Anda di halaman 1dari 6

Nama : Fran Anugrah Siregar

Ryan Sandrian Sinuraya

Tingkat/Jurusan : IVD/Teologi

Mata Kuliah : Oikumenika

Dosen Pengampu : Dr. Jan Jahaman Damanik

GKPA dan Oikumene

I. Pendahuluan
Gereja Kristen Protestan Angkola atau yang sering disingkat dengan nama
GKPA adalah salah satu dari sekian banyak gereja yang ada di dunia ini. Sebagai
bagian dari Tubuh Kristus tentunya gereja selalu dituntut untuk memberikan yang
terbaik bagi anggota jemaat, dalam hal tanggung jawab dan pelayanan gereja itu
sendiri. Suatu hal yang tidak dapat dipungkiri dan wajar apabila GKPA dan
gereja-gereja lainnya dalam kehidupannya pasti akan mengalami pergumulan-
pergumulan ataupun hambatan-hambatan apapun itu bentuknya, baik dari luar
maupun dari gereja itu sendiri. Pada dasarnya GKPA mempunyai tugas yang sama
dengan gereja-gereja lain, yaitu untuk mengemban dan mewujudkan misi Yesus
Kristus dalam pengutusannya.
II. Pembahasan
II.1. Sejarah GKPA
Sesungguhnya latar belakang munculnya gerakan panjaeon dapat kita
simak dari mukadimah tata gereja HKBP-A yang disahkan dan diberlakukan
sejak 26 Oktober 1975 oleh sinode Am HKBP-A pertama di Bungabondar.
Orang-orang Kristen memahamiu bahwa luat Angkola dan Mandailing
menjadi daerah “persemaian Firman Allah” sejak tahun 1833 oleh Verhoeven
di Mandailing, 1856 oleh zending Ermelo di Lumut dan 1857 oleh Van Asselt
di Sipirok adalah kehendak dan rencana Allah yang murni supaya di daerah itu
bangkit saksi-saksi Kristus yang terpanggil untuk setia mengabdikan diri
meneruskan dan melanjutkan serta meluaskan Firman Allah. Dipahami dan
disadari pula, bahwa demi memungkinkan terselenggaranya tugas panggilan
itu berhasil, diperlukan suatu kesatuan struktur dan organisasi dalam HKBP

1
yang manjae. Gerakan panjaeon (mandiri) HKBP-A dari HKBP merupakan
mata rantau perkembangan P.I di tanah Batak. Sejak mulai P.I di Mandailing
oleh Verhoevan (1833) dan kemudian oleh DZV pada 1871. Angkolah Julu
oleh zendeling Ermeloo (1856) dan di Angkola Dolok oleh RMG (1861),
Tapanuli Selatan menjadi ujung tombak dalam penginjilan dan perkembangan
kekristenan di seluruh tanah batak dan yang seterusnya meluas ke Utara
sampai ke Sumatra Utara. Pengarahan potensi segala potensi demi suksesnya
operasi ke Utara mengakibatkan kelangkaan daya dan dana bagi usaha
penginjilan di Tapanuli Selatan. Pelayanan terpaksa dikurangi, malahan
banyak pula yang harus ditiadakan atau terbengkalai total. Sejalan dengan
kemunduran kerohanian, maka banyak jemaat berada dalam kondisi yang
semakin lemah dan akhirnya terpaksa ditutup. Hal semacam itu terjadi baik
didaerah zending RMG maupun daerah zending DZV dan Ermeloo/Komite
Jawa (Angkola Julu), yang “induk” masing-masing mengalami kesulitan
menyiadakan daya dan dana operasi zendingnya.1
HKBP-A yang masih mudah mengalami ”hamaolon” kemelut dan
cobaan kemudian memuncak dengan pemisahan sebagian anggotanya, dan
yang kemudian berhimpun dalam organisasi gereja sendiri dengan nama GPA
(Gereja Protestan Angkola). Banyak faktor intern yang menjadi penyebab dari
penyulut peristiwa tersebut. Ketetapan-ketetapan yang kabur dan yang
memungkinkan penafsiran dan penerapan yang berbeda khusunya yang
menyangkut AD dan PRT yang baru kewenangan dan persamaan
“saparobanin” antara puncuk pimpinan dan majelasi pusat, penata layanan
perbendaharaan yang dianggap kurang trasparan, penaganan yayasan manna
yang dianggap kurang prepesional dan sebagainya. Namun semua perbedaan
dan kesalah pahaman itu, akhirnya dapat terselesaikan dengan baik dalam
sinode Am VIII/1988 yang diselenggarakan dipadang sidimpuan. Demikian
“hamaolon” dan pertikaian yang telah berjalan berlarut-larut selama enam
tahun berkat kerinduan akan persatuan dan kesatuan dapat diakhiri dan
ditanda-tanganilah “pernyataan kesepatakan bersama” antara lain memuat:
1. Terhitung sejak tanggal 1 Juli 1988, HKBP-A dan GPA, bersatu
dalam wadah GKPA

