Anda di halaman 1dari 5

MEMAHAMI ULANG GERAKAN OIKUMENE DALAM KONTEKS

PERGUMULAN MASYARAKAT ASIA


Sebuah Refleksi Teologis tentang Gerakan Oikumene
(Oleh: Arnold A.Abbas)

PENGANTAR

Kurang lebih selama dua minggu, saya bersama-sama dengan teman-teman dari
seluruh pelosok tanah air, yang mewakili gereja-gereja di dalam Persekutuan Gereja-gereja
di Indonesia (PGI), serta juga Gereja di Malasya dan Timor Leste (IPTL), mengikuti kegiatan
Basic Ecumenical Course (BEC), yang diselenggarakan oleh PGI bekerjasama dengan CCA
(Christian Conference of Asia) mulai tanggal, 2-15 Mei 2011 bertempat di GHCC Duta
Wacana Kaliurang Yogyakarta. Ada banyak hal yang kami pelajari bersama selama kurang
lebih dua minggu mengikuti kegiatan tersebut. Tulisan ini adalah salah satu percikan
pengalaman atau refleksi personal setelah mengikuti kegiatan dimaksud.
Sedikit alasan mengapa saya memilih judul di atas. Pertama, karena materi yang
kami terima tidak hanya berbicara tentang pergumulan oikumene di Indonesia, tetapi juga di
Asia, bahkan juga gerakan oikumene di tingkat Internasional. Namun saya memilih Asia,
karena gerakan oikumene di Asia, memiliki ciri khas tersendiri di bandingkan dengan
gerakan oikumene di Eropa dan Amerika atau di tempat yang lain. Kedua, Gerakan oikumene
di Asia tidak bisa dilepaskan dari gerakan pembebasan rakyat Asia dari penderitaan,
penindasan, dominasi politik, ekonomi dan kultural dari bangsa-bangsa Eropa pada masa
yang lalu, bahkan dalam batas-batas tertentu dominasi tersebut masih berjalan sampai saat
ini. Sejarah panjang penderitaan masyarakat Asia akibat kolonialisme tsb, membuat Gereja-
gereja di Asia seharusnya semakin sadar akan eksistensi dan missi-nya, yaitu harus menjadi
Gereja dari Asia, dan bukan sekedar menjadi gereja di Asia. Hal yang sama pula dialami
oleh Gerakan Oikumene di Indonesia, tidak bisa dilepaskan dari gerakan kebangsaan
(pemerdekaan) untuk keluar dari dominasi penjajah pada waktu itu. Karena itu, para pendiri
PGI pada masa yang lalu, di samping terlibat aktif dalam gerakan oikumene (di tingkat
nasional dan Internasional), tetapi juga turut aktif dalam gerakan perjuangan kebangsaan,
kemerdekaan, bersama-sama dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah air, dari berbagai
latar belakang agama, suku (etnis), golongan, adat budaya, yang menghuni wilayah
Nusantara ini.
I. Pengertian Oikumene
Berbicara tentang pengertian Oikumene, ternyata memiliki arti yang sangat luas.
Oikiumene selama ini sering kita pahami sebagai sebuah gerakan dari umat Kristiani
untuk mempersatukan gereja-gereja yang terpisah-pisah karena perbedaan ajaran
(doktrin,dogma), tradisi liturgis dan organisasi gereja, atau gerakan unifikasi di antara
gereja-gereja. Hal itu memang tidak salah, tetapi pemahaman oikumene, apabila kita
melihat dari pengertian istilahnya, ternyata lebih dari sekedar upaya penyatuan gereja-
gereja tersebut. Dr. Hope S. Antone, seorang teolog Asia yang terkenal, yang saat ini
bekerja di CCA (Christian Conference of Asia), menjelaskan bahwa istilah oikumene
berasal dari kata Yunani “oikos”, yang artinya rumah atau dunia; dan kata “manein” ,
yang berarti to live in, tinggal di dalam. Jadi Oikumene berarti: Rumah atau Dunia yang
didiami bersama. Siapa yang mendiami dunia ini, tentu tidak hanya orang Kristen, tetapi
1
juga orang-orang dari bermacam agama, suku, bangsa, bahkan seluruh ciptaan lainnya,
seperti: tumbuhan-tumbuhan, binatang dan benda-benda yang ada di sekitar kita, sungai,
