Anda di halaman 1dari 18

DASAR FILOSOFIS PENDIDIKAN

FILSAFAT PENDIDIKAN Dalam filsafat pendidikan, ada empat cabang filsafat utama
yang cukup penting untuk diketahui, yaitu perenialisme, progresivisme, esensialisme, dan
eksistensialisme. Penjelasan dari masing-masing filsafat pendidikan tersebut disampaikan di
bawah ini.

PERENIALISME Tokoh penting perenialisme adalah Socrates (470-399 SM, Athena), Plato
(428-348 SM, Athena), Mortimer Jerome Adler (28 Desember 1902-28 Juni 2001, Amerika).

Definisi Secara etimologis, “perennial” artinya sesuatu yang abadi dan dapat bertahan lama.
Oleh karena itu, perenialisme dapat didefinisikan sebagai teori pendidikan yang berfokus
pada nilai-nilai kebenaran universal yang tidak lekang oleh waktu. Para filsuf yang
menuliskan gagasan perenialisme ini memusatkan perhatian pada gagasan mereka mengenai
berbagai kebenaran yang dianggap masih relevan dari jaman dahulu sampai sekarang.

Tujuan Pendidikan Tujuan Pendidikan menurut filsafat perenialisme adalah meningkatkan


kemampuan siswa untuk memakai penalaran mereka secara rasional dan kritis melalui lietrasi
sastra, sejarah, dan filsafat. Guru dianggap aktor utama yang akan menentukan bagaimana
lingkungan kelas dan muatan materi pembelajaran diatur dengan disiplin tinggi. Misalnya
saja, pelajaran yang terkait dengan agama, sastra, ataupun sejarah, dan dalil-dalil ilmu
pengetahuan akan menjadi sarana untuk menanamkan nilai-nilai moral yang sifatnya abadi.

Proses Pembelajaran Kurikulum pembelajaran yang berbasis pada perenialisme biasanya


terlebih dahulu mempersiapkan siswa untuk belajar membaca, menulis, berbicara, dan
mendengarkan di kelas awal. Di dalam kelas, para siswa didorong untuk mengasah kualitas
intelektual dan moral mereka untuk berpikir secara kritis dan logis secara bertahap.
Pembelajaran berorientasi pada isi pengetahuan (contets) dan pemaknaan pengetahuan bagi
hidup mereka. Ini semua dilakukan agar para siswa pada akhirnya dapat memiliki kebebasan
individu dalam upaya memperjuangkan hak asasi manusia yang dicita-citakan. Metode
pembelajaran yang dilakukan adalah metode Sokrates yang menekankan pada kemampuan
kritis siswa untuk menjawab pertanyaan yang sangat mendasar, yaitu “mengapa”. Pertanyaan
model Sokrates ini sungguh bisa menggali dan sekaligus menantang pengetahuan seseorang
sampai ke akar-akarnya.
Sebuah buku yang diterbitkan pada tahun 1982 oleh Martimer Jerome Adler yang berjudul
The Paidea Proposal, menggambarkan sebuah sistem pendidikan klasik a la Socrates. Kata
paideia sendiri berasal dari bahasa Yunani, pais or paidos, yang artinya “mengasuh anak”,
sehingga akhirnya muncul istilah pedagogi. Buku ini menceritakan bagaimana model sekolah
berbasis paideia diimplementasikan oleh sekolah-sekolah di Ameria Serikat. Digambarkan di
dalam buku ini bahwa para guru dengan program paideia hanya memberikan kuliah
secukupnya saja, dan sebagian besar waktunya adalah untuk “Seminar Sokrates” dimana guru
mengajukan serangkaian pertanyaan khusus untuk mendorong siswa berpikir,
merasionalisasi, dan mendiskusikan topik tersebut.

Kurikulum perenialis cenderung agak membatasi ekspresi individu dan fleksibilitas minat
siswa demi menyediakan basis pengetahuan umum yang dapat diterapkan secara seragam
kepada siswa. Minat siswa tidak menjadi perhatian utama karena pusat perhatian ada pada
materi yang disampaikan oleh guru.

PROGRESIVISME Tokoh terpenting progresivisme adalah William James (11 Januari 1842-
26 Agustus 1910, Amerika) dan John Dewey (20 Oktober 1859-1 Juni 1952 Amerika).

Definisi Dari kata “progressive” dapat dipahami bahwa progresivisme merupakan teori
pendidikan yang menempatkan kemajuan dan perkembangan individu siswa sebagai hal yang
paling utama. Berbagai macam materi, topik, metode pembelajaran adalah hal mendasar
dalam pendidikan seseorang. Filsafat pendidikan ini meyakini bahwa siswa akan dapat belajat
secara optimal dari apa yang mereka anggap paling relevan dengan kehidupan mereka.

Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan menurut filsafat progresivisme adalah untuk


meningkatkan pemahaman para pendidik bahwa fokus pembelajaran ada pada diri siswa.
Oleh karenanya, seluruh proses pembelajaran harus memperhatikan latar belakang para
siswa, pengalaman, minat, dan kemampuan siswa. Proses pembelajaran harus berakar pada
pertanyaan para siswa yang muncul dari seluruh pengalaman mereka, baik secara langsung
maupun yang tidak langsung, misalnya melalui cerita pengalaman orang lain.

Proses Pembelajaran Pendidik harus memiliki perhatian yang penuh akan kebutuhan
seluruh siswa. Oleh karenanya, pusat perhatian bukan pada guru dengan isi materi yang
disampaikan, tetapi siswanya. Para pendidik perlu menekankan proses pembelajaran pada
kegiatan kelompok, pemecahan masalah, pembelajaran berbasis proyek atau studi kasus.
Oleh karenanya, hubungan antar siswa perlu dibangun dengan baik agar mereka bisa saling
menaruh kepercayaan. Strategi pembelajaran kooperatif menjadi hal yang lazim di dalam
filsat ini. Filsafat ini sekaligus melawan paham otoriter yang biasanya dilekatkan pada
hubungan guru dan siswa karena mereka harus saling bekerjasama. Peran guru di dalam kelas
adalah sebagai fasilitator; sedangkan para siswa adalah individu yang harus proaktif bergerak
untuk mencari pengetahuan. Proses pembelajaran yang dilakukan bersifat pragmatis, faktual,
eksperimental dan berorientasi ke masa depan (visioner) agar siswa dapat mengembangkan
kemampuan mereka untuk memecahkan masalah.

ESENSIALISME Tokoh penting esensialisme adalah William Chandler Bagley (15 Maret
1874, di Detroit – 1 Juli 1946, di New York City).

Definisi Esensialisme adalah filsafat pendidikan yang menekankan bahwa siswa harus
mempelajari berbagai mata pelajaran dan keterampilan dasar (essensial) secara menyeluruh
dan ketat. Ilmu pengetahuan yang paling essensial adalah mengenali dan memahami dirinya
sendiri (internal), sebelum akhirnya mampu memahami segala sesuatu yang ada di luar
dirinya (external).

Tujuan Pendidikan Tujuan pendidikan menurut essensialisme yakni untuk melatih dan
mengasah pikiran siswa secara kritis. Cara yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut
dengan mengajarkan topik atau materi yang paling sederhana dan secara perlahan berangsur
ke topik yang sangat sulit; dari keterampilan yang kurang kompleks ke yang lebih kompleks.
Dengan demikian, siswa akan ditantang untuk memahami konteks materi pembelajaran baik
secara historis maupun kultural agar mereka dapat memahami konteks jaman sekarang secara
menyeluruh.

Proses Pembelajaran Kurikulum esensialisme biasanya mencakup beberapa mata pelajaran


yang erat kaitannya dengan pelajaran membaca, menulis, sastra, bahasa asing, sejarah,
matematika, sains, seni, dan musik. Pelajaran yang mendasar ini membekali siswa agar
mereka dapat memakai pengetahuannya sebagai instrumen untuk mempelajari hal lain di
dunia nyata. Peran guru adalah menanamkan nilai-nilai moral tradisional dan kebajikan,
termasuk didalamnya menguasai pengetahuan akademik, rasa patriotisme, dan
pengembangan karakter. Pendekatan tradisional ini dimaksudkan untuk melatih pikiran,
mengembangkan penalaran atau kemampuan berpikir. Jadi, kurikulum ini tidak akan
menekankan pada kemampuan teknis vokasional (kejuruan) yang teknis dan praktis. Proses
pembelajaran biasanya berpusat pada pendidik (guru). Mereka menyampaikan materi/isi
pembelajaran dengan model ceramah (kuliah) dan siswa diminta untuk mencatat dan
meringkas catatan mereka. Proses pembelajaran berlangsung dengan sangat formal, dimana
siswa duduk dan mencatat di ruang kelas dengan banyak siswa. Selanjutnya, para siswa
diminta untuk mengerjakan tugas di dalam lembar kerja yang fungsinya sama seperti LKS
(Lembar Kerja Siswa) atau mengerjakan proyek pembelajaran tertentu yang kemudian
diakhiri dengan penilaian atas pekerjaan mereka. Ketika mereka dianggap sudah memiliki
kemampuan yang diharapkan, para siswa diijinkan untuk naik level ke tahap pembelajaran
berikutnya yang lebih kompleks dan sulit. Sebagai contoh, kalau siswa dapat lulus pelajaran
Bahasa Indonesia 1, maka mereka baru boleh melanjutkan dengan pelajaran Bahasa
Indonesia 2.

