Anda di halaman 1dari 18

Resume Buku Pengantar Sejarah Dogma Kristen

Y. A. Theresia (214242014)

A. Konteks Isi Buku


Secara garis besar buku tulisan Bernhard Lohse yang diterjemahkan oleh DR. A.A.
Yewangoe ini membahas terkait perkembangan dogma yang ada dalam barisan sejarah
gereja sepanjang masa, dimulai dari abad pertama. Perdebatan maupun diskusi seringkali
terjadi dalam pembahasan dogma dan doktrin, oleh sebab itu buku ini hadir sebagai usaha
untuk mengupas dan membahas satu per satu sejarah terbentuknya dogma serta doktrin
tersebut. Penulis dari buku ini memiliki latar belakang tradisi Lutheran, namun dalam
pembahasannya penulis memberikan sorotan kepada tradisi lain di luar latar belakangnya.

B. Isi Buku
1. Konsep pemikiran
Memikirkan dan menerapkan sebuah dogma dari sejarah dogma Kristen,
merupakan satu kesatuan dogma yang dipikirkan oleh Katolik Roma dan tidak
boleh berbeda dogma yang dibuat oleh Katolik Roma. Kemudian untuk waktu
yang lama hanya dogma Katolik Roma yang dianggap benar dan dipraktikkan
oleh orang awam, termasuk Martin Luther, yang pernah mengakuinya. Namun
setelah itu muncul Reformasi yang pertama kali dicetuskan oleh Martin Luther,
sebagai dogma Katolik Roma yang dianggap kurang tepat dan harus diperbaharui.
Pembaharuan dogma tidak hanya dari pemikiran Martin Luther tetapi dari
beberapa individu teolog berbeda, yang kemudian akhirnya melahirkan
kontroversi yang tak kunjung usai hingga saat ini. Setelah lama kontroversi,
hanya iman di dalam Kristus yang menyelamatkan orang dari dosa tidak pernah
diperdebatkan, dan diakui sebagai sah dan berlaku selamanya. Penulis
menjabarkan bahwa pengertian dogma, tujuan dogma dan pengamalannya
memiliki makna. Mungkin berbeda tetapi tetap satu atap dalam iman kepada
Kristus yang menyelamatkan umat manusia dari kehancuran kekal. Kontroversi
juga membawa kekristenan kepada iman yang semakin benar.

1
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
2. Definisi Dogma
Penulis buku ini mengatakan bahwa contoh adalah konsensus luas tentang
implikasi dari memahami contoh sebagai klaim doktrinal, sejalan dengan proposal
yang dibuat oleh aliran filsafat. Pemahaman ini juga didasarkan pada pemikiran
Gereja Katolik. Namun, dalam kajiannya tentang konsep keteladanan, seorang
sarjana Yesuit. A. Deneffe, memberikan definisi yang akurat, menurut pandangan
sebagian besar teolog Katolik, yaitu: Dogma est veritas o Deo formaliter revelata
et Ecclesia sive sollemniter sive ordinare definita. Diterjemahkan sebagai
kebenaran yang, sejauh dimaksudkan dipandang secara objektif, diwartakan oleh
Allah dan ditetapkan oleh Gereja.
Orang-orang Protestan juga memberikan contoh dengan cara yang sama. Hernke,
misalnya, menulis: “Dogma-dogma gereja adalah doktrin-doktrin iman Kristen
yang dirumuskan secara logis dan diungkapkan untuk tujuan ilmiah dan
apologetik; doktrin-doktrin itu mencakup pengetahuan tentang Tuhan, dunia, dan
keselamatan yang terjadi melalui Mesias, dan menggambarkan isi objektif agama.
Selain itu, bagi sejarawan teladan dan teolog sistematika berbeda konsepsi dengan
pangkat, seperti yang dipublikasikan Walter Koller dan Martin Werner,
keteladanan dapat dipahami sebagai ekspresi umum iman Kristen oleh komunitas
Kristen, sehubungan dengan esensi Kristen. Dalam pandangan mereka,
pemahaman atau definisi ini tidak terlalu penting tetapi sejarah teladan sebagai
sejarah kesadaran diri Kristen. Tidak kurang dari argumen atau ungkapan yang
diberikan oleh Carl Barth, yaitu kesesuaian proklamasi Gereja dengan pernyataan
yang terlihat dalam Alkitab.
Dengan demikian orang dapat melihat problematika contoh individu, tetapi pada
saat yang sama menghormati contoh-contoh ini sebagai upaya untuk
mengungkapkan kebenaran pernyataan tersebut.

