkan sebuah permasalahan seringkali dilakukan melalui
belajar kelompok dengan menganalisis suatu masalah dalam kehidupan
sehari hari.
 Peserta didik diharapkan selalu aktif serta dapat menemukan cara belajar
yang sesuai bagi dirinya, atau kemampuannya sendiri.
 Guru yang berfungsi sebagai mediator, fasilitator, dan teman yang membuat
situasi menjadi kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.

F. Analisis Konsep Pemikiran John Dewey


1. Konsep Pemikiran John Dewey
a. Konsep tentang Filfasat
Menyikapi suatu permasalahan hidup dan kerumitan dalam memecahkan
masalah yang dihadapinya secara pribadi serta masalah yang terjadi dalam
masyarakat, Dewey tertarik pada filsafat pragmarisme seperri yang telah diajarkan
oleh charles sanders Pierce (1839-1914) dan yang telah dipopulerkan oleh william
James (1842-1910). Dalam konsep prangmatisme menekankan bahwa, "makna
segala sesuatu rergantung dari hubungannya dengan apa yang dapat dilakukan,"
dengan mengacu pada instrumentalis (hidup tidak memiliki tujuan akhir, tetapi
tujuan antara dan semenrara) serta eksperimentalis (perlunya metode eksperimen
dan pengalaman dalam menentukan kebenaran). Maka dari itu, setiap individu
bertanggung jawab untuk terlibat dalam tugas yang berkesinambungan dalam
membangun kembali dunianya. Pemahaman tersebut tergambar jelas dalam sebuah
konsep yang dimiliki oleh Dewey, "Filsafat harus berpijak pada pengalaman
(experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara kritis-aktif.
Pemikiran kita berpangkal dari pengalaman-pengaiaman dan bergerak kembali
menuju ke pengalaman-pengalaman."
Dengan demikian, pengalaman dan metode yag menjadi penekanan Dewey
sebagai dua unsur yang miliki peran penting dalam pembentukan manusia untuk
menemukan kebenaran dan mengalami pertumbuhan. Pengalamanlah yang menjadi
unsur tertinggi dalam kehidupan manusia untuk menentukan kebenaran dan metode
yang dapat digunakan untuk mencapai sebuah kebenaran yang terdapat didalamnya
pengalaman. pengalaman itu sendiri ialah hal yang tidak mutlak dan dapat berubah,
maka kebenaran pun tidak mutlak dan dapat berubah. Inilah yang menyebabkan
hidup bukanlah tujuan akhir, tetapi ini tujuan sementara, karena pengalaman yang
dialami seseorang dalam hidupnya ialah tidak tetap, tidak mutlak, dan dapat
berubah.
b. Konsep tentang Agama
Menurur Dewey, agama merupakan pengalaman emosi yang dialami
seseorang dan berhubungan dengan rasa nyaman serta bebas dari kehawatiran yang
tidak mungkin terucapkan dalam kata-kata secara lisan. Pengalaman spiritualitas
serta kesusilaan seseorang yang didapat bukan dari pembentukan secara
keagamaan, tetapi sebagai hasil dari perkembangan seluruh bakatnya, dan jati
dirinya hanya dapat direalisasikan dalam masyarakat yang demokratis sehingga
tidak diperlukan pelayanan gereja.
Bagi Dewey, kerajaan Allah merupakan kenyataan adikodrati yang
berfaedah sebagai simbol tentang hubungan yang tertinggi serta pengembangan
yang dilaksanakan melalui pendidikan. Maka dari itu, guru ialah orang yang
memiiiki peran paling penting, karena ia dianggap sebagai nabi yang paling
dipercaya untuk mendatangkan kerajaan Allah yang sebenarnya.
Dewey berpendapat bahwa penyataan bukanlah berasal dari Tuhan, tetapi
penemuan yang dilakukan manusia melalui hubungan sosial dalam masyarakat
yang demokratis. Dalam masyarakat yang demokratis, masyarakat tidak terikat
pada dogma yang berasal dari masa lampau, karena masyarakat berhak untuk
mencari sarana dalam memecahkan masalah yang muncul saat ini. Kebebasan yang
dimiliki oleh manusia memacu perkembangan sains modern yang keberadaannya
merupakan kesatuan yang lebih tinggi dari peran gereja di masa lampau. Kebenaran
supernatural tidak dapat diakui karena itu merupakan masalah adikodrati yang
kebenarannya tidak dapat dibuktikan secara obyektif, dan Dewey juga berpendapat
bahwa kesalahan yang dilakukan oleh manusia bukankah dosa yang harus
diampuni, karena kesalahannya ialah ketidaksesuian pelajaran dalam metode
dengan akal, sebenarnya yang diperlukan manusia adalah perubahan yang
diterapkan kembali serta diperbaiki ulang agar ia menjadi benar.
Dengan berpandangan demikian, bagi Dewey tidak ada kebenaran, nilai
keagamaan serta kaidah moral, etika yang tetap dan mutlak. Semuanya relatif dan
selalu berubah seperti perubahan-perubahan yang rerjadi dalam kebudayaan,
masyarakat, dan lingkungan. pengujian kualitas nilai serta kebenaran dilaksanakan
dengan cara yang sama seperti yang digunakan untuk menguji kebenaran
pengetahuan dengan metode empiris berdasarkan pengalaman manusia dalam
kehidupan sehari-hari. Nilai bukanlah hal yang bersifat supernarural, universal, dan
agamawi melainkan nilai adalah suatu yang disetujui melalui diskusi terbuka
berdasarkan pada bukti-bukri empris dan obyektif, bukan dipaksakan dengan suatu
kekuatan untuk diterima.
Nilai serta kebenaran keagamaan bukanlah suatu yang diwahyukan, tetapi
muncul dari keinginan, dorongan, perasaan, dan kebiasaan manusia sesuai dengan
wataknya yang sebagai perpaduan antara faktor biologis, sosial yang ada dalam diri
dan kepribadiannya. Dengan demikian, nilai dan kebenaran bukanlah suatu yang
dinyatakan dan retap berlaku selama-lamanya, tetapi suatu proses yang dilakukan
manusia untuk menghasilkannya, dan karena itu, agama haruslah bersifat
demokrasi serta terbuka rerhadap kemungkinan-kemungkinan untuk memperoleh
nilai dan kebenaran yang baru.

