Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat pendidikan merupakan hasil pemikiran dan perenungan secara mendalam
sampai ke akar-akarnya mengenal pendidikan. Para filsuf melalui karya filsafat
pendidikannya, berusaha menggali ide-ide baru tentang pendidikan, yang menurut
pendapatnya lebih tepat ditinjau dari kewajaran keberadaan peserta didik dan pendidik
maupun ditinjau dari latar geografis, sosiologis, dan budaya suatu bangsa. Dari sudut
pandang keberadaan manusia akan menimbulkan aliran Perenialis, Realis, Empiris,
Naturalis, dan Eksistensialis. Sedangkan dari sudut geografis, sosiologis, dan budaya akan
menimbulkan aliran Esensialis, Tradisionalis, Progresivis, dan Rekonstruksionis. Filsafat
pendidikan adalah studi ihwal tujuan, hakikat dan isi yang ideal dari pendidikan. Pada intinya
filsafat pendidikan mempertanyakan sejumlah pertanyaan penting sebagai berikut:
pengetahuan apa yang paling berharga, pengetahuan apa yang mesti diajarkan, apa yang
seharusnya menjadi tujuan pendidikan, bagaimana manusia belajar, bagaimana sebaiknya
hubungan antara guru dan siswa. Untuk menjawab kelima pertanyaan di atas ada sejumlah
mazhab atau aliran filsafat yang lazim dirujuk dalam pendidikan, yaitu: esensialisme,
perrenialisme, progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.
Berbagai aliran filsafat pendidikan tersebut di atas, memberi dampak terciptanya
konsep-konsep atau teori-teori pendidikan yang beragam. Masing-masing konsep akan
mendukung masing-masing filsafat pendidikan itu. Dalam memangun teori-teori
pendidikan, filsafat pendidikan juga mengingatkan agar teori-teori itu diwujudkan di atas
kebenaran berdasarkan kaidah-kaidah keilmuan. Dengan kata lain, teori-teori pendidikan
harus disusun berdasarkan hasil-hasil penelitian ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan aliran filsafat esensialisme, perrenialisme, progresivisme,
eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis?
2. Bagaimana konsep pendidikan aliran filsafat esensialisme, perrenialisme,
progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis?
3. Bagaimana implikasi aliran filsafat esensialisme, perrenialisme, progresivisme,
eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis di dunia pendidikan Indonesia?
4. Apa saja contoh penerapan aliran filsafat esensialisme, perrenialisme, progresivisme,
eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis?

C. Tujuan Penulisan
1. Dapat menjelaskan pengertian dari aliran filsafat esensialisme, perrenialisme,
progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.
2. Dapat mengemukakan konsep pendidikan aliran filsafat esensialisme, perrenialisme,
progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.
3. Dapat menjabarkan implikasi aliran filsafat esensialisme, perrenialisme, progresivisme,
eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis di dunia pendidikan Indonesia.
4. Mampu menyebutkan contoh penerapan aliran filsafat esensialisme, perrenialisme,
progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis.
BAB II

PEMBAHASAN

Filsafat pendidikan merupakan terapan dari filsafat, yang berarti bahwa filsafat pendidikan
pada dasarnya menggunakan cara kerja filsafat dan akan menggunakan hasil-hasil kajian dari
filsafat, yaitu berupa hasil pemikiran manusia tentang realitas, pengetahuan, dan nilai, khususnya
yang berkaitan dengan praktek pelaksanaan pendidikan. Dalam filsafat pendidikan terdapat
berbagai aliran sesuai dengan aliran yang terdapat dalam filsafat. Tinjauan filsafat dapat berwujud
sebagai upaya penemuan kongruensi antara aliran-aliran filsafat pendidikan dengan filsafat
pancasila. Berikut ini akan diuaraikan berbagai aliran filsafat pendidikan yang menjelaskan
tentang pengkajian terhadap fenomena atau gejala dan eksistensi manusia dalam pengembangan
hidup dan kehidupannya dalam alam dan lingkungannya yang tercakup dalam esensialisme,
perrenialisme, progresivisme, eksistensialisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis (Edward dan
Yusnadi, 2015: 18-19).

A. Filsafat Pendidikan Esensialisme


Esensialisme bukan merupakan suatu aliran filsafat tersendiri, yang mendirikan suatu
bangunan filsafat tersendiri, melainkan sutu gerakan dalam pendidikan yang memprotes
pendidikan progresivisme. Penganut faham ini berpendapat bahwa betul-betul ada yang
esensial dari pengalaman peserta didik yang memiliki nilai esensial dan perlu dipertahankan.
Esensi (essence) ialah hakikat barang sesuatu yang khusus sebagai sifat terdalam dari sesuatu
sebagai satuan yang konseptual dan akali. Esensi adalah apa yang membuat sesuatu menjadi
apa adanya. Esensi mengacu pada aspek-aspek yang lebih permanen dan mantap dari sesuatu
yang berlawanan dengan yang berubah-ubah, parsial, atau fenomenal (Edward dan Yusnadi,
2015: 30-31).
Filsafat pendidikan esensial bertitik tolak dari kebenaran yang telah terbukti berabad-
abad lamanya. Kebenaran seperti itulah yang esensial, yang lain adalah suatu kebenaran
secara kebetulan saja. Kebenaran yang esensial itu ialah kebudayaan klasik yang muncul
pada zaman Romawi yang menggunakan buku-buku klasik yang ditulis dengan bahasa Latin
yang dikenal dengan nama Great Book. Buku ini sudah berabad-abad lamanya mampu
membentuk manusia-manusia berkaliber internasional. Inilah bukti bahwa kebudayaan ini
merupakan suatu kebenaran yang esensial. Tokohnya antara lain Brameld. Tekanan
pendidikanya adalah pada pembentukan intelektual dan logika. Dengan mempelajari
kebudayaan Yunani-Romawi yang menggunakan bahasa Latin yang sulit itu, diyakini otak
peserta didik akan terasah dengan baik dan logikanya akan berkembang. Disiplin sangat
diperhatikan. Pelajaran dibuat sangat berstruktur, dengan materi pelajaran berupa warisan
kebudayaan, yang diorganisasi sedemikian rupa sehingga mempercepat kebiasaan berpikir
efektif. Pengajaran terpusat pada guru (Pidarta, 2007: 90-91).
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai tinjauan yang
berbeda dengan progressivisme mengenai pendidikan dan kebudayaan. Jika progressivisme
menganggap pendidikan yang penuh fleksibelitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada
keterkaitan dengan doktrin tertentu, toleran dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang,
maka aliran Esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya pandangan
yang berubah-ubah, mudah goyah dan kurang terarah dan tidak menentu serta kurang stabil.
Karenanya pendidikan haruslah diatas pijakan nilai yang dapat mendatangkan kestabilan dan
telah teruji oleh waktu, tahan lama dan nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan terseleksi.
Nilai-nilai yang dapat memenuhi adalah yang berasal dari kebudayaan dan filsafat yang
korelatif, Puncak refleksi dari gagasan ini adalah pada pertengahan kedua abad ke sembilan
belas (Imam Barnadib, 1987:29).
Filsafat ini berdasarkan filsafat konservatif bahwasanya sekolah itu tidak dapat
mengubah masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral
tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warganegara teladan. Ajaran yang
mesti diberikan kepada siswa antara lain hormat kepada kekuasaan, ketabahan, taat
menjalankan kewajiban, tenggang rasa kepada orang lain, dan menguasai hal-hal praktis.
Pendidikan hendaknya menekankan pemahaman dunia lewat percobaan saintifik dan
penguasaan ilmu-ilmu alamiah daripada ilmu-ilmu seperti filsafat atau agama.
Mata pelajaran tradisional yang lazim dianggap penting antara lain matematika, IPA, sejarah,
bahasa asing, dan kesusasteraan. Mata-mata pelajaran yang bersifat vokasional atau kurang
akademik kurang berkenan bagi kelompok ini. Siswa SD harus menguasai menulis,
membaca, berhitung dan komputer agar memiliki literasi literasi kultural yang memadai,
yakni memiliki pengetahuan, kejadian, gagasan dan institusi publik. Kurikulum sekolah
menengah terdiri atas sains, matematika, sejarah, bahasa inggris, dan bahasa asing.
Semuanya ini merupakan alat pendidikan liberal dan terpercaya untuk memenuhi kebutuhan
personal dan sosial.