3. Sejarah Dogma
Dari awalnya memang berkembang pada area Katolik Roma, ini adalah tentang
dogma, yang kemudian diadopsi secara luas oleh Protestan. Konsep dogma
kemudian tidak dikenal, selama abad-abad awal. Serta perselisihan antara Arius
2
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
dan Alexander tentang karakter Kristus yang disebut setengah manusia setengah
Tuhan. Dari perselisihan di atas, dapat dikatakan bahwa itu adalah dogma
kekristenan pada awalnya. Maka tidak heran timbul pertanyaan yang kemudian
disebut “dogma” yang melahirkan keputusan Konsili Nicea tahun 325 M, dengan
rumusan pemecahan masalah teologi bahwa Bapa dan Anak (Logos with God)
adalah satu dan tidak dapat dipisahkan sama sekali. Apa yang dilakukan para
bapa Konsili hanyalah memberikan pengakuan iman mereka. Ini diikuti oleh
Konsili Chalcedon (451 M), yang mengatakan “Mengajarkan bahwa seseorang
harus mengaku …” dogma memperoleh peran mereka sebagai infalibilitas, dalam
arti proposisi doktrinal yang infalibel setidaknya sebagian sebagai akibat dari
membangun dogma-dogma itu dalam undang-undang kekaisaran. Oleh karena
itu, pada Abad Pertengahan Gereja Katolik mengembangkan doktrin depositum
fidei, yaitu suatu konsepsi bahwa gereja telah mempercayakan sejumlah harta
kebenaran. Alasan klaim ini adalah bahwa postulat iman yang dinyatakan
bukanlah karakter Gereja mula-mula. Pemahaman ini muncul karena faktor
sejarah. Dari yang dapat dipahami oleh pembaca, orang-orang Protestan tidak
pernah secara resmi mengakui bahwa dalil-dalil iman itu sempurna. Luther dan
para reformator memang mengakui otoritas keputusan dewan gereja kuno, tetapi
keputusan itu dibuat karena pemahaman depositum fidei, tetapi juga harus sesuai
dengan Alkitab. Reformasi yang disusun Luther juga tidak lepas dari
perkembangan situasi spiritual atau gerejawi, serta situasi sosial politik, budaya
(bahkan ekonomi) di Eropa saat itu. Penulis mengungkapkan bahwa sejauh
menyangkut kesinambungan historis dogma, tidak dapat disangkal bahwa Yesus
membuat klaim yang unik, yaitu bahwa Yesus tidak pernah puas hanya dengan
mengajar tentang kehendak BapaNya tetapi menantang orang untuk taat kepada-
Nya. Dengan kata lain mengakui Dia sebagai Tuhan. Dengan arti “Aku adalah
Tuhan”. Tidak lain adalah akhir dari Alkitab adalah realitas yang paling realitas
dari semua yang dibahas.

4. Kanon dan Pengakuan Iman


a. Pembentukan kanon Perjanjian Lama
3
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
Fakta bahwa Kekristenan memiliki kanon tulisan suci yang menjadi dasar
khotbah dan pengajarannya dapat dijelaskan, setidaknya dari sudut
pandang lahiriah, yaitu berdasarkan contoh yang diberikan Yudaisme.
Seperti yang dikatakan bahwa Yudaisme menyelesaikan kanon Perjanjian
Lama pada masa kehidupan Yesus, meskipun tidak ditetapkan sampai
sinode Yahudi diadakan di Jamnia sekitar tahun 100 M. Namun,
pemahaman Kristen dan Yahudi tentang Perjanjian Lama kadang-kadang
dikatakan berbeda, tetapi Yesus menginginkan proklamasi tujuan awal
Tuhan, yang sekarang memanifestasikan dirinya di dalam Dia.
Sejarah penulisan Perjanjian Baru ditulis sebelum 100 M, yang kemudian
digunakan gereja secara teratur oleh gereja-gereja dalam kebaktian,
dipandang sebagai kriteria untuk pembacaan jemaat, juga digunakan
dalam pengajaran katekisasi. Tentu saja itu juga digunakan untuk tujuan
teologis. Yang lebih menegangkan, seorang pemimpin sekte, Swedenborg
yang telah memandikan seseorang, menyerahkan sebuah Alkitab di tangan
kirinya dan buku di tangan kanannya. Seorang dosen teologi bernama
Yopie M. Rattu mengutip dari J. Verkuil mendefinisikan bid’ah sebagai
berasal dari kata Arab bid(a)ah yang berarti “menyimpang dari ajaran
yang benar. Kanon Perjanjian Lama dipahami oleh orang Yahudi sebagai
milik dan bukan milik gereja dan kanon Perjanjian Baru tidak dianggap
sebagai satu kesatuan atau kontinu dan tak terpisahkan. Sikap ini
diungkapkan oleh Yustinus Martir. Jadi dikatakan bahwa Perjanjian Lama
adalah milik gereja dan bukan milik orang Yahudi, karena makna teks-
teks Perjanjian Lama digenapi di dalam Yesus Kristus. Dua metode yang
digunakan oleh gereja kuno untuk membuka rahasia pemahaman Alkitab
yang lebih dalam. Yang pertama disebutkan, interpretasi alegoris dan
interpretasi tipologis. Terhadap kedua metode tersebut sekaligus dapat
pula ditunjukkan bahwa pemahaman teks tidak hanya terbatas pada
periode asal teks tetapi juga mengacu pada masa yang akan datang.
Penafsiran ini dianggap sesuai dengan rencana ilahi untuk sejarah, yang

4
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
membentang dari penciptaan hingga penghakiman terakhir, yang
berpuncak pada Yesus Kristus.

