Anda di halaman 1dari 12

TINJAUAN KRITIS TENTANG PLURALISME

ATAU INKLUSIVISME DALAM PERSPEKTIF


PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

Disusun Oleh :

NAMA : YEMIMA EKA MARETA


NIM : 19.02.11.1843
SEMESTER / KELAS : IV / D
JURUSAN : PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN (PAK)
MATA KULIAN : TEOLOGI AGAMA-AGAMA
DOSEN : WILSON, D.Th

KEMENTERIAN AGAMA REPUBLIK INDONESIA


INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI (IAKN)
PALANGKA RAYA
TAHUN 2021
A. PENDAHULUAN
Teologi agama-agama adalah sebuah disiplin dari studi teologi yang
mencoba untuk mempertimbangkan secara teologis makna dan nilai dari
agama-agama lain. Teologi agama-agama membahas bagaimana kekristenan
memberi respon teologis terhadap kenyataan mengenai adanya pluralitas
agama di luar dirinya. Teologi agama-agama mencakup refleksi teologis dan
debat teknis tentang fenomena agama dengan pandangan pada teori teologi
agama. Dupuis menunjukkan bahwa teologi agama bertanya dari perspektif
Kristen tentang apa agama itu, dan berupaya menafsirkan pengalaman religius
universal umat manusia, menyelidiki hubungan antara wahyu dan iman, iman
dan agama, serta iman dan keselamatan. Pemahaman tenang sifat agama
sendiri jelas mengarah pada pemahaman tentang hubungan dengan agama-
agama lain (pluralis).
Pada dasarnya Agama-agama di dunia ini mengajarkan iman akan
Tuhan sebagai yang Maha Kasih dan pemberi rahmat kepada manusia.
Namun, dalam perkembangannya, agama justru menjadi media untuk
menciptakan konflik dan permusuhan antar sesama umat manusia. Jika
demikian, maka tidak salah apabila kemudian muncul pertanyaan : apakah
agama yang menjadi sumber adanya konflik dan permusuhan itu ? atau
sebenarnya model beragama manusia yang menjadi sumber adanya konflik
dan permusuhan dengan mengatasnamakan Tuhan ?
Sumartana mengatakan bahwa tantangan keagamaan yang mendasar
yang kita hadapi sekarang ini bisa kita ungkap dengan satu kata, yaitu
pluralisme dan inklusivisme. Tidak ada maksud mengatakan bahwa pluralisme
dan inklusivisme merupakan satu-satunya tantangan akan tetapi bila tantangan
itu tidak diperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka agama-agama akan
kehilangan persepsi yang benar tentang dunia dan masyarakat sekarang.
Pluralisme dan inklusivisme telah menjadi ciri esensial dari dunia masyarakat
sekarang. Dunia telah menjadi satu dan menjadi kampung kecil di mana umat
manusia hidup bersama didalamnya.
Dalam kehidupan ditengah-tengah kemajemukan Agama di dunia ini,
setiap orang memiliki sifat masing-masing dalam agamanya. Ada beberapa
sifat atau pengambaran seseorang dalam menyatakan kebenaran Agamanya..
Sudah menjadi hal yang lazim apabila semua agama lahir dan hadir lengkap
dengan “klaim kebenaran (truth claim)”. Hanya saja terdapat perbedaan dalam
memandang kebenaran tersebut di antara para penganut agama, seperti halnya
inklusivisme, yaitu bahwa kebenaran absolut yang lebih longgar.
Dalam Kristen, inklusivisme sendiri bersifat lebih longgar dan terkesan
fleksibel terhadap sesuatu yang di luar dirinya, tidak kaku dan memberi jalan
kepada agama lain selain dirinya untuk mengakui kebenaran dalam agama
lain. Jadi, asumsi dasar inklusivisme dalam perspektif Kristen adalah
mengakui bahwa kebenaran hanya terdapat dalam agama sendiri, namun
memberi kesempatan atau jalan bagi mereka yang berlain keyakinan untuk
mengakui bahwa agama mereka juga benar.
Dalam Kristen, inklusivisme dilihat sebagai sebuah posisi yang
menerima sekaligus menolak agama-agama lain. Di satu sisi, kekuatan
spiritual dan kedalaman religius dari agama-agama di luar kekristenan
diterima dan diakui, sehingga dapat dikatakan bahwa yang ilahi hadir di dalam
agama tersebut. Di sisi lain agama-agama di luar kekristenan ditolak karena
dinilai tidak memiliki “cukup kebenaran” yang hanya dimungkinkan secara
penuh lewat Yesus Kristus. 
Cukup banyak gereja atau sinode di zaman pascamodern ini yang
mengutamakan pentingnya relasi antar-agama atau antar-iman. Mereka
agaknya tidak mementingkan apa ajaran yang dipegang seseorang, sebuah
lembaga, atau sebuah aliran. Memang, mau tidak mau pada masa kini kita
hidup di dalam dunia yang secara religius bersifat plural atau majemuk, dan
kebanyakan orang akan setuju bila dikatakan bahwa kekristenan pun, siap atau
tidak, dipandang hanyalah sebagai salah satu agama dunia di antara agama-
agama lainnya.
Teolog modern atau pascamodern pada umumnya memilih posisi
“aman” dan dapat diterima semua pihak, yaitu bahwa setiap agama memiliki
warisan historis dan jalan keselamatannya sendiri-sendiri. Secara khusus, di
Indonesia, kita hidup di tengah beragamnya suku, ras, tradisi, latar belakang
sosial dan agama. Bagi kekristenan, pluralitas budaya dan agama ini dapat
memperlihatkan aspek-aspek positif maupun negatif.
Dari perspektif positif, kita harus mengakui bahwa pluralitas
kepercayaan dapat memperkaya dan sekaligus menantang pemahaman Kristen
secara lebih perseptif dan realistis tentang keberagaman ini; hasilnya,
pelayanan Kristen akan jadi lebih relevan dan kontekstual bagi kebutuhan
manusia.
Dari perspektif negatif, kita juga harus mengakui bahwa pluralitas
kepercayaan ini dalam keadaan-keadaan tertentu telah menjadi penyebab
timbulnya ketegangan dan konflik-konflik di antara keyakinan-keyakinan
tersebut.
Berkaitan dengan Pendidikan Agama Kristen (PAK), maka kehadiran
pluralisme dan inklusivisme menjadi hal yang perlu untuk diperhatikan.
Perspektid PAK, terhadap pelaksanaan pluralisme dan inklusivisme dalam
PAK, menuntut pengakuan mutlak bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan dan
Juruselamat umat manusia. Apapun alasan yang dipergunakan dalam
membangun jembatan komunikasi dengan sesama pemeluk agama, PAK
memberikan sikap yang jelas berkaitan dengan posisi keimanan orang
percaya. Jadi, hubungan dengan sesama pemeluk agama wajib dijaga dalam
konteks fakta kemajemukan (pluralisme) dalam masyarakat, namun keyakinan
iman (inklusivisme) kepada Kristus tidak bisa diabaikan begitu saja.

