Anda di halaman 1dari 5

Nama : Salmandani Lambok Panjaitan

Nim : 15.3014
Mata Kuliah : Misiologi I
Dosen : Pdt. Pulo Aruan, S.Si, M.Div

Dasar-Dasar Misiologi
Edmund Woga, CSsR,
Kanisius
Bab 1.
Misi dan Misiologi

Pengertian tentang “misi” dan “misiologi” tidak hanya sekedar telaah etimologis-
sintaksis dari kata, tetapi telah memuat macam-macam modifikasi pengertian dan makna
sepanjang sejarah karya misi Gereja dan bahkan dalam seluruh karya penyelamatan Allah.
Istilah Bahasa Indonesia untuk kata Latin Missio yang berarti perutusan. Kata Missio
adalah bentuk dari kata kerja mittere (mitto, missi, missum) yang mempunyai beberapa
pengertian dasar: 1. Membuang, menembak, membentur; 2. Mengutus, mengirim,;
membiarkan, membiarkan pergi, melepaskan pergi; 4. Mengambil/menyadap, membiarkan
mengalir (darah). Kalangan Gereja pada dasarnya menggunakan kata mittere dalam
pengertian mengutus, mengirim.
Istilah “misi” tidak hanya dipakai dalam ruang lingkup keagamaan, tetapi juga
digunakan didalam khalayak ramai seperti misi dalam diplomatis, misi dalam politis, misi
dalam ilmu pengetahuan, misi dalam kebudayaan, dan misi dalam dunia kemiliteran.
Semuanya itu juga memerlukan misi pelimpahan tugas dan tanggung jawab. Di dalam Gereja
“misi’ digunakan baik untuk menunjukkan sebuah kegiatan yang lebih luas dan umum, yaknu
menyangkut semua kegiatan Gerejawi, maupun bentuk karya khusu pewartaan dan
penyebaran iman Kristen. Pengertian yang terakhir ini menyangkut pengutusan para
misionaris untuk memperkenalkan dan menyebarkan iman Kristen pada orang-orang yang
belum pernah mendengar kata dari Injil , yakni kepada orang-orang yang beragama lain atau
kepada orang yang tidak beragama.
Missiologia adalah pkelanjutan dari kata mission. Secara etimologis, istilah ini
menunjuk pada displin ilmu pengetahuan yang menjadikan peristiwa atau tindakan perutusan
sebagai objek penelitiannya. Misiologi adalah penelitian ilmiah dan penjabaran sistematis
mengenai sebuah perutusan. Misiologi adalah refleksi dan pertanggungjawaban ilmiah atas
dimensi iman Gereja (kepada Allah) yakni keterbukaan kepada dunia. Gereja terpanggil
untuk bersekutu dakam iman dan diutus untuk mewartakan kabar sukacita tentang
pengalaman penyelamatan, pengalaman berada dalam suasana kerajaan Allah. Dan sebagai
ilmu, misiologi menghayati, menyelidiki dan membuat perutusan yang sistematis serta
normative mengenai macam-macam aspek dari hakikat dan kegiatan misioner yang dilakukan
gereja di dunia.
Istilah “misi” dengan arti penyebaran iman baru mulai dipakai pada pertengahan abad
ke-16. Pada masa-masa sebelumnya Gereja memakai ungkapan-ungkapan lain untuk
menunjuk kegiatan pewartaan Injil, penyebaran iman Kristen, pembangunan sebuah jemaat
yang baru. Kata “misi” mulai digunakan secara umum di dalam Gereja sejak permulaan abad
ke-17.
Ada 2 pembagian dalam mission yaitu: mission interna yakni kegiatan pengajaran
agama untuk umat (reksa pastoral) dan ada missi externa yakni kegiatan penyebaran iman
kepada orang-orang non-Kristen. Secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan missioner
adalah kegiatan gereja yang berhubungan dengan pewartaan Injil dan pembangunan jemaat,
kemudian artian tersebut dipersempit menjadi kegiatan pewartaan Injil kepada mereka yang
bekum pernah mendengar tentang Injil, sedangkan pembangunan jemaat adalah sebuah
konsekuensi langsung dari karya pewartaan sebuah Injil, yakni bagi mereka yang menerima
pewartaan dan member diri untuk dibaptis.
Motivasi-motivasi tradisional seperti pentobatan, penyelamatan jiwa-jiwa, penanaman
Gereja ditengah-tengah bangsa non-Kristen tidak terlihat sebagai satu kesatuan yang saling
melengkapi di dalam keutuhan perutusan Gereja, tetapi masing-masing dilihat secara ekslusif,
sehingga terjadi tumpang-tindih dalam skala prioritas. Akibat dari pertentangan-pertentangan
yang terjadi antar-gereja dan antar-sekolah teologi semakin mempertajam kubu-kubu aliran
teologi dan tidak sebaliknya yang diharapkan bisa untuk mempersatukan pemahaman teologis
tentang misi. Misionaris yang dilihat sebagai pelopor dalam karya pewartaan Injil bergumul
sesuai dengan ajaran teologis yang dianutnya. Dan ada beberapa misionaris yang bahkan
melakukan misi dengan latar belakang politik dan bertindak sebagai wakil dari negaranya
untuk kepentingan negaranya tersebut. Dalam hal ini, gereja sebuah tantangan yang baru dan
harus memikirkan kembali karya dalam perutusannya, dan menjadi sebuah tugas dari gereja-
gereja muda yang harus menemukan integritas dan identitas diri mereka sendiri, juga didalam
pelaksanaan perutusan mereka. Dalah hal ini juga, misi juga harus lebih dimengerti dan
kontekstual sebagai hidup dan karya dari sebuah Gereja. Misi adalah pertemuan antara
Gereja-gerej dengan agama-agama non-Kristen, dengan kebudayaan-kebudayaan yang jauh
dari pengaruh Injil serta dengan masyarakat yang belum mengenal Kristus.

