Halaman Judul
Daftar Isi
BAB.
I. PENDAHULUAN
Latar Belakang . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
Indentifikasi masalah
Rumusan Masalah . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .
II. PEMBAHASAN
III. PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
I. Pendahuluan
Latar belakang.
Pada awalnya hanya ada satu gereja, tetapi satu gereja itu menyebar ke
dari Tuhan mewarnai kehidupan dan pelayanan gereja. Dalam hal ini lahir kesadaran
akan kesatuan, berkembang menuju kesadaran kesatuan gerejawi yang satu sebagai
tubuh Kristus. Jadi, yang disebut "oikumene" termasuk gereja, yang memandang dan
lagi kata asing, tetapi tampaknya sudah lazim di beberapa kegiatan gereja. Jiwa
Kristen, seperti: Paskah dan Natal bersama, doa Bersama dan sebagainya. Sehingga
gerakan Oikumene.
antara gerakan ekumenis ini dengan sinode, terutama dalam kaitannya dengan
berbagai tempat pelayanan yang dimiliki oleh berbagai sinode. Baik wilayah layanan
bahwa lembaga yang berbeda memiliki saluran pendanaannya sendiri. dari dalam dan
luar negeri. Untuk itu, setiap lembaga berupaya menjaga saluran pendanaan melalui
agenda dan program masing-masing. Akibatnya, kami melihat program yang berbeda
menemukan bahwa suatu daerah memiliki banyak organisasi yang aktif tetapi tidak
artikel tentang kegiatan ouikumene, diketahui bahwa setiap gereja memiliki materi
pemahaman gereja tentang ekumenisme dalam hubungan antar gereja dan antar
agama dan juga mengkaji teologi sosial dalam arti sempit yaitu sebagai teologi khusus
menjalankan teologi sosial dalam arti sempit atau sebagai teologi khusus, tetapi
dengan tetap memberi perhatian pada dimensi teologi sosial dalam arti luas, yaitu
sebagai teologi fundamental. Terlihat dengan jelas bahwa kehidupan keagamaan dan
upaya revitalisasi ekumenisme tidak dapat dipisahkan dari semua kehidupan. Gereja
ulang ini akan membawa pencerahan yang dibutuhkan untuk menciptakan teologi
yang seimbang. Teologi Mengajarkan Gereja untuk Mengasihi Tuhan dan juga
sesamanya.1 Dengan demikian penulis berharap, bahwa kegiatan ini bisa memberi
1
Ricardo Freedom Nanuru, Gereja Sosial, (Yogjakarta, pernebit Deepublish,2020), 9.
dampak dengan bersatunya gereja-gereja di dalam: “ GERAKAN OIKUMENE
”TEOLOGI SOSIAL”
Identifikasi Masalah
Rumusan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, maka penulis membatasi masalah
sebagai berikut:
Tujuan Penulisan
Untuk memberikan pemahaman dan pengertian kepada gereja-gereja
baik dalam kehidupan moral maupun dalam teologi sosial. Guna membangun
kehidupan rohani, gereja-gereja harus mulai bersatu kembali dengan ajaran Alkitab
yang benar berdasarkan keesaan dan iman sebagai tubuh kristus. Itu semangat
oikumene menjadi bangunan teologis dan mempengaruhi pemikiran gereja-gereja
antar denominasi.
II. PEMBAHASAN
1. Pengertian Oikumene
Agama merupakan kebutuhan dalam kehidupan manusia sebagai ciptaan
Tuhan. Sebagai makhluk yang homogen, setiap orang harus menerima agama tertentu.
interaksinya dengan agama lain, kadang ini menimbulkan konflik dengan agama lain
yang memiliki fanatisme yang sama dalam doktrin dan praktik keagamaannya. Jadi,
mengingat hal itu, adakala agama melahirkan kekerasan atas nama agama!. “Dalam
hal ini agama Kristen tidak hidup menyendiri tetapi selalu bergaul dengan agama lain,
dan tanpa sikap dan toleransi yang baik tentunya konflik akan menjadi tantangan
yang sangat serius. Oleh karena itu, khususnya agama Kristen, perlu adanya
pendekatan yang tepat, demi kerukunan dan saling menghormati antar umat
bersama tentang Tuhan yang menciptakan dan dalam roh manusia yang diciptakan
menurut gambar dan rupa Tuhan, dalam Kejadian. 1:26-27. Tetapi melalui
kehancuran total dari dosa, manusia tidak akan dapat kembali ke persekutuan yang
benar dengan Tuhan. Baik budaya maupun agama tidak dapat membawa manusia
kepada keselamatan.