c. Konsep tentang Pendidikan


 Arti Pendidikan
Menurut Dewey, pendidikan merupakan upaya untuk menolong manusia
agar dapat berefleksi terhadap masalah yang tirnbul dalam masyarakar dan upaya
untuk memperlengkapi mereka agar menghasilkan perubahan yang nyata dalam
kehidupan mereka. Jika dalam proses pendidikan tidak ada pengaruh yang positif
terhadap alam dan masyarakar, maka janganlah disebut pendidikan, karena
pendidikanlah yanh harus memberikan pengaruh terhadap perubahan dan
pertumbuhan. Sifat sosial merupakan hal yang penting dari pendidikan. Untuk itu,
peran masyarakat yang demokratis merupakan bagian dari integral dalam
mengembangkan sumber daya manusia, karena setiap warga adalah pribadi yang
berharga, bukanlah sebagai alat untuk melayani maksud negara atau sarana untuk
mencapai tujuan dari pihak yang berkuasa. Dengan cara ini, pendidikan berorientasi
untuk mempersiapkan lingkungan proses-belajar yang memacu pengalaman untuk
bertumbuh.
Rumusan Dewey mengenai pendidikan ialah "pembentukan kembali/
pengorganisasian ulang pengalaman yang menambah makna serta yang menambah
kemampuan si pelajar dalam memberi arah terhadap pengalaman yang selajutnya."
Dan untuk mencapai maksud tersebut, seorang guru harus memiliki peranan penting
dalam membimbing belajar serta memperluas pengetahuan dan kemampuan
berfikirnya dalam menjelajah hubungan baru yang dibangun diatas pengetahuan
yang dimiliki sebelumnya.
Dalam hal ini, Dewey menekankan bahwa setiap orang belajar dari
pengalamannya yang berasal dari aktivitas yang asli dari lingkungannya, yaitu:
 Tujuan Pendidikan
Menurut Dewey, tujuan bukanlah berada diluar kehidupan, tetapi berada
dalam kehidupan itu sendiri. Maka dari itu, pembentukan tujuan pendidikan harus
didasarkan pada lingkungan masyarakar dimana anak didik hidup serta tempat
dimana pendidikan berlangsung. Tujuan yang telah ditetapkan haruslah khusus,
tidak berlaku secara universal, dan temporer, karena tidak ada kebenaran, nilai yang
mutlak serta berlaku secara universal. Tujuan pendidikan ialah sebagai instrumen
untuk bertindak, yang hasilnya akan menjadi instrument untuk pencapaian tujuan
yang berikutnya dan dijadikan sebagai alat untuk bertumbuh.
John Dewey memiliki dua tujuan penting dan harus diperhatikan dalam
menjalankan pendidikan, yaitu:
Pertama, upaya untuk membedakan hasil-hasil (results) serta tahap akhir
(end). Tahap akhir merupakan hasil dari langkah-langkah yang berkesinambungan
dan teratur yang diambil secara cerdas, bukan dari kegiatan yang dilaksanakan pada
tahap awal.
Kedua, terdapat tiga langkah untuk mencapai tujuan dalam sebuah
pendidikan, yaitu:
1. Mengidentifikasi faktor-faktor dari penghalang para pelajar yang akan
menyebabkan tidak tercapainya tujuan, serta bersamaan dengan itu, maka
harus diperhatikan sarana yang tersedia untuk mencapai tujuan yang
dimaksud.
2. Merumuskan urutan pemanfaatan sarana yang sudah ada.
3. Mempertimbangkan kegunaan dari sarana yang tersedia dalam mencapai
tujuan yang dimaksud.
 Lingkungan Pendidikan
Lingkungan pendidikan merupakan masyarakat dan masyarakat yang
terbaik ialah masyarakat yang demokratis, karena setiap kesempatan untuk bekerja
terdapat didalamnya. Dengan demokrasi yang sudah ada, maka tidak terdapat
klasifikasi penjenjangan sosial dalam masyarakar. Setiap orang berkesampatan
untuk mengambil bagian dan beraktifitas didalamnya serta menggunakan
intelegensinya secara maksimal, agar pertumbuhan yang disetiap individu pun
dapat terjadi secara maksimal.
Sekolah merupakan laboratorium bagi anak didik untuk belajar hidup
bermasyarakat secara demokratis, sedangkan guru merupakan peserta yang turut
membimbing dalam proses belajar mengajar, bukan sebagai seorang yang memiliki
otoritas penuh untuk menentukan segala sesuatu. Anak didik dan guru harus bebas
menentukan serta menatakan perabot kelas dalam ruangannya, dan melalui sekolah,
anak akan belajar berdisiplin untuk bertumbuh dalam kehidupan bersama dengan
orang lain dari pengalamannya sendiri, bukan aturan dari luar yang diberikan
kepada diri anak didik.
 Proses Pendidikan
Menurut Dewey, kurikulum (pokok yang dipelajari) berupa metodologi
(proses yang teriibat di dalamnya) serta metodologi mencakup kurikulum, yang
mana keduanya menyatu. Kurikulum berisi pengalaman-pengalaman yang teruji
serta dapat diubah dan dapat dibentuk berdasarkan minat, kebutuhan siswa, dan
metodenya ialah learning by doing yang terfokus terhadap keaktifan siswa.
Keberadaan siswa merupakan sekelompok orang yang memiliki kemampuan yang
luar biasa dan kompleks untuk bertumbuh kembang, sedangkan seorang guru
merupakan orang yang berperan penting untuk mengawasi serta membimbing
pengalaman belajar siswa, tanpa mengganggu minat dan kebutuhan siswa.
2. Sumbangsih John Dewey Dalam Dunia pendidikan
Pada masa kecil dan mudanya, Dewey melihat bahwa pendidikan hanya
diberikan kepada anak iaki-laki saja dan dari keluarga yang rergolong kaya secara
ekonomi. Dalam proses pembelajaran tersebut, anak-anak yang belajar hanyalah
duduk diam di kelas dan hanya mendengar pelajaran secara pasif dan sopan.
Dengan cara demikian, anak-anak hanya menerima peiajaran secara akademik saja,
tidak diajar untuk berpikir serta beradaptasi dengan dunia di luar sekolah. Karena
keadaan demikian, lahirlah sebuah ide-ide penting dari dirinya, yaitu:
Pertama, anak-anak merupakan pembelajar aktif (active learner),mereka
akan dipacu untuk belajar lebih baik jika mereka aktif dalam proses belajar
mengajar.
Kedua, pendidikan yang seharusnya difokuskan kepada seluruh aspek
kepribadian anak dan memperkuat kemampuannya untuk menyesuaikan diri
dengan lingkungan di mana merka berada, sehinga mereka mampu memecahkan
masalah yang dialaminya secara reflektif.
Ketiga, semua anak-anak baik laki-laki maupun perempuan, dari semua
jenis lapisan sosial ekonomi serta semua etnis, memiliki hak untuk mendapatkan
pendidikan yang layak.
Dalam dunia pendidikan saat ini, konsep pemikiran tentang John Dewey
masih memiliki pengaruh yang sangat besar. Konsep Active-Iearner yang
merupakan konsep yang dimunculkan oleh Dewey, yang menunjukkan bahwa
setiap anak didik memiliki kemampuan unruk bertumbuh dengan memberdayakan
seluruh potensi yang mereka mereka miliki melalui pendidikan yang telah mereka
jalani. Di Indonesia, konsep active-learner dikenal dengan pendidikan yang
partisipatif, yang menekankan keterlibatan aktif peserta didik dalam proses
pendidikan. Dengan pola seperti ini, siswa dipacu untuk terlibat secara aktif untuk
dapat mengembangkan seluruh sumber daya yang dimiliknya. Diman siswa tidak
hanya diam, mendengar, dan mencontoh guru, sedangkan guru haruslah menjadi
fasilitator serta memotivasi siswa untuk berdialog dan berekspresi.

G. Metode Pembelajaran Berbasis Proyek (Project Based Learning)


John Dewey yang pada awalnya mempromosikan suatu gagasan mengenai
"belajar sambil melakukan". Dalam My Pedagogical Creed (1897), John Dewey
menyebutkan dalam keyakinannya tentang pendidikan: "Guru tidak disekolah
untuk memaksakan sebuah ide-ide tertentu atau untuk membentuk kebiasaan
tertentu pada anak didik, tetapi apakah ada yang sebagai anggota masyarakat untuk
memilih pengaruh yang akan mempengaruhi anak dan membantunya dalam
merespons dengan tepat, oleh karena itu, dalam kegiatan yang disebut sebagai
ekspresif atau konstruktif sebagai pusat korelasi. "(Dewey, 1897) dalam
penelitiannya mengenai pendidikan yang telah memajukan gagasan pengajaran
serta pembelajaran ini yang menjadi metodologi yang sangat dikenal sebagai proses
"pembelajaran berbasis proyek". Blumenfeld dan Krajcik (2006) mengutip studi
oleh Marx et al., 2004, Rivet & Krajcki, 2004 serta William dan Linn, 2003
menyatakan yang bahwasanya "penelitian yang telah menunjukkan dimana siswa
yang dikelas pembelajaran berbasis proyek ini mendapatkan skor lebih tinggi
daripada siswa di kelas tradisional".
Dalam Evaluasi Sebaya ini, Blended Team, pembelajaran yang erbasis
proyek; Apa yang Siswa Temukan Penting?, Hye-Jung dan Cheolil (2012)
menggambarkan sebuah "kemalasan sosial" sebagai aspek negatif dari
pembelajaran kolaboratif. Kemalasan sosial dapat mencakup kinerja yang tidak
memadai oleh beberapa anggota tim serta penurunan standar kinerja yang
diharapkan oleh setiap kelompok yang secara keseluruhan untuk menjaga
pengertian diantara anggota. Para penulis ini mengemukakan bahwa karena seorang
guru cenderung menilai produk jadi saja, dinamika sosial pada penugasan ini dapat
luput dari perhatian seorang guru.

