Anda di halaman 1dari 31

sumber: www.oaseonline.

org

SUMBER-SUMBER IDENTITAS GEREJA: BAHAN BAKU BAGI EKLESIOLOGI YANG KONTEKSTUAL

oleh John Campbell-Nelson

Dalam karangan ini, saya akan menerapkan perspektif teologi operatif pada pemahaman kita mengenai Gereja. Dalam bab pengantar yang ditulis oleh Adi Pidekso, telah dijelaskan bahwa pengalaman hidup kita masing- masing turut membentuk dan menyaring pandangan teologis kita. Hanya sebagian dari pandangan teologis kita yang dibentuk dalam pengaruh eksplisit pembimbing rohani (pendeta atau guru agama), literatur teologis, atau dalam pengaruh yang lebih implisit dari komunitas Kristen dimana kita masing-masing berada. Selain itu juga ditunjukkan bahwa adat istiadat, kehidupan keluarga, krisis pribadi, dan tanggungjawab profesi kita masing-masing merupakan hal-hal yang turut menentukan dalam proses penyaringan aspekaspek tradisi atau pandangan-pandangan Kristen yang akan bermakna atau berperan di dalam kehidupan kita masing-masing. Teolog-teolog Kristen, mulai dari Agustinus sampai dengan Kierkegaard, sudah lama memahami hal ini. Beberapa diantaranya telah menjelaskan hal ini berdasarkan pergumulan-pergumulan spiritual mereka sendiri. Demikian pula, literatur kerohanian Kristen dan otobiografi spiritual yang klasik, sebagaimana halnya pengalaman kontemporer konselor pastoral dan para pendeta masa kini, membuktikan pemahaman ini.

Berdasarkan pemikiran-pemikiran psikologi dan psikoterapi, para teolog pastoral selama tahun 60-an dan 70-an telah mengembangkan banyak metode guna "menggali" pengalaman setiap orang Kristen yang sedang bergumul untuk memahami dan mengungkapkan iman mereka di dalam kehidupannya sehari-hari. Namun, berhubung karya teolog-teolog ini lebih dipandang sebagai suatu pedoman praktis dalam pelayanan pastoral, karya ini jarang digunakan sebagai sumber sahih bagi wawasan teologis. Maka, salah satu tujuan dari buku yang kami susun ini adalah agar kita lebih serius memperhatikan pengalaman pribadi kita sebagai unsur penting di dalam refleksi teologis, dan juga kami ingin mengusulkan beberapa metode untuk melaksanakan hal ini.

Pengalaman pribadi memang patut menjadi unsur penting dalam refleksi teologis kita, namun

jangan dilupakan bahwa pengalaman pribadi juga merupakan pengalaman dalam komunitas, dalam jemaat masing-masing. Secara teologis dapat dikatakan bahwa hubungan kita kepada Allah mengandaikan hubungan kita pada sesama yang lain. "Tuhan bagi saya" (Deus pro me) disempurnakan oleh "Tuhan bagi kita" (Deus pro nobis). Dan, menurut pemahaman sosiologis, tak ada seorangpun yang dapat menjadi orang Kristen bila ia hidup di dalam isolasi; seseorang menjadi orang Kristen senantiasa melalui pengaruh orang-orang lain dan (biasanya) melalui hubungan yang terus menerus dengan komunitas-orang- percaya dimana ia berada. Komunitas merupakan unsur hakiki dari Kekristenan sehingga sejak jaman Rasul Paulus komunitas ini disebut sebagai "Tubuh Kristus". Jadi, setiap usaha refleksi teologis Kristen yang mengabaikan Gereja dalam refleksinya tentunya merupakan refleksi yang sungguh-sungguh distorsi.

Dengan memperhatikan faktor-faktor yang sudah disebutkan di atas, para penulis buku ini berusaha untuk merefleksikan implikasi-implikasi teologi operatif bagi pemahaman mengenai Gereja, atau sebaliknya, untuk menempatkan teologi operatif di dalam konteks eklesial atau gerejawi-nya. Dalam rangka ini, saya akan terlebih dahulu mendefinisikan "Eklesiologi" dan bentuk khusus yang dimilikinya bilamana eklesiologi dipandang dari perspektif teologi operatif. Setelah itu saya ingin menunjukkan bahwa perspektif ini menekankan pentingnya identitas eklesial Kristen. Dan selanjutnya saya akan membahas sumber-sumber identitas ini dengan bantuan sebuah contoh: Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Akhirnya, kita akan menarik beberapa kesimpulan umum mengenai kegunaan pendekatan ini bagi pembentukan eklesiologieklesiologi yang kontekstual/lokal.

EKLESIOLOGI SEBAGAI PERMASALAHAN IDENTITAS

Eklesiologi ialah refleksi teologis mengenai hakekat Gereja (bhs. Yunani, Ekklesia = kumpulan, misalnya: gereja). Sebagai suatu "refleksi" Eklesiologi dapat diartikan dengan dua cara: pertama, proses refleksinya; kedua, hasil-hasil refleksinya. Namun pada umumnya, bila orang mengatakan "eklesiologi" arti yang kedualah yang dimaksudkannya, yaitu: sekumpulan norma umum yang merupakan hasil pemikiran kita mengenai hakekat Gereja yang dikehendaki Allah. Hasil ini kita dasarkan atas pemahaman kita yang kita dapatkan dari Kitab Suci dan dari tradisi teologis atau tradisi gereja yang didalamnya kita berada. Orang-orang Kristen pada umumnya dapat menyebutkan garis-garis besar dari eklesiologi yang dipahami dari arti yang kedua ini.

Misalnya, bahwa Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya, Gereja adalah Tubuh Kristus yang Kepalanya adalah Kristus. Gereja melaksanakan misi kesaksian (marturia), pelayanan (diakonia) dan persekutuan (koinonia), dan melaksanakan kehidupannya dalam kesinambungannya dengan komunitas-komunitas yang telah dibentuk oleh Kristus dan Para Rasul: gereja yang "am". (Mengenai bentuk organisasi gereja yang bagaimana yang paling sesuai dengan norma ini, apakah yang episkopal, papal, presbiterial, ataukah yang kongregasional, tentunya, masih dapat diperdebatkan panjang-lebar).

Namun, eklesiologi sebaiknya tidak dibatasi pada sekumpulan keyakinan umum yang ditetapkan sebagai norma yang harus berlaku bagi semua gereja dimanapun ia berada. Karena norma-norma umum pada dirinya tidak akan membantu kita untuk memahami realitas gereja dalam kemajemukannya yang sangat kaya. Sebagaimana dikatakan dalam sebuah buku dari bidang teologi praktika, "Pembentukan aktual yang terjadi pada tiap-tiap komunitas Kristen tidaklah dapat digeneralisasikan. Dengan kata lain, setiap gereja itu unik. Konsekuensinya ialah bahwa generalisasi-generalisasi eklesiologis yang sudah ada tidaklah dapat diterapkan sepenuhnya pada setiap gereja." i[1] Bila eklesiologi tak mempunyai kaitan dengan realitas konkrit dari suatu gereja di suatu masa dan tempat tertentu, eklesiologi bagaikan layang-layang yang putus. Karena tujuan eklesiologi adalah untuk menolong gereja agar keberadaannya sesuai dengan panggilan Allah, dan panggilan ini selalu diberikan di dalam konteks waktu dan tempat tertentu, entah di pantai Galilea ataupun di jalan-jalan kota Jakarta. Oleh karena itu, agar eklesiologi dapat memenuhi tugasnya eklesiologi harus mempertahankan norma-norma dan realitas-realitas di dalam hubungan yang kreatif; dan eklesiologi harus mampu bergerak dengan lincah di antara Tradisi Gereja yang universal dan tradisi-tradisi lokal dari tiap-tiap jemaat. Ajaran-ajaran gereja yang umum harus mendarah- daging di dalam identitas keberadaan komunitas- komunitas Kristen. Maka, khususnya dalam kerangka pemikiran inilah kita menggunakan perspektif teologi operatif untuk memeriksa proses pembentukan identitas eklesial yang terbentuk di masa dan tempat tertentu. Konsep "Identitas" sangat berguna bagi tugas ini karena konsep ini memungkinkan kita untuk memperhatikan semua faktor yang membentuk ciri khas gereja tertentu, dan bukan hanya memperhatikan faktor pengajaran resmi atau

formal yang telah membentuknya sebagai lembaga religius. Oleh karena itu, uraian berikut ini merupakan usaha yang dapat disebut sebagai usaha eklesiologi eksistensial (Karl Rahner).

KONTEKS DAN TRADISI: KONFLIK IDENTITAS

Mengawali pembicaraan mengenai identitas, kita harus segera menyadari bahwa banyak gereja di Indonesia mengalami krisis identitas yang kronis. Sekalipun mereka sadar bahwa mereka adalah produk dari kolonialisme masa lalu yang kini ditolak, mereka ternyata tetap setia pada tradisi-tradisi yang berasal dari gereja-gereja "induk"-nya. Salah satu cara umum dalam menyelesaikan suatu persoalan mengenai kebijakan gereja ialah dengan bertanya, "Apa yang biasanya dilakukan di dalam tradisi Reformasi?" Namun, berhubung penafsir-penafsir yang berwenang dari tradisi Reformasi sulit dijumpai dalam jemaat setempat, pertanyaan itupun tergantung di awang-awang. Permasalahan menjadi semakin rumit dengan adanya fakta bahwa sebagian besar dari tradisi itu masih tetap hidup, dan sungguh-sungguh memberi bentuk dasar pada kehidupan gereja-gereja di Indonesia. Kebijakan-kebijakan, tata gereja, tata tertib atau disiplin gereja, liturgi, dan pola-pola dasar pelayanannya masih agak sama seperti pada waktu ditinggalkan Belanda dahulu. Bahkan unsur-unsur sampingan seperti: jubah pendeta, pakaian pengantin, kue pengantin, piano dan organ (berkat barang elektronik bikinan Jepang) masih "setia" pada tradisi itu. Namun demikian, makna dari budaya warisan ini se ringkali kabur bagi orang-orang Kristen Indonesia modern. Dalam derajat tertentu hal ini juga terjadi di gerejagereja Barat: orang-orang yang beribadah di gereja pada umumnya tidak memahami mengapa hal-hal tertentu dilakukan: "Itu dilakukan karena memang bia sanya begitu, titik".

Namun demikian bukannya berarti bahwa gereja di Indonesia tetap menjadi "tumbuhan di dalam pot". Dan, sekalipun gereja ini dulunya "tumbuhan yang ditanam di pot", tapi apabila ia ditempatkan di taman, ia akan bertumbuh dan akar-akarnya akan menghancurkan potnya guna meraih tanah di taman yang subur itu. Dan sesungguhnya, akar-akar ini telah ditanam di tanah Indonesia yang subur. Generasi kedua dan ketiga orang- orang Kristen sudah memiliki tradisitradisi lokal mereka sendiri sama halnya dengan generasi ketiga puluh orang-orang Kristen di Eropa dan Amerika. Namun demikian, belumlah pasti apakah pem-pribumi-an atau indigenisasi spontan yang terjadi ini benar-benar lebih dipahami dan diafirmasi secara sadar dibandingkan

dengan penerimaan tradisi Eropa yang kurang disadari pada masa lampau.