Yesus Kristus. Yesus ingin semua murid-Nya bersatu, jauh dari berbagai perpecahan
dan konflik seperti dalam doanya “Supaya semua bersatu, seperti kamu, di dalam
kamu, di dalam Aku dan anak-anak di dalam Bapa, supaya mereka juga dipersatukan
di dalam kita: biarlah dunia percaya, bahwa Engkau yang mengutus Aku” (Yohanes
17:21).
terjadi di dalam jemaat. Rasul Paulus menghadapi jemaat di Korintus yang terbagi
Apolos, golongan Kefas, dan golongan Kristus (1 Kor. 10-17). Bagi rasul Paulus,
situasi ini tidak sesuai dengan kehendak Kristus, karena Kristus tidak terbagi, tetapi
adalah bumi yang dihuni oleh manusia. Kata Yunani oikos berarti “rumah” dan mene
berarti “bumi”. Pemahaman istilah Oikumene adalah istilah misionaris yang cocok
dari antara orang mati, dan kamu diselamatkan” (Roma 10:9). Jadi, Oikumene
misi Kristen untuk mendiami bumi tempat Injil diberitakan. Ini adalah semacam
penyertan Tuhan Yesus (Mat. 28:18-20), atau bagian pembukaan Kisah Para Rasul,
“Kamu akan menjadi saksi-Ku, sampai ke ujung bumi” (Kisah Para Rasul 1:8).
Perjanjian Baru, kata ini disebut ekumenisme. berarti lingkup kegiatan gereja, tempat
mana ekumenisme mulai didefinisikan sebagai gereja yang diterima secara umum dan
berhubungan dengan semua orang. Sama seperti Sinode melibatkan semua orang yang
disebut “Dewan” atau “Dewan Ekumenis” arti dari kata itu adalah nasihat yang
berasal dari akar bahasa Latin, yaitu concilium yang artinya bertemu untuk
merundingkan sesuatu. Kata yang juga digunakan adalah sinonim yang berasal dari
kata Yunani Synodus yang juga berarti menyatukan kembali, menyatukan kembali.
Pada abad kedua, dewan atau sinode ini digunakan untuk membahas isu-
isu yang mengancam kesatuan Gereja. sangat jelas bahwa “Dewan Ekumenis”
dimaksudkan untuk konsili semua Gereja. Pada abad ke-18, telah terjadi pergeseran
meninggalkan batasan pada negara atau wilayah beberapa kekuatan dan mulai
berpikir secara global atau seluruh dunia, mereka mulai berpikir misionaris.
menyatakan bahwa mereka hanya akan menerima wahyu ilahi dalam Alkitab dan
iman kepada Yesus Kristus, dan mencapai kesepakatan tentang masalah persatuan
gereja. Rapat menegaskan: Dari kesimpulan ini sangat jelas bahwa Gereja harus
bersatu di dunia ini. Karena dasar gereja adalah satu dan itu adalah Yesus Kristus
sendiri.”2
organik, yang berarti bersatu dalam pemecahan roti dan dalam aspek keagamaan
yang berbeda. Apa yang dapat dipelajari dari upaya pemersatu gereja adalah bahwa
kehidupan antar gereja hanya mewakili satu pribadi dalam kehidupan sehari-hari,
yaitu; pribadi Yesus. Kesatuan organik ini tidak dapat diterapkan oleh semua Gereja
2
https://id.wikipedia.org/wiki/Iman_dan_Tata_Gereja
karena ia tidak dapat menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada di dalam Gereja-
khusus dan tegas. Meski begitu, setiap denominasi tidak boleh gegabah dengan
gereja yang pada dasarnya satu tetapi dipisahkan oleh Denominasi yang berbeda.