b. Pembentukan kanon Perjanjian Baru


Alasan gereja sebagai orang percaya mengakui otoritas firman Tuhan
tidak dapat dimanipulasi, seperti kata-kata Yesus, “Langit dan bumi akan
berlalu, tetapi perkataan-Ku tidak akan berlalu” (Mat 24:35). Paulus
sendiri sangat berhati-hati untuk membedakan pikirannya dari kata-kata
Yesus sendiri (1 Tes 4:15; 1 Kor 7:10,12,24; 9:14) tanpa komentar. Selain
hal di atas, menarik bahwa formula “sudah tertulis”, yang memungkinkan
kutipan dari Perjanjian Lama, digunakan untuk merujuk pada perkataan
Yesus, seperti yang muncul dalam Surat Barnabas (c. 135 M) dan hampir
bersamaan juga muncul dalam surat kedua Clemens. Ini berarti bahwa
otoritas perkataan Yesus sama dengan otoritas Perjanjian Lama. Bahkan
lebih awal dari ini, pada awal abad ke-2 Injil dipandang sebagai tempat
terakhir untuk meminta nasihat jika ada ajaran yang berbeda. Untuk alasan
ini, dikatakan bahwa kanon Perjanjian Baru berkembang dalam perjalanan
waktu. Dalam perjalanan dan penelitian selama berabad-abad, seorang
pria dari Lyon bernama Ireneus adalah orang pertama yang berbicara
tentang Perjanjian Baru. Selanjutnya tidak berlebihan untuk mengatakan
bahwa Perjanjian Lama adalah dogma dasar gereja; yaitu untuk
menggambarkan kesaksian Allah di dalam Yesus Kristus. Jadi keputusan-
keputusan teologis yang dibuat ketika Alkitab Perjanjian Baru
dikanonisasi, pasti mengarah pada refleksi dan pengakuan iman lebih
lanjut atau yang disebut kredo sebagai berikut: Aku percaya kepada Allah
Bapa, Yang Mahakuasa; Dan di dalam Yesus Kristus, Putra tunggal-Nya,
Tuhan kita, dan di dalam Roh Kudus, gereja yang kudus, kebangkitan
daging. Pengakuan iman ini umumnya sama dalam agama Kristen dan
pernyataan iman ini sebenarnya lebih penting untuk melawan gnostik dan
ajaran yang menyimpang dari ajaran alkitabiah. Berbicara tentang kanon
dan iman sangat penting agar sekte non-Kristen tidak dapat memalsukan
5
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
isi Alkitab yang sebenarnya. Karena pendapat sekte (pemujaan) Gnostik
tidak mengakui Yesus sebagai “ketika ia menjadi manusia” alasannya
adalah tidak mungkin karena dunia material itu jahat dan tidak mungkin
Tuhan yang suci mau datang ke dunia yang najis. Untuk itu memang benar
bahwa Alkitab itu berwibawa dan kanon yang dibuat dapat
dipertanggungjawabkan oleh seluruh kekristenan.