gunung, laut, dsb. Karena itu Gerakan Oikumene memiliki makna yang luas, yaitu
menunjuk kepada “sebuah gerakan untuk menjadikan dunia kita ini menjadi tempat hunian
bersama”, meminjam istilah Dr. Hope, yaitu menjadi sebuah “Keluarga Allah”
(Household of God), baik antar sesama manusia, maupun di antara sesama makhluk hidup
yang lain, termasuk alam di sekitar kita. Manusia tidak lagi beranggapan bahwa hanya dia
yang berhak hidup di dunia ini. Eksistensi dan keberlangsungan hidupnya sangat terkait
dengan kehidupan makhluk yang lain, bahkan dengan alam lingkungan dimana ia tinggal.
Karena itu, ia harus berbagi kehidupan dengan “yang lain”.
Dalam konteks pemahaman “keluarga Allah” (Household of God) itu, maka sesama
kita atau alam di sekitar kita, tidak lagi dilihat sebagai “musuh”, atau ancaman bagi diri
kita sendiri, tetapi dilihat sebagai sesama keluarga Allah yang harus dijaga,lindungi dan
dipelihara. Artinya kitapun harus belajar bagaimana menghargai, mencintai manusia dan
alam lingkungan dimana kita hidup, dengan tidak menindas atau merusak alam yang ada
di sekitar kita. Hal yang sama dikatakan oleh Josef Purnama Widyatmaja, seorang pendeta
yang bekerja di tengah masyarakat “akar rumput” di Solo, Jawa Tengah. Beliau
menjelaskan bahwa kita tidak lagi berbicara tentang pengertian “oikumene” dalam konteks
Pax-Romana (wilayah dibawa kekuasaan Romawi), seperti yang dikatakan dalam kitab
Wahyu 3:10; 12:9; 16:14, tetapi berbicara tentang “bumi” (Yunani: “Ge”), dimana seperti
dalam doa Bapa Kami yang diajarkan oleh Tuhan Yesus kepada murid-murid-Nya:
“Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di Sorga” (Matius 6: 10).
Dalam Perjanjian Baru, khususnya di dalam Kitab-kitab Injil, berbicara tentang
kedatangan Kerajaan Allah di Bumi, dimana Kerajaan Allah diberitakan maka di sana ada
keadilan, kebenaran dan perdamaian. Jadi gerakan oikumene adalah gerakan bersama dari
Gereja-gereja dengan sikap terbuka melibatkan agama-agama dan kepercayaan lain, serta
semua elemen masyarakat, dengan tujuan menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah” di
Bumi. Dengan pengertian ini, maka menjadi jelas kepada kita bahwa Gereja-gereja harus
belajar terbuka dengan orang-orang dari berbagai agama dan kepercayaan yang lain
(Islam, Hindhu, Budha, Konghucu, Agama Suku,dsb), untuk mewujudkan kehidupan
bersama yang lebih baik di bumi ciptaan Tuhan ini.
II. Realitas Asia
Asia, adalah sebuah wilayah yang sangat luas dan majemuk dari segi agama, etnik,
bangsa, bahasa, memiliki warisan budaya, tradisi adat istiadat yang kuat. Di sini orang
Kristen hanya minoritas, bila di bandingkan dengan agama-agama lain, seperti Hindhu,
Budha dan Islam. Menghadapi realitas Asia yang “multi wajah”, meminjam istilah
Aloysius Pieris, seorang teolog terkenal asal Srilangka, orang Kristen sering bersikap
tertutup dengan agama-agama yang lain, akibatnya Gereja ter-asing dari masyarakat Asia.
Kenyataan ini ditambah lagi, jika melihat pada masa lalu, kehadiran Gereja di Asia tidak
bisa dilepaskan dari kehadiran kaum Kolonial (kaum penjajah) yang nota bene berasal dari
negeri Eropa-Amerika, sama dengan asal agama Kristen itu sendiri. Pada masa itu, banyak
catatan sejarah mengatakan, bahwa Gereja sangat dekat dengan kaum Kolonial, bahkan
sering diperalat untuk mendukung kepentingan mereka, seperti memberi
legitimasi/membenarkan Kolonialisme di Asia. Karena itu, tidak heran Gereja sering