Dewan Gereja Dunia memiliki sub-unit “Dialog dengan Orang-Orang yang Berbeda
memelihara kontak, konsultasi dan kerja sama secara teratur dalam suasana
persaudaraan.
diambil dari sejarah misi kristiani, norma-norma yang diberikan Santo Fransiskus dari
Asisi, dalam Regola non bollata dari tahun 1221, adalah signifikan ”Para saudara
yang melalui ilham ilahi ingin pergi kepada orang-orang Sarasen...dapat mengadakan
kontak spiritual dengan mereka (kaum Sarasen) dengan dua cara: cara yang tak
demi kasih Tuhan dan akui bahwa Anda adalah seorang Kristen. Cara lain adalah
mereka.”
Dan juga pengalaman Charles de Foucauld, yang melaksanakan misi
dengan rendah hati dan sikap hening dalam persatuan dengan Allah, dalam
beragama. Hal ini justru karena persoalan teologis erat kaitannya dengan sistem
kepercayaan yang memberikan value atau nilai bagi perilaku sehari-hari setiap umat
beragama.
Kata “teologi” berasal dari kata Yunani theos, yang berarti Allah, dan
logos, yang berarti bahasa, pemikiran, dan ucapan. Oleh karena itu, pemahaman yang
sempit tentang teologi adalah berpikir dan berbicara tentang Allah.4 Dalam
pengertian yang lebih luas (aktual), “teologi” pada dasarnya berarti bahwa orang-
ilmiah, ini adalah upaya sadar untuk mencerminkan tuntutan yang bergerak ke dalam
Tindakan.5 Ini sesuai dengan firman Tuhan yang terdapat di dalam Yakobus. 2:14-26,
Dari pengertian ini sangat jelas bahwa teologi tidak hanya berbicara
tentang yang vertikal (hubungan manusia dengan Allah), yaitu ibadah yang
berhubungan dengan Tuhan, tetapi juga tentang horizontal (hubungan antar manusia),
3
R.P. Piet Go, O.Carm, HUBUNGAN ANTARAGAMA DAN KEPERCAYAAN,( Jakarta,
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2017),11.
4
Paul Avis, Ambang Pintu Teologi, (Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1998), 2.
5
Wahono Nitiprawiro, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan Isinya,
(Yogyakarta: LKiS, 2000), 6.
seperti memerangi kemiskinan, penindasan, eksploitasi, dll. Hal ini sesuai dengan
yang tidak dapat dipisahkan. Pertama, tuntutan hidup sebagai umat beriman, dan
kedua, tuntutan hidup sebagai umat beriman yang hidup sebagai bagian dari
masyarakat.6 Teologi tidak hanya memandang iman secara abstrak, tetapi baginya
sikap dasar iman adalah iman dalam solidaritas dengan orang miskin.
kemiskinan, kesehatan, HAM, ketidakadilan, Korupsi, dsb. Oleh sebab itu, menurut
masalah beriman akan kebenaran Allah saja, tetapi sebagai masalah berbuat secara
bahwa semangat awal di dunia ini adalah untuk “membebaskan” manusia dari
ketuhanan.7
banyak digunakan dalam wacana akademis dan publik, karena semakin populer,
istilah itu semakin sering digunakan. Sekitar tahun 2000, menjadi topik hangat di
Kristen Protestan, teologi sosial dimasukkan dalam dokumen dan lembaga resmi
gereja. Hal ini dapat dilihat dalam dokumen resmi dan tulisan teologis dari para
teolog yang menggambarkan reaksi umat Kristen Protestan Indonesia terhadap situasi
6
Giyana Banawiratma (ed.), Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi, (Yogyakarta:
Kanisius,1986), 13.
