Anda di halaman 1dari 13

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada TUHAN YESUS KRISTUS hanya karena
kasih, anugerah, serta penyertaan-Nya bagi kami hingga makalah ini bisa selesai dengan
baik dan juga tepat waktu. Kami yakin jika tanpa campur tangan TUHAN makalah ini
pasti tidak akan terselesaikan dan malah akan terbengkalai.

Makalah ini disusun agar para pembaca dapat mengetahui mengenai salah satu
aliran dari filsafat, yaitu “Esensialisme”. Makalah ini dibuat juga dengan bantuan dari
beberapa sumber yang kami dapat, dan sekali lagi hanya karena anugerah TUHAN
makalah ini dapat terselesaikan.

Kami juga tidak lupa berterima kasih kepada dosen pembimbing Filsafat PAK,
yaitu Febri K. Manoppo, S.Th., M.Pd.K yang telah memberikan kami tugas ini.

Kami sangat berharap tugas ini akan membawa dampak yang baik bagi para
pembacanya, terlebih dapat menambah wawasan kita mengenai Filsafat PAK. Kami
tahu bahwa makalah ini masih tidak luput dari kesalahan dalam penulisan baik
disengaja maupun tidak di sengaja untuk itu kami memohon maaf sebesar-besarnya, dan
tentu saja kami sangat membutuhkan saran dan pesan perihal makalah ini.

Penyusun

Tateli, April 2018

[1]
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................. 1

DAFTAR ISI................................................................................................................ 2

BAB I Pendahuluan..................................................................................................... 3

1. Latar Belakang.............................................................................................. 3

2. Rumusan Masalah......................................................................................... 3

3. Tujuan Penulisan........................................................................................... 3

BAB II Pembahasan.................................................................................................... 4

A. Latar Belakang Munculnya Esensialisme..................................................... 4

B. Pengertian dan Tokoh-tokoh Esensialisme................................................... 5

C. Prinsip-prinsip Aliran Esensialisme............................................................. 7

D. Ciri-ciri Aliran Esensialisme........................................................................ 8

E. Pandangan Aliran Esensialisme dan Penerapannya Dalam Pendidikan....... 8

F. Pandangan Perspektif Kristen....................................................................... 9

BAB III Penutup......................................................................................................... 11

A. Kesimpulan.................................................................................................. 11

DAFTAR PUSTAKA................................................................................................. 13

[2]
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Dalam kehidupan manusia muncullah sebuah aktivitas manusia yang
disebut filsafat. Dalam berfilsafat seseorang akan menggunakan kemampuan
atau salah satu potensi dasar dari manusia, yaitu kemampuan berpikir.
Kemampuan berpikir secara umum diartikan sebagai kemampuan untuk
menjawab pertanyaan atau memecahkan masalah.
Keingintahuan yang ada dalam diri seseorang menyebabkannya untuk
melakukan kegiatan yang kemudian disebut berfilsafat dan orang yang
berfilsafat disebut dengan filsuf. Orang-orang yang biasanya disebut filsuf ini
dalam masyarakat dikelompokkan dalam profesi tertentu dan menduduki posisi
yang terhormat karena hasil pemikirannya yang dianggap lebih tinggi dari yang
lain, dan kemudian hasil pemikirannya dipakai dalam keseharian.
Dalam hal ini filsafat pendidikan terbagi atas beberapa aliran dan salah
satu aliran itu adalah aliran esensialisme. Dalam makalah ini kami akan
membahas lebih dalam mengenai salah satu aliran filsafat pendidikan ini, yaitu
aliran esensialisme.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang melatarbelakangi munculnya aliran esensialisme?
2. Apa yang dimaksud dengan esensialisme dan siapa tokoh-tokohnya?
3. Apa saja prinsip-prinsip aliran esensialisme?
4. Apakah ciri-ciri dari aliran esensialisme?
5. Apakah pandangan aliran esensialisme dan penerapannya dalam pendidikan?
6. Bagaimanakah pandangan perspektif Kristen?
3. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari makalah ini pertama-tama untuk menambah
wawasan kita tentang filsafat itu sendiri, terlebih khusus salah satu aliran filsafat
pendidikan, yaitu aliran esensialisme. Dan selanjutnya tujuan dari pembuatan
makalah ini adalah untuk memenuhi tugas yang diberikan kepada kami dari
dosen pengampuh mata kuliah ini
[3]
BAB II