B. ISI
1. Definisi Pluralisme dan Inklusivisme
a) Definisi Pluralisme
Istilah Pluralisme masih sering disalahpahami atau mengandung
pengertin yng kabur, meskipun terminology ini begitu populer dan
tampak disambut begitu hangat secara universal. Hal ni dapat dilihat
dari semakin menjamurnya kajian internasional, khususnya setelah
Konsili Vatikan II. Sungguh sangat mengejutkan, ternyaa tidak
banyak, bahkan langka, yang mencoba mendefiniskan pluralisme
agama itu. Seakan wacana pluralism agama sudah disepakati secara
consensus dan final, dna untuk itu taken for grated. Karena
pengaruhnya yang luas, istilah pluralism memerlukan pendefinisian
yang jelas dan tegas baik dari segi arti literalnya maupun segi konteks
di mana pluralisme itu banyak digunakan.1
Secara etimologis, pluralisme berasal dari bahasa Inggris :
pluralism, terdiri dari dua kata plural beragam dan isme, paham yang
apabila digabungkan memiliki arti beragam pemahaman, atau
bermacam-macam paham.2 Kemudian, pluralism juga memiliki tiga
pengertian, yaitu3 :
1. Pengertian Kegerejaan
a) Sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan
dalam struktur kegerejaan.
b) Sebutan untuk orang yang memegang dua jabatan atau lebih
secara bersamaan, baik bersifat kegerejaan maupun non-
kegerejaan.
2. Pengertian Filosofis
Pengertian filosofis berarti sistem pemikiran yang mengakui
adanya landasan pemikiran yang mendasar yang lebih dari satu.

3. Pengertian Sosio-Politis
Suatu sistem yang mengakui eksistensi keragaman kelompok,
baik ynag bercorak ras, suku, aliran, maupun partai dengan tetap
menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat
karakteristik diantara kelompok-kelompok tersebut.

b) Definisi Inklusivisme
Inklusivisme merupakan satu dari tiga tipologi yang
dikemukakan Alan Race alam diskursus teologi agama-agama.
Inklusivisme adalah sikap atau pandangan yang melihat bahwa agama-
1
Paul F. Kintter, Pengantar Teologi Agama-agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2008), 12.
2
Kamus Bahsa Indonesia
3
Stevri L Lumintang, Teologia Abu-Abu Pluralisme Agama, (Malang: Gandum Mas, 2004), 61.
agama lain di luar kekristenan juga dikaruniai rahmat dari Allah dan
bisa diselamatkan, namun pemenuhan keselamatan hanya ada di dalam
Yesus Kristus. Kristus hadir dan berkeja juga di kalangan mereka yang
mungkin tidak mengenal Kristus secara pribadi. Dalam pandangan ini,
orang-orang dari agama lain, melalui anugerah atau rahmat Kristus,
diikutsertakan dalam rencana keselamatan Allah.4

2. Model Teologi Pluralisme atau Inklusivisme dalam Kristen


a. Model Teologi Pluralisme dalam Kristen5
1) Model Kaum Konservatif-Injili
Model kaum konservatif-Injili, yang memahami bahwa
hanya ada satu agama yang benar dan agama yang benar itu harus
memenuhi ukuran kitab suci Kristen atau Alkitab. Menurut Alkitab
bahwa hanya Yesus yang menjadi Juruselamat. Agama-agama lain
tidak menyediakan keselamatan itu. Pandangan ini dapat disebut
inklusif-mutlak atau ekstrim.
2) Model Kaum Prostestan Arus Utama
Model kaum Protestan arus utama, yang mengutamakan
pandangan positif dan sikap dialogis terhadap agama-agama lain.
Kaum ini mengakui adanya adanya penyataan umum (bukan hanya
yang partikular di dalam Yesus Kristus), yaitu dalam penampakan
alam semesta ini. pernyataan umum Allah ini dapat juga berwujud
dalam budaya atau agama-agama yang ada.
Pandangan ini tidak menerima bahwa di dalam
agamaagama lain ada keselamatan karena agamaagama itu
menganjurkan agama dan penganutnya mencari keselamatan
dengan melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, tidak berdasarkan
iman kepada Tuhan. Apalagi agama-agama lain ini tidak memiliki
hubungan dengan Yesus yang merupakan penyataan Allah yang
partikulir.

4
Paul F. Kintter, Satu Bumi Banyak Agama, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 38.
5
Novalia, Martina & Pakiding, Herman, Pengantar Teologi Agama-agama (Konteks Indonesia)
Cetakan Pertama. Jakarta: Ekumene Literatur (ELITE) Sekolah Tinggi Ekumene, 2019), 74-76.
3) Model kaum Katolik
Dalam model ini dinyatakan, bahwa ada banyak jalan tetapi
ukurannya satu, yaitu Yesus Kristus. Allah menghendaki
keselamatan manusia karena kasih-Nya. Bersamaan dengan itu, ada
gereja atau persekutuan orang Kristen sebagai sarana keselamatan.
Jadi gereja juga menjadi ukuran. Karena itu, orang bisa selamat
karena kasih Allah, tetapi karena ia tidak hidup dalam struktur
Kekristenan, maka dia disebut “Kristen tanpa nama”. Model ini
sudah menunjukkan pandangan yang inklusif.

