Anda di halaman 1dari 21

Moral Sosial

P. Gregorius Nule, SVD

Teologi Moral Sosial pada prinsipnya dilihat sebagai mediasi atau jembatan antara
iman dengan kenyataan-kenyataan sosial, serta bertujuan untuk menganalisis hakekat
kehidupan manusia beriman dan tanggungjawabnya di dalam dunia atau masyarakat. Karena
itu, Moral Sosial pertama-tama akan mendalami pendasaran moral sosial dengan
menampilkan manusia sebagai pusat persoalan sosial.

Refleksi moral sosial didasarkan pada ajaran sosial Gereja atau ASG. Selain itu,
moral sosial juga coba menelaah masalah-masalah yang menggerogoti kehidupan manusia
dan dunia pada umumnya, seperti: seperti masalah demografi, migrasi, uang dan pasar atau
ekonomi, ekologi, globalisasi, media komunikasi, para pekerja sosial dan lain-lain.

BABI
PENDAHULUAN

Gereja mengusahakan pelbagai upaya untuk memperkenalkan dan menampilkan


segala tema berhubungan dengan Teologi Moral dengan maksud menunjukkan secara jelas
pesan pokok Optatam Totius No. 16 yaitu, “keunggulan panggilan orang-orang beriman di
dalam Kristus” dan “kewajiban menghasilkan buah-buah kasih bagi kehidupan di dunia”.

1) Kekayaan atau keluhuran panggilan umat beriman di dalam Kristus. Kebenaran


ini menegaskan bahwa TM Katolik memiliki tiga sifat atau ciri utama yaitu:

Pertama, Kristosentris. Teologi moral bersifat kristosentris, artinya pusat kehidupan


moral kristiani ialah pribadi Yesus Kristus. Ini berarti relasi pribadi dengan Kristus mejadi
sumber kehidupan moral setiap orang beriman. Yesus Kristus menjadi model sejati manusia,
yang hidup bagi Allah dan orang lain. Keterbukaan Yesus Kristus terhadap Allah dan
manusia menjadi model perkembangan dan kehidupan manusia yang benar dan baik secara
moral. Manusia yang baik dan benar menghayati cara hidup Yesus Kristus dalam berelasi
dengan Allah dan dengan manusia lain. Ia menjadi manusia bagi Allah dan manusia bagi
sesamanya.
Kedua, vokatif artinya moralitas dihayati sebagai panggilan kepada keselamatan.
Kehidupan moral yang baik dan benar adalah wujud nyata dari panggilan di dalam Kristus.
Moralitas yang dihayati sebagai panggilan mendorong setiap orang beriman untuk
melaksanakan panggilannya di dalam kehidupan sehari-hari melalui tugas, pekerjaan dan
pelayanannya.

Ketiga, responsorial artinya tanggapan atau jawaban terhadap panggilan Allah.


Berbeda dengan makluk hidup lainnya, manusia adalah satu-satunya makluk hidup yang
mampu menanggapi panggilan Allah secara bebas dan dengan penuh kesadaran. Tanggapam
terhadap panggilan Allah diwujudkan melalui perbuatan konkret. Dan manusia juga
diharapkan bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Dengan demikian, kita dapat
menegaskan bahwa hidup bermoral tidak hanya dimengerti sebagai ketaatan atas hukum
Allah (legalistis), melainkan sebagai tanggapan penuh kesadaran, bebas, dan
bertanggungjawab atas tawaran cinta kasih Allah yang hendak menyelamatkan manusia.
Manusia dengan tahu dan mau menjawabi panggilan Allah dan pada saat yang sama
bertanggungjawab wujud nyata jawabannya.

2) Kewajiban untuk menghasilkan buah-buah kasih demi hidup. Keluhuran


panggilan kristiani melahirkan tuntutan untuk menghasilkan buah-buah cinta kasih demi
kebaikan dan hidup dunia.

Pertama, kewajiban untuk menghasilkan buah. Menghasilkan buah adalah


konsekuensi atau hasil dari relasi personal dengan pribadi Yesus Kristus (Bdk. Yoh. 15,4).
Moralitas ini merupakan ekspresi dari spiritualitas, artinya relasi personal dengan Kristus
merupakan spirit atau dasar kehidupan rohani yang menjiwai tindakan atau perilaku seorang
kristen. Iman tanpa perbuatan dan buah kehidupan adalah percuma atau sia-sia karena tidak
mampu menyelamatkan (bdk. Yak 2,14).

Kedua, kasih sebagai buah panggilan. Ada bermacam-macam panggilan yang


menghasil pelbagai buah berupa perbuatan-perbuatan baik. Namun kasih adalah buah
panggilan kristiani. Artinya, kasih hendaknya menjadi unsur dasar atau dimensi terdalam dari
setiap perbuatan baik. Tidak cukup hanya melakukan banyak perbuatan baik demi kebaikan
dunia, sesama dan bagi Allah. Tetapi, setiap orang kristen perlu mengasihi Allah dan sesama
secara personal. Mungkin tidak sulit melakukan banyak hal yang baik, tapi yang sulit ialah
melakukan perbuatan baik demi kasih.
Kita bisa bandingkan antara sukarelawan dengan petugas sebuah LSM yang sama-
sama bekerja untuk membantu para korban bencana alam di suatu daerah. Kelompok pertama
melaksanakan tugasnya karena ingin membantu manusia yang menderita dan motivasinya
adalah kasih. Sedangkan kelompok kedua melaksanakan tugas yang sama, namun
motivasinya agak berbeda yaitu menjalankan proyek bantuan tertentu dengan jaminan
finansial tertentu pula. Ketika proyek dan uang yang disiapkan untuk proyek itu habis,
meskipun masih ditemukan banyak korban yang membutuhkan bantuan, kegiatan pemberian
bantuan diakhiri.

Ketiga, untuk hidup dunia. Tujuan panggilan untuk kebaikan dunia menunjukkan
dimensi sosial dari panggilan kristiani. Hidup moral bukan hanya ditujukan kepada
kepentingan seseorang atau sekelompok orang, melainkan untuk melayani seluruh bangsa
manusia tanpa kecuali, khususnya mereka yang sangat membutuhkan.

Sebagaimana Yesus Kristus diutus oleh Bapa untuk menyelamatkan seluruh umat
manusia, demikian pun setiap pengikut Kristus dituntut untuk menjalankan tugas yang sama.
Artinya, membangun dunia supaya menjadi semakin manusiawi adalah tugas panggilan
setiap orang kristen, (bdk. Luk 4:17-19). Program Hidup dan karya Yesus di dunia menjadi
tujuan hidup setiap orang kristen.

1.1 Teologi Moral Sosial


1.1.1 Arti Teologi

Arti etimologis. Istilah “teologi” terbentuk dari dua kata Yunani: theos atau theou:
Allah, Tuhan; logos: kata, ajaran, pembicaraan dan ilmu. Jadi teologi berarti pembicaraan
atau ajaran tentang Allah. Kamus Umum Bahasa Indonesia mengartikan teologi sebagai
“pengtahuan mengenai sifat-sifat Allah, dasar-dasar kepercayaan kepada Allah dan agama
terutama berdasar pada Kitab-Kitab Suci” Kaum muslim memakai istilah teologi sebagai
“ilmu kalam” atau “ilmu tauhid”.

Makna teologi. Dalam gereja teologi dipahami sebagai refleksi metodis tentang iman
sebagai jawaban atas apa yang diwahyukan Allah. Pokok utama teologi adalah adanya Allah,
hakekat, sifat dan karya Allah Bapa sebagai sang Pencipta, puteraNYa Yesus sebagai
penebus umat manusia, dan Rohkudus sebagai jiwa umat yang membentuk gereja. Sedangkan
tujuan teologi adalah untuk berusaha mengerti apa yang diimani dengan menggunakan
penalaran akal budi manusia. Perlu diakui bahwa manusia dengan kemampuan akal budinya
tidak sanggup “menangkap”, dalam arti, memahami hakekat Allah secara utuh. Dan, yang
mau dilakukan dalam berteologi adalah coba menggambarkan atau menjelaskan tentang
Allah dan hakekatNya berdasarkan ciri-ciriNya. Manusia hanya mampu berbicara tentang
kekuasaan dan kebaikan Allah, Allah yang mahakuasa, Pencipta segala sesuatu, dan lain-
lain.

Refleksi teologis menghasilkan ajaran-ajaran teologis yang berbeda menurut tema-


tema seperti: keadilan, perdamaian, ekologi, dll, dan menurut perspektif tinjauannya seperti
teologi pembebasan, teologi feminis, teologi dunia ketiga, dll.

Menurut Tom Jacobs ada empat macam ajaran atau teologi: 1) kesatuan dan
komunikasi iman sendiri (konsensus iman); 2) ajaran gereja sebagai rumusan institusional
dari konsensus iman itu; 3) teologi gerejani yang mau menjelaskan dan mensistematisasikan
ajaran gereja itu; dan 4) teologi sebagai ilmu yang ingin memahami dan
mempertanggungjawabkan iman sendiri. Dan inilah yang disebut teologi akademis.

1.1.2 Etika atau Moral?

Kedua term di atas punya pengertian yang sama, yang satu berasal dari bahasa latin
dan yang lainnya dari yunani. Etika berasal dari bahasa Yunani “ethos” artinya ilmu tentang
adat kebiasaan; ssedangkan kata moral berasal dari bahasa Latin “mos”, artinya kebiasaan.
Tetapi untuk memahami secara tepat makna kedua term maka sebaiknya kita membuat satu
penjelasan yang lebih teliti tentang keduanya. 

Etika

Secara etimologis term etika memiliki dua kata ethos (epsilon) “ethos” dan ethos
(eta) “ethos”. Kendatipun keduanya ditulis sama, tetapi memiliki makna yang berbeda sama
lain. Pertama, “ethos” (epsilon) atau habit menunjuk kepada kebiasaan dari suatu komunitas
atau masyarakat. Dalam arti luas, “ethos” epsilon merupakan prinsip-prinsip yang mengatur
hidup bersama dari sebuah polis, dan berhubungan dengan norma dan aturan umum tentang
tingkah laku manusia setiap hari, seperti “hormatilah dewa-dewa”, “kenalilah diri sendiri”,
dan “bertingkah laku baik”.

Dalam kehidupan sehari-hari pribadi-pribadi perorangan selalu dilihat dalam


hubungannya dengan masyarakat atau polis. Karena itu, setiap individu hendaknya
mempelajari dan membiasakan diri untuk bertindak sesuai dengan kebiasaan dan prinsip-
prinsip yang berlaku dan diterima umum di dalam masyarakat tertentu.

Dan, ethos epsilon selalu berhubungan dengan aktus atau tingkah laku konkret dan
khusus melaluinya seseorang dapat melaksanakan proyek hidupnya. Tetapi kehidupan moral
seseorang selalu diperkaya ketika menghayati semua kebiasaan dan norma hidup yang
berlaku di dalam suatu masyarakat. Di sini setiap orang memilih dan menentukan pribadinya
sendiri. Karena itu, diperlukan pendidikan kebajikan sejak dini agar seseorang dapat
memahami dan menyesuaikan hidup dan tingkah lakunya dengan kebiasaan dan prinsip-
prinsip yang berlaku.

Kedua, term “ethos” (eta) sebaliknya lebih berhubungan dengan orang-perorangan,


tetapi secara etimologis berarti tempat tinggal. Sejak Aristoteles “ethos” eta dihubungkan
dengan karakter atau pola hidup habitual seseorang. Secara singkat dapat dikatakan bahwa
ethos (eta) lebih berkaitan dengan pola hidup dan tingkah laku yang membedakan seseorang
dari orang lain. Zenon berkata: “ethos” adalah sumber hidup daripadanya lahir tingkah laku
khas dari seseorang”.

Lawan dari “ethos” adalah “pathos”. “Pathos” dapat diartikan sebagai segala sesuatu
yang diterima secara kodrati tanpa usaha sedikit pun dari manusia untuk mengadakan dan
membentuknya. Dengan kata lain, “pathos” diterima secara pasif tanpa mengandaikan usaha
apa pun ataupun pilihan bebas. Hal inilah yang disebut lotre biologis atau lotre sosial oleh
John Rawls. Misalnya tubuh kita, kelas sosial atau keturunan, tempat lahir serta nilai-nilai
dan kebiasaan-kebiasaan tertentu, meski pun perolehan nilai-nilai hidup mengandaikan juga
pendidikan dan formasi. Sebaliknya, ethos menuntut usaha aktif dan dinamis atau kreativitas
dari setiap orang untuk mengubah yang diterima menjadi lebih manusiawi.

 Dari term etika yang awalnya merujuk kepada kebiasaan, adat istiadat dan karakter
seseorang lalu mendapat makna turunannya (derivative meaning) menjadi filsafat tingkah
laku manusia. Jadi etika adalah ilmu filsafat yang mempelajari tingkah laku manusia dari
perspektif maknanya. Pertanyaan pokok etika adalah manakah tingkah laku yang baik dan
benar sebagai manusia? Manakah kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah
tindakan tertentu baik dan benar? Mungkin sulit kita memberikan jawaban atas pertanyaan di
atas karena apa yang baik dan benar tidak bisa ditentukan secara matematis dan pasti,
melainkan dalam konteks tertentu bergantung pada kesepakatan semata dari sekelompok
orang, dan bukannya baik dan benar secara kodrati.
Kebaikan dan kebenaran sikap dan tingkah laku tertentu perlu dibuktikan dalam
pengalaman hidup sehari-hari. Misalnya, di satu pihak, uang memiliki nilai kebaikan dan
bermanfaat untuk menjamin kesejahteraan hidup manusia, tetapi di pihak lain, bisa
membahayakan dan menghantar orang kepada kebinasaan jika digunakan secara salah untuk
membeli narkoba atau membeli senjata nuklir guna memusnahkan pihak tertentu.

2. Moral

Term moral berasal dari bahasa latin “mos” yang berarti kebiasaan atau
kecenderungan alamiah untuk melakukan sesuatu. Dalam konteks profan moral diartikan
sebagai ilmu tentang kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari. Ciceron yang berkebudayaan
Yunani misalnya, tidak memakai term “ethos” tetapi justeru menggunakan term moral ketika
berbicara tentang kebiasaan-kebiasaan hidup yang baik dan benar.

Menurut St. Thomas Aquino kata moral memiliki dua pengertian. Di satu pihak,
moral berarti kebiasaan yang dipraktekkan oleh orang-orang Yahudi, sebagaimana terdapat
di dalam Kisah para Rasul: “jika kamu tidak disunat menurut adat Moses (Musa), kamu tidak
bisa diselamatkan”. Atau dengan kata lain, “sunat memang berguna bagimu jika kamu
mentaati hukum Taurat…” (bdk Rom 2,25). Di pihak lain, moral berarti suatu kecenderungan
alamiah untuk melakukan sesuatu.

Binatang-binatang memiliki kebiasaan atau instink. Mereka tidak mempraktekkan


suatu cara hidup yang lazim dikenal dengan sebutan “budaya” atau kebiasaan. Burung dapat
membuat sarang yang indah, seolah-olah ia memiliki akal budi luar biasa untuk
merencanakan dan membuatnya. Tetapi tak dapat disangkal bahwa bentuk, ukuran serta
model sarang untuk burung-burung tertentu selalu sama dari dulu sampai sekarang. Dengan
demikian kita tidak dapat menyimpulkan bahwa burung memiliki budaya pembuatan sarang
yang luar biasa. Sebaliknya, manusia memiliki kreativitas untuk merancang dan membangun
sebuah rumah kediaman yang bisa berubah-ubah bentuk dan ukurannya sesuai kebutuhannya,
karena ia memiliki akal budi yang disadari dan dikembangkannya terus-menerus.

Dapat disimpulkan bahwa term etika secara etimologis berarti kebiasaan-kebiasaan,


karakter dan pola hidup seseorang. Meski demikian, ilmu etika tidak terbatas berbicara
tentang kebiasaan dan karakter manusia. St. Tomas Aquinas menekankan bahwa etika
hendaknya berkecimpung pada bidang yang lebih luas menyangkut kepribadian atau pola
hidup moral seseorang yang lazim disebut “kebajikan moral”. Itu berarti ethos tidak hanya
berarti tingkah laku melainkan “ketepatan dan kebenaran dari kecenderungan natural atau
quasi natural untuk bertindak”.

Etika dan moral mempelajari prinsip-prinsip yang mengarahkan hati nurani dalam
proses mencari untuk memilih dan melakukan yang baik. Dengan kata lain, etika adalah studi
filosofis tentang dasar-dasar, prinsip-prinsip, kewajiban-kewajiban dan elemen-elemen lain
dari hidup moral. Atau teori tentang moralitas. Sedangkan, moral adalah aplikasi teori-teori
filsafat di dalam kasus-kasus konkret kehidupan manusia. Inilah tugas seorang moralis.
Secara tradisional tugas moralis adalah memberi nasehat-nasehat dalam kasus-kasus tertentu,
umumnya dibuat oleh para pengkotbah atau guru-guru agama.

Karena itu, mungkin tidak ada alasan mendasar untuk memutuskan penggunaan
nama “Moral Sosial Kristen” bagi mata kuliah yang ditawarkan ini. Tetapi secara praktis
penggunaan “Moral Sosial” dapat membedakannya dengan mata kuliah Etika Sosial atau
refleksi filosofis tentang tingkah laku manusia di dalam masyarakat manusia dan struktur-
struktur sosial. 

1.1.3 Teologi Moral Katolik

Prof. Dr. Marciano Vidal, CSSR, dosen Teologi pada Universitas Comillas, Spanyol,
menegaskan bahwa teologi moral (katolik) diprakarsai oleh Thomas Aquino. Salah satu dasar
yang membuat ajaran moral katolik menjadi teologi adalah karyanya yang dikenal dengan
nama Summa Theologica. Ajaran-ajaran moral dalam Summa Theologica yang bertujuan
mengatur kehidupan bersama di antara umat beriman mendapat status teologisnya. Thomas
Aquino memadukan antara filsafat Aristoteles dan teologi Agustinus. Di satu pihak,
Aristoteles menekankan “tujuan hidup manusia atau telos”. Manusia bergerak dari “potentia”
(kekuatan, potensi, kesanggupan, tertentu) menuju ”actus” (realisasi, pelaksanaan).

Jadi, manusia adalah pribadi yang selalu berkembang menuju kesempurnaan atau
realisasi diri. Dengan ini Thomas Aquino mau menjelaskan tentang asal dan tujuan hidup
manusia. Tetapi, untuk mencapai tujuan hidup yakni kesempurnaan sebagaimana dicita-
citakan Aristoteles, Thomas Aquino menggunakan teologi Agustinus yang menekankan iman
akan Allah sebagai penyelenggara segala sesuatu. Teologi Agustinus menegaskan bahwa
manusia itu lemah, berdosa dan tidak berdaya apa-apa, namun Allah memampukannya
dengan rahmatNya untuk memberikan jawaban atas panggilan Allah sendiri.
Thomas Aquino menyadari penekanan teologi Agustinus pada kelemahan manusia
dan kebaikan Allah, sedangkan filsafat Aristoteles pada keunggulan manusia tanpa campur
tangan ilahi. Maka ia menggabungkan keduanya dan menegaskan bahwa rahmat Tuhan
bekerja tanpa merusak kodrat manusia (gratia supponit naturam). Karena itu, tesisnya yaitu
“manusia diciptakan oleh Allah baik adanya, dan ia dipanggil untuk berjalan kembali menuju
Allah”. Proses keluar dari Allah disebut “exitus”, sedangkan, proses kembali kepada Allah
disebut “reditus”. Dinamika kehidupan manusia menurut Thomas Aquino adalah proses
keluar dari Allah dan kembali kepada Allah sebagai “finis ultimum” atau tujuan akhir
manusia.
Sebagai kesimpulan, dapat ditegaskan bahwa ajaran moral katolik bukan hanya ajaran
tentang etika atau filsafat tingkah laku semata-mata, melainkan suatu refleksi teologis tentang
moralitas manusia yang mendasarkan kebenaran-kebenaran moral itu pada kebenaran wahyu
ilahi sebagaimana diimani oleh gereja katolik. Dengan kata lain, teologi moral adalah bagian
teologi yang mempelajari norma-norma dan pedoman-pedoman yang mesti diikuti setiap
orang beriman guna mencapai tujuan hidupnya dalam cahaya iman dan budi. Teologi moral
menyoroti tingkah laku manusia dalam terang kebenaran keselamatan menurut Wahyu Ilahi.

1.1.4 Teologi Moral Sosial atau Moral Sosial Kristen

Kata sifat “sosial” dalam Teologi Moral Sosial membatasi ruang lingkup
pembahsan tema ini. Sebagaimana moral pribadi yang berbicara tentang kehidupan dan
perilaku seseorang sesuai dengan nilai-nilai an ajaran kristen, demikian pun moral sosial
punya pokok pembicaraan khusus yaitu struktur-struktur sosial dan praktek hidup
bermasyarakat.

Moral sosial kristen atau teologi moral sosial dapat ditampilkan sebagai mediasi
antara iman dengan kenyataan-kenyataan sosial masyarakat. Iman akan Allah dipertautkan
dengan persoalan-persoalan sosial dan kenyataan hidup manusia sehari-hari. Maka teologi
moral sosial bisa diartikan sebagai refleksi sistematis, dalam terang Injil, tentang nilai-nilai
dan tanggungjawab manusia di dalam dunia dan kehidupan bermasyarakat atau sosial, yang
sekaligus dapat membantu manusia untuk membuat penilaian moral terhadap struktur-
struktur sosial masyarakat.

Tujuan teologi moral sosial adalah membuat analisis tentang kehidupan manusia
dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat. Tanggungjawab moral kristen dapat dipahami
sebagai jawaban atas suatu panggilan, yang tidak lain adalah panggilan Allah, Sumber Cinta
Kasih, untuk melaksanakan pelayanan kasih kepada manusia di dalam segala situasinya. Di
samping itu, teologi moral sosial juga bertujuan untuk merefleksikan tentang struktur-struktur
sosial masyarakat dan praktek hidup bersama sehari-hari dengan maksud untuk membaharui
dan mengubah struktur-struktur tersebut, dan atau menawarkan struktur sosial baru guna
menggantikan struktur-struktur lama yang tidak mampu menjawabi tuntutan dan kebutuhan
masyarakat.

Pertanyaan pokok yang manjadi titik tolak refleksi adalah: tipe manusia macam
manakah yang mesti dicari atau dibangun? Sedangkan, perspektif yang melatarbelakangi
refleksi tentang struktur sosial dan kehidupan bermasyarakat adalah ajaran iman kristen.
Maka pertanyaan yang harus direfleksikan adalah: bentuk dan corak kehidupan sosial
manakah yang cocok dengan ajaran iman kristen?

1.2 Sumber Teologi Moral

Sumber utama teologi moral adalah Kitab Suci dan Tradisi Gereja (ajaran-ajaran
ofisial Gereja, Ajaran Sosial Gereja). Orang kristen merefleksikan dan menilai tingkah
lakunya dalam terang Sabda Allah dan ajaran Bapa-bapa Gereja. Di samping itu, Teologi
Moral Sosial juga tidak mengabaikan sumbangan berharga dari bidang-bidang ilmu sosial
lainnya seperti filsafat, sosiologi, antropologi, psikologi dan lain-lain serta
mempertimbangkan kodrat manusia.

Kitab Suci

Sebelum Konsili Vatikan II Gereja memberikan perhatian terutama pada ketaatan


terhadap hukum dan aturan-aturan Gereja. Sesudah Vatikan II Kitab Suci, baik Perjanjian
Lama maupun Perjanjian Baru, mendapat perhatian serius dalam proses pembaharuan
Teologi Moral karena Kitab Suci memberikan kekhasan moral kristiani. Kitab Suci dilihat
sebagai “jiwa teologi” (bdk. OT 16), atau sebagai “ilham” yang menghidupkan dan “daya
atau tenaga” untuk mengadakan refleksi teologi moral (M. Vidal). Tetapi KS tidak boleh
dipakai sebagai sarana pembenaran diri dan pendapat pribadi, melainkan sebagai sumber
acuan utama dalam merenungkan dan menilai kenyataan hidup manusia. Dan, KS bukanlah
titik tolak untuk memecahkan semua masalah manusia. Kita Suci memberikan terang,
inspirasi dan pedoman bagi refklesi dan kehidupan manusia.

Moral PL menitikberatkan perhatiannya pada hukum (dekalog – kesepuluh perintah


Allah). Sedangkan moral PB menjadi kriteria normatif kaum kristiani. Tema-temanya adalah
cinta kasih, hukum interior dalam diri manusia, hati nurani, dosa, kebajikan-kebajikan dan
moral seksual. Kategori moral fundamental mencakup moral perjanjian yakni dialog antara
Allah dan manusia, dan moral indikatf yang menunjukkan arah tindakan yang harus
ditempuh, bukannya moral imperatif, yang hanya memerintahkan seseorang untuk melakukan
sesuatu – PL, moral Roh Ilahi di mana Roh Allah berperan sebagai prinsip hidup manusia,
dan moral mengikuti Yesus atau moral kemuridan. Baik moral perjanjian, indikatif maupun
moral Roh Ilahi diwujudkan dalam tindakan mengikuti Yesus (moral PB).

Tetapi, muncul pertanyaan berikut: apakah Kitab Suci sanggup memberi jawaban
atau menjadi terang untuk merefleksikan masalah-masalah pribadi dan sosial dewasa ini?
Apa kata Kitab Suci tentang homoseksualitas-lesbianitas, inseminasi buatan, abortus,
eutanasi, kloning dan masalah-masalah sosial sebagai akibat perkembangan ilmu dan
teknologi? Mungkin ada yang menyangsikan kemampuan KS dan mengatakan bahwa
memang Kitab Suci berisikan pesan-pesan dan nilai-nilai luhur yang sangat cocok dengan
situasi dan kenyataan sosial-religius pada abad pertama, namun sekarang sudah tidak cocok
lagi ketika berhadapan dengan masalah-masalah baru dunia dan manusia. Dan, bagi kalangan
tertentu mungkin Kitab Suci sudah dianggap “out of date” atau tidak bermakna apa pun bagi
kehidupan manusia.

Perlu ditegaskan bahwa Kitab Suci tetap aktual bagi segala zaman. Kitab Suci
“dengan cara tertentu” akan memberikan jawaban dan pencerahan terhadap masalah-masalah
dewasa ini. Untuk itu dibutuhkan jalan hermeneutik atau penafsiran. Menurut Heidegger,
yang dikutip oleh Gonzalez – Carvajal, ada keyakinan umum bahwa “proses pemahaman
tentang sesuatu memiliki struktur sirkular” atau dikenal dengan nama “lingkaran
hermeneutik”. Dan Gadamer menyebutnya sebagai “percakapan hermeneutik”. Maksudnya
setiap orang hendaknya membuat Kitab Suci berbicara tentang masalah yang sedang dihadapi
dengan mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tidak langsung.

Tradisi Gereja

Apa itu Tradisi? Tradisi suci kristiani adalah suatu transmisi dari seorang pribadi ke
pribadi lain. Tradisi melibatkan subyek yang hidup dan terdiri dari tulisan, kata-kata,
tindakan, aturan-aturan tingkah laku dan lembaga. Secara umum tradisi mencakup transmisi
seluruh pewahyuan atau seluruh Khabar Gembira, termasuk KS dan mencakup juga hal-hal
lain yang tidak termaktub dalam KS.
Ajaran Sosial Gereja.

Apa itu “Ajaran Sosial Gereja”? Ajaran Sosial Gereja (ASG) umumnya diidentikkan
dengan ajaran para paus berhubungan dengan soal-soal sosial sejak lahirnya ensiklik sosial
pertama Rerum Novarum, (1891) oleh Paus Leo XIII. Ada beberapa pengertian tentang
Ajaran Sosial Gereja.

Pertama, ASG adalah rangkaian ajaran sosial yang dilandaskan pada nilai-nilai
kristiani dan ilmu pengetahuan sosial atau humaniora. Pengetahuan tentang manusia dapat
membantu refleksi teologis-biblis sehinga sungguh mengena pada realitas sosial dan
kebenaran tentang manusia. Karena itu, ASG perlu menyesuaikan diri dengan dinamika
hidup manusia agar komitmen moralnnya sungguh menjawabi tuntutan zaman.

Kedua, ASG dipahami juga sebagai petunjuk-petunjuk praktis berhubungan dengan


seruan moral tentang tingkah laku manusia, secara khusus berkaitan dengan penghormatan
terhadap martabat manusia dan universalitas misi Gereja. Dengan ASG umat Allah memiliki
kekuatan dan motivasi untuk memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan umum di atas
bumi. ASG menekankan dimensi misioner dari Gereja karena melalui pelbagai tema Gereja
berniat mewujudkan tugas pewartaan khabar gembira kepada seluruh umat manusia.

Ketiga, ASG adalah refleksi tentang problem-problem kehidupan manusia sebagai


ciptaan Allah yang luhur. ASG memiliki nilai dan sah terutama ditinjau dari sudut pandang
moral. Menurut Yohanes Paulus II ASG dikategorikan ke dalam ranah teologi, khususnya
teologi moral karena Gereja memiliki kekuatan moral untuk menegakkan prinsip-prinsip
moral dalam pelbagai realitas sosial. Intervensi Gereja dalam bentuk seruan-seruan moral
dapat dipertanggungjawabkan.

Hakekat atau isi ASG yaitu upaya mempromosikan penghormatan terhadap martabat
pribadi manusia. Gereja sebagai pengajar moral dan kesusilaan dipanggil untuk
membebaskan manusia dari pelbagai belenggu sosial dan memperbaiki hidup manusia. Cita-
cita penghormatan terhadap martabat mausia menuntut Gereja untuk terlibat aktif dalam
menangani dan mengatasi segala masalah sosial. Dengan kata lain, keterlibatan sosial Gereja
adalah tuntutan dan hakekat Gereja dalam mengajar dan bertindak sebagai usaha untuk
mempertahankan keluhuran harkat dan martabat manusia seutuhnya.

Sejak Konsili Vatikan II, yang berpangkal pada gaya Gaudium et Spes dimulailah
suatu pendekatan baru dalam ASG. Ruang lingkup ASG diperluas dan meliputi ajaran para
Paus, pernyataan Uskup-uskup dan Konferensi Uskup-Uskup khususnya yang berpengaruh
besar (CELAM, Amerika Latin, Konferensi Gereja Amerika Serikat (khususnya berkaitan
dengan masalah ekonomi), Konferensi Gereja Eropa, dan lain-lain. Dengan demikian menjadi
jelas bahwa Ajaran Sosial Gereja tidak lagi berperan sebagai pedoman etik yang mengatur
pola hidup dan tingkah laku umat manusia, melainkan dipandang sebagai “usaha umat untuk
merumuskan maksud dan arah keterlibatan orang kristen dalam menghadapi masalah-
masalah dalam hidup kemasyarakatan yang majermuk dan berbeda-beda”.

Selain itu, teologi moral membutuhkan keterbukaan untuk bekerja sama dengan
bidang studi lainnya seperti filsafat, ilmu-ilmu sosial, antropologi, psikologi, dan lain-lain.
Keabsahan suatu penilain moral yang dilakukan oleh seorang moralis mengandaikan
pengetahuan yang luas dan data-data akurat yang disumbangkan oleh bidang ilmu lain.
Karena itu, teologi moral tidak bisa mengandalkan refleksi dan penilaiannya sendiri yang
menghantar kepada kesimpulan yang dapat dipertanggungjawabkan, melainkan harus terbuka
untuk bekerja sama dengan ilmu-ilmu lain. Atau teologi moral sosial pada prinsipnya bersifat
interdisipliner.

1.3 Metode Teologi Moral

Metode adalah cara yang menuntun seseorang untuk melakukan sesuatu secara
teratur sehingga mencapai tujuan tertentu. Sebelum Konsili Vatikan II Teologi Moral
menggunakan metode dialektik, artinya seseorang mempertimbangkan kebenaran-kebenaran
iman dalam perbandingan (analogia) dengan kebenaran-kebenaran ilmu pengetahuan dan
dengan panggilan Tuhan di dalam Yesus Kristus. Ini berarti suatu kebenaran iman perlu
dipertimbangkan dalam cahaya kebenaran lain.

Misalnya, Benar bahwa Bunda Maria adalah bunda Yesus. Jika seseorang
memahami kebenaran ini dalam cahaya bahwa Yesus adalah Tuhan, maka orang itu akan
melihat kebenaran keibuan Maria dalam cahaya baru itu. Kesimpulan: Bunda Maria bukan
hanya bunda Yesus sejarahwi, melainkan juga Bunda Tuhan. Kebenaran yang satu menerangi
kebenaran yang lain.

Pada Konsili Vatikan II khususnya dalam Gaudium et Spes (GS) ditegaskan bahwa
metode Teologi moral bertujuan mempertimbangkan keperluan-keperluan mendesak dewasa
ini dalam terang Injil dan pengalaman manusia. Metode yang dipakai adalah metode induktif
yang bersifat historis karena didasarkan pada pengalaman sehari-hari manusia beriman.
Proses metode induktif sebagai berikut: bertolak dari kenyataan empiris suatu kasus
sambil memperhatikan keadaan yang mengitari kasus itu orang berusaha menentukan
pendapat dan memberikan penilaian moral terhadap suatu tindakan. Misalnya, orang katolik
yang tidak pergi ke gereja pada hari mnggu, apakah dapat dibenarkan secara moral? Ketika
ingin memberikan penilaian yang obyektif dan tepat seseorang mesti melihat alasannya,
menganalisis data empiris yang menjadi titik tolak pemecahan masalah secara kritis, dan
bukannya langsung menvonis bahwa tindakan tersebut adalah dosa melawan perintah Allah.
Di sini, prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan umum tidak begitu saja dijadikan sebagai
kriteria penyelesaian masalah.

Metode induktif memperhatikan kepribadian, kerumitan keberadaan manusia,


dimensi perkembangan, personal, dan struktur sosial pengalaman-pengalaman hidup
seseorang. Metode ini juga menghargai keunikan pribadi manusia dan keragaman keadaan
historis. Selain itu, metode induktif tidak menutup diri terhadap KS, tradisi gereja dan hukum
kodrat moral dalam diri manusia. Artinya nilai-nilai dasar yang dihidupi dan diajarkan oleh
Yesus Kristus dipegang sebagai pedoman dan jalan hidup manusia. Ajaran Yesus Kristus
khususnya yang berbentuk perintah seharusnya dipegang sebagai pedoman hidup (Mis.
Hukum cinta kasih). Yesus Kristus adalah metode seluruh TM, sebab Dialah jalan, kebenaran
dan hidup (Yoh 14, 6).

Lawan dari metode induktif adalah metode deduktif yaitu bertolak dari kodrat yang
universal dan abstrak maka dirumuskan dan ditetapkan norma-norma yang berlaku di
manapun, kapan pun dan bagi siapa pun), dan tak tolerir kekecualian. Misalnya, mencuri
pepaya berlawanan dengan Hukum ke 7 dari Kesepuluh Perintah Allah. Metode ini
dipraktekkan sebelum Konsili Vatikan II dan masih juga berpengaruh terhadap penilaian
moral kelompok-kelompok atau orang tertentu.

Misalnya, si A mencuri kelapa di kebun si B. hukum moral berbunyi: barang siapa


mencuri maka ia telah melanggar hukum Allah, tanpa mempertimbangkan alasan mengapa si
A telah memetik kelapa di kebun B tanpa izin. Metode ini mengabaikan pengalaman historis
setiap pribadi manusia. Ketika metode ini diaplikasikan secara ekstrim maka akan muncul
ketidakadilan dan pelanggaran HAM.
BAB II
PENDASARAN MORAL

Tidak gampang merumuskan pendasaran moral untuk membuat penilaian terhadap


tingkah laku manusia dan pola hidup bermasyarakat karena yang etis atau yang moral dan
moralitas banyak kali dihubungkan dengan persoalan-persoalan atau hal-hal pribadi. Selain
itu, moralitas juga pada umumnya berhubungan dengan aturan-aturan dan hukum yang
bersifat melarang, serta secara khusus mengatur tingkah laku manusia di bidang kehidupan
seksual dan penghormatan terhadap orang lain atau sesama.

Moral tradisional tidak memiliki kesamaan persepsi atau pandangan ketika


merumuskan pendasaran moral sosial. Misalnya St. Tomas Aquino menghubungkan
pendasaran moral dengan kebajikan atau prinsip keadilan. Sedangkan para moralis Yesuit
sejak Johanes Azor (1536-1563) menempatkanya dalam konteks hukum ke-7. Johanes Azor
adalah orang pertama yang menyusun buku Instituciones Morales, yaitu sebuah buku
pegangan yang dianggap sebagai permulaan terbentuknya cabang teologi moral sebagai ilmu
teologi tersendiri.

Buku Instituciones Morales terdiri dari empat buku atau jilid: 1) tentang sepuluh
perintah Allah; 2) tentang tujuh sakramen Gereja; 3) tentang censura (hukuman gerejawi) dan
indulgensi (pengampunan gerejawi; dan 4) tentang staus hidup manusia (imam, biarawan dan
awam). Perlu ditegaskan bahwa corak moral tradisional umumnya bersifat legalistik dan
kasuistik yang berlaku hingga abad ke 20.

Pada masa lalu sepertinya tidak ada kebutuhan untuk mencari dan merumuskan
pendasaran teologi moral sosial karena teologi moral hanya bertujuan untuk menata
kehidupan dan tingkah laku orang beriman. Tetapi dewasa ini teologi moral sosial menuntut
pendasaran yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional karena teologi moral sosial
sendiri tidak saja berurusan dengan kehidupan manusia sehari-hari, tetapi sudah memasuki
ruang lingkup ilmu teologi dan pengajaran akademis.

Mendiang paus Yohanes Paulus II, dalam ensiklik Fides et Ratio, menulis “suatu
tantangan yang kita alami pada akhir milenium ini adalah berusaha melaksanakan suatu
peralihan yang dilihat penting dan urgen dari fenomen ke dasar”. (no. 83). Dasar-dasar
teologi moral tidak bisa diletakkan pada hukum, pendapat mayoritas atau dalam perasaan
seseorang, melainkan pada pribadi manusia sendiri. Dengan kata lain, etika harus menjawabi
antropologi, dan tanggungjawab sosial berhubungan dengan martabat pribadi manusia.
2.1 Masyarakat dan Orang-perorangan atau Individu

Dewasa ini teologi moral sosial hendaknya bertanya tentang peranan seorang pribadi
di dalam masyarakat, yang sekaligus merupakan subyek dan obyek. Manusia tahu dan sadar
bahwa ia tidak ada dan tidak bisa hidup sendirian di atas bumi. Hidupnya selalu diubah dan
dibentuk oleh yang lain. Hidup berarti hidup bersama dengan yang lain. Seorang pribadi
membutuhkan kelompoknya untuk dapat menemukan dirinya sendiri sebagai “aku” otonom
yang bertanggungjawab, dan untuk merealissasikan diri sebagai pribadi, seseorang
membutuhkan kelompok atau orang lain untuk dapat bertindak secara kreatif.

Tetapi pada saat yang sama seorang pribadi sering mengalami kelompok atau orang
lain sebagai beban. Kadang- kadang ia merasa bahwa kelompok atau masyarakat
memanfaatkannya untuk kepentingan tertentu. Kelompok seolah-olah mau mengubahnya
sesuai keinginan kelompok tanpa mengindahkan kehendak dan rencana pribadinya. Bersama
dengan kelompok seseorang merasa dibatasi dan dituntut untuk bersikap dan bertindak sesuai
dengan kehendak kelompok. Kelompok dapat memperkaya dan sekaligus mengerdilkan
seseorang, kelompok dapat membuat orang kaya dan pada saat yang sama membuatnya
miskin. Bersama dengan kelompok seseorang bisa berkembang, atau pun dipihak ia merasa
tertekan dan menjadi kerdil, tumpul.

2.1.1 Individu di Hadapan Komunitas atau Masyarakat

Paham individualisme menekankan pentingnya pribadi individual. Pribadi individual


mendapat tempat pertama dan kedudukan utama. Setiap orang berharga, ortonom dan berdiri
sendiri, serta memiliki kebebasan dan kreativitas pribadi. Tujuan hidup setiap orang dan
upaya pencapaian tujuan tersebut yakni kepenuhan hidup yang perlu dihargai dan dilindungi.
Dasar kehidupan etis adalah pribadi perorangan, dan normanya adalah kepentingan pribadi
seseorang. Tujuannya untuk menjaga dan mengembangkan pribadi perorangan dan
kepentingannya, melalui pemberian kebebasan dan ruang gerak sebesar-besarnya untuk
mengembangkan inisiatif dan kreativitasnya.

Akan tetapi, mungkin cobaan pertama dari setiap pribadi adalah indiferensi atau
tidak pusing - peduli, masa bodoh dan lepas bebas, atau mau berdiri sendiri. Pribadinya
dianggap sebagai nilai tertinggi atau summum dari segala nilai hidup. Seorang pribadi
berusaha merealisasikan diri tanpa keluarga, kelompok, masyarakat, bangsa dan seluruh umat
manusia. Konsili Vatakan II justeru menentang tendensi atau kecenderungan untuk
menghayati suatu etika yang bersifat individualistis (bdk. GS 30). Pengalaman membuktikan
bahwa seorang manusia akan kehilangan dirinya sendiri ketika ia berusaha menjauhkan diri
dari kelompoknya atau dari masyarakat. GS 32 menegaskan bahwa “Allah menciptakan
manusia bukan untuk hidup sendirian, melainkan untuk membentuk suatu masyarakat atau
kesatuan sosial”. Dan masyarakat sangat bervariasi dalam bentuk dan anggota-anggotanya
mulai dari yang paling kecil yaitu keluarga sampai dengan yang paling besar yang
melingkupi seluruh umat manusia.

2.1.2 Komunitas atau Masyarakat di Hadapan Individu

Tetapi, cobaan lain yang sangat berbahaya adalah ketaatan buta kepada kelompok
atau masyarakat. Masyarakat menguasai dan mengatur pribadi-pribadi atau orang-
perorangan. Alasannya bisa bermacam-macam seperti alasan politis atau alasan psikologis,
yakni merasa takut dan tidak mampu berdiri sendiri maka seseorang menyerahkan seluruh
urusan hidupnya tanpa syarat kepada pemerintah, masyarakat dan tuntutan-tuntutannya.
Konsili Vatikan II mengingatkan supaya institusi-institusi sosial, baik yang bersifat publik
maupun swasta hendaknya berusaha melayani martabat dan tujuan hidup manusia (bdk. GS
29d) tanpa memperdaya atau memanfaatkannya demi kepentingan tertentu, dan pada pihak
lain, mengawasi agar para warga negara tidak menyerahkan kuasa tak terbatas kepada
seorang penguasa politik, (bdk. GS 75b).

Sejarah umat manusia menunjukkan bahwa Eropa Barat menekankan individualisme


di hadapan kelompok sambil menonjolkan kebebasan pribadi; sedangkan Eropa Timur
menonjolkan secara ekstrim kolektivisme, artinya, segala-gala berada di bawah aturan
kelompok dan demi kepentingan kelompok. Pribadi individual tak punya subyektivitas dan
keputusan sendiri, sebaliknya, segala urusan, keputusan dan kebijakan hidup berada dalam
tangan kelompok penguasa. Negara-negara lain membentuk sekutu dengan kedua kekuatan di
atas berdasarkan hubungan bilateral dan kepentingan sosial-politik masing-masing.

Sebetulnya kedua model tersebut menghasilkan perang dingin di bidang militer,


ekonomi dan budaya, serta memiliki suatu kekeliruan secara antropologis. Karena keduanya
tidak memiliki kesadaran mendasar tentang relasi saling keterhubungan antara pribadi dan
masyarakat.
Ajaran Sosial Gereja tidak menawarkan alternatif ketiga sebagai pilihan yang
mungkin bagi masyarakat dan dunia, melainkan menegaskan tentang ideal penghormatan
terhadap pribadi manusia dan hak-hak asasi manusia, serta menawarkan kebajikan cinta
kasih sebagai kunci untuk melaksanakan asas keadilan. Paus Benediktus XVI menegaskan
bahwa ajaran sosial Katolik tidak bermaksud memberikan kepada Gereja suatu kuasa atas
negara atau masyarakat dunia, “Juga tidak memaksakan pandangan dan cara bertindak
tertentu kepada orang-orang yang beriman lain. Ajaran Sosial Gereja hanya mau membantu
memurnikan akal budi dan menolong agar apa yang adil, “hic et nunc” - di sini dan sekarang,
bisa diakui dan dipraktekkan di dalam hidup sehari-hari”. Gereja dan ajaran-ajaran sosialnya
tidak berpretensi menjadi solusi terakhir bagi masalah-masalah dunia.

2.1.3 Aku-Engkau-Kita

Antropologi kontemporer yang sedikit dipengaruhi oleh aliran personalisme


cenderung menekankan pentingnya dialog interpersonal. Dalam dialog itu akan terjadi bahwa
“Aku” tidak bisa ada seperti adanya sekarang jika tidak ada bersama dan berinterelasi secara
bertanggungjawab dengan seorang “engkau”. Di sini seorang “aku” dan “engkau”
menampilkan baik suatu wajah dan identitas, maupun tawaran dan tuntutan tersendiri. Syarat
yang diperlukan untuk membangun relasi interpersonal sejati adalah dialog, keterbukaan dan
kerja sama.

Tetapi penemuan seorang “engkau” tidaklah mudah dan jelas. Hubungan antara
“aku” dan “engkau” bisa berubah menjadi spekulatif dan proyektif. Bahaya mengubah
“engkau” menjadi suatu proyeksi dari “aku” bukanlah mustahil. Menghormati perbedaan
“engkau”, otonomi dan keberdikariannya merupakan tuntutan kedua dari etika dialogis.

Seorang “engkau” dan “aku” ketika bertemu akan mengalami proses


trascendensi,artinya masing-masing mengatasi dan keluar dari diri sendiri. Bila relasi itu
cocok maka akan terbentuk “kita”, artinya terbentuklah kesatuan dan komunitas. Kesatuan
baru tersebut dipanggil untuk membangun bentuk-bentuk dialog dan kerja sama baru, serta
kemungkinan terciptanya kelompok lain yang disebut “kamu”.

Jika tercipta suatu dialog sejati maka tidak mungkin terjadi ekslusi atau tindakan
mengeluarkan yang lain dari kelomppok, dengan demikian kelompok memiliki corak
inklusif, terbuka dan merangkul yang lain. Kita juga sering berbicara tentang “dia” dan
“mereka”. “Dia” adalah pribadi yang tentangnya kita bicarakan. Dia adalah pribadi yang
sebetulnya tidak ada. Dia tidak ada karena suatu kebetulan atau atas keputusan mereka yang
ada. Karena itu, kalau “aku” membuka diri dan mulai berdialog dengan yang lain serta
mempersatukan mereka yang tidak ada ke dalam suatu komunitas/masyarakat atau kelompok
maka hal ini menjadi hasil dari karya teologi moral sosial. Cita-cita teologi moral sosial
adalah berusaha mempersatukan dan membangun kerja sama di antara semua.

2.2 Model-model Pendasaran Teologi Moral Sosial

Dalam sejarah teologi moral pada prinsipnya ada dua tendensi untuk memberi
pendasaran teologi Moral Sosial. Pada satu pihak, teologi moral sosial didasarkan pada aturan
hukum, dan di pihak lan, pada revelasi ilahi. Tetapi, Ajaran Sosial Gereja menawarkan
sebuah pendasaran moral yang diletakkan pada kebenaran pribadi manusia.

2.2.1 Kriteri Hukum atau Heteronomi

Sering orang sulit membedakan antara “yang etis” dengan “yang legal”, antara
“yang sah atau legitim” dengan “yang legal”, antara “yang etis” dengan “ yang secara politis
benar”. Kita pun dapat menegaskan bahwa aturan sosial punya hubungan erat dengan aturan
moral; dan hanya melalui bentuk-bentuk hidup bersama, melalui harapan dan tuntutan-
tuntutannya kesadaran setiap individu dapat mencapai pemahaman tentang imperatif moral.
Tetapi harapan dan tuntutan-tuntutan tersebut dapat berubah menjadi inmoral atau tidak etis
apabila terjadi pemaksaan, tirani, ketakutan dan ketidakperdulian dari warga masyarakat atau
seseorang dan masyarakat pada umumnya. Dalam refleksi selanjutnya kita coba menemukan
kekuatan dan kelemahan dari hukum-hukum.

Kenyataan menunjukkan bahwa penilaian moral terhadap tingkah laku manusia tak
bisa didasarkan semata-mata pada hukum dan aturan-aturan positif, baik sipil maupun
religius. Etika hendaknya didasarkan pada manusia atau antropologi. Manusia adalah norma
itu sendiri bagi tingkah lakunya dan juga apa saja dapat dilakukan baginya.

Menurut nominalisme, tindakan-tindakan dan kelalaian manusia bukanlah baik atau


buruk menurut struktur antropologis atau dalam hubungan dengan kondisi alamnya. Tetapi,
sesuatu adalah baik karena sesuai dengan kehendak Allah. Ketika Allah menentukan sesuatu
sebagai kebaikan maka hal itu akan bernilai atau memiliki nilai positif dan baik bagi manusia
dan kehidupannya.
Tomas Aquino, pada gilirannya, mendasarkan moralitas pada struktur alamiah. Ia
menekankan pentingnya alam ciptaan, dan hal ini menjadi awal hukum alam atau hukum
kodrati. Hukum kodrati atau lex naturalis adalah hukum yang bersifat kodrati dan terdapat di
dalam tatanan ciptaan Tuhan. Tetapi, Tomas memahami hukum kodrati secara lebih luas. Di
satu pihak, lex naturalis dipahami sebagai ordo naturae yaitu hukum fisik-biologis yang
terukir di dalam alam sebagai sumber norma moral. Dan, di pihak lain, lex naturalis
dipahami sebagai ordo rationis yaitu kemampuan rasio manusia untuk menemukan di dalam
pengalamannya apa yang baik untuk manusia. Menurut Tomas tata ciptaan mengandung
hukum kodrati, demikian pun akal budi manusia menjadi ukuran hukum kodrati. Maksudnya
apa saja yang dihasilkan oleh akal manusia sebagai baik dan benar haruslah diterima sebagai
hukum moral yang bercorak kodrati. Sedangkan kebaikan dan kejahatan tindakan manusia,
menurut Tomas, tidak ditentukan oleh suatu preskripsi moral, melainkan oleh suatu norma
natural. Manusia tidak mengatur alam, melainkan menyesuaikan diri dengan aturan alam.

Keunggulan dari pemikiran yang didasarkan pada lex naturalis adalah obyektivitas
dan universalitas kebenaran-kebenaran moral. Tetapi kelemahannya terletak pada pendapat
atau pandangan bahwa manusia hanya merupakan salah satu elemen ciptaan sama seperti
ciptaan-ciptaan lain di alam semesta ini. Manusia tidak berbeda dari binatang, tumbuhan dan
ciptaan lainnya yang hanya terdiri dari realitas fisik-biologis. Ketika orang melihat manusia
sekedar sebagai realitas fisik-biologis maka dengan sendirinya pandangan demikian
menyangkal dan mengabaikan realitas manusia yang sesungguhnya, yakni makluk yang
penuh misteri dan bercorak multidimensional.

Kita akan mengalami kesulitan ketika lex naturalis dipakai sebagai titik tolak untuk
menilai masalah homoseksualitas dan lesbianisme. Jika kita berangkat dari realitas kodrati
sebagai titik berangkat atau terminus a quo maka kodrat manusuia adalah laki-laki dan
perempuan dengan seksualitas maskulin dan feminin. Secara kodrati keduanya saling tertarik
secara seksual dan saling melengkapi satu sama lain. Tetapi, bagaimana dengan seorang
homoseks yang kendati pun memiliki seksulitas maskulin tetapi tidak tertarik terhadap
seorang wanita, sebaliknya ia justeru lebih tertarik atau teransang secra seksual terhadap
seorang laki-laki.

Bertolak dari pandangan dan penilaian lex naturalis maka kecenderungan tersebut
merupakan sesuatu yang aneh dan anti natura atau contra natura. Muncul pertanyaan: apakah
seksualitas itu hanya menyangkut aspek fisik-biologis-genital, atau mencakup juga faktor
psikologis-afektif-emosional? Kalau jawaban kita adalah bahwa seksualitas mencakup semua
aspek manusia, yaitu fisik-biologis-genital-psikologis-emosional-afektif, maka seorang homo
yang hanya tertarik terhadap seorang laki-laki lain dan bukan terhadap seorang perempuan
sebagaimana mestinya sebetulnya mengikuti kecenderungan seksual yang bersifat kodrati
karena sesuai dengan struktur alamiah dirinya.

Ketika kita memaksanya untuk mengarahkan rangsangan seksual terhadap seorang


wanita maka kita secara langsung melawan kecenderungan alamiah yang dimilikinya. Kita
memaksa seorang homo untuk menyesuaikan diri dengan paham hukum kodrati sehingga ia
dapat menjadi seorang laki-laki yang sejati. Ataukah hukum kodrati perlu direvisi dan
disesuaikan dengan realitas dan pengalaman manusia yang nyata. Inilah tantangan yang perlu
diperhatikan dan didiskusikan oleh para moralis katolik. Selain itu kemajuan ilmu dan
teknologi dapat menimbulkan pertanyaan moral baru, seperti bagaimana membantu pasangan
suami-istri yang mandul: apakah bisa digunakan metode pembuahan bayi tabung? (bdk. VS
43-44).

Tendensi menilai tindakan moral menurut aturan atau hukum menjadi nyata pada
masa modern. Bertolak dari sistem kontrak sosial, hukum dijadikan sebagai alasan terakhir
atau ultima ratio untuk menentukan apa yang baik dan yang jahat, apa yang sah dan tidak sah.
Perlu diingat bahwa kontrak sosial banyak kali menyangkal sejumlah nilai hidup, hak-hak
asasi manusia dan kewajiban-kewajiban sosial yang tidak diatur di dalam hukum positif.
Salah satu masalah kemanusiaan yang dampaknya masih dialami hingga saat ini yaitu
kekeliruan memahami perbedaan antara yang biologis dengan yang kultural, akibatnya dapat
mengacaukan refleksi etis tentang hak-hak para budak, orang-orang negro atau kaum
perempuan. Sebuah sistem sosial dengan aturan-aturan tertentu yang berlaku sah dapat
membenarkan tindakan ketidakadilan dan perlakuan tidak manusiawi terhadap kelompok
tertentu, misalnya kaum budak, kelompok negro atau perempuan.

Kita dapat menegaskan bahwa memang hukum berguna untuk mengatur kehidupan
bermasyarakat, tetapi tidak bisa dijadikan sebagai alasan utama untuk menentukan nilai-nilai
etis. Hukum dapat menuntut pelaksanaan kewajiban seseorang terhadap masyarakat dan
sebaliknya, dan juga pelaksanaan HAM dalam suatu masyarakat tertentu, tetapi tidak bisa
menjadi alasan terakhir dari HAM.

Paus Leo XIII, tahun 1891, menegaskan bahwa “persoalan kaum buruh dan
masyarakat tak pernah menemukan solusi yang sebenarnya dan praktis berdasarkan hukum
sipil, kendati pun yang terbaik”. Hukum-hukum sipil hanya berhubungan dengan tindakan
lahiriah manusia, dan tidak mampu mengarahkan hati nurani seseorang. Selain itu, Leo XIII
juga menegaskan bahwa persoalan-persoalan masyarakat tidak hanya berhubungan dengan
hal kesejahteraan ekonomis, melainkan terutama meliputi aspek moral dan religius. Hidup
manusia dan masalah kemanusiaan yang dihadapi tidak hanya berhubungan dengan soal
makan dan minum, melainkan lebih kompleks meliputi seluruh aspek kehidupan manusia
yang multidimensional.

Anda mungkin juga menyukai