EKSISTENSIALISME Tokoh eksistensialisme paling penting adalah Friedrich Nietzsche (15


Oktober 1844- 25 Agustus 1900, Jerman), Soren Kierkegaard (5 Mei 1813-11 November 1855,
Denmark), Jean Paul Sartre (21 Juni 1905-15 April 1980, Perancis).

Definisi Pendidikan bercorak eksistensialisme adalah proses pendidikan yang menekankan


subjektivitas pemelajar. Materi pembelajaran tidak terlalu diprioritaskan karena yang lebih penting
adalah pengalaman pribadi siswa. Berdasarkan istilahnya, eksistensialisme muncul karena menolak
pengaruh filsafat tradisional dalam pendidikan. Eksistensialisme tidak setuju akan kebenaran yang
sifatnya otoritatif, metafisika (universalitas), maupun etika. Sebaliknya, setiap individu diharapkan
mampu bertanggung jawab sepenuhnya atas keputusan mereka sendiri mengenai apa yang menurut
mereka “benar” atau “salah”, “indah” atau “jelek”. Bagi kaum eksistensialis, manusia tidak wajib
memiliki sifat dan bentuk kebenaran yang universal, yang biasanya sudah ditentukan menurut norma;
setiap individu memiliki kehendak bebas untuk berkembang sesuai keinginannya masing-masing.

Tujuan Pendidikan Tujuan Pendidikan menurut eksistensialisme adalah membantu siswa


mengembangkan jati diri. Siswa harus mampu mengolah berbagai macam informasi dan memutuskan
mana yang terbaik untuk dirinya. Sebagai inidvidu yang unik, para siswa harus mau untuk menerima
tanggung jawab penuh atas segenap pikiran, perasaan, dan tindakan mereka. Peran guru adalah untuk
membantu siswa memahami esensi keberadaan mereka di dunia ini dan menunjukkan kepada mereka
berbagai alternatif yang dapat mereka ambil. Para siswa diharapkan dapat dengan bebas memilih cara
yang mereka sukai. Karena perasaan tidak terpisah dari akal budi dalam pengambilan keputusan,
pendidikan eksistensialis menuntut proses pembelajaran yang melibatkan seluruh pribadi, bukan
hanya pikiran.

Proses Pembelajaran Struktur Kurikulum eksistensialisme memberi kebebasan yang besar dalam
pilihan materi pelajaran bagi para siswa. Dalam kurikulum eksistensialis, siswa diberikan berbagai
pilihan. Para siswa didorong untuk bereksplorasi agar kreativitas dan ekspresi diri mereka sendiri
muncul dari diri mereka. Sebagai contoh dalam sejarah “Perang Pattimura ”, eksistensialis akan lebih
menekankan pembelajaran yang menekankan pada makna tindakan Pattimura sebagai pelaku sejarah
daripada mengajarkan realita peristiwa sejarah itu sendiri (misalnya tahun terjadinya perang, lokasi
peperangan, dsb). Pembelajaran model eksistensialis ini oleh karenanya dapat memberikan model
yang dapat diteladani untuk mengembangkan perilaku dan karakter siswa. Eksistensialisme
mendorong kreativitas dan imajinasi para siswa dari pada hanya sekedar menyalin dan meniru model
mapan, atau copy paste model yang sudah ada.

RINGKASAN Aku ringkas inti gagasan masing-masing aliran filsafat pendidikan yang dijelaskan di
atas.

Perenialisme Progresivisme Esensialisme Eksistensialisme

Prinsip

Tujuan

Proses
Pembelajaran

Dari antara pemikiran filosofis mengenai pendidikan di atas, yang paling menarik bagiku adalah:

PSIKOLOGI PENDIDIKAN Dalam psikologi pendidikan, teori belajar yang cukup penting adalah
teori behaviorisme dan konstruktivisme. Kedua teori tersebut mendasari bagaimana para guru
bertindak dan menerapkan metode pembelajaran mereka. Penjelasan mengenai kedua teori tersebut
disajikan di bawah ini.

BEHAVIORISME Tokoh behaviorisme yang terpenting adalah Burhus Frederic Skinner (20 Maret
1904-18 Agustus 1990, Amerika), Ivan Pavlov (14 September 1849-27 Februari 1936, Rusia),
Edward Lee Thorndike (31 Agustus 1874-9 Agustus 1949, Amerika).

