Anda di halaman 1dari 21

Etika kontemporer

Dosen Pengampu:
Dr. TELHALIA
DR. TIRTA SUSILA
DR. AGUS SURYA
PENDAHULUAN
 
Etika adalah ilmu yang menyelidiki apa yang secara moral benar dan salah, baik
atau buruk, karena etika adalah suatu ilmu pengetahuan yang normatif, sebab ia
senantiasa melakukan pertimbangan dan penilaian tentang apa yang baik dan buruk.
Etika tidak hanya melukiskan segala macam perbuatan manusia (deskriptif),
melainkan juga menilainya dan mempertimbangkan apakah tingkah laku manusia
dapat diterima atau tidak. Pada akhirnya etika memberi kepada manusia pedoman
untuk cara hidupnya (preskritif).
Terminologi Etika

Etika berasal dari kata Yunani: ethos, ethe, ethika, yang dapat diartikan “kebiasaan,
adat. Dalam kasus tertentu, juga dapat diartikan kesusilaan, perasaan batin, atau
kecendrungan hati dengan mana seseorang melaksanakan sesuatu perbuatan. Dalam
Bahasa Latin, istilah ethos, ethe, ethika, disebutkan dengan kata mos, bentuk
jamaknya mores. Itu sebabnya kata etika sering pula dterangkan juga dengan
“moral”. Menurut asalnya, kedua kata tersebut tidak berbeda, namun dalam
penggunaannya bisa berbeda. Arti moral lebih kepada kelakuan lahir seseorang,
sedangkan etika tidak hanya menyinggung perbuatan lahir saja, tetapi juga
menyinggung kaidah dan motif-motif perbuatan seseorang yang lebih dalam.
Dalam Alkitab kata ethos, ethe tersebut muncul beberapa kali dalam PB, yakni
dalam Lukas 22:39 “ Kai. evxelqw.n evporeu,qh kata. to. e;qoj eivj to. o;roj tw/n
evlaiw/n( hvkolou,qhsan de. auvtw/| kai. oi` maqhtai,Å Kata e;qoj (( habit, usage
Luk. 22:39; Yoh. 19:40; KPR. 25:16; Ibr. 10:25. Custon, law Luk. 1:9; KPR. 6:14;
21:21; 28:17. [ethics]: dapat diartikan kebiasaan, cara, adat istiadat, hukum.
Kata ethos juga dapat berarti susila, misalnya dalam penjara di Filipi, tentang
Paulus dan Silas, dalam KPR 16:21 “ kai. katagge,llousin e;qh a] ouvk
e;xestin h`mi/n parade,cesqai ouvde. poiei/n ~Rwmai,oij ou=sinÅ Karena
itu kata ethos / ethe, dapat diartikan kebiasaan dan susila, dua kata ini tidak mungkin
dapat dibedakan.
Pengertian Etika Teologis
 
Etika adalah bagian dari ilmu teologi, yang menyelidiki segala kelakuan manusia dari
pandangan “baik atau buruk”. Itu sebabnya, teologi Reformasi menempatkan ilmu
etika dalam rangka dogmatologi (etika dan dogmatika tidak dapat dibicarakan secara
terpisah). Hal ini dapat kita lihat dari sejarah gereja, dimulai dari abad-abad pertama,
Bapa-bapa gereja menulis berbagai tulisan tentang etika dalam ilmu teologi, seperti
Tertullianus, Ambrosius, Agustinus, Thomas Aquino, Lombardus, tokoh-tokoh
Reformator, seperti: Luther, Calvin, Zwingli, Beza, dll, sampai dengan permulaan
abad ke- 20, seperti Abraham Kuyper, Karl Barth. Menunjukkan bahwa di dalam
sejarah teologi pada umumnya, Etika dimasukkan ke dalam apa yang disebut mata
pelajaran sistematika, atau dogmatika.
 Dogmatika suatu teologi yang memikirkan tentang isi iman: Kasih Allah Bapa,
anugerah Allah Anak dan persekutuan dengan Roh Kudus. Etika Kristen,
memikirkan tentang kehendak Allah yang sudah dinyatakan dalam Hukum Taurat,
Hukum Kristus. Ketaatan pada hukum Allah di tengah-tengah kehidupan dalam
dunia ini . Adapun yang melatarbelakangi dasar dari keyakinan ini adalah kitab suci:
“Iman tanpa perbuatan adalah mati” (Yakobus, Roma). Dasar dari perbuatan baik
kita adalah “iman kepada Allah”. Pokok dogmatika adalah Allah lebih dulu
mengasihi kita, pokok etika adalah manusia mengasihi Allah dan sesama. Jadi, Etika
dapat didefenisikan secara sederhana : “Etika adalah pertimbangan kelakukan atau
tingkah laku (baik dan buruk) yang bertanggung jawab terhadap Allah dan terhadap
sesama manusia.
 Etika Teologi
 
Teologi dan etika dalam Alkitab tidak dapat dipisahkan. Untuk memahami etika
teologi, kita dapat belajar dalam Alkitab tentang bagaimana dan mengapa bangsa
Israel hidup dan percaya kepada Allah, bagaimana dan mengapa orang-orang
Kristen perdana hidup dan percaya kepada Allah di dalam Kristus. Ada 3 skema
kerangka etis umat Allah:
Allah
(sudut Teologis)

Israel/Umat Allah Tanah


(sudut sosial) (sudut ekonomis)
Etika Alkitab dibangun berdasarkan pada pemahaman umat Allah akan
keberadaan mereka sebagai suatu umat, hubungan mereka dengan Allah dan
lingkungan fisis mereka (Israel: tanah perjanjian; orang percaya: surga). Inilah
ketiga faktor utama teologi dan etika umat Allah: Allah, umat Allah, dan tanah
(tanah perjanjian). Ketiga faktor ini saling berhubungan dan mempengaruhi,
dari sudut teologis, sudut sosial, dan sudut ekonomis.
Sudut Teologis

Secara fundamental, etika Kristen bersifat teologis, dalam arti, segala hal dalam
etika dihubungkan dengan Allah, sifat, kehendak, karya-karya dan tujuan-Nya,
atau dapat diperluas dalam 4 cara, yakni: Etika Kristen berpusat pada Allah
dalam asal mula, sejarah, isi dan motivasinya.
1. Asal usul yang berpusat pada Allah
Allah bertindak lebih dahulu dan memanggil manusia untuk memberi respon. Ini merupakan dasar
atau titik berangkat bagi ajaran moral umat Allah. Allah mengambil prakarsa dalam anugerah dan
karya penyelamatan, baru kemudian membuat aturan, atau tuntutan etisNya dalam terang prakarsa
itu. Karena itu, etika merupakan tanggapan dan pengucapan syukur, bukan ketaatan yang tanpa
alasan. Contoh, peristiwa-peristiwa keluaran dan peristiwa di kaki gunung Sinai (Kel. 1 – 24), Umat
Isreal diperbudak di tanah Mesir – Umat Allah berteriak dan berseru kepada Allah – Teriakan
mereka sampai kepada Allah (Kel. 2:23-25) – dan Allah bertindak, dst. Kemudian mereka sampai
ke gunung Sinai (Kel. 16 – 19). Allah memberi hukumNYa/ hukum Taurat kepada umatNYa (Kel.
20 – 23), dan membuat satu perjanjian dengan mereka (Kel. 24). Semua yang telah diperbuat Allah
ini lahir dari kesetiaan kepada SifatNya sendiri dan janji-janji yang telah dibuatNya dengan para
leluhur bangsa Isreal.
Urutan peristiwa-peristiwa dalam cerita ini sangat penting untuk kita memahami kerangka etika teologis
( Allah bertindak terlebih dahulu dan menyelamatkan mereka, baru kemudian membuat perjanjian dengan
mereka, yang mencakup hukum itu sebagai ungkapan rasa syukur dan kesetiaan kepada Allah yang telah
menyelamatkan mereka (lih. Kel. 19:4-5). Demikian pula kita dapat melihat dalam dasa titah (10 hukum
Taurat), sebelum Allah memberikan perintah pertama, Allah memberi kalimat pembuka yang amat penting, “
Akulah Tuhan Allahmu, yang telah membawa kamu keluar dari Mesir, dari tanah perbudakan (Kel. 20:2).
Allah memperkenalkan diriNya sebagai penyelamat, baru kemudian perintah (pernyataan ke perintah), (band.
Ul 1 – 4) mendahului 10 hukum Taurat dalam Ulangan 5. Dalam PB, susunannya juga sama seperti PL, “Allah
mengasihi terlebih dahulu, baru orang percaya mengasihi Allah (Yoh. 15:12; 1 Yoh. 4:19; band. Rm. 12:1).
Anugerah Allah datang terlebih dahulu, baru sesudah itu respon/tanggapan manusia, ini merupakan dasar
ajaran moral diseluruh Alkitab.
1. Sejarah yang berpusat pada Allah
Dalam etika teologis, ada sifat dinamis, yakni mempunya relevansi hidup yang sesuai
dengan vitalitas iman umat Allah/Israel. Vitalitas itu sebagian besar disebabkan karena
iman Isreal dihasilkan, didasarkan, dan ditopang dalam sejarah mereka (Allah terus
menerus berkarya dalam sejarah), karena itu, dalam setiap rangkaian peristiwa
memiliki makna moral (misal, pemeliharaan dan pemberian makan dipadang gurun).
Tanpa keyakinan akan keterlibatan dan perhatian Allah yang aktif dalam peristiwa dan
sejarah ini, etika menjadi pragmatis, bahkan dapat dikesampingkan. Tetapi keyakinan
itu sangat hidup di Israel, misalkan cerita Yusuf (Kej. 50:20).
Ada 2 dimensi kepercayaan Israel akan sejarah yang mempunyai makna etis
yang sangat mendalam, yakni dimensi penyelamatan dan dimensi eskatologis.
Dimensi penyelamatan menunjukkan kepercayaan bahwa Allah sudah bertindak
pada masa lalu dengan perbuatan-perbuatan yang luar biasa untuk membebaskan
umatNya dan menghukum musuhNya. Dimensi ini mempengaruhi etika yang
berimplikasi pada tanggapan ucapan syukur dan ketaatan umat Allah. Dimensi
eskatologis, menunjukkan kepercayaan bahwa dalam karya-karya penyelamatan
tersebut Allah mempunyai tujuan yang berlangsung terus menerus, yang menuju
kepada pemenuhan yang sempurna dengan menyingkirkan kejahatan, memulihkan
dan mempertahankan kebenaran, menegakkan keadilan dan pendamaian, serta
memulihkan keharmonisan antara umat Allah, umat manusia, dan alam.
Dalam PB juga terlihat mirip dengan pandangan PL, dengan tekanan etis
dalam teologi PB tentang kerajaan Allah, yakni kerajaan Allah hadir dalam
sejarah melalui pekerjaan karya Kristus didunia – pengharapan akan
pembangunannya yang terakhir (kota Yerusalem baru), ketika Kristus datang
kembali di bumi dan langit baru (Why. 21).
3. Isi yang berpusat pada Allah
Ketaatan dan tingkah laku bangsa Israel, adalah refleksi dari sifat Allah sendiri. Allah
menjadi panutan dan teladan hidup mereka, contoh: Allah telah membebaskan Israel
dari perbudakan. Karena itu keadilan dan kemurahan Allah harus dicerminkan dalam
perlakuan Israel terhadap budak-budak dan orang-orang lemah dalam masyarakatnya
(lih. Kel. 23:9; band. Kel 21:2-11, 20-21, 26-27; Ul. 15:15). Ajaran yang paling jelas
tentang prinsip ini ditemukan dalam kitab Imamat 19:2, “ Kuduslah kamu sebab
Aku, Tuhan Allahmu, kudus “.
Kekudusan adalah hakikat Allah, dan ini harus menjadi standar etika bagi umat Allah.
Dalam PB, Yesus pun mengajarkan kepada murid-murid (lih. Mat. 5:48). Unsur
peneladanan Allah, baik dalm PL, maupun dalam PB, sangat kuat (lih. Ef. 5:1-2).
Dalam Ulangan 10:12-19, terlihat jelas himbauan moral yang disampaikan secara
umum: ay. 12, jalanNya, adalah jalan kasih yang merendahkan diri dengan memilih
Abraham dan keturunannya ( ay. 14-15). Respon yang diminta Allah kepada
umatNya: “sunatlah hatimu ….” (ay. 16). Jalan-jalan Allah yang khusus, yang
didalamnya umat Israel harus berjalan: tidak memandang muka, tidak menerima suap,
membela hak yatim dan janda, menunjukkan kasih kepada orang asing dengan
memberikan makanan dan pakaian …” (ay. 17b – 19).
4. Motivasi yang berpusat pada Allah
Pengalaman pribadi tentang Allah dijadikan motivasi untuk tingkah laku etis yang
konsisten. Misalkan, pengalaman Israel dalam perbudakan, merupakan motivasi bagi
mereka untuk bagaimana memperlakukan budak (lih. Ul. 15:15). Keterangan tentang
motivasi semacam ini adalah satu ciri khas hukum-hukum dalam kitab Ulangan,
karena tujuannya adalah bukan hanya untuk menyatakan hukum itu sendiri, tetapi
juga mengajak dan memotivasi umat Allah untuk menaatinya. Contoh lain: Ulangan
8:2, 11, 12-14, dan banyak lagi contoh-contoh lain dalam PL.
Motivasi yang sama juga ada dalam kitab PB, misalkan: perumpamaan Yesus
tentang hamba yang tidak tahu berterima kasih (Mat. 18:21-35), pengorbanan
Yesus dikayu salib menjadi motivasi bagi murid-murid untuk rendah hati (Yoh.
13:12-17; 15:12-13), kemudian diteruskan oleh para Rasul bagi jemaat (1 Ptr.
2:21; 1 Yoh.3:16-17).
Jadi ajaran etis Alkitab berpusat pada Allah, sebab ajaran itu diprakarsai oleh
Allah dalam anugerah dan penebusan, baik pada masa lampau, maupun masa
yang akan datang, dibentuk oleh sifat dan perbuatanNya, dimotivasi oleh
pengalaman pribadi akan pergaulan Allah dengan umatNya. Ini bukanlah
persoalan teologis atau keagamaan belaka, meliankan suatu perintah etis, sebab
karena pandangan yang salah tentang Allah, akan menghancurkan pula dasar
etika yang pokok. Hanya Allah yang hidup dan berkarya dalam sejarah yang
dapat memulai, membentuk dan memotivasi kehidupan moral umatNya.

Anda mungkin juga menyukai