Anda di halaman 1dari 22

HUKUM

HUKUM
GEREJA
GEREJA
PDT. DR. KELOSO
HUKUM GEREJA
Nama Matakuliah : HUKUM GEREJA

Kode Matakuliah : 01.03.11.7.2012

Pengajar : Pdt. Dr. Keloso

Semester/SKS : VII / 2 SKS

Hari dan Jam Pertemuan : Jum’at, pukul 13.00 – 14.30 Wita

Tempat Pertemuan : Ruang Synchronous dan Asynchronous


HUKUM GEREJA
• Matakuliah Hukum Gereja ini akan mempelajari pengertian dan dasar-dasar eklesiologis,
sejarah penyusunan, hakikat dan model-model hukum gereja yang ada, dasar hukum Gereja
dalam tradisi Gereja dan tradisi budaya lokal, serta mempelajari Tata Gereja dan Peraturan-
DESKRIPSI peraturan GKE secara kritis untuk menjadi pertimbangan bagi kemungkinan menyusun Tata
MATA KULIAH Gereja yang kontekstual di Indonesia (Kalimantan).

• Setelah selesai mengikuti perkuliahan Hukum Gereja ini mahasiswa diharapkan mampu
memahami dan menjelaskan pengertian dan dasar-dasar eklesiologis, sejarah penyusunan,
hakikat dan model-model hukum gereja yang ada, dasar hukum Gereja da-lam tradisi
TUJUAN Gereja dan tradisi budaya lokal, serta mampu menganalisa dan mengkritisi Tata Gereja dan
INSTRUKSION Peraturan-peraturan GKE untuk menjadi pertimbangan bagi kemungkinan menyusun Tata
AL Gereja yang kontekstual di Indonesia (Kalimantan).
HUKUM GEREJA
POKOK BAHASAN

(1) Pengantar dan Pengertian Hukum Gereja

(2)
Dasar Hukum Gereja dalam Alkitab (Eklesiologi)

(3)
Sejarah Hukum Gereja

(4)
Jabatan-jabatan di dalam Gereja
HUKUM GEREJA
(5) Beberapa Model Hukum Gereja

(6) Hukum Gereja menurut Tradisi Calvinis

(7) Hubungan Gereja dengan Gereja-Gereja (Lembaga Gerejawi) dan hubungan


dengan Negara

(8) Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)


HUKUM GEREJA
(9) Hukum Gereja / Tata Gereja Gereja Kalimantan Evangelis (GKE): Lanjutan

(10) Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja Kalimantan Evangelis (GKE)

(11) Beberapa “Peraturan Khusus” Gereja Kalimantan Evangelis (GKE): Lanjutan

(12) Beberapa Model Hukum Gereja mengacu Gereja-gereja yang ada di kota
Banjarmasin
HUKUM GEREJA
(1)
Pengantar dan Pengertian Hukum Gereja

Gereja adalah persekutuan orang-orang yang percaya kepada Tuhan dalam Yesus Kristus
dan Roh Kudus yang Allah panggil menjadi umat-Nya yang kudus dan diutus kembali ke
dalam dunia ini untuk menjadi mandataris Allah dalam menghadirkan syalom bagi seluruh
ciptaan.
Dalam rangka mengorganisasikan diri supaya bisa menjalankan tugas persekutuan dan
menghadirkan syalom Allah tersebut, Gereja perlu ditata secara baik.
Pada setiap masa di mana Gereja hadir, Gereja perlu ditata agar bisa hadir sebagai
mandataris Allah yang menghadirkan syalom bagi seluruh ciptaan.
HUKUM GEREJA
a.
Istilah dan definisi untuk Hukum Gereja

Ada perbedaan istilah sekaligus perbedaan pemahaman di kalangan para ahli dalam rangka
menunjuk pada pengaturan atau penataan Gereja.
Perbedaan tersebut disebabkan hakikat makna yang terkandung di dalam setiap istilah yang
digunakan memiliki kecenderungan menggiring Gereja menjadi sama dengan institusi duniawi
lainnya.
Sejumlah istilah tersebut adalah: Hukum (Hukum Gereja), Peraturan (Peraturan Gereja), Orde
(Orde Gereja), dan Tata (Tata Gereja). Prinsip dasar dan sifat Hukum Gereja adalah disusun
singkat – sederhana – terbuka – dan fleksibel.
HUKUM GEREJA
a.
Istilah dan definisi untuk Hukum Gereja

Secara umum definisi Hukum Gereja adalah: ilmu yang mempelajari dan
menguraikan berbagai peraturan dan ketetapan yang digunakan oleh Gereja
untuk menata atau mengatur hidup dan pelayanannya di dunia.
Dari definisi tersebut tampak luasnya cakupan bidang perhatian di dalam
Hukum Gereja, yakni seluas kompleksitas permasalahan yang diperlukan oleh
Gereja sebagai lembaga agar bisa hidup dan melaksanakan pelayanan, baik
kepada anggotanya sendiri maupun kepada dunia.
HUKUM GEREJA
a.
Istilah dan definisi untuk Hukum Gereja

Hal-hal yang perlu dipelajari dan diuraikan mengenai peraturan dan ketetapan yang
digunakan oleh Gereja untuk menata dan mengatur hidup dan pelayanannya
meliputi beberapa hal, seperti:
Dasar-dasar Alkitabah bagi perlunya Hukum Gereja; berbagai jabatan Gerejawi
yang diperlukan serta bentuk relasi antar jabatan yang ada dan antara para pejabat
dengan warga Gereja secara umum; jenis-jenis pelayanan atau tugas panggilan
gerejawi dan pengaturan-penetatapan pejabat yang berwenang menjalankannya;
bentuk relasi yang perlu dibangun antara Gereja dengan Negara, Gereja dengan
Gereja-gereja dan dengan lembaga-lembaga gerejawi lainnya; dan penetapan model
sistem pemerintahan Gereja yang dibutuhkan oleh suatu Gereja.
HUKUM GEREJA
b.
Peran dan kedudukan Hukum Gereja

Ada perbedaan prinsip antara kedudukan dan peran Hukum Gereja


dibandingkan dengan peran dan kedudukan Undang-Undang yang berlaku
dalam urusan kenegaraan.
Perbedaan tersebut berakar pada eksistensi Gereja sendiri sebagai eklesia yang
gerak hidupnya pertama-tama tidak ditentukan oleh peraturan-peraturan yang
berlaku dan berbagai pihak yang termasuk ke dalam pejabat gerejawi,
melainkan oleh Yesus Kristus melalui Roh Kudus.
Hukum Gereja hanya berlaku sejauh ia tetap berada dalam kedudukannya
sebagai alat-hamba dalam rangka Kristus bekerja di dalam Gereja-Nya.
HUKUM GEREJA
b.
Peran dan kedudukan Hukum Gereja

Dalam kaitan ini maka Hukum Gereja hanyalah alat-hamba untuk mengatur-
menata agar pelaksanaan tugas pangilan Gereja yang Kristus mandatkan bisa
dija-lankan dengan baik.
Ketaatan tidak ditujukan kepada Hukum Gereja an sich, melainkan pertama-
tama kepada Kristus dalam Roh Kudus.
Ketika oleh ketaatan kepada Hukum Gereja menyebabkan ketaatan kepada
Kristus terganggu dan kebebasan Kristus dalam Roh Kudus untuk memimpin
Gereja-Nya terganggu, maka Hukum Gereja perlu ditata ulang atau diganti.
HUKUM GEREJA
b.
Peran dan kedudukan Hukum Gereja

Dalam hal ini kepada Hukum Gereja berlaku sifat Gereja yang selalu
berada dalam keadaan reformata est semper reformanda.
Suatu Hukum Gereja yang dipertahankan dan diberlakukan secara
konsisten dalam kurun waktu yang terlalu lama bisa menyebabkan
terkekangnya kebebasan Kristus melalui Roh Kudus berkarya bagi
Gereja dan dunia.
Namun suatu Hukum Gereja yang berlaku terlalu singkat dan terlalu
sering berganti-ganti, menampakkan kelemahan penyusunan Hukum
Gereja tersebut dan orang-orang yang ada di balik penyusunannya.
HUKUM GEREJA
(2)
Tempat Hukum Gereja dalam Ensiklopedi Ilmu Teologi

Sebagaimana dijumpai berbagai istilah dan perbedaan


pemahaman di kalangan para ahli untuk menunjuk kepada
perlunya pengaturan atau penataan Gereja sebagai lembaga,
hal yang sama juga dikaitkan dengan penempatan Hukum
Gereja di dalam ensiklopedia ilmu Teologi lainnya.
Seiring dengan sifat praktisnya Hukum Gereja, ada para ahli
menempatkannya ke dalam cabang Praktika.
HUKUM GEREJA
(2)
Tempat Hukum Gereja dalam Ensiklopedi Ilmu Teologi

Seiring dengan perlunya Hukum Gereja disusun berdasarkan kepada nas-nas


yang tersedia di dalam Alkitab dan menurut model Gereja Perdana yang
tergambar di dalam PB, ada para ahli menempatkannya ke dalam cabang
Biblika.
Seiring dengan proses sejarah penyusunan Hukum Gereja yang berlangsung di
dalam sejarah yang panjang dan berliku-liku, ada para ahli menempatkan
Hukum Gereja ke dalam cabang Sejarah Gereja.
Dan seiring dengan hakikat Hukum Gereja yang perlu dirumuskan berdasarkan
ajaran Gereja yang dianut, ada para ahli menempatkannya ke dalam cabang
Dogmatika.
HUKUM GEREJA
(2)
Tempat Hukum Gereja dalam Ensiklopedi Ilmu Teologi

Memperhatikan hakikat Hukum Gereja berisikan ketetapan untuk menata atau


mengatur Gereja yang tentunya harus didasarkan pada hakikat Gereja sendiri
sebagaimana tersedia di dalam Alkitab, maka Hukum Gereja agaknya lebih
tepat ditempatkan ke dalam cabang Dogmatika, dalam hal ini ke dalam
Eklesiologi.
Eklesiologi menjadi cabang ilmu Teologi yang mewadahi Hukum Gereja
seiring dengan cakupan bidang ilmu Eklesiologi sendiri yang menyediakan
landasan alkitabiah dan sejarah bagi penyusunan Hukum Gereja, sebagaimana
tampak di dalam sejarah pemahaman mengenai hakikat Gereja di dalam
sejarahnya.
HUKUM GEREJA
(2)
Tempat Hukum Gereja dalam Ensiklopedi Ilmu Teologi

Atas dasar penempatan Hukum Gereja ke dalam


Eklesiologi, maka semestinya kuliah Hukum Gereja
disampaikan sesudah menempuh kuliah Eklesiologi.
Sementara kuliah Eklesiologi sendiri didasarkan atas
sejumlah cabang ilmu Dogmatika lainnya, yakni
Soteriologi, Kristologi dan Pneumatologi.
HUKUM GEREJA
(3)
Catatan Pertimbangan

Pertama, secara kontekstual, tampak bahwa penyusunan Hukum Gereja dilakukan dengan
mempertimbangkan beberapa hal, yakni: dasar teologis sebagaimana tersedia di dalam Alkitab dan
Tradisi yang diwarisi suatu lem-baga Gereja, nilai budaya dan agama lokal di mana suatu Gereja hadir,
dan berbagai peruba-han sosial yang memerlukan respons dari Gereja dalam mewujudkan tugas
panggilannya.
Oleh perbedaan geografis yang sekaligus perbedaan budaya-agama lokal di mana suatu Gereja hadir,
menyebabkan Hukum Gereja pada suatu wilayah tertentu sewajarnya berbeda dibandingkan dengan
Hukum Gereja pada wilayah lainnya, sekalipun Gereja-gereja tersebut berasal dari latar belakang
Tradisi yang sama.
Dan oleh perubahan-perubahan sosial yang terus berubah, menuntut Hukum Gereja selalu
menyesuaikan diri agar ia tetap relevan dalam membantu Gereja melaksanakan tugas panggilannya.
Dalam kaitan ini maka Hukum Gereja berada dalam keadaan “unik” dan “hidup”.
HUKUM GEREJA
(3)
Catatan Pertimbangan

Kedua, sejalan dengan penegasan mengenai sifat kontekstual dari Hukum Gereja tersebut adalah hakikat Hukum
Gereja sebagai alat-hamba dalam rangka membuat tertib dan memperlancar pelaksanaan tugas panggilan Gereja.
Hal ini perlu menjadi perhatian, bahwa ketaatan yang utama bukan kepada Hukum Gereja secara tertulis melainkan
kepada Tuhan sang Kepala Gereja, dan persoalan yang lebih penting ada pada kelancaran pelaksanaan tugas
panggilan Gereja untuk menjalankan amanat Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja.
Penegasan ini menjadi penting, mengingat kecendrungan yang menyertai sifat institusional suatu lembaga, termasuk
lembaga Gereja, untuk menjadi kaku dan menjadikan ketaatan terhadap Hukum atau Undang-undang (dalam hal ini
Hukum Gereja) menjadi ukuran kebenaran.
Hal yang tetap adalah tugas untuk menjalankan tugas panggilan Gereja yang diamanatkan oleh Tuhan Yesus sebagai
Kepala Gereja, sementara perangkat yang diperlukan untuk mendukung pelaksanaan tugas panggilan tersebut
bersifat sementara.
Perangkat tersebut, termasuk Hukum Gereja, tetap dipertahankan dan digunakan sejauh mendukung pelaksanaan
tugas panggilan Gereja dengan baik.
HUKUM GEREJA
(3)
Catatan Pertimbangan

Ketiga, mengingat sifat kontekstual suatu Hukum Gereja, maka unsur-unsur lokal ikut memberi sumbangsih
dalam menyusun suatu Hukum Gereja.
Gambaran lahirnya suatu “peraturan” dalam Alkitab maupun dalam Sejarah Gereja, pada dasarnya berangkat
dari konteks dan untuk menjawab kebutuhan konteks.
Hal ini berarti, untuk konteks GKE di Kalimantan, maka sumbangan pemikiran yang disediakan oleh budaya-
agama suku Dayak men-jadi unsur yang perlu dipertimbangkan dalam rangka GKE menyusun Tata Gereja
atau Hukum Gereja yang kontekstual di Kalimantan.
Sejalan dengan unsur budaya-agama lokal, sistem pemerintahan yang berlangsung di Indonesia (khususnya di
Kalimantan) perlu pula menjadi pertimbangan dalam menyusun Hukum Gereja yang kontekstual di Indonesia,
khu-susnya di Kalimantan.
Prinsip kontekstual ini pula berlaku untuk menjadi pertimbangan da-lam rangka upaya mempertahankan atau
memperbaharui-mengubah suatu Hukum Gereja yang sedang berlaku.
HUKUM
HUKUM
GEREJA
GEREJA

SEKIAN
HUKUM
HUKUM
GEREJA
GEREJA

SEKIAN

Anda mungkin juga menyukai