7
Giyana Banawiratma, Iman Pendidikan dan Perubatan Sosial (Yogyakarta Kanisius,1991), 9
8
Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul : Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam
Politik di Indonesia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 8-11.
sosial, politik dan ekonomi yang dinamis dan perekonomian negara.
menulis bahwa keterlibatan ini tercermin dalam narasi Perjanjian Lama tentang kasih
Jadi kesimpulan ini didasarkan pada makna istilah teologi social menurut
percaya untuk menghidupi iman mereka dalam konteks sosial yang paling konkret
dari masyarakat tempat mereka tinggal.10 Oleh karena itu, teologi sosial selalu berakar
pada pengalaman dan masalah manusia dalam konteks sosial yang nyata dengan
berbagai aspek kehidupan, yang mengarah pada apresiasi misionaris yang lebih
dalam pada situasi yang berbeda. Dengan demikian, teologi sosial di satu sisi dapat
disebut teologi kontekstual, dan juga teologi khusus. tentang partisipasi orang
sosial dalam artikel ini dipahami sebagai refleksi teologi yang menggambarkan
pemahaman gereja tentang iman Kristen dalam rangka memecahkan masalah sosial
9
Nicholas Placido, “A History of Charity and The Church”, (Makalah yang dipresentasikan
pada pertemuan North American Association of Christians in Social Work Convention November
2015), diakses 15 Februari 2017, http://www.nacsw.org/Convention/PlacidoNAHistoryFINAL.pdf.
10
J. B. Banawiratma dan J. P. Müller, Berteologi Sosial Lintas Ilmu: Kemiskinan Sebagai
Tantangan Hidup Beriman (Yogyakarta: Kanisius, 1993), 23.
11
Julianus Mojau, Meniadakan atau Merangkul : Pergulatan Teologis Protestan dengan Islam
Politik di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 9.
Pilar kerohanian, kedua, Pilar Kesehatan, ketiga, Pilar Ekonomi, keempat pilar.
Tujuan :
Terjadinya kesatuan Umat Tuhan secara global dan berdirinya mezbah global
Pukul : 17.30
Tujuan :
mengumpulkan sampah
Pukul : 07.30-16.00
Tujuan :
III. Kesimpulan :
Dalam hal ini sebagai agama orang Kristen yang turut membangun masyarakat yang adil dan
keadilan sebagai bagian dari panggilan dan misi utama gereja-gereja fungsinya sebagai
“garam dan terang” dunia. Dengan tujuannya adalah untuk menciptakan kebersamaan antara
Daftar Pustaka
1. Avis, Paul, Ambang Pintu Teologi, Jakarta: PT BPK Gunung Mulia, 1998.
2. Banawiratma, Giyana (ed.), Panggilan Gereja Indonesia dan Teologi,
Yogyakarta: Kanisius,1986.
3. Banawiratma, Giyana, Iman Pendidikan dan Perubatan Sosial, Yogyakarta:
Kanisius,1991.
4. Banawiratma, J. B. dan Muller, J. P. Berteologi Sosial Lintas Ilmu:
Kemiskinan Sebagai Tantangan Hidup Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1993.
5. Go, R.P. Piet, Carm, O, Hubungan Antar Agaman dan Kepercayaan, Jakarta:
Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, 2017.
6. https://id.wikipedia.org/wiki/Iman_dan_Tata_Gereja.
7. Mojau, Julianus, Meniadakan atau Merangkul : Pergulatan Teologis
Protestan dengan Islam Politik di Indonesia, Jakarta: BPK Gunung Mulia,
2012.
8. Nanuru, Ricardo Freedom, Gereja Sosial, Yogjakarta: pernebit Deepublish,
2020.
9. Nitiprawiro, Wahono, Teologi Pembebasan: Sejarah, Metode, Praksis, dan
Isinya, Yogyakarta: LKiS, 2000.
10. Placido, Nicholas, “A History of Charity and The Church”, (Makalah yang
dipresentasikan pada pertemuan North American Association of Christians in
Social Work Convention November 2015), diakses 15 Februari 2017, 9
http://www.nacsw.org/Convention/PlacidoNAHistoryFINAL.pdf.