Anda di halaman 1dari 3

Ulasan Buku

Teologi-Teologi Kontemporer
(PT BPK Gunung Mulia: Jakarta, 2018)
Penyunting: Jan S. Aritonang

Peresensi: Junifrius Gultom

Sebagai dosen yang pernah beberapa kali Setahu saya buku Teologi
mengampu mata kuliah Teologi Kontemporer di Indonesia yang selama ini
Kontemporer, kehadiran buku ini sangat tersedia dari kalangan Injili setidaknya ada
tepat bukan hanya kete-rsediaanya di dalam beberapa diantaranya yaitu buku Eta
literatur ber-bahasa Indonesia, dan oleh Linneman, Teologi Kontemporer: Ilmu
penulis-penulis Indonesia tetapi juga atau Praduga, Yakub Susabda, Teologi
sebuah buku yang memperluas cakupan Modern, Stevri Lumintang, Teologi Abu-
teo-logi-teologi kontemper. Juga, saya abu. Satu karya terjemahan dari buku
bersyukur karena tiga tahun yang lalu saya Harvie E. Conn, Teologi Kontem-porer.
sempat menanyakan di sebuah grup Sementara dari non Injili setidaknya Harun
facebook yaitu Forum Teologi dan Biblika, Hadiwijono pernah menulis buku Teologi
tentang informasi buku apa yang cocok Abad Refor-matoris Abad 20.
dipakai untuk mata kuliah Teologi Pada umumnya buku-buku Teologi
Kontemporer untuk memperlengkapi Kontemporer yang ditulis oleh penulis Injili
sekaligus meng-update beberapa buku- bukan hanya mengulas tentang tokoh-tokoh
buku berbahasa Indonesia yang sudah ada. dan teologi-teologi yang digagasnya, tetapi
Pertanyaan ini saya ajukan mengingat saya juga memberikan evaluasi atau kritik
me-rasa ketika kira-kira 28 tahun yang lalu terhadap teologi-teologi tersebut dari sudut
sewaktu duduk di program S-1, saya pandang Injili. Dengan dasar hermeneutik
mendapatkan mata kuliah Teo-logi Alkitabiah kaum Injili mereka melakukan
Kontemporer yang hanya ber-fokus pada penilaian terhadap teologi-teologi itu dan
Teologi-teologi abad 19 dan 20 (dengan kemudian menyimpulkan bahwa semua
latarbelakang akhir abad 18). teologi-teologi kontemporer adalah teologi
Sementara sekarang pada abad 21, yang sesat.
setahu saya belum ada buku berbahasa Namun buku Teologi-teologi
Indonesia yang termurahir mengenai topik Kontemporer yang disunting oleh Jan S.
ini, selain buku buku Teologi-Teologi Aritonang ini lebih bersifat empatik dan
Kontemporer dengan penyunting Jan S. membiarkan pemikiran-pemikiran teolog-
Aritonang. Hal ini perlu dipertegas teolog itu “apa adanya.” Pen-dekatan ini
mengingat pada abad 21 misalnya bukan merupakan hasil dari kesadaran bahwa
hanya teologi-teologi kontekstual Asia zaman ini bukan lagi zaman dimana
tetapi juga teologi global, dan tentunya juga seseorang memper-cayai narasi besarnya
teologi yang lahir dari pendekatan pos sebagai tolak ukur untuk menilai pemikiran
kolonial. Satu lagi catatan penting dari se-seorang, tetapi meletakkan pe-mikiran
kehadiran buku ini adalah di-masukkannya atau teologi tersebut di dalam posisi
teologi Pentakostal atau Karismatik kebersamaanya sebagai sebuah pers-pektif
(Renewal Theology) sebagai bagian dari atau partikularitas. Maka teologi apa saja
Teologi Kontemporer. Sesuatu yang pernah berhak untuk setara di dalam meja
saya ungkapkan di kelas kepada mahasiswa diskursus. Saya senang dengan pendekatan
bahwa banyak dosen mengajar Teologi semacam ini. “…secara generik semua
Kontemporer, tidak memperhitungkan orang berteologi, karena semua orang sadar
Teologi Pentakostal atau Karismatik. dan berefleksi tentang adanya kekuat-an
atau kuasa yang berada dan bekerja dan

