Anda di halaman 1dari 9

SEKOLAH TINGGI TEOLOGI BAPTIS INDONESIA

COLLOQUIUM THEOLOGICUM

TEOLOGI YIN YANG

Dosen/Pengampu:
DR. Ir. EKO WAHYU SURYANINGSIH, M.Th

Nama: Jamin Tanhidy, M.Th/301.14.003

Tinjauan Kritis Terhadap Teologi Yin Yang

Abstraksi
Tulisan ini merupakan upaya untuk menilai teologi Yin Yang yang
merupakan produk teolog Asia, Jung Young Lee secara kritis dan obyektif.
Dimulai dengan pembahasan tentang latar belakang munculnya teologi
Yin Yang yang tidak terlepas dari kritik Lee terhadap pola nalar teologi
Barat yang dualisits sifatnya sehingga cenderung eksklusif, rasional
dan dualistis dalam penalarannya. Kemudian dilanjutkan dengan
pembahasan tentang apa yang menjadi inti pengajaran atau
teologi Yin Yang serta diakhiri dengan penilaian kritis
dan obyektif terhadap teologi Yin Yang menurut
kacamata para teolog Barat mapupun Asia,
serta pendapat penulis berdasarkan
ajaran Alkitab itu sendiri.

Latar Belakang
Yin Yang Theology atau Teologi Yin Yang dicetuskan oleh seorang
sarjana Korea Utara yang bernama Jung Young Lee. Beliau adalah
tamatan dari Boston University, USA bidang Teologi Sistimatik, dan
Profesor dalam bidang studi agama-agama dan kemanusiaan (Professor
of Religious Studies and Humanities) di Drew University, USA. Pertama
kali, Profesor Lee memunculkan suatu pola penalaran dalam berteologi
yang diberi nama oleh para teolog dengan sebutan Yin Yang Theology
atau Teologi Yin Yang. Pertama kalinya Lee mencetuskan pola nalar
berteologi berdasarkan konsep Yin Yang dalam bukunya yang berjudul
The I: A Christian Concept of Man pada
tahun 1971.Kemudian
dikembangkan dalam bukunya yang kedua tentang Doktrin Allah pada
tahun 1979 dengan judul The Theology of Change: A Christian Concept of
God in an Eastern Perspective (Smith, 2003 :308-309).
Kemunculan teologi Yin Yang ini dilatar belakangi oleh kritik Lee terhadap
teologi Barat (Western theology) yang mana dinilai oleh Lee umumnya
dilandasi oleh filsafat Aristoteles, murid Plato (Lane, 1990:4) dan pola
berteologi ala Barat ini cirinya dualistis dengan tipe either/or
maksudnya tipe ini atau itu. Bahkan, akar sejarah pola berteologi Barat
ini, jika ditelusuri lebih jauh menurut Elwood, sebenarnya berakar dari
agama Persia Zoroasterisme yang berkembang di Persia dengan ciri
utamanya adalah dikotomi antara kekuatan atau roh yang baik (Ormazd)
dan kekuatan atau roh yang jahat ((Ahriman) yang kemudian dibadikan
dalam logika berpikir Aristoteles (bandingkan Elwood, 1992:50). Cara
berpikir tersebut, menurut Lee, membuat teologi Barat cenderung berciri