5. Ajaran tentang Dosa dan Anugerah


Pokok pembahasan berikut adalah benang merah tentang manusia dan penebusan.
Dalam mengamalkan agama Kristen menunjukkan kekhususan dan perbedaannya
dengan agama-agama lain, khususnya Yudaisme. Secara umum dapat dikatakan,
bahwa Yudaisme tidak mengenal dogma atau, setidaknya tentang satu dogma,
yaitu bahwa Tuhan adalah satu-satunya Tuhan dan selain Dia tidak ada tuhan lain.
Dengan demikian iman yang dikenal dalam Yudaisme dikatakan sangat berbeda,
yaitu konsep keselamatan yang hanya ada dalam iman karena itu adalah
pemberian dari Tuhan sendiri yang turun ke atas umat manusia, tetapi tidak
berarti bahwa semua tindakan sia-sia tetapi justru karena iman ada ketaatan untuk
berbuat baik atau mengikuti firman Tuhan di dalam Alkitab. Bagi seseorang
seperti Yustinus Martyr, dosa dipahami sebagai kesalahan. Kasus lain muncul
dalam diri Tertullian, seorang teolog besar dari Afrika Utara, yang memiliki
pengaruh besar dalam perkembangan ajaran Trinitas dan Kristologi. Sebagaimana
ajaran ini menunjukkan doktrin dosa warisan, dan jika dibandingkan dengan para
teolog lain pada zamannya, menurutnya, kejahatan terletak pada jiwa manusia.
Anak kecil pun tidak bisa dikatakan sebagai manusia yang bersih dari dosa. Ada
pendapat lain yang datang dari Theodore dari Mopsuestia dengan menolak doktrin
dosa warisan. Menurutnya kematian adalah takdir manusia yang tak terhindarkan
setelah Allah menyatakannya sebagai hukuman atas dosa Adam. Selanjutnya
yang dimaksud dengan apa yang diberikan Kristus (oleh kematian-Nya) bukanlah
pembebasan dosa warisan tetapi untuk memperoleh kedudukan hidup selama-
lamanya. Namun tidak sampai di sini, menurut Pelagius, tidak ada dosa warisan.
Dia mengatakan bahwa dosa warisan hanyalah bentuk dari perbuatan buruk Adam
6
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
dan ditiru oleh banyak orang. Pelagius mengatakan bahwa meskipun Adam jatuh
ke dalam dosa, manusia masih memiliki kemungkinan untuk hidup bebas dari
dosa. Dosa dapat dihindari dengan mengikuti perintah Tuhan. Hal ini
mengakibatkan kasih karunia tidak dilihat sebagai penebusan dosa, dan kasih
karunia dipahami oleh Pelagius sebagai manusia yang dikaruniai akal dan, di sisi
lain, bahwa manusia diberi hukum ilahi. Pelagius secara tegas mengatakan bahwa
anugerah adalah ketika manusia mampu dengan sendirinya memenuhi hukum
Tuhan. Pendapat ini juga mendapat tanggapan dari seorang teolog bernama
Agustinus, yang mengatakan kasih karunia berkaitan dengan penebusan.
Kemudian Pelagius lebih memahami kasih karunia sebagai sesuatu untuk
pengampunan dosa. Alasan semua perkataan Pelagius adalah karena berpusat
pada teologinya, yaitu kehadiran Tuhan dan kebenaran Tuhan. Hal lain yang tidak
bisa dilupakan dari kata-kata Pelagius adalah rasio sebagai patokan kebenaran
doktrinal, kemudian ia membangun sistem berdasarkan pandangan yang pada
masa awal hanya dipegang begitu saja. Kata-kata Agustinus dalam diskusi yang
tajam ini menekankan fakta bahwa anugerah Tuhan diberikan secara gratis, murni
sebagai anugerah kasih-Nya. Tidak ada kesinambungan anugerah dengan pahala
sama sekali, sehingga kontroversi ini terus berlanjut dan belum selesai.
Sehubungan dengan itu, tindakan orang-orang Afrika sepakat untuk terus
memahami kasih karunia sebagai pembawa hidup yang kekal oleh iman kepada
Kristus. Tidak hanya itu, mereka menyatakan "pelanggaran terhadap hal-hal yang
dianggap suci untuk menolak anugerah ilahi atau menjanjikan hidup yang kekal
kepada anak-anak tanpa baptisan". Begitu juga kata-kata J. Verkuyl; bahwa
amanat Reformasi dirumuskan dengan kata-kata: Sola Gratia, sola fidei, sola
scriptura.
Pada periode 1517 (reformasi) kontroversi Pelagian dan semi-Pelagian memiliki
arti yang besar bagi gereja Katolik, pada akhirnya Augustianisme moderat secara
resmi diakui di Gereja Roma. Dalam berbagai cara, para teolog sebelumnya
berpikir untuk menyelesaikan kontroversi tentang dosa dan kasih karunia, dan
Luther pada Abad Pertengahan kemudian menjadi yang pertama kali mengatasi
pemahaman Agustinus yang lemah tentang dosa dan benar-benar
7
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
mengembangkan doktrin dosa. Luther menyadari perbedaan pendapat tentang
dosa dan anugerah antara Agustinus dan Pelagius, dan berkata, memandang
semua manusia sebagai "daging", atau sebagai "jiwa", tergantung pada apakah
seseorang telah diperbarui atau tidak oleh iman kepada Tuhan. Pemahaman
Luther tentang dosa dikatakan total dan pribadi, seperti halnya manusia dengan
seluruh keberadaannya, dan karena itu, pada akhirnya memiliki arti yang sama
dengan kurangnya iman dan kurangnya kepercayaan kepada Tuhan. Secara
meyakinkan dalam Alkitab, Luther mengatakan dosa bukan hanya berarti
pekerjaan tubuh lahiriah, tetapi juga semua kegiatan yang menggerakkan segala
kegiatan yang menggerakkan orang untuk melakukan hal-hal itu, yaitu hati yang
paling dalam dengan segala kuasanya.

6. Sabda dan Sakramen


a. Gereja mula-mula
Sehubungan dengan kontroversi besar mengenai doktrin Trinitas,
Kristologi, dan dosa dan kasih karunia, itu adalah satu kesatuan, sejauh
keputusan ini telah menghubungkan Timur dan Barat. Jadi keputusan
ini sebenarnya mewakili warisan yang dimiliki bersama oleh gereja-
gereja Yunani, Romawi, dan Protestan. Bagi kaum Donatis (gereja yang
memisahkan diri pada masa pemerintahan Konstantinus Agung)
berpendapat bahwa gereja adalah persekutuan yang hanya mencakup
pria dan wanita yang tidak melakukan dosa berat dan karena alasan ini
hanya iman yang bebas dari dosa semacam itu saja yang dapat
menyelenggarakan sakramen secara legal. Kata Yunani untuk sakramen
mysterion (misteri, rahasia), jumlah sakramen terpenting yang
diucapkan, yaitu baptisan dan Perjamuan Tuhan. Kata latin
sacramentum memiliki arti khusus bagi perkembangan minat para teolog
yang kemudian tentang sakramen.
Sementara Perjanjian Baru mengatakan, itu tidak menggunakan konsep
inklusif “sakramen” untuk Pembaptisan dan Perjamuan Kudus.
Singkatnya, dikatakan bahwa segera setelah periode Perjanjian Baru,
8
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
Perjamuan Tuhan dipandang sebagai “pengorbanan” dan ungkapan ini,
awalnya secara kiasan, secara bertahap dipahami secara harfiah. Dengan
demikian, menurut Irenaeus, dia tidak berpikir bahwa Kristus sendiri
dikorbankan sebagai korban. Ia berpendapat, bahwa sebagai akibat atau
akibat dari perkataan lembaga itu, roti dan anggur dipandang sebagai
tubuh dan darah Kristus. Berbeda lagi menurut Ciprian, uskup Kartago
mengatakan bahwa tubuh dan darah Kristus adalah pemberian yang
dipersembahkan oleh para imam. Kemudian gereja mula-mula berpikir
tentang sakramen altar atau altar mencapai tahap tertentu di Ambrose.
Tulisan-tulisannya berisi pernyataan transmutasi dari “elemen” roti dan
anggur mengikuti perkataan tertentu dari teologi Yunani. Menurut dia
roti dan anggur diubah oleh kata-kata konsekrasi menjadi daging dan
darah Kristus. Pada akhirnya dikatakan bahwa ajaran sakramen dapat
dipahami secara luas oleh gereja karena karya Agustinus. Juga dalam
hal ini abad pertama, serta gereja pada umumnya, berhutang budi kepada
Agustinus.