2
dianggap sebagai “agama kaum penjajah”. Karena memang secara historis para Misionaris
berasal dari Eropa dan Amerika. Stigmatisasi sebagai “agama penjajah” yang dikenakan
kepada agama Kristen ini, sering juga dijadikan alat untuk menyudutkan, bahkan
menghilangkan peran kehadiran umat Kristen di dalam perjuangan masyarakat Asia.
Syukur dewasa ini mulai ada kesadaran bahwa Kolonialisme tersebut, tidak identik
dengan gerakan Misionaris di wilayah Asia.
Kesadaran historis terhadap kehadiran agama Kristen di Asia, pada satu pihak, dan
realitas Asia yang multi wajah (plural), pada pihak yang lain, menjadi tantangan
tersendiri bagi Gereja-gereja di Asia, bagaimana Gereja di Asia melepaskan dirinya dari
cap sebagai “agama penjajah” atau “agama orang kulit putih” di Asia? Jawabannya adalah
orang Kristen di Asia harus berani mengubah cara pandang terhadap dirinya dan sekaligus
terhadap realitas kemiskinan dan pluralisme agama yang ada di sekitarnya. Dengan kata
lain, orang Kristen harus membaharui cara bergereja selama ini, mengubah pandangan-
pandangan teologi-nya yang diwarisi dari Eropa. Teologi, Ekklesiologi dan Misiologi
yang diwarisi dari “saudara tua” (Gereja) di Eropa harus ditinjau ulang. Teologi tersebut
tidak cocok dengan konteks Asia yang diwarnai oleh pluralitas agama, budaya serta
adanya kenyataan kemiskinan yang parah. Sering akibat warisan teologi Eropa tersebut,
Gereja menutup diri dan menganggap diri paling benar (sikap eksklusif), serta tidak mau
membuka diri terhadap agama-agama lain, bahkan tidak peduli dengan masalah
ketidakadilan, kemiskinan di Asia. Injil di Asia seperti yang dikatakan oleh Dr. Hope,
menjadi seperti “tanaman pot”, yang dipindahkan begitu saja dari lahan budaya Eropa ke
lahan budaya Asia yang sangat heterogen. Seyogian-nya Injil dibawa ke Asia dengan
menanggalkan “pot”nya, sehingga dapat ditanam di lahan budaya Asia yang plural,
dengan demikian ia akan tumbuh subur dan mengakar di lahan budaya Asia yang baru itu.
III. Oikumene Dalam Proses Pergumulan
Dalam banyak diskusi dengan teman-teman peserta BEC, saya mendapat kesan bahwa
gerakan oikumene saat ini dilihat sedang berada dalam pergumulan. Bahkan ada yang
mengatakan, gerakan oikumene dewasa ini sedang mengalami “stroke”, karena realitas
kehidupan bergereja di Indonesia, masih jauh dari harapan. Doa Tuhan Yesus di dalam
Yohanes 17:21, “agar mereka menjadi satu”, supaya dunia percaya, nampaknya belum
menjadi nyata di antara gereja-gereja. Gereja-gereja masih berpikir di dalam “kepompong”
warisan teologinya sendiri, demikian istilah Robert Setio, seorang teolog yang mengajar di
Universitas Kristen Duta Wacana (UKDW). Gereja kita masih berorientasi pada diri
sendiri atau hanya terputar-putar dengan dirinya sendiri, dan melupakan pergumulan serius
yang dihadapi oleh masyarakat di sekitar-nya. Bahkan lebih parah lagi, acapkali masih
terjadi perpecahan, “perebutan domba” di antara sesama anggota PGI. Namun di tengah
realitas yang kurang menggembirakan itu, masih ada pula orang-orang yang optimis
melihat gerakan oikumene saat ini. Orang-orang ini mempunyai visi untuk selalu
mengingatkan cita-cita di dalam doa Tuhan Yesus, sebagaimana dicatat dalam Injil
Yohanes 17:21 itu. Saya pribadi melihat bahwa pelaksanaan BEC, joint program PGI dan
CCA ini, adalah kegiatan penting dari sikap optimisme tadi, yaitu membangkitkan
kembali kesadaran beroikumene di tingkat nasional, Asia dan global yang sedang
mengalami krisis saat ini. Tentu saja para peserta yang telah menerima pelatihan itu harus
menjadi “agen” untuk menyebarkan dan menumbuh kembangkan gerakan oikumene pada