b. Model Teologi Inklusivisme dalam Kristen


Inklusivisme dalam Kristen terbagi dalam dua model teologi
yang dikemukakan oleh Karl Rahner, yaitu model In Spite Of dan
model By Means Of, sebagai berikut6 :
1) Model In Spite Of
Model In Spite of, walaupun melihat institusi agama lain
sebagai hambatan untuk menerima keselamatan, tidak menolak
bahwa ada kemungkinan bahwa orang-orang yang beragama lain
dapat diselamatkan oleh anugerah atau rahmat dari Allah.
2) Model By Means Of
Sementara itu model By Means of bersikap lebih positif
terhadap agama lain. Model ini melihat bahwa Allah juga
memberikan rahmat melalui Kristus di dalam agama-agama lain,
dalam kepercayaan dan ritual-ritual agama lain tersebut. Karena
rahmat dan kehadiran Kristus di dalam diri dan mealalui agama-
agama lain, maka orang-orang beragama lain itu juga terorientasi
ke dalam gereja Kristen, dan disebut sebagai "Kristen Anonim"

6
Charles B, Jones, The View from Mars Hill: Christianity in the Landscape of World Religions,
(Cambridge, MA: Cowley Publications), 132..
3. Tujuan Penggunaan Teologi Pluralisme atau Inklusivisme dalam
Kristen
a. Tujuan Penggunaan Teologi Pluralisme dalam Kristen
Dalam Kristen, tujuan penggunaan teologi pluralisme berkaitan
yaitu, kita menyadari bahwa keyakinan iman (inklusivisme) kepada
Kristus tidak bisa diabaikan dan merupakan harga mati untuk ditaati
oleh semua orang Kristen, namun hubungan dengan sesama pemeluk
agama wajib dijaga dalam konteks fakta kemajemukan (pluralisme)
dalam masyarakat. Tujuan penggunaan teologi pluralisme adalah agar
dapat menjaga dan menjalin hubungan yang baik kepada sesame
pemeluk agama maupun diluar agama.
Selain itu, tujuan penggunaan teologi plralisme dalam Kristen
agar dapat mengakui adanya kebenaran yang sama dalam agama-
agama, meskipun berbeda-beda. Dasarnya adalah pengkajian kembali
berita Alkitab, khususnya mengenai Kristologi. Pluralisme menggeser
Kristo-sentris ke Theosentris, dengan dasar kitab Yohanes 14:28, 17:3;
1 Korintus 15:28, sikap teosentri Yesus, kitab Mazmur, nabi-nabi, dan
filsafat agama.
Pluralisme adalah pandangan yang menyatakan bahwa pe-
rubahan hidup manusia dari keterpusatan pada diri sendiri menuju
keterpusatan pada sang Realitas tunggal, yaitu Tuhan, terjadi di dalam
semua agama dalam berbagai bentuk dan cara. Agama-agama yang ada
dan dianut oleh para pengikutnya memiliki kelebihan yang khas satu
dengan yang lainnya. Itulah sebabnya pluralisme memberikan
pernyataan dan perubahan hidup yang kearah yang lebih baik, dan
teologi pluralisme digunakan dalam Kristen.