Mengapa ada keragu-raguan mengenai hal itu? Sebab, dalam beberapa hal, ada rasa kurang percaya-diri atau "minder" secara teologis. Dan yang lebih penting daripada ini, indigenisasi itu kurang dilakukan secara sadar sehubungan dengan kecenderungan yang ada dalam tradisi Reformasi itu sendiri, yaitu kecenderungan untuk memandang gereja dalam istilah-istilah yang dipandang "esensial" atau kecenderungan untuk mendefinsikan gereja dengan sekumpulan norma-norma yang dianggap sebagai "ciri-ciri hakiki" gereja dan norma- norma ini dianggap "baku" tak dapat ditawar-tawar lagi. (Kurang disadari bahwa norma-norma ini adalah produk dari suatu tradisi tertentu). Sejauh orientasi normatif ini masih dominan di dalam eklesiologi Reformasi, sejauh ini pula dapat dikatakan bahwa gereja-gereja Reformasi akan terus mewarisi konflik-konflik formatifnya. Padahal, di masa lalu, para tokoh Reformasi sendiri harus melaksanakan tugas mendefinisikan kembali gereja tidak atas dasar tradisi yang sedang berlaku, tapi justru terhadap (melawan!) tradisi itu. Mereka berpegang pada standar gereja Perjanjian Baru berdasarkan prinsip "Sola Scriptura" ("Hanya dengan Kitab Suci"), sebuah prinsip yang diadopsi sebagai senjata untuk melawan "tradisi" (baca: norma-norma Gereja Katolik Roma yang dianggap "baku" pada waktu itu).

Sekalipun pendekatan itu mendatangkan banyak keuntungan, pendekatan itu mau tak mau harus berhadapan dengan fakta bahwa pada waktu kanon PB (/Perjanjian Baru) sudah ditutup kesatuan pemahaman dogmatis tentang Gereja belum ada. Tentu saja, di sana-sini ada bahanbahan tentang eklesiologi, namun para tokoh Reformasi harus mengonstruksi bahan-bahan ini terlebih dahulu. Tugas mereka merupakan tugas normatif karena sama sekali tak ada pilihan lain untuk menjelaskan suatu realitas yang belum muncul sepenuhnya. Dengan demikian, mereka cenderung membuat standar atau "ciri-ciri" mengenai gereja yang bukan hanya berguna untuk menilai praktek pelayanan gereja, tapi juga menjadi sumber bagi praktek pelayanan tersebut.

Berdasarkan standar yang telah dirumuskan itulah Johanes Calvin mulai membentuk kehidupan orang-orang Jenewa agar mereka menjadi ---menurut ungkapan John Knox--- "pengikut Kristus yang paling sempurna di dunia ini sejak zaman para rasul". (Tentu saja, tidak semua orang di Jenewa sama antusiasnya seperti John Knox). "Sukses" Calvin di Jenewa diraih dengan bayaran kerusuhan sosial yang besar, termasuk penghukuman orang-orang berdasarkan hasrat dogmatis sebagaimana yang dilakukan oleh Ayatollah Khomeini di masa kini. Mungkin, jika orang-orang Kristen Indonesia masa kini menyesali "pengabaian" budaya lokal yang dilakukan gereja pada masa kolonial dulu, mereka juga akan menaruh simpati pada penduduk Jenewa pada masa Calvin itu.

Melalui pengalaman yang sangat pahit Calvin dan orang Jenewa 'belajar' bahwa realitas sosial yang kompleks seperti gereja tidak dapat diciptakan hanya dengan "surat-surat keputusan". Gereja dalam setiap aspeknya adalah hasil dari interaksi budaya, faktor-faktor ekonomik, kondisi-kondisi sosial, dan tanggapan dari individu dan keluarga-keluarga yang tak terbilang jumlahnya. Gereja sebagai cara hidup yang khas di dalam komunitas sosial bukanlah dibuat atau diciptakan, tapi "bertumbuh". Bila faktor-faktor kompleks yang telah memupuk pertumbuhan gereja itu kita abaikan maka kita akan kehilangan inti dari eklesiologi, yaitu, sebagaimana yang telah saya sebutkan, "untuk menolong gereja dalam rangka menjadi gereja yang dikehendaki Allah di tempat dan di masa tertentu".

Di Indonesia, pemahaman ini diberi nama populer: "Kontekstualisasi". Dalam penerapannya pada permasalahan eklesiologi, ide kontekstualisasi menunjukkan adanya perubahan besar dalam perspektif terhadap gereja. Ide ini menekankan bahwa konteks lokal dari gereja (tertentu) harus ditempatkan bersisian dengan tradisi yang sedang diperbaharui (termasuk tradisi Reformasi) sebagai faktor yang sama derajatnya dalam menentukan ciri-ciri gereja. Konsep kontekstualisasi eklesiologi ini tidak menolak otoritas tradisi Kristen-yang-alkitabiah bagi iman dan praktek gereja; konsep ini berusaha menempatkan kehidupan dan pengalaman gereja Indonesia masa kini di dalam dialog dengan tradisi otoritas ini, dan dalam dialog inilah terdapat sumber prinsipal bagi pemahaman eklesial/teologis.

Bagian pengantar uraian ini akan saya akhiri di sini. Namun masih ada dua faktor yang masih perlu dibicarakan: soal prinsip dan soal metode. Faktor pertama berkaitan dengan ketakutan kita bahwa otoritas Kitab Suci akan diabaikan atau ditolak. Faktor kedua berkaitan dengan fakta bahwa alat-alat analisis kontekstual sampai saat ini belum menjadi bagian penting di dalam pendidikan teolog-teolog Indonesia. Soal yang kedua ini merupakan bahasan utama di dalam tulisan ini. Namun, marilah sejenak kita membahas soal yang pertama: Apakah ada jaminan alkitabiah bagi "eklesiologi kontekstual"?

AKAR-AKAR ALKITABIAH DARI EKLESIOLOGI KONTEKSTUAL

Saya telah mengatakan bahwa pengalaman orang-orang percaya masa kini mempunyai tempat yang sah dalam pembentukan eklesiologi. Tentu saja, perkataan ini perlu didukung dengan

alasan yang kuat. Berhubung Kitab Suci merupakan standar bagi iman dan praktek pelayanan orang-orang Protestan; apakah kita tidak meninggalkan prinsip alkitabiah jika sekarang kita mengikutsertakan kategori pengalaman yang agak kabur itu sebagai sumber wawasan teologis kita? Atas dasar alkitabiah, saya mau menjawab: Tidak!

Sudah saya katakan di atas bahwa tokoh-tokoh Reformasi tidak berhasil menemukan doktrin tunggal (yang siap- pakai) tentang Gereja di dalam PB. Sebaliknya, PB mengungkapkan periode peragian dan pertumbuhan gereja yang subur semasa orang-orang Kristen berjuang dalam menemukan cara-cara hidup bersama guna melaksanakan misi yang telah dipercayakan Kristus pada mereka. Muncullah suatu jenis komunitas baru, yaitu komunitas yang baru dapat 'dinamakan' hanya dalam bentuk cerita dan metafor: "Tubuh Kristus", "Imamat Rajani", "Keluarga Allah". "Dengan cara bagaimanakah kami akan mengungkapkan visi kehidupan baru di dalam Kristus ini melalui ibadah, ritual dan simbol? Dengan cara bagaimanakah kami akan menafsirkan Kitab Suci kami (pada waktu itu yang ada barulah: PL) dalam terang cahaya realitas baru ini? Yang manakah di antara kisah- kisah dan tradisi-tradisi lisan yang beredar di antara kami yang merupakan kesaksian otentik mengenai kata- kata dan perbuatan Yesus Kristus? Siapakah yang termasuk dalam komunitas kami ini, dan bagaimanakah kami akan mengorganisasikan komunitas ini?" --- demikianlah pergumulan-pergumulan mereka pada waktu itu.

Gereja-gereja awal ternyata memberi berbagai jawab atas pergumulan-pergumulan tersebut.ii[2] Mereka berpedoman pada tradisi religius Yesus sendiri, mereka mencari sedapat mungkin contoh-contoh yang diberikan Yesus sendiri, mereka mendengarkan saran-saran para rasul; mereka memanfaatkan budaya-budaya mereka masing-masing, yaitu budaya-budaya yang didalamnya mereka hidup: budaya Yahudi, budaya Yunani, dan budaya lainnya; mereka mendengarkan para guru dan para nabi, mendengarkan kesaksian saudara-saudara seimannya, mereka berdebat dan bahkan seringkali bertengkar. Melalui proses inilah gereja lahir. Melalui proses inilah mereka percaya bahwa entah bagaimana Roh Kristus yang kudus ternyata membimbing mereka. Jadi, bila kita menegaskan bahwa pengalaman, perjuangan, sejarah dan kebudayaan orangorang Kristen di Indonesia harus diperhitungkan secara serius sebagai sumber wawasan teologis, kita sama sekali tidak melepaskan diri dari tradisi gereja awal itu. Hal yang kita laksanakan ini adalah persis sama seperti yang dilaksanakan gereja awal pada masa dan tempat mereka sendiri; kita berjuang dengan pergumulan yang serupa dalam rangka memberi wadah komunal bagi kehidupan baru di dalam Kristus. Kita telah menyadari bahwa bentuk- bentuk kehidupan gereja yang berasal dari luar itu adalah bentuk-bentuk yang telah diperoleh melalui krisis dan perjuangan gereja-gereja dari masa dan tempat yang lain, maka bila kita kita mengadopsi begitu saja bentuk-bentuk kehidupan gereja tersebut kita sebenarnya bukannya setia, tapi malas!

Selain itu, masih ada argumentasi lain untuk menjawab keberatan-keberatan terhadap konsep eklesiologi yang "operatif" atau "kontekstual". Yaitu, pada saat kita mengatakan bahwa pengalaman jemaat Kristen masa kini adalah sumber bagi wawasan teologis, kita tidak mengatakan bahwa pengalaman jemaat ini adalah satu- satu-nya sumber ataupun mengatakan bahwa pengalaman ini pada dirinya bersifat otoritatif. Perihal hubungan kompleks antara pengalaman manusia, penyataan Allah, dan Kitab Suci tidak akan dibahas di sini, karena ada di luar skopus karangan ini. Namun saya ingin mengatakan di sini bahwa ada perbedaan jelas antara proses meraih wawasan dan proses mensahkan wawasan itu ke dalam suatu tradisi. (Agak mirip dengan perbedaan antara "jatuh cinta" dan "menikah di catatan sipil"). Jika kita menekankan pengalaman gereja di Indonesia sebagai sumber bagi wawasan eklesial, kita tidak bermaksud untuk menggeser Kitab Suci sebagai norma bagi iman, melainkan untuk menempatkan pengalaman kita (masing-masing) ke dalam dialog yang seimbang dengan Kitab Suci dan Tradisi. Bagaimanapun juga, cahaya Kitab Suci tidak akan dapat menerangi sesuatu yang tersimpan di lemari.

Jadi, menggali pengalaman kita barulah langkah awal dalam proses yang lebih luas, yaitu proses yang dapat didefinisikan sebagai "iman yang mencari pemahaman" --- suatu definisi klasik dari bidang teologi. Sasaran akhir dari proses ini ialah agar kita lebih setia pada misi Kristus di dalam masa dan tempat kita masing- masing.

SUMBER-SUMBER IDENTITAS EKLESIAL

Kita sudah membicarakan perihal krisis identitas di dalam gereja. Jalan keluar dari krisis ini bukan sekedar memasukkan kembali pernyataan-pernyataan normatif dari gereja yang telah dirumuskan pada masa lalu. Memang, rumusan normatif itu setidak-setidaknya dapat menjelaskan pada kita perihal bagaimanakah "seharusnya" gereja, dan hal ini dalam artian eskatologis. Namun, rumusan ini tidak dapat menjelaskan pada kita perihal "siapa" gereja (kita) pada saat ini. Untuk menemukan "siapa diri kita" atau identitas kita saat ini kita perlu menyelediki sumber-sumber identitas kita. Sumber-sumber ini sifatnya lebih luas dan lebih bervariasi dibandingkan dengan sebuah pernyataan resmi dari suatu doktrin tentang Gereja. Sumber-sumber ini meliputi: sejarah lokal dan nasional, konteks budaya, kondisi sosialekonomis-politis yang di dalamnya gereja (masing-masing) hidup dan melaksanakan pelayanannya. Sumber-sumber ini juga meliputi: penghayatan gerejawi para anggotanya dalam simbol, ritual maupun dalam kisah/cerita-cerita.

