Anda di halaman 1dari 6

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA

Nama: Ayub Bagus Setyosakti, Reza Hariyoga, & Thea Friscylia Novenia
Mata kuliah: Liturgi Baptis, Sidi, dan Perjamuan Kudus
Dosen pengampu: Dr. Rasid Rachman
Tugas: Presentasi Kelompok 8 (11 November 2022)
DILAKUKAN BERSAMA DAN SECARA UTUH
Membedah Pelaksanaan Katekisasi dan Peneguhan Sidi bagi Orang dengan Disabilitas
Intelektual

Pendahuluan
Orang dengan Disabilitas Intelektual (ODDI) tidak mendapat tempat dalam katekisasi
dan peneguhan sidi yang kemudian berdampak juga pada larangan untuk mengikuti
Sakramen Perjamuan dan pelayanan lainnya di gereja. ODDI tidak dapat terlibat dalam
berbagai ritus tersebut karena syarat mengikuti katekisasi yang membebani mereka karena
sarat akan unsur-unsur perkembangan kognitif saja. Makalah ini membahas tentang
katekisasi dan sidi di Indonesia yang belum sepenuhnya berpihak pada ODDI. Pembahasan
tentang disabilitas intelektual menjadi pembuka makalah ini dan dilanjutkan dengan
pandangan tentang hubungan gereja dan ODDI. Makalah ini secara terbatas menekankan
hubungan gereja dan ODDI dalam kaitannya dengan katekisasi dengan peneguhan sidi.
Untuk itu, penjelasan tentang katekisasi dan sidi serta penerapannya di GPIB dan GKST
menjadi bagian berikutnya dari makalah ini. Makalah ini ditutup dengan argumen bahwa
katekisasi dan peneguhan sidi perlu memerhatikan aspek afektif, psikomotorik, dan kognitif
secara seimbang agar ODDI dapat turut berpartisipasi di dalamnya serta terlibat dalam
pelayanan gereja setelahnya.

Pengertian Disabilitas Intelektual


Disabilitas intelektual adalah kondisi seseorang yang mengalami gangguan dalam
aspek intelektual atau hambatan keterampilan adaptif (misalnya hambatan dalam komunikasi,
kemandirian, keterampilan akademik, dll), yang terjadi sejak masa pertumbuhan anak.1
Dalam aspek intelektual, ODDI menghadapi keterbatasan dalam memahami informasi
abstrak (misalnya kesulitan dalam memahami konsep warna, huruf, hari, dll). Sedangkan,
dalam aspek keterampilan adaptif, ODDI akan kesulitan untuk menguasai berbagai
keterampilan yang seharusnya dikuasai oleh orang seusianya, misalnya anak di usia lima

1
Riksma Nurakhmi dkk, Menemukenali dan Menstimulasi Anak Penyandang Disabilitas: Panduan
Dasar untuk Orang Tua, Keluarga, dan Pendamping (Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan
Perlindungan Anak, 2019), 24.

1
2

tahun yang belum bisa menggunakan baju secara mandiri. ODDI juga menghadapi hambatan
fungsi adaptif lainnya, seperti keterampilan komunikasi, kemandirian di rumah atau sekolah,
dan hambatan keterlibatan sosial (kesulitan bermain dengan teman sebaya).2
ODDI berbeda dengan orang mengalami keterlambatan perkembangan. Biasanya,
orang dengan keterlambatan perkembangan mengalami keterlambatan hanya pada satu aspek
perkembangan. Misalnya, seorang anak berusia dua tahun dapat berjalan dengan baik,
berpakaian sendiri, mengerti ketika dia diperintahkan, tetapi anak itu masih belum bisa
berbicara. Jadi anak ini hanya mengalami keterlambatan bicara (expressive language
disorder) dan bukan disabilitas intelektual.3