72
lebih tinggi dari dirinya..” (hal. 3). Maka, metode berteologinya. Pendekatan kedua
buku ini tidak menyediakan berbasis Kontinental seperti Eropa,
“penghakiman” seperti layaknya buku Amerika, dan Asia, misalnya. Ada pula
Teologi Kontemporer yang ditulis oleh para berbasis abad, kemudian teologi-teologi
penulis Injili. Pendekatan seperti ini apa yang lahir pada masa tersebut. Namun,
memberi ruang kepada semua pembacanya pada buku ini sudah dijelaskan oleh
untuk melakukan refleksi sendiri bagi penyunting, “urutan penyajian dalam buku
kepentingan si pembaca, apakah bagi ini tidaklah dibuat berdasarkan kronologi
gerejanya, de-nominasinya, sekolah-nya, (mana yang muncul duluan) dan tidak pula
dan bagi diri pembaca sendiri. didasarkan pada kriteria yang baku tentang
Buku ini, sebagaimana di- teologi mana yang paling atau kurang
ungkapkan oleh penyunting, lahir dari penting” (hal. 5). Penegasan penyunting ini
“keroyokan” bersama dosen-dosen pada menjawab pertanyaan yang sebelumnya
program S-3 Sekolah Tinggi Filsafat ada di benak saya sebelum membaca isinya
Teologi, Jakarta (d/h STT Jakarta), ketika sepintas melihat daftar isinya.
sejumlah mahasiswa, dan mereka yang Pertanyaan saya sebelumnya mengapa
pernah studi S-3 di sana (hal. 4). Karena buku ini tidak disusun berdasarkan urutan
buku ini merupakan buku Teologi-teologi waktu dimana teologi-teologi tersebut lahir.
Kontemporer, bukan Teologi Kontemporer, Terkesan menjadi acak. Maka kalau
tam-paknya penyunting mau mengata-kan diperhatikan, dua bab pertama (bab 1 dan
betapa banyaknya ragam dari teologi. Tentu 2), lebih termutahir yaitu Teologi
dapatlah dipahami jika ben-tangan masa Postmodern dan Post Liberal. Namun
makin diperluas, misal-nya hingga tiga kenyataan-nya itu di depan diulas dan
abad (abad 19, 20, dan 21), maka akan kemudian bab-bab selanjutnya adalah
makin banyak lagi yang dapat diangkat. teologi-teologi “lama,” dan bab 17-20
Tampaknya, buku ini mencoba kembali kepada teologi-teologi yang termu-
untuk menginvetarisir semua teologi- tahir (abad-21).
teologi penting yang pernah ada dan yang Pengantar buku ini berjudul
masih terus dikembangkan di masa kurun “Kristologi Kontemporer,” yang ditulis
tiga abad tersebut. Apa yang membuat buku oleh Bambang Subandrijo. Saya tidak tahu
ini juga penting adalah buku ini menarik persis mengapa topik Kristologi dinyatakan
bentangan yang lebih luas untuk dicakupi di oleh Penyunting sebagai pengantar buku
dalam pembahasan-nya hingga kepada ini. Mungkin alasanya seperti Subandrijo
Teologi Estetika, Teologi Trauma, Teologi katakan di kalimat pembukanya, “Inti
Pastoral di Ruang Publik, Teologi Teologi Kristen pada hakikatnya adalah
Disabilitas, Teologi Ling-kungan Hidup. Kristologi, karena sejarah doktrin pada
Maka, buku ini se-benarnya dapat dipakai dasarnya merupakan sejarah concern gereja
pula sebagai referensi bagi mata Kuliah untuk mengungkapkan imanya kepada
Collo-qicium Theologicum pada program Kristus sebagai Juruselamat, dalam lintasan
Doktor Teologi (D.Th). waktu dan tempat yang berbeda-beda.
Sementara cara buku ini Tidak terlalu salah jika teologi Kristen pada
menguraikan bersifat topikal yang dasarnya memiliki karakter soterio-logis..”
didasarkan pada penamaan tersebut. (hal. 9).
Memang pilihan itu tentu tidak masalah. Jika demikian, maka dapatlah kita
Sebagaimana buku-buku Teologi katakan bahwa apapun teologi yang
Kontemporer pada umumnya berbeda-beda diuraikan di buku ini, basisnya adalah
cara penguraiannya. Ada yang berbasis Kristologi. Maka, Kristus menjadi titik
tokoh, misalnya: Karl Barth, Emil Brunner, tolak dari berteologi itu. Karena, seperti
Paul Tillich, Choan Seng Song, dan yang sudah dijelaskan di atas, buku ini
seterusnya, lalu menjelaskan teologi dan mencakupkan pembahasan hingga kepada

73
Teologi Praktikal (Practical Theology): ada, ia akan terus dikunjungi kembali dan
Teo-logi Misi, Teologi Spiritualitas dan dinilai rele-vansinya dengan zaman. Itu
Mistikal, Teologi Tubuh dan Eros, Teologi sebabnya penyunting meminta agar gereja
Trauma dan lainnya, maka buku ini menjadi dan orang Kristen melanjutkan pengem-
penegas bahwa teologi itu adalah milik bangan teologi di masa yang akan da-tang,
gereja. Gereja yang berteologi, seperti sambil mengambil faedah dari teologi yang
ungkapan penyunting, teolog sebagai warga ada.
gereja, mengerjakan teologi. Tetapi bukan
itu saja, bagaimana masalah-masalah
pastoral dan kemanusiaan dapat
diteologikan. Sebagai sebuah teologi,
pastilah mempunyai cara atau metode
berteologi. Semua metode berteologi bukan
hanya lahir karena membaca dan
memahami Alkitab tetapi adanya
latarbelakang konteks yang
mempengaruhinya. Bagaimana-pun teologi
tidak lahir dari ruang hampa atau nir-
konteks. Itu sebabnya nama Teologi
Kontemporer dapat saja disebut Teologi
Kontekstual sekaligus. Sebagai teologi-
teologi yang lahir pada masanya oleh para
pemikir teologi, sangat kontekstual. Dan
istilah “kontemporer” juga berarti apa yang
sedang tren pada masa kurun waktu
tertentu.
Maka, bila para pengajar teologi
kontemporer melihat selama ini topik yang
dibahas “itu itu juga,” buku yang menarik
bentangan hingga kepada teologi pastoral,
teologi tubuh, serta teologi lingkungan,
mendapat “penyegaran,” dan bahan
tambahan. Sayangnya buku ini tidak
memasuk-kan Teologi Queer, yang
sesungguh-nya topik yang strategis dan
meng-hangat pada masa kini.
Pada akhir bab ini, dalam bagian
penutup, kembali penyunting
mengingatkan pentingnya tempat gereja
dalam mengerjakan teologi. Pesan penting
dalam penutup adalah, “kita menyadari
pentingnya ajaran gereja, karena ajaran
itulah yang menjadi pegangan untuk
bertindak. Namun, kalau kita menganggap
dan melakukan ajara gereja (kita) sebagai
kebenaran mutlak, kita akan semakin
ditinggalkan banyak orang, termasuk warga
gereja dan mahasiswa kita” (427).
Sebagaimana teologi-teologi yang dibahas
di buku ini sudah pernah ada, dan masih

74

Anda mungkin juga menyukai