Namun demikian, identitas senantiasa mengandaikan kesatuan atau integritas. Identitas bukanlah

sekedar campuran gado-gado dari segala macam unsur-unsur itu. Identitas gereja adalah hasil dari pergumulan-pergumulan gereja untuk menanggapi lingkungannya dengan setia pada misinya. Pada akhir karangan ini kita akan kembali ke permasalahan ini dengan memperhatikan faktor-faktor yang dapat mendorong kesatuan dan integritas dari berbagai unsur-unsur di dalam identitas gereja ini. Namun, marilah kita terlebih dahulu memperhatikan sumber-sumber ini pada dirinya. Dan agar lebih baik penyajiannya saya akan menjelaskannya dalam bentuk skematis.

"Peta" berikut ini disusun bagi lokakarya mengenai identitas eklesial yang diselenggarakan oleh Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT), dan oleh karenanya mencerminkan beberapa ciri khas dari konteks gereja ini. Berhubung kita sedang membicarakan eklesiologi lokal, maka mengambil sebuah contoh dari suatu gereja tertentu tak dapat kita hindarkan. Dari contoh lokal inilah kita beranjak.

Sumber-sumber Identitas GMIT (sebuah sketsa)

Tradisi Am: Berbagai Konteks Tradisi GMIT

teologiteologi, ajaran gereja teologi lokal, ajaran GMIT

tata gerejatata gereja (episkopal, kongregasional, dsb.) Tata Gereja GMIT

Alkitab dan tradisi penafsiran

Sejarah Gereja Umum

Simbolsimbol, ritus-ritus dlm tradisi liturgis Simbolsimbol, ritus-ritus dlm tradisi liturgis GMIT Simbolsimbol, ritus-ritus dlm budaya lokal

Pengalaman orang-orang percaya

Alkitab dan tradisi penafsiran lokal

Sejarah GMIT

Pengalaman beriman orang-orang GMIT

Konteks Budaya GMIT

agama suku, Panca Sila, aliranaliran

struktur keluarga, hukum adat, pemerintah

mitos-mitos dan ceritacerita rakyat

Sejarah Indonesia dan NTT

Pengalaman dalam masyarakat

Catatan-catatan untuk memahami diagram di atas:

1. Diagram ini dapat dibaca secara vertikal maupun horisontal, tapi jangan dibaca secara hirarkial (mis. bahwa GMIT harus melaksanakan peraturan-peraturan dari Tradisi Am dan menerapkannya ke dalam konteks lokal). Dalam tiap-tiap kotak ada hubungan timbal-balik di antara kategori-kategorinya, misalnya saja: banyak simbol-simbol gereja yang berasal-usul dari Alkitab dan mengungkapkan konsep-konsep dogmatik; kebijakan-kebi jakan dan peraturan gereja seringkali paling baik bila dipahami secara historis (dalam lintasan sejarahnya).

2. Kategori-kategori di dalam setiap kotak bukan meru pakan sesuatu yang tetap dan lengkap; kategori-kategori ini dipilih karena tampaknya dapat sangat membantu kita dalam menganalisis konteks khas GMIT, dan juga katego ri-kategori ini mudah dipahami dan didiskusikan oleh para peserta lokakarya. Kategori-kategori ini juga mencerminkan wawasan saya terhadap permasalahan herme neutik budaya. Pembaca sekalian dapat mengganti katego ri ini dengan unit-unit analisis lainnya jika diperlu kan.

3. Secara kasar setiap kategori dapat disejajarkan dengan kategori lain yang berada tepat di bawah atau di atasnya. Misalnya, sejarah gereja lokal (di kotak tengah) adalah sejajar dengan sejarah gereja umum (di kotak atas) dan sejajar dengan sejarah Indonesia dan NTT (di kotak bawah). Terkecuali Alkitab yang merupakan hal yang sentral baik bagi GMIT maupun Tradisi Am, namun yang tidak mempunyai kesejajaran di dalam konteks lokal kecuali dengan beberapa mitos penciptaan/asal- usul (sesuatu) dan tradisi-tradisi lisan lainnya dari agama-agama suku. Namun sampai sejauh ini pengetahuan kita masih kurang untuk menempatkan tradisi-tradisi ini secara tepat di dalam diagram.

4. Perlu diingat bahwa "Tradisi Am" pada dirinya juga berisi jejak-jejak dari sejumlah konteks lokal. Seandainya halaman ini tiga dimensi, kita dapat menam bahkan kotak ke-empat untuk mengungkapkan aspek ini. Bagi GMIT, dan juga bagi banyak gereja-gereja Protestan di Indonesia, "Tradisi Am" telah disaring melalui pengalaman pendeta-pendeta Belanda. Konteks budaya/his toris lokal dari pendeta-pendeta Belanda ini sangat mempengaruhi aspek-aspek

Kekristenan yang akan disalur kan atau dialihkan ke Indonesia. Jelaslah bahwa hanya aspekaspek "Tradisi Am" yang diberikan kepada gereja lokal, misalnya melalui: pendidikan, bukubuku, perja lanan, atau pertukaran tenaga asing, yang dapat mem pengaruhi identitas gereja lokal.

5. Akan sangat baik bila hubungan diantara ketiga kotak itu dibaca dari atas serta dari bawah ke arah tengah; dengan kata lain, kita akan dapat memperhatikan pengaruh kuat yang diberikan oleh Tradisi Am dan oleh konteks lokal kepada tradisi GMIT. Hal ini perlu karena di sini kita ingin memfokuskan perhatian kita pada identitas GMIT. Sebaliknya, seandainya kita ingin lebih memperhatikan sumbangan-sumbangan GMIT (atau gereja lokal lainnya) kepada Tradisi Am, kita perlu membacanya dari tengah ke atas. Sedangkan, jika kita ingin lebih memperhatikan pengaruh GMIT pada lingkungannya, kita perlu membacanya dari tengah ke bawah.

6. Sekalipun kategori-kategori di sini sangat umum, tujuan diagram ini bukanlah generalisasi, bahkan justru sebaliknya. Diagram ini dimaksudkan sebagai suatu "peta" sehingga kita dapat tiba pada perincian unsur- unsur identitas GMIT yang unik.

Sebuah contoh singkat mungkin berguna untuk menunjukkan bagaimana semua unsur ini saling berkaitan. Misalnya, upacara pemberkatan nikah di GMIT. Upacara perkawinan Kristen (Belanda) bertemu dengan tradisi perkawinan suku serta struktur-struktur kekerabatannya sehingga menghasilkan tradisi gereja lokal yang unik. Pada berbagai tahap di dalam proses upacara perkawinan itu dilaksanakan pertukaran "mas-kawin" dan buah pinang, sementara pakaian kedua mempelai adalah pakaian daerah atau pakaian khas suku bagi upacara perkawinan dan ini semua disaksikan oleh pendeta. Lalu pendeta mengenakan jubah kependetaannya (gaya-Belanda), dan kedua mempelai mengganti pakaiannya menjadi pakaian pengantin gaya Barat (termasuk: gaun pengantin warna putih) untuk mulai menjalani upacara perkawinan gerejawi. Khotbah yang disampaikan pendeta akan diambil dari Efesus 5:21-33 (berarti: konteks budaya Yunani Timur Tengah) diikuti dengan pemotongan kue pengantin (berasal dari kebiasaan Romawi). Pada waktu pestanya, gong dan tarian tradisional akan "dicampur" dengan pita rekaman kaset Disko (dari Amerika-Afrika) atau dengan musik country dan Barat (Anglo-Amerika). Esok harinya, mereka akan mengganti pakaian lagi dengan pakaian tradisional dalam rangka penerimaan mempelai perempuan ke dalam rumah suaminya, menurut adat-istiadat suku.

Interaksi kompleks antara tradisi-tradisi budaya dan teologis ini, baik yang kuno maupun yang modern, menciri-cirikan hampir semua unsur yang membentuk identitas GMIT. Mengidentifikasikan unsur-unsur ini dan pengaruh timbal-baliknya terhadap satu sama lain

adalah langkah awal di dalam analisis kontekstual. Clifford Geertz, seorang antropolog ternama, menamakan proses ini sebagai "deksripsi tebal" ("thick description"), iii[3] yaitu suatu proses penyortiran terhadap berbagai lapisan-lapisan yang telah membentuk suatu realitas sosial (tertentu). Oleh karenanya, deskripsi tebal ini belum dapat dinamakan teologi. Fungsinya adalah untuk mengidentifikasi kemungkinan- kemungkinan makna yang dengannya suatu situasi dapat diinterpretasikan. Namun demikian, proses ini dapat memungkinkan timbulnya dialog teologis yang otentik dengan konteks lokal. Saya akan memberi sebuah contoh bagaimana dialog ini dapat dilaksanakan. Hasil-hasil dari lokakarya GMIT akan saya gunakan dalam hal ini.

Pola dari lokakarya itu sangat sederhana. Kami memulai dengan suatu ceramah dan diskusi mengenai Calvinisme yang merupakan sebuah arus dari Tradisi Am yang dengannya GMIT mengidentifikasikan diri. Para peserta diminta untuk membuat catatan mengenai beberapa tema utama di dalam pemikiran Calvin dan untuk memperhatikan tanda-tanda pengaruhnya di dalam unsur-unsur identitas GMIT yang akan didiskusikan. Diagram di atas lalu dijelaskan kepada mereka, dan mereka dibagi ke dalam lima kelompok kecil sesuai dengan kategori-kategori utama dari diagram itu, seperti berikut: Sejarah, Simbol, Ritual, Cerita/Kisah (mewakili kategori "pengalaman" karena dalam konteks GMIT pengungkapan pengalaman pribadi sering mengambil bentuk cerita/kisah), dan kelompok kelima ditugaskan untuk mendiskusikan pengaruh pemerintahan yang meliputi kepemimpinan modern maupun tradisional kesukuan. Berdasarkan laporan diskusi setiap kelompok, kami membuat kesimpulan umum dengan mengidentifikasi se jumlah tema utama.

Kesimpulan-kesimpulan dari lokakarya itu tidak perlu saya ulangi di sini. Hal itu barulah langkah awal. Namun demikian, tampaknya telah muncul suatu kesadaran baru ketika seorang peserta, yaitu seorang pendeta dari pegunungan di Timor, menyimpulkan, "Selama ini kita beranggapan bahwa warisan Calvinis Belanda adalah sumber identitas kita. Setelah lokakarya ini, saya menyimpulkan bahwa kita sebenarnya lebih dipengaruhi oleh agama suku dan pengaruh ini lebih banyak daripada yang selama ini kita sadari. Kini waktunya untuk lebih memperhatikan hal ini."

Bahan-bahan lokakarya ini pada waktu itu belum sempat dianalisis secara terperinci. Kini, untuk menganalisisnya dengan lebih terperinci, saya akan menyeleksi dua pokok saja, satu dari kelompok Simbol, dan yang lainnya dari kelompok Cerita/Kisah.

SALIB DI PERBATASAN-PERBATASAN

Kelompok Simbol memulai tugasnya dengan mendaftarkan sejumlah simbol yang diingat mereka. Lalu simbol-simbol itu dipisah-pisahkan menurut asal-usulnya: dari budaya Barat, atau dari budaya lokal. Simbol yang terdaftar meliputi: lampu, perahu, burung merpati, air, ikan, dan tentu saja roti dan anggur. Simbol salib merupakan pokok pembicaraan yang hangat, dan simbol inilah yang akan kita perhatikan di sini.

Agak mengejutkan para peserta bahwa setiap kelompok etnis (yang diwakili di dalam diri para peserta ini) mempunyai simbol salib yang "pribumi" dan pada tiap- tiap simbol itu ada makna dasar "perintang terhadap suatu bahaya". Di Alor, sebuah salib ditempatkan di daerah perbatasan desa untuk menangkal datangnya bencana alam. Orang-orang Roti juga menempatkan salib di perbatasan kebun mereka untuk memperingatkan pencuri-pencuri (agar menyingkir) dan untuk menggunakannya sebagai jimat penangkal penyakit atau untuk mengusir roh-roh penyakit. Orang-orang Timor menempatkan salib di puncak atap rumahnya atau di muka pintunya sebagai pelindung rumah itu. Dapat dijelaskan di sini bahwa salib pada dasarnya merupakan simbol alamiah yang bermakna "perintang" karena bagian lengan salib secara horisontal menyilang pokok vertikal-nya: merintanginya.

Analisis struktural memperhatikan posisi penempatannya yaitu penempatan salib ini di pagarpagar atau di perbatasan-perbatasan ruang gerak manusia (suatu fenomena yang dinamakan oleh para antropolog sebagai "liminalitas"). Hal ini menunjukkan dua hal penting. Pertama, salib memisahkan "yang dalam" dari "yang luar". Dan berhubung bahaya atau hal-hal yang buruk dipahami sebagai suatu kekuatan yang datang dari luar, salib juga memisahkan "yang baik" dari "yang buruk", "yang aman" dari "yang bahaya". Kedua, dan yang lebih penting bagi pembicaraan kita mengenai sumber identitas, ialah fakta bahwa sebagai penanda perbatasan salib adalah simbol identitas. Orang-orang Roti yang menempatkan salib di perbatasan kebunnya ingin mengungkapkan, "Ini kebunku, kamu menyingkirlah". Sebagaimana halnya dengan daerah pusat, daerah perbatasan juga merupakan ciri identitas. Kita diciri- cirikan bukan hanya oleh apa yang menyatukan diri kita dari dalam, tapi juga oleh apa yang memisahkan kita dari orang-orang lain.

Unsur "liminalitas" ini juga merupakan ciri dari upacara pengorbanan binatang dalam agamaagama suku di NTT. Binatang korban itu disembelih bukan di pusat desa, tapi di sebuah batu altar di luar desa. Aspek "Dia yang lain" (otherness) dari transendensi para dewata menuntut agar kita menemuinya di perbatasan: dimana "yang dari dalam" berjumpa dengan "yang di

luar". Kedua unsur dari agama suku ini (simbol salib dan upacara pengorbanan) mempunyai kesamaan penampakan dengan pengorbanan Kristus di kayu salib. Tapi kita perlu memperhatikan beberapa perbedaan pentingnya. Aspek "liminalitas" dari salib pribumi agak bertentangan dengan "sentralitas" dari salib Kekristenan, misalnya, yang diungkapkan dalam arsitektur gereja dan liturgi kebaktian. Namun, mungkin ada kesamaannya dengan perspektif Ibrani 13:11-12, "Karena tubuh binatang-binatang yang darahnya dibawa masuk oleh Imam Besar sebagai korban penghapus dosa, dibakar di luar perkemahan. Itu jugalah sebabnya Yesus telah menderita di luar pintu gerbang untuk menguduskan umatNya dengan darahNya sendiri". Penulis surat Ibrani telah mereinterpretasikan suatu aspek dari agama suku Ibrani. Sejauh ada kesamaan antara agama suku Ibrani dan agama suku NTT, reinterpretasi itu juga dapat mengungkapkan pemahaman religius jemaat GMIT. Sesuai dengan konsepsi ini, salib Kristus yang telah menggantikan pengorbanan di altar dan menjadi simbol utama bagi identitas Kristen sebenarnya dapat ditempatkan bukan di pusat tapi di perbatasan komunitas untuk dimanfaatkan pada masa-masa bahaya.

Jelaslah, ada potensi kuat bagi interaksi simbolik antara salib Kristus dan simbol-simbol salib di dalam agama-agama suku NTT. Keduanya saling mempunyai kedekatan dalam makna. Dengan kata lain, ada kecenderungan kuat di dalam jemaat GMIT ke arah kristologi "Kristus Sang Pemenang" (Christus Victor). iv[4] Kristus telah mengalahkan kekuatan-kekuatan jahat, dan salibNya adalah perisai perlindungan kita terhadap gangguan kekuatan-kekuatan ini. Ide ini telah lama menjadi ciri kesalehan-rakyat Katolik. Hampir dapat dipastikan bahwa inilah asal-usul praktek orang-orang Belu dalam hal memoleskan gambar salib pada dahi mereka dengan darah babi. (Jangan terlalu dirisaukan bahwa di sini ada ironi dimana kematian Kristus sebenarnya justru menjadikan pengorbanan babi yang malang itu tak diperlukan lagi).

Sebaliknya, Yesus jarang sekali dipandang sebagai "contoh suri teladan" untuk diikuti oleh jemaat. Dia adalah sang pelindung, dan persis karena inilah maka Dia yang berada di perbatasan-perbatasan kehidupan hanya dicari pada saat kita juga ada di perbatasan: ketika sakit, ditimpa bencana, dan kematian. Dengan demikian, kita mendapatkan perspektif baru atas kecenderungan sebagian besar jemaat GMIT (juga jemaat Kristen di lain-lain tempat) untuk menjadi "orang-orang Kristen krisis", yaitu: mencari Allah ketika mereka mengalami musibah atau ketika sedang butuh, tapi jika sedang 'aman' mereka melakukan urusannya sendiri (dan berharap Allah juga mengurus urusanNya sendiri). Distansi Kristus merupakan aspek esensial dari liminalitas-Nya. Dia memang mendefinisikan ciri-ciri diri kita sebagai komunitas Kristen, tapi dari perbatasan dan bukan dari pusat. Dia itu "ada di luar pintu gerbang" (Ibr 13:12), baik sebagai "yang dikorbankan" maupun sebagai "pelindung". Demikian pola pikir religius mereka.

Dorongan untuk mencari perlindungan Kristus mungkin merupakan tanggapan manusiawi yang

wajar terhadap bahaya-bahaya dalam kehidupan kita. Dan juga kita jangan terlalu cepat menghakimi kristologi pribumi ini sebagai penyebab kepasifan. Karena ide "Kristus sebagai penjaga perbatasan" dapat juga ditafsirkan dari segi implikasi etisnya. Orang-orang yang sakit, miskin, dan tertindas adalah orang-orang yang --dalam bahasa analisis sosial-- "marginal" (di pinggiran atau tersingkir dari tengah-tengah masyarakat), atau dengan kata lain, mereka dalam artian tertentu berada di perbatasan-perbatasan kehidupan manusia. Memang liminalitas ritual dan marginalitas sosial-ekonomis bukanlah hal yang sama, namun peranan etis Kristus sebagai orang yang memperhatikan dan melayani orang- orang yang tersingkir harus dipandang sejajar dengan peranan ritual-Nya. Panggilan etis memanggil orang- orang Kristen agar keluar dari pusat untuk pergi ke orang-orang tersingkir, ke pinggir: dimana Kristus berada! Penulis Ibrani membuat kesimpulan serupa, "Karena itu marilah kita pergi kepadaNya di luar perkemahan dan menanggung kehinaanNya" (Ibr 13:13).

Ketika lokakarya berlangsung wawasan-wawasan di atas belum sempat dieksplisitkan. Di dalam kesadaran para peserta wawasan-wawasan ini hanya "berenang-renang" bersama dengan motifmotif kristologis lainnya. Hal ini mungkin serupa dengan yang terjadi dalam kesadaran orangorang Kristen Jawa: motif-motif dari dunia perwayangan berenang-renang dalam kesadarannya, sehingga entah sadar ataupun tak sadar Kristus diasosiasikan dengan tokoh Arjuna, meskipun secara resmi mereka (mengikuti doktrin gerejanya) menggunakan ajaran Penebusan dari Anselmus. Sekali lagi perlu diingatkan di sini bahwa pengidentifikasian motif-motif kultural dan teologis baru merupakan langkah awal. Perihal bagaimana motif-motif itu akhirnya dipahami, diterima atau ditolak merupakan permasalahan refleksi teologis bagi gereja masingmasing.

TIANG API DI GUNUNG: KISAH SUATU JEMAAT

Jika Kristus ada di perbatasan-perbatasan, siapa atau apa yang ada di pusat? Sekarang kita perlu melihat unsur-unsur lain di dalam sumber-sumber identitas GMIT. Kelompok peserta "Cerita/Kisah" yaitu kelompok yang bertugas mendiskusikan kisah-kisah dari GMIT melaporkan sebuah kisah yang dinilai dapat mewakili "asal-usul" jemaat-jemaat pedesaan. (Cat: 90% jemaat GMIT adalah jemaat pedesaan). Inilah kisahnya dalam bentuk yang agak disederhanakan:

Pendeta Manu adalah anak seorang penginjil awam (istilahnya: "utusan Injil") dari daerah pegunungan di Timor. Pada waktu kecilnya, ia mengikuti ayahnya dalam perjalanan pemberitaan Injil dari desa ke desa. Ia membantu ayahnya membawa Alkitab yang berbentuk besar. Melalui perjuangan berat ayahnya, banyak suku-suku di daerah itu yang masuk ke dalam agama Kristen, termasuk keluarga Oemana yang merupakan marga bangsawan. Marga ini hidup di gunung yang diakui oleh masyarakat setempat sebagai tempat yang keramat karena merupakan tempat tinggal dari dewa setempat. Suatu hari ketika ia mengikuti ayahnya mendaki gunung ini, ia melemparkan Alkitab berat yang dibawanya itu karena lelah dan jengkel.

Ayahnya meninggal tahun 1948. Baru delapan tahun kemudian, yakni tahun 1956, Pdt. Manu dapat mengisi kekosongan tugas kependetaan yang telah ditinggalkan ayahnya. Ketika kembali, Pdt. Manu mendapatkan bahwa marga Oemana sudah melaksanakan lagi praktek-praktek agama nenek-moyang mereka.

Pada tahun 1963 terjadilah peristiwa yang aneh. Setiap malam selama lebih dari satu bulan, marga Oemana melihat sebuah tiang api yang bernyala-nyala di gunung itu. Akhirnya, Pdt. Manu diminta datang untuk menyaksikan dan mengatakan apa makna peristiwa itu. Ia mengatakan kepada mereka, "Inilah tanda kemurkaan Allah. Api ini akan membakar kalian bila kalian tidak bertobat". Lalu ia mengajak mereka berdoa, dan sesudah mereka berdoa api itu menghilang.

Namun sekalipun demikian, kepala marga tidak bersedia untuk kembali ke agama Kristen. Dua minggu kemudian, sebuah batu besar berguling turun dari atas gunung menimpa rumahnya dan nyaris menghancurkan dirinya. Dia segera pergi ke Pdt. Manu dan menyatakan kesediannya untuk masuk ke agama Kristen disertai dengan seluruh anggota marganya.

Duapuluh tahun kemudian, sebuah mobil dengan penumpang para staf Sinode melewati gunung itu pada malam hari. Cuacanya buruk. Ketika mendaki gunung tersebut, mobil itu mogok, merosot ke belakang, dan nyaris terjungkal ke dalam jurang. Mobil itu miring ke arah jurang dan bila jatuh semua penumpangnya pasti binasa. Orang-orang dari marga Oemana diberitahu dan dipanggil datang. Mereka bersama-sama menarik mobil itu ke posisi yang aman. Keesokan harinya mereka berkumpul bersama-sama dengan Pdt. Manu dan mengadakan naketi: ritus pengakuan dosa orang-orang Timor. Mereka memohon pengampunan atas kebebalan hati mereka dalam menolak Kristus di masa yang lampau, dan mengakui bahwa di tempat itu telah terjadi peperangan antara kekuatan- kekuatan supranatural dan bahwa Kristus telah menang. Secara pribadi, Pdt. Manu juga melaksanakan naketi bagi dirinya: dia mengakui bahwa semua

ini terjadi karena pada waktu ia masih kanak-kanak ia pernah melempar Alkitab di tempat itu.

Sesudah kisah ini diceritakan terjadi diskusi hangat dan muncullah beberapa tema yang mengungkapkan identitas khas GMIT.