3
tingkat local, nasional dan global, saat ini dan masa mendatang. Dalam sikap optimisme
itu, diharapkan Gereja-gereja selalu menyadari bahwa Gereja ditempatkan oleh Tuhan
Yesus Kristus di tengah-tengah dunia ini untuk memberitakan Injil yang berisi Kabar Baik
(Good News) tentang pertobatan dan pembebasan yang dikerjakan oleh Allah di dalam Yesus
Kristus. Asia, termasuk Indonesia, adalah lokus (tempat) di mana Allah menggelar karya-Nya
untuk menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah”. Karena itu, Persekutuan Gereja-gereja di
Indonesia (PGI) dalam rumusannya tentang Lima Dokumen Keesaan Gereja (sekarang
diperpendek menjadi DKG (Dokumen Keesaan Gereja), secara sadar menempatkan Pokok-pokok
Tugas Panggilan Bersama (PTPB) sebagai dokumen pertama dari Lima Dokumen Keesaan Gereja-
gereja di Indonesia. Dalam rumusan DKG tersebut, Gereja-gereja di Indonesia memahami bahwa
orang Kristen (Gereja) ditempatkan oleh TUHAN di tengah kehidupan masyarakat, bangsa dan
Negara Indonesia untuk menjadi berkat bagi bangsa ini, bagi semua orang, termasuk mereka yang
beragama lain. Realitas Indonesia, baik sejarah maupun kenyataan kemajemukan-nya, dipandang
sebagai bagian dari anugerah Tuhan kepada bangsa Indonesia untuk digunakan sebagai kekuatan
(modal social) untuk membangun Indonesia yang sejahtera, adil dan makmur.
IV. Oikumene in Action
Perjumpaan dengan penderitaan anak-anak cacat di Pusat Rehabilitasi Anak Cacat Yakum,
Panti Asuhan Sayap Ibu, masyarakat yang menjadi korban Gunung Merapi, dan jemaat GKI
Ganjuran, serta Gereja Kemah Daud, melalui kunjungan ke beberapa lokasi di Yogya tersebut,
menggugah hati saya. Pengalaman itu, membuat saya semakin sadar bahwa gerakan oikumene
seharusnya terjadi di dalam praxis dengan realitas masyarakat di sekitarnya, keterbukaan dengan
budaya dan orang-orang beragama lain di sekitar kita. Oleh karena itu saya berkesimpulan dalam
refleksi ini, oikumene harus dikembalikan kepada spirit awalnya yaitu: Pertama, gerakan
oikumene memang adalah sebuah gerakan dari orang Kristen (Gereja-gereja) untuk semakin
menyatu (mengesa) sebagai “Tubuh Kristus”, sebagaimana doa Tuhan Yesus dalam Yohanes
17:21 “Supaya mereka semua menjadi satu”. Tetapi gerakan itu kemudian meluas dengan
melibatkan semua elemen masyarakat yaitu saudara-saudara kita yang berasal dari berbagai latar
belakang agama, suku (etnis), budaya yang lain, untuk berada dalam sebuah gerakan bersama
menghadirkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaaan (Justice, Peace and Integrity of
Creation), atau dalam bahasa umat Kristiani yaitu menghadirkan “tanda-tanda Kerajaan Allah” di
bumi ini.
Kedua, gerakan oikumene tidak boleh hanya berhenti pada pertemuan-pertemuan para
pimpinan gereja di tingkat nasional dan internasional, walaupun itu juga penting. Namun harus
disertai dengan aksi (action) untuk memperjuangkan keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan
di dunia ini. Dunia kita dewasa ini sedang menghapi masalah-masalah global seperti, masalah
kemiskinan, pemanasan global, jurang yang semakin menganga antara negara kaya dan miskin,
masalah pelanggaran HAM, penyebaran HIV/AIDS, dan ancaman Terorisme, yang semakin
mengkuatirkan kita semua. Masalah tersebut mengancam kehidupan seluruh umat manusia yang
tinggal di “desa global” ini. Persoalan-persoalan tersebut tentu tidak bisa dihadapi secara sendiri
oleh satu agama, atau satu bangsa saja. Karena itu, dibutuhkan kerjasama dari semua pihak,
termasuk semua umat beragama. Hanya dengan kerjasama dari semua pihak, maka visi tentang
keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan dapat diwujudkan di bumi kita ini. Dalam konteks
itulah, maka gerakan oikumene (ecumenical movement) menemukan relevansinya yang significant,
baik di dalam kehidupan internal gereja-gereja itu sendiri, maupun di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara di tingkat nasional, regional (Asia) dan Internasional (global).
***************
Penulis Pendeta Gereja Masehi Injili Talaud (GERMITA), tinggal di Talaud, Sulawesi Utara

4
5

Anda mungkin juga menyukai