Definisi Teori behaviorisme adalah teori pendidikan yang mendorong bahwa proses pembelajaran
harus dilakukan dengan pola pembiasaan secara disiplin melalui serangkaian tahap. Para penganut
behaviorisme meyakini bahwa anak didik adalah secarik kertas putih kosong yang harus ditulisi
dengan berbagai pengalaman pembelajaran. Paham ini memandang bahwa pembelajaran yang
berhasil itu baru bisa terjadi ketika ada perubahan perilaku (dari perilaku lama ke baru) yang
diperoleh melalui: rangsangan -> respons -> perilaku (stimuls -> response -> behavior). Pendidikan
ala behaviorme meyakini bahwa pembelajaran adalah proses internalisasi pengetahuan yang eksis
(berada) secara mandiri di luar individu. Behaviorisme pertama-tama diperkenalkan oleh B.F. Skinner
yang melakukan eksperimen dengan konsep pengkondisian operan. Operant conditioning adalah
pembentukan perilaku siswa, misalnya jawaban yang benar akan mendapat reword.

Proses Pembelajaran Proses Pembelajaran terjadi ketika guru memberikan suatu isyarat atau
pancingan (stimulus) dan siswa melakukan reaksi atas stimulus yang diberikan dengan beberapa jenis
tanggapan agar perilaku yang diinginkan dapat dicapai (misalnya: kalau bisa menghapalkan 30 kosa
kata bahasa Inggris dalam satu hari, akan mendapatkan nilai bagus). Namun demikian bisa juga
sebaliknya, guru akan “menghukum” siswa dengan memberi penilaian buruk kalau tanggapan dan
perilaku yang diinginkan tidak terjadi. Pola perilaku baru harus terus-menerus diulang sehingga
menjadi otomatis dan menjadi kebiasaan. Perubahan perilaku siswa menandakan bahwa pembelajaran
telah terjadi.

Contoh dan penerapan teori pembelajaran behaviorisme adalah sebagai berikut :

a. Latihan hafalan terus menerus (drilling/rote learning)

b. Poin bonus (memberikan insentif untuk yang lebih tinggi)

c. Poin partisipasi (memberikan insentif untuk berpartisipasi)

d. Penguatan verbal (dengan mengatakan, misalnya “tulisannya sangat bagus ”)

e. Menetapkan aturan untuk diikuti seluruh kelas

Namun demikian, pembelajaran ala behaviorisme tidak secara khusus mempersiapkan siswa untuk
mengeksplorasi pemikiran kreatif mereka, misalnya dalam pemecahan masalah. Siswa hanya sebatas
melakukan apa yang diperintahkan guru kepada mereka dan tidak diijinkan untuk mengambil inisiatif
dalam proses pembelajaran. Para siswa hanya dipersiapkan untuk mengingat fakta-fakta dasar,
tanggapan otomatis, atau melakukan tugas.

KONSTRUKTIVISME Tokoh penting dalam konstruktivisme adalah Jean Piaget (9 Agustus 1896,
Perancis -16 September 1980, Swiss), Lev Semyonovich Vygotsky (17 November 1896 – 11 Juni
1934, Soviet).
Definisi Konstruktivisme didasarkan pada pemikiran bahwa kita semua membangun perspektif dunia
kita sendiri, berdasarkan pengalaman individu dan pengetahuan internal. Belajar didasarkan pada
bagaimana setiap individu mengartikan dan menciptakan makna pengalamannya. Dalam pandangan
ini, pengetahuan dibangun oleh siswa itu sendiri mengingat bahwa setiap orang memiliki serangkaian
pengalaman dan persepsi yang berbeda. Oleh karenanya, proses belajar itu unik dan berbeda untuk
setiap orang. Hal ini yang harus diketahui oleh setiap pendidik.

Proses Pembelajaran Proses pembelajaran adalah momentum di mana individu membangun ide atau
konsep baru berdasarkan pengetahuan dan pengalaman setiap siswa sebelumnya. Masing-masing dari
siswa diharapkan mampu mengidentifikasi dan memaknai cara mereka memproses materi
pembelajaran. Teori konstruktivisme ini digunakan untuk mempersiapkan siswa dalam memecahkan
masalah. Oleh karena itu, untuk mencapai kesuksesan di dalam pembelajaran, siswa memerlukan
pengetahuan dasar yang penting dan berguna untuk melandasi, menafsirkan, dan menciptakan
gagasan baru. dalam paham konstruktivisme, hasil pembelajaran sering kali tidak selalu bisa
diprediksi karena siswa memang diberi ruang untuk membangun dan menafsirkan pengetahuan
mereka sendiri. Bagi guru yang memegang prinsip status quo dan menolak untuk memahami
perkembangan ilmu pengetahuan atau materi pembelajaran, paham konstruktivisme menjadi sangat
tidak relevan bagi mereka.