Pertama, peranan letak geografis perlu diperhatikan. Sebagian besar daerah GMIT terdiri dari pegunungan. Kenyataan ini menyebabkan persoalan-persoalan komunikasi yang kronis, baik dalam hal mempertahankan kesatuan jemaat-jemaat sebagai suatu sinode maupun dalam hal penyelenggaraan pelayanan bagi lebih dari seribu desa jemaat yang terisolasi. Tokoh-tokoh dari sejarah awal GMIT (seperti ayahnya Pdt. Manu) lebih dipuji karena kekuatan otot kakinya daripada kehebatan mutu khotbahnya. Bahkan sampai saat ini, ada pendeta- pendeta yang harus mendaki sejauh 20-30 kilometer untuk mencapai jemaat-jemaat di balik gunung. Dan jemaatjemaat yang lebih terpencil hanya dapat dikunjungi pendeta sekali atau dua kali dalam setahun. Akibat praktis dari geografi GMIT tak perlu disebutkan satu persatu, tapi beberapa hal patut dikatakan: terjadinya pluralisme dan variasi yang tinggi di dalam praktek- praktek jemaat setempat berhubung jemaat-jemaat ini sering ditinggalkan untuk periode waktu yang lama dan mereka mengembangkan diri masing-masing; standar pelayanan yang sangat bervariasi; dan tekanan kuat pada pelayanan kaum awam. Pendeta-pendeta pedesaan berperan seperti "bishop", kurang berperan seperti pendeta dan lebih berperan sebagai pengawas dan penyelenggara sakramen-sakramen.

Yang lebih penting bagi konteks GMIT ialah fakta bahwa geografi atau lebih tepatnya daratan itu mempunyai makna religius yang jelas. Ingatlah bahwa kisah di atas terjadi di suatu tempat yang dipandang sebagai gunung yang keramat. Secara khusus, nama panggilan keluarga Oemana adalah nama gunung itu. Tempat itu merupakan medan pertempuran yang sangat menentukan antara Allah Kristen dan dewa setempat. Pada umumnya nama-nama desa di Timor mencerminkan ciri-ciri geografi setempat: biasanya batu gunung atau sumber air. Agama suku menganggap tempat-tempat itu sebagai tempat-tempat keramat, dan dipercaya bahwa ada hubungan khusus antara penduduk setempat dan batu gunung atau sumber air mereka yang keramat itu. Sedikit banyak GMIT masih dihantui oleh roh-roh tempat itu sebagaimana terbukti dalam kisah di atas: mereka masih percaya bahwa kecelakaan mobil itu disebabkan oleh pengaruh roh gunung; dan karena alasan inilah anggota-anggota marga Oemana yang diminta untuk menarik mobil itu. Gunung ini adalah gunung marga Oemana dan roh itu juga milik mere ka.

Meskipun agama suku sudah diganti dengan Kekristenan, "perasaan kuat" terhadap tempat

masih berlanjut sebagai bagian dari identitas GMIT. GMIT tetap merupakan gereja ke-daerahan, yang dipertalikan oleh suatu lembaga yang tak mempunyai jemaat di luar daerah NTT dan Sumbawa. Namun lebih daripada itu, kehadiran gereja GMIT di antara tempat-tempat keramat para leluhur mempunyai aspek kesaksian yang unik. Di beberapa tempat, tempat- tempat keramat sudah "dibaptis" dengan nama alkitabiah: mata-air Bethlehem, batu-gunung Yerusalem, dan bahkan sebuah batu gunung yang berbentuk perahu telah dikaitkan dengan Bahtera Nuh di dalam kisah mitos setempat. Daratan dan penduduknya telah direbut Allah dari kuasa-kuasa yang pernah menguasai mereka, dan mereka menanggapi: Inilah tempat kita, inilah gereja kita.

Tema kedua yang muncul dari kisah di atas ialah bahwa kepercayaan pada hal-hal supernatural (gaib) masih terus berlanjut dalam diri jemaat Kristen. Ketika marga Oemana melihat tiang api, mereka sama sekali tak mempertanyakannya atau membutuhkan jawab yang ilmiah atau alamiah, misalnya: apakah tiang api itu merupakan kegiatan volkanik dari sebuah gunung yang masih hidup? Mereka langsung berasumsi bahwa api itu adalah tanda supernatural; pertanyaan yang muncul hanyalah persoalan bagaimana menafsirkan tanda ini. Demikian pula halnya dengan kecelakaan mobil, kecelakaan ini tidak dikaitkan dengan kemungkinan: cerobohnya si pengemudi mobil ataupun jalan yang licin. Anggapan langsungnya ialah: roh gunung yang cemburu berusaha membinasakan utusan- utusan Kristus. Kepercayaan pada hal-hal yang supernatural ini hampir menyeluruh di kalangan jemaat GMIT, khususnya di jemaat-jemaat pedesaan. Kepercayaan ini muncul secara kuat ke permukaan selama periode "gerakan Roh" di pertengahan 1960-an, ketika itu -- katanya-- air diubah menjadi anggur dan orang-orang mati dibangkitkan kembali. Sekalipun sekarang ini banyak anggota GMIT yang kurang percaya pada cerita- cerita dari periode tersebut, mereka tetap memiliki pandangan-dunia "alam supernatural" yang masih cukup kuat. Jika kita ingin nerumuskan pandangan ini sebagai sebuah teologi operatif, rumusannya mungkin seperti ini: Dunia ini dihuni oleh "kuasa-kuasa dan kerajaan-kerajaan" dan kuasa Allah adalah kuasa yang terbesar di antara semuanya. Kuasa- kuasa itu sedikit banyak dapat dimanipulasi dengan caracara magis (misalnya, sebagian orang Alor --katanya-- mampu terbang ke angkasa), tapi hal ini sungguh-sungguh berbahaya. Motif utama dari aktivitas religius ialah: mencari kuasa Allah sebagai pelindung terhadap kuasa-kuasa (lainnya) ini. Sebaliknya, tak ada perlindungan terhadap kuasa Allah kecuali dengan melaksanakan kehendak-Nya. Jika kita tak melaksanakan kehendak Allah, kemurkaan Allah akan dinyatakan dalam bentuk: kecelakaan, penyakit, dan bencana alam. Namun demikian, kemurkaan Allah dapat diredakan dengan upacara pengorbanan dan pengakuan dosa.

Apakah pandangan atau teologi operatif ini berciri Kristen? Hal ini tak mudah dijawab. Dalam tradisi Yahudi-Kristen, tampaknya pandangan ini sangat dekat dengan prinsip Deutronomik: "Jika taat akan selamat, jika tak taat akan binasa". Memang, pernyataan- pernyataan iman GMIT yang resmi tidak ada yang meng ungkapkan prinsip ini. Namun mereka yang cukup mengenal GMIT akan sulit mengingkari bahwa prinsip Deutronomik ini merupakan kepercayaan operatif bagi banyak warga GMIT. Memang rangkaian peristiwa mengenai "tiang

api di gunung" itu dapat saja ditafsirkan secara berbeda, tapi teologi operatif yang telah didefinisikan di atas merupakan cara konsisten dalam memandang kisah itu secara internal. Baik Pdt. Manu maupun marga Oemana tidak merumuskan teologi itu secara eksplisit seperti yang saya lakukan di sini. Teologi itu terbentuk dalam pengalaman mereka sendiri, dalam interaksi kompleks antara peristiwa pribadi dan peristiwa publik (:"penolakan-pribadi" Pdt. Manu terhadap Firman Allah ketika ia masih kanak-kanak sejajar dengan penolakan publik marga Oemana terhadap Kekristenan). Teologi ini merupakan hasil dialog antara sistem agama suku dan pemberitaan Injil--dalam bentuk apapun sebagaimana telah dilakukan melalui teologi operatif dari Pdt. Manu dan ayahnya.

Jadi, kita harus menyimpulkan bahwa teologi operatif itu bukan sekedar agama suku yang berbaju Kristen, atau pemikiran mitologis dari orang-orang "terkebelakang". Agama suku hanyalah satu unsur di dalam rumusan itu; pengalaman masa kini dan tanggapan terhadap proklamasi Kristen sama pentingnya. Berkaitan dengan peranan pengalaman dalam kisah di atas, maka pertanyaan mengenai kebenaran kisah di atas akhirnya akan dijawab dengan pernyataan tegas, "Saya benar-benar melihat api di gunung itu!". Berhubung kita tidak dapat kembali ke peristiwa masa lalu itu untuk mengujinya sendiri, kita hanya dapat menyimpulkan bahwa mereka sungguh-sungguh jujur terhadap kebenaran pengalaman mereka sebagaimana mereka menafsirkannya. Interaksi antara peristiwa- peristiwa dan kategori-kategori simbolik yang tersedia untuk memberi makna pada peristiwa-peristiwa itu, seperti misalnya (dalam hal ini) bahwa peristiwa itu adalah tanda simbolik dari kemurkaan Allah, merupakan hal yang realistik dan unik. v[5] Hasil akhirnya ialah pengalaman yang terkait dan tak terpisahkan dalam melihat: api yang misterius, merasakan: kemurkaan Allah, lalu: kemurkaan itu dirasakan menghilang oleh kuasa doa sebagaimana halnya melihat: api itu telah menghilang. Peristiwaperistiwa selanjutnya (batu gunung yang menghancurkan rumah kepala marga Oemana, kecelakaan mobil) hanya mengiyakan atau meneguhkan penafsiran sebelumnya dan menguatkan teologi operatif yang muncul dari sana.

Kemungkinan-kemungkinan teologis yang muncul dari penerimaan hal-hal yang supernatural itu tentu saja berbeda dengan kemungkinan-kemungkinan teologis yang dapat muncul dari penerimaan pandangan-dunia yang rasional-ilmiah. Mereka yang hidup eksklusif dalam salah satu pandangan-dunia ini, entah dalam yang serba- supernatural ataupun dalam yang serbailmiah-rasional saja, tak perlu diganggu-gugat dengan pertanyaan yang muncul dari mereka yang hidup dalam pandangan dunia lainnya. Namun untuk sebagian besar pemimpin GMIT dan untuk sejumlah anggota jemaat (yang semakin bertambah banyak) kedua sudut pandang-dunia ini digunakan serentak. Mereka tak percaya adanya hantu-hantu, tapi tetap takut pada tempattempat yang gelap. Ketegangan yang dihasilkan oleh situasi ini dan permasalahanpermasalahan yang dimunculkannya bagi pemahaman dan proklamasi iman Kristen merupakan hal penting yang perlu diperhatikan bagi identitas teologis GMIT.

Apakah peranan proklamasi Kristen? Permasalahan ini membawa kita masuk ke dalam aspek ketiga dari identitas GMIT. Memang, orang dapat saja menilai bahwa pemahaman jemaat GMIT terhadap "epifani" (penampakan Allah) di atas gunung itu hanyalah suatu refleksi yang didasarkan atas kategori-kategori agama suku, sekalipun mereka sudah menyebut-nyebut nama Allah Kristen. Mungkin penilaian ini benar, tapi mungkin juga benar bahwa bahwa agama suku yang berperan di situ adalah agama Israel kuno. Kisah Pdt. Manu dalam bentuk yang sekarang ini, yakni hampir 30 tahun setelah peristiwa itu terjadi, adalah gema dari kisah-kisah Eksodus Israel: keluarnya Israel dari Mesir dan pengembaraan mereka di padang gurun. Pdt. Manu adalah tokoh Musa, yang melempar kedua loh Hukum Taurat ketika frustrasi atas tugas yang dibebankan padanya, dan kemudian dihukum Allah atas tindakan tersebut. Api di atas gunung itu mengingatkan akan semak duri yang bernyala-nyala yang dilihat Musa dan juga mengingatkan akan tiang api yang memimpin Israel di padang gurun. Kepala marga Oemana memperlihatkan kebebalan dan kekerasan hati Firaun, dan mereka sendiri seperti Israel: berpaling memuja lembu emas ketika "Musa" sedang pergi menjalani pendidikan teologi.