a. Struktur
Pembelajaran berbasis proyek ini menekankan kegiatan pembelajaran yang
bersifat jangka panjang, interdisipliner serta berpusat pada siswa itu sendiri. Tidak
seperti kegiatan kelas tradisional yang hanya dipimpin oleh seorang guru, siswa
seringkali harus mengatur pekerjaan mereka sendiri serta mengatur waktu mereka
sendiri dikelas yang berbasis proyek ini. Instruksi yang berbasis proyek ini berbeda
dari inkuiri tradisional dengan penekanan kolaboratif siswa atau konstruksi artefak
individu untuk mewakili apa yang sedang dipelajari. Pembelajaran berbasis proyek
ini juga memberikan siswa kesempatan untuk mengeksplorasi masalah serta
tantangan yang memiliki aplikasi dunia nyata, meningkatkan kemungkinan retensi
jangka panjang keterampilan dan konsep.

b. Elemen
Gagasan inti dari pembelajaran berbasis proyek ialah bahwa masalah yang
didunia nyata menarik minat siswa serta memicu pemikiran serius ketika siswa
memperoleh dan menerapkan pengetahuan baru dalam konteks pemecahan sebuah
masalah. Guru berperan sebagai fasilitator, bekerja sama dengan siswa untuk
membingkai pertanyaan yang bermanfaat, menyusun tugas yang bermakna, melatih
pengembangan pengetahuan, keterampilan sosial, dan dengan hati-hati menilai apa
yang telah kita pelajari terhadap siswa dari pengalaman tersebut. Dalam proyek
tipikal menghadirkan masalah untuk dipecahkan (Apa cara terbaik untuk
mengurangi polusi di kolam halaman sekolah?) Atau fenomena untuk diselidiki
(Apa yang menyebabkan hujan?). PBL menggantikan model pengajaran tradisional
yang lainnya, seperti ceramah, kegiatan yang didorong dalam buku ajar dan
penyelidikan sebagai metode penyampaian yang disukai untuk topik-topik utama
dalam kurikulum. Dalam hal ini adalah kerangka kerja instruksional yang
memungkinkan guru untuk memfasilitasi serta menilai pemahaman yang lebih
dalam daripada berdiri dan menyampaikan informasi faktual. PBL dengan sengaja
mengembangkan pemecahan masalah dan pembuatan produk kreatifitas seiorang
siswa untuk mengkomunikasikan pemahaman yang lebih dalam mengenai konsep-
konsep kunci serta penguasaan dalam keterampilan belajar penting pada abad ke-
21 seperti berpikir kritis.
Siswa yang menjadi peneliti digital aktif dan penilai pembelajaran mereka
sendiri ketika seorang guru membimbing siswa belajar sehingga siswa belajar dari
proses pembuatan proyek. Dalam konteks ini, PBL adalah unit belajar mandiri dari
siswa yang melakukan atau membuat seluruh unit. PBL bukan hanya "aktivitas"
(proyek) yang macet di akhir pelajaran atau unit, serta pemecahan masalah dalam
pembuatan produk yang sangat kreatif untuk mengkomunikasikan sebuah
pemahaman yang lebih dalam tentang konsep-konsep kunci dan penguasaan
keterampilan belajar penting Abad 21 seperti pemikiran kritis. Siswa yang menjadi
peneliti digital aktif serta penilaian dalam proses pembelajaran mereka sendiri
ketika guru membimbing siswa belajar sehingga siswa belajar dari proses
pembuatan proyek.
Dalam konteks ini, PBL merupakan unit belajar secara mandiri dari seorang
siswa yang melakukan atau membuat seluruh unit. PBL bukan hanya "aktivitas"
(proyek) yang macet di akhir pelajaran atau unit, melainkan pemecahan masalah
dan pembuatan produk yang kreatif untuk mengkomunikasikan pemahaman yang
lebih dalam tentang konsep-konsep kunci serta penguasaan keterampilan belajar
penting Abad 21 seperti pemikiran kritis. Siswa yang menjadi peneliti digital aktif
dan penilai pembelajaran mereka sendiri ketika guru membimbing siswa belajar
sehingga siswa belajar dari proses pembuatan proyek. Dalam konteks ini, PBL ialah
unit belajar mandiri dari siswa yang melakukan atau membuat seluruh unit. PBL
bukan hanya "aktivitas" (proyek) yang macet diakhir pelajaran atau unit. Melainkan
PBL adalah unit belajar mandiri dari siswa yang melakukan atau membuat seluruh
unit. PBL bukan hanya "aktivitas" (proyek) yang macet diakhir pelajaran atau unit.

Pembelajaran berbasis proyek yang komprehensif yaitu:


 Yang diatur berdasarkan pertanyaan atau tantangan mengemudi yang tidak
terbatas.
 Menciptakan sebuah kebutuhan agar mengetahui konten serta keterampilan
yang penting.
 Membutuhkan suatu pertanyaan untuk belajar dan atau membuat sesuatu
yang baru.
 Membutuhkan sebuah pemikiran kritis, penyelesaian masalah, kolaborasi,
serta berbagai bentuk komunikasi, yang sering dikenal sebagai keterampilan
pada abad ke-21 .
 Memungkinkan beberapa derajat suara serta pilihan siswa.
 Memasukkan sebuah umpan balik serta revisi.
 Menghasilkan suatu produk atau kinerja yang disajikan untuk umum.

