Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH KELOMPOK 12

PEKABARAN INJIL DI KALIMANTAN


SEJARAH GEREJA INDONESIA B

Dosen Pengampu : Pdt. Izak Lattu Ph.D


Disusun oleh kelompok 12 :

Dewi Mersiani Liu_712022065


Ranlysera T. G Saetban_712022083
Yosita Bana_712022110
Indah Prety Panjaitan_712022151

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA
SALATIGA
2023

1
LATAR BELAKANG

Pekabaran Injil yang berlangsung di Kalimantan tidak serta merta terlepas oleh

persoalan yang tidak jauh berbeda dengan Pekabaran Injil yang ada di wilayah Indonesia

lainnya seperti mempertahanan kebudayaan. Pada abad ke-19 adalah masa dimana orang-

orang Dayak mengenal Kekristenan, karena pada saat itu mereka sama sekali belum pernah

bergaul dengan orang-orang Eropa bahkan agama Kristen masih sangat baru bagi mereka.

Kebanyakan dari mereka masih memegang agama suku yang disebut agama Kaharingan dan

di setiap kampung ada seorang kepala adat yang terus mempertahankan adat dan agama suku

nenek moyang mereka. Oleh karena Kekristenan menjadi sesuatu yang baru bagi mereka,

tahun 1834-1836 para Zending melakukan pendekatan dengan mengirim utusan-utusan RMG

dan melakukan berbagai cara yang cukup mengesankan dengan menyesuaikan pola

kehidupan mereka dengan masyarakat-masyarakat Dayak dan beberapa orang kepala suku

masyarakat Dayak pun sudah dibaptis.

Meskipun secara lambat Injil mulai masuk dan perlahan-lahan tersebar pada

masyarakat Dayak. Namun, usaha mengesankan yang di lakukan Zendeling pada Pekabaran

Injil pertama tidak membuahkan hasil yang baik dan tidak sesuai ekspetasi mereka, memang

para Zending melakukan pendekatan yang begitu erat dengan masyarakat Dayak tetapi terjadi

pemberontakan yang harus menempuh jalur peperangan yang pada saat itu disebut perang

Hidayat tahun 1859 yang menewaskan 9 orang Zendeling. Setelah perang Hidayat pada tahun

1930an pemikiran dan sikap para Zending terhadap agama suku di Kalimantan menjadi

positif sehingga para Zending meninjau bahwa gereja memerlukan pengetahuan yang

mendalam mengenai agama suku di Kalimantan.

2
ISI

A. Keadaan agama masyarakat Kalimantan Selatan sebelum Pekabaran Injil

Kehidupan di Kalimantan selatan sebelum Pekabaran Injil mereka hidup terpencil

dan berpegang pada agama suku mereka yang disebut agama Kaharingan. Kata kaharingan

berasal dari bahasa Sangiang dari akar kata “Haring” yang berarti “hidup” atau kehidupan.

Kaharingan berawalan “Ka” dan akhiran “An”. Jadi kata Kaharingan merupakan sesuatu

yang menjadi sumber kehidupan atau sumber segala hidup. Agama Kaharingan adalah agama

Animisme yang tidak memiliki kepercayaan kepada Tuhan. Biasanya orang Dayak Ngaju

menyebutnya kepercayaan Tato-hiang (nenek moyang,leluhur), kepercayaan huran (kuno)

atau kepercayaan hello (dulu). 1

Di dalam ajaran agama Kaharingan banyak hal yang di dapat baik itu filsafat, etika,

ritual,dan nilai-nilai yang menjadi bekal bagi penerus generasi agama Kaharingan agar agama

tersebut tetap bertahan dalam menghadapi tantangan global. Masyarakat Kalimantan Selatan

belum bergaul dengan orang-orang Eropa berabad-abad lamanya, seperti orang-orang

Minahasa dan agama Kristen bagi mereka masih baru sama sekali tetapi karena padagang-

pedagang dari pantai datang membeli hasil dari bumi dan menjual barang-barang dari mereka

sampai ke hulu sungai maka pengaruh Islam saat itu cukup besar. Masyarakat Dayak-Ngaju

terbagi atas orang merdeka dan budak (suku Maanyan tidak mengenal perbudakan). Di setiap

kampung ada seorang kepala yang disegani karena mempertahankan adat dan agama nenek

moyang. Setiap kampung berdiri sendiri, dalam abad ke-19 tidak ada kesatuan politis yang

lebih besar di antara orang-orang Dayak.