1
J. U. Siregar, Sejarah Perwujudan GKPA dengan Latar Belakang Zending di Daerah Angkola dan
Mandailing, (Jakarta: Tapian Raya, 1999), 178.

2
2. Untuk mencapai tujuan dari wadah gereja yang bersatu itu perlu
diperlengkapi dengan suatu perangkat tata gereja/tata tertip gereja,
dalam bentuk dan susunan anggaran dasar (AD), dan persekutuan
Rumah Tangga (PRT) yang perumusannya dijiwai oleh kasih Iman
dan pengharapan kepada Yesus Kristus/ kepala Gereja dan kasih
terhadap sesama serta menghindari ketentuan/hukum yang berlaku.
Demikian HKBP-A telah menyandang nama baru yaitu GKPA.
Tata gereja serta tata laksana telah pula disahkan dan diberlakukan
oleh sinode Am ke IX 1991 yang diselenggarakan dipadang
sidimpuan.2
II.2. Pengertian Oikumenika
Istilah oikumene tidak terpisahkan dari istilah Gerakan Oikumene
(GO). Hal ini diungkapkan oleh Eka Darmaputera bahwa pemahaman
oikumene hendaknya memang menjadi suatu gerakan dalam hal ini GO, sebab
gerakan berarti menandakan suatu kondisi dinamis dan dalam konteks dunia
yang terus berubah.3 Menurut Chris Hartono, konsep kesatuan gereja di
Indonesia dibicarakan dalam terminologi oikumene. Kata ini berasal dari dua
kata dalam bahasa Yunani, yakni dari kata όικος yang berarti "rumah" dan
μενειν yang berarti "mendiami", “menghuni” atau "tinggal", sehingga secara
etimologi oikumene berarti mendiami rumah atau menghuni rumah sebagai
tempat tinggal bersama.4 Lebih lanjut Chris Hartono menegaskan: “Dengan
demikian maka, gerakan ekumenis berarti gerakan yang bersangkut-paut
dengan ekumene, atau gerakan yang bertujuan untuk mewujudkan dan
menghayati keesaan gereja-gereja. Dengan perkataan lain dapat diungkapkan
bahwa gerakan ekumenis adalah usaha gereja-gereja dalam mewujudkan
keesaannya di dunia ini supaya hakekatnya yang asasi itu, yakni selaku gereja
Kristus yang esa itu, dapat dihayati dan dinampakkan dengan jelas. 5 Menurut
Pilon, oikumene dapat dipahami sebagai gereja-gereja yang bersama-sama
bergumul sampai mencapai keesaan Injili dan yang terlihat melalui sikapnya,
2
J. U. Siregar, Sejarah Perwujudan GKPA dengan Latar Belakang Zending di Daerah Angkola dan
Mandailing, 201-202.
3
Eka Darmaputera, Berbeda Tapi Bersatu: Bacaan Praktis untuk pimpinan dan warga jemaat
mengenai Oikoumene, (Jakarta: BPK GM, 1974), 35
4
Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene: Perkembangan Pemaknaan Oikoumene dalam Tradisi
(Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2009), 1
5
Chris Hartono, Gerakan Ekumenis di Indonesia (Yogyakarta: PPIP UKDW,1984) p.2.