Gema-gema Eksodus ini tidak muncul berurutan dan juga tidak berkorespondensi langsung dengan peristiwa- peristiwa di dalam kisah Pdt. Manu. Gema-gema ini hanya hadir seperti asosiasi-asosiasi tak sadar di dalam mimpi. Namun tampaknya sangat jelas bahwa hal-hal yang terjadi secara obyektif di gunung itu (30 tahun yang lalu) kemudian (telah) dipadukan ke kisah Eksodus Perjanjian Lama, dan bahwa peristiwa-peristiwa itu oleh orang-orang Timor kini dilihat sebagai hal yang serupa dengan kisah Eksodus tersebut.

Keterjalinan antara kisah-kisah lokal dan kisah-kisah tradisi Yahudi-Kristen ini bukanlah hal yang unik bagi jemaat Pdt. Manu. Jemaat lain juga mendapatkan identitas mereka di dalam kisah pertandingan Elia melawan nabi-nabi Baal di gunung Karmel. Mereka diyakinkan akan kuasa Allah Kristen pada saat doa permohonan pendetanya agar hujan turun dikabulkan sementara doa dari pemimpin-pemimpin agama sukunya tidak dikabulkan (Tradisi lisan tak pernah mengingat betapa banyaknya kejadian sebaliknya yang pernah terjadi!).

Ketika contoh ini dan contoh-contoh lainnya didiskusikan di dalam lokakarya, para peserta mendapatkan penemuan penting mengenai gaya berteologi yang sangat alamiah bagi GMIT. Tanpa membaca berbagai literatur mengenai "teologi cerita", mereka dapat menyimpulkan bahwa "Kami berteologi dengan cara menceritakan kisah-kisah". GMIT memang berada di dalam budaya lisan, sehingga berbagai jenis cerita mudah didapatkan. Namun lebih dari ini, ada suatu perasaan bahwa menceritakan kisah-kisah adalah suatu cara protes terhadap dogmadogma atau cara-cara dogmatis. Cerita atau kisah adalah bentuk yang paling berguna bagi orang yang yang tidak dipersiapkan untuk mengikuti pernyataan-pernyataan iman gereja yang dogmatis, karena dengan suatu cerita atau suatu kisah mereka dimungkinkan untuk memahami

dan menerima tradisi- tradisi iman Kristen sebagai miliki mereka sendiri. Terhadap katekismuskatekismus, khotbah-khotbah, nasi hat-nasihat dan peringatan-peringatan yang menjemukan dari aktivis-aktivis gereja, mereka menanggapinya dengan kisah. Inilah kisah milik mereka sendiri, dan kisah ini bagi mereka adalah kisah mengenai tindakan- tindakan penyelamatan Allah.

Memang dapat diajukan keberatan bahwa suatu cerita pada dirinya bukanlah teologi, sekalipun kisah ini merupakan kesaksian pribadi atau komunal. Namun demikian, saya berpendapat bahwa mereka sebenarnya telah melakukan suatu refleksi teologis yang kreatif (dan patut dipertimbangkan!) pada saat kejadian-kejadian itu diasimilasikan dengan tradisi Kristen ke dalam kisah- kisah. Lebih lanjut, kisah-kisah juga terbuka bagi refleksi kritis sebagaimana halnya dengan bentuk-bentuk pernyataan atau rumusan-rumusan teologis lainnya: kita masih dapat mempertanyakan penalarannya, ketepatannya, dan tafsiran-tafsiran yang terkandung di dalamnya. Dan, mereka juga selalu dapat menjawab dengan kisah yang lain.

Aspek keempat dari kisah di atas yang penting bagi identitas GMIT ialah yang berkaitan dengan peranan kekerabatan di dalam keluarga. Marga Oemana masuk ke dalam agama Kristen, lalu meninggalkannya, lalu akhirnya kembali lagi: sebagai satu keluarga. Di Timor, orang-orang yang seiman disebut dalam dua peristilahan: nonot a' knino dan halan pap mese. Istilah yang pertama dapat diterjemahkan dengan "marga yang suci", dan yang kedua dengan "berdamai bersama". Nonot a' knino muncul di dalam rumusan Pengakuan Iman Rasuli: "Aku percaya kepada... persekutuan orang kudus", namun nuansa pengertiannya berbeda bagi orang Timor. Di dalam ungkapan itu ada suatu pemahaman mengenai sebuah keluarga besar, namun keluarga besar yang hubungannya sudah disucikan dari dosa. Dan sehubungan dengan ini, makna dasar dari istilah "iman" di dalam konteks ini ialah keanggotaan seseorang di dalam keluarga (yang suci) ini. Sebagaimana halnya di dalam agama suku, yaitu bahwa keluarga mempunyai makna yang sakral (termasuk pemujaan nenek-moyang), maka sulit dibayangkan bahwa agama (dalam hal ini agama Kristen) dapat dipisahkan dari kesetiaan pada keluarga. Pieter Middelkoop, seorang penginjil pelopor di daerah Timor Tengah Selatan, cukup sadar akan fakta tersebut. Dalam menerjemahkan konsep-konsep Kristen ke dalam bahasa Timor, dia berusaha mempertahankan kontinuitas budaya lokal semaksimum mungkin. Dengan memilih kekerabatan sebagai metafor utama bagi hubungan sosial di dalam gereja, dia berhasil membuka pintu bagi orang-orang Timor untuk masuk ke dalam agama Kristen di dalam kelompok-kelompok keluarga besar tanpa mengakibatkan konflik dengan struktur kekeluargaan yang sudah ada.

Dalam kisah Pdt. Manu, keputusan-keputusan iman bukanlah permasalahan individual, melainkan permasalahan keluarga. Pelanggaran iman adalah pelanggaran keluarga, dan mereka yang berpindah agama seringkali tidak lagi diakui sebagai keluarga. Dosa juga bersifat kekeluargaan. "Dosa" adalah perlakuan buruk terhadap anggota "keluarga" lainnya atau

terhadap Allah, dan hanya dapat disucikan dengan pengakuan dosa ("naketi") yang dimohonkan kepada anggota yang dirugikan itu atau penggantinya. Jika satu anggota keluarga melakukan kesalahan, seluruh anggota keluarga memikul tanggungjawab: orang tua dari seorang anak perempuan yang hamil di luar nikah dapat saja tidak diperkenankan mengikuti Perjamuan Kudus; demikian pula, anak atau bayi dari sepasang suami-istri yang belum menikah di gereja tidak diperkenankan untuk dibaptis. Keselamatan dan kehidupan di seberang kematian juga dipahami sebagai pemeliharaan ikatan-ikatan keluarga. Jika di masa lalu ada kebiasaan menorehkan tatoo ke kulit tubuh yang maksudnya adalah untuk menjamin orang yang sudah ditatoo dengan simbol dari marganya itu akan diterima oleh para leluhurnya di dunia-seberangkematian, maka kini simbol Salib di kuburan atau di batu nisan juga sering dipahami sebagai hal yang sama fungsinya. Kuburan pada umumnya bertempat di pekarangan rumah keluarga, dan bukan hal yang aneh bila bunga- bunga yang tadinya menghiasi meja di kebaktian keluarga kemudian ditempatkan ke atas makam leluhur yang penting. vi[6] Bagi orang-orang Kristen Timor generasi pertama, mempunyai leluhur yang non-Kristen benar-benar merupakan persoalan. Suatu keselamatan yang memutuskan pertalian seseorang dengan para leluhurnya adalah hal yang tak terbayangkan. Penolakan yang dilakukan teologi Protestan terhadap usaha berkomunikasi dengan roh-roh para leluhur masih merupakan sumber ketegangan bagi sebagian jemaat GMIT. vii[7]

Anggota jemaat pedesaan pada umumnya terdiri dari beberapa kelompok keluarga besar yang saling terkait karena hubungan perkawinan. Itu sebabnya sangat sulit memisahkan persoalanpersoalan keluarga dari persoalan- persoalan gereja. Misalnya saja, seseorang memimpin ibadah "kumpulan kampung". Dari sudut pandang gereja, orang itu adalah penatua gereja (/anggota majelis) yang memimpin suatu rayon (/wilayah pelayanan), sedangkan dari sudut pandang keluarga, ia adalah seorang tua-tua adat yang memimpin ibadah rumpun keluarganya. Pada kenyataannya, inilah dua sudut pandang atas realitas yang satu dan sama. Mengikuti perspektif sosiologi agama Emile Durkheim, kita dapat menilai bahwa dominansi struktur-struktur keluarga di dalam gereja ini merupakan contoh dari pendewaan struktur sosial masyarakat. Tapi, bila anggota-anggota gereja sendiri yang berbicara dalam kategori-kategori ini, mereka mungkin akan menanggapi sebaliknya: "Yang kudus yang disosialisasikan". Salah satu kesimpulan utama dari lokakarya itu ialah bahwa sekalipun kepemimpinan GMIT sudah lama menyadari pentingnya peranan struktur-struktur keluarga dalam kehidupan gereja setempat, fakta ini belum pernah ditanggapi secara teologis dan dikaitkan ke dalam eklesiologi GMIT. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang peserta, "Kita membutuhkan konsep iman yang sosial". Perhatian terhadap hal ini bukan sekedar strategi penyesuaian gereja terhadap realitas-realitas sosial yang ada. Dipandang dari segi strategi, gereja sudah lama mendayagunakan struktur-struktur kuasa dari keluarga tradisional bagi kepentingankepentingannya. Kini, tantangan teologisnya ialah memahami bagaimana struktur-struktur ini dapat menjadi sarana atau wadah kasih karunia Allah, bagaimana struktur-struktur ini dapat ditransformasi (dari dalam) oleh kuasa kasih Kristus.

Dengan perspektif ini, mungkin sekarang saatnya untuk menjawab pertanyaan yang telah kita ajukan di muka: Apakah pusat dari kehidupan GMIT selaku gereja? Kita dapat menjawab: "Keluarga". Dengan jawab ini, kita sekaligus menjelaskan realitas sosial yang paling berpengaruh di masyarakat pedesaan dimana struktur- struktur kekerabatan masih sangat kuat; dan sekaligus kita dapat menunjukkan tantangan eklesiologis yang dihadapi GMIT: mengubah struktur-struktur ini menjadi Keluarga Allah. Sinode GMIT sudah mengadopsi metafor ini dari Efesus 2: 19 sebagai tema pelayanan mereka untuk masa kerja empat tahun, dan jemaat-jemaat GMIT menanggapinya dengan antusias. Dari berbagai citra mengenai Gereja yang terdapat dalam Perjanjian Baru (ada 96 buah menurut daftar Paul Minearviii[8] ), citra-citra yang mempunyai kekuatan adalah citra-citra yang mampu mempertalikan kehidupan baru dalam Kristus dengan realitas pengalaman sosial. Jadi, citra Gereja sebagai Keluarga Allah adalah citra yang tepat bagi GMIT. Dengan mengacu kembali pada diagram kita di muka ("Sumbersumber Identitas GMIT"), kita dapat mengatakan bahwa sebuah citra dari Tradisi Am telah disimpan sebagai harta terpendam dan menanti untuk digali dan ditemukan di dalam pekarangan GMIT.

KESIMPULAN: IDENTITAS DAN INTEGRITAS

Di awal uraian ini, saya telah menganjurkan bahwa pertanyaan-pertanyaan normatif dapat diajukan atau norma-norma dapat diterapkan baru sesudah kita memahami realitas sosialnya. Dalam rangka diskusi kita mengenai penelitian sumber-sumber identitas eklesial, kita telah menggunakan GMIT sebagai percontohan. Dari contoh- contoh tentang Salib dan kisah Pdt. Manu kita telah menyaksikan bagaimana aspek-aspek budaya dan sejarah lokal berinteraksi dengan tradisi yang diterima sehingga menghasilkan makna-makna lokal yang khas. Jika kita dapat mengaitkan semua potongan makna-makna ini satu sama lain, kita akan mempunyai sebuah peta mengenai identitas GMIT. Namun demikian, dalam kenyataannya, jaringan makna ini terlalu kompleks untuk dipahami oleh kita (kecuali dengan mata Allah). Hal yang terbaik yang masih mungkin kita lakukan ialah memperhatikan beberapa motif utama dan menyelidiki implikasi-implikasinya bagi kehidupan gereja. Keuntungan metode ini ialah kita mempunyai jaminan bahwa kita tidak "beromong kosong ke sana kemari", melainkan kita mendekati iman Kristen sebagaimana iman ini secara aktual diterima dan dipelihara oleh kelompok orang-orang percaya yang konkrit.