Bab II
Missiologi Sebagai Displin Ilmu Pengetahuan
Dalam suatu cabang Ilmu yang baru biasanya disertai dengan macam-macam
pertanyaan yang berhubungan dengan displin ilmu tersebut untuk bertahan dalam dunia ilmu
pengetahuan pada umumnya. Dalam relasinya dengan cabang-cabang ilmu lain displin ilmu
yang harus dapat menunjukkan jati dirinya dan tidak berjalan tumpang-tindih dengan ilmu-
ilmu lain. Sebuah displin ilmu harus memiliki sebuah perbedan dari ilmu yang lainnya dari
sagi objek penelitian, cara pendekatan, cara penilaian, sistem ilmiah, namun tetap memiliki
relasi dengan ilmu yang lain.
Seperti halnya dengan misiologi satu cabang baru dalam displin ilmu-ilmu teologi
yang membuat penelitian dan penjabaran ilmiah mengenai hakikat dan pelaksanaan perutusan
Gereja. Sebagai displin ilmu dalam dalam pengertian modern, yakni sebagai bagian
tersendiri dan normatif dengan batas-batas penelitian yang jelas (objek, metode, arah)
dibedakan dari cabang-cabang ilmu lainnya, misiologi baru mulai sejak lahir abad ke-19 dan
permulaan abad ke-20.
Misiologi yang ditetapkan sebagai displin ilmu harus mempunyai peranan dan tugas
tersendiri dalam lingkup penelitian dan penjabaran ilmiah (teologis) yang sistematis dan
kritis. Sebagai bidang ilmu yang otonom misiologi mempunyai metode-metode tertentu yang
tidak bertentangan dengan wahyu ilahi (sesuai dengan Kitab Suci dan Tradisi Gereja), yang
dapat digunakan baik dalam penalaran ilmiah-teoretis maupun dalam pelaksanaan konkert
perutusan. Misiologi dituntut untuk mempunyai objek (formal dan materiil) dengan batas-
batasnya yang tegas sehingga bidang studinya tidak tumpang-tindih dengan displin-displin
ilmu (teologi) lainnya. Justru karena perutusan yang menjadi tema dari misiologi dan menjadi
aspek perenungan displin-displin teologi lainnya, dan misiologi perlu membuat suatu
distingsi (perbedaan) yang jelas melalui objek refleksinya.
Jika kita melihat perkembangan Gereja, khususnya dalam bidang perutusan sampai
pada saaat pengakuan dan pengukuhan adanya “ilmu” tentang misi, maka boleh dikatakan
bahwa Gereja atau teologi memang membutuhkan suatu spesialisasi yang secara khusus
bertugas untuk membuat telaah ilmiah mengenai hakekat dan pelaksanaan perutusan dalam
sejarah keselamatan. Dengan demikian, misiologi tidak dapat melepaskan diri dari cabang-
cabang teologi lain.
Cabang-cabang teologi lainnya (dogmatic, eksegese, eklesiologi, hokum, sejarah
gereja, pastoral dan lain-lain), yang juga membuat sebuah analisis mengenai hakikat dan
karya misi, tidak dapat lagi menangani seluruh persoalan misiologis dan ada banyak
persoalan misi (pastoral di daerah misi) dan misiologis tidak dapat diselesaikan dengan
segera sebab penyelesaian persoalan tersebut tergantung dari telaah ilmiah dari macam-
macam displin ilmu lainnya.