Ciri-ciri filsafat pendidikan esensialisme yang disarikan oleh William C. Bagley adalah
sebagai berikut:

1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar awal
yang memikat atau menarik perhatian bukan karena dorongan dari dalam diri siswa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang dewasa adalah melekat dalam
masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang khusus pada spsies
manusia.
3. Oleh karena kemampuan untuk mendisiplin diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka
menegakan disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut.
4. Esensialisme menawarkan sebuah teori yang kokoh, kuat tentang pendidikan,
sedangkan sekolah-sekolah pesaingnya (progresivisme) memberikan sebuah teori yang
lemah.
Implikasi filsafat Esensialisme Terhadap Lingkungan Pendidikan
 Pengawasan pengarahan dan bimbingan orang yang belum dewasa akan melekat pada
masa balita yang penjang. Dalam hal ini keluarga menjadi lingkungan pertama yang
sangat berpengaruh terhadap tingkah laku anak nantinya. Ajaran dan didikan dalam
keluarga sangat berpengaruh pada anak.
 Dalam esensialisme sekolah menyampaikan warisan budaya kepada pelajar. Di
lingukngan ini siswa dibebankan pada aturan-aturan, tugas-tugas, disini siswa akan
berlatih untuk bertanggungjawab atas tugas yang sudah dibebankan. Guru memiliki
perananpenting dalam membentuk kepribadian anak, guru adalah contoh dalam
penguasaan pengetahuan, dalam hal ini sikap dan tingkah laku sesorang guru harus bisa
menjadi teladan bagi anak didiknya.
 Generasi muda harus belajar setinggi-tingginya dan kesejateraan sosial, disini perlu
adanya sikap yang positif agar anak bisa diterima dalam masyarakat.
B. Filsafat Pendidikan Perrenialisme
Filsafat ini muncul pada abad pertengahan pada zaman keemasan agama Katolik-
Kristen. Pada zaman itu tokoh-tokoh agam menguasai hamper semua bidang
kemasyarakatan. Sehingga sangat logis kalau sekolah-sekolah yang berintikan ajaran agama
muncul di sana-sini. Ajaran agam itulah merupakan suatu kebenaran yang patut dipelajari
dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Tokoh filsafat ini ialah Agustinus dan Thomas
Aquino.
Ajaran Plato tentang dunia ide dalam filsafat Idealis, yang muncul lebih dahulu dari
perenialis, mirip dengan paham Agustinus. Sebab menurut Plato kebenaran hanya ada di
dunia ide, diluar itu adalah semu saja. Sebab iti Plato sering dimasukkan sebagai penganut
perenialis.
Pengaruh filsafat ini menyebar ke seluruh dunia. Bukan saja di kalangan Katolik dan
Protestan, tetapi juga pada agama-agama lain. Demikianlah kita lihat di Indonesia banyak
sekolah diwarnai keagaam seperti Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama di samping sekolah-
sekolah Katolik dan Kristen (Pidarta, 2007:91-92).
Perrenialisme merupakan aliran yang menentang ajaran progesivisme. Perrenialisme
mengambil jalan regresif karena mempunyai pandangan bahwa tidak ada jalan kecuali
kembali kepada prinsip-prinsip umum yang telah menjadi dasar tingkah laku dan perubahan
zaman kuno dan abad pertengahan. Motif perenialisme dengan mengambil jalan regresif
bukanlah hanya nostalgia atau rindu akan nilai-nilai lama untuk diingat atau dipuja,
melainkan berpendapat bahwa nilai tersebut mempunyai kedudukan vital bagi pembangunan
kebudayaan abad kedua puluh. Prinsip-prinsip aksiomatis yang terikat oleh waktu
terkandung dalam sejarah.
Berikut ini ada beberapa prinsip pendidikan perenialisme, sebagai berikut:
a. Pada hakekatnya manusia adalah sama dimanapun dan kapanpun ia berada, yang walau
lingkungannya berbeda.
b. Tujuan pendidikan adalah sama dengan tujuan hidup, yaitu untuk mencapai kebijakan
dan kebajikan, untuk memperbaiki manusia sebagai manusia atau dengan kata lain
pemuliaan manusia. Oleh karena itu maka pendidikan harus sama bagi semua orang
kapanpun dan dimanapun.
c. Bagi manusia, pikiran adalah kemampuan yag paling tinggi. Karena itu manusia harus
menggunakan pikirannya untuk mengembangkan bawaannya sesuai dengan tujuannya.
Manusia memiliki kebebasan namun harus belajar untuk mempertajam pikiran dan
dapat mengontrol hawa nafsunya. Kegagalan yang dialami peserta didik jangan dengan
cepat menyalahkan lingkungan yang kurang menguntungkan atau nuansa psikologis
yang kurang menyenangkan, namun guru hendaknya dapat mengatasinya dengan
pendekatan intelektual yang sama bagi semua peserta didik.
d. Fungsi utama pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang kebenaran yang pasti
dan abadi. Pengetahuan yang penting diberikan kepada peserta didik adalah mata
pelajaran pendidikan umum atau general education, bukan mata pelajaran yang hanya
penting sesaat atau menarik minat pada saat tertentu saja atau seketika. Mata pelajaran
yang esensi adalah pelajaran bahasa, sejarah, matematika, IPA, filsafat dan seni, dan 3
R’s; membaca, menulis, dan menghitung.
e. Pendidikan adalah persiapan untuk hidup bukan peniruan untuk hidup.
f. Peserta didik harus mempelajari karya-karya besar dalam literature yang menyangkut
sejarah, filsafat, seni, kehidupan sosial terutama politik dan ekonomi (Edward dan
Yusnadi, 2015:30).