Kini kita menghadapi suatu rintangan: tak tersedia jalan langsung dari analisis menuju kritik teologis. Sesudah membahas beberapa aspek identitas GMIT kita tak dapat begitu saja

merumuskan kembali aspek-aspek ini sebagai doktrin-doktrin atau ajaran-ajaran gereja. Merumuskan aspek-aspek ini sebagai dogma gereja secara gegabah dapat melimpahkan otoritas pada konteks lokal yang justru asing bagi Perjanjian Baru. Cara ini sungguh-sungguh sangat berbahaya. Pengalaman Gereja Jerman ketika zaman Nazi membuktikan bahwa mudah sekali teologi berubah menjadi ideologi. Tapi di sisi lain, kita tak dapat begitu saja memulai kritik terhadap identitas GMIT dengan mendasarkan pada...apa? Alkitab, tentu saja, tapi penafsiran siapa yang akan kita gunakan? Tradisi Am, tentu saja, tapi Tradisi Am terdiri dari berbagai tradisi-tradisi lokal; jadi, tradisi lokal yang mana yang diberi hak untuk berbicara atas nama tradisi-tradisi lokal lainnya? Semakin kita sadar atas kehadiran pengaruh suatu konteks terhadap pandangan teologis, semakin sulit bagi kita dalam mengidentifikasi norma-norma yang mempunyai otoritas trans-kontekstual yang dengannya kita akan mengukur kesetiaan teologiteologi lokal tertentu. Singkatnya, bukankah kontekstualisasi akhirnya akan membawa kita ke relativisme?

Kita mungkin terpaksa menerima relativisme, seandainya satu-satunya alternatif yang ada ialah mempunyai teologi "buatan surga" (made in heaven) yang dengannya semua teologi di dunia ini dapat diukur ---setidak- tidaknya, inilah prinsip yang diajukan oleh kaum Fundamentalis. Tapi saya pikir masih ada alternatif lain. Untuk mengidentifikasi norma-norma itu, pertama- tama kita sendiri perlu bertanya: apa yang sebenarnya kita artikan dengan istilah "norma-norma" dalam kait annya dengan teologi-teologi lokal atau kontekstual? Jika kita menolak model otoriter yang diikuti oleh kaum Fundamentalis yang dengannya mereka mempunyai normanorma gereja yang (tampaknya) valid, obyektif, tegas, dan "dapat berlaku di semua tempat dan kondisi", apakah yang masih dapat kita gunakan?

Ide tentang "Identitas" telah kita gunakan untuk menjelaskan pemahaman-diri gereja dalam hubungannya dengan konteksnya. Ide ini perlu kita gunakan di sini sebagai kunci jawaban. Arti dari istilah "normatif" yang cocok dengan "identitas" ialah "integritas". Seseorang mempunyai integritas apabila perilakunya bersesuaian dengan prinsip-prinsip yang diyakininya dan apabila berbagai aspek dari kepribadiannya telah terjalin dalam satu kesatuan (kita juga menyebutnya sebagai "karakter"). Jika konsep ini kita analogikan ke gereja, kita dapat mengatakan bahwa gereja mempunyai integritas apabila (1) gereja mempraktekkan apa yang dikhotbahkannya, dan apabila (2) hal-hal yang dikhotbahkannya dipersatukan dalam jalinan makna yang konsisten. Sekali lagi saya ingin menggunakan GMIT sebagai contoh. GMIT mengetahui bahwa dirinya adalah gereja pedesaan dimana 90% anggota jemaatnya adalah para petani. Berdasarkan standar praxis, apakah pelayanan GMIT sungguh-sungguh memperhatikan kebutuhan- kebutuhan para petani? Berdasarkan standar konsistensi makna, apakah dalam pandangan teologis GMIT sudah termasuk sebuah "teologi pertanian"?

Dengan mempertimbangkan standar-standar ini kiranya jelas bahwa kita tak perlu mengabaikan pokok-pokok normatif; kita hanya ingin menegaskan bahwa norma-norma ini harus cocok

dengan konteks lokal dan bahwa norma- norma ini harus lahir dari pemahaman-diri gereja lokal itu sendiri. Kontekstualisasi teologi benar-benar mengandaikan kontekstualisasi norma-norma yang dengannya gereja mengukur dirinya sendiri. ix[9]

Kita belum terlepas dari permasalahan relativisme. "Kontekstualisasi norma-norma" adalah cara positif dalam merumuskan permasalahannya, tapi permasalahannya tetap tak beranjak. Dua hal yang ingin saya katakan sebagai penutup uraian ini. Pertama, semua norma-norma teologis pada dirinya bersifat "pengakuan". Jika teologi adalah "iman yang mencari pemahaman", kita tak dapat mengabaikan "iman" pada saat kita sudah berhasil menemukan "pemahaman". Bahkan pada saat kita dapat menunjuk kepada "Yang Mutlak", kita selalu menunjuk-Nya dari posisi kita "yang relatif". Ini berarti bahwa suatu pengakuan tak dapat dipisahkan dari si pengaku, bahkan sekalipun pengakuan itu sudah dihias dalam bahasa teologis yang serba pasti. Sekali lagi, "Aku" tidak dapat dicabut dari "peng-aku-an"-ku. Ini bukanlah persoalan baru bagi pokok kontektualisasi atau teologi operatif. Ini merupakan sifat dasar dari iman itu sendiri.

Hal kedua dan yang terakhir ialah bahwa, berhubung semua teologi kita merupakan "pengakuan", kita setidak- tidaknya dapat mendengarkan pengakuan-pengakuan kita satu sama lain. Berhubung Tradisi Am terdiri dari berbagai tradisi-tradisi lokal, Tradisi Am hanya akan menjadi relevan bagi kita apabila kita terlibat dalam dialog dengan tradisi-tradisi lain ini. Bilamana di masa lalu dialog tidak dimungkinkan karena para pesertanya tidak dipandang sederajat, tantangan yang ada sekarang ini tentunya tantangan yang berbeda. Dialog yang sejati hanya dimungkinkan apabila para pesertanya mengenal dan menghargai identitasnya sendiri. Dalam karangan ini saya berharap bahwa saya telah menunjukkan kekompleksan ---dan kekayaan--- yang dapat muncul dari penyelidikan terhadap identitas unik gereja tertentu. Proses ini baru saja dimulai. Namun dialog sejati juga membutuhkan keterbukaan kita untuk memahami identitas "peserta-peserta" dialog yang lain. Hal ini tak mungkin terjadi apabila kita masih menganggap bahwa tradisi yang sudah kita terima (misalnya, Calvinisme Belanda) adalah tradisi yang bebas-konteks dan normatif (bagi semua tradisi lainnya). Namun sehubungan dengan kesadaran kita tentang pentingnya suatu konteks, tradisi-tradisi ini perlu dipelajari secara baru sebagai teologi-teologi kontekstual pada konteksnya masing-masing. Orang-orang Kristen Indonesia akan mendapatkan kegunaan yang besar pada saat mereka mempelajari bagaimana budaya Belanda telah membentuk dan menyaring tradisi-tradisi teologis dan eklesial yang diwariskan kepada gereja-gereja Indonesia.

Tanpa kesadaran yang seimbang akan pentingnya suatu konteks, kita bagaikan "melihat dalam cermin suatu gambaran yang samar-samar"; dengan kesadaran akan pentingnya konteks kita dapat melihat satu sama lain "muka dengan muka" (I Kor 13:12). Melalui dialog sejati kita memperluas dan memperkaya Tradisi Am, bahkan kita juga akan lebih mengenal siapa diri kita dan dimana kita berada.

Eklesiologi - Visi Allah Untuk Gereja [Soft Cover]

Pengarang : David Cannistraci Ukuran Buku : 22,5x15 cm Isi : 268 hlm. Sudah terlalu lama, kita belum juga mengerti cara mengidentifikasi, menghargai, mendorong, serta membangun melalui pelbagai perbedaan kasih karunia perorangan dan kasih karunia kolektif yang kita miliki. Padahal, hal ini harus terjadi agar kebangunan rohani sepenuhnya terjadi dan kerajaan Kristus berdiri di bumi. Karya David Cannistraci sangat bagus. Ia menunjukkan kepada kita cara menemukan dan merangkul beranekaragaman anugerah yang kita miliki - dan bekerja sama sebagai satu kesatuan. Che Ahn, Senior Pastor, Harvest Rock Church. Pasadena, California Apabila Tubuh Kristus selalu "sehati dan sejiwa" selama ini, tentunya hal ini terjadi berkat pengaruh orang-orang seperti David Cannistraci. Eklesiologi Visi Allah untuk Gereja yang menghidupkan, mengilhami, menantang serta memberikan pencerahan ini secara luar biasa menerangi suatu teologi kasih karunia yang sangat alkitabiah. Ted Haggard, Senior PastorNew Life Church, Colorado Springs, Colorado Daftar Isi Bagian I Kasih Karunia Kolektif dan Perannya pada Masa Depan Anda 1. Pandangan Baru Terhadap Karunia Rohani Anda mengetahui soal pelbagai karunia dan kasih karunia pada tingkat perorangan. Kini pandanglah karunia rohani dengan pandangan yang sama sekali baru, dan bagaimana kita bisa lebih memahami visi Tuhan bagi setiap gereja, denominasi, jaringan pelayanan serta bangsa. 2. Kasih Karunia yang Melimpah-limpah Ada di Atas Mereka Semua Visi Tuhan bagi kelompok Anda dinyatakan-Nya melalui kasih karunia-Nya yang beranekaragam. Bagian ini merupakan tulisan pengantar mengenai pelbagai kasih karunia, tingkatan serta dimensi masing-masing. 3. Anggur Baru dalam Tandan-Tandan Kolektif Renungkan 10 tingkatan anugerah kolektif. Kesepuluhnya memperlihatkan kepada kita betapa besar kandungan kuasa Roh Kudus dalam "tandan-tandan kolektif" yang berbedabeda tersebut dalam revitalisasikunci penting lain untuk mengetahui visi Tuhan bagi gereja Anda. 4. Menurut Citra-Nya Melihat bagaimana kasih karunia Tuhan terlihat dalam ciptaan dan bagaimana kelompok-kelompok orang yang berbeda merupakan bukti lebih lanjut bahwa Tuhan menguatkan setiap kelompok untuk suatu