b. Kata-kata dan sakramen dalam ajaran Agustinus


Definisi Agustinus tentang sakramen adalah “kata ditambahkan ke
elemen, dan dengan demikian menghasilkan sakramen, seolah-olah
sakramen itu sendiri adalah kata yang terlihat. Demikian pula Agustinus
dan Ambrose dikatakan secara bersamaan setuju bahwa sakramen
sebenarnya adalah tanda. Menurut dia, sakramen yang sah adalah ketika
baptisan dilakukan atas nama Allah Tritunggal, diakui dan dibaptis
dalam persekutuan.Jika ada baptisan yang tidak sesuai dengan pendapat
Agustinus, itu adalah pekerjaan bidat dan tidak sah. Ketika seseorang
menjadi bidat, atau bidat menjadi anggota gereja Katolik, apakah
sakramen itu berpengaruh. Signifikansi teologis dasar Agustinus tentang
sakramen terlihat jelas dalam konsepsinya tentang Perjamuan Tuhan.
Menurutnya, kuasa sakramen ada dua: pertama, sakramen memiliki
kuasa untuk membuat seseorang tetap tinggal di dalam Kristus, dan
9
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
kedua, pada hubungannya dengan gereja. Jadi Perjamuan Tuhan
dikatakan sebagai simbol dari satu tubuh Kristus, dan siapa pun yang
termasuk dalam tubuh Kristus makan tubuh-Nya dan minum darah-Nya.

c. Kontroversi tentang Ekaristi selama Abad Pertengahan


Kontroversi pertama mengenai Perjamuan Tuhan muncul sebagai akibat
dari sebuah buku oleh Paschasius Radbertus (c. 798-856), seorang
biarawan dari Korbi Convenience di Prancis. Dalam hal memahami dan
memahami sakramen menurut Radbertus, sejalan dengan apa yang
dikatakan Agustinus, namun kemudian Radbertus mendapat perlawanan
dari Radbanus Maurus dan Ratramnus (780-856), yang diangkat sebagai
Uskup Agung Mainz pada tahun 847. Menurut Radbertus, bukanlah
tubuh dan darah Kristus yang tersembunyi di bawah rupa roti dan
anggur, tetapi hanya “tubuh rohani dan darah Kristus”. Selanjutnya
Kurban Misa hanya dimaksudkan untuk mengabadikan kenangan akan
pengorbanan Kristus yang terjadi di kayu salib. Roti dan anggur adalah
“gambar”, yaitu tanda peringatan. Kontroversi kedua melahirkan ajaran
Berengar tentang perjamuan selama Abad Pertengahan. Dia adalah
seorang teolog dan kepala sekolah terkenal di Tours, ajarannya
mengatakan bahwa Perjamuan Tuhan dapat disebut simbolisme
antirealistik. Dia lebih lanjut mengatakan bahwa Perjamuan Tuhan
sebagai hasil dari esensi konsekrasi imam, roti dan anggur diubah
menjadi tubuh dan darah Kristus yang sebenarnya. Karena ajaran
Berengar lebih populer pada saat itu tetapi tidak setuju dengan pendapat
para teolog lain atau dianggap bertentangan, sebuah sinode yang
diadakan pada tahun 1050 mengutuk ajaran Berengar dan dikucilkan.
Kemudian muncul pandangan baru dan mencoba mengakhiri kontroversi
ini, yaitu seorang teolog bernama Humbert yang berpendapat bahwa
Kristosentrisme jauh lebih bermakna daripada penjelasan Perjamuan
yang muncul di kemudian hari. Demikian pula, para reformator Luther,
Zwingli dan Calvin terus mengambil alih penafsiran Kristosentris.
10
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
d. Perkembangan selanjutnya dari doktrin sakramen
Pokok yang dibahas dan penting berkaitan dengan jumlah sakramen.
Sampai abad ke-12 masih belum ada kepastian tentang jumlah
sakramen-sakramen tersebut. Menurut Peter Damiani, misalnya, seorang
pertapa dan teolog penting, ia menghitung tidak kurang dari 12
sakramen, yang terdiri dari: baptisan, penguatan, pengurapan orang
sakit, penahbisan uskup, pengurapan raja, penahbisan gereja, pengakuan
iman, penahbisan kanon, penahbisan biksu, petapa, dan biksuni,
penahbisan pernikahan. Setelah Petrus dan Petrus Lombard, seorang
guru teolog di sekolah katedral di Notre Dame, yang kemudian diangkat
menjadi uskup, disebutkan bahwa ada tujuh sakramen yaitu,
Pembaptisan, penguatan, Perjamuan Kudus, pertobatan, pengurapan,
penahbisan imam dan perkawinan. Untuk memastikan sakramen mana
yang lebih tepat, perlu didefinisikan makna sakramen. Menurut Hugo,
seorang teolog, sakramen adalah “suatu unsur jasmani atau materi yang
ditempatkan di hadapan manusia tanpa memperlihatkan rupa dan makna
lembaga-lembaga dan mengandung pengudusan beberapa karunia yang
kelihatan dan rohani. Berbeda dengan Agustinus yang mengatakan
sakramen mengandung rahmat. Demikian juga Peter Lombard
mengatakan bahwa sakramen adalah tanda rahmat Tuhan dan suatu
bentuk rahmat yang tidak terlihat. Tidak berhenti sampai di situ, tetapi
Thomas Aquinas juga memberikan definisi sebagai “unsur” dan
“firman”. Mengenai dampak sakramen dalam perkembangan kontroversi
ini, Peter Lombard memberikan penjelasan sebagai tanda rahmat ini.
Sedangkan menurut Skolastik, dampak sakramen adalah sebagai
perantara rahmat. Juga menurut para Dominikan dan Fransiskan bahwa
sakramen-sakramen dikatakan memiliki pengaruh ketika diberikan. Dan
kemudian dikatakan bahwa kepenuhan imanlah yang menyelamatkan
dan tidak dilihat sebagai prasyarat untuk penerimaan sakramen-
sakramen.
11
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
7. Pembenaran
a. Reformasi
Pembenaran Luther hanya ada dalam anugerah iman, dan pusat pusat era
Reformasi ada dalam pembenaran ini. Tetapi menurut ajaran Katolik
pembenaran manusia sebagian bergantung pada kebenaran yang
terkandung dalam diri manusia itu sendiri, dan untuk pekerjaan ini
memiliki arti yang besar. Kemudian Luther mengambil dasar dari
Alkitab, yaitu menurut Rasul Paulus (Roma 4:5) bukan manusia yang
mencari Tuhan; tetapi Allahlah yang dalam kasih karunia-Nya yang
menyelamatkan datang kepada manusia. Hal ini dikatakan Luther
sebagai pembenaran karena ajaran Katolik Roma selalu
mempertahankan pandangannya bahwa “perbuatan merupakan prasyarat
untuk menerima pengampunan dosa, yang menekankan bahwa iman
juga ditempatkan pada tempat yang ditempati oleh imbalan.