dualistis. Contoh konkrit pola berteologi barat yang dualistis (tipe


either/or / ini atau itu) disinggung oleh Lee, dengan pernyataan di
bawah ini yaitu:
Apa yang dianggap tidak baik pastilah jahat, dan apa yang dianggap tidak
jahat pastilah baik (What is not good must be evil, and what is not evil
must be good). Inilah pola bernalar teologi yang berciri dualisitis.
Maksudnya, kalau sesuatu itu dikatakan tidak baik, pastilah jahat,
demikian sebaliknya.
Contoh lainnya:
Apa yang dianggap tidak salah pastilah benar dan apa yang dianggap
tidak benar pastilah salah (What is not wrong must be right, and what is
not right must be wrong). Jadi tidak ada opsi ketiga.
Lee menolak pola atau cara berpikir teologi Barat yang berpola dualistis di
atas. Ia beranggapan ada kemungkinan bahwa apa yang dianggap tidak
salah, bisa jadi kedua-duanya bukan benar atau salah (what is not
wrong maybe neither right nor wrong). Demikian pula apa yang
dianggap tidak benar, bisa jadi kedua-duanya benar dan salah sekaligus
(what is not right may be both right and wrong at the same time),
(bandingkan Smith, 2003:309).
Kritik Lee Terhadap Teologi Barat
Lebih jauh lagi Lee menilai bahwa teologi Barat yang bertipe Either-or
dan cenderung dualisitis dan rasional, sebagaimana ditunjukkan dari
kedua contoh di atas, selama ini telah membentuk suatu dogma yang
absolut tentang Allah, dan memaksa-Nya menjadi Pribadi yang telah
berkurang hakekatnya dari konsep tentang Allah yang sebenarnya diimani
dalam Kekristenan itu sendiri, dan pola berteologi seperti ini pada akhirnya
hanya menempatkan Pribadi Allah sebagai berhala pameran atau
peragaan intelektual semata (bandingkan Elwood, 1992:51).
Selain itu, menurut Lee teologi Barat yang bertipe Either-or itu juga
berciri eksklusif dan telah membatasi Kekristenan dari kehidupan
berdampingan secara damai dengan agama mayoritas lainnya yang ada
di dunia ini, dimana hal ini disebabkan dengan adanya klaim absolut
tentang doktrin manusia dalam teologi barat yang mengutamakan filsafat
dan rasio tersebut, yang mana klaim ini telah mengeluarkan (melarang
masuk) segala kemungkinan harmoni dan kompromi dengan iman atau
kepercayaan lainnya (Elwood, 1980:52).
Selanjutnya, Lee berasumsi bahwa pola nalar dualisitis dengan tipe
Either-or (yang sebenarnya menonjolkan rasio) telah memunculkan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang cenderung menentang aspek-

aspek emosional kehidupan religius. Hal inilah membuat gereja-gereja di


barat juga telah menghancurkan mistikisme di Barat, khususnya
Kekristenan Protestan, yang dianggapnya telah gagal memenuhi
kebutuhan manusia secara utuh, yang mana kebutuhan itu termasuk hati
nurani (Smith, 2003:309). Dampak pemahaman teologi dualistis seperti ini,
telah membuat orang-orang Barat mencari kepuasan spiritualnya di dalam
mistikisme Timur (Elwood, 1992:52), sehingga tidak heran kalau gerakan
New Age Movement dengan program meditasi dan yoga menjadi pilihan
favorit guna memuaskan dahaga spiritual yang sedang melanda
masyarakat Eropah dimana hal ini tidak terlepas dari pengaruh
pemahaman teologi yang berciri dualistis tersebut.
.
Selain itu, menurut Lee pola berteologi Barat ini juga telah memberikan
kontribusi kepada tergangggunya relasi manusia dengan lingkungan alamnya, sebagaimana yang dapat kita saksikan dari polusi lingkungan dan
udara (atmosfir) yang muncul sebagai dampak negatif dari kemajuan
IPTEK. Lee berpendapat bahwa manusia mencoba menaklukkan alam
lewat IPTEK, namun mereka tidak dapat menaklukkannya secara tuntas,
akibatnya yang terjadi ialah baik manusia maupun alam kedua-duanya
sulit bertahan hidup atau binasa. Demikian pernyataan Lee: Man must
either conquer nature or nature will conquer him. Man gradually
overcomes naturebut he never conquers it completely. Ultimately neither
of them survives (Elwood, 1992:52).
Oleh karena itu, Lee melihat tugas teologis yang diperlukan saat ini ada
dalam dua bagian, pertama ialah membatasi sistim pemikiran teologi
Barat, dan kedua ialah ia ingin mencari sebuah kategori pemikiran (pola
nalar) yang lebih komprehensif atau lengkap dalam berteologi. Dengan
memperhatikan Teori Relatifitas Einstein yang telah menjadi pola
pemikiran masyarakat modern saat ini yang memandang dunia sebagai
sesuatu yang sarat dengan perubahan, dimana pandangan ini sejalan
dengan kosmologi China yang memandang dunia sebagai aliran
perubahan yang terus-menerus terjadi (bandingkan, Elwood, 1992:55).
Sebagai hasilnya, Lee mencetuskan pemikiran yang inklusif yang bisa
menjadi simbol pemikiran yang lebih baik yakni dengan memakai konsep
Yin-Yang dimana konsep pemikiran kosmologis yang dipercaya orangorang China ini (sebagaimana diyakini oleh Lee), dapat dipakai untuk
berteologi yang lebih efektif biala dibandingkan sistim berteologi ala Barat
yang sudah kurang efektif atau memadai lagi dalam menjawab tantangan
teologis yang muncul pada masa kini (Smith, 2003:310).
Teologi Yin Yang
Apa yang dimaksud dengan pandangan kosmologis Yin Yang itu
sesungguhnya?! Konsep Yin biasanya merujuk pada arti Bayangan atau