Akan tetapi, dalam rangka pembicaraan ini objek formal yang dimaksudkan adalah
pokok persoalan yang menjadi objek formal yang dimaksudkan adalah pokok persoalan yang
menjadi objek utama seluruh refleks teologis tentang misi, yakni dasar yang menjadi “titik
temu” macam-macam telaah misiologis. Dengan latar belakang pengertian ini dapat
dikatakan, bahwa pokok (objek) yang menjadi pola dasar (forma) penelitian dan penjabaran
misiologi adalah pertama-tama “perutusan” dalam keselamatan Allah yakni sejarah
pewahyuan Diri-Nya kepada manusia (dunia).
Misiologi dilihat sebagai ilmu pengetahuan mengenai pelaksanaan diri Gereja dalam
perannya sebagai “organ” yang diutus oleh Yesus Kristus untuk memberitakan Injil (Mrk
16,15), menjadi saksi karya keselamatan (Luk 24,47; Kis 1,8) dan menjadikan segala bangsa
murid-Nya (Mat 28,18). Objek khusus yang menjadi pokok refleksi misiologi adalah fungsi
dasar Gereja, sejauh Gereja dalam melaksanakan dirinya, tidak hanya terarah kepada mereka
yang dibabtis dan sudah terbentuk menjadi suatu penguyuban yakni Gereja.
Dengan demikian, refleksi misiologis tetap berada dalam keseluruhan peranan
sakramentil Gereja sebagai tanda dan alat persatuan yang mesra antara Allah dan manusia
dan persatuan umat seluruh umat manusia.
Dalam perutusan kepada “bangsa-bangsa”, gereja mengaktualisasikan perutusan
Kristus yang terarah kepada penyempurnaan sejarah semesta pada akhir zaman. Sebagai
peristiwa historis perutusan gereja yang merupakan partisipasi pada perutusan Kristus untuk
menunjukkan hakikat eskatologis keselamatan Allah yang sudah terlaksana dalam diri
Kristus, tetapi baru akan mencapai kesempurnaan pada akhir zaman. Pada perutusan bertugas
untuk memperlihatkan kepada dunia keselamatan Allah yang sudah terlaksana di dalam dan
melalui diri Kristus, dan belum mencapai kepunahannya yang definitive.
Ssebagai ilmu yang mencatat dan mempelajari hakikat dan realisasi diri Gereja dalam
ruang dan waktu, sejarah gereja mempunyai hubungan yang erat dengan misiologi.
Hubungan ini pertama didasarkan pada hakikat dan pelaksanaan misi sebagai perwujudan
Gereja yang terjadi dalam sejarah, yakni dimensi lintas batasnya. Di pihak lain, berhubung
refleksi misiologi selain mengenai hakikat misi dan didasarkan pada mission dei yang juga
karya konkert gereja dalan berhdapan dengan dunia makan misiologi perlu bekerja secara
induktif dan deduktif.
Misiologi harus menggali inti hakikatnya yang terdalam, perannya dalam sejarah
penyelamatan Allah, termasuk posisinya di dalam gereja dan juga menganalisis pengalaman-
pengalaman konkert karya misi Gereja dalam berhadapan dengan bangsa-bangsa di dunia.
Karena itu, misiologi tidak boleh menjadi ilmu pengetahuan yang introvert, tetapi harus
terbuka untuk menanggapi macam-macam persoalan dalam berhadapan dengan macam-
macam pola kehidupan bangsa, agama, dan budaya.