PEMBAHASAN

A. Latar Belakang Munculnya Esensialisme


Essensialisme lahir sebagai suatu reaksi perlawanan terhadap pendidikan
progresif walaupun tidak berseberangan keras seperti parenialisme. Kaum
esensialis sepakat dengan parenialis yang menyatakan bahwa praktik pendidikan
progresif terlalu “lunak”. Dukungan pada aliran esensialisme lahir dari
masyarakat yang prihatin pada rendahnya kualitas sekolah-sekolah public
(progresif). Sekolah public telah keluar jalur
Esensialisme adalah suatu filsafat pendidikan konservatif yang pada
mulanya dirumuskan sebagai suatu kritik pada trend-trend progresif di banyak
sekolah. Mereka berpendapat bahwa pergerakan progresif telah merusak
berbagai standar intelektual dan moral di antara kaum muda.1
Aliran filsafat pendidikan Esensiahsme dapat ditelurusi dari aliran
filsafat yang menginginkan agar manusia kembali kepada kebudayaan lama,
karena kebudayaan lama telah banyak melakukan kebaikan untuk manusia.
Kebudayaan lama telah ada semenjak peradaban umat manusia dahulu, terutama
semenjak zaman Renaissance mulai tumbuh dan berkembang dengan megahnya.
Kebudayaan lama melakukan usaha untuk menghidupkan kembali ilmu
pengetahuan, kebudayaan, dan kesenian zaman Yunani dan Romawi Kuno.
Pemikiran yang esensialis dikembangkan oleh para pengikut dan simpatisan
ajaran filsafat tersebut sehingga menjadi satu aliran filsafat yang mapan.2
Esensialisme merupakan perpaduan antara ide-ide filsafat idealisme dan
realisme. Maka konsep-konsepnya tentang pendidikan sedikit banyak diwarnai
oleh konsep-konsep dari idealisme dan realisme.
Esensialisme yang berkembang pada zaman Renaissance mempunyai
tinjauan yang berbeda dengan progresivisme, yaitu mengenai pendidikan dan
kebudayaan. Jika progresivisme menganggap pendidikan yang penuh
fleksibilitas, serba terbuka untuk perubahan, tidak ada ketertarikan dengan

1
Dr. Khoe YaoTung, Msc.Ed.M.Ed, Filsafat Pendidikan Kristen. Yogyakarta: ANDI, 2013. Hlm. 33-34
2
Muhammad Anwar, Filsafat Pendidikan. Jakarta: Kencana, 2015. Hlm. 160
[4]
doktrin tertentu, toleran, dan nilai-nilai dapat berubah dan berkembang, maka
aliran esensialisme ini memandang bahwa pendidikan yang bertumpu pada dasar
pandangan fleksibilitas dalam segala bentuk dapat menjadi sumber timbulnya
pandangan yang berubah, mudah goyah, kurang terarah, dan tidak menentu serta
kurang stabil. Karena itu, pendidikan harus pijakan di atas nilai yang dapat
mendatangkan kestabilan, telah teruji oleh waktu, tahan lama, dan nilai-nilai
yang memiliki kejelasan dan terseleksi.3
Dengan demikian, renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-
konsep pikir yang disebut esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu,
esensialisme adalah konsep meletakkan sebagian ciri alam pikir modern.
Esensialisme pertama-tama muncul dan merupakan reaksi terhadap simbolisme
mutlak dan dogmatis abad pertengahan. Oleh karena itu, disusunlah konsep yang
sistematis dan menyeluruh mengenai manusia dan alam semesta, yang
memenuhi tuntutan zaman.
B. Pengertian dan Tokoh-tokoh Esensialisme
Secara etimologi, essensialisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu
“essential” yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “isme” dalam KBBI
berarti paham atau aliran. Berbeda dengan aliran progresivisme yang
berpendapat bahwa pengetahuan yang ada atau benar pada masa kini mungkin
tidak benar pada masa yang akan datang, aliran esensialisme adalah aliran yang
menganut bahwa pengetahuan itu bersifat abadi, tetap sepanjang zaman apapun,
yaitu berupa esensi dari sesuatu, inti dari sesuatu, dan hakikat sesuatu yang tidak
berubah. Contoh meskipun wujud riil dari manusia berubah dari waktu ke
waktu, dari satu tempat ke tempat yang lain, berubah, tetapi hakikat manusia
pada akhirnya tetap sama, yaitu tetap manusia.
Pendapat esensialisme terhadap beberapa hal tentang pendidikan:
1) Tentang apa yang harus diajarkan kepada peserta didik di samping adanya hal-
hal yang berubah sesuai dengan tuntutan zaman, ada materi pelajaran yang
sifatnya tetap, ada pada zaman, ada materi pelajaran yang sifatnya tetap, ada
pada setiap zaman. Tentang materi apa yang sifatnya tetap tersebut misalnya