Gelap (warna hitam), sedangkan konsep Yang mewakili arti Terang atau
Cerah (warna putih). Kemudian konsep Yin berkembang dan
disignifikansi dengan makna feminis, penerima, pasif, dingin, dsb.
Sedangkan konsep Yang berkembang dan disignifikasikan dengan arti
sebaliknya atau berlawanan seperti maskulin, kreatif, aktif, hangat, dsb.
Namun, kedua elemen yang kelihatan bertentangan ini, merupakan satu
kesatuan, keduanya saling terintegrasi membentuk keseimbangan di alam
semesta menurut pemahaman kosmologis bangsa China, dimana kedua
unsur Yin dan Yang (seperti gambar di bawah ini) sama-sama diterima,
diakui dan dihargai eksistensinya, misalnya, realitas kaya dan miskin, api
dan air, maskulin dan feminim, hitam dan putih, panas dan dingin, dsb.

Sumber: http://www.ancient.eu/image/968/

Kategori atau pola nalar Yin Yang, menurut Lee, membawa pemikiran
segar dalam cara atau sistim berteologi itu sendiri. Misalnya, teologi Barat
yang bertipe dualistis akan mengalami kesulitan mengekspresikan term
divine immanence and transedence (konsep imanen dan transenden)
Allah secara bersamaan, sedangkan dengan pola nalar model Yin Yang
maka tidak akan mengalami kesulitan untuk mengekpresikan bahwa Allah
yang Transenden itu juga adalah Pribadi daripada Allah yang Imanen itu
yang eksis dan saling menyatu sebagai bagian dari hakekat Allah, seperti
unsur Yin dan Yang membentuk satu kesatuan dan tidak terpisahkan.
Sama halnya, ketika membicarakan apakah Allah itu sebagai Pribadi
(Personal) atau Tidak Berpribadi (Impersonal), maka jawabannya adalah
benar kedua-duanya sekaligus dan dapat diterima dalam pola nalar
teologi Yin Yang. Jika memakai sistim teologi Barat yang dualistis, maka
Allah hanya dapat dipandang sebagai Pribadi (Personal), atau
Impersoanal yang sulit disatukan dan berintegrasi satu dengan lainnya.
Tetapi jika Allah dipandang sebagai entitas Personal maupun Impersonal
sekaligus, sebagaimana dipahami dalam sistim teologi Yin Yang, maka ini
akan menghasilkan gambaran yang lebih utuh dan tepat akan hakekat
Allah sebagaimana yang diajarkan oleh Alkitab, demikian pandangan Lee
(Elwood, 1992:52).

Demikian pula, ketika membahas tentang Pribadi Kristus. Menurut Lee,


teologi Barat yang bertipe Either or akan sulit menjelaskan Pribadi
Kristus sebagai Pribadi Allah sekaligus manusia. Yang menjadi
pertanyaan Lee di sini, bagaimana sistim berteologi Barat yang dualistis
tersebut dapat menjelaskan konsep pemahaman bahwa pribadi seorang
manusia bisa menjadi seperti Allah?! Namun, jika permasalahan ini
ditinjau dari sistim teologi Yin Yang, masalah ini dapat dijernihkan yaitu
bahwa di dalam Diri Kristus, Allah dan manusia itu tidak terpisah,
keduanya berada dalam hubungan yang saling mengisi atau menyatu satu
sama lain. Kristus adalah Allah dalam hubungannya dengan manusia, dan
Ia adalah manusia dalam hubunganNya dengan Allah, sebagaimana
elemen yin dan yang yang saling menyatu satu dengan yang lain.
Tanggapan Kritis-Obyektif Terhadap Teologi Yin Yang
Pertama, sistim teologi Yin Yang merupakan upaya baru dalam berteologi
di era postmodern ini, dimana selama ini teologi Kristen umumnya
didominasi oleh teologi Barat. Teologi Yin Yang yang dicetuskan oleh
Profesor Lee hadir sebagai produk teologi bergaya Timur atau Eastern
Theology yang mencoba mencari jawab dan menjernihkan isu-isu teologis
Kristen yang belum dapat dipecahkan dan dijawab secara memuaskan
selama ini oleh teologi Barat. Hal ini patut diapresiasi. Meskipun harus
diakui bahwa teologi di Asia atau Timur akarnya memang banyak
bersentuhan baik dengan budaya maupun filosofi agama-agama di Asia
yang beragam coraknya (dibandingkan teologi barat yang umumnya
berakar pada filsafat Barat) maupun muncul dari pergulatan gereja-gereja
di Asia yang diperhadapkan dengan lawan-lawan yang serius dan berat
dalam diri agama-agama Asia (Browne, 1967:5).
Dalam tulisan ini, agama atau kepercayaan yang digunakan oleh Profesor
Lee adalah Buddhisme dengan pola nalar Yin Yang. Menurut hemat
penulis, pemakaian pola nalar teologi Yin Yang oleh Profesor Lee dalam
upaya berteologi dapat diterima dan sah-sah saja. Cara ini tidak
bertentangan dengan strategi yang dipakai Para Rasul Kristus dalam
berteologi. Ada dua contoh yang bisa diutarakan di sini. Pertama, strategi
yang dipakai oleh Rasul Yohanes yang meminjam konsep logos (akal)
dari filsafat Yunanidalam Injil Yohanes 1:1-3 (bandingkan Lane, 1990:4-5).
Di sini Yohanes mencoba menjelaskan keilahian Kristus sebagai Sang
Firman, Pribadi kedua dari Trinitas yang sudah datang menjadi manusia
dengan memakai konsep logos yang sudah dikenal baik oleh bangsa
Yunani maupun Romawi. Kedua, Rasul Paulus yang mengambil konsep
dari Allah yang tidak dikenal yang disembah oleh penduduk Athena
saat itu (KPR. 17:23). Kedua contoh ini, dalam pandangan penulis, besar
kemungkinan ditiru oleh Lee dalam upayanya mencari suatu pola
pemikiran berteologi yang lebih segar dan memuaskan. Cara ini tentunya
tidak salah, sebagaimana Para Rasul pun telah melakukannya dalam