Contoh dan aplikasi konstruktivisme :

 Studi kasus

 Project-based learning (pembelajaran berbasis proyek)

 Problem-based learning (pembelajaran berbasis masalah)

 Brainstorming (curah pendapat)

 Pembelajaran kolaboratif / kerja kelompok

 Discovery learning (pembelajaran dengan cara menyelidiki)

 Simulasi
Dari antara dua pendekatan psikologi atas pembelajaran di atas, yang paling menjelaskan
caraku belajar adalah:

PENDIDIKAN REFLEKTIF (PEDAGOGI IGNASIAN) Ada beberapa pandangan


mengenai pedagogi reflektif. Pandangan yang terkenal adalah dari Paulo Freire (1970) dari
Brasil, Korthagen & Vasalos (2005) dari Belanda; Loughran (2010) dari Australia; Rodgers
(2002) dari Amerika Serikat; dan Russell (2005) dari Kanada. Pandangan mengenai pedagogi
reflektif memang sangat bervariasi. Namun demikian, fokus pedagogi reflektif dalam bab ini
diambil dari tradisi pendidikan Serikat Jesus yang didirikan oleh St. Ignatius. Oleh
karenanya, pedagogi reflektif ini sering disebut juga pedagogi Ignasian.

Topik pedagogi reflektif dibicarakan di bab tentang daar filosofis pendidikan karena selain
bahwa pedagogi yang mulai dikembangkan sejak 1548 di sekolah Jesuit pertama Collegio di
San Nicolo di Messina-Sisilia ini mengikuti tradisi filsafat humaniora Italia, pedagogi
reflektif dikembangkan berdasar prinsip-prinsip Latihan Rohani St. Ignatius, dalam
membantu anak didik tumbuh menjadi pribadi yang baik, yakni orang-orang yang berkarakter
baik. Dua ramuan pedoman pendidikan itu dikemudian hari disebut Jesuit Way of Teaching
(cara pendidikan Jesuit) atau modus italicus. Dasar tersebut tumbuh menjadi tradisi
pendidikan yang diteruskan sampai sekarang di lebih dari 800 sekolah Jesuit di dunia.

Semula pedagogi reflektif itu ditulis dalam Ratio Studiorum tahun 1599 yang merupakan
kumpulan praktik-praktik terbaik lima puluh tahun pertama para Kepala Sekolah di sekolah
Jesuit. Dalam Ratio Studiorum para Jesuit merancang kurikulum dan mendeskripsikan
jabatan serta tugas para pengelola sekolah.

Ciri sangat khas pedagogi reflektif adalah kemampuannya berubah sesuai tuntutan jaman.
Ciri tersebut tumbuh dari dialektika praktis yang disebut discernment, yakni dinamika
pertimbangan dengan mengelola pengalaman-aksi-refleksi dalam menjawab konteks yang
selalu berubah. Pater Arrupe, yang waktu itu menjadi Jenderal Serikat Jesus (1965-983),
memperingatkan sekolah-sekolah Jesuit agar berhati-hati terhadap kemalasan berubah
(inertia) dan kelalaian memperhatikan konteks baru tempat sekolah-sekolah berkarya.
Sebaliknya, sekolah harus beradu cepat dengan perubahan-perubahan. Peringatan yang sama
disampaikan oleh Pater Kolvenbach beberapa tahun kemudian yaitu agar sekolah-sekolah
mengadakan pembaharuan karena jaman mengalami evolusi serba cepat dan pendidikan,
sekolah-sekolah, persis ada di jantung evolusi tersebut. Pedagogi reflektif mengimplikasikan
bahwa sekolah-sekolah menjadikan discernment sebagai metode untuk memutuskan
kebijakan dan tindakan-tindakannya dalam menjawab perubahan konteks pendidikan.

Dengan discernment berkelanjutan, ICAJE (The International Commission of the Apostolate


of Jesuit Education) menerbitkan dokumen baru pedagogi reflektif yang sebelumnya
dituangkan dalam Ratio Studiorum. Pada tahun 1986 ICAJE menerbitkan Characteristics of
Jesuit Education dan pada tahun 1993 dokumen lainnya berjudul Ignatian Pedagogy: A
Practical Approach. Dua dokumen tersebut memberikan kerangka untuk menyelenggarakan
pendidikan yang bermakna bagi anak didik, salah satunya agar anak didik bisa berkembang
secara penuh dan menjadi men and women for others.

Sasaran pendidikan masih sama, yaitu: manusia unggul yang memperjuangkan kebaikan
bersama (human excellence at the service of the common good).

Seminar Internasional Pendidikan Jesuit pada tahun 2014 di Manresa menghasilkan paparan
isi konsep dari yang dimaksud manusia unggul pada jaman ini: mendidik mahasiswa-
mahasiswi agar menguasai sungguh bidangnya, berhatinurani, berbelarasa, dan berkomitmen,
yang mampu berkontribusi mengembangkan dunia yang berdamai, yang tekun terlibat dalam
perutusan keadilan dan rekonsiliasi, baik rekonsiliasi dengan sesama, dengan ciptaan, dan
dengan Tuhan. Sedangkan pedagogi yang dikembangkan adalah pendidikan yang melibatkan
lima dimensi yang disingkat CERAE (Context, Experience, Reflection, Action, dan
Evaluation), atau dalam bahasa Indonesia: “konteks, pengalaman, refleksi, tindakan, dan
evaluasi”).

COREVALUES PENDIDIK ABAD 21 Core values adalah nilai-nilai yang mendasari


sikap, semangat, atau spiritualisme pendidik. Spiritualisme pendidik adalah sikap batin yang
mendorong motivasi untuk memegang teguh amanah sebagai pendidik atau di dalam
pendidikan Jesuit sering diistilahkan dengan semangat magis. Semangat magis diartikan
sebagai semangat untuk berbuat lebih baik, unggul secara akademis maupun non akademis,
atau dalam bahasa Jawa: “nggetih,” atau mengerahkan segenap potensinya dalam belajar atau
bekerja. Semangat magis itulah yang menjadi api bagi setiap pendidik untuk menerapkan
nilai-nilai dasar keguruan sebagai berikut:

 Memperjuangkan profesionalitas dalam mendidik

 Mengembangkan pengelolaan sikap dan kebiasaan pikiran serta perasaan yang


mengembangkan kreativitas dan kecintaan pada anak didik

 Membangun sikap murah hati

kata kunci dari tiga hal diatas adalah profesional (competence), kreatif dan cinta anak didik
(conscience), serta murah hati (compassion).

Pertama profesionalisme, dimaknai sebagai sebuah proses untuk mengembangkan kecerdasan akal
budi dan kedalaman imajinasi berdasarkan wawasan keilmuwan tertentu, kedua kreativitas dan
kecintaan pada anak didik, artinya sikap dan Tindakan yang mengahrgai keberagaman subjek didik,
keunikan subjek didik menuntut kreativitas pendidik untuk mengusahakan cara-cara yang cocok
dengan beragam gaya belajar siswa, ini semua dilakukan atas dasar kecintaan guru pada subjek didik
(cura personolis). Ketiga, sikap murah hati, artinya kebiasaan-kebiasaan yang mendorong
terwujudnya sikap kerelaan dan keikhlasan untuk membantu tanpa pamrih. Keikhlasan untuk
membantu atau berbagi merupakan salah satu keutamaan manusia yang paling penting.
REFLEKSI APRESIATIF

Pernyataan yang menyentuh dari teks Pengalaman yang aku ingat mengenai hal tersebut
mengenai Pendidikan Reflektif dan Care Values
Pendidik Abad 21
MEREFLEKSIKAN SYSTEM PENDIDIKAN

Aku baca potongan cerita dari novel Totto-Chan: Gadis Kecil di Tepi jendela dan Lascar Pelangi. Aku
garis bawahi bagian-bagian yang menceritakan praktik-praktik baik Pendidikan. Aku lingkari bagian-
bagian yang secara khusus memberi pengalaman yang membuahkan aksi dan refleksi, disertai
dengan evaluasi.

46. KAPUR TULIS

Dari Totto-Chan Si Gading Kecil di Tepi Cendela karya Tetsuka Kurayanagi

MURID-MURID Tomoe tidak pernah mencoret-coret jalanan atau dinding rumah orang, karena
mereka punya banyak kesempatan untuk melakukannya di sekolah.

Dalam pelajaran music di Aula, setiap anak deberi sepotong kapur tulis oleh kepala sekolah, mereka
boleh berbaring atau duduk di mana saja di lantai dan menunggu dengan kapur tulis di tangan keyika
mereka semua siap. Kepala sekolah mualai memainkan piano. Sambil mendengarkan permainannya,
anak-anak menuliskan irama lagu itu dalam notasi music di lantai. Sungguh menyenangkan menulis
dengan kapur tulis di lantai kayu yang berwarna coklat muda mengilat.

Hanya kira-kira sepuluh anak di kelas Totto-Chan. Jadi waktu mereka menyebar di Aula yang luas.
Lantai yang bisa mereka coret-coret sangat luas. Mereka bisa mencoretkan ritmenya. Di Tomoe not
music punya nama khusus yang dikarang sendiri oleh anak-anak setelah merundingkannya dengan
Kepala Sekolah. Inilah not-not itu:

Dengan cara itu mereka belajar mengenal not-not, dengan baik. Cara belajar model seperti itu
sungguh menyenangkan. Pelajaran musik adalah pelajaran yang mereka sukai.

Menulisi lantai dengan kapur tulis adalah gagasan Kepala Sekolah. Kertas yang tidak cukup lebar dan
tidak ada cukup papan tulis untuk dipakai bergiliran. Menurut Kepala Sekolah lantai Aula akan
menjadi papan tulis yang lebar dan menyenangkan. Anak-anak bisa mencatat irama lagu dengan
mudah tak peduli betapapun cepatnya irama music yang dimainkannya di lantai. Mereka juga bisa
menuliskannya sebesar apapun. Selain itu, mereka dapat melakukan sambil menikmati musik.
Lalu kalau masih ada sisa waktu sesudahnya, mereka bisa menggambar pesawat terbang, boneka
atau apa saja yang mereka suka terkadang anak-anak malah menggabungkan coretan mereka
sehingga seluruh lantai Aula menjadi satu gambar besar. Diwaktu jeda dalam pelajaran musik.
Kepala Sekolah memeriksa coretan irama setiap anak. Dia akan berkomentar “itu bagus ” atau
“seharusmya disini bukan bendera ganda, tapi satu lompatan ”.

Setelah menyetujui atau mengoreksi notasi mereka, dia akan mengulangi music yang sama agar
anak-anak bisa mengecek hasil pekerjaan mereka dan membiasakan diri dengan irama itu. Tak
peduli sesibuk apaupun dirinya. Kepala Sekolah tak pernah meminta guru lain untuk
menggantikannya dalam mengajarkan pelajaran music. Dan sejauh yang anak-anak tahu, kalu Mr .
Kobayashi yang mengajar, pelajaran music terasa kurang menyenangkan.

Kebersihan lantai setelah pelajaran music bukanlah pekerjaan ringan. Mula-mula anak-anak harus
menghapus lantai dengan penghapus papan tulis, kemudian mereka bahu-menbahu menyapu dan
mengepel lantai dengan sapu dan pel. Itu pekerjaan yang melelahkan.

Dengan cara itu, para murid Tomoe belajar bahwa menghapus coret-coretan di sembarang tempat
terrnyata merupakan pekerjaan berat. Karena itu, mereka tak pernah mencoret-coret di tempat lain
kecuali di lantai Aula. Pelajaran itu diberikan dua kali seminggu sehingga anak-anak merasa sudah
puas mencoret-coret.

Murid-murid Tomoe menjadi ahli tentang kapur tulis-jenis apa yang terbiam bagaimana cara
memegangnya, bagaimana cara menggoreskannya agar mendapatkan hasil terbaik, bagaimana
menggunakan agar tidak patah. Semua anak Tomoe adalah pakar kapur tulis

Analisis Cerita: Aku catat aktivitas pembelajaran dan keputusan instruksional di Sekolah Tomoe yang
identik dengan aktivitas pembelajaran dan model instruksi ysng ideal dalam Pendidikan
berparadigma pedagogi reflektif.

Pedagogi Reflektif Aktivitas pembelajaran dan keputusan instruksional

Menimbang konteks

Memberi pengalaman

Mengarah pada aksi

Memicu refleksi

Dikontrol dengan evaluasi


PENYAKIT GILA NO. 5

Dari Laskar Pelangi Karya Andrea Hirata

Kucai juga bertahun-tahun menjadi ketua kelas kami namun bagi kami ketua kelas adalah
jabatan yang paling tidak menyenangkan. Jabatan itu menyebalkan antara lain karena harus
mengingatkan anggota kelas agar jangan berisik padahal diri sendiri tak bisa diam. Ini menyebabkan
tak ada dari kami yang ingin menjadi ketua kelas, apalagi kelas ini sudah terkenal susah dikendalikan.
Berulang kali Kucai menolak diangkat Kembali menduduki jabatan itu, namun setiap kali Bu Mus
mengingatkan betapa mulianya menjadi seorang pemimpin, Kucai pun luluh dan dengan terpaksa
bersedia menjabat kembali.

Suatu hari dalam pelajaran budi pekerti kemuhamadiyahan, Bu Mus menjelaskan tentang
karakter yang dituntut Islam dari seorang Amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau
menyetir perkataan Khalifah Umar bin Kahtab.

“Barang siapa yang kami tunjuk sebagai Amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu,
maka apapun yang ia terima selain gaji adalah penipuan!”

“Kata-kata itu mengajarkan arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan Al-
Qur’an mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggungjawabkan nanti di
akhirat. . . .”

Kami terpesona mendengarnya, namun Kucai gemetar. Mendapati dirinya sebabgai seorang
pemimpin kelas ia gamang pada pertanggungjawabnnya setelah mati nanti. Apalagi sebagai seorang
politisi ia menganggap bahwa menjadi ketua kelas itu tidak ada keuntungannya sama sekali. Tidak
adil! Lagi pula ia sudah muak mengurusi kami, kami terkejut karena serta -merta ia berdiri dan
berdalih secara diplomatis

“Ibunda Gur, Ibunda mesti tahu bahwa anak-anak kuli ini kelakuannya seperti setan. Sama
sekali tak bisa disuruh diam, terutama Borek, kalau tak ada guru ulahnya ibarat pasien rumah sakit
jiwa yang buas. Aku sudah tak tahan, Ibunda, aku menuntut pemungutan suara yang demokratis
untuk memilih ketua kelas baru. Aku juga tak sanggup mempertanggungjawabkan kepemimpinanku
di padang Masyra nanti, anak-anak kumalini yang tak bisa diatur ini hanya akan memberatkan
nasibku!”

Kucai tampak sanagat emosional. Tangannya menunjuk-nunjuk ke atas dan napasnya


tersenggal-senggal setelah menghamburkan unek-unek yang mungkin telah dipendamnya bertahun-
tahun. Ia menatap Bu Mus dengan mata nanar tapi pandangannya ke arah gambar R.H. Oma Irama
Hujan Duit.

Kami semua menahan tawa melihat pemandangan itu tapi Kucai sedang sangat serius kami tak ingin
melukai hatinya.

Bu Mus juga terkejut. Tak pernah sebelumnya beliau menerima tanggaan selugas itu dari muridnya,
tapi beliau maklum pada beban yang dipikul Kucai. Beliau ingin bersikap seimbang maka beliau
segera menyuruh kami menuliskan nama ketua kelas baru yang kami inginkan di selembar kertas,
melipatnya, dan menyerahkannya kepada beliau. Kami menulis pilihan kami dengan bersungguh-
sungguh dan saling merahasiakan pilihan itu dengan sangat ketat.

Kucai senang sekali. Wajahnya berseri-seri. Ia merasa telah mendapatkan keadilan dan menganggap
bahwa bebannya sebagai ketua kelas akan segera berakhir.
Suasana menjadi tegang menunggu detik-detik perhitungan suara. Kami gugup mengantisipasi siapa
yang akan menjadi ketua kelas baru.

Sembilan gulungan kertas telah berada dalam genggaman Bu Mus. Beliau sendiri kelihatan gugup.
Beliau membuka gulungan pertama.

"Borek!" teriak Bu Mus.

Borek pucat dan Kucai melonjak girang. Terang-terangan ia menunjukkan bahwa ia sendiri yang
telah memilih Borek, kawan sebangkunya yang ia anggap pasien rumah sakit jiwa yang buas. Bu Mus
melanjutkan.

"Kucai!"

Kali ini Borek yang melonjak dan Kucai terdiam. Kertas ketiga.

"Kucai!"

Kucai tersenyum pahit. Kertas keempat.

"Kucai!"

Kertas kelima.

"Kucai!"

Kucai pucat pasi. Demikian seterusnya sampai kertas kesembilan. Kucai terpuruk. Ia jengkel sekali
kepada Borek yang tubuhnya menggigil menahan tawa. Ia memandang Borek dengan tajam tapi
matanya mengawasi Trapani.

Karena Harun tak bisa menulis maka jumlah kertas hanya sembilan tapi Bu Mus tetap menghargai
hak asasi politiknya. Ketika Bu Mus mengalihkan pandangan kepada Harun, Harun mengeluarkan
senyum khas dengan gigi-gigi panjangnya dan berteriak pasti.

"Kucai . . . !"

Kucai terkulai lemas. Hari ini kami mendapat pelajaran penting tentang demokrasi, yaitu bahwa
ternyata prinsip-prinsipnya tidak efektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya
dengan lembut sambil tersenyum jenaka.

"Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tapi jangan khawatir banyak orang yang akan
mendoakan. Tidakkah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa :
Ya, Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa : Ya Allah lindungilah
anak-anak buah kami . . . " efektif untuk suksesi jabatan kering. Bu Mus menghampirinya dengan
lembut sambal tersenyum jenaka.

“Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat tetatpi jangan kawatir banyak orang
yang akan mendoakan. Tidaklah Ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering
mengucap doa: Ya Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Allah
lindungilah anak-anak buah kami . . . .”
Praktik Cara persoanalis Perhatian pada konteks anak didik dalam pedagogi reflektif memungkinkan ketetapan
pemahaman kebutuhan anak didik, kebijaksanaan penentuan model instruksional, dan penciptaan suasana
Pendidikan yang memerdekakan setiap anak didik. Praktik ini disebut cara personalis, yaitu perhatian individual
dan personal bagi setiap anak didik. Aku buat skema proses praktik cara personalis yang tampak dalam
potongan cerita Laskar Pelangi, dari Ketika Bu Mus terkejut mendengar tanggapan Kucai sampai ia memberi
nasihat mengenai orang banyak yang akan mendoakan pemimpin.
PERCAKAPAN APRESIATIF

Menurutku, apakah praktik-praktik baik Pendidikan yang tergambar dalam dua cerita tadi
merupakan hal terlalu ideal?
Aku dengarkan jawaban dari teman-teman sekelas atau sekelompok. Aku catat jawaban yang
menurutku penting, menarik, dan inspiratif.

Hal apa yang menurutku penting, menarik, dan inspiratif dari yang diungkapkan teman itu, aku
ungkapkan Kembali secara ringkas

Anda mungkin juga menyukai