H. Hakekat Pendidikan dalam perspektif John Dewey


1. Hakekat Pendidikan Dalam Beragam Perspektif
Pendidikan, berdasarkan sifat dari sasarannya yaitu manusia, mengandung
banyak aspek dan sifatnya sangat kompleks. Karena sifatnya yang kompleks itu,
maka tidak ada sebuah batasanpun yang cukup memadai untuk menjelaskan
hakekat pada pendidikan yang secara lengkap. Batasan tentang hakekat pendidikan
yang dibuat para ahli beraneka ragam, dan kandungannya kadang berbeda dari yang
satu dengan yang lainnya. Perbedaan tersebut mungkin terjadi karena adanya
perbedaan terhadap orientasinya, serta pada konsep dasar yang digunakan, aspek
yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
Imam Barnadib (2002:4), memandang bahwa pendidikan sebagai fenomena
utama dalam kehidupan manusia di mana orang yang telah dewasa dapat membantu
pertumbuhan dan perkembangan peserta didik untuk menjadi dewasa. Pendidikan
dalam arti luas itu semacam yang telah ada sejak manusia ada. Sejak awal mulanya
kehidupannya, manusia sudah dapat melakukan yang namnya tindakan dalam
mendidik atas dasar pengalaman, bukan berdasarkan teori bagaimana sebaiknya
mendidik. Dalam hal ini, pendidikan menunjuk bahwa pendidikan pada umumnya,
yaitu pendidikan yang dilakukan oleh masyarakat umum.
Batasan pendidikan sebagaimana dikemukakan oleh Imam Barnadib, mirip
atau bisa dikatakan inti substansinya sama dengan pendapat Langeveld. Dimana
Langeveld mengartikan bahwa pendidikan sebagai suatu bimbingan yang diberikan
oleh orang dewasa kepada anak yang belum dewasa untuk mencapai tujuan, yaitu
kedewasaan. Sementara itu, Crow and Crow mendefinisikan pendidikan sebagai
proses yang berisi berbagai macam kegiatan yang cocok bagi individu untuk
kehidupan sosialnya serta membantu dalam meneruskan adat dan budaya serta
kelembagaan sosial dari generasi ke generasi (Slameto, 2006:17).
Sementara itu, H.A.R Tilaar (1999: 17) memahami hakekat pendidikan dari
dua jenis pendekatan, yaitu pendekatan Reduksionisme dengan pendekatan Holistik
Integratif. Dari kedua jenis pendekatan tersebut mempunyai kesamaan di dalam
memberikan jawaban terhadap persoalan hakikat pendidikan, bahwa pendidikan
tidak dapat dikucilkan dari proses pemanusiaan. Tidak ada suatu masyarakatpun
yang dapat eksis tanpa pendidikan. Pendekatan reduksionisme dapat melihat proses
pendidikan, peserta didik dan keseluruhan perbuatan pendidikan, didalamnya
termasuk lembaga-lembaga pendidikan, telah menampilkan pandangan-pandangan
ontologis maupun metafisis tertentu mengenai hakikat pendidikan itu sendiri.
Pandangan-pandangan tersebut tidak menampilkan hakikat pendidikan secara utuh
melainkan sepihak berdasarkan sudut pandang yang digunakan, dengan demikian
proses pendidikan tidak dilihat secara keseluruhan. Ada berbagai jenis pendekatan
reduksionisme, yang berdasarkan sudut pandang yang digunakan, masing-masing
memiliki pendapat yang berbeda mengenai tentang hakikat pendidikan itu.
Pertama, pedagogisme. Dalam penjelasan mengenai hakekat pendidikan,
pendekatan ini bertolak dari keyakinan bahwa anak akan dibesarkan menjadi
dewasa. Ini melahirkan teori yang menjelaskan sebuah faktor-faktor tentang apa
yang mempengaruhi perkembangan pada manusia, misalnya nativisme (anak telah
mempunyai kemampuan yang dilahirkan dan tinggal dikembangkan saja), dan
empirisme (anak dilahirkan seperti kertas putih yang akan diisi oleh pendidikan).
Pada pandangan ini sangat menghormati perkembangan anak, tetapi cenderung
melupakan bahwa anak hidup dalam suatu masyarakat tertentu serta mempunyai
cita-cita hidup bersama yang tertentu pula.
Kedua, filosofisme. Pada pendekatan ini bertolak dari adanya pertentangan
mengenai hakekat manusia serta hakekat pada anak. Anak manusia mempunyai
hakekat sendiri dan berbeda dengan hakekat orang dewasa. Anak bukanlah orang
dewasa dalam bentuknya yang kecil, tetapi anak mempunyai nilai-nilainya sendiri
yang akan berkembang menuju kepada nilai-nilai seperti orang dewasa. Tugas
pendidikan ialah membantu anak menuju kedewasaan sehingga anak mampu
mengambil keputusannya sendiri. Dakam pandangan ini, pendidikan akan berakhir
ketika anak manusia menjadi dewasa.
Ketiga, religionisme. Pada pendekatan ini bertolak dari hakikat manusia
sebagai makhluk yang religius. Disini hakekat pendidikan ialah membawa peserta
didik menjadi manusia yang religius karena sebagai makhluk ciptaan Tuhan peserta
didik itu harus dipersiapkan untuk hidup sesuai dengan harkatnya. Pada pendekatan
ini sangat menekankan bahwa pendidikan ialah untuk mempersiapkan peserta didik
bagi kehidupannya di akhirat. Oleh karena itu, pendidikan agama menjadi sentral
dalam proses pendidikan.
Keempat, psikologisme. Dimana Psikologisme cenderung mereduksi ilmu
pendidikan menjadi sebuah ilmu proses belajar mengajar, sehingga pada hakikatnya
pendidikan ialah proses dalam belajar mengajar. Hal tersebut telah mempersempit
pandangan para pendidik seakan-akan ilmu pendidikan itu terbatas kepada ilmu
mengajar saja. Oleh sebab itu mengajar merupakan suatu tugas yang setua dengan
manusia itu sendiri, maka profesi terhadap pendidik mendapat kurang penghargaan
dibandingkan dengan profesiprofesi lainnya.
Kelima, Negativisme. Dimana berkaitan dengan negativisme, ada tiga teori:
Pertama, tugas pendidikan ialah proses menjaga pertumbuhan anak. Maka dari itu,
perlu disingkirkan hal-hal yang dapat merusak atau yang sifatnya negatif terhadap
pertumbuhan tersebut. Segala sesuatu seakan-akan telah tersedia didalam diri anak
yang akan bertumbuh kembang dengan baik apabila tidak dipengaruhi oleh hal-hal
yang merugikan pertumbuhan tersebut. Tugas pendidik, tidak lebih dari seorang
penjaga tanaman yang dimana menghindarkan tanaman tersebut dari gangguan
hama.
Kedua, melihat pendidikan sebagai usaha mengembangkan kepribadian peserta
didik. Dalam pandangan negatif, karena mengembangkan kepribadian anak implisit
melindungi anak dari hal-hal yang negative, hal-hal yang dapat mengganggu
perkembangan kepribadian yang bermoral harus dihindari. Tugas pendidik ialah
penjaga pertumbuhan kepribadian anak.
Ketiga, proses pendidikan merupakan proses melatih peserta didik menjadi warga
Negara yang berguna, ini berarti menghindarkan peserta didik dari hal-hal yang
dapat mengakibatkan seorang peserta didik menjadi Warga Negara yang tidak dapat
berguna.
Keenam, Sosiologisme. Meletakkan hakekat pendidikan kepada keperluan
hidup bersama dalam masyarakat. Jadi, titik tolaknya prioritas kepada kebutuhan
masyarakat dan bukan kepada kebutuhan individu. Sebagai anggota masyarakat,
peserta didik harus dipersiapkan menjadi anggota masyarakat yang baik. Sementara
itu, pendekatan holistik integratif memandang pendidikan secara menyeluruh, tidak
parsial. Pada hakekat pendidikan dalam pandangan ini merupakan suatu proses
menumbuh-kembangkan eksistensi peserta didik yang memasyarakat, membudaya,
dalam tata kehidupan yang berdimensilokal, nasional serta global. Dalam hal ini,
pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan, dimana proses
pendidikan berarti menumbuh kembangkan eksistensi manusia yang memasyarakat
serta membudayakan, dimana proses bermasyarakat dan membudayakan tersebut
mempunyai dimensi-dimensi waktu dan ruang.
Sementara itu, menurut Ki Hadjar Dewantoro (1977:20), pendidikan adalah
tuntunan didalam hidup tumbuhnya anak-anak. Adapun maksud pendidikan, adalah
menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka yang
sebagai manusia serta sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan
kebahagiaan yang setinggi-tingginya. Sedangkan menurut Driyarkara (2007: 413),
intisari dari suatu pendidikan ialah upaya dalam memanusiakan manusia muda.
Driyarkara menyebutnya sebagai proses hominisasi dan humanisasi. Hominisasi
dan humanisasi ialah pengangkatan manusia muda sampai sedemikian tingginya
sehingga ia bisa menjalankan hidupnya sebagai manusia serta membudayakan diri.
Pengangkatan manusia muda ketaraf insani, itulah yang menjelma dalam semua
perbuatan mendidik, yang bentuk serta wujudnya yang beragam.
Sementara itu, menurut Umar Tirtarahardjadan La Sula (2000:33) melihat
dari segi fungsi atau maknanya, pendidikan dapat diartikan sebagai:
Pertama, sebagai proses transformasi budaya, pendidikan dapat dimaknai sebagai
kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi kegenerasi yang lainnya.
Kedua, sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagai suatu
kegiatan yang sistematis serta sistemik terarah terhadap terbentuknya kepribadian
peserta didik.
Ketiga, pendidikan sebagai proses penyiapan warga Negara yang diartikan sebagai
suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga
Negara yang baik.
Keempat, pendidikan sebagai penyiapan tenaga kerja. Yang artinya, pendidikan
adalah kegiatan yang membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar
untuk bekerja.
Selanjutnya, menurut UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional, pendidikan ialah sebuah usaha sadar serta terencana dalam mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar seorang peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, dan ketrampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa maupun Negara.

2. Hakekat Pendidikan Dalam Perspektif John Dewey


Di antara tiga tokoh dalam aliran pragmatisme, yaitu Peirce, James, dan
John Dewey. John Dewey yang sering disebut sebagai tokoh pragmatisme modern.
Aliran ini menyatakan bahwa benar tidaknya suatu teori bergantung dari berfaedah
tidaknya teori itu bagi manusia dalam kehidupannya. Dengan demikian, ukuran
untuk segala perbuatan merupakan manfaatnya dalam praktek dan hasil yang
memajukan hidup. Benar tidaknya sesuatu hasil pikir, dalil maupun teori, dinilai
menurut manfaatnya dalam kehidupan atau menurut berfaedah tidaknya teori itu
dalam kehidupan manusia. Atas dasar itu, tujuan kita berfikir untuk memperoleh
hasil akhir yang dapat membawa hidup kita lebih maju serta lebih berguna.
John Dewey tidak hanya menerima prinsip-prinsip pragmatis, tetapi juga
mengatakan beberapa ide serta konsep pribadinya yang kemudian termasuk salah
satu doktrin pragmatisme. Salah satu sumbangannya yang penting adalah terhadap
teori pada pendidikan, sama seperti sumbangannya terhadap tradisi filsafat serta
ketangkasannya mempertahankan orientasi pragmatis menuju ketrampilan dan
penerapannya bagi kehidupan manusia (Albertine Minderop, 2005: 99).
Teori John Dewey tentang pendidikan yang tidak dapat lepas dari minatnya
terhadap bidang filsafat. Baginya, filsafat merupakan pemecah problem kehidupan,
sedangkan pendidikan berisi melatih manusia untuk menyelesaikan problem
kehidupan. Maka dari itu filsafat dan pendidikan yang menurutnya tidak dapat
dipisahkan (Muh SadIman, 2004: 62), karena ilsafat merupakan dasar dari teori
pendidikan.
Salah satu kata kunci dalam filsafat John Dewey yang secara keseluruhan
dan bukan hanya dalam filsafat pendidikannya adalah “pengalaman” (experience).
Pengalaman ialah keseluruhan kegiatan serta hasil yang kompleks dan bersegi
banyak dari interaksi aktif pada manusia, sebagai makhluk hidup yang sadar dan
bertumbuh, dengan lingkungan di sekitarnya yang terus berubah dalam perjalanan
sejarah (Sudarminta, 2004). Melawan berbagai macam bentuk dualisme bagi
Dewey, pengalama yang selalu memuat kutub subyek (dengan segala keinginan,
kepentingan, perasaan, sejarah, budaya, serta latar belakang pengetahuannya),
maupun obyek (dengan segala kompleksitasnya), mental maupun fisik, rasional
maupun empirik. Pengertian ini dikemukakan oleh John Dewey sebagai reaksi
terhadap dua bentuk pereduksian/ pemiskinan pengertian pengalaman yang pada
waktu itu, yang umum dilakukan.
Pereduksian pengalaman pertama yang dilakukan oleh kaum empiris
Inggris yang bersifat atomistik serta memahami pengalaman hanyalah sebagai data
inderawiyang dapat diserap oleh manusia (khususnya melalui indra penglihatan dan
pendengarannya) dan lingkungan sekitarnya, kaum empiris mereduksi pengalaman
pada kutub obyek yang dialami. Sebagai akibatnya, menurut Dewey empirisme
mereka menjadi tidak cukup radikal, karena menghilangkan segi-segi pengalaman
empiris pada kutub subyek yang mengalami. Pereduksian kedua dilakukan oleh
kaum rasionalis yang cukup cenderung melecehkan pengalaman sebagai hal yang
tidak pasti kebenarannya dan mudah mengecoh. Namun dimata Dewey, kaum
rasionalis melakukan apa yang ia sebut “the fallacy of intellectualism”. Yang ia
maksudkan, dimana kaum rasionalis terlalu mendewakan pengetahuan intelektual,
sehingga memandang tindakan mengalami melulu sebagai sebuah cara mengetahui
(a made of knowing). Pengalaman tidak lain hanyalah suatu bentuk primitif
pengetahuan. Menurut Dewey, pengalamanlah yang jauh lebih kaya dan kompleks
dibandingkandengan pengetahuan. Ia melawan terhadap dominasi epistemologi
dalam filsafat modern. Realitas pertama-tama ialah realitas untuk dialami serta
bukan untuk diketahui. Dalam kegiatan mengetahui tidak dapat dilepaskan dari
konteks kehidupan tempat kegiatan tersebut dilakukan.
Menurut Dewey, pengalaman merupakan basis pendidikan, atau dalam
terminologi Dewey sendiri “pengalaman” sebagai “sarana serta tujuan pendidikan”.
(John Dewey, 2004). Maka dari itu, bagi Dewey, pendidikan pada hakekatnya ialah
suatu proses penggalian dan pengolahan pengalaman secara terus-menerus. Inti
pendidikan tidak terletak dalam usaha menyesuaikan dengan standar kebaikan,
kebenaran serta keindahan yang abadi, melainkan dalam usaha untuk terus-menerus
menyusun kembali (reconstruction) dan menata ulang (reorganization) pengalaman
hidup subjek didik. Seperti yang dirumuskan oleh Dewey sendiri dalam bukunya,
bahwa perumusan teknis tentang pendidikan, yakni “menyusun kembali dan menata
ulang pengalaman yang menambahkan arti pada pengalaman tersebut, dan yang
menambah kemampuan dalam mengarahkan jalan bagi pengalaman berikutnya”.
Dengan kata lain, pendidikan harus memampukan subjek didik untuk menafsirkan
serta memaknai rangkaian pengalamannya sedemikian rupa, sehingga ia dapat terus
bertumbuh dan diperkaya oleh pengalaman tersebut.
Demikianlah bagi Dewey, pertumbuhan subyek didik melalui penyusunan
kembali serta penataan ulang pengalaman menjadi hakikat sekaligus tujuan
pendidikan. Namun, kendati pendidikan yang sejati dalam keyakinan Dewey selalu
diperoleh melalui pengalaman, namun ia juga dapat menyadari bahwa tidak semua
pengalaman bersifat mendidik. Ada pula pengalaman yang bersifat tak mendidik,
yakni pengalaman yang dapat berakibat menghentikan serta merusak pertumbuhan
kearah peningkatan kualitas pengalaman selanjutnya yang lebih kaya. Baginya,
masalah pokok pendidikan yang berbasiskan pengalaman ialah memilih jenis dari
pendidikan berdasarkan pengalaman yang dapat tetap hidup subur serta kreatif
dalam pengalaman selanjutnya. Bagi Dewey, kesinambungan pengalaman yang
menumbuhkan, tidak hanya secara fisik, tetapi juga secara intelektual dan moral,
yang merupakan salah satu tolak ukur untuk menilai apakah suatu pengalaman
bersifat mendidik atau tidak.
Misalnya, pengalaman ditingkat pendidikan dasar yang membuat subyek
didik mengalami proses pembelajaran melulu sebagai beban yang berat serta harus
ditanggung dan tidak ada kesenangan sedikitpun dalam belajar karena ia sendiri
mengalami dan mendapatkan sesuatu yang bernilai, jelas tidak bersifat mendidik,
karena pada pengalaman tersebut akan membuat kegiatan pembelajaran selanjutnya
tidak dijalankan dengan sepenuh hati. Demikian juga pengalaman yang mematikan
rasa ingin tahu subyek didik, melemahkan inisiatifnya, serta banyak meredam
keinginan dan cita-citanya.
Tolok ukur kedua yang diberikan oleh Dewey untuk menilai apakah
pengalaman bersifat mendidik atau tidak ialah apakah pengalaman itu menjamin
terjadinya interaksi antara realitas subyektif/ internal dalam diri subjek didik dan
realitas obyektif/ eksternal yang menjadi kondisi nyata bagi subyek didik untuk
hidup ditengah masyarakat dan zamannya. Pendidikan yang baik dan berbasiskan
pengalaman memang perlu dalam memperhatikan minat, bakat, keinginan, rasa
ingin tahu, inisiatif serta kebebasan individu subyek didiknya sebagai realitas
subyek/ internal, tetapi tidak berarti lalu dapat mengabaikan tuntutan berdasarkan
kondisi obyektif/ eksternal yang menurut penilaian para pendidik sebagai orang
dewasa yang layaknya diberikan. Berdasarkan pengalaman masa lalu yang terus
diuji kembali dalam pengalaman sekarang, pengaturan sekolah, penentuan metode,
pemilihan bahan, serta disiplin kerja yang mendukung pembelajaran subyek didik
tetap dapat dan perlu dilakukan. Yang terpenting ialah jangan sampai hal-hal itu
dilakukan tanpa memperhatikan kondisi subyek/ internal subyek didik pada waktu
serta tempat pembelajaran dilaksanakan.