upaya mereka menjawab pergumulan teologis dan tantangan pelayanan


mereka pada zamannya.
Kedua, sistim berteologi Yin Yang merupakan salah satu dari usaha
berteologi yang cocok dipakai dalam rangka menjelaskan isu-isu
dogmatis-teologis yang rumit dan dalam menjawab problema-problema
yang muncul tentang kedudukan kekristenan dibandingkan agama-agama
lain, serta dalam menjawab pergumulan gereja dengan zamannya. Jika
orientasi teologi kristen memang bersifat universal, maka tidaklah menjadi
soal apakah simbol nalarnya diambil dari China maupun barat dalam
upaya berteologi dan memberitakan Kabar Baik, sebagaimana Para Rasul
pun memakai simbol dari agama dan kepercayaan orang-orang yang
mereka layani (seperti Yohanes yang memakai konsep logos dan Paulus
yang mengunakan konsep Allah yang tidak dikenal yang dipercayai
orang Athena dalam KPR. 17:23), termasuk contoh lainnya berupa
pemakaian budaya dan filosofi Jawa dengan Seni Wayang dan musik
Jawa (Gamelan) sebagai simbol dalam menyampaikan berita Injil dan
ajaran alkitab yang dilakukan oleh para penginjil atau misionaris di
Indonesia masa kini (bandingkan Elwood, 1992:54).
Namun, perlu disadari dan dicamkan di sini sebagaimana ditegaskan oleh
teolog Indonesia yang cukup dikenal luas, yakni Eka Darmaputera yaitu
bahwa tidak ada satu pun teologi yang paling benar. Teologi yang sejati,
selalu adalah teologi yang kontekstual untuk menjawab permasalahannya
zamannya, dan tidak dapat dilepaskan dari akar sejarahnya, sekalipun ia
mengklaim dirinya universal (Eka Darmaputera, 1993:3).
Ketiga, sistim berteologi Barat yang umumnya berlandaskan filsafat Barat,
tidak sepenuhnya dapat diabaikan atau dibuang begitu saja, dengan
adanya kritik dari sistim berteologi model Yin Yang. Teologi Barat sebagai
akarnya teologi Kristen, hanya perlu dibatasi fungsinya, namun masih
tetap diperlukan dalam upaya berteologi. Kenyataannya, alkitab sendiri
memiliki sistim teologi yang menyokong keduanya, baik sistim berteologi
Barat yang dualistis dan cenderung eksklusif (misalnya tentang Soteriologi
yang hanya dimungkinkan lewat iman kepada Kristus, Yohanes 14:6;
KPR. 4:12), maupun sistim berteologi ala Yin Yang yang lebih terbuka
dan tidak kaku dalam upaya berteologi, seperti yang dilakukan oleh Para
Rasul.
Oleh karena itu, sejalan dengan pemikiran dan pernyataan Elwood dan
Eka Darmaputera yang telah diutarakan di atas, penulis meyakini bahwa
upaya berteologi bukanlah untuk meniadakan seluruh pola nalar ini-atauitu yang menjadi ciri teologi Barat, melainkan pembatasan fungsinya
dalam upaya berteologi itu sendiri (Elwood, 1992:53).