b. Calvin dan Gereja Reformasi


Tentang pembenaran Calvin, jelas bahwa umat Protestan tidak boleh
menghadiri Misa Perjamuan Kudus (sakramen), sedangkan ajaran
Calvin tentang makan malam berpindah-pindah antara ajaran Luther dan
Zwingli. Pandangannya tentang perjamuan itu lebih dari sekedar
pengakuan iman gereja. Bersama Luther, ia membela pandangan
tentang kehadiran nyata Kristus pada perjamuan itu. Bagi Calvin,
makan malam hanya dihadiri oleh Roh Kudus.

c. Jawaban Gereja Roma


Gereja Roma tidak bisa lepas dari pertanyaan-pertanyaan yang
dilontarkan oleh Luther dan reformasi Gereja Katolik Roma harus
melangkah lebih jauh dari sekedar mengucapkan kutukan terhadap
“bidat” dan memberikan jawaban yang valid untuk setiap pernyataan.
Sampai akhir konsili, yang telah berulang kali dituntut oleh berbagai
12
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
pihak, diadakan di Trent pada tahun 1545, tetapi ditunda, hal ini
dilakukan untuk mendapatkan jawaban pasti dari jawaban Roma.
Jawabannya menunjuk pada tiga masalah, yaitu; hubungan antara
Alkitab dan tradisi, doktrin pembenaran dan pertanyaan tentang
kepastian keselamatan. Kontroversi yang perlu dipikirkan gereja sangat
beragam, yaitu sebuah montanus agama, yang diucapkan dengan tajam
dan berusaha ditanggapi oleh semua orang Kristen, yaitu “Roh Tuhan
memberikan pernyataan baru lagi, yang lebih tinggi dan sempurna dari
pernyataan Tuhan. Dalam Alkitab. Kemudian keputusan Konsili Trente
mengenai hubungan Alkitab dan tradisi diarahkan terhadap landasan
seluruh Reformasi. Kemudian mengenai pembenaran jawaban Roma
adalah terra incognito (daerah tidak diketahui). Seperti Agustinus dan
Thomas Aquinas, dekrit tiga sisi ini memandang pembenaran sebagai
proses di mana manusia dijadikan benar. Selain itu, menurut Pfurtner,
tidak ada kepastian keselamatan yang nyata yang bisa dicapai, kecuali
“predictability of Certainty”. Jika ada pendapat seperti ini tanpa bukti
yang kuat, maka, Norman L. Geisler dan Paul D. Feinberg, para filosof
mengatakan bahwa kata-kata dalam bentuk fondasionalisme berarti ada
jawaban tetapi tidak ada dukungan sebagai bukti konkrit. Lebih lanjut,
baik Katolik maupun Protestan yang telah melakukan penyelidikan ini
tidak melihat secara jelas bahwa Aquinas pada hakikatnya tidak
mengajarkan kepastian keselamatan. Perbedaan antara Luther dan
Aquinas dalam hal ini, di atas segalanya, adalah formal. Luther melihat
kepercayaan sebagai unsur iman, sedangkan Aquinas di sisi lain melihat
iman sebagai pengetahuan yang membawa kepercayaan ke dalam
hubungan dengan harapan.

8. Dogma dalam Katolik Modern


Memahami dogma, Gereja Katolik Roma adalah satu-satunya komunitas Kristen
yang di zaman modern ini menyebarkan postulat-postulat iman yang dipahami
sebagai dogma yang mengikat. Jadi Gereja Roma mengklaim bahwa mereka
13
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
adalah satu-satunya yang melanjutkan sejarah dogma yang tak terputus. Oleh
karena itu Konsili Trente sangat berarti bagi Roma karena berkaitan dengan arah
sejarah dogma.
a. Tanpa Noda (Immaculata)
Dua atau tiga dari dogma Katolik Roma yang didirikan pada periode
modern berkaitan dengan Mariologi. Ketaatan dan penghormatan
kepada Maria menempati tempat yang sangat terhormat dalam agama
Katolik modern. Menurut ajaran Katolik saat ini, empat pernyataan
tentang Maria adalah bagian dari iman yang diperlukan untuk
keselamatan. Yang dimaksud adalah Maria melahirkan Tuhan. Itu
berarti ibu dari Allah; bahwa Maria tetap perawan, bahkan jika dia
melahirkan Yesus; bahwa ia berada di dalam rahim Immaculata atau
tanpa cacat; dan akhirnya, bahwa dia diangkat ke surga. Tapi itu
berbeda, menurut Perjanjian Baru yang tidak secara khusus mengakui
kesalehan Maria. Perjanjian Baru juga tidak memiliki Mariologi. Baik
Matius maupun Lukas. Mariologi dikembangkan lebih lanjut selama
Abad Pertengahan. Ibadah Maria, yang di gereja kuno di pinggiran
(feriperi), dan menjadi kebiasaan. Menyembah Maria sama dengan
menyembah ibu duka, ratu surga, perantara dalam setiap kesulitan.
Tetapi ini ditentang oleh Anselmus, bapak skolastik, dengan mengatakan
bahwa Maria dikandung dalam dosa dan tunduk pada dosa warisan;
hanya Kristus yang tidak berdosa. Begitu pula dengan Luther, yang
mengatakan Maria hanya menduduki posisi “perantara antara Kristus
dan orang lain. Masalah ini ditanggapi dengan antusias oleh Alexander
VII, yang menyatakan bahwa “perawan Maria yang diberkahi pada saat
pertama dikandungnya, dengan karunia unik dari Tuhan Yang
Mahakuasa dan dengan pertimbangan oleh jasa Kristus Yesus Juru
Selamat umat manusia, dibebaskan dari semua noda dosa warisan.

b. Ketidakmampuan Paus

14
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
Selama Abad Pertengahan adalah mungkin bagi para paus untuk
memperkuat posisi mereka ke segala arah. Dalam konflik yang berlarut-
larut dengan Kaisar, muncul pemenang. Dalam bulla yang terkenal dari
tahun 1302, berjudul Unam Sanctum, Paus Bonafacius VIII
merumuskan dengan lebih tajam klaim paus atas kekuasaan; baik
“pedang”, baik rohani maupun jasmani, dikatakan berada di tangan
gereja. Yang pertama dijalankan oleh gereja oleh gereja, sedangkan
yang kedua dilakukan untuk gereja. Menurut dokumen timah hitam,
seseorang yang ingin diselamatkan harus menyerahkan dirinya kepada
kepausan Romawi. Juga berhak mengangkat dan memberhentikan
uskup. Dalam (Church History, H berkof dan I. H. Enklaar: hlm. 1-4)
mengakui bahwa di dunia Timur adalah kebiasaan untuk tunduk kepada
Kaisar bahkan kaum awam yang dianggap berasal dari dunia ilahi.
Namun hal ini dikritik oleh Luther yang mengatakan kepura-puraan Paus
adalah menempatkan dirinya sebagai pengganti Kristus, yaitu dengan
mewartakan atau menyalahgunakan Sabda Allah menurut
kepentingannya sendiri. Namun, Konsili Vatikan I menyatakan bahwa
status dogmatis tidak hanya melawan ketidakmampuan paus, tetapi juga
terhadap keuskupan universalnya. Lebih tajam lagi, Paus mengatakan
dia adalah “pendeta sejati Kristus, kepala seluruh Gereja, ayah dan guru
semua orang Kristen”.

9. Dogma dalam Protestanisme


Apa ada sejarah dogma dalam Protestantisme? Diakui bahwa sejarah dogma
lebih mudah ditemukan dalam Katolik baru-baru ini daripada dalam
Protestantisme. Hal ini tergambar, karena ada kesulitan yang tidak menyatu.
Lebih jelas bahwa tidak ada pengakuan yang seragam di dalam Protestantisme,
yang dalam arti dan maknanya dapat disamakan atau dibandingkan dengan
dogma-dogma gereja kuno atau dengan tulisan-tulisan pengakuan dari Reformasi.
Karena alasan ini, tampaknya paling baik Protestantisme dogmatis historis
dianggap telah berakhir pada masa Reformasi. Selanjutnya, di era Ortodoksi,
15
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
keunikan Ortodoksi dalam sejarah dogma dikatakan terletak pada referensi teologi
sistematika, yang sangat berpengaruh. Misalnya dalam kaitannya dengan
penentuan hubungan antara akal dan wahyu serta terletak pada ajaran Kitab Suci.
Para dogmatis Ortodoksi bahkan merumuskan serangkaian kriteria yang
dengannya inspirasi diakui. Dalam dogmatisnya David Hollaz (1648-1713)
membedakan antara kriteria eksternal dan internal. Di antara kriteria eksternal
adalah usia tulisan, cahaya khusus yang dimiliki oleh “bantuan penulis” suci
(yaitu para penulis), tujuan mereka untuk kebenaran dan wawasan, kemuliaan
tanda-tanda ajaib yang dengannya ajaran surgawi dari Alkitab adalah didukung. ,
kesaksian bulat tentang keilahian Alkitab oleh gereja yang mengelilingi bumi,
ketekunan para martir, dan hukum pahit yang dikenakan pada mereka yang
menghina dan mencela firman ilahi. Kemudian, mengacu pada kriteria internal,
Hollaz berpikir tentang, misalnya, kemuliaan Allah yang menyaksikan diri-Nya
dalam Alkitab, tentang kebesaran dan pentingnya gaya kanonik buku, tentang
kebenaran perkataan Alkitab dan tentang kecukupan Alkitab untuk keselamatan
abadi.

10. Keesaan Gereja


a. Sejarah dogma
Perkembangan-perkembangan yang terjadi selama berabad-abad
semuanya membuat konsepsi mereka sendiri tentang gereja-gereja,
terutama dalam hal dogma. Tetapi menurut gereja Katolik Roma,
pertanyaan tentang kesatuan gereja menempati tempat sentral dalam
Protestantisme modern. Namun, tidak ada keraguan bahwa di zaman
sekarang ini kesatuan gereja adalah tema sentral dari sejarah gereja dan
sejarah dogma, sama seperti di masa lalu di mana doktrin Trinitas,
Kristologi, dan doktrin Dosa dan Kasih Karunia, atau pertanyaan
tentang pembenaran juga penting. Keunikan sejarah dogma
diekspresikan oleh apresiasi baru terhadap totalitas iman Kristen. Oleh
karena itu, iman kristiani merupakan suatu kepercayaan yang harus

16
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
disatukan terlebih dahulu, sehingga dalam perjalanan waktu mungkin
ditemukan cara-cara baru untuk mengatasi masalah-masalah tersebut.

b. Gerakan Oikumenis
Gerakan Oikumenis mengajak gereja-gereja untuk saling mendekatkan
diri. Hal lain yang disebutkan dalam konstitusi adalah bahwa dewan
Gereja-Gereja sedunia “adalah komunitas gereja-gereja yang menerima
Tuhan kita, Yesus Kristus, sebagai juruselamat”. Gereja Oikumenis
mencari persekutuan dengan mereka yang dipisahkan oleh batas-batas
gerejawi, tetapi tetap menjadi bagian dari persekutuan satu tubuh
Kristus. Menurut WCC (World Council of Churches) mereka tidak puas
dengan jawaban di atas, sehingga mereka bercita-cita untuk melayani,
bersaksi dan bersekutu. Dasar yang diberikan WCC dikatakan adalah
persekutuan gereja-gereja yang mengakui Tuhan Yesus Kristus sebagai
Tuhan dan Juruselamat menurut Alkitab, dan oleh karena itu berusaha
untuk memenuhi panggilan bersama mereka untuk kemuliaan Tuhan,
Bapa, Anak dan Roh Kudus.

C. Kesimpulan
Buku ini memuat informasi penting terkait sejarah dogma dan doktrin. Memang benar,
penulis berhasil memadukan berbagai informasi yang kemudian berguna bagi para
mahasiswa teologi dan orang-orang yang berminat di bidang dogmatika Kristen, bahkan
yang baru memulai proses literasi sekalipun. Buku ini terbukti dapat meringkaskan
sejarah dogma-dogma yang tidak singkat itu secara menyeluruh dan sistematis serta logis
walaupun buku ini ditulis pada tahun 1963 yang mana masih memiliki sedikit kelemahan
yaitu kurang memberikan perhatian pada perkembangan mutakhir di dalam pemikiran
dogma yang muncul di area Asia, Afrika, dan Amerika Latin. Pembaca menanggapi
bahwa perlu kembali adanya tinjauan ataupun pembahasan kepada masalah penafsiran
Alkitab dan seberapa kuat otoritas penafsiran tersebut terhadap pendekatannya. Tentu
penafsiran bisa saja salah tetapi paling tidak penafsiran siapa yang paling mendekati isi
Alkitab. Tujuan penetapan dogma bukan juga semata-mata untuk kepentingan suatu
17
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988
kelompok tetapi demi terhambatnya pengajaran-pengajaran yang keliru atau menyesatkan
kekristenan. Tradisi bukan berarti kredo tetapi iman. Dogma boleh saja beda tapi
pengakuan akan ketuhanan Kristus tidak dapat ditolak, selain itu dapat dikatakan aliran
yang berbeda dari kekristenan atau menyimpang.

18
Bernhard Lohse, “Pengantar Sejarah Dogma Kristen: dari Abad Pertama sampai dengan masa kini”.
1963. Diterjemahkan oleh: A. A. Yewangoe. 1988

Anda mungkin juga menyukai