b. Tujuan Penggunaan Teologi Inklusivisme dalam Kristen


Dalam Kristen, tujuan penggunaan teologi inklusivisme
berkaitan yaitu tujuan yang berkaitan dengan keyakinan kita pada
Kristus. Hubungan dengan sesama pemeluk agama wajib dijaga dalam
konteks fakta kemajemukan (pluralisme) dalam masyarakat, namun
keyakinan iman (inklusivisme) kepada Kristus tidak bisa diabaikan
begitu saja. Tujuan penggunaan teologi inklusivisme dalam Kristen
sangat jelas, yaitu meskipun hubungan dengan sesama wajib dijaga
dalam kontek yang majemuk, namun keyakinan iman kepada Yesus
Kritus sebagai Juruselamat tidak dapat diabaikan.
Dalam Alkitab, dinyatakan bahwa hanya ada keselamatan dalam
Kristus, tidak terbantahkan lagi namun gereja tidak boleh menentang
agama-agama lain sebagai ajaran palsu dan tidak mempunyai
keselamatan. Walaupun tidak sesempurna yang ada dalam gereja
namun karena anugerah yang universal itu, maka keselamatan dalam
Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama Kristus. Jadi
dalam agama-agama lain, Kristus yang menyelamatkan itupun ada di
sana tanpa bernama Kristus.
Jadi Kristus tidak serta merta menjadi milik orang Kristen,
sebab mereka yang bukan Kristenpun, jika hidup dalam kehidupan
yang diisyaratkan agama Kristen, maka layak disebut sebagai orang
Kristen yang bukan Kristen.

4. Tinjauan Kritis/Kritik Terhadap Teologi Pluralisme atau


Inklusivisme Kristen dari Perspektif PAK
Berdasarkan perspektf Pendidikan Agama Kristen (PAK),
hubungan dengan sesama pemeluk agama ataupun diluar agama wajib
dijaga dalam konteks fakta kemajemukan (pluralisme) dalam masyarakat,
namun keyakinan iman (inklusivisme) kepada Kristus tidak bisa diabaikan
begitu saja. Keduanya harus mendapatkan posisi yang tidak berta sebelah
agar tidak terjadi suatu konflik.
Dalam perpektif Pendidikan Agama Kristen (PAK), pandangan
yang menyatakan bahwa perubahan hidup manusia dari keterpusatan pada
diri sendiri menuju keterpusatan pada sang Realitas tunggal, yaitu Tuhan,
terjadi di dalam semua agama dalam berbagai bentuk dan cara. Agama-
agama yang ada dan dianut oleh para pengikutnya memiliki kelebihan
yang khas satu dengan yang lainnya. Itulah sebabnya pluralisme
memberikan pernyataan dan perubahan hidup yang kearah yang lebih baik,
dan teologi pluralisme digunakan dalam Kristen.
Sedangkan, perspektif PAK mengenai inklusivisme, dinyatakan
bahwa hanya ada keselamatan dalam Kristus, tidak terbantahkan lagi
namun gereja tidak boleh menentang agama-agama lain sebagai ajaran
palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun tidak sesempurna
yang ada dalam gereja namun karena anugerah yang universal itu, maka
keselamatan dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak memakai nama
Kristus. Jadi dalam agama-agama lain, Kristus yang menyelamatkan
itupun ada di sana tanpa bernama Kristus. Jadi Kristus tidak serta merta
menjadi milik orang Kristen, sebab mereka yang bukan Kristenpun, jika
hidup dalam kehidupan yang diisyaratkan agama Kristen, maka layak
disebut sebagai orang Kristen yang bukan Kristen.
Perspektif PAK harus dapat menjelaskan secara kritis menegnai
pluralisme dan inklusivisme, bahwa hubungan dengan sesama pemeluk
agama ataupun diluar agama wajib dijaga dalam konteks fakta
kemajemukan (pluralisme) dalam masyarakat, namun keyakinan iman
(inklusivisme) kepada Kristus tidak bisa diabaikan begitu saja. Jadi,
keduanya sama penting.
Sikap Kristen dalam menghadapi pluralisme dan inklusivise, harus
dapat mendorong umatnya untuk merumuskan kembali teologi
berdasarkan pengalaman perjumpaan dalam itu. Dengan kata lain,
pandangan itu dapat menghasilkan rumusan-rumusan doktrin baru sebagai
hasil dari atau yang sesuai dengan keadaan dan kebutuhan hidup beragama
dalam masyarakat majemuk.