Keempat, harus diakui bahwa teologi Barat cenderung mengandalkan


rasio dan filsafat yang berujung kepada penonjolan IPTEK, telah gagal
menyajikan teologi alkitab yang seutuhnya yang tidak hanya bertumpu
pada aspek rasional tetapi juga aspek lainnya, baik aspek emosional
maupun rohani atau supranarutal. Dalam hal ini, teologi Yin Yang yang
berakar
pada kosmologi orang-orang China, mampu menjawab
kebuntuan nalar teologi Barat dalam menjelaskan hakekat dan entitas keAllahan sebagaimana yang disaksikan alkitab.
Kelima, sistim berteologi Yin Yang, jika dipakai secara mutlak dalam
berteologi (dalam arti mengabaikan dan membuang sistim teologi Barat
sama sekali), maka akan timbul kecenderungan mengarah kepada
terbentuknya sistim berteologi yang cenderung berciri Pluralistis dan
sinkritis serta mengesampingkan akar sejarah teologi Kristen itu sendiri.
Keenam, terkait dogma Kristen yang sangat fundamen dan sakral, yaitu
tentang finalitas Kristus sebagai puncak dan satu-satunya Jalan dan
Jaminan Keselamatan jiwa manusia seperti yang diajarkan alkitab
(Yohanes 14:6; KPR 4:12), maka teologi Yin Yang akan mengalami
kesulitan untuk mempertahankan doktrin keselamatan fundamental ini
yang mana sudah menjadi klaim yang eksklusif sebagai milik gereja
selama sembilan belas abad (Newbigin, 1993:218).
Ketujuh, teologi Yin Yang ini jika diterapkan dalam dunia penginjilan, maka
akan mengalami kesulitan, khususnya dalam menjelaskan Soteriologi
yang hanya bertumpu kepada Pribadi Kristus sebagai satu-satu-Nya Jalan
Keselamatan, dan tidak memberi kompromi kepada kepercayaan lain
sebagai alternatif jalan keselamatan lainnya di luar Diri-Nya.
Rangkuman
Upaya berteologi dengan memakai pola nalar Teologi Yin Yang
sebagaimana dilakukan oleh Profesor Lee patut diapreasiasi di satu sisi.
Upaya ini merupakan strategi yang sesungguhnya telah dirintis oleh Para
Rasul yang juga memakai simbol keyakinan atau kepercayaan agama lain
dalam menjelaskan pokok-pokok teologi maupun tugas apologetika serta
misi Kristen. Namun disisi lainnya, patut kita sadari dan waspadai bahwa
alkitab tidak serta-merta bersifat inklusif, kenyataannya iman Kristen
mengajarkan bahwa keselamatan itu memang bersifat ekslusif dalam
Pribadi dan karya Kristus di Golgota sebagaimana dinubuatkan oleh Kitab
Suci Perjanjian Lama.
Oleh sebab itu, pola nalar teologi Yin Yang tepat dipakai untuk menjawab
dan menjernihkan masalah-masalah dogmatis-teologis, namun di sisi lain
kita harus tetap loyal kepada ajaran alkitab khususnya dalam upaya
mempertahankan kemurnian Berita Injil (Yoh. 14:6; KPR. 4:12).
7

Kepustakaan:

Browne, L.E. The Eclipse of Christianity in Asia, New York: n.p., 1967
dikutip oleh A.A. Yewangoe, Theologia Crucis di Asia. Jakarta:
BPK, 1996.
Darmaputera, Eka, Predksi dan Proyeksi Isu-Isu Teologis Pada
Dasawarsa Sembilanpuluhan: Sebuah Introduksi dalam
Soetarman, et all. Fundamentalisme, Agama-Agama dan
Teknologi. Jakarta: BPK, 1993.
Lane, Tony. Runtut Pijar. Jakarta: BPK, 1990.
Lee, Jung Young, The Yin Yang Way of Thingking dalam Elwood,
Douglas J., ed. Asian Christian Theology: Emerging
Themes. Philadelphia: Westminster Press, 1992.
Newbigin, Lesslie. Injil Dalam Masyarakat Majemuk. Jakarta: BPK,
1993.
Smith, David L. A Handbook of Contemporary Theology: Tracing
Trends and Discerning Directions in Todays Theological
Landscape. Grand Rapids, Michigan: Baker Books, 2003.

Anda mungkin juga menyukai