Anda di halaman 1dari 28

ALIRAN PERENIALISME DAN ESSENSIALISME

SERTA PANDANGANNYA DALAM DUNIA PENDIDIKAN

Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah


“Filsafat Pendidikan Islam”

Dosen Pengampu:
Dr. H.M. Yunus Abu Bakar, M.A

Disusun Oleh:

MOCHAMAD FATHONI
NIM. F52319332

PASCA SARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN AMPEL SURABAYA
TAHUN 2020

i
DAFTAR ISI

COVER.........................................................................................................................i
DAFTAR ISI.................................................................................................................ii
KATA PENGANTAR..................................................................................................iii
BAB I............................................................................................................................1
PENDAHULUAN........................................................................................................1
A. Latar Belakang Masalah......................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.................................................................................................2
BAB II...........................................................................................................................3
PEMBAHASAN...........................................................................................................3
A. Aliran Perenialisme.............................................................................................3
B. Aliran Essensialisme...........................................................................................8
C. Pandangan Aliran Perenialisme dan Essensialisme dalam Dunia Pendidikan....12
D. Analisa Pemikiran Perenialisme dan Essensialisme Dalam Konteks -
Pendidikan di Indonesia......................................................................................22
BAB III.........................................................................................................................25
PENUTUP.....................................................................................................................25
A. Kesimpulan.........................................................................................................25
B. Saran....................................................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................27

ii
KATA PENGANTAR

Alhamdulilllah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan taufiq-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
ini. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, yang telah
menginspirasi kita kepada dunia ilmu pengetahuan sampai seperti sekarang ini.
Penulis menyampaikan terimakasih dan penghormatan yang setinggi-tingginya
kepada dosen pengampu mata kuliah filsafat pendidikan Islam bapak Dr. H.M. Yunus
Abu Bakar M.Ag yang telah memberikan kesempatan dan membimbing penulis dalam
menempuh study, khususnya pada mata kuliah ini. Sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Kritik dan
saran konstruktif penulis harapkan untuk kesempurnaan penulisan makalah ini. Dan
penulis berharap dapat memberikan sedikit kontribusi dalam khasanah ilmu
pengetahuan.

Surabaya, Maret 2020

Penulis

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Pemikiran (filsafat) pendidikan Islam tidak bisa juga dilepaskan dari alur
pemikiran yang dikembangkan oleh para pemikirnya. Selama ini pemikiran filsafat
pendidikan pada umumnya dikategorikan ke dalam dua kelompok (aliran), yaitu :
pertama, aliran filsafat kritis dalam pendidikan atau masa pemikiran yang bersifat
maju atau progresif dalam pemikiran, dan yang kedua, aliran atau mazhab pemikiran
filsafat pendidikan yang bersifat tradisional. Ukuran maju atau progresif dan
tradisional biasanya dilihat dari sejauh mana peranan pendidikan dan anak didik
keseluruhan upaya pendidikan. Konsep pendidikan bersifat tradisional bila
menekankan peranan pendidik dan hal-hal di luar anak didik. Dalam alam pendidikan
tradisional anak didik seolah-olah dijadikan obyek pasif yang perlu disesuaikan
terhadap hal-hal yang berada di luar dirinya. Sebaliknya suatu konsep pendidikan
bersifat maju atau progresif apabila ia menempatkan anak didik itu sendiri. Kedua
konsep tersebut terus mempertahankan diri dan berkembang dengan keunggulan dan
kelemahan masing-masing.
Dalam pemikiran pendidikan Islam juga dikelompokkan ke dalam dua alur
pemikiran dalam menjawab persoalan pendidikan, sebagaimana temuan penelitian
Abdullah yaitu : pertama, kelompok yang berusaha mengangkat konsep pendidikan
Islam dari al-Qur’an dan al-Hadits saja, sehingga konsep filsafatnya hanya berasal
dari kedua sumber ajaran Islam tersebut ; dan kedua, kelompok yang menghendaki
adanya keterbukaan terhadap pandangan hidup non Islami dan berusaha meminjam
serta memasukkan konsep pemikirannya ke dalam filsafat pendidikan Islam.1
Bertolak dari pandangan diatas, teori postmodern menjadi salah satu landasan
filosofis dalam pengembangan ilmu pendidikan Islam, dengan melakukan modifikasi
konsep yang tidak begitu saja mengadopsi pemikiran postmodernis, justru ia
melakukan kontekstualisasi dengan ajaran Islam. Oleh karena itu perkembangan
1
Abdurrahman Saleh Abdullah, Education Theory A Quranic Out-look (Makah al- Mukarramah: Umm al-
Qura University, 1982), 35-36.
4
pemikiran dalam pendidikan dapat dipetakan sehingga menjadi tipologi-tipologi
pemikiran. Di Amerika Serikat berkembang aliran-aliran pemikiran (filsafat)
pendidikan, yang dapat dipetakan kedalam dua kelompok, yaitu tardisional dan
kontemporer. Sedangkan yang termasuk dalam kedalam lompok kontemporer adalah
progresivism, Rekonstructionism, dan Existentialism. Sedangkan aliran Perenialisme,
Essensialisme masuk kepada aliran tradisional.
Oleh karena itu wilayah kajian pemikiran (filsafat) pendidikan dapat lihat dari
berbagai dimensi, Buchari melihat dua dimensi, yaitu dimensi lingkungan

pendidikan, dan dimensi jenis permasalahan pendidikan. Dan dapat ditambahkan


dengan dimensi waktu, dan dimensi ruang geografis.2
Dalam makalah ini akan l e b i h mengkhususkan pembahasan tentang aliran
filsafat tradisional yaitu Perenialisme dan Essensialisme serta bagaimana pandangan
aliran filsafat tersebut dalam dunia pendidikan.

B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah:


1. Bagaimana aliran perenialisme?
2. Bagaimana aliran essensialisme?
3. Bagaimana pandangan aliran perenialisme dan essensialisme dalam dunia
pendidikan?

C. Tujuan Penulisan

Berikut ini adalah tujuan penulisan makalah ini.


1. Untuk memahami aliran perenialisme.
2. Untuk memahami aliran essensialisme.
3. Untuk memahami pandangan aliran perenialisme dan essensialisme dalam dunia
pendidikan.

2
M. Soedomo, Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dalam Pembangunan Nasional
(Malang : IKIP, 1990), 21.
5
BAB II
PEMBAHASAN

A. Aliran Perenialisme
1. Pengertian Perenialisme
Istilah Perenialisme dapat diketemukan dalam Oxford Advanced Learner
Dictionary of Current English, dimaknai sebagai “lasting for every long time” yang
dalam bahasa Indonesia kira- kira bermakna „keabadian‟ atau „abadi‟ (kekal).3
Filsafat Perenialisme berarti filsafat yang mengagungkan nilai-nilai atau norma
yang dianggap mempunyai sifat kekal atau abadi oleh masyarakat tertentu atau oleh
umat manusia. Nilai atau norma yang bersifat abadi itu dapat dijumpai dari
sistem kepercayaan atau berasal dari dogmatika agama. Kata Perenialisme
berasal dari kata perennial yang berarti keabadian, atau continuing throught the whole
years atau lasting for very long time, atau abadi, kekal, dan Baqa’ berarti tidak ada
akhirnya. Esensi filsafat perenial berpengang pada norma-norma atau nilai-nilai yang
diyakini bersifat abadi. Perenialisme berarti segala sesuatu yang ada sepanjang sejarah,
karena aliran Perenialisme ingin kembali kepada nilai-nilai masa lalu dengan maksud
mengembalikan keyakinan akan nilai-nilai asasi manusia masa silam untuk menghadapi
problematika kehidupan manusia masa sekarang, bahkan sampai kapanpun dan di
manapun.4
Menurut AK Coomaraswamy, Perenialisme dimaksudkan sebagai pengetahuan yang
selalu ada dan akan selalu ada, yang bersifat universal. „Ada‟ dalam pengertian di antara
orang-orang yang berbeda ruang dan waktu, maupun yang berkaitan dengan prinsip-prinsip
universal. Di samping itu, pengetahuan yang diperolah intelek ini terdapat dalam jantung
semua agama-agama dan tradisi. Menariknya, filsafat Perenialisme populer dengan banyak
intelektual terutama yang peduli terhadap studi agama-agama dan filsafat. Sehingga banyak
kontribusi pemikiran tentang filsafat Perenialisme.5
Perenialisme memandang bahwa akibat kehidupan zaman modern telah
3
AS. Hornby, Oxford Advanced Learner Dictionary of Current English (USA: Oxford University Press,
1987), 1080.
4
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para
Tokohnya (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), 21.
5
Ibid., 22.
6
menimbulkan pelbagai krisis di segala bidang kehidupan manusia. Untuk mengatasi
krisis tersebut, Perenialisme memberikan jalan keluar, yakni kembali kepada
kebudayaan pada masa lampau (regressive road to culture). Perenialisme memandang
penting pendidikan dalam proses mengembalikan keadaan manusia zaman modern ini
kepada kebudayaan masa lampau yang dianggap cukup ideal dan teruji
ketangguhannya. Sikap kembali kepada masa lampau bukan berarti nostalgia, tetapi
berupa sikap yang membanggakan kesuksesan dan memulihkan kepercayaan pada
nilai-nilai asasi abad silam yang juga diperlukan dalam kehidupan modern.6
Kemunculan filsafat Perenialisme secara dini sebenarnya bisa diruntut dari gaya
pemikiran Plato, meskipun tokoh ini lebih dikenal sebagai Bapak filsafat Idealisme
Klasik. Hal ini dilihat dari konstruksi pemikiran Plato yang mengedepankan konsep
kebahagiaan abadi yang dapat diperoleh manusia setelah mengenal penciptanya. Di
samping Plato, pengaruh Aristoteles juga nampak dalam bingkai pemikiran filsafat
Perenialisme, terutama dalam pandanganya tentang kemampuan kerohanian manusia
berupa emosi dan kognisi manusia yang dianggap sebagai potensi laten yang bersifat
kekal. Bagitu juga dalam konstruksi pemikiran Thomas Aquinas yang banyak
mengitrodusir konsep keabadian dalam mind set (pemikiran) manusia dengan ajaran
agama Katholik yang dianggap sebagai sumber pemikiran yang bersifat abadi.
2. Tokoh-tokoh Perenialisme
Filsafat Perenialisme dalam dunia pendidikan banyak dipengaruhi oleh beberapa
pemikiran besar para filosof klasik dan pertengahan.
a . Plato ( 427-347 SM), yang menganggap ilmu pengetahuan dan nilai sebagai
menifestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal, sehingga hanya ide dan
norma yang bisa menciptakan ketertiban sosial, termasuk dalam dunia pendidikan.
Menurut Plato, manusia secara kodrati memiliki tiga potensi yaitu nafsu, kemauan
dan akal. Tiga potensi ini adalah pondasi terbentuknya kepribadian dan watak
manusia, dan ketiganya dapat ditumbuhkan melalui jalur pendidikan, sehingga
ketiganya berjalan secara seimbang dan harmonis.7 Pendidikan harus berorientasi
pada potensi psikologis masyarakat, sehingga dapat mewujudkan pemenuhan kelas-
6
Zuhairini, dkk, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), 28.
7
Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Bina Aksara, 1991), 76.
7
kelas sosial dalam masyarakat.
b . Aristoteles (483-322 SM), yang berpendapat bahwa orientasi ditujukan kepada
kebahagiaan, melalui pengembangan kemampuan- kemampuan kerohanian, seperti
emosi, kognisi serta jasmaniyah manusia.
c . Thomas Aquinas (1225-1274), yang menyatakan bahwa tujuan pendidikan adalah
untuk merealisasikan kapasitas dalam setiap individu manusia sehingga menjadi
aktualitas. Hasil pendidikan yang dikehendaki filsafat Perenialisme adalah manusia
yang mampu mengenal dan mengembangkan karya-karya tokoh-tokoh besar pada
zaman lampau, yang bisa menjadi landasan disiplin mental. Sadangkan tugas
pendidik adalah memersiapkan peserta didik kearah kematangan intelektual, hingga
dapat memperoleh kebahagiaan demi kebaikan hidupnya sendiri serta mempertinggi
kemampuanya dalam pendayagunaan akalnya.8 Secara praktis dalam filsafat
Perenialisme pendidikan diarahkan pada upaya pengembangan intelektual peserta
didik melalui pemberian pengetahuan yang bersifat abadi, universal, dan absolut.9
Filsafat Perenialisme menekankan pentingnya menjaga nilai-nilai masa lalu tanpa
meninggalkan trend yang berkembang pada masa kini, karena selalu ada keterkaitan
antara masa lalu dengan masa sekarang.10 Pelestarian tradisi yang dianggap suci harus
diperhatikan oleh masyarakat modern, hal ini disebabkan nilai-nilai tradisi masa lalu
sudah sangat teruji oleh perjalanan sejarah umat manusia. Intinya filsafat Perenialisme
sesungguhnya sangat menghargai warisan nilai-nilai yang dianggap telah mapan pada
masa lampau dan menganggap bahwa nilai-nilai masa lalu tetap kompatibel dengan
kehidupan modernisme. Dalam konteks ini pendidikan harus didesain tanpa harus
meninggalkan tradisi masa lampau dan tetap menjaganya sebagai warisan luhur yang
bersifat abadi.
B. Aliran Essensialisme
1. Pengertian Essensialisme
Kata esensialime tidak umum digunakan oleh para filosof. Kata ini hanya
digunakan dalam istilah filsafat pendidikan. Salah satu buku yang ditulis oleh

8
Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, 25.
9
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Logos, 1999), 25.
10
Hadari Nawawi, Pendidikan Dalam Islam (Surabaya: Al-Ikhlash, 1993), 78.
8
Frederck Mayer yang berjudul “essensialim” merupakan istilah yang diperdebatkan
oleh para filosuf . Menurut Theodore Brameld, Kata esensialsm hanya digunakan
dalam filsafat pendidikan.11
Esensialisme adalah aliran filsafat pendidikan yang merupakan kombinasi
filsafat idealisme dan realisme. Dua aliran ini bertemu sebagai pendukung
esensialisme, akan tetapi tidak lebur menjadi satu dan tidak melepaskan sifatnya
yang utama pada dirinya masing-masing Aliran ini mendasarkan pada nilai-
nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban umat manusia, di samping
mendasarkan pada lingkungan sosial.
Pada dasarnya di dalam aliran esensialisme terdapat friksi-friksi. Friksi-
friksi tersebut diakibatkan oleh perbedaan filsafat yang dianut. Mereka berbeda
pandangan dalam melihat alam semesta dan nilai-nilai pendidikan. Akan tetapi,
mereka memiliki persamaan dalam empat prinsip pokok. Keempat hal yang
dimaksud adalah pertama. Belajar. Mereka sepakat bahwa belajar adalah
melibatkan kerja dan memaksa. Kedua, inisiatif dalam pendidikan berada pada
guru.Ketiga, Pusat proses pendidikan terletak mata pelajaran yang disesuaikan
dengan kondisi lingkungan social.Keempat, Sekolah harus melestarikan metode
disiplin tradisional yaitu mengajarkan konsep-konsep dasar, meskipun konsep itu
harus disesuaikan dengan tingkat intelektual dan psikologi anak.
Pada dasarnya, filsafat pendidikan esensialisme bertitik tolak dari kebenaran
yang dianggap telah terbukti selama berabad-abad lamanya. Jika dilihat dari segi
proses perkembangannya, esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat
idealisme dan realisme. Aliran tersebut akan tampak lebih mantap dan kaya akan
ide-ide, apabila hanya mengambil salah satu dari aliran atau posisi sepihak.
Pertemuan dua aliran tersebut bersifat elektik, yakni keduanya berposisi sebagai
pendukung, tidak ada yang melebur menjadi satu atau tidak melepaskan identitas dan
ciri masing- masing.12
Esensialisme muncul pada zaman Renaissans, dengan ciri-ciri utamanya

11
Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Perspectiv (Holt, Rinehart and Winston :
Toronto : London, 1955), 206.
12
Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan (Jakarta: Prenada Media Group As’adi, 2015), 6.
9
yang berbeda dengan progressivisme. Perbedaan ini terutama dalam
memberikan dasar berpijak mengenai pendidikan yang penuh fleksibelitas, di
mana serba terbuka untuk perubahan, toleran dan tidak ada keterikatan dengan
doktrin tertentu. Bagi esensialisme, pendidikan yang berpijak pada dasar
pandangan itu mudah goyah dan kurang terarah. Karena itu esensialisme
memandang bahwa pendidikan harus berpijak pada nilai-nilai yang memiliki
kejelasan dan tahan lama, sehingga memberikan kestabilan dan arah yang
jelas13
2. Tokoh-tokoh Essensialisme
Esensialisme didasari atas pandangan humanisme yang merupakan
reaksi terhadap hidup yang mengarah pada keduniawian, serba ilmiah dan
materialistik. Selain itu juga diwarnai. oleh pandangan-pandangan dari paham
penganut aliran idealisme dan realisme. Imam Barnadib menyebutkan beberapa
tokoh utama yang berperan dalam penyebaran aliran esensialisme, yaitu:14
1) Desiderius Erasmus, humanis Belanda yang hidup pada akhir abad 15 dan
permulaan abad 16, yang merupakan tokoh pertama yang menolak
pandangan hidup yang berpijak pada dunia lain. Erasmus berusaha agar
kurikulum sekolah bersifat humanistic dan bersifat internasional, sehingga
bisa mencakup lapisan menengah dan kaum aristokrat.
2) Johann Amos Comenius yang hidup diseputar tahun 1592-1670, adalah
seorang yang memiliki pandangan realis dan dogmatic. Comenius
berpendapat bahwa pendidikan mempunyai peranan membentuk anak
sesuai dengan kehendak Tuhan, karena pada hakikatnya dunia adalah dinamis
dan bertujuan.
3) John Locke, tokoh dari Inggris yang hidup pada tahun 1632-1704 sebagai
pemikir dunia berpendapat bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat
dengan situasi dan kondisi. Locke mempunyai sekolah kerja untuk anak-
anak miskin.
13
Joe Park, Selected Readings in the Philosophy of Education (New York, Mackn Publishing Co, Inc.
1974), 84.
14
Imam Barnadib, FlIsafat Pendidikan, Cet. IX (Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP IKIP,tt), 38-
40.
10
4) Johann Henrich Pestalozzi, sebagai seorang tokoh yang berpandangan
naturalistis yang hidup pada tahun 1746 -1827. Pestalozzi mempunyai
kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada manusia, sehingga
pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan wajarnya. Selain itu ia
mempunyai keyakinan bahwa manusia juga mempunyai hubungan
transendental langsung dengan Tuhan.
5) Johann Friederich Frobel (1782-1852) sebagai tokoh yang berpandangan
kosmis-sintetis dengan keyakinannya bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan Tuhan yang merupakan bagian dari alam ini, sehingga manusia tunduk
dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum alam. Terhadap pendidikan
Frobel memandang anak sebagai makhluk yang berekspresi kreatif, yang
dalam tingkah lakunya akan nampak adanya kualitas metafisis. Karenanya
tugas pendidikan adalah memimpin anak didik ke arah kesadaran diri
sendiri yang murni, selaras dengan fitrah kejadiannya.
6) Johann Friederich Herbert yang hidup pada tahun 1776-1841, sebagai
salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis, Herbert
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa seseorang
dengan kebajikan dari yang Mutlak dalam arti penyesuaian dengan hukum-
hukum kesusilaan dan inilah yang disebut proses pencapaian tujuan
pendidikan oleh Herbert sebagai 'pengajaran yang mendidik.
7) William T. Harris, tokoh dari Amerika Serikat hidup pada tahun 1835- 1909.
Harris yang pandangannya dipengaruhi oleh Hegel berusaha menerapkan
idealisme obyektif pada pendidika n umum. Tugaspendidika
n b a g i n y a a d a l a h m e n g i z i n k a n terbukanya realita berdasarkan
susunan yang pasti, berdasarkan kesatuan spiritual. Kedudukan sekolah
adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun temurun
dan menyesuaikan penuntun penyesuaian diri kepada masya- rakat.
Tujuan umum aliran esensialisme adalah membentuk pribadi bahagia di
dunia dan akhirat. Isi pendidikannya mencakup ilmu pengetahuan, kesenian dan
segala hal yang mampu menggerakkan kehendak manusia. Kurikulum sekolah

11
bagi esensialisme merupakan semacam miniatur dunia yang bisa dijadikan
sebagai ukuran kenyataan, kebenaran dan kegunaan. Maka dalam sejarah
per- kembangannya, kurikulum esensialisme menerapkan berbagai pola
kurikulum, seperti pola idealisme, realisme dan sebagainya. 15 Sehingga peranan
sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan bisa berfungsi sesuai dengan
prinsip-prinsip dan kenyataan social yang ada di masyarakat.
C. Pandangan Aliran Perenialisme dan Essensialisme dalam dunia pendidikan
1. Pandangan Aliran Perenialisme dalam Dunia Pendidikan
Filsafat perenialisme dalam pendidikan lahir pada abad ke-20. Perenialisme
lahir dari suatu reaksi terhadap pendidikan progresif. Perenialisme menentang
pandangan progresivisme yang menekankan perubahan dan sesuatu yang baru.
Perenialisme memandang situasi dunia dewasa ini penuh kekacauan, ketidakpastian,
terutama dalam kehidupan moral, intelektual, dan sosio-kultural. Solusi yang
ditawarkan kaum perenialis adalah dengan jalan mundur ke belakang dengan
menggunakan kembali nilai-nilai atau prinsip-prinsip umum yang telah menjadi
pandangan hidup yang kukuh, kuat pada zaman kuno dan abad pertengahan.
Peradaban-kuno (Yunani Purba) dan abad pertengahan dianggap sebagai dasar
budaya bangsa-bangsa di dunia dari masa ke masa dan dari abad ke abad.
Oleh karena itu, perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali
atau proses mengembalikan keadaan manusia sekarang seperti dalam kebudayaan
ideal yang dimaksud, education as cultural regression. Perenialisme tidak melihat
jalan yang meyakinkan selain kembali kepada prinsip-prinsip yang telah sedemikian
membentuk sikap kebiasaan, bahkan kepribadian manusia selain kebudayaan
dahulu dan kebudayaan abad pertengahan.
Perenialisme tidak memiliki kepercayaan diri bahwa zaman ini tidak akan
berubah menjadi baik jika tidak kembali pada nilai-nilai budaya lama yang
dianggapnya ideal dan sudah mapan.16 Perenialisme percaya bahwa seseorang harus
megajarkan hal-hal yang dianggap menjadi kemanfaatan abadi bagi semua orang di

15
M. Noorsyam, Pengantar Filsafat Pendidikan (Malang: IKIP Malang, 1978), 34-35
16
Rulam Ahmadi, Pengantar Pendidikan Asas & Filsafat Pendidikan.(Yogyakarta: Ar-Ruz Media, 2014),
100-101.
12
mana-mana. Mereka percaya bahwa topic yang paling penting adalah
mengembangkan seseorang. Karena detail fakta berubah terus-menerus, ini tidak
dapat menjadi yang paling penting. Oleh karena itu, seseorang harus mengajarkan
prinsip- prinsip bukan fakta. Karena orang adalah manusia, kita harus mengajarkan
pertama tentang manusia, bukan mesin atau teknik. Jika semuaya demikian, seorang
harus mengajarkan topik liberal, bukan topic-topik vokasiona.17
Tentang pendidikan kaum Perenialisme memandang education as cultural
regression : pendidikan sebagai jalan kembali, atau proses mengembalikan keadaan
manusia sekarang seperti dalam kebudayaan masa lampau yang dianggap sebagai
kebudayaan ideal. Tugas pendidikan adalah memberikan pengetahuan tentang nilai-
nilai kebenaran yang pasti, absolut, dan abadi yang terdapat dalam kebudayaan masa lampau
yang dipandang sebagai kebudayaan ideal tersebut.Sejalan dengan hal di atas,
penganut Perenialisme percaya bahwa prinsip- prinsip pendidikan juga bersifat
universal dan abadi.
Robert M. Hutchins mengemukakan “Pendidikan mengimplikasikan
pengajaran. Pengajaran mengimplikasikan pengetahuan. Pengetahuan adalah kebenaran.
Kebenaran di mana pun dan kapan pun adalah sama. Karena itu kapan pun dan di mana
pun pendidikan adalah sama”. Selain itu pendidikan dipandangsebagai suatu
persiapan untuk hidup, bukan hidup itu sendiri.18
Dalam hal pendidikan, perenialisme memandang bahwa tujuan utama
pendidikan adalah untuk membantu siswa dalam memperoleh dan merealisasikan
kebenaran abadi. Aliran ini menilai bahwa kebenaran itu bersifat universal dan
konstan. Maka jalan untuk mencapainya adalah melatih intelek dandisiplin mental.
Tujuan pendidikan tersebut terurai dalam format kurikulum yang berpusat pada
materi (contend based, subject- centered) dan mengutamakan disiplin ilmu sastra,
matematika, bahasa, humaniora, sejarah dan lain-lain.19
Kelompok perenialisme misalnya, menyebebutkan pendidikan itu pada

17
Ibid.
18
Zuhairini. Filsafat pendidikan Islam, 27.
19
Abd. Rahman Assegaf, Filsafat pendidikan Islam, Cet. II ( Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2011),194-
195.
13
dasarnya meningkatkan kualitas manusia sebagai manusia dalam kerangka nilai-nilai
kebenaran yang universal, tidak terikat oleh ruang dan waktu. Dengan demikian
system pendidikan apapun dan di dalam masyarakat manapun mesti mengacu pada
nilai-nilai kebenaran universal. Sedemikian rupa anak didik dalam pendidikan
dibantu untuk menemukan dan menjalin nilai-nilai universal ini dalam kehidupan
mereka.20
Perenialisme memandang pendidikan sebagai jalan kembali atau proses
pengembalian keadaan sekarang. Perenialisme memberikan sumbangan yang
berpengaruh, baik berupa teori maupun praktik bagi kebudayaan dan pendidikan
zaman sekarang. Maka, dapat dikatakan bahwa perenialisme memandang
pendidikan sebagai jalan kembali, yaitu sebagai suatu proses mengembalikan
kebudayaan sekarang (zaman modern atau modernistik) ini terutama pendidikan
zaman sekarang ini perlu dikembalikan kebudayaan pada masa lampau.21
Perenialisme merupakan aliran filsafat yang medasarkan pada kesatuan,
bukan mencerai-beraikan; menemukan persamaan-persamaan, bukan membanding-
bandingkan; serta memahami isi, bukan melihat luar atas berbagai aliran dan
pemikiran. Maka dari itu, dapat dikatakan bahwa perenialisme merupakan filsafat
yang susunannya mempunyai kesatuan. Susunan tersebut merupakan hasil pikiran
yang memberikan kemungkinan bagi seseorang untuk bersikap tegas dan
lurus. Oleh karena itulah, perenialisme berpendapat bahwa mencari dan menemukan
arah tujuan yang jelas merupakan tugas yang utama dari filsafat, khususnya filsafat
pendidikan.22
Perenialisme sebagai sebuah aliran dalam filsafat pendidikan yang mendasari
dirinya pada keyakinan bahwa pengetahuan sejatinya yang didapat melalui ruang
dan waktu mestilalah membentuk dasar-dasar pendidikan seseorang. Oleh karena itu
tugas pendidikan itu adalah mengajar, termasuk mengajar pengetahuan yang mana
pengetahuan itu termasuk kebenaran. Kebenaran itu sendiri dimana-mana sama,

20
George F. Knellr, Introduction to The Philosophy of Education (New York: Jhon Wiley & Sons, Inc,
1972), 43.
21
H.W.,Teguh Wangsa Gandhi, Filsafat Pendidikan: Mazhab- Mazhab Filsafat Pendidikan (Yogjakarta:
Ar-Ruz Media, 2013), 165.
22
Ibid.
14
sedemikian rupa menjadikan pendidikan itu dimana pun mestilah sama, sedangkan
anak didik sebagai individu dipandang oleh kelompok ini adalah sebagai makhluk
rasional dan spiritual. Secara implisit tentunya juga anak didik adalah makhluk
moral dan etik.23
Pendidikan menurut aliran ini bukanlah semacam imitasi kehidupan, tetapi
tidak lain adalah suatu upaya mempersiapkan kehidupan. Sekolah menurut
kelompok ini tidak akan pernah dapat menjadi situasi kehidupan yang ril. Anak
dalam hal ini menyusun rancangan dimana ia belajar dengan prestasi-prestasi
warisan budaya masa lalu. Tugasnya kemudian adalah bagaimana merealisasikan
nilai- nilai yang diwariskan kepadanya dan jiika memunginkan meningkatkan dan
menambah prestasi-prestasi itu melalui usaha sendiri.24
Prinsip mendasar pendidikan bagi aliran perennial ini adalah membantu
subjek-subjek didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena
memang kebenarannya sifat universal dan tetap. Kebenarann - kebenaran seperti ini
hanya dapat diperoleh subjek-subjek didik melalui latihan intelektual yang dapat
menjadikan pikirannya teratur dan tersistematisasi sedemikian rupa. Hal ini semakin
penting terutama jika dikaitkan dengan persoalan pengembangan spiritual manusia.25
Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan
tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran
selamanya memiliki kesamaan. Oleh karena itu pula maka penyelengaraan
pendidikan pun di mana-mana mestilah sama. Pendidikan mestilah mencari pola
agar subjek-subjek didik dapat menyesuaikan diri bukan pada dunia saja, tapi
hendaklah pada hakikat- hakikat kebenaran. Penyesuaian diri pada kebenaran
merupakan tujuan belajar itu sendiri. Oleh karena itu, para Perenialisme
memandang, bahwa tuntutan tertinggi dalam belajar adalah latihan dan disiplin
mental. Para Perenialis percaya, bahwa pemikiran subek-subjek didik akan menjadi
nyata melalui pelatihan-pelatihan intelektual. Cara mudah untuk mengajar subjek-
subjek didik adalah dengan cara menumbuhkan keinginan untuk belajar. Realisasi

23
M., Amril, Etika Islam Telaah Pemikiran Moral Raghib al- Isfahani (Pekanbaru: LSFK2P, 2002), 26-27.
24
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam. (Pekanbaru: LSFK2P, 2005), 180.
25
Ibid.
15
diri sangat tergantung pada disiplin diri, sedangkan disiplin diri itu sendiri dapat
diraih melalui disiplin eksternal. Berdasarkan pemikiran ini, maka Perenialis sampai
suatu kesimpulan, bahwa belajar adalah upaya keras untuk memperoleh sesuatu
ilmu pengetahuan melalui disiplin tinggi dalam latihan pengembangan prinsip-
prinsip rasional.26
Keinginan untuk menjadi diri sendiri itu ada pada setiap manusia. Maka
setiap anak yang berada dalam ikatan pendidikan dengan pendidikannya,adalah
mereka yang pada dasarnya ingin menjadi “diri sendiri”. Anak ingin menjadi
individu yang bebas, dan untuk itu ia mempertahankan dirinya dengan
sekelilingnya. Semangat kehidupan itu ada, namun merasa tak mampu bahkan pada
saat dilahirkan sama sekali tidak berdaya.27
Jadi epistemology dari perenialisme, harus memiliki pengetahuan tentang
pengertian dari kebenaran yang sesuai dengan realita hakiki, yang dibuktikan
dengan kebenaran yang ada pada diri sendiri dengan menggunakan tenaga pada
logika melalui hukum berpikir metode deduksi, yang merupakan metode filsafat
yang menghasilkan kebenaran hakiki.28 Menurut perenialisme penguasaan
pengetahuan mengenai prinsip-prinsip pertama adalah modal bagi seseorang untuk
mengembangkan pikiran dan kecerdasan. Dengan pengetahuan, bahan
penerangan yang cukup, orang akan mampu mengenal faktor-faktor dengan
pertautannya masing-masing memahami problema yang perlu diselesaikan dan
berusaha untuk menggadakan penyelesaian masalahnya.
Makna hakiki dari belajar, menurut aliran ini, adalah belajar untuk berfikir.
Aliran ini meyakini bahwa dengan cara latihan berfikir, subjek didik akan memiliki
senjata ampuh dalam menghadapi berbagai rintangan yang akan menurunkan
martabat kemanusiaannya, seperti kebodohan, kebingungan, dan keragu-raguan.
Tugas seorang subjek didik menurut aliran ini adalah mempelajari berbagai karya
dalam berbagai literatur filsafat, sejarah, dan sains, sehingga dengan demikian ia

26
Ibid.
27
Uyoh Sadulloh, Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta, 2010), 142-143.
28
Muhammad Nur Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila (Surabaya: Usaha Nasional,
1986), 297.
16
berkenalan dengan berbagai prestasi di masa lalu menuju pembentukan pemikiran
yang akan mengisi kehidupannya dalam membangun prestaasi-prestasinya pula. Para
subjek didik dalam hal ini mesti meraih subjek-subjek dasar tertentu yang akan
mengajarkan kepadanya hal-hal yang permanen tentang dunia. Subjek-subjek dasar
seperti bahasa, sejarah, matematika, pengetahuan alam, filsafat dan seni merupakan
hal penting yang sangat berguna bagi mereka dalam mengembangkan pemikirannya,
sehingga dengan demikian mereka pun memiliki kemampuan rasional yang kokoh
dalam menghadapi tentangan realitas kehidupannya.29
2. Pandangan Essensialisme dalam Dunia Pendidikan
Secara khusus, esensialisme adalah bentuk pendidikan vokasional yang
membatas materi pelajaran yang mempertimbangkan kebutuhan siswa untuk dapat
hidup yang produktif. Materi pelajaran tersebut bebas dari spekulasi dan perdebatan
serta bebas dari bias politik dan agama. Secara umum esensialisme adalah model
pendidikan transmisi yang bertujuan untuk membiasakan siswa hidup dalam
masyarakat masa kini.
Konsep dasar pendidikan esensialisme adalah bagaimana menyusun dan
menerapkan program-program esensialis di sekolah-sekolah. Tujuan utama dari
program-program teresebut di antaranya:
1) Sekolah-sekolah esensialis melatih dan mendidik subjek didik untuk
berkomunikasi dengan logis.
2) Sekolah-sekolah mengajarkan dan melatih anak-anak secara aktif tentang nilai-
nilai kedisiplinan, kerja keras dan rasa hormat kepeda pihak yang berwenang
atau orang yang memiliki otoritas.
3) Sekolah-sekolah memprogramkan pendidikan yang bersifat praktis dan memberi
anak-anak pengajaran yang mempersipkannya untuk hidup.
Berdasarkan konsep dasar tersebut, maka di antara tujuan pendidikan
esensialisme adalah :
1) Untuk meneruskan warisan budaya dan warisan sejarah melalui pengetahuan inti
yang terakumulasi dan telah bertahan dalam kurum waktu yang lama serta

29
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, 181-182.
17
merupakan suatu kehidupan yang telah teruji oleh waktu dan dikenal oleh
semua orang. Pengetahuan yang dimaksud adalah skill, sikap dan nilai-nilai
yang mamadai.
2) Untuk mempersiapkan manusia untuk hidup. Persiapan yang dimaksud adalah
bagaimana merancang sasaran mata pelajaran sedemikian rupa sehingga
hasilnya mampu mempersiapkan anak didik untuk menghadapi hidup di masa
yang akan datang. Dalam mempersipkan subjek didik tersebut, tanpaknya
sekolah hanya bertugas bagaimana merancang sasaran tujuan pembelajaran,
pelaksanaanya diperlukan adanya kerja sama dengan unsure-unsur luar sekolah.
Oleh karena itu, Kaum esensialis menolak pandangan konstruktivisme yang
berpandangan bahwa sekolah harus menjadi lembaga yang aktif untuk
melakukan perubahan social, apalagi harus bertanggungjawab terhadap seluruh
pendidikan generasi muda.30 Sadulloh,( 2007: 161)
Berdasarkan penjelasan di atas di pahami bahawa pada dasarnya tujuan
pendidikan esensialisme adalah transmisi kebudayaan untuk menentukan solidaritas
sosial dan kesejahteraan.
a. Kurikulum
Model kurikulum aliran esensialisme mengikuti model transmisi yang
menganggap fungsi pendidikan adalah untuk mentransmisi fakta , keterampilan dan
nilai kepada siswa agar siswa menguasai materi melalui teksbook, menguasai
keterampilan dasar (bicalistung) dan menguasai nilai kebudayaan tertentu yang
dibutuhkan dalam masyarakat serta mengaplikasikan pandangan-pandangan Seller
Meller.31
Kurikulum esensialisme adalah miniature dunia guru, administrator dan
pendukung-pendukungnya yang memandang siswa sebagai dunia realitas. Hal ini
tidak berarti, esensialisme hanya mendukung satu model kurikulum untuk semua
jenis sekolah. Beberapa model kurikulum esensialisme disusun pada waktu dan
tempat yang berbeda. Meskipun bervariasi, masih tetap terlihat dalam bingkai

30
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan (Alfabeta : Bandung, 2007), 161.
31
John P. Miller, dan Seller, Wayne, Curriculum Perspective and Practice, (Longman : New York dan
London, 1985), 5-6.
18
platform esensialisme.32
Pandangan Esensialisme tentang kurikulum memiliki kesamaan dengan
Perenialisme. Keduanya menghendaki kurikulum sekolah harus berpusat pada mata
pelajaran (Subject Mateer Centered). Di Sekolah Dasar misalnya, Ia menekankan
pada kemampuan dasar membaca, menulis dan berhitung. Sementara di Sekolah
Menengah, mata pelajaran diperluas dengan menambahkan matematika, sains,
humaniora, bahasa dan sastra. Penguasaan terhadap materi pelajaran tertentu seperti
seni dan ilmu sastra tidak penting karena pelajaran tersebut hanyalah pelengkap,
walaupun tetap perlu dipelajari. Sementara mata pelajaran yang paling esensi adalah
filsafat, matematika, Ilmu pengetahuan Alam, Sejarah, bahasa, seni dan sastra.
Mata pelajaran inilah yang dianggap perlu untuk menjalani kehidupan. Apabila
mata-mata pelajaran tersebut dipelajari dengan tepat oleh siswa, maka mereka akan
mampu mengembangkan potensi nalar sekaligus membuatnya sadar akan dunia fisik
di sekitarnya.33
Hal yang serupa dikemukakan oleh Imam Barnadib, bahwa aliran
Esensialisme menempatkan pembentukan kecerdasan dan pembentukan tingkah laku
yang intelegen bagi subjek didik sebagai urutan tertinggi. Untuk mencapai hal
tersebut, maka yang harus diajarakan kepada subjek didik adalah pengetahuan yang
subtantif atau pengetahun yang dapat menghantarkan subjek didik pada kemampuan
berpikir dan berimajinasi. Mata pelajaran yang dianggap relevan dengan
peningkatan kempuan berpikir dan berimajinasi adalah bahasa, sastra, seni,
matematika, ilmu pengetahuan alam, sejarah, geografi dan ilmu pengetahuan sosial.34
b. Belajar
Idealisme, sebagai filsafat hidup, memulai tinjauannya mengenai pribadi
individu dengan menitikberatkan pada aku. Menurut idealisme, bila seorang itu
belajar pada taraf permulaan adalah memahami akunya sendiri, terus bergerak keluar
untuk memahami dunia obyektif. Dari mikrokosmos menuju ke makrokosmos.
Pandangan Immanuel Kant, bahwa segala pengetahuan yang dicapai oleh manusia
32
Theodore Brameld, Philosophies of Education in Cultural Perspectiv, 247.
33
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan,162.
34
Imam Barnadib, Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif Beberapa Teori
Pendidikan (Ghalia Indonesia : Jakarta, 1996), 36-38.
19
melalui indera merperlukan unsur apriori, yang tidak didahului oleh pengalaman
lebih dahulu.
Bila orang berhadapan dengan benda-benda, tidak berarti bahwa mereka itu
sudah mempunyai bentuk, ruang dan ikatan waktu. Bentuk, ruang dan waktu sudah
ada pada budi manusia sebelum ada pengalaman atau pengamatan. Jadi, apriori
yang terarah bukanlah budi kepada benda, lelapi benda-benda itu yang terarah
kepada budi. Budi membentuk, mengatur dalam ruang dan waktu. Dengan
mengambil landasan pikir tersebut, belajar dapat didefinisikan sebagai jiwa yang
berkembang pada sendirinya sebagai substansi spiritual. Jiwa membina dan
menciptakan diri sendiri.
Seorang filosuf dan ahli sosiologi yang bernama Roose L. Finney
menerangkan tentang hakikat sosial dari hidup mental. Dikatakan bahwa mental
adalah keadaan rohani yang pasif, yang berarti bahwa manusia pada umumnya
menerima apa saja yang telah ditentukan dan diatur oleh alam sosial. Oleh karena
itu, belajar adalah menerima dan mengenal secara sungguh-sungguh nilai-nilai sosial
angkatan baru yang timbul untuk ditambah dan dikurangi dan diteruskan kepada
angkatan berikutnya. Dengan demikian pandangan-pandangan realisme
mencerminkan adanya dua jenis determinasi yaitu Determiuisme mutlak, yang
menunjukkan bahwa belajar adalah mengalami hal-hal yang tidak dapat dihalang-
halangi adanya. Ia harus harus ada, yang bersama-sama membentuk dunia ini.
Kedua, Determinisme terbatas yaitu gambaran tentang kurangnya sifat pasif
mengenai belajar. Berangkat dari dua bentuk determinasi di atas, maka dipahami
bahwa belajar itu ada yang bersifat mutlak dapat diketahui dan ada yang bersifat
terbatas jangkauan manusia untuk mengetahui.
c. Peran Guru dan Sekolah
Bagi kaum esensialis guru seharusnya aktif, bertanggungjawab, pengatur
ruangan, penyalur pengetahuan yang baik, penentu materi, metode, evalusi dan
bertanggungjawab terhadap seluruh wilayah pembelajaran Guru dianggap sebagai
seseorang yang menguasai lapangan subjek khusus dan merupakan model contoh

20
yang sangat baik untuk ditiru dan digugu.35 Memperhatikan pandangan
esensialisme di atas tentang peran guru, maka guru seharusnya terdidik. Secara
moral, ia merupakan orang yang dapat dipercaya. Secara teknis, ia harus memiliki
kemahiran dalam mengarahkan proses mengajar
Sementara peranan sekolah adalah memelihara dan menyampaikan warisan
budaya dan sejarah pada generasi pelajar dewasa ini melalui hikmat dan pengalaman
yang terakumulasi dan disiplin tradisional. Di sekolah tiap siswa belajar
pengetahuan, skill, dan sikap serta nilai yang diperlukan untuk menjadi manusia
sebagai anggota masyarakat. Belajar efektif di sekolah adalah proses belajar yang
keras dalam menanamkan fakta-fakta dengan penggunaan waktu secara relative
singkat, tidak ada tempat bagi pelajaran pilihan. Kurikulum dan lingkungan kelas
disusun oleh guru. Waktu, tenaga dan dana semuanya ditujukan untuk belajar
esensial.36
d. Kedudukan Siswa
Esensialisme malihat kedudukan siswa dalam pembelajaran adalah pasif,
tunduk, lemah secara kognitif, penerima informasi.37 Oleh karena itu, sekolah
bertanggungjawab atas pemberiian pengajaran yang logis atau dapat dipercaya.
Sekolah berkuasa untuk menuntut hasil belajar siswa. Siswa pergi ke sekolah untuk
belajar bukan untuk mengatur pelajaran.
3. Beberapa Persamaan dan Perbedaan Esensialisme dan Perenialisme
Di antara Persamaan esensialisme dengan perenialisme dapat dilihat sebagai
berikut:
1) keduanya memiliki tujuan umum dan tujuan khusus pendidikan.
2) Kurkulum ditentukan oleh orang dewasa.
3) Mengakui adanya suatu keharusan disiplin yang keras dari orang dewasa dalam
membawa anak didik untuk mencapai tujuan akhir.38

35
Diane Lapp et all, Teaching and Learning, Philosophical, Psycological, Curricular Applications, 1975.
39.
36
Ellis Athur K. et all, Introduction to the Fundantions of Education (Prentice- Hall Inc: Englewood
Cliffs, 1981), 88.
37
Diane Lapp et all, Teaching and Learning, Philosophical, Psycological, Curricular Applications, 39.
38
Sadulloh, Pengantar Filsafat Pendidikan, 15.
21
Sementara perbedaanya dapat disebutkan sebagai berikut :
1) Tidak mendukung secara penuh pendidikan intelektual.
2) Memungkinkan menyerap metode pendidikan modern yang dimunculkan oleh
progresivisme.
Perenialisme membesar-besarkan keberhasilan masa lalu sebagai sebuah
ekspresi abadi, sementara esensialisme justru menjadikan keberhasilan masa lalu itu
sebagai sumber pengetahuan untuk memecahkan masalah sekarang.39

D. Analisa Pemikiran Perenialisme dan Essensialisme Dalam Konteks Pendidikan di


Indonesia
1. Analisa Pemikiran Perenialisme
Pemahaman perenialisme dapat dikembangkan dalam praktek pendidikan di
Indonesia. Melihat keadaan saat ini yang semakin jauh dari nilai- nilai kebajikan akibat
pengaruh modernitas berupa perkembangan teknologi yang sangat pesat. Pelaksanaan
pendidikan yang menginternalisasikan nilai- nilai agama Islam dan nilai- nilai kebajikan
yang universal seyogyanya mampu memberi solusi terhadap permasalahan tersebut.
Dalam prakteknya, pemikiran perenialisme ini hampir sama dengan pengembalian
pendidikan budi pekerti dalam kurikulum pendidikan nasional berupa pendidikan
karakter yang dicanangkan pemerintah pada tahun 2010 yang kemudian diperkuat lagi
pada tahun 2017 ini. Maraknya kasus- kasus amoral sebagai bentuk dekadensi moral
mendorong untuk menengok ke belakang mengenai praktek pendidikan yang
menekankan aspek moral melalui mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan
Pendidikan Budi Pekerti.
Pandangan aliran perenialis tentang tujuan pendidikan yang ingin menghasilkan
peserta didik yang cerdas intelektual dan berpegang pada nilai-nilai kebenaran dan
kebajikan untuk kebahagiaan dunia dan surgawi. Menurut penulis, konsep tujuan
pendidikan nasional kita sudah sangat baik dan mewakili seluruh aspek pengembangan
peserta didik. Permasalahannya terletak pada usaha pencapaian tujuan tersebut, perlu
kerja keras, kerjasama, dan komitmen bersama untuk mewujudkannya.

39
George F. Kneller, Introduction to The Philosophy of Education (Universitas of California : Los Angel,
1971), 56-60.
22
Selanjutnya, pandangan filsafat pendidikan perenialisme mengenai kurikulum,
mulai pendidikan dasar hingga ke perguruan tinggi, nampaknya sebagian sedang
dijalankan, misalnya pemberian materi membaca, menulis dan berhitung pada sekolah
dasar, dan yang terpenting pembentukan karakter sejak usia dini danberlanjut hingga
usia remaja dan dewasa.
Kemudian, yang dapat diadopsi adalah kurikulum untuk usia 16 hingga 20 tahun
berupa penguasaan berbagai bahasa modern, ini bisa diterapkan di kurikulum Sekolah
Menengah Atas sederajat untuk pengembangan kemampuan berbahasa asing.
Kurikulum perguruan tinggi berdasarkan pandangan perenialis juga dapat
dipertimbangkan yaitu peningkatan kualitas penelitian mahasiswa, yaitu penelitian yang
berlandaskan filsafat.
Kemudian untuk pandangan perenialisme mengenai metode pembelajaran, saat ini
telah berkembang berbagai variasi model dan strategi pembelajaran. Metode diskusi
juga dapat divariasikan dengan metode atau strategi yang lebih efektif.
Sedangkan untuk unsur pendidik atau guru. Saat ini, pendidikan kita sangat
memperhatikan peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga
kependidikan, dengan mengadakan program pendidikan profesi guru dengan harapan
para guru dan tenaga kependidikan benar- benar kompeten dalam bidangnya.
Begitupun dengan unsur pendidikan yang lain, pandangan perenialisme beberapa
hal diterapkan dalam praktek pendidikan di Indonesia. Namun, kajian perenialisme
tentang pendidikan (khususnya pendidikan Islam) masih dapat dikembangkan melalui
kajian lebih lanjut dan mendalam melalui kegiatan penelitian.
Sedangkan pandangan perenialisme yang mempertahankan ajaran filsafat kuno
dan pertengahan, menurut penulis hal ini dapat diterapkan tetapi dengan tidak menolak
modernisme pemikiran yang semakin berkembang, termasuk perkembangan teknologi.
Akan tetapi, sesuai dengan kajian perenialisme dalam filsafat pendidikan Islam bahwa
ruh berupa nilai- nilai ajaran agama (Islam) dapat dijadikan pondasi yang kokoh dalam
menghadapi perkembangan ilmu pengetahun dan teknologi.
2. Analisa Pemikiran Essensialisme
Secara umum, Aliran Esensialisme dalam pendidikan merupakan pembelajaran
yang didasarkan pada nilai-nilai kebudayaan yang telah ada sejak awal peradaban
23
manusia. Esensialisme lebih melekat pada kebudayaan leluhur yang perlu dijaga
pelestariannya, sehingga pendidikan diharapkan mampu mengoper warisan budaya,
warisan sosial, membina hubungan bermasyarakat dan lebih baik untuk disalurkan
melalui pendidikan.
Menurut aliran essensialisme, Nilai-nilai yang terpandang sebagai warisan
budaya/sosial terbentuk secara berangsur-angsur melalui kerja keras dan bersusah payah
selama beratus-ratus tahun dan di dalamnya berakar gagasan-gagasan dan cita-cita
dalam keluhuran waktu.40 Artinya liran ini memandang mengenai nilai-nilai yang luhur
yang merupakan warisan dari budaya terdahulu, serta nilai-nilai tersebut harus
dipertahankan sebab telah teruji keluhuran/kebaikannya. Memang dalam kehidupan
nilai-nilai warisan budaya terdahulu tidak serta merta dihapus semua karena sudah tidak
relevan lagi dengan perkembangan zaman saat ini, namun ada nilai-nilai dari warisan
budaya yang harus dipertahankan sebab hal itu juga termasuk kebanggaan dalam
masyarakat tersebut dan menjadi identitas bagi suatu masyarakat, bahkan menjadi suatu
kearifan lokal. Hal tersebut didukung oleh aliran filsafat pendidikan essensialisme yang
beranggapan bahwa manusia perlu kembali kepada kebudayaan lama, hal ini karena
kebudayaan lama itu telah banyak membuktikan kebaikan-kebaikannya untuk
manusia .41 Jadi, filsafat pendidikan esensialisme ini menekankan bahwa pendidikan
perlu dibangun dengan nilai-nilai yang kukuh, tetap dan stabil. Dengan hal ini arus
globalisasi yang kuat diharapkan manusia indoenesia tidak kehilangan jati dirinya
sebagai manusia Indonesia yang benar-benar mencintai budayanya.

40
Redja Mudyaharjo,Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar Pendidikan pada
Umumnya dan Pendidikan di Indonesia (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2010), 160.

41
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT Rafika Aditama, 2011), 167.

24
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Konsep filsafat pendidikan perenialisme antara lain memiliki beberapa prinsip
diantaranya; Konsep pendidikan yang bersifat abadi, inti pendidikan haruslah
mengembangkan kekhususan manusia yang unik, yaitu kemampuan berfikir. Dalam
membahas tujuan belajar, pendidikan ditujukan untuk mengenalkan kebenaran abadi
dan universal pada siswa. Kebenaran abadi ini adalah fitrah yang menjadi bawaan
peserta didik sejak dilahirkannya. Baik fitrah ibadah/agama, fitrah ingin tahu/mencari
kebenaran, fitrah kasih sayang, dan fitrah akhlak. Dalam hal ini peran pendidik
sangatlah penting dimana sebagai pentransfer pengetahuan juga harus dapat
mempertahankan peserta didik untuk tetap pada fitrahnya. Bagi Perenialisme
pendidikan merupakan persiapan bagi kehidupan sebenarnya ketika peserta didik
beranjak dewasa. Sedang dalam pemilihan kurikulum menggunakan model lama yaitu
subject centered design. Metode yang digunakan adalah yang lebih banyak menekankan
pada proses berpikir dan pengolahan intelektual peserta didik.
Esensialisme merupakan aliran filsafat pendidikan yang coraknya didukung oleh
dua aliran filsafat lainnya yaitu idealisme dan realisme. Idealisme dan realisme tidak
menjadi satu kesatuan dalam mendukung aliran esensialismen, tetapi keduanya saling
mendukung sehingga menjadi salah satu aliran filsafat yang bercorak eklektik. Sebagai
salah satu aliran filsafat yang mendapat dukungan dari idealisme modern dan realisme
modern, tentu memiliki kelebihan dan keunggulan tersendiri. Pandangan ontology,
epistimologi dan aksiologi aliran esensialisme yang mempengaruhi pandangannya
tentang tujuan pendidikan, kurikulum, belajar, sekolah, peran guru dan kedudukan
siswa, dapat menjadi salah satu bahan acuan atau landasan berpikir untuk melakukan
pengembangan pendidikan/kurikulum di Indonesia.

25
B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna maka penulis
berharap pembaca dapat memberikan saran dan masukan yang membangun guna
perbaikan dalam menuliskan makalah di masa yang akan datang.

26
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Abdurrahman Saleh. Education Theory A Quranic Out-look. Makah al-


Mukarramah: Umm al-Qura University, 1982.
Ahmadi, Rulam. Pengantar Pendidikan Asas & Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruz
Media, 2014.
Amril, M. Etika Islam Telaah Pemikiran Moral Raghib al- Isfahani. Pekanbaru: LSFK2P,
2002.
Anwar, Muhammad. Filsafat Pendidikan. Jakarta: Prenada Media Group As’adi, 2015.
Arifin, Muzayyin. Ilmu Pendidikan Islam . Jakarta: Bina Aksara, 1991.
AS. Hornby. Oxford Advanced Learner Dictionary of Current English. USA: Oxford
University Press, 1987.
Assegaf, Abd. Rahman Filsafat pendidikan Islam, Cet. II. Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2011.
Barnadib, Imam. FlIsafat Pendidikan, Cet. IX. Yogyakarta: Yayasan Penerbit FIP
IKIP,tt.
Barnadib, Imam. Dasar-Dasar Kependidikan: Memahami Makna dan Perspektif Beberapa
Teori Pendidikan. Ghalia Indonesia : Jakarta, 1996.
Brameld, Theodore. Philosophies of Education in Cultural Perspectiv . Holt, Rinehart and
Winston Toronto : London, 1955.
Diane Lapp et all. Teaching and Learning, Philosophical, Psycological, Curricular
Applications, 1975.
Ellis Athur K. et all. Introduction to the Fundantions of Education. Prentice- Hall Inc:
Englewood Cliffs, 1981.
Gandhi, H.W.,Teguh Wangsa Filsafat Pendidikan: Mazhab- Mazhab Filsafat Pendidikan.
Yogjakarta: Ar-Ruz Media, 2013.
Knellr, George F. Introduction to The Philosophy of Education. New York: Jhon Wiley &
Sons, Inc, 1972.
Miller, John P. dan Seller, Wayne. Curriculum Perspective and Practice. Longman : New
York dan London, 1985.
Mudyaharjo, Redja. Pengantar Pendidikan: Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-Dasar
Pendidikan pada Umumnya dan Pendidikan di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,2010.  
Muhmidayeli. Filsafat Pendidikan. Bandung: PT Rafika Aditama, 2011.
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam . Jakarta: Logos, 1999.
Nawawi, Hadari. Pendidikan Dalam Islam. Surabaya: Al-Ikhlash, 1993.
Noorsyam, M. Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: IKIP Malang, 1978.
Park, Joe. Selected Readings in the Philosophy of Education . New York, Mackn Publishing
Co, Inc. 1974.
Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam, Telaah Sistem Pendidikan dan
Pemikiran Para Tokohnya. Jakarta: Kalam Mulia, 2010.
Soedomo, M. Aktualisasi Pengembangan Ilmu Pendidikan Islam Dalam Pembangunan
Nasional. Malang : IKIP, 1990.
Sadulloh. Pengantar Filsafat Pendidikan . Alfabeta : Bandung, 2007.
27
Sadulloh, Uyoh. Pedagogik (Ilmu Mendidik). Bandung: Alfabeta, 2010.
Syam, Muhammad Nur. Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pancasila. Surabaya:
Usaha Nasional, 1986.
Zuhairini, dkk. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 2009.

28

Anda mungkin juga menyukai