tujuan tertentu. Ciptaan mengungkapkan visi Tuhan yang sesungguhnya bagi mereka masing-masing. Bagian II Contoh-Contoh Kasih Karunia Kolektif dalam Alkitab 5. Satu Tubuh, Banyak Anggota Di sini disajikan tinjauan bermanfaat bagi kita mengenai ajaran Alkitab tentang Gereja sebagai Tubuh Kristus. Dengan memahami pelbagai pandangan Tuhan terhadap manusia, maka jalan menuju persatuan dan penggenapan visi Tuhan bagi kita masing-masing akan terbentuk. 6. Aset-Aset Kolektif Anda sudah sangat mengenal polanya: Tingkat kehadiran menurun, tak ada yang berhasil, dan visi tersebut tampaknya mati. Dengan menginventarisasi isi "gudang kelompok" Anda, Anda akan menemukan semua aset yang dibutuhkan untuk mewujudkan visi baru kelompok Anda. 7. Amanat Dua Belas Suku Israel Masih ingatkah Anda akan ke12 suku Israel? Setiap suku itu unik, tetapi semuanya bersatu membentuk suatu bangsa. Pelajaran apakah yang dapat ditarik oleh Gereja, "bangsa Israel yang baru," kini dari ke 12 suku tadi tentang visi Tuhan bagi kita, dan bagaimana kasih karunia dan persatuan kita dapat bekerja sama. 8. Yesus Berbicara kepada Gereja-Gereja Dengan menyimak semua pesan Kristus kepada ke tujuh jemaat di Asia, kita dapat meningkatkan kemampuan kita menunjukkan dengan tepat visi Tuhan bagi gereja kita. Berikut ini, ada kajian mengenai kasih karunia kolektif yang berisikan pelajaran-pelajaran praktis bagi gereja-gereja masa kini. Bagian III Membuat Kasih Karunia Kolektif Bermanfaat bagi Visi Tersebut 9. Menemukan Karunia Kolektif Kelompok Anda Menentukan apa visi Tuhan bagi gereja Anda menjadi lebih mudah apabila Anda telah menemukan karunia Tuhan yang diperuntukkan bagi gereja Anda. Peta yang ada di sini akan membawa Anda dari teori ke praktik, dengan menunjukkan ke tujuh tanda-tanda terpenting di dalam perjalanan mencari visi Tuhan yang sangat bermanfaat ini. 10. Menghindari Semua Perangkapnya Ada tujuh perangkap Iblis dalam rangka memikat gereja-gereja dan pelayanan-pelayanan yang perlu diwaspadai. 11. Bertumbuh dalam Kasih Karunia Meski Yesus bertalenta, Ia juga tumbuh dalam kasih karunia. Berikut ini tertulis hikmat tentang cara memupuk, melipatgandakan, mengelola serta mengukur kasih karunia yang Tuhan limpahkan atas kelompok Anda supaya Anda dapat terus menerus berjalan mendekati citra Yesus dan visinya bagi semua orang.
Eklesiologi berarti pemahaman tentang gereja. Dengan sederhana dan dalam bentuk populer buku ini memaparkan apa dan bagaimana pemahaman yang dimiliki gereja tentang dirinya sendiri sepanjang

sejarahnya, dalam dua bagian besar yakni: Sejarah Eklesiologi Umum dan Sejarah Eklesiologi Asia dan Indonesia. Buku ini juga memaparkan bagaimana gereja sedunia pada umumnya, di Asia dan di Indonesia pada khususnya, menjawab tantangan demi tantangan dengan merumuskan dan mengembangkan isi dan arah baru dari pemahaman dirinya, agar tetap aktual dan relevan dengan konteks di mana gereja itu berada.

SEJARAH KARISMATIK EKLESIOLOGI

Eklesiologi berasal dari bahasa Yunani yang artinya studi mengenai Gereja . Pada dasarnya Eklesiologi secara sistematis mempelajari asal-usul, ciri-ciri khusus dan perutusan Gereja. Suatu telaah berjudul Summa de Ecclesia yang ditulis oleh Yohanes dari Torquemada (13881468) menandai perkembangan Eklesiologi sebagai disiplin ilmu khusus yang selanjutnya menjadi sangat penting karena adanya perselisihan-perselisihan antara Geraja yang disebabkan oleh terjadinya reformasi dalam sejarah ke-Kristenan.

Tokoh-tokoh yang sangat berpengaruh dalam perkembangan Eklesiologi adalah Yves Congar (lahir tahun 1904), Avery Dulles (lahir 1918), Karl Rahner (1904-1984) dan Jean-Marie Roger Tillard (lahir 1927).

Kirimkan KESAKSIAN Anda Mengenai Artikel Ini !

Kirimkan PERTANYAAN Anda Mengenai Artikel Ini !

Informasi lain mengenai : SEJARAH KARISMATIK :


y

Dari Bangkok dan Manila Menuju Jakarta Kehadiran Pembaruan Karismatik Katolik pada tahun 1976 di Keuskupan Agung Jakarta tidak dapat dipisahkan dari jasa Alm. Mgr. Leo Soekoto SJ, Uskup Agung Jakarta waktu itu. Untuk menolong umat Katolik yang haus akan persekutuan doa dan dalam kerangka penggembalaan gerejawi, beliau mengundang dua orang pastor dari luar negeri datang ke Jakarta untuk memperkenalkan Pembaruan Karismatik Katolik kepada

para imam, biarawan dan biarawati serta tokoh-tokoh Gereja Katolik di Jakarta.Dua orang pastor tersebut adalah Pastor Paul O Brien SJ tokoh PKK dari USA yang berdomisili di Bangkok, dan Pastor Herber Schneider SJ yang waktu itu termasuk sebagai pencetus, pengasuh dan moderator dari sebuah komunitas karismatik di Manila. [lebih lengkap ...] Buah Karismatik Setiap orang yang turut serta didalam Gerakan Pembaruan Karismatik Katolik akan mengalami banyak hal. Seperti Yesus mengingatkan kita, Setiap pohon yang baik, pasti menghasilkan buah-buah yang baik (Mat 7:17) Buah yang baik yang dihasilkan misalnya: [lebih lengkap ...] DEFINISI KARISMATIK Kamus Teologi mendefinisikan kata Karismatik sebagai berikut:Dalam arti umum, semua umat Kristiani yang dipanggil dan menerima rahmat Allah disebut karismatis. Secara lebih khusus sebutan ini dipakai untuk orang-orang yang menerima karunia khusus Roh Kudus, seperti misalnya hidup selibat (1Kor 7:7), kuasa membuat mukjizat, membedakan roh dan berbahasa roh (1 Kor:12:10) [lebih lengkap ...] Pengertian Yang Harus Dihindari Baptisan dalam Roh Kudus Adalah salah besar berpendapat bahwa setiap orang Katolik yang sudah dibaptis dan menerima sakramen penguatan secara sah belum menerima Roh Kudus justru hanya karena dia tidak memperlihatkan tanda-tanda yang jelas dan hidupnya yang dihayati dengan kuasa Roh Kudus. Dalam teologi Katolik diajarkan bahwa sakramen-sakramen itu secara obyektifberhasil guna, karena sakramen-sakramen itu tindakan Kristus sendiri. Karena itu baptisan ulang sakramental tidak pemah dianjurkan. Sebaliknya melalui pewartaan Injil yang segar setiap orang Katolik ditantang untuk bertobat kembali, menyesal dan membuka dirinya atas cara yang baru untuk menerima karunia Roh Kudus, yang adalah Tuhan dan Pemberi hidup dan jika diundang secara pribadi, akan mengubah hidup lama seseorang menjadi hidup baru. Dan dengan menghayati hidup yang baru, menjadi saksi Yesus Kristus yang telah bangkit. [lebih lengkap ...] Pentingnya Karismatik Pengrusakan nilai-nilai moral dan kehampaan kehidupan rohani yang terjadi saat ini di dunia membutuhkan perangkat-perangkat rohani yang telah disediakan oleh Tuhan. Saatsaat inilah dunia kita membutuhkan Roh Kudus seperti saat Pentakosta pertama kali terjadi kepada murid-murid Yesus. [lebih lengkap ...] Permulaan Karismatik di Indonesia Pada bulan mei 1976, Pastor O Brien SJ dari Bangkok dan Pastor H. Schneider SJ dari Manila diundang oleh Bapak Uskup Agung Jakarta (Alm.) Mgr Leo Soekoto SJ. Mereka memberikan ceramah dan seminar untuk para biarawan dan kaum awam. Kira-kira 150 orang telah mengikuti seminar yang pertama itu dalam bahasa Inggris. [lebih lengkap ...] Praktek Yang Harus Dihindari Ekumenisme Pembaruan Karismatik adalah kekuatan ekumenis yang besar karena sejumlah besar orang-orang Protestan karismatik dan orang-orang Pentakosta klasik berbagi dengan orang-orang karismatik Katolik pengalaman yang sama. Namun demikian, pengalaman masing-masing berakar dalam kebudayaan gerejaninya. Karena

itu, dalam persekutuan-persekutuan doa ekumenis kewaspadaan harus diperhatikan untuk melindungi kemumian iman dan tradisi masing-masing anggota. [lebih lengkap ...] SEJARAH KARISMATIK DI DUNIA Menurut catatan sejarah, pekerjaan besar Roh Kudus terus berlanjut sejak hari Pentakosta. Beberapa orang kudus secara tegas mengalami bimbingan Roh Kudus, seperti Santo Antonius dari Mesir, sampai kepada zaman Santo Benardus. [lebih lengkap ...] Tujuan Pokok dari Pembaruan Karismatik Tujuan pokok dari Pembaruan Karismatik Katolik adalah : Menolong orang-orang Katolik mengalami suatu Baptisan dalam Roh Kudus . [lebih lengkap ...] KANONIK PEMBAHARUAN KARISMATIK KATOLIK Pembaharuan Karismatik Katolik secara resmi telah diakui Pimpinan Tertinggi Gereja Katolik di Vatican; dinyatakan dalam Dekrit Pontificium Pro Laicis ( Dewan Kepausan Untuk Kaum Awam ) nomor 1563/AIC-73 tertanggal 14 September 1993, berdasarkan bunyi Kanon no.116 yang membicarakan tentang: Badan Hukum Publik yang didirikan oleh Otoritas Gerejawi yang berwenang memberikan kepercayaan atas nama Gereja, kepada Lembaga Pembaharuan Karismatik Katolik dengan personalitasnya, demi kesejahteraan umum dalam batas-batas yang ditentukan dan menurut Norma Ketentuan Hukum. [lebih lengkap ...] PERHIMPUNAN SHEKINAH BINA INSANI Di dalam Pembaruan Karismatik Katolik Indonesia, ada suatu Pusat Pelayanan yang bertempat di Jakarta, di gedung Shekinah. Letaknya di kompleks Duta Merlin, Jalan Gajah Mada 3 - 5, blok B 41 - 43. Yang menjadi pemilik dan pengelola gedung ini adalah Perhimpunan Shekinah Bina Insani dimana Koordinator BPN PKKI dan Koordinator BPK PKK KAJ ex officio duduk sebagai Dewan Pembina. Siapakah para pelayan yang berkarya di dalam Perhimpunan ini? [lebih lengkap ...]

i[1]. Lewis Mudge dan James Poling (eds.), Formation and Reflection: The Promise of Practical Theology (Philadelphia: Fortress Press, 1987), p. xxxii. ii[2]. Analisis seksama atas berbagai eklesiologi yang telah dikembangkan oleh komunitaskomunitas Kristen yang mula-mula dapat disimak pada Raymond E. Brown, S.J., The Churches the Apostles Left Behind (New York: Paulist Press, 1984). iii[3]. Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures (New York: Basic Books, Geertz mengadaptasi konsep ini dari filsuf Gilbert Ryle. 1973), p.6.

iv[4]. Lih. Gustaf Aulen, Christus Victor, diterjemahkan A.G. Hebert (New York: Macmillan, 1969). v[5]. Ungkapan ini dipinjam dari Clifford Geertz, "Religion as a Cultural System", The Interpretation of Cultures, scn. 3, p. 90, 119. vi[6]. Meja digunakan oleh pelayan kebaktian untuk meletakkan Kitab Suci, buku nyanyian, dan piring kolekte. Jadi, meja ini semacam altar. Bunga penghias yang ada di meja itu dianggap "disucikan" sebagai "korban sajian" bagi arwah leluhur dan dibawa kekuburan sebagai tanda bahwa mereka "ikut" dalam kebaktian. vii[7]. Lih. Kasus "Doa Berhala" dalam Studi Kasus Pastoral II: NTT, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990). viii[8]. Lih. Paul Minear, Images of the Church in the New Testament (London: 1961), p.268. Lutterworth,

ix[9]. Diskusi Robert Schreiter tentang "Kriteria bagi Identitas Kristen" sejajar dengan permasalahan kita di sini. Lih. bukunya: Constructing Local Theologies (London: SCM, 1985), p. 117-121.

Anda mungkin juga menyukai