Penerapan filsafat pendidikan perenialisme terhadap praktik pelaksanaan pendidikan,


sebagai berikut ini:

1. Pendidikan
Perenialisme memandang education as cultural regresion: pendidikan sebagai jalan
kembali atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam
kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai kebudayaan yang ideal. Tugas
pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-nilai kebenaran yang pasti,
absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau yang dipandang
kebudayaan ideal tersebut. Sejalan dengan hal diatas, perenialis percaya bahwa prinsip-
prinsip pendidikan juga bersifat universal dan abadi. Robert M. Hutchins
mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan pengajaran, pengajaran
mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran. Kebenaran dimana pun
dan kapan pun adalah sama”. Selain itu, pendidikan dipandang sebagai suatu persiapan
untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.
2. Tujuan pendidikan
Bagi perenialist bahwa nilai-nilai kebenaran bersifat universal dan abadi, inilah
yang harus menjadi tujuan pendidikan yang sejati. Sebab itu, tujuan pendidikannya
adalah membantu peserta didik menyingkapkan dan menginternalisasikan nila-nilai
kebenaran yang abadi agar mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup.
3. Sekolah
Sekolah merupakan lembaga tempat latihan elite intelektual yang mengetahui
kebenaran dan suatu waktu akan meneruskannya kepada generasi pelajar yang baru.
Sekolah adalah lembaga yang berperan mempersiapkan peserta didik atau orang muda
untuk terjun kedalam kehidupan. Sekolah bagi perenialist merupakan peraturan-
peraturan yang artificial dimana peserta didik berkenalan dengan hasil yang paling baik
dari warisan sosial budaya.
4. Kurikulum
Kurikulum pendidikan bersifat subject centered berpusat pada materi pelajaran.
Materi pelajaran harus bersifat uniform, universal dan abadi, selain itu materi pelajaran
terutama harus terarah kepada pembentukan rasionalitas manusia, sebab demikianlah
hakikat manusia. Mata pelajaran yang mempunyai status tertinggi adalah mata pelajaran
yang mempunyai “rational content” yang lebih besar.
5. Metode
Metode pendidikan atau metode belajar utama yang digunakan oleh perenialist
adalah membaca dan diskusi, yaitu membaca dan mendikusikan karya-karya besar yang
tertuang dalam the great books dalam rangka mendisiplinkan pikiran.
6. Peranan guru dan peserta didik
Peran guru bukan hanya sebagai perantara antara dunia dengan jiwa anak,
melainkan guru juga sebagai “murid” yang mengalami proses belajar serta mengajar.
Guru mengembangkan potensi-potensi self-discovery, dan ia melakukan moral
authority (otoritas moral) atas murid-muridnya karena ia seorang profesional yang
qualifiet dan superior dibandingkan muridnya. Guru harus mempunyai aktualitas yang
lebih, dan perfect knowladge.
Contoh aliran perenialisme pada pendidikan di Indonesia yaitu berdirinya sekolah-
sekolah yang berbasis agama seperti Muhammdiyah, Nahdatul Ulama, sekolah-sekolah
Kristen, dan Pondok Pesantren. Sekolah-sekolah seperti ini biasanya memiliki kurikulum
yang sedikit berbeda dan lebih mengedepankan ilmu agama karena agama dianggap sebagai
sesuatu yang memiliki nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi pandangan
hidup.

C. Filsafat Pendidikan Progresivisme


Filsafat pendidikan progresiv lahir di Amerika Serikat. Filsafat ini sejalan dengan jiwa
bangsa Amerika pada waktu itu, sebagai bangsa yang dinamis berjuang mencari hidup baru
di negeri seberang. Bagi mereka tidak da hidup yang tetap, apalagi nilai-nilai yang abadi.
Yang ada adalah perubahan. Mereka sangat menekankan kehidupan sehari-hari, maka segala
tindakan mereka diukur dari kegunaan praktisnya. Karena tujuan tidak pasti, maka cara atau
alat untuk mencapai tujuan itu pun tidak pasti pula. Tujuan dan alat bagi mereka adalah satu,
artinya bila tujuan berubah maka alat pun berubah pula. Tokoh filsafat pendidikan
progresivisme ini adalah John Dewey (Pidarta, 2007:92).
Menurut penganut aliran ini bahwa kehidupan manusia berkembang terus menerus
dalam suatu arah positif. Apa yang dipandang benar sekarang belum tentu benar pada masa
yang akan dating. Oleh sebab itu, peserta didik bukan dipersiapkan untuk menghidupi
kehidupan masa kini, melainkan mereka harus dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan
masa datang. Permasalahan hidup kini tidak akan sama dengan permasalahan hidup masa
yang akan dating. Untuk itu, peserta didik harus diperlengkapi dengan strategi-strategi
menghadapi kehidupan masa dating dan pemecahan masalah yang memungkinkan mereka
mengatasi permasalahan-permasalahn baru dalam kehidupan dan untuk menemukan
kebenaran-kebenaran yang relevan pada masa itu (Edward dan Yusnadi, 2015:28).
Aliran progresivisme mengakui dan berusaha mengembangkan asas progresivisme
dalam semua realita, terutama dalam kehidupan untuk tetap survive terhadap semua
tantangan hidup manusia, harus praktis dalam melihat segala sesuatu dari segi
keagungannya. Progresivisme dinamakan instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan
bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk kesejahteraan, untuk
mengembangkan kepribadian manusia. Dinamakan eksperimental atau empirik karena aliran
tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen untuk menguji kebenaran suatu
teori. Progresivisme dinamakan environtalisme karena aliran ini menganggap lingkungan
hidup ini mempengaruhi pembinaan kepribadian (Imam Muis, 2004).
Aliran progresivisme memiliki kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan yang
meliputi: ilmu hayat, bahwa manusia untuk mengetahui semua masalah kehidupan.
Antropologi yaitu bahwa manusia memiliki pengalaman, pencipta budaya, dengan demikian
dapat mencari hal baru. Psikologi yaitu manusia berpikir tentang dirinya sendiri, lingkungan,
pengelaman-pengalamannya, sifat-sifat alam, dapat menguasai dan mengaturnya.
Penerapan filsafat pendidikan progresivisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan
seperti berikut ini:
1. Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut aliran ini adalah harus memberikan keterampilan dan
alat-alat yang bermanfaat untuk berintraksi dengan lingkungan yang berada dalam
proses perubahan secara terus menerus. Siswa diharapkan memiliki keterampilan
pemecahan masalah yang dapat digunakkan untuk menentukan, menganalisis, dan
memecahkan masalah. Pendidikan bertujuan agar siswa memilki kemampuan
memecahkan berbagai masalah baru dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan
sosial, atau dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang berada dalam proses
perubahan. Selain itu, pendidikan juga bertujuan membantu peserta didik untuk
menjadi warga negara yang demokratis yang mengemukakan pendapatnya sesuai
minat yang dimilikinya melalui pengalamannya
Proses belajar mengajar terpusatkan pada siswa dalam prilaku dan disiplin diri.
Tujuan keseluruhan pendidikan sendiri adalah melatih anak agar kelak dapat bekerja,
bekerja secara sistematis, mencintai kerja, dan bekerja dengan otak dan hati. Untuk
mencapai tujuan tersebut, pendidikan harusnya merupakan pengembangan
sepenuhnya bakat dan minat setiap anak. Agar dapat bekerja siswa diharapkan
memiliki keterampilan, alat dan pengalaman sosial, dan memiliki pengalaman
memecahkan masalah.
2. Kurikulum Pendidikan
Kalangan progresif menempatkan subjek didik pada titik sumbu sekolah (child-
centered). Mereka lalu berupaya mengembangkan kurikulum dan metode pengajaran
yang berpangkal pada kebutuhan, kepentingan, dan inisiatif subjek didik. Jadi,
ketertarikan anak adalah titik tolak bagi pengalaman belajar. Imam Barnadib
menyatakan bahwa kurikulum progresivisme adalah kurikulum yang tidak beku dan
dapat direvisi, sehingga yang cocok adalah kurikulum yang berpusat pada pengalaman.
Kurikulum disusun dengan pengalaman siswa, baik pengalaman pribadi maupun
pengalaman sosial, selain sosial sering dijadikan pusat pelajaran yang digunakan
dalam pengalaman-pengalaman siswa dan dalam pemecahan masalah serta dalam
suatu kegiatan kelompok. Sekolah dapat memberi jaminan kepada para siswanya
selama belajar, yaitu dengan membantu dan menolong siswanya untuk tumbuh dan
berkembang serta memberi keleluasaan tempat untuk para siswanya dalam
mengembangkan bakat dan minatnya melalui bimbingan guru dan tanggung jawab
kepala sekolah. Kurikulum dikatakan baik apabila bersifat fleksibel dan eksperimental
(pengalaman) dan memiliki keuntungan-keuntungan untuk diperiksa setiap saat. Sikap
progressvisme, memandang segala sesuatu berasaskan fleksibilitas, dinamika dan
sifat-sifat yang sejenis, tercermin dalam pandangannya mengenai kurikulum sebagai
pengalaman yang edukatif, bersifat eksperimental dan adanya rencana dan susunan
yang teratur.
3. Metode Pendidikan
Metode pendidikan yang biasanya dipergunakan oleh aliran progresivisme diantaranya
adalah:
a. Metode Pendidikan Aktif
Pendidikan progresif lebih berupa penyediaan lingkungan dan fasilitas yang
memungkinkan berlangsungnya proses belajar secara bebas pada setiap anak
untuk mengembangkan bakat dan minatnya.
b. Metode Memonitor Kegiatan Belajar
Mengikuti proses kegiatan anak belajar sendiri, sambil memberikan bantuan-
bantuan apabila diperlukan yang sifatnya memperlancar berlangsung kegiatan
belajar tersebut.
c. Metode Penelitian Ilmiah
Pendidikan progresif merintis digunakannya metode penelitian ilmiah yang
tertuju pada penyusunan konsep.
d. Pemerintahan Pelajar
Pendidikan progresif memperkenalkan pemerintahan pelejar dalam
kehidupan sekolah dalam rangka demokratisasi dalam kehidupan sekolah.
e. Kerjasama Sekolah Dengan Keluarga
Pendidikan Progresif mengupayakan adanya kerjasama antara sekolah
dengan keluarga dalam rangka menciptakan kesempatan yang seluas-luasnya bagi
anak untuk mengekspresikan secara alamiah semua minat dan kegiatan yang
diperlukan anak.
f. Sekolah Sebagai Laboratorium Pembaharuan Pendidikan
Sekolah tidak hanya tempat untuk belajar, tetapi berperanan pula sebagai
laboratoriun dan pengembangan gagasan baru pendidikan.
4. Belajar
Proses belajar terpusat pada anak dengan memberikan perhatian anak. Namun
guru tidak membiarkan anak mengikuti yang ia inginkan, karena anak belum cukup
matang untuk menentukan tujuan yang memadai. Anak membutuhkan bimbingan dan
arahan dari guru dalam melaksanakan aktifitasnya. Anak didik adalah subjek aktif,
bukan pasif, sekolah adalah dunia kecil (miniatur) dari masyarakat besar, aktifitas
ruang kelas difokuskan pada praktik pemecahan masalah, serta atmosfer sekolah
diarahkan pada situasi yang kooperatif dan demokratis. Mereka menganut prinsip
pendidikan perpusat pada anak (child-centered). Mereka menganggap bahwa anak itu
unik. Anak adalah anak yang sangat berbeda dengan orang dewasa. Anak mempunyai
alur pemikiran sendiri, mempunyai keinginan sendiri, mempunyai harapan-harapan
dan kecemasan sendiri yang berbeda dengan orang dewasa.
5. Peranan Guru
Guru menurut pandangan filsafat progresivisme adalah sebagai penasihat,
pembimbing, pengarah dan bukan sebagai orang pemegang otoritas penuh yang dapat
berbuat apa saja (otoriter) terhadap muridnya. Sebagai pembimbing karena guru
mempunyai pengetahuan dan pengalaman yang banyak di bidang anak didik maka
secara otomatis semestinya akan menjadi penasihat ketika anak didik mengalami jalan
buntu dalam memecahkan persoalan yang dihadapi. Oleh karena itu peran utama
pendidik adalah membantu peserta didik atau murid bagaimana mereka harus belajar
dengan diri mereka sendiri, sehingga pesrta didik akan berkembang menjadi orang
dewasa yang mandiri dalam suatu lingkungannya yang berubah.
Teori progresivisme ingin mengatakan bahwa tugas pendidik sebagai pembimbing
aktivitas anak didik dan berusaha memberikan kemungkinan lingkungan terbaik untuk
belajar. Sebagai Pembimbing tidak boleh menonjolkan diri, ia harus bersikap
demokratis dan memperhatikan hak-hak alamiah peserta didik secara keseluruhan.
Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan psikologis dengan keyakinan bahwa
memberi motivasi lebih penting dari pada hanya memberi informasi. Pendidik atau
guru dan anak didik atau murid bekerja sama dalam mengembangkan program belajar
dan dalam aktualisasi potensi anak didik dalam kepemimpinan dan kemampuan lain
yang dikehendaki. Dengan demikian dalam teori ini pendidik/guru harus jeli, telaten,
konsisten, luwes, dan cermat dalam mengamati apa yang menjadi kebutuhan anak
didik, menguji dan mengevaluasi kepampuan-kemampuannya dalam tataran praktis
dan realistis. Hasil evaluasi menjadi acuan untuk menentukan pola dan strategi
pembelajaran ke depan. Dengan kata lain guru harus mempunyai kreatifitas dalam
mengelola peserta didik, kreatifitas itu akan berkembang dan berfariasi sebanyak
fariasi peserta didik yang ia hadapi.
6. Peserta Didik
Teori progresivisme menempatkan pesrta didik pada posisi sentral dalam
melakukan pembelajaran. karena murid mempunyai kecenderungan alamiah untuk
belajar dan menemukan sesuatu tentang dunia di sekitarnya dan juga memiliki
kebutuhan-kebutuhan tertentu yang harus terpenuhi dalam kehidupannya.
Kecenderungan dan kebutuhan tersebut akan memberikan kepada murid suatu minat
yang jelas dalam mempelajari berbagai persoalan. Secara institusional sekolah harus
memelihara dan manjamin kebebasan berpikir dan berkreasi kepada para murid,
sehingga mereka memiliki kemandirian dan aktualisasi diri, namun pendidik tetap
berkewajiban mengawasi dan mengontrol mereka guna meluruskan kesalahan yang
dihadapi murid khusunya dalam segi metodologi berpikir. Dengan demikian prasyarat
yang harus dilakukan oleh peserta didik adalah sikap aktif, dan kreatif, bukan hanya
menunggu seorang guru mengisi dan mentransfer ilmunya kepada mereka. Murid tidak
boleh ibarat “botol kosong” yang akan berisi ketika diisi oleh penggunanya. Jika
demikian yang terjadi maka proses belajar mengajar hanyalah berwujud transfer of
knowledge dari seorang guru kepada murid, dan ini tidak akan mencerdasakan
sehingga dapat dibilang tujuan pendidikan gagal.
Prinsip-prinsip pendidikan menurut pandangan progresivisme menurut Kneller (dalam
Uyoh Sadullah, 2010:148) meliputi:
a. Pendidikan adalah hidup itu sendiri, bukan persiapan untuk hidup.
b. Pendidikan harus berhubungan secara langsung dengan minat anak, minat individu
yang dijadikan sebagai motivasi belajar.
c. Belajar melalui pemecahan masalah akan menjadi presenden terhadap pemberian
subject matter. Jadi, belajar harus dapat memecahkan masalah yang penting dan
bermanfaat bagi kehidupan anak. Dalam memecahkan suatu masalah, anak dibawa
berpikir melewati beberapa tahapan yang disebut metode berpikir ilmiah, sebagai
berikut:
 Anak menghadapi keraguan, merasakan adanya masalah.
 Menganalisis masalh tersebut dan menduga atau menyusun hipotesis-hipotesis.
 Mengumpulkan data yang akan membatasi dan memperjelas masalah.
 Memilih dan menganalisis hipotesis.
 Mencoba, menguji, dan membuktikan.
d. Peranan guru tidak langsung, melainkan memberi petunjuk kepada siswa
e. Sekolah harus memberi semangat bekerja sama, bukan mengembangkan persaingan.
f. Kehidupan yang demokratis merupakan kondisi yang diperlukan bagi pertumbuhan.

Contoh penerapan aliran filsafat progresivisme dapat terlihat dari perubahan sistem
mengajar di sekolah. Dulu sekolah-sekolah di Indonesia menerapkan pembelajaran Teacher
Learning Centre (TLC), dimana guru menjadi pusat pembelajaran. Namun karena
perkembangan zaman dan kesadaran akan perlunya mempersiapkan peserta didik yang
mampu mengatasi masalah-masalah baru yang muncu di kehidupan yang akan datang maka
diterapkanlah Student Learning Centre (SLC), diman peserta didik memiliki kesempatan
luas untuk bereksplorasi, menemukan hal-hal baru, serta mengembangkan pendapat dan
pikiran mereka. Pada pembelajaran SLC, guru hanya berperan sebagai pembimbing dan
fasilitator untuk peserta didik.

D. Filsafat Pendidikan Eksistensialisme

Eksistensi berarti keberadaan, akan tetapi di dalam filsafat eksistensialisme istilah


eksistensi memiliki arti tersendiri. Tampaknya di dalam filsafat eksistensialisme istilah
eksistensi memiliki arti cara manusia berada di dalam dunia, dan hal ini berada dengan cara
berada benda-benda, sebab benda-benda tidak sadar akan keberadaannya sebagai sesuatu
yang memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara lengkap
eksistensi memiliki hubungan dengan yang lain, dan berada di samping yang lain. Secara
lengkap eksistensi memiliki arti bahwa manusia berdiri sebagai dirinya dengan keluar dari
diri sendiri. Maksudnya ialah manusia sadar bahwa dirinya ada.

Menurut Heidegger (Sudarsono, 1993:345-346), persoalan tentang “berada” ini hanya


dapat dijawab melalui ontology, artinya: jika persoalan ini dihubungkan dengan manusia dan
dicari artinya dalam hubungan itu. Supaya usaha ini berhasil harus dipergunakan metode
fenomenologis. Demikian yang penting ialah menemukan arti “berada” itu. Guna
menentukan arti berada itu manusia harus diselidiki dalam wujudnya yang biasa tampak
sehari-hari. Heidegger bermaksud mengetahui keadan manusia sebelum keadaan tu
dipikirkan secara ilmiah, yaitu dalam perwujudannya yang belum ditafsirkan. Hasil
usahanya ini ialah bahwa ia menemukan manusia yang di dalam dunia. Oleh karena manusia
berada di dalam dunia maka ia dapat memberi tempat kepada benda-benda di sekitarnya, ia
dapat bertemu dengan benda-benda itu dan juga dengan manusia-manusia yang lain, dapat
bergaul dan berkomunikasi dengan semuanya itu.

J.P Sartre menyatakan eksistensi manusia mendahului esensinya. Pandangan ini amat
janggal sebab biasanya sesuatu harus ada esensinya lebih dulu sebelum keberadaannya.
Menurut ajaran eksistensialisme, eksistensi manusia mendahului esensinya. Hal ini berbeda
dari tumbuhan, hewan, dan bebatuan yang esensinya mendahului eksistensinya, seandainya
mereka punya eksistensi. Di dalam filsafat idealism, wujud nyata (existence) dianggap
mengikuti hakikat (essence). Jadi hakikat manusia mempunyai ciri khas tertentu, dan ciri itu
menyebabkan manusia berbeda dari makhluk lain. Oleh karena itu, dikatakan bahwa
manusia itu eksistensinya mendahului esensinya. Dan formula ini merupakan prinsip utama
dan pertama di dalam filsafat eksistensialisme (Fuad, 2010:180-181).

Menurut Callahan, 1983 (dalam Pidarta, 2007:93-94) filsafat pendidikan eksistensialis


berpendapat bahwa kenyataan atau kebenaran adalah eksistensi atau adanya individu
manusia itu sendiri. Adanya manusia di dunia ini tidak punya tujuan dan kehidupan menjadi
terserap karena ada manusia. Manusia adalah bebas. Akan menjadi apa orang itu ditentukan
oleh keputusan dan komitmennya sendiri. Seseorang akan menjadi tahu tentang sesuatu
melalui pengalaman. Hal itu bergantung pada tingkat kesadaran masing-masing untuk
mencari pengalaman. Kebenaran menurut mereka adalah relatif bergantung kepada
keputusan mereka masing-masing. Begitu pula nilai-nilai ditentukan oleh setiap individu.
Orang tidak perlu menyesuaikan diri dengan nilai-nilai sosial agar eksistensinya tidak hilang.

Ada beberapa pandangan penganut filsafat ini sehubungan dengan eksistensi, yakni:

a. Eksistensi adalah cara manusia berada. Hanya manusialah yang bereksistensi,


manusialah sebagai pusat perhatian, sehingga bersifat humanistis.
b. Bereksistensi tidak statis tetapi dinamis, yang berarti menciptakan dirinya secara aktif,
merencanakan berbuat dan menjadi.
c. Manusia dipandang selalu dalam proses menjadi belum selesai dan terbuka serta
realistis. Namun demikian manusia terikat dengan dunia sekitarnya terutama sesama
manusia (Edward dan Yusnadi, 2015: 28).

Pendidikan menurut filsafat ini bertujuan mengembangkan kesadaran individu,


memberi kesempatan untuk bebas memilih etika, mendorong pengembangan pengetahuan
diri sendiri, bertanggungjawab sendiri, dan mengembangkan komitmen diri. Materi
pelajaran harus memberi kesempatan aktif sendiri, merencana dan melaksanakan sendiri,
baik dalam bekerja sendiri, maupun kelompok. Materi yang dipelajari ditekankan kepada
kebutuhan langsung dalam kehidupan manusia. Peserta didik perlu mendapatkan
pengalaman sesuai dengan perbedaan-perbedaan individual mereka. Guru harus bersifat
demokratis dengan teknik mengajar tidak langsung (Pidarta, 2007:94).
Power, 1982 (Tim Pengajar, 2009: 92) menjelaskan penerapan filsafat pendidikan
eksistensialisme dalam praktik pelaksanaan pndidikan seperti berikut ini :

1. Tujuan pendidikan
Pendidikan memberikan bekal pengalaman yang luas dan komperhensif dalam
semua bentuk kehidupan.
2. Status peserta didik
Peserta didik adalah manusia yang rasional, bebas memilih dan bertanggung
jawab atas pilihannya. Membutuhkan komitmen akan pemenuhan tujuan pribadi.
3. Kurikulum
Kurikulum bersifat liberal, yakni memiliki kebebasan menmilih dan menentukan
aturan-aturan serta pegalaman belajar sesuai dengan minat dan kebutuhan peserta didik
dari kehidupan mereka. Di sekolah dibina agar terbentukpada diri peserta didik rasa
hormat (respek), respek terhadap kebebasan bagi yang lain seperti dalam dirinya,
karena itu diajarkan pendidikan sosial.
4. Peranan guru
Guru berperan melindungi dan memelihara kebebasan akademik, tidak jarang
terjadi bahwa mungkin suatu hari ini adalah guru, besok lusa mungkin mejadi peserta
didik.
5. Metode
Yang diutamakan dalam praktik pembelajaran adalah pencapaian tujuan yakni
mencapai kebahagiaan dan kepribadian yang baik, sedangkan metode merupakan cara
untuk mencapai tujuan tersebut. Oleh karena itu, penggunaan metode tidak terlalu
dipikirkan secara mendalam.

Contoh pendidikan eksistensialisme yaitu adanya penerapan program ekstrakurikuler


di sekolah. Dalam program ini peserta didik bebas memilih apa yang menjadi kesenangan
dan bakat mereka tanpa adanya paksaan. Dari program ekstrakurikuler ini peserta didik dapat
menunjukkan prestasi dan eksistensinya.
E. Filsafat Pendidikan Rekonstruksi
Filsafat pendidikan Rekonstruksi merupakan variasi dari progresivisme, yang
menginginkan kondisi manusia pada umunya harus diperbaiki. Mereka bercita-cita
mengkonstruksi kembali kehidupan manusia secara total. Semua bidang kehidupan harus
diubah dan dibuat baru aliran yang ekstrim ini berupaya merombak tata susunan masyarakat
lama dan membangun tata susunan hidup yang baru sama sekali, melalui lembaga dan protes
pendidikan. Proses belajar dan segala sesuatu bertalian dengan pendidikan tidak banyak
berbeda dengan aliran progresivisme (Pidarta, 2007:93).
Rekonstruksi berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun kembali. Dalam
konteks filsafat pendidikan, aliran rekonstruksionisme adalah suatu aliran yang berusaha
merombak tata susunan lama dan membangun tata susunan hidup kebudayaan yang bercorak
modern. Aliran ini dipelopori oleh George Count dan Harold Rugg pada tahun 1930 (Teguh,
2013:189). Pada dasarnya aliran rekonstruksi adalah sepaham dengan aliran perennialisme
dalam hendak mengatasi krisis kehidupan modern. Hanya saja jalan yang ditempuhnya
berbeda dengan apa yang dipakai oleh perennialisme, tetapi sesuai dengan istilah yang
dikandungnya, yaitu berusaha membina konsensus yang paling luas dan paling mungkin
tentang tujuan utama dan tertinggi dalam kehidupan manusia restore to the original form.
Untuk mencapai tujuan itu, rekonstruksionisme berusaha mencari kesepakatan semua orang
mengenai tujuan utama yang dapat mengatur tata kehidupan manusia dalam suatu tatanan
baru seluruh lingkungannya. Maka melalui lembaga dan proses pendidikan,
rekonstruksioonisme ingin “merombak tata susunan lama, dan membangun tata susunan
hidup kebudayaan yang sama sekali baru” (Zuhairini, 1995:29).

Berikut ini Power mengemukakan implikasi pendidikan aliran rekonstruksionisme, seperti


berikut ini:
1. Tema
Misi sekolah adalah untuk meningkatkan rekonstruksi sosial dan pendidikan
merupakan suatu usaha sosial.
2. Tujuan Pendidikan
Pendidikan bertujuan untuk menciptkan aturan sosial yang ideal. Transmisi budaya
dalam kegiatan pendidikan merupakan hal yang esensial terutama dalam masyarakat
yang majemuk, oleh sebab itu dalam kegiatan tersebut fakta budaya yang majemuk itu
harus dipahami.
3. Kurikulum
Kurikulum sekolah harus diwarnai oleh semua budaya dan nilai-nilai yang
berhubungan dengan sekolah, tidak boleh didominasi oleh budaya mayoritas atau
budaya yang ditentukan atau disukai.
4. Kedudukan Siswa
Nilai-nilai budaya peserta didik yang dibawa ke sekolah sangat dihargai, dan
keluhuran pribadi dan tanggung jawab sosial ditingkatkan.
5. Metode
Belajar sambil bekerja (learning by doing) adalah salah satu metode yang diakui
dapat digunakan disamping metode-metode yang digunakan dalam pendidikan
progresif.
6. Peranan Guru
Guru menghargai dengan tulus dan ikhlas semua budaya dalam setiap interaksinya,
baik di dalam kelas maupun di luar kelas (Tim Pengajar, 2009: 98-99).

Contoh penerapan aliran rekonstruksionisme yaitu pemberian tugas mandiri kepada


peserta didik secara berkelompok maupun individu. Seperti pembuatan karya ilmiah yang
dapat memberikan kesempatan untuk membangun pengetahuan dan pengalaman masing-
masing peserta didik. Dari tugas ini peserta didik dapat bersosialisasi dan berinteraksi
langsung dengan masyarakat di luar lingkungan sekolahnya, dapat mengetahui masalah-
masalah dan perkembagan apa saja yang terjadi di masyarakat saat ini, serta dapat
memberikan ide, pendapat, atau solusi-solusi atas permasalahan sosial yang ada.

F. Filsafat Pendidikan Pedagogi Kritis


Teori ini bernafsu untuk mengidentifikasi minat dan motivasi politik sosial dari sebuah
dominasi kekuasaan (ilmu pengetahuan dan kebudayaan secara umum). Maksudnya adalah
demi emansipasi dan pencerahan. Bila diaplikasikan dalam bidang pendidikan maka teori
kritis ini memunculkan pendekatan critical pedagogy dan salah satu pelopornya adalah
Henry Giroux. Pendekatan ini antara lain menekankan pentingnya memberdayakan dan
mendidik siswa agar mampu memecahkan masalah dan mampu berpikir kritis. Pendidik
sering disebut critical educator yang secara kritis mempertanyakan kultur yang sudah mapan
atau dominan dan menjadikannya sebagai objek analisis politik. Pedagogi kritis mempunyai
gambaran sebagai berikut: memiliki kepedulian tinggi terhadap ketidakadilan sosial
sebagaimana tercermin dalam sistem pendidikan atau persekolahan, di balik ilmu
pengetahuan yang dpelajari di sekolah dan kebudayaan yang dominan dalam sistem
persekolahan sesungguhnya ada minat dan vested interest dari kelompok tertentu, di balik
sistem persekolahan itu ada ideologi yang mendominasi yang harus dicermati dengan kritis
dengan mengkaji sejumlah ideologi alternatif.
Dalam teori ini maka pendidik harus mempunyai keahlian sebagai berikut:
1. Untuk menganalisis sistem yang ada secara politis, diperlukan penguasaan bahasa
kritis demi pemahaman yang sempurna.
2. Untuk memahami kultur yang mendominasi sistem persekolahan, diperlukan
pemahaman atas suara ideologis dari tiga kelompok besar, yaitu pihak sekolah, siswa
dan guru.
3. Untuk menantang wilayah pengetahuan yang dominan saat ini, diperlukan
keberanian untuk membangun pengetahuan baru. Untuk itu guru harus menyiapkan
kelas yang mefasilitasi siswa untuk mampu berbicara, menulis dan mendengar dalam
multiperspectival language, yaitu berbahasa dengan sudut pandang yang berbagai-
bagai. Siswa disarankan untuk memahami hakikat kekuasaan, penindasan, mengenali
adanya ketidakadilan dalam masyarakat, dan dilatih kritis untuk mampu
mengembangkan pemahaman dan kepekaan untuk melakukan perubahan. Berikut
delapan dalil dari critical pedagogy:
 Pendidikan memproduksi bukan hanya pengetahuan tapi juga politik. Mata
pelajaran tidak hanya mewariskan ilmu pengetahuan, fakta atau dalil, tetapi juga
harus menanamkan pada siswa kesadaran akan hak-hak politiknya sebagai warga
Negara.
 Etika dipahami sebagai sentralnya pendidikan. Guru mengajarkan bukan hanya
pengetahuan dan keterampilan tetapi juga mengajarkan apa yang benar dan tidak
benar.
 Pendidikan bertoleransi terhadap perbedaan-perbedaan pada siswa dan guru
dalam aspek-aspek ras, etnis, bahasa dan gender.
 Kurikulum tidak boleh dimaknai sebagai teks suci yang mengharamkan
munculnya interpretasi dan perbedaan-perbedaan pada pihak pelaksanaannya.
 Pendidikan seyogyianya bukan hanya mengkritisi bentuk-bentuk ilmu
pengetahuan yang ada tetapi juga menghasilkan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan baru.
 Pendidikan seyogyianya mereformulasi apa yang selama ini diklaim sebagai
kebenaran demi mendapatkan versi dan interpretasi yang lebih parsial dan
khusus dari ilmu pengetahuan, teknologi, kebenaran dan alasan serta
kebernalaran.
 Pendidikan menawarkan visi demi masa mendatang yang lebih baik dan pantas
diperjuangkan tanpa mengenal lelah.
 Para guru menjadi transformative intellectual, yakni intelektual yang memiliki
komitmen perkasa untuk melakukan transformasi sosial demi perbaikan.
BAB III

SIMPULAN

Dari uraian makalah di atas dapat disimpulkan bahwa aliran filsafat pendidikan yang kita
gunakan dalam proses pembelajaran sangat mempengaruhi karakter peserta didik kedepannya.
Masing-masing aliran memiliki ciri-ciri dan pengaruh terhadap pendidikan. Dalam pandangan
aliran essensialisme, tujuan pendidikan ialah untuk meneruskan warisan budaya dan warisan
sejarah melalui pengetahuan inti yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurun waktu yang
lama, serta merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh semua orang.
Tugas siswa adalah menginternalisasikan atau menjadikan milik pribadi elemen-elemen tersebut
(Uyoh Sadulloh, 2007: 161).

Parrenialisme yang mengedepankan pemeliharaan nilai-nilai warisan budaya juga menjadi


kajian menarik tersendiri dalam konteks filsafat pendidikan. Hal tersebut diutarakan oleh Umar
Tirtarahardja dan La Sula (2000: 89-90) yang mengatakan bahwa aliran ini dianut karena
mengintegrasikan kebenaran agama dan kebenaran ilmu. Maka sebaiknya kurikulum bersifat wajib
dan berlaku umum yang meliputi bahasa, matematika, logika, IPA dan sejarah.

Aliran eksistensialisme mengedepankan pandangan bahwa manusia ialah mahluk yang


memiliki kewenangan untuk menentukan arah dirinya kelak. Tujuan aliran eksistensialisme oleh
Uyoh Sadulloh (2007: 137) diantaranya ialah mendorong individu untuk mengembangkan semua
potensi yang ada dirinya.

Aliran Progresivisme merupakan aliran yang mengedepankan peran siswa yang aktif dalam
pembelajaran. Karena pada hakekatnya siswa merupakan subjek yang utama dalam proses
pembelajaran.

Aliran rekonstruksi mengedepankan pemikiran bahwasanya di sekolah, individu tidak hanya


belajar tentang pengalaman-pengalaman kemasyarakatan masa kini, tetapi juga harus
mempelopori masyarakat ke arah bau yang diinginkan. Oleh karenanya sekolah perlu
mengembangkan suatu ideologi kemasyarakatan yang demokratis.
Aliran progresivisme, rekonstruksi dan pedagogi kritis memiliki kesamaan. Kesamaan
tersebut diantaranya ialah terpusat pada siswa (student sentris). Dalam aliran ini sekolah
diumpamakan sebagai laboratorium bagi siswa dalam menyongsong kehidupan yang demokratis
dan mengenal kehidupan nyata dirinya. Untuk mencapai tujuan ini, sekolah diharapkan mampu
membekali siswa dengan pengetahuan dan pengalaman dalam menghadapi perubahan dunia.
Aliran rekontruksi dan pedagogi kritis juga menekankan bahwa siswa ialah bukan sebagai objek
pembelajaran, tetapi sebagai subjek pebelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Alwasilah, A. Chaedar. 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: UPI dan Rosdakarya.

Barnadib, Imam. 1987. Filsafat Pendidikan, Sistem dan Metode. Yogyakarta: Andi Offset.

Gandhi, Teguh. 2013. Filsafat Pendidikan Madzhab-Madzhab Filsafat Pendidikan. Yogyakarta:


Ar-Ruzz Media.

Ihsan, A.Fuad. Filsafat Ilmu. 2010. Jakarta: Rineka Cipta.

Muis, Imam. 2004. Pendidikan Partisipatif Menimbang Konsep Fitrah dan Progresivisme John
Dewey. Yogyakarta: Safira Insani Press.

Pidarta, made. 2007. Landasan Kependidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Purba, Edward & Yusnadi. 2015. Filsafat Pendidikan. Medan: UNIMED PRESS.

Sadulloh, Uyoh. 2010. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: Alfabeta, CV.

Sudarsono. 1993. Ilmu Filsfat suatu pengantar. Jakarta: Rineka Cipta.

Tim Pengajar. 2009. Diktat Filsafat Pendidikan. Medan: UNIMED.

Wahyudin, dkk. 2010. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Universitas Terbuka.

Zuhairini. 1995. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai