Anda di halaman 1dari 10

ALIRAN PERENIALISME DALAM PANDANGAN

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


Penulis

Nama : Muhammad Mursyidul Azmi

Prodi : Pendidikan Agama Islam

Fakultas : Ilmu Tarbiyah Dan Keguruan

Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

Email : Mursyidulazmi@gmail.com

Dosen Pengampu

H. Triyo Supriyatno, S.Pd, M.Ag, Ph.D

Abstrak

Mursyidul Azmi, Muh. 2020, Aliran perenialisme dalam pandangan filsafat pendidikan islam
Makalah jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah Dan
Keguruan Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang
Pengampu H. Triyo Supriyatno, S.Pd, M.Ag, Ph.D

Kata kunci : filsafat perenialisme, dan Pendidikan Islam

Salah satu cabang pemikiran filsafat modern yang hampir tidak bisa lepas dari
pengaruh tradisi klasik filsafat idealism-realisme adalah aliran filsafat pendidikan
Perenialisme. Di Barat,aliran Perenialisme ini sesungghunya dikembangkan
untuk pertama kalinya oleh parafilosof pada akhir abad pertengahan yang banyak
dipengaruhi oleh kekuatan dogmatika ajaran Kristen. Oleh karena itu,nuansa
pemikiran filsafat Perenialisme itu begitu lekat dengan tradisi ajaran agama.
Namun demikian, dalam konteks perkembangan pemikiran filsafat Islam,juga
telahmuncul beberapa tokoh yang mempunyai pemikiran Perenialisme,tentunya
konstruksi pemikiran filosof Perenialisme muslim lebih banyak dipengaruhi oleh
format ajaran dogmatika Islam. Dalam batas-batas tertentu, pemikiran para filosof
Muslim penganut aliran Perenialisme ini lebih condong pada penguatan muatan
spiritualIslam, terutama dalam pengembangan pendidikan Islam.

Abstrak

Mursyidul Azmi, Muh. 2020, the current of perenialism in the view of the philosophy of
Islamic education Religious Education Papers, Departement of Islamic
Religious Education, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training, Maulana
Malik Ibrahim State Islamic University.
Adviser H. Triyo Supriyatno, S.Pd, M.Ag, Ph.D
Key word : Perenial Philosophy, and Islamic Education

One of the branches of modern philosophical thought that is almost


inseparable from the influence of the classical tradition of idealism-realism is the
philosophy of education of Perennialism. In the West, Perennialism was actually
developed for the first time by philosophers in the late Middle Ages who were
heavily influenced by the dogmatic power of Christian teachings. Therefore, the
nuances of Perenialism's philosophical thought are so closely related to the
tradition of religious teachings. However, in the context of the development of
Islamic philosophical thought, several figures have also appeared who have
Perennialism thoughts, of course the construction of Muslim Perennialism
philosophical thoughts is more influenced by the format of Islamic dogmatic
teachings. To some extent, the thoughts of the Muslim philosophers who adhere
to the flow of Perennialism are more inclined to strengthen the spiritual content of
Islam, especially in the development of Islamic education.

PENDAHULUAN Pendidikan merupakan suatu proses yang berkesinambungan


dari satu generasi ke generasi berikutnya yang bersifat universal. Proses
pendidikan berupaya memanusiakan manusia yang berdasarkan pada pandangan/
filsafat hidup dan latar belakang sosial kultural masyarakat tersebut. Jadi
meskipun pendidikan bersifat universal, tetapi dalam pelaksanaan pendidikan
tersebut terdapat perbedaan- perbedaan sesuai dengan landasan filsafat dan sosio
kultur masyarakat.

Salah satu hal yang melandasi pelaksanaan pedidikan termasuk pendidikan


Islam adalah kajian filsafat. Filsafat dan pendidikan saling terkait, menurut
Arthur K. Ellis et. al. mengatakan bahwa “philosophy of education has it’s roots
in classical philosophy”.1 Filsafat itu sendiri menurut Webster (dalam Arthur)
adalah “the love of wisdom”2, kemudian Arthur et. al. menyimpulkan bahwa “the
study of philosophy help us to better understand who we are, why we are here,
and to some extent where we are headed.3 Jadi filsafat akan memberikan
pandangan tentang apa pendidikan itu, mengapa pendidikan ada, dan apa tujuan
dari adanya pendidikan.

Umar Tirtarahardja juga mengemukakan pandangannya mengenai keterkaitan


antara filsafat dan pendidikan bahwa filsafat berusaha merumuskan citra tentang
manusia dan masyarakat, sedangkan pendidikan berusaha mewujudkan citra
tersebut.4 Pada hakikatnya, kajian filsafat melahirkan pandangan- pandangan
tentang unsur pokok pendidikan dan pendidikan menerapkan hasil pandangan
tersebut dalam praktek pelaksanaan pendidikan.

1
Arthur K. Ellis, John J. Cogan, and Kenneth R. Howey, Introduction to The Foundations of Education,
(New Jersey: rentice Hall, 1981), p. 111
2
Ibid.
3
Ibid.
4
Umar Tirtarahardja dan S.L. La Sulo, Pengantar Pendidikan, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2008), h. 84
Berbagai pendangan filsafat yang membentuk aliran- aliran filsafat juga
melahirkan aliran filsafat di bidang pendidikan yang berpengaruh besar terhadap
pendidikan. Wayan Ardhana dkk. (dalam Umar Tirtarahardja) menyebutkan
aliran- aliran filsafat pendidikan, yaitu idealisme, realisme, perenialisme,
esensialisme, pragmatisme dan progresifisme, serta eksistensialisme. 5Sementara
itu, Waini Rasyidin (dalam Redja Mudyahardjo) membedakan antara aliran dan
mazhab filsafat pendidikan. Menurutnya, aliran filsafat pendidikan yaitu
idealisme, realisme (positivisme, materialisme), neothomisme, dan pragmatisme,
sedangkan mazhab filsafat pendidikan yaitu esensialisme, perenialisme,
progresivisme, dan rekonstruksionisme.6

Berbagai aliran ataupun mazhab pendidikan tersebut perlu dipahami oleh


pendidik ataupun tenaga kependidikan untuk dapat memahami hakikat
pendidikan, pentingnya pendidikan bagi manusia dan tujuan pendidikan bagi
kehidupan. Dengan memahami pemikiran filsafat berbagai aliran ini, maka dapat
dibuat perbandingan terhadap pengaruh berbagai aliran ini pada penyelenggaraan
pendidikan di Indonesia.

PEMBAHASAN

Pengertian perenialisme Perenialisme diambil dari kata perenial, yang dalam


Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English diartikan sebagai
“continuing through out the whole year” atau “lasting for a very long time” –
abadi atau kekal.7 Dari makna yang terkandung dalam kata itu adalah aliran
perenialisme mengandung kepercayaan filsafat yang berpegang pada nilai-nilai
dan norma-norma yang bersifat kekal abadi.

Perenialisme melihat bahwa akibat dari kehidupan zaman modern telah


menimbulkan krisis di berbagai bidang kehidupan umat manusia. Mengatasi
krisis ini perenialisme memberikan jalan keluar berupa “kembali kepada
kebudayaan masa lampau” (regresive road to culture). Oleh sebab itu
perenialisme memandang penting peranan pendidikan dalam proses
mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini kepada kebudayaan masa
lampau yang dianggap cukup ideal yang telah teruji ketangguhannya.

Asas yang dianut perenialisme bersumber pada filsafat kebudayaan yang


terkiblat dua, yaitu: (1) perenialisme yang theologis-bernaung dibawah supremasi
gereja katolik. Dengan orientasi pada ajaran dan tafsir Thomas Aquinas-dan (2)
perenialisme sekuler berpegang pada ide dan cita Plato dan Aristoteles.8

Sejarah perkembangan perenialisme Aliran perennialisme lahir pada abad


kedua puluh pada tahun 1930-an. Perenialisme lahir sebagai suatu reaksi terhadap
pendidikan progresif. Mereka menentang pandangan progresivisme yang

5
Ibid., h. 85
6
Redja Mudyahardjo, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar, (Bandung: Remaja Rosdakarya,
2004), h. 140- 150
7
Drs. Zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, (jakarta: Bumi Aksara), 2008, hal 27.
8 Drs, zuhairini, dkk, filsafat pendidikan islam, …,hal 28
menekankan perubahan dan sesuatu yang baru. Perenialisme memandang situasi
dunia, yang dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian, dan ketidakteraturan,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual dan sosio-kultural. Oleh karena itu
perlu ada usaha untuk mengamankan ketidak beresan tersebut, yaitu dengan jalan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat dan terpuji. Beberapa tokoh pendukung
gagasan ini adalah Robert Maynard Hutchins dan ortimer Adler.9

Teori atau konsep pendidikan perenialisme dilator belakangi oleh filsafat


Plato yang merupakan Bapak Idealisme klasik, filsafat Aristoteles sebagai Bapak
Realisme klasik dan filsafat Thomas Aquinas yang mencoba memadukan antara
filsafat Aristoteles dengan ajaran (filsafat) gereja katolik yang tumbuh pada
zamannya (abad pertengahan).