Gereja dan ODDI


Isabella Novsima Sinulingga menyebutkan bahwa sudah ada kesadaran gereja di
lingkup global tentang orang dengan disabilitas.4 WCC dalam Sidang Raya ke-8 tahun 1998
di Zimbabwe meluncurkan Ecumenical Disability Advocates Network (EDAN) yang
bertujuan untuk menghadirkan gereja yang inklusif dengan membuka kesempatan bagi Orang
dengan disabilitas untuk berpartisipasi aktif dalam gereja. EDAN menjalankan program-
programnya dengan kesadaran bahwa semua orang tercipta menurut gambar Allah, baik
dengan atau tanpa disabilitas. Kesadaran itu menjadi dasar pentingnya gereja menjadi
komunitas iman yang inklusif yang menghargai dan memberdayakan karunia yang dimiliki
oleh semua orang. Artinya, orang dengan disabilitas juga memiliki tempat untuk
berpartisipasi dalam pelayanan gereja dan gereja terbuka bagi semua orang (A church of all
and for all). Sayangnya, kesadaran global yang digemakan oleh EDAN tidak sepenuhnya
sampai pada gereja-gereja lokal di Indonesia. Orang dengan disabilitas di Indonesia masih
dianggap sebagai objek pengasihan dan tidak mendapat tempat untuk berpartisipasi dalam
kegiatan, bahkan pendapat mereka tidak diperhitungkan dalam pengambilan keputusan di
gereja.
Erik W. Carter menyebutkan bahwa gereja pertama-tama perlu menyatakan kesediaan
untuk mengundang ODDI terlibat dalam pelayanan dan memberi ruang bagi mereka untuk
berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, termasuk ibadah dan sakramen.5 Carter menyebutkan

2
Riksma, Menemukenali dan Menstimulasi Anak…, 24-5.
3
Riksma, Menemukenali dan Menstimulasi Anak…, 25.
4
Isabella Novsima Sinulingga, “Disabilitas sebagai Objek Ilmu Pengetahuan: Retardasi Mental dalam
Peziarahan Normalisme,” dalam Dari Disabilitas ke Penebusan: Potret Pemikiran Teolog-Teolog Muda
Indonesia, peny. Ronald Arulangi dkk. (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 22-23.
5
Erik W. Carter, Including People with Disabilities in Faith Communities (Baltimore: Paul H. Brookes
Publishing, 2016, cetakan ke-4),
3

bahwa gereja dapat terlebih dahulu menyiapkan diri untuk melakukan usaha dan persiapan
yang lebih besar untuk dapat menjadi komunitas yang inklusif bagi ODDI. Gereja sebagai
komunitas juga dapat mengembangkan pemahaman bahwa ODDI tidak selalu harus dilayani
dan dibantu dalam segala hal. ODDI juga memiliki karunia dan bakat untuk diberdayakan
dalam pelayanan gereja, sehingga gereja sebagai komunitas yang inklusif semestinya
memberi ruang bagi ODDI untuk terlibat dalam pelayanan sesuai karunia dan bakat mereka.
Sejalan dengan pendapat Carter, Nancy Eiesland dalam The Disabled God, menyatakan
gereja dan pelayanan di dalamnya merupakan bagian dari seluruh umat termasuk orang
dengan disabilitas.6 Eiesland menyatakan bahwa orang-orang dengan disabilitas harus
mendapatkan akses ke kehidupan simbolik gereja, seperti katekisasi dan Perjamuan Kudus.
Berdasarkan hal tersebut, ODDI sebagai bagian dari umat semestinya juga dapat mengikuti
katekisasi, peneguhan sidi dan Perjamuan Kudus di gereja.

Peneguhan Sidi
Christiaan de Jonge menyatakan bahwa peneguhan Sidi merupakan istilah yang lazim
dipakai oleh gereja-gereja Protestan di Indonesia yang berlatar belakang Belanda untuk
menunjuk kepada saat orang dilantik sebagai bagian anggota gereja dalam arti penuh.7 Orang
yang telah melaksanakan Peneguhan Sidi, boleh mengambil bagian dalam pelaksanaan
Sakramen Perjamuan Kudus dan dapat berpartisipasi dalam pemilihan para pejabat gereja.
Berbeda dengan gereja berlatar belakang Belanda, gereja-gereja di Indonesia yang berlatar
belakang Jerman memakai istilah “konfirmasi” yang berarti peneguhan atau penguatan yang
hadir dalam garis lurus dengan sakramen peneguhan atau penguatan di Gereja Katolik Roma.
Jonge melanjutkan bahwa sejarah sakramen konfirmasi terdapat dalam upacara baptisan
pada zaman gereja kuno yang terdiri dari rentetan tindakan liturgis.8 Awalnya seluruh upacara
baptisan dilayankan oleh Uskup, namun kenyataan yang terjadi semakin hari jumlah anggota
gereja terus bertambah. Peningkatan jumlah anggota di gereja menjadikan upacara baptisan
diserahkan kepada imam-imam biasa. Pelaksanaan upacara baptisan terus berkembang dan
mengalami perubahan, sehingga menghadirkan pemisahan. Pertama-tama dilakukan baptisan
(penyelaman, pembasuhan) yang dilayankan oleh imam. Kemudian, diadakan pengurapan
dengan Roh Kudus yang tetap dilaksanakan oleh para uskup. Pada perkembangannya dari
abad ke-4 hingga abad ke-12 pemisahan yang dilakukan dalam upacara baptisan dan