3
Ibid., hlm. 161
[5]
bahasa, moral, matematika, ilmu pengetahuan alam, dan sebagainya. Hal-hal
yang esensi tersebut tetap ada meskipun wujud riilnya bisa berbeda-beda.
2) Pendidikan harus dapat menemukan hal-hal yang merupakan esensi tersebut.
3) Kurikulum tidak perlu terlalu banyak menyajikan pengetahuan atau pengalaman.
Cukup diberikan yang esensi, yang merupakan inti dari berbagai
pengetahuan/pengalaman, dan selanjutnya peserta didik harus mengembangkan
sendiri.
Tokoh-tokoh Aliran Esensialisme
a. Desiderius Erasmus
Humanis Belanda yang hidup pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad
ke-16 adalah tokoh pertama yang menolak pandangan hidup yang berpijak pada
“dunia lain”. Ia berusaha agar kurikulum di sekolah bersifat humanistis dan
bersifat internasional sehingga dapat diikuti oleh kaum tengah dan aristokrat.
b. Johann Amos Comenius (1592-1670)
Tokoh Renaissance pertama yang berusaha menyistematiskan proses
pengajaran. Ia memiliki pandangan realistis yang dogmatis. Karena dunia ini
dinamis dan bertujuan, maka tugas kewajiban pendidikan adalah membentuk
anak sesuai dengan kehendak Tuhan.
c. John Locke (1632-1704)
Tokoh dari Inggris dan popular sebagai “pemikir dunia” mengatakan
bahwa pendidikan hendaknya selalu dekat dengan situasi dan kondisi. Ia juga
memiliki sekolah kerja untuk anak-anak miskin.
d. Johann Henrich Pestalozzi ( 1746-1827)
Mempunyai kepercayaan bahwa sifat-sifat alam itu tercermin pada
manusia sehingga pada diri manusia terdapat kemampuan-kemampuan yang
wajar. Selain itu, ia percaya akan hal-hal yang transcendental, menurutnya
manusia mempunyai hubungan transcendental langsung dengan Tuhan.
e. Johann Friederich Froebel (1782-1852)
Seorang tokoh transcendental yang corak pandangannya bersifat
kosmissintetis. Menurutnya manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan sebagai
bagian dari alam ini. Oleh karena itu, ia tunduk dan mengikuti ketentuan dan
hukum-hukum alam. Terhadap pendidikan, ia memandang anak sebagai
[6]
makhluk yang berekspresi kreatif. Sedangankan, tugas pendidikan adalah
memimpin peserta didik ke arah kesadaran diri yang murni, sesuai fitrah
kejadiannya.

f. Johann Friedrich Herbart (1776-1841)


Salah seorang murid Immanuel Kant yang berpandangan kritis. Ia
berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah menyesuaikan jiwa sesorang
dengan kebajikan dari Yang Mutlak. Artinya, penyesuaian dengan hukum-
hukum kesusilaan, yang disebut “pengajaran yang mendidik” dalam proses
pencapaian.
g. William T. Harris (1835-1909)
Berusaha menerapkan idealisme objektif pada pendidikan umum.
Menurut dia, tugas pendidikan adalah mengizinkan terbukanya realitas
berdasarkan susunan yang pasti berdasarkan kesatuan spiritual. Keberhasilan
sekolah adalah sebagai lembaga yang memelihara nilai-nilai yang telah turun
temurun dan menjadi penuntun penyesuaian diri setiap orang kepada
masyarakat.4
C. Prinsip-prinsip Aliran Esensialisme
1. Tugas utama sekolah mengajarkan pengetahuan inti (cultural literacy).
Pengetahuan yang benar-benar harus dikuasai oleh murid agar dapat
menghadapi kehidupan.
2. Belajar membutuhkan kerja keras dan disiplin. Murid perlu diberikan tugas yang
menantang dan sulit. Mereka perlu dihadapkan dengan kerja keras, disiplin diri,
dan memfokuskan perhatian pada bahan pelajaran.
3. Guru adalah pusat otoritas dalam kelas. Guru adalah orang yang dibutuhkan para
murid. Mereka bertugas mengajar, menjadi wakil komunitas dewasa, dan berada
di posisi yang menuntut hormat. Bila hal ini tidak didapat, guru tidak akan dapat
mendisiplin murid ke suasana tertib dalam belajar.5

D. Ciri-ciri Aliran Esensialisme


4
Ibid., hlm. 162-163
5
Dr. Khoe YaoTung, Msc.Ed.M.Ed. Hlm. 209
[7]
Ciri-ciri aliran filsafat pendidikan esensialisme menurut William C.
Bagley:
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar
awal yang memikat atau menarik perhatian bukan dengan dorongan dari dalam
jiwa.
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang
khusus pada spesies manusia.
3. Mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan
disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di
kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu
merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan tidak pernah merupakan
pemberian.
4. Esensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progressive) memberikan sebuah teori yang lemah.
E. Pandangan Aliran Esensialisme dan Penerapannya Dalam Pendidikan
Inisiatif pokok dalam aliran ini adalah guru bukanlah murid. Peserta
didik sebagai orang yang belum dewasa memerlukan bimbingan dan tuntunan
dari orang yang lebih dewasa. peranan guru sebagai pendidik adalah menjadi
penghubung antara dunia orang dewasa dengan dunia anak, karena akan tidak
mungkin memahami atau mengerti dunai orang dewasa, karena itu ia
membutuhkan seorang guru untuk mengajarinya hal tersebut.
Menurut para esensialis, guru harus bertanggung jawab atas
perkembangan anak didiknya. Ia harus memiliki intelektual dan emosional yang
baik untuk menjadi pemimpin mereka yang sesungguhnya. Brickman berkata
bahwa: “Esensialisme menempatkan guru pada pusat dunia pendidikan. Oleh
karena itu, guru harus memiliki pengetahuan akademik, pengetahuan tentang
psikologi anak dan memantau perkembangan peserta didik dalam proses
belajarnya; memiliki kemampuan untuk menyampaikan fakta dan cita-cita
kepada generasi muda, suatu penghargaan terhadap dasar-dasar historis dan
filosofis pendidikan; dan pengabdian yang sungguh-sungguh pada

[8]
pekerjaannya.” Inti proses pendidikan adalah dikuasainya bahan ajar yang
sebelumnya telah ditetapkan oleh guru.
F. Pandangan Perspektif Kristen
Dalam praksis pelaksanaan di sekolah Kristen, pendidikan Kristen dalam
beberapa hal, memiliki banyak kemiripan dengan aliran parenialisme dan
esensialisme. Keduanya menekankan metode intruksional, penguasaan materi
pelajaran, tetapi memiliki motif dasar yang berbeda. Ciri khusus pendidikan
Kristen menekankan pembinaan kerohanian, kualitas pendidikan, guru yang
berotoritas, penggunaan instruksional, penegakan disiplin dan kerja keras.
Pengenalan kasih Kristus dengan menunjukkan Kristus sebagai satu-satunya
sumber keselamatan, kebenaran, hikmat, dan pengetahuan menjadi
penatalayanan para pendidik Kristen di sekolah. Proses pendidikan harus
dikembalikan dalam tugas panggilan sebagai orang Kristen dalam memberitakan
kasih Allah.
Kebenaran yang hakiki adalah mengenal Allah pencipta. Tuhan Allah
adalah kebenaran itu sendiri, kebenaran itu melekat pada-Nya karena Dia yang
menciptakan segala sesuatu. Berkhof dan Van til mengatakan bahwa ujung
pangkal pendidikan Kristen harus berawal dari penciptaan. Ujung pangkal
pendidikan Kristen adalah kebenaran Allah. Kebenaran Allah adalah kekal,
mutlak dan tidak terbatas. Allah yang menentukan hukum-hukum alam, rumus,
dan dalil yang tersimpan dalam alam semesta. Sekolah Kristen harus dapat
mengajarkan kebenaran sejati, hal yang tidak didapati pada sekolah sekuler.6
Dosa telah merusak gambar dan rupa Allah yang ada pada manusia,
membuat manusia tidak membutuhkan Allah, tidak bergantung pada Allah, dan
akhirnya menyebabkan manusia mencari kebenarannya sendiri. David Hume
(1711-1776) adalah salah satu ahli filsafat Skotlandia terbesar. Hume
mengusung filsafat skeptisme, dan sepanjang hidupnya, ia meragukan
keberadaan Allah. Ia menyatakan argument bahwa keberadaan Allah sangat
lemah. Bila kelima indra kita tidak dapat mengalami keberadaan Allah,
keberadaan Allah tidak terdapat dalam pemahaman pengetahuan. Immanuel
Kant (1724-1804) mengatakan bahwa pengetahuan manusia sangat terbatas dan

6
Ibid., hlm. 210
[9]
hanya dapat dirasakan dengan kelima indra manusia. Maka apabila Allah tidak
dapat dinyatakan dalam kelima indra tersebut, Allah tidak ada. Hume dan Kant
memberikan pengaruh besar pada pudarnya kekristenan di Eropa dan menyebar
sampai ke Amerika pada saat itu. Namun, pada masa tuanya, Hume menyadari
bahwa “Hakikat atau alam ini terlalu kuat untuk logika dan prinsip.”
Kebenaran Allah adalah kebenaran yang mutlak yang tak dapat
diragukan lagi. Kebenaran firman Tuhan adalah fondasi utama pendidikan
Kristen. Pernyataan firman Tuhan yang menegaskan bahwa Kristus adalah satu-
satunya jalan, kebenaran, dan hidup (Yoh. 14:6) menjadi landasan metafisika,
epistemology, dan aksiologi. Kebenaran inilah yang menuntun kita pada
pemahaman akan scenario besar penciptaan, kejatuhan, penebusan dan
penyempurnaan.7