Kira-kira abad ke-6 hingga abad ke-15 merupakan abad kejayaan dan
keemasan filsafat perenialisme. Namun, mungkin kita bisa saja dengan terburu-
buru melihat perkembangan filsafat perenial ini hanya dalam kerangka sejalan
pemikiran barat saja, melainkan juga terjadi di wilayah lainnya dan memang
harus tetap diakui bahwasanya jejak perkembangan filsafat perenial jauh lebih
tampak dalam konteks sejarah perkembangan intelektual barat, apalagi sebagai
jenis filsafat khusus, filsafat ini mendapat elaborasi sistem dari perenialis barat,
seperti Agostino Steunco. Namun, filsafat perenial atau sering disebut sebagai
kebijaksanaan universal, disebabkan oleh beberapa alasan yang kompleks secara
berangsur-angsur mulai menjelang akhir abad ke-16. Salah satu alasan yang
paling dominan adalah perkembangan yang pesat dari filsafat materialisme.
Filsafat materialisme ini membawa perubahan yang radikal terhadap paradigma
hidup dan pemikiran manusia pada saat itu. Memasuki abad ke-18, karena
pengaruh filsafat materialis, banyak aspek realita yang diabaikan, dan yang
tinggal hanyalah mekanistik belaka. Filsafat materialis ini begitu kuat
mempengaruhi pola pikir manusia abad modern yang merentang sejak abad ke-16
hingga akhir abad ke-20. Memasuki akhir abad ke-20 dan awal abad ke-21,
sehingga pada tiap-tiap bentuk pemikiran baru yang muncul hingga pada zaman
kotemporer. Dan zaman kotemporer inilah dapat dikatakan zaman kebangkitan
filsafat perenialisme.10

Tokoh-tokoh Aliran Perenialisme Perenialisme bukan merupakan suatu aliran


baru dalam filsafat, dalam arti, perenialisme bukanlah merupakan suatu bangunan
pengetahuan yang menyusun filsafat baru, yang berbeda dengan filsafat yang
telah ada. Berikut merupakan beberapa teori atau konsep perenialis menurut
Plato, Aristoteles, dan Thomas Aquina.

1. Plato

9
, http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2020/10/10/filsafat-pendidikan/
10
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada), 2002, hal.
17
Plato (427-347 SM), hidup pada zaman kebudayaan yang sarat akan
ketidakpastian, yaitu filsafat sofisme. Ukuran kebenaran dan ukuran moral
menurut sofisme adalah manusia secara pribadi, sehingga pada zaman itu
tidak ada kepastian dalam moral dan kebenaran, tergantung pada masing-
masing individu.
Plato berpandangan bahwa realitas yang hakiki itu tetap tidak berubah.
Realitas atau kenyataan-kenyataan itu telah ada pada diri manusia sejak dari
asalnya, yang berasal dari realitas yang hakiki. Menurut Plato, “dunia idea”,
bersumber dari ide mutlak, yaitu Tuhan. Kebenaran, pengetahuan, dan nilai
sudah ada sebelum manusia lahir yang semuanya bersumber dari ide yang
mutlak tadi. Manusia tidak mengusahakan dalam arti menciptakan kebenaran,
pengetahuan, dan nilai moral, melainkan bagaimana manusia menemukan
semuanya itu. Dengan menggunakan akal atau rasio, semuanya itu dapat
ditemukan kembali oleh manusia.
Kebenaran itu ada, yaitu kebenaran yang utuh dan bulat. Manusia dapat
memperoleh kebenaran tersebut dengan jalan berpikir, bukan dengan
pengamatan indera, karena dengan berpikir itulah manusi dapat mengetahui
hakikat kebenaran dan pengetahuan. Dengan indera, manusia hanya sampai
pada memperkirakan. Manusia hendaknya memikirkan, menyelidiki, dan
mempelajari dirinya sendiri dan keseluruhan alam semesta.
2. Aristoteles
Aristoteles (384-322 SM) adalah murid Plato, namun dalam
pemikirannya ia mereaksi terhadap filsafat gurunya, yaitu idealism. Hasil
pemikirannya disebut filsafat realism (realism klasik). Cara berpikir
Aristoteles berbeda dengan gurunya, Plato yang menekankan berpikir
rasional spekulatif. Aristoteles mengambil cara berpikir rasional empiris
realistis. Ia mengajarkan cara berpikir atas prinsip realistis, yang lebih dekat
pada alam kehidupan manusia sehari-hari.11
Aristoteles hidup pada abad keempat sebelum Masehi, namun dia
dinyatakan sebagai pemikir abad pertengahan. Karya-karya Aristoteles
merupakan dasar berpikir abad pertengahan yang melahirkan renaissance.
Sikap positifnya terhadap inkuiri menyebabkan ia mendapatkan sebutan
sebagai Bapak Sains Modern. Kebajikan akan menghasilkan kebahagiaan dan

11
Dr. Zainal Abidin, Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali Pers), 2011, hal. 57
kebaikan, bukanlah pernyataan pemikiran atau perenungan pasif, melainkan
merupakan sikap kemauan yang baik dari manusia.
Menurut Aristoteles, manusia adalah makhluk materi dan rohani
sekaligus. Sebagai materi, ia menyadari bahwa manusia dalam hidupnya
berada dalam kondisi alam materi dan sosial. Sebagai makhluk rohani
manusia sadar ia akan menuju pada proses yang lebih tinggi yang menuju
kepada manusia ideal, manusia sempurna. Manusia sebagai hewan rasional
memiliki kesadaran intelektual dan spiritual, ia hidup dalam alam materi
sehingga akan menuju pada derajat yang lebih tinggi, yaitu kehidupan yang
abadi, alam supernatural.
3. Thomas Aquina
Thomas Aquina mencoba mempertemukan suatu pertentangan yang
muncul pada waktu itu, yaitu antara kajian Kristen dan filsafat (sebetulnya
dengan filsafat Aristoteles, sebab pada waktu itu yang dijadikan dasar
pemikir logis adalah filsafat neoplatonisme dari Plotinus yang dikembangkan
oleh St. Agustinus). Menurut Aquina, tidak dapat pertentangan antara filsafat
(khususnya filsafat Aristoteles) dengan ajaran agama (Kristen). Keduanya
dapat berjalan dalam lapangannya masing-masing. Thomas Aquina secara
terus terang dan tanpa ragu-ragu mendasarkan filsafatnya kepada filsafat
Aristoteles.
Pandangan tentang realitas, ia mengemukakan, bahwa segala sesuatu yang
ada, adanya itu karena diciptakan oleh Tuhan, dan tergantung kepeda-Nya. Ia
mempertahankan bahwa Tuhan bagaikan air yang mengalir dari sumbernya,
seperti halnya yang dipikirkan oleh Thomas Aquina menekankan dua hal
dalam pemikiran tentang realitasnya, yaitu: 1) dunia tidak diadakan dari
semacam bahan dasar, dan 2) penciptaan tidak terbatas pada satu saat saja,
demikian menuurut Bertens (1979).
Dalam masalah pengetahuan, Thomas Aquina mengemukakan bahwa
pengetahuan itu diperoleh sebagai persentuhan dunia luar dan/oleh akal budi,
menjadi pengetahuan. selain pengetahuan manusia yang bersumber dari
wahyu, manusia dapat memperoleh pengetahuan melalui pengalaman dan
rasionya, disinilah ia mempertemukan pandangan filsafat idealism, realism,
dan ajaran gereja). Filsafat Thomas Aquina disebut tomisme. Kadang-kadang
orang tidak membedakan antara perenialisme dengan neotomisme.
Perenialisme adalah sama dengan neotomisme
Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Pemikiran Perenialisme
Pemikiran filsafat perenialisme lebih popular dari Barat, namun seperti yang
pernah disinggung sebelumnya bahwa aliran perenialisme secara faktual juga
dikembangkan oleh filosof Muslim dan ditemukan dalam filsafat pendidikan
Islam. Meskipun demikian, pemikiran filosof muslim ini tentang perenial pasti
memiliki perbedaan dengan pemikiran filosofis Barat.

Salah satu filosof muslim yang pertama kali mengembangkan pandangan


perenial adalah Suhrawardi dalam bukunya al-Miskât al-Anwâr, yang ingin tetap
melestarikan warisan agung filsafat dan sufisme dalam Islam. Beliau banyak
mengutip ayat al-Qur‟an dan Hadits serta ajaran sufi terdahulu.12 Menurut Nasr
(dalam Zainal Abidin), bahwa ciri khas corak pemikiran Suhrawardi yaitu sangat
mengutamakan teori maupun pendapat-pendapat sufi landasan al-Qur’an, karena
ia menegaskan bahwa makna sesungguhnya pencapaian dari segala pengetahuan
dan filsafat adalah melalui Tuhan dan Kitab Suci-Nya. Karena pandangan yang
sangat apresiatif terhadap kekayaan filsafat Timur tersebut, Suhrawardi dianggap
filosof yang ingin memadukan filsafat Timur dengan filsafat Barat dan sekaligus
memadukan tasawuf dengan filsafat secara praktis melalui beberapa latihan jiwa.
Dalam bidang filsafat, beliau adalah seorang filosof yang meneguhkan madzbah
Ishrâqi (iluminasi), sedangkan dalam bidang tasawuf (Gnosis) beliau sebagai sufi
yang menggunakan metode eksprensial yang mengutamakan intuisi (dhawqi) dan
praktek asketisme (zuhd).13

Selain pemikiran Suhrawardi di atas, pemikiran perennial juga ditemukan


dalam mazhab/ aliran irfani yang berpikiran bahwa pengetahuan diperoleh
melalui hati bukan melalui akal atau indera.14 Penganut aliran Irfani ini adalah
Jalaluddin Rumi. Kemudian dalam tasawuf falsafi juga dikenal Ibnu Araby
dengan konsep wahdatul wujud (kesatuan wujud), yang dianggap sebagai
pemikiran perenial adalah pada unsur mengutamakan pendekatan hati yang
dianggap sebagai sumber yang terpercaya dan harus dilestarikan sebagai nilai-
nilai yang agung karena merupakan warisan dan bagian dari ajaran Islam, dan
menganggap sesuatu yang transedent ( tanzih, harus suci dan tidak bisa

12
ainal Abidin, Perspektif Pendidikan Islam Terhadap Filsafat Perenialisme, Jurnal Nizham: Jurnal Studi
Keislaman, Vol. III (2), 2014, h. 168
13
Ibid., h. 169
14
Mulyadi Kartanegara dalam Zainal Abidin, Ibid., h. 170
diserupakan), dapat dipertemukan dengan yang imanent (keserupaan/tasybih),
melalui pendekatan filsafat dan tasawuf.

Satu lagi pemikiran filsafat Perenialisme dalam Islam, yakni madzhab al-
Hikmah al-Muta’aliyah (filsafat Teosofi Transeden) yang sering disebut aliran
Hikmah, yang digagas oleh filosof Syi‟ah abad ke-17 atau yang lebih dikenal
dengan Mulla Shadra yang berhasil mensintesiskan aliran atau madzhab Ishraqi
(iluminasi), Irfani, dan Burhani (peripatetik) yang lebih mengutamakan penalaran
(rasio). Aliran ini berkembang di Isfahan Iran dan diikuti oleh tokoh-tokoh
filsafat lainnya seperti Mir Damad (w. 1631), al-Amili, dan Mir Fandiriski, tetapi
yang yang lebih dikenal dalam pusaran filsafat al-Hikmah ini adalah Mulla
Shadra. Inti dari dari Hikmah Muta’aliyah adalah pandangannya bahwa
pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan pengalaman mistik. Kelebihan
aliran Hikmah Muta’âliyah adalah anggapan bahwa pengalaman mistik bukan
hanya “mungkin” untuk diungkapkan secara diskursif-logis (logika), melainkan
juga “harus” diungkapkan seperti itu untuk verifikasi publik.15

Memperhatikan pandangan filsafat tokoh- tokoh filsafat Islam di atas,


disimpulkan bahwa kata perenial ini memang tidak disebutkan secara literal
dalam kajian filsafat mereka, tetapi makna, ciri dan pandangan perenial tersirat
dalam pemikiran mereka.

Selanjutnya, dalam konteks filsafat pendidikan Islam, beberapa pemikiran


filsafat perenial dikonstruksikan ke dalam pemikiran filosof muslim. Adapun
pemikiran tersebut, yaitu:16 (a) konsep kebenaran abadi/hakiki. Dalam ajaran
Islam kebenaran hakiki bersumber dari Allah Swt, sehingga dalam internalisasi
kebenaran hakiki ini tidak hanya melibatkan latihan akal tetapi juga
menggunakan latihan intuisi, hati atau qalbu. Sehingga dalam pelaksanaan
pendidikan Islam, kebenaran dapat diperoleh jika pendidikan dilaksanakan sesuai
dengan wahyu Allah Swt.; (b) konsep potensi dasar (fitrah Islamiyah) peserta
didik. Dalam Islam, semua manusia dilahirkan membawa potensi dasar (fitrah)
Islamiyah yang dapat dikembangkan secara Islamiyah pula. Potensi dasar ini
dapat berkembang secara multi aspek mencakup aspek kognitif, afektif dan
psikomotorik; (c) kurikulum dan proses pembelajaran berorientasi untuk
mengembangkan potensi dasar yang dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan yang

15
Mulyadi Kartanegara dalam Zainal Abidin, Ibid
16
Lihat Zainal Abidin, loc. cit., h. 173- 175
absolut; (d) kebenaran hakiki dan mutlak dalam filsafat pendidikan Islam hanya
bersumber dari ajaran agama Islam; (e) pemikiran filsafat Islam merupakan
gabungan antara filsafat dan tasawuf, yaitu mengembangkan potensi intelektual
dan potensi bathiniah umat Islam. Sehingga pendidikan Islam diupayakan
mengintegrasikan kekuatan akal/nalar diskursif, pengetahuan tentang pengalaman
spiritual (sufisme/mistik), dan kebijakan abadi.

Pemakalah menyimpulkan bahwa konstruksi pemikiran perenialisme Barat ke


dalam filsafat pendidikan Islam memiliki persamaan secara konsep dasar dan
memiliki perbedaan dalam praktek pelaksanaan pendidikannya, hal ini dapat
dilihat mulai dari tujuan, pandangan mengenai peserta didik, kurikulum, hingga
ke pelaksanaan pembelajarannya. Dalam filsafat pendidikan Islam, semua konsep
tersebut mengacu pada kebenaran hakiki dan absolut yang bersumber dari ajaran
Al-Qur’an dan Hadis.

Kesimpulan Dari hasil pembahasan, maka disimpulkan bahwa pada hakikatnya


perenialisme merupakan suatu aliran filsafat yang berpegang pada nilai- nilai dan
norma- norma yang bersumber dari pengetahuan mistis ataupun ajaran agama
yang bersifat mutlak, dan abadi atau kekal. Dalam sejarah perkembangan
perenialisme Barat, filsafat perenialisme ini didasari oleh pemikiran Plato,
Aritoteles dan Thomas Aquinas. Sedangkan dalam filsafat Islam diprakarsai oleh
Suhrawardi, dan juga tidak terlepas dari pengaruh filsafat Jalaluddin Rumi dan
Ibnu Araby, kemudian dikembangkan oleh filosof lainnya.

Sedangkan pandangan filsafat pendidikan Islam mengenai pemikiran


perenialisme yaitu: (1) konsep kebenaran abadi/hakiki yang bersumber dari
Allah; (2) konsep potensi dasar (fitrah Islamiyah) peserta didik; (3) kurikulum
dan proses pembelajaran berorientasi untuk mengembangkan potensi dasar yang
dijiwai oleh nilai-nilai Ketuhanan yang absolut; (4) kebenaran hakiki dan mutlak
dalam filsafat pendidikan Islam hanya bersumber dari ajaran agama Islam; dan
(5) pemikiran filsafat Islam merupakan gabungan antara filsafat dan tasawuf,
yaitu mengembangkan potensi intelektual dan potensi bathiniah umat Islam

DAFTAR PUSTAKA

K. Ellis, Arthur,dkk, 1981, Introduction to The Foundations of Education,


(New Jersey: rentice Hall),
Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo, 2008), Pengantar Pendidikan,
(Jakarta: PT Rineka Cipta,)
Mudyahardjo, Redja , 2004, Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar,
(Bandung: Remaja Rosdakarya)
Drs. Zuhairini, dkk, 2008 filsafat pendidikan islam, (jakarta: Bumi
Aksara),
Mudyahardjo, Redjo. 2002. Pengantar Pendidikan. (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada),
Dr. Abidin, Zainal . 2011 Pengantar Filsafat Barat, (Jakarta: Rajawali
Pers) 2011,
Perenialisme, Jurnal Nizham: Jurnal Studi Keislaman Vol. III (2) 159-178
http://blog.uin-malang.ac.id/fityanku/2020/10/10/filsafat-pendidikan/

Anda mungkin juga menyukai