6
Nancy L. Eiesland, The Disabled God (USA: Abingdon Press, 1994), 20.
7
Christiaan de Jonge, Apa Itu Calvinisme? (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2020), 236.
8
de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 237.
4

pengurapan menjadi bagian dari 2 sakramen berbeda di Gereja Katolik maupun Gereja
Ortodoks.
Pada perkembangannya hadir tokoh Martin Luther, seorang reformator yang menolak
konfirmasi sebagai sakramen yang terpisah dengan baptisan, sebab baptisan menandai, baik
pengampunan dosa maupun pemberian Roh Kudus.9 Melalui penolakannya, ia menetapkan
konfirmasi Protestan dengan bentuk konkret, seperti anak-anak perlu menyelesaikan
pengajaran agama agar dibawa ke gereja, sehingga dapat diperkenalkan kepada jemaat dan
pengetahuan yang telah mereka dapatkan dari pengajaran pun diuji melalui pertanyaan-
pertanyaan. Barulah setelah dinyatakan lulus, maka ditumpangkan tangan di atas kepala
mereka yang disertai doa permohonan Roh Kudus. Prosesi tersebut merupakan bagian dari
peneguhan sebagai warga jemaat secara penuh.
Pemahamanan mengenai perlunya pengajaran tidak hanya hadir dari Luther, namun
Calvin pun menekankan perlunya didikan iman. Calvin merancangkan mengenai suatu
kebiasaan di gereja Protestan dengan meneguhkan anggota-anggota sidi baru setahun sekali
(biasanya pada hari Minggu Palma, sebelum Jumat Agung), menurut Calvin anak-anak dapat
diterima sebagai peserta Perjamuan Kudus setiap kali sakramen itu dilayangkan, yaitu empat
kali setahun.10 Gereja Reformasi Belanda mengembangkan rancangan Calvin dalam
ketetapan sinode-sinode mengenai syarat yang boleh ikut serta dalam Perjamuan Kudus, yaitu
mereka yang mengaku iman di depan pendeta, majelis gereja, dan jemaat. Oleh karena itu,
peneguhan sidi menjadi bentuk penerimaan seseorang sebagai anggota jemaat secara penuh.

Katekisasi dan Peneguhan Sidi bagi ODDI: Contoh Situasi GKST dan GPIB
Susana Pittria Sinepa menjelaskan dasar dan tujuan katekisasi di Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST).11 Ia mengutip pasal 53 Tata Gereja GKST menyebutkan bahwa
katekisasi adalah “pengajaran iman dan pengajaran gerejawi dalam pokok-pokok iman
kristiani untuk mempersiapkan katekisan bagi anggota sidi yang memahami dan
melaksanakan tugas panggilannya dalam kehidupan secara utuh”. Berdasarkan pasal tersebut,
Sinepa menyebutkan bahwa katekisasi adalah syarat untuk diteguhkan sidi dan kemudian ikut
terlibat dalam kehidupan secara utuh, salah satunya diwujudkan dalam keikutsertaan dalam
Sakramen Perjamuan. Materi-materi dalam bahan ajar katekisasi di GKST membahas
hubungan antara manusia dan Allah, manusia dengan sesama (termasuk keluarga), dan

9
de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 238.
10
de Jonge, Apa Itu Calvinisme?, 239.
11
Susana Pittria Sinepa, “Pendidikan Katekisasi bagi Kaum Difabel Mental di Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST) Shalom Kele’i,” (skripsi S.Si. Teol., Universitas Kristen Duta Wacana, 2013), 5.
5

manusia dengan alam. Materi-materi tersebut diperluas dan dibagikan dalam 20 pertemuan
dan di setiap pertemuan, para katekisan diminta menjawab pertanyaan dari pelajaran yang
dibagikan.
GPIB dalam Buku III – Ketetapan Nomor III dan Nomor VII tentang Naskah PKUPPG
dan Naskah Kurikulum menyebutkan bahwa katekisasi di GPIB mengarah pada upaya
mendidik warga gereja agar menjadi subyek yang hadir dalam kehidupan masyarakat.12
Katekisasi ditempatkan di antara pendidikan agama Kristen (PAK) bagi anak dan remaja
dengan PAK bagi pemuda. Materi katekisasi di GPIB mencakup pengakuan iman, Alkitab,
Doa, dan Sakramen. Katekisasi diteguhkan dalam peneguhan sidi yang menjadi tanda
pengambil-alihan janji baptisan dari orang tua dan kedewasaan katekisan untuk mengambil
bagian dalam Sakramen Perjamuan serta ambil bagian dalam pelayanan gereja dan
masyarakat.
Dari dua contoh pemahaman tentang katekisasi tersebut, kita dapat melihat bahwa
secara umum katekisasi masih dipandang hanya menjadi syarat untuk mengikuti Sakramen
Perjamuan dan bahan ajar yang masih dipakai dengan melihat aspek kognitif katekisan.
Katekisasi yang bermuara pada peneguhan sidi hanya dimaknai sebagai pengajaran untuk
perkembangan kognitif saja karena hanya mempersoalkan segala sesuatu yang berkaitan
dengan hafalan dan pengetahuan saja. Sinepa menyebutkan bahwa jika metode pengajaran
katekisasi hanya terfokus pada aspek kognitif dan mengabaikan aspek afektif – dan mungkin
psikomotorik –, maka materi pendidikannya menjadi kurang relevan untuk ODDI.13 Sinepa
mengutip Sutjihati Somantri menyebutkan ada beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa
ODDI merespons afektif dengan cara yang sama seperti orang tanpa disabilitas intelektual.
Mereka mungkin membutuhkan sedikit lebih lama secara kognitif daripada orang tanpa
disabilitas intelektual, tetapi mereka dapat mengerjakan setiap tes yang diberikan.