BAB III
7
Ibid., hlm. 210-211
[10]
PENUTUP

A. Kesimpulan
 Renaissance adalah pangkal sejarah timbulnya konsep-konsep pikir yang disebut
esensialisme, karena itu timbul pada zaman itu, esensialisme adalah konsep
meletakkan sebagian ciri alam pikir modern. Esensialisme pertama-tama muncul
dan merupakan reaksi terhadap simbolisme mutlak dan dogmatis abad
pertengahan. Oleh karena itu, disusunlah konsep yang sistematis dan
menyeleuruh mengenai manusia dan alam semesta, yang memenuhi tuntutan
zaman.
 Secara etimologi, essensialisme berasal dari bahasa Inggris, yaitu “essential”
yang berarti inti atau pokok dari sesuatu dan “isme” dalam KBBI berarti paham
atau aliran. Tokoh-tokohnya, yaitu Desiderius Erasmus, Johann Amos
Comenius, John Locke, Johann Henrich Pestalozzi, Johann Friederich Froebel,
Johann Friedrich Herbart, dan William T. Harris.
 Prinsip-prinsip aliran esensialisme:
1. Tugas utama sekolah mengajarkan pengetahuan inti (cultural literacy).
Pengetahuan yang benar-benar harus dikuasai oleh murid agar dapat
menghadapi kehidupan.
2. Belajar membutuhkan kerja keras dan disiplin. Murid perlu diberikan tugas yang
menantang dan sulit. Mereka perlu dihadapkan dengan kerja keras, disiplin diri,
dan memfokuskan perhatian pada bahan pelajaran.
3. Guru adalah pusat otoritas dalam kelas. Guru adalah orang yang dibutuhkan para
murid. Mereka bertugas mengajar, menjadi wakil komunitas dewasa, dan berada
di posisi yang menuntut hormat. Bila hal ini tidak didapat, guru tidak akan dapat
mendisiplin murid ke suasana tertib dalam belajar.
 Ciri-ciri aliran filsafat pendidikan esensialisme menurut William C. Bagley:
1. Minat-minat yang kuat dan tahan lama sering tumbuh dari upaya-upaya belajar
awal yang memikat atau menarik perhatian bukan dengan dorongan dari dalam
jiwa.

[11]
2. Pengawasan, pengarahan, dan bimbingan orang yang belum dewasa adalah
melekat dalam masa balita yang panjang atau keharusan ketergantungan yang
khusus pada spesies manusia.
3. Mendisiplinkan diri harus menjadi tujuan pendidikan, maka menegakkan
disiplin adalah suatu cara yang diperlukan untuk mencapai tujuan tersebut. Di
kalangan individu maupun bangsa, kebebasan yang sesungguhnya selalu
merupakan sesuatu yang dicapai melalui perjuangan tidak pernah merupakan
pemberian.
4. Esensialisme menawarkan teori yang kokoh kuat tentang pendidikan, sedangkan
sekolah-sekolah pesaingnya (progressive) memberikan sebuah teori yang lemah.
 Inisiatif pokok dalam aliran ini adalah guru bukanlah murid. Peserta didik
sebagai orang yang belum dewasa memerlukan bimbingan dan tuntunan dari
orang yang lebih dewasa. peranan guru sebagai pendidik adalah menjadi
penghubung antara dunia orang dewasa dengan dunia anak, karena akan tidak
mungkin memahami atau mengerti dunai orang dewasa, karena itu ia
membutuhkan seorang guru untuk mengajarinya hal tersebut.
 Dalam praksis pelaksanaan di sekolah Kristen, pendidikan Kristen dalam
beberapa hal, memiliki banyak kemiripan dengan aliran parenialisme dan
esensialisme. Keduanya menekankan metode intruksional, penguasaan materi
pelajaran, tetapi memiliki motif dasar yang berbeda. Ciri khusus pendidikan
Kristen menekankan pembinaan kerohanian, kualitas pendidikan, guru yang
berotoritas, penggunaan instruksional, penegakan disiplin dan kerja keras.
Pengenalan kasih Kristus dengan menunjukkan Kristus sebagai satu-satunya
sumber keselamatan, kebenaran, hikmat, dan pengetahuan menjadi
penatalayanan para pendidik Kristen di sekolah. Proses pendidikan harus
dikembalikan dalam tugas panggilan sebagai orang Kristen dalam memberitakan
kasih Allah.

[12]
DAFTAR PUSTAKA

Drs. H.A. Fuad Ihsan. 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rineka Cipta

Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. 2009. Pengantar Filsafat. Bandung: PT


Refika Aditama

Drs. H. Soegiono, M.M dan Dr. Tamil. Muis. 2012. Filsafat Pendidikan. Bandung:
PT Remaja Rosdakarya Offset

Dr. Khoe YaoTung, Msc.Ed.M.Ed. 2013. Filsafat Pendidikan Kristen. Yogyakarta:


ANDI.

[13]

Anda mungkin juga menyukai