C. PENUTUP
Pendidikan Agama Kristen (PAK) tidak bisa dipisahkan dalam
kehidupan orang percaya, didalamnya nyata akan pribadi Kristus sebagai titik
sentral dan Alkitab sebagai dasarnya. Hal ini dianggap cukup untuk
menegaskan bahwa kekristenan memiliki dogmatika tersendiri dan tentunya
berbeda dengan agama lainnya. Pendidikan Agama Kristen adalah “Proses
pengajaran dan pembelajaran yang berdasarkan Alkitab, berpusat pada
Kristus, dan bergantung kepada Roh Kudus, yang membimbing setiap pribadi
pada semua tingkat pertumbuhan melalui pengajaran masa kini ke arah
pengenalan dan pengalaman rencana dan kehendak Allah melalui Kristus
dalam setiap aspek kehidupan, dan melengkapi mereka bagi pelayanan yang
efektif, yang berpusat pada Kristus.
Namun, selain keyakinan iman (inklusivisme) kepada Kristus tidak
bisa diabaikan begitu saja. Hubungan dengan sesama pemeluk agama juga
wajib dijaga dalam konteks fakta kemajemukan (pluralisme) dalam
masyarakat. Dalam Alkitab, dinyatakan bahwa hanya ada keselamatan dalam
Kristus, tidak terbantahkan lagi namun gereja tidak boleh menentang agama-
agama lain sebagai ajaran palsu dan tidak mempunyai keselamatan. Walaupun
tidak sesempurna yang ada dalam gereja namun karena anugerah yang
universal itu, maka keselamatan dalam Kristus pun ada di sana walaupun tidak
memakai nama Kristus. Jadi dalam agama-agama lain, Kristus yang
menyelamatkan itupun ada di sana tanpa bernama Kristus. Jadi Kristus tidak
serta merta menjadi milik orang Kristen, sebab mereka yang bukan
Kristenpun, jika hidup dalam kehidupan yang diisyaratkan agama Kristen,
maka layak disebut sebagai orang Kristen yang bukan Kristen.
Pluralisme dalam agama menjadi suatu realitas yang tidak dapat
dihindari, yang menuntun setiap umat beragama untuk memainkan peran yang
positif agar dapat tercipta rasa kebersamaan dan saling pengertian. Hal itu
menjadi prasyarat mutlak bagi terciptanya situasi yang aman dan damai di
tengah-tengah masyarakat.
Umat Kristen dan gereja-gereja di Indonesia mempunyai tanggung
jawab secara langsung maupun tidak langsung untuk menciptakan suasana
seperti diatas. Untuk itu, pengembangan teologi Kristen pada masa kini dan
mendatang perlu memberi perhatian kepada isu-isu etis kontemporer yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat, baik dalam kehiudpan pluralisme
dan inklusivisme.
REFERENSI

Referensi Utama :
Jones, Charles B. 2005. The View from Mars Hill: Christianity in the Landscape
of World Religions. Cambridge, MA: Cowley Publications.

Kintter, Paul F. 2008. Pengantar Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius.

Knitter, Paul F. 2003. Satu Bumi Banyak Agama. Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Novalia, Martina & Pakiding, Herman. 2019. Pengantar Teologi Agama-agama


(Konteks Indonesia) Cetakan Pertama. Jakarta: Ekumene Literatur (ELITE)
Sekolah Tinggi Ekumene.

Referensi Pembanding :
Ariarajah, Wesley. 1987. Alkitab dan Orang-Orang Yang Berkepercayaan Lain.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.

Coward, Harold. 1989. Pluralisme. Tantangan bagi Agama-Agama. Yogyakarta:


Kanisius.

De Jonge. Christian.2000. Menuju Keesaan Gereja: Sejarah, Dokumen-dokumen


dan Tema-tema Gerakan Oikoumene, Jakarta: BPK GunungMulia.

Lumintang, Stevri L. 2004. Teologia Abu-Abu Pluralisme Agama. Malang:


Gandum Mas.

Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta : Perpektif Kelompok
Gema Insani.

Anda mungkin juga menyukai