Penutup
Berdasarkan teori dan contoh situasi di GKST serta GPIB, kami berpendapat bahwa
ODDI layak mendapat tempat untuk mengikuti katekisasi, peneguhan sidi, Sakramen
Perjamuan, dan beragam ritus serta kegiatan lainnya di gereja. Kami mengusulkan agar gereja
dapat memerhatikan aspek afektif dan psikomotorik dalam pelaksanaan katekisasi, bukan
hanya bagi ODDI, melainkan bagi semua orang tanpa pembedaan di dalamnya. Penekanan
pada aspek kognitif hanya akan menimbulkan diskriminasi bagi ODDI yang tentunya tidak
12
GPIB, Buku III – Ketetapan Nomor III dan Nomor VII tentang Naskah PKUPPG dan Naskah
Kurikulum (Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2021), 131.
13
Sinepa, “Pendidikan Katekisasi bagi Kaum Difabel …”, 6.
6

selaras dengan situasi ideal yang menempatkan gereja sebagai komunitas yang inklusif. Lebih
lanjut, kami berpendapat pemisahan kelas katekisasi bagi ODDI bukanlah solusi yang tepat
karena dapat membuat jurang pemisah yang jelas antara ODDI dan orang tanpa disabilitas
intelektual. Jurang pemisah tersebut dapat menghasilkan pengalaman tidak diterima dan
dijadikan objek pengasihan dalam diri ODDI. ODDI bukanlah objek pengasihan yang perlu
diberikan tempat terpisah dari orang-orang di sekitarnya, justru mereka layak ditempatkan di
tengah-tengah orang lain dalam partisipasinya dengan bakat dan karunia yang dimiliki.
Dengan demikian, gereja sebagai komunitas tidak menjadi ruang yang menakutkan bagi atau
menjadi ruang pengasihan bagi ODDI, melainkan menjadi ruang aman dan nyaman bagi
ODDI untuk mengembangkan karunianya.
Daftar Pustaka
Buku
Carter, Erik W. Including People with Disabilities in Faith Communities. Baltimore: Paul H.
Brookes Publishing, 2016, cetakan ke-4.
Eiesland, Nancy L. The Disabled God. USA: Abingdon Press, 1994.
Gaventa, William C. Disability and Spirituality: Recovering Wholeness. Waco, Texas: Baylor
University Press, 2018.
GPIB. Buku III – Ketetapan Nomor III dan Nomor VII tentang Naskah PKUPPG dan Naskah
Kurikulum. Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2021.
Jonge, Christiaan de. Apa itu Calvinisme?. Jakarta: Gunung Mulia, 2020, cetakan ke-10.
Nurakhmi, Riksma dkk. Menemukenali dan Menstimulasi Anak Penyandang Disabilitas:
Panduan Dasar untuk Orang Tua, Keluarga, dan Pendamping. Jakarta: Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, 2019.
Sinulingga, Isabella Novsima. “Disabilitas sebagai Objek Ilmu Pengetahuan: Retardasi
Mental dalam Peziarahan Normalisme.” Dalam Dari Disabilitas ke Penebusan:
Potret Pemikiran Teolog-Teolog Muda Indonesia, peny. Ronald Arulangi dkk., 1-23.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.
Sinepa, Susana Pittria. “Pendidikan Katekisasi bagi Kaum Difabel Mental di Gereja Kristen
Sulawesi Tengah (GKST) Shalom Kele’i.” Skripsi S.Si. Teol., Universitas Kristen
Duta Wacana, 2013.

Anda mungkin juga menyukai