Menurut Dewey, pola pendidikan pendidikan yang tradisional cenderung
melupakan kondisi subyektif/ internal subyek didik, sedangkan progresivisme
cenderung melupakan kondisi obyektif/ eksternal subjek didik. Dampak keduanya
pada pendidikan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh berbasis pengalaman
subyek didik dalam konteks sosial-budaya atau kondisi obyektif masyarakatnya.
Dengan pemahaman seperti itu, menurut Dewey (Glassman, 2001) peran dalam
pendidikan yang sangat penting adalah mengajar peserta didik tentang bagaimana
menjalin hubungan antara sejumlah pengalaman sehingga terjadi penyimpulan serta
pengujian pengetahuan yang baru. Pengalaman baru akan menjadi pengetahuan
baru apabila seseorang selalu bertanya dalam hatinya. Jawaban terhadap pertanyaan
tersebut yang merupakan pengetahuan baru yang akan tersimpan dalam struktur
kognitif seseorang. Pendapat Dewey yang menunjukkan bahwa pengetahuan yang
baru akan terjadi apabila ada pengalaman yang baru. Maka dari itu, semakin banyak
pengalaman belajar yang dialami seseorang akan semakin banyak pengetahuan
yang dimilikinya.
Pengalaman baru para peserta didik diperoleh dari sekolah, baik yang
dirancang maupun tidak. Penentuan pada pengalaman yang diperoleh disekolah
harus melihat ke depan, yaitu tuntutan masyarakat di masa depan, karena perubahan
yang dilakukan saat ini akan diperoleh hasilnya dimasa depan, dan akumulasi
pengetahuan baru bagi peserta didik menentukan kemampuan peserta didik.
Kemampuan ini sering disebut dengan kompetensi, yaitu kemampuan yang dapat
dilakukan oleh peserta didik. Kompetensi ini sangat penting dalam era globalisasi,
karena persaingan yang terjadi terletak pada sutu kompetensi lulusan pada lembaga
pendidikan atau pelatihan. Kompetensi lulusan ini ditentukan oleh pengalaman
belajar para peserta didik, sedangkan pengalaman belajar ini merupakan bagian dari
kurikulum disekolah.
Mengenai kurikulum, John Dewey berkeyakinan dalam mengenai perlunya
menempatkan siswa, kebutuhan serta minatnya sebagai sesuatu yang sentral. Mata
pelajaran, mereka claim, seharusnya dipilih dengan mengacu pada kebutuhan
siswa. Selain itu, kurikulum menurut Dewey dan pengikut pragmatisme lainnya,
seharusnya tidak dibagi kedalam bidang matapelajaran yang bersifat membatasi
atau tak wajar. Kurikulum semestinya lebih dibangun diseputar unit-unit yang wajar
serta yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan yang mendesak dan pengalaman-
pengalaman siswa. Unit-unit studi yang spesifik mungkin bervariasi dari kelas 4
dan berikutnya, tapi ideanya ialah bahwa mata pelajaran sekolah yang tradisionil
(seni, sejarah, matematika, membaca, dan lain-lain) dapat disusun ke dalam teknik
problem solving yang berguna untuk menumbuhkan rasa ingin tahu siswa untuk
belajar pada materi tradisionil, sebagaimana mereka bekerja pada problemproblem
atau isu-isu yang telah menarik mereka didalam pengalaman sehari-harinya.
Mengenai metode pendidikan, bagi Dewey metode pendidikan merupakan
upaya menanamkan suatu disiplin, tetapi bukan otoritas. Yang terpenting ialah
mengontrol anak melalui kekuatan eksternal. Dewey berpendapat bahwa tidak ada
sesuatu tindakan yang lebih baik dan benar secara obyektif. Susunannya melibatkan
kemauan manusia, semua nilai adalah subyektif. Disiplin dalam pendidikan tidak
boleh berisi otoritas, keinginan yang menyebabkan disiplin terhadap pendidikan
belumlah cukup. Maka perlu adanya usaha belajar bersama orang lain dalam proses
kerjasama. Disiplin dalam pendidikan memancar dari keinginan anak didik, suatu
tempat berlangsungnya aktivitas anak didik dalam usaha bersama mencapai tujuan
pendidikan. Metode pengajaran dengan disiplin berarti seseorang mengarahkan
pelajaran dengan disiplin. Cara yang dapat ditempuh adalah:
1) Semua paksaan harus dibuang; seorang guru harus membangkitkan
“impulse” anak didik, sehingga timbul kekuatan internal untuk belajar
mencapai “mastery” (ketuntasan).
2) Agar dapat muncul minat, seorang guru harus intim dengan kecakapan serta
minat setiap murid. Tidak ada minat yang universal, maka minat dan
kemauan terhadap pelajaran pun berbeda-beda.
3) Seorang guru harus menciptakan situasi dikelas sehingga setiap orang turut
berpartisipasi dalam proses belajar.
Selain itu, metode pendidikan yang seharusnya berpusat pada memberi
siswa banyak kebebasan serta memilih dan mencari tempat atau situasi belajar
dalam berpengalaman yang akan menjadi paling bermakna baginya. Kelas (yang
dipandang tidak hanya sebagai setting sekolah, tetapi tempat dimana pengalaman
diperoleh) dapat dilihat dalam hubungannya dengan sebuah laboratorium keilmuan
dimana gagasan diletakkan untuk diuji dan dikritisi. Studi lapangan, dalam catatan
kaum pragmatis, jelas memberi keuntungan-keuntungan lebih, karena memberi
kesempatan berinteraksi langsung dengan lingkungan. Adalah benar bahwa studi
lapangan serta pengalaman yang aktual lainnya banyak menyita waktu. Namun,
dengan metode itu mereka tampak lebih termotivasi. Sebagai contoh, seseorang
belajar lebih tentang perusahaan susu dan sapi dengan langsung kegudang dan
pemerahan, membau serta mendengar suara seekor sapi daripada dengan seminggu
membaca dan memandang proses pada layar film. Dengan demikian, metodologi
pragmatisme ialah langsung dengan pengalaman mereka, dengan kata lain, anak-
anak, menurut Dewey, seharusnya secara bertahap berubah dari belajar berdasarkan
pengalaman langsung kemetode belajar yang seolah mengalami sendiri/ dialami
orang lain. Metode ini seharusnya lebih bermakna karena mereka bisa membangun
berdasarkan basis pengetahuan yang ditemukan pada pengalaman-pengalaman
signifikan dalam hidup mereka yang sehari-harinya. Dari segi kebijakan sosial
sekolah, dan tujuan sekolah adalah bukan agar peserta didik mengingat serangkaian
pengetahuan, tetapi lebih, agar mereka dapat belajar bagaimana belajar agar supaya
mereka dapat menyesuaikan dengan dunia yang berubah secara terus menerus pada
masa sekarang dan masa yang akan datang.
Maka dari itu, bagi Dewey subyek didik bukanlah pribadi yang pasif. Ia
adalah manusia, makhluk hidup yang bertumbuh kembang serta dalam interaksi
secara aktif dengan lingkungan hidup disekitarnya. Realitas bagi Dewey juga bukan
suatu yang mati dan tak berubah, melainkan suatu yang dinamis dan terus berubah.
Untuk itu, pendidikan mesti berpusat pada kondisi konkrit subyek didik dengan
minat, bakat, dan kemampuannya serta peka terhadap perubahan yang terus terjadi
dalam masyarakat. Pendidik haruslah senantiasa siap sedia untuk mengubah metode
serta kebijakan perencanaan pembelajaran, seiring dengan perkembangan zaman
yang erat terkait dengan kemajuan sains, teknologi dan perubahan lingkungan hidup
tempat pembelajaran dilaksanakan.
Dari sudut pandang epistemologi kaum pragmatis, siswa merupakan
seseorang yang mempunyai pengalaman (George R. Knight, 1982: 66). Ia adalah
seorang individu berpengalaman yang mampu menggunakan kecerdasannya untuk
memecahkan situasi-situasi problematik. Siswa belajar dari lingkungannya dan
menjalani berbagai konsekuensi dari tindakan-tindakannya. Bagi kaum pragmatis,
pengalaman sekolah merupakan bagian dari hidup lebih daripada persiapan untuk
hidup. Demikianlah, cara seseorang belajar disekolah secara kualitatif tidak berbeda
dari cara dia belajar dalam berbagai aspek lain kehidupannya. Sebagai siswa, setiap
hari mereka menghadapi berbagai masalah yang bisa menyebabkannya mengalami
pengalaman reflektif yang lengkap. Penggunaan dihasilkan oleh kecerdasannya
menyebabkan tumbuh dan pertumbuhan ini memampukan dia untuk berinteraksi
dan beradaptasi terhadap dunia yang berubah. Ide yang berkembang menjadi alat
untuk hidup yang sukses.
Sementara itu, guru menurut John Dewey bukanlah guru dalam pengertian
tradisionil. Melainkan, ia bukan seseorang yang tahu apa yang dibutuhkan siswa
dimasa depan dan oleh karenanya mempunyai fungsi memberi/ menanamkan
seperangkat pengetahuan esensial kepada siswa. Untuk satu hal, kaum pragmatis
mengaku, tidak seorangpun tahu apa yang siswa butuhkan sejak ia hidup didunia
yang berubah secara terus-menerus. Fakta ini sejalan dengan ide bahwa tak ada satu
kebenaran secara apriori atau mutlak yang mana semua siswa harus mengetahui
memodifikasi peran seorang guru.
Guru dalam sebuah sekolah yang pragmatik bisa dipandang sebagai anggota
pelajar dalam pengalaman pendidikan karena masuk kelas setiap hari menghadapi
dunia yang berubah-ubah. Namun, guru merupakan anggota perjalanan yang lebih
berpengalaman maka dari itu dapat dipandang sebagai pembimbing atau direktur
proyek. Dia adalah orang yang menasehati serta membimbing aktivitas-aktivitas
siswa dan dia menampilkan peran ini didalam konteks dan dengan keuntungan
pengalaman yang lebih luas. Tetapi, ada yang penting untuk dicatat, dia tidak
mendasarkan kegiatan-kegiatan kelas pada kebutuhan perasaannya sendiri. John
Dewey juga dikenal dengan pandangannya tentang demokrasi dalam dunia
pendidikan. Dewey melihat sekolah yang secara ideal, sebagai sebuah kehidupan
demokratis dan belajar lingkungan yang mana setiap orang berpartisipasi didalam
proses pembuatan keputusan dalam mengantisipasi datangnya partisipasi yang
lebih luas didalam proses pengambilan keputusan dari masyarakat yang lebih besar.
Keputusan masyarakat serta sekolah terhadap kerangka ini dinilai didalam sudut
pandang konsekuensi sosial mereka daripada didalam kerangka tradisi yang
keramat. Perubahan sosial, ekonomi serta politik dipandang baik jika hal itu
memperbaiki kondisi dimasyarakat.
Terkait terhadap pandangan politik demokrasi tersebut, di antara karyanya;
Democracy and Education ialah buku yang memperlihatkan keyakinan-keyakinan
dan wawasan-wawasannya memgenai pendidikan serta mempraktekkannya di-
sekolah-sekolah yang ia dirikan. Karya ini berisi dasar-dasar pemikiran mengenai
pendidikan, kehidupan sosial serta politik. Di dalam bukunya ini, John Dewey
mengatakan bahwa demokrasi merupakan sesuatu yang lebih daripada suatu
pengertian politik; demokrasi merupakan suatu kehidupan bersama yang saling
berkaitan serta saling mengkomunikasikan pengalaman. JohnDewey mengatakan,
bahwa suatu masyarakat hanya akan ada karena suatu komunikasi, karena saling
membagi pengetahuan, dan itulah kriteria etis suatu masyarakat yang baik. Maka,
demokrasi dan pendidikan dilihat sebagai semacam dua muka dari suatu mata uang,
demokrasi dan tidak dapat hidup tanpa pendidikan, dan sebaliknya pendidikan yang
baik tidak akan hidup dalam suatu masyarakat yang tidak demokratis. Didalam
pemikirannya yang mengenai kaitan antara demokrasi dan pendidikan, Dewey
beranggapan bahwa manusia perorangan hanya dapat terbentuk apabila dalam
rangka kegunaan sosialnya namun demikian, pemikiran Dewey tidak memassalkan
individu, malahan menganggap bahwa setiap individu itu unik, artinya yang tidak
pernah lebur didalam massa.
Dari sisi aliran pendidikan, dalam pemikiran Dewey tentang pendidikan
cukup dekat dengan teori atau aliran pendidikan yang disebut progressivisme.
Namun demikian, dalam buku Experience and Education, Dewey juga cukup kritis
terhadap aliran progressivisme. Katanya, progressivisme tidak memadai kalau
dilihat dari pandangannya yang menjadikan pengalaman sebagai basis pendidikan.
Pola pendidikan lama/ tradisional yang memahami materi pelajaran sebagai suatu
yang sudah baku serta pendidikan sebagai pengalihan seperangkat pengetahuan dan
ketrampilan yang wajib dikuasai oleh subyek didik dari generasi kegenerasi, serta
pendidikan moral sebagai pembentukan kebiasaan yang bertindak sesuai dengan
standar serta aturan moral yang berlaku sepanjang zaman memang ditolak oleh
Dewey. Demikian juga pandangan pendidikan tradisionil tentang sekolah sebagai
lembaga yang sama sekali terpisah dari kehidupan masyarakat dan pendidikan
sebagai kegiatan mempersiapkan subyek didik untuk dapat memainkan perannya
dalam kalangan masyarakat dikemudian hari. Bagi Dewey, sebagaimana aliran
progressivisme, pendidikan orang muda bukan hanya persiapan untuk hidup nanti
ditengah masyarakat, tetapi sudah merupakan kehidupan sendiri (George R. Knight,
1982;66). Memahami pendidikan melulu secara instrumentalistik dalam pandangan
Dewey bertentangan terhadap hakekat pendidikan tersebut. Dewey juga menyetujui
kritik pada kaum progressivis terhadap pendidikan tradisionil yang sangat kaku,
menuntut disiplin ketat, serta menuntut subyek didik jadi pasif.
Menurut Muis Sad Iman (2004: 62), John Dewey dapat disebut, bahkan
harus disebut sebagai seorang yang progressive. Dia sangat dipercaya kepada
progress atau kemajuan, baik yang nyata maupun yang merupakan kemungkinan
saja. Dia juga percaya bahwa dunia ini berisi penuh dengan segala yang nyata,
keuntungan serta kerugian yang nyata, kekurangan dan kelebihan yang nyata,
dantentunya risiko yang nyata pula, yang oleh karena itu dengan mempergunakan
kecerdasannya orang dapat memperbaiki dirinya. Keyakinan terhadap kesanggupan
manusia untuk mencapai kesempurnaan diri pribadinya, merupakan sesuatu hal
terbaik yang dapat diberikan oleh pendidikan sekuler. Dalam kasus John Dewey,
dia telah menempuh hidup dalam dua peperangan dunia serta dapat mengatasi
depresi ekonomi dunia dan perasaan hatinya mengajaknya buat berbakti kepada
tujuan keagamaan.
Pertumbuhan, perkembangan, evolusi, kemajuan, perbaikan, semuanya
terdapat dalam pikiran John Dewey, selalu menjadi bahan tulisannya, dalam
pengertian ini Dewey ialah progressive. Sebagai tokoh progressivisme, John Dewey
termasuk golongan aliran sosial yang timbul sebagai reaksi terhadap pengabaian
unsur-unsur sosial dalam pendidikan oleh aliran individualisme. Sebagai tokoh
aliran sosial, Dewey berpendapat bahwa sekolah bukan hanya semata-mata untuk
kepentingan masyarakat tetapi juga memikirkan unsur-unsur psikologis. Maka tipe
sekolah kerja Dewey ialah sekolah kerja sosiologis-psikologis.
Masih dalam pendapat Muis Sad Iman, yang dalam hidupnya Dewey telah
memberikan jasa yang begitu besar dalam lapangan pendidikan di sekolah. Diantara
jasa-jasa Dewey yang layak untuk dikemukakan:
Pertama, ia memberantas dengan keras terhadap kesalahan sekolah tradisionil dan
memasukkan “kerja” dalam ruangan sekolah.
Kedua, dalam sekolah lama jarak antara pengajaran dan penghidupan anak didik
sangat jauh. Dialah yang mendekatkan kehidupan anak didik disekolah dengan
kehidupan dalam masyarakat. Ia mengubah sekolah kuno yang pasif mati itu
menjadi sekolah baru, yang aktif hidup, hingga anak didk dapat menambah
pengetahuan serta kecakapannya serta menemukan skill dan bakatnya dengan baik.
Ketiga, disekolah kuno itu pelajaran tiap tahun selalu berlangsung sama, tetapi
pengajaran proyek mengubah keadaan yang statis itu menjadi dinamis, tiap tahun
pengajaran berganti sesuai dengan masalah yang diambil dari masyarakat yang
selalu hidup serta berubah, dan sesuai dengan perkembangan perhatian anak.
Keempat, anak didik dilatih belajar sungguh-sungguh serta bekerja sama, tidak
seperti di sekolah kuno. Disekolah tradisionil anak hanya menghafal serta berbuat
untuk kepentingan diri saja.

I. Konstruktivime: Implikasi Baru Dalam Teknologi pembelajaran


1. Pengertian Konstruktivisme (Constructivism)
Konstruktivisme adalah proses pembelajaran yang menerangkan bagaimana
sebuah pengetahuan telah lama dipraktikkan dalam proses kaidah pengajaran serta
pembelajaran ditingkat sekolah akan tetapi tidak begitu ditekankan. John Dewey
menguatkan kembali teori konstruktivisme dengan mengatakan bahwa pendidik
yang mampu harus melaksanakan pengajaran serta pembelajaran sebagai proses
penyusun atau membina pengalaman secara koheren. Dewey juga menekankan
pentingnya penyertaan siswa dalam setiap aktivitas pengajaran dan pembelajaran.
Dengan dasar itu, pembelaran harus dikemas menjadi proses pembelajaran
yang mengkonstruksi, bukan menerima pengetahuan. Dalam proses pembelajaran,
siswa mampu membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif
dalam proses belajar dan mengajar, siswa yang menjadi pusat kegiatan, bukan guru.
Dalam landasan berfikir kobstruktivisme, sedikit berbeda dengan pand-
angan kaum objektivis, yang lebih menekankan pada hasil pembelajaran. Terhadap
pandangan konstruktivis “Strategi Memperoleh” lebih diutamakan dibandingkan
seberapa banyak siswa yang memperoleh serta mengingat pengetahuan. Untuk itu,
tugas guru adalah memfasiltasi proses tersebut dengan cara:
 Menjadikan pengetahuan bermakna serta relevan terhadap siswa.
 Memberi kesempatan seorang siswa agar menemukan dan menerapkan ide-
nya sendiri.
 Menyadarkan seorang siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
proses belajar.

2. Implikasi Pada Teknologi Pembelajaran


Lajunya sebuah perkembangan tekonoli pada decade terakhir ini mau tidak
mau harus diikuti karena telah membawah perubahn yang amat besar dalam bidang
pendidikan. Pendayagunaan teknologi terhadap pembelajaran memudahkan kita
dalam mentransfer sebuah informasi kepelajar sehinnga hasil yang diperoleh lebih
bermakna untuk menciptakan sesuatu yang baru. Kehadiran teknologi dalam proses
pembelajaran bila dikelola dengan baik, maka para guru dapat mengembangkan diri
dengan mengadopsi serta mengadaptasi teori-teori belajar yang membangun pikiran
seorang siswa secara terstruktur dan dinamis.
Dengan teknologi, pelajar lebih mudah dalam memahami serta mudah dala-
m mengaplikasikannya terhadap kehidupannya. Berikut ini beberapa implikasi pen-
ggunaan teknologi pembelajaran, yaitu:
a. Setiap guru pernah mengalami bahwa suatu materi yang telah dibahas
dengan sejelas mungkin, namun masih ada sebagian siswa yang belum men-
gerti atau tidak mengerti sama sekali dengan materi yang telah diajarkan.
Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru dapat mengajar suatu materi pada
siswa dengan baik, namun seluruh/ sebagian siswa tidak belajar sama sekali.
Usaha keras seorang guru dalam proses mengajar tidak harus diikuti dengan
hasil yang baik pada siswanya. Dikarenakan, hanya dengan usaha yang
keras para siswa sendirilah yang betul-betul memahami suatu tentang materi
yang telah diajarkan.
b. Tugas setiap seorang guru dalam memfasilitasi siswanya, dalam memberik-
an suatu pengetahuan materi yang dibangun atau dikonstruksi para siswa
sendiri bukan ditanamkan oleh seorang guru, seorang siswa harus dapat sec-
ara aktif mengasimisalkan serta mengakomodasi pengalaman baru kedalam
kerangka kognitifnya.
c. Untuk mengaja dengan baik, seorang guru harus betul-betul memahami mo-
del pembelajaran yang digunakan para siswa untuk mengenal dunia mereka
serta penalaran yang dikembangkan dan yang dibuat para siswa untuk men-
dukung model pembelajran tersebut.
d. Seorang siswa perlu mengkonstruksikan pemahaman yang meraka buat se-
ndiri untuk masing-masing konsep terhadap materi sehingga seorang guru
dalam proses mengajar bukannya “menguliahi”, menerangkan atau upaya-
upaya yang sejenis untuk memindahkan pengetahuan pada siswa, tetapi me-
ciptakan situasi bagi siswa dalam membantu perkembangan mereka serta
membuat konstruksi-konstruksi mental yang diperlukan.
e. Kurikulum yang dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang
memungkinkan pengetahuan serta keterampilan dapat dikonstribusikan oleh
peserta didik.
f. Dalam latihan memecahlkan sebuah masalah seringkali dilakukan melalui
belajar kelompik dengan menganalisis suatu masalah dalam kehidupan seh-
ariannya.
g. Seorang siswa diharapkan untuk selalu aktif serta dapat menemukan cara
belajar yang sesuai dengan kwalitas dirinya sendiri. Seorang guru hanya se-
bagai fasilitator, mediator, serta teman-teman yang membuat situasi kondu-
sif untuk terjadinya konstruksi terhadap pengetahuan pada diri siswa.
DAFTAR PUSTAKA
Allecher, dkk. 2019. John Dewey.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/John_Dewey
BungRam. 2019. Mengenal Sosok Jonh Dewey dan Teori Pendidikan
Konstruktivisme.
https://www.kompasiana.com/bungram/5c3d903612ae947fcf0f5495/mengenal
-sosok-john-dewey-sebagai-bapak-pendisikan-pragmatisme
Fatkhan Amirul Huda. 2017. Teori Konstruktivisme dan Tokoh-Tokoh
Konstruktivisme. http://fatkhan.web.id/teori-konstruktivisme-dan-tokoh-
tokoh-konstruktivisme/
Sugiyanto. Tanpa Tahun. Belajar dan Pembelajaran. https://text-
id.123dok.com/document/8ydkgwngq-john-dewey-1856-1952-teori-
konstruktivistik.html
Agus Triyanto, M.pd.. 2011. Teori-Teori Belajar.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=http://staffnew.un
y.ac.id/upload/132310879/pendidikan/06Teori%2BBelajar.pdf&ved=2ahUKE
wjfybXnovDlAhXpzjgGHUSVDHoQFjAAegQIBBAB&usg=AOvVaw3t7rm
58t6xk0yEcW5trdV6
Universitas Psikologi. 2018. Pengertian, Sejarah, dan Riset Penelitian dalam
Psikologi Pendidikan.
https://www.google.com/url?sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.unive
rsitaspsikologi.com/2018/04/pengertian-sejarah-penelitian-psikologi-
pendidikan.html%3Fm%3D1&ved=2ahUKEwi8_439qvDlAhVJ6nMBHWM
wD_I4FBAWMAR6BAgHEAE&usg=AOvVaw3ughbw87y9H8xZPgcNIIgc
Arby Suharyanto. Tanpa Tahun. Teori John Dewey Dalam Psikologi
Pendidikan. https://dosenpsikologi.com/teori-john-dewey-dalam-psikologi-
pendidikan
Peniel Maiaweng.Tanpa Tahun.Analisis Pemikiran John Dewey.
http://ojs.sttjaffray.ac.id/index.php/JJV71/article/download/29/pdf_19
Akpheifer, dkk. 2019. Pembelajaran Berbasik Proyek.
https://en.m.wikipedia.org/wiki/Project-based_learning
Satya Widya. 2014. Hakekat Pendidikan Dalam Perspektif John Dewey. 30
Dedy Yulianto. Tanpa Tahun. Konstruktivisme: Implikasi Baru Dalam
Teknologi Pembelajaran.
https://www.slideshare.net/mobile/dediyulianto370/konstruktivisme-
implikasi-baru-dalam-tep-1

Anda mungkin juga menyukai