1
Jurnal agama Hindu Kaharingan di Kota Palangkaraya Kalimantan Tengah, Wakhid
Sugiyarto.
3
Kekristenan di Kalimantan Selatan dimulai Pada abad ke-19 utusan-utusan RMG

datang ke Kalimatan Selatan karena tertarik dengan laporan yang di sampaikan pendeta

Medhurst yang pada saat itu ia bekerja di kalangan orang-orang Tionghoa di Batavia dan

RMG mengirim dua orang Zendeling pada tahun 1834 dan pada tahun 1836 dikirim lagi

empat orang lain. Dari tahun 1834-1857 utusan-utusan RMG bertambah banyak jumlah

mereka, namun banyak dari mereka meninggal dunia dan harus meninggalkan pekerjaan

mereka karena alasan kesehatan. Utusan-utusan RMG yang tertarik kepada Kalimantan

Selatan harus melewati kesulitan dari pemerintah Hindia-Belanda. Pemerintah tidak

menyetujui utusan-utusan RMG yang datang itu bukan warga negara Belanda sehingga

orang-orang Belanda merasa kuatir kalau mereka diperalat. Oleh karena itu para utusan RMG

harus menunggu izin untuk bekerja di Batavia selama berbulan-bulan bahkan sampai setahun.

Pada tahun 1835 setelah mereka mendapat izin dan lolos dari pemeriksaan pemerintah,

Barnstein adalah utusan pertama yang dapat pergi ke Kalimantan Selatan dan ia melakukan

perjalanan yang begitu jauh sampai akhirnya Barnstein memilih Banjarmasin sebagai tempat

untuk Pekabaran Injil. Barnstein menetap di Banjarmasin dan mulai melayani orang-orang

Kristen disitu yaitu orang-orang Eropa dan orang-orang Indonesia dari daerah yang lain.

Meskipun apa yang dilakukan oleh Barnstein adalah hal yang baik namun orang-orang

Eropa tidak suka akan hal itu bahkan menolak pemberitaan firman. Pada tahun 1838

Barnstein bersama dengan teman-temannya mereka mendirikan pos p.I yang pertama di

tempat yang letaknya 40 km di sebelah barat laut Banjarmasin, di wilayah sungai Kapuas.

Tahun-tahun kemudian mereka mendirikan lagi beberapa pos p.I di Kapuas. Pembangunan

pos p.I ini berjalan cukup baik dan sedikit terjamin karena daerah ini merupakan lingkungan

yang termasuk dalam pengaruh Belanda. Metote p.I di Kalimantan yang dilakukan oleh para

Zendeling yaitu dalam tahun-tahun pertama para Zendeling berusaha untuk mempengaruhi

orang-orang Dayak dan mereka menetap di sebuah kampung dan mereka langsung

4
mendirikan sekolah dan mulai mengadakan kebaktian-kebaktian. Para Zendeling sedapat

mungkin menyesuikan diri dengan pola kehidupan masyarakat Dayak. Bahkan dalam setiap

kegiatan mereka menggunakan bahasa Dayak. Para Zendeling juga mencoba mengikat

persahabatan dengan para kepala sampai melakukan upacara angkat saudara dengan tukar

darah.

Harapan dari para Zendeling adalah supaya kepala-kepala itu masuk Kristen, lalu rakyat

akan masuk dengan sendirinya. Pemerintah bahkan melarang diadakan upacara agama suku

pada hari minggu supaya kebaktian Kristen tidak terganggu. Pendekatan yang dilakukan para

Zendeling ternyata kurang berhasil, mereka menilai daya tahan agama dan kebudayaan

Dayak terlalu rendah, dan mereka juga kurang memahami kedudukan para kepala. Sehingga

solusi yang dilakukan Zendeling adalah memilih kepala suku yang baru untuk kembali

memimpin mereka karena beberapa orang kepala suku telah dibaptis sehingga para Zendeling

boleh menetap di tengah-tengah masyarakat Dayak dan mereka dibiarkan mengabarkan Injil,

tetapi mereka tidak diizinkan membawa perubahan dalam pola kehidupan yang diwarisi dari

nenek moyang.