Bab III
Misi di Dalam Kitab Suci

Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru karya misi pertama-tama dilihat sebagai
karya Allah, yakni Allah yang mengutus Diri-Nya kepada dunia. Allah hadir ditengah-tengah
kehidupan manusia dan memanggilnya untuk menerima tawaran rahmat-Nya. Dampak dari
karya rahmat yang mengkristal dan mengendap di dalam kehidupan manusia menjadi “saksi”
hubungan yang telah terjalin antara Allah dengan manusia sepanjang zaman. Manusia yang
telah menerima rahmat keselamatan diutus (secara implisit dan eksplisit) untuk menjadi
sakramen kesalamatan, yakni saksi persatuan antara Allah dengan manusia.
Pendasaran misi gereja pada Perjanjian Lama mengalami hambatan-hambatan karena
suasana tertentu di dalam kehidupan bangsa Israel yang sepintas memberikan kesan tidak
mendukung proses “lintas batas” iman Israel kepada Yahwe. Gereja yang didirikan sebagai
Israel baru (berdasarkan “perjanjian baru” terhadap kelompok “sisa Israel” lih. Ibr 8,8-10
bdk. Yer 31,31-33; Yeh 36,22-30)
Seperti bangsa lainnya di sekitar bangsa Israel, kehidupan bangsa Israel pun terpatok
pada hokum dan praktek keagamaan. Akan tetapi, bangsa Israel yang menyadari kemampuan
transendentalnya, menggunakan kemampuan tersebut untuk menilai peristiwa-peristiwa.
Pengalaman transendel ini sangat berperan dalam pembentukan religiositas Israel yang
khas,yang berbeda dengan kesadaran keagamaan bangsa tetangga di sekitarnya. Peristiwa
pembebasan bangsa Israel dari tanah Mesir adalah sebuah peristiwa historis-politis biasa,
menjadi luar biasa karena dialami oleh bangsa Israel sebagai pernyataan diri Allah (mirabilia
Dei) kepada Israel. Allah dialami, digumuli, dan di tafsir dalam dan melalui peristiwa historis
tersebut sebagai yahwe yang mempunyai kuasa membebaskan dan menyelamatkan.

Keistimewaan bangsa Israel tidak terletak dalam peristiwa-peristiwa historis-profan


yang mereka alami. Perayaan peringatan bangsa Israel akan pembebasan mereka dari Mesir,
akan bimbingan dan pemeliharaan dalam perjalanannya menuju ke tanah terjanji sebagai
pernyataan diri Allah (mirabilia Dei) kepada mereka.
Bangsa Israel menafsirkan kenyataan pembebasan mereka (dari penindasan yang
dilakukan oleh Mesir) dan pembentukan sebuah komunitas yang baru (bangsa Israel) sebagai
tindakan pilihan Yahwa terhadap mereka. Kesadaran akan ikatan ini digambarkan dengan
jelas dalam bentuk Perjanjian antara Yahwe dengan Israel bahwa mereka menjadi umat dan
Yahwe menjadi Allah mereka (Kel 6:6; Im 26:13; Yer 11:4; Yeh 11:20). Karena kelemahan
mereka sebagai manusia mereka melanggar janji, Yahwe selain menghukum mereka juga
membuat sebuah perjanjian baru.
Ketika mereka mengalami krisis persatuan dan kesatuan sebagai komunitas Allah,
sarana ampuh yang mereka pakai untuk memperbaiki eksistensi dan mengangkat kembali jati
diri mereka ialah memberikan tekanan baru sebagai tindakan parenetis pada warisan
keberadaan (posisi dan privilese) mereka sebagai bangsa terpilih. Israel membangun kembali
kesadaran nasional mereka dan melihat diri sebagai “milik Istimewa” Yahwe (Kel 19:5; Ul
7:6; 14:2; 26:18; 32:18-19; Mzm 135:4; Mal 3:17), sebagai “mempelai Yahwe” (Yes 50:1;
54:4-7; 62:4-5). Israel menjaga kemurnia bangsa sebagai umat pilihan Allah (Ul 7:3-4), juga
menjaga kesucian kenisah Yahwe, agar jangan dimasuki oleh bangsa-bangsa lain “kafir”,
karena kenisah adalah tempat kediaman Allah.
Keselamatan Allah terpusat secara lokal di Sion/Yerusalem (Yer 3:17) dan secara
etnis melulu bagi bangsa Israel. Pergumulan mereka dengan bangsa-bangsa Non-Yahudi
dilihat sebagai tindakan yang melawn hokum dan membawa aib bagi umat kudus Yahwe (Ul
34:12-16; Ul 7:3-4; Ezr 9:1-2; Bdk, Gal 2:11; Kis 11:1).
Kesan ekslusivitas bangsa Israel dan penyempitan ruang gerak Yahwe

Anda mungkin juga menyukai