3
kegiatannya dan aktifitasnya mau membuktikan keesaan yang asasi ini di
dalam dunia dan pada konteks masa kini.6 Dari pemahaman GO yang
disampaikan oleh kedua tokoh di atas, nampak bahwa GO adalah upaya yang
dilakukan oleh gereja-gereja dalam mewujudkan kesatuannya, namun tidak
dalam arti sempit hanya berkutat pada persoalan gereja. GO berkembang lebih
luas menjadi wider ecumenism yang turut ambil bagian dalam persoalan dunia
yang menyangkut kemanusiaan dan juga alam semesta.7

II.3. Tujuan Gerakan Oikumenika


Gerakan oikumene pada dasarnya mengidamkan terciptanya satu
Gereja yang universal dalam satu kesatuan (unity) yang terdiri dari berbagai
ras dan bangsa. Tekanannya adalah pada upaya terciptanya suatu Gereja yang
satu iman dan satu tata ibadah maupun organisasinya. Tujuan utamanya adalah
supaya terwujud suatu Gereja yang esa berdasarkan Yohanes 17:21.
Alasannya, oleh karena Tuhan dari Gereja adalah satu (Efesus 4:4-6), maka
Gereja adalah satu. Tetapi hal ini tidak selalu diterima oleh setiap kalangan.
Misalnya, ada yang menyanggah bahwa sebenarnya keesaan Gereja tidak
tergantung kepada pengertian kita yang subjektif atau kemauan kita untuk
"merasa diri satu", bukan juga melalui usaha manusia di lapangan oikumenis,
melainkan keesaan itu pada dasarnya telah diberikan kepada Gereja yaitu
orang-orang yang telah percaya kepada Yesus Kristus.8
II.4. Dampak Gerakan Oikumenis9
Munculnya gerakan oikumenis ini membawa dampak terhadap gereja-gereja yang
ada, antara lain:
1. munculnya badan-badan penginjilan yang sangat mendukung dan memberikan
sumbangan yang “membangun” bagi gereja-gereja. Contohnya adalah gerakan
Faith and Order yang membicarakan ajaran dan organisasi gereja, Life and
Work yang bergiat dibidang social dan politik juga International Missionary
Council (IMC) yang membuat peranan gereja yang semula kecil menjadi
semakin penting.

6
P.K. Pilon, Ut Omnes Unum Sint : Oikumenika, bagian sejarah, (Jakarta: BPK GM, 1973), 13.
7
Chris Hartono, Pemaknaan Oikoumene: Perkembangan Pemaknaan Oikoumene dalam Tradisi
(Yogyakarta: Tidak diterbitkan, 2009), 3.
8
G.C. Van Niftrik dan B.J. Boland, Dogmatika Masa Kini, (Jakarta: BPK GM, 1981), 369-370.
9
W. A. Visser’t Hooft, Gerakan Oikumene dan Masa depannya, (Jakarta BPK-GM, 1985), 27.

4
2. Selama Perang Dunia II 1942-1945 Indonesia seluruhnya diduduki oleh
Tentara Dai Nippon. Gereja-gereja di Indonesia tidak dapat berbuat lain selain
berusaha meneruskan pelayananya dan kesaksiannya selaku gereja-gereja
yang berdiri sendiri.
II.5. GKPA dan Oikumene
GKPA adalah bagian dari gereja yang Esa, kudus, Am serta yang
rasuli. Oleh sebab itu GKPA, tidak dapat terpisahkan keberadaan dan arti
kehadirannya dengan gereja lainnya di dunia ini. Untuk itu GKPA harus
memberi waktu dan pikirannya serta partisipasinya dalam kegiatan oikumenis.
GKPA sebagai gereja terus membangun kerjasama dengan berbagai
denominasi gereja baik dalam aras nasional, regional, dan internasional.
GKPA turut aktif dalam sebuah kegiatan lembaga oikumenis untuk
mendorong persekutuan yang Am di semua umat Kristen. Hubungan kerjasam
dengan berbagai denominasi ini dalam rangka menyatakan kebersamaan
dalam tugas panggilan dan misi gereja di tengah-tengah dunia ini. 10 Dalam tata
gereja dan tata laksana GKPA juga diterangkan bagaimana hubungan antar
gereja di GKPA, yaitu dalam pasal 24 dan pasal 25, diterangkan bahwa GKPA
menjalin, memelihara, dan meningkatkan kerjasama dengan gereja-geraja lain
yang sealiran dan seiman di dalam dan di luar negeri. GKPA berusaha
menjalin, memelihara, dan memantapkan hubungan oikumenis dengan gereja-
gereja dan badan-badan Kristen di dalam dan di luar negeri.11
II.6. Pandangan Pemimpin GKPA Terhadap Oikumenis Serta
Partisipasinya dalam Oikumenis
II.7. Tantangan Oikumenis GKPA
Ada beberapa tantangan yang dihadapi GKPA yaitu :
Pertama, pelayanan yang tidak maju dan tidak mundur. GKPA yang
memiliki sejarah panjang dalam pelayanan membutuhkan terobosan dan ide-
ide kreatif untuk menjalankan semua tugas pelayanannya. Dari data-data yang
ada dan dari aspirasi warga jemaat tampak bahwa dalam beberapa tahun
terakhir ini GKPA menghadapi situasi yang “statis dan jalan di tempat” dan
tidak tampak pertumbuhan yang signifikan. Banyak perubahan eksternal yang

10
Agus H.J. Sibarani, dkk, Visi Misi dan Renstra GKPA Tahun 2016-2041, (Padang Sidimpuan: Medio
April, 2016), 43.
11
....., Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA, (Padang Sidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2013), 18-19.

5
harus direspon dengan positif dan kreatif agar GKPA mampu menjawab
semua tantangan yang ada. Kualitas khotbah para pelayan perlu mendapatkan
peningkatan kualitas agar mampu menjawab persoalan-persoalan konkrit
umat. Kepedulian kepada umat juga membutuhkan peningkatan kuantitas dan
kualitasnya.
Kedua, kualitas pelayan yang kurang. Pelayan dalam hal dipahami
ialah pemangku jabatan struktural gereja seperti pendeta, guru jemaat,
penatua, bibelvrow, dan diakones. Organisasi yang dianut GKPA adalah
episkopal-presbiterial sinodal di mana pemimpin memiliki peranan yang
cukup sentral di semua tingkatan, maka bobot kuantitas dan kualitas
kepemimpinan sangat perlu untuk selalu ditingkatkan.
Ketiga, oritentasi lebih banyak ke dalam. GKPA yang memiliki arah
teologi yang mengembangkan “kesaksian ke luar”yang artinya menerangi dan
menggarami komunitas di luar GKPA, mengalami hal yang sebaliknya. Dari
hasil analisis yang ada menunjukkan bahwa GKPA masih terus sibuk dan
berorientasi ke dalam. Dibutuhkan suatu kesadaran bersama dan terobosan-
terobosan terbaik agar GKPA mampu menjalankan peran garam dan terang
dunia.12

III. Kesimpulan
IV. Daftar Pustaka

12
....., Tata Gereja dan Tata Laksana GKPA, (Padang Sidimpuan: Kantor Pusat GKPA, 2013), 79-80.

Anda mungkin juga menyukai