Oleh karena itu Zendeling berusaha untuk membuat orang Dayak menetap di satu tempat,

karena mereka merasa bahwa apa yang dilakukan Zendeling sebagai suatu paksaan maka

akhirnya tidak berhasil. Selain menempuh cara yang pertama dan keadaan yang tidak

memungkinkan para Zendeling mencoba memakai metode yang lain. Kalau masyarakat suku

Dayak tidak mau mengakui wibawa mereka dan tidak bersedia mendengarkan Injil, apalagi

menerima Injil. Akhir tahun 1843 para Zendeling RMG mulai menebus orang-orang yang

menjadi budak karena soal hutang. Orang-orang ini atau para “Pandeling” menjadi milik

Zendeling, tetapi orang-orang ini diberi kesempatan untuk mengumpulkan uang dengan cara

bekerja bagi Zendeling, dan bila uangnya sudah cukup ia dapat menebus dirinya. Para

Pandeling tidak dipaksa masuk Kristen, tetapi diwajibkan untuk mengikuti kebaktian-

5
kebaktian. Metode ini tidak jauh berbeda dengan metode yang dipakai di Minahasa. Tetapi di

Kalimantan Selatan metode ini tidak membawa hasil yang diharapkan karena orang Dayak

belum sempat mengenal orang Eropa dan agama Kristen dalam pergaulan yang berabad-abad

lamanya. Mungkin saja di Kalimantan Selatan metode itu berhasil jika para p.I. tidak segera

membaptis para kepala dan orang lain yang mau masuk Kristen,tetapi memberi mereka waktu

untuk meyakinkan teman-teman sesukunya lebih dahulu. Para Zendeling di Kalimantan

mereka terlampau pengaruh individualisme Barat, mereka tidak memahami bahwa

masyarakat suku harus mengambil keputusan secara bersama-sama.

Metode yang para Zendeling lakukan di Kalimantan kurang teratur dan tidak sistematis

akibatnya metode yang mereka lakukan bersimpang siur dan meleset sehingga metode yang

mereka lakukan tidak berhasil, bahkan pada tahun 1859 seluruh usaha Zendeling di

Kalimantan Selatan mengalami kehancuran dan mendatangkan perang yang disebut perang

Hidayat atau perang kulit putih karena orang-orang Dayak marah kepada orang-orang

Belanda yang mewajibkan mereka untuk menyekolahkan anak-anak mereka dan membayar

pajak dalam bentuk uang.

B. Kekristenan di Kalimantan Selatan setelah perang Hidayat (1866)

Setelah tujuh tahun berlalu dari perang Hidayat yang terjadi di Kalimantan, pemerintah

kembali mengizinkan pekabaran Injil RMG bekerja kembali di luar kota Banjarmasin.

Sementara mereka masih diharuskan menetap dekat benteng-benteng Belanda. Tahun 1866

berangsur didirikan sejumlah pos p.I. Pertama Kuala Kapuas yang letaknya strategis sebagai

pintu masuk ke daerah sungai Kapuas. Zending mendirikan pos di daerah Barito di sebelah

timur dan di sepanjang sungai Kahayan,Katingan dan Mentaya di sebelah barat. Meskipun p.I

yang dilakukan meluas ke seluruh daerah Kalimantan Selatan, namun usaha p.I yang

6
dilakukan masih kurang maju. Faktor-faktor yang mempengaruhi p.I di Kalimantan Selatan

kurang maju disebabkan karena keadaan mereka yang terpencil dan kelemahan dari segi

jumlah, orang Dayak tertutup bagi hal-hal baru. Bagi orang Dayak menjadi Kristen berarti

meninggalkan seