Email : Mursyidulazmi@gmail.com
Dosen Pengampu
Abstrak
Mursyidul Azmi, Muh. 2020, Aliran perenialisme dalam pandangan filsafat pendidikan islam
Makalah jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pengampu H. Triyo Supriyatno, S.Pd, M.Ag, Ph.D
Salah satu cabang pemikiran filsafat modern yang hampir tidak bisa lepas dari
pengaruh tradisi klasik filsafat idealism-realisme adalah aliran filsafat pendidikan
Perenialisme. Di Barat,aliran Perenialisme ini sesungghunya dikembangkan
untuk pertama kalinya oleh parafilosof pada akhir abad pertengahan yang banyak
dipengaruhi oleh kekuatan dogmatika ajaran Kristen. Oleh karena itu,nuansa
pemikiran filsafat Perenialisme itu begitu lekat dengan tradisi ajaran agama.
Namun demikian, dalam konteks perkembangan pemikiran filsafat Islam,juga
telahmuncul beberapa tokoh yang mempunyai pemikiran Perenialisme,tentunya
konstruksi pemikiran filosof Perenialisme muslim lebih banyak dipengaruhi oleh
format ajaran dogmatika Islam. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran para filosof
Muslim penganut aliran Perenialisme ini lebih condong pada penguatan muatan
spiritualIslam, terutama dalam pengembangan pendidikan Islam.
Abstrak
Mursyidul Azmi, Muh. 2020, the current of perenialism in the view of the philosophy of
Islamic education Religious Education Papers, Departement of Islamic
Religious Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Maulana
Malik Ibrahim State Islamic University.
Adviser H. Triyo Supriyatno, S.Pd, M.Ag, Ph.D
Key word : Perenial Philosophy, and Islamic Education
1
Arthur K. Ellis, John J. Cogan, and Kenneth R. Howey, Introduction to The Foundations of Education,
(New Jersey: rentice Hall, 1981), p. 111
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), h. 84
Berbagai pendangan filsafat yang membentuk aliran- aliran filsafat juga
melahirkan aliran filsafat di bidang pendidikan yang berpengaruh besar terhadap
pendidikan. Wayan Ardhana dkk. (dalam Umar Tirtarahardja) menyebutkan
aliran- aliran filsafat pendidikan, yaitu idealisme, realisme, perenialisme,
esensialisme, pragmatisme dan progresifisme, serta eksistensialisme. 5Sementara
itu, Waini Rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo) membedakan antara aliran dan
mazhab filsafat pendidikan. Menurutnya, aliran filsafat pendidikan yaitu
idealisme, realisme (positivisme, materialisme), neothomisme, dan pragmatisme,
sedangkan mazhab filsafat pendidikan yaitu esensialisme, perenialisme,
progresivisme, dan rekonstruksionisme.6
PEMBAHASAN
5
Ibid., h. 85
6
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), h. 140- 150
7
Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta: Bumi Aksara), 2008, hal 27.
8 Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia, yang dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio-kultural. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat dan terpuji. Beberapa tokoh pendukung
gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.9
Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan
keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin kita bisa saja dengan terburu-
buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerangka sejalan
pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya dan memang
harus tetap diakui bahwasanya jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih
tampak dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai
jenis filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi sistem dari perenialis barat,
seperti Agostino Steunco. Namun, filsafat perenial atau sering disebut sebagai
kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara
berangsur-angsur mulai menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang
paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialisme.
Filsafat materialisme ini membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma
hidup dan pemikiran manusia pada saat itu. Memasuki abad ke-18, karena
pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan yang
tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat
mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16
hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21,
sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman
kotemporer. Dan zaman kotemporer inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan
filsafat perenialisme.10
1. Plato
9
, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2020/10/10/filsafat-pendidikan/
10
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002, hal.
17
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat akan
ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral
menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu
tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-
masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah.
Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari
asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia idea”,
bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai
sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang
mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan
semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau rasio, semuanya itu dapat
ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang utuh dan bulat. Manusia dapat
memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan
pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusi dapat mengetahui
hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai
pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki, dan
mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
2. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealism. Hasil
pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berpikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato yang menekankan berpikir
rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris
realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat
pada alam kehidupan manusia sehari-hari.11
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun dia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles
merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapatkan sebutan
sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan
11
Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, hal. 57
kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenungan pasif, melainkan
merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya
berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju
kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional
memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi
sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang
abadi, alam supernatural.
3. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara kajian Kristen dan filsafat (sebetulnya
dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar
pemikir logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan
oleh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak dapat pertentangan antara filsafat
(khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya
dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara
terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat
Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang
ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepeda-Nya. Ia
mempertahankan bahwa Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya,
seperti halnya yang dipikirkan oleh Thomas Aquina menekankan dua hal
dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dari
semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja,
demikian menuurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan/oleh akal budi,
menjadi pengetahuan. selain pengetahuan manusia yang bersumber dari
wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan
rasionya, disinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism,
dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang
orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotomisme.
Perenialisme adalah sama dengan neotomisme
Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pemikiran Perenialisme
Pemikiran filsafat perenialisme lebih popular dari Barat, namun seperti yang
pernah disinggung sebelumnya bahwa aliran perenialisme secara faktual juga
dikembangkan oleh filosof Muslim dan ditemukan dalam filsafat pendidikan
Islam. Meskipun demikian, pemikiran filosof muslim ini tentang perenial pasti
memiliki perbedaan dengan pemikiran filosofis Barat.
12
ainal Abidin, Perspektif Pendidikan Islam Terhadap Filsafat Perenialisme, Jurnal Nizham: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. III (2), 2014, h. 168
13
Ibid., h. 169
14
Mulyadi Kartanegara dalam Zainal Abidin, Ibid., h. 170
diserupakan), dapat dipertemukan dengan yang imanent (keserupaan/tasybih),
melalui pendekatan filsafat dan tasawuf.
Satu lagi pemikiran filsafat Perenialisme dalam Islam, yakni madzhab al-
Hikmah al-Muta’aliyah (filsafat Teosofi Transeden) yang sering disebut aliran
Hikmah, yang digagas oleh filosof Syi‟ah abad ke-17 atau yang lebih dikenal
dengan Mulla Shadra yang berhasil mensintesiskan aliran atau madzhab Ishraqi
(iluminasi), Irfani, dan Burhani (peripatetik) yang lebih mengutamakan penalaran
(rasio). Aliran ini berkembang di Isfahan Iran dan diikuti oleh tokoh-tokoh
filsafat lainnya seperti Mir Damad (w. 1631), al-Amili, dan Mir Fandiriski, tetapi
yang yang lebih dikenal dalam pusaran filsafat al-Hikmah ini adalah Mulla
Shadra. Inti dari dari Hikmah Muta’aliyah adalah pandangannya bahwa
pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan pengalaman mistik. Kelebihan
aliran Hikmah Muta’âliyah adalah anggapan bahwa pengalaman mistik bukan
hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis (logika), melainkan
juga “harus” diungkapkan seperti itu untuk verifikasi publik.15
15
Mulyadi Kartanegara dalam Zainal Abidin, Ibid
16
Lihat Zainal Abidin, loc. cit., h. 173- 175
absolut; (d) kebenaran hakiki dan mutlak dalam filsafat pendidikan Islam hanya
bersumber dari ajaran agama Islam; (e) pemikiran filsafat Islam merupakan
gabungan antara filsafat dan tasawuf, yaitu mengembangkan potensi intelektual
dan potensi bathiniah umat Islam. Sehingga pendidikan Islam diupayakan
mengintegrasikan kekuatan akal/nalar diskursif, pengetahuan tentang pengalaman
spiritual (sufisme/mistik), dan kebijakan abadi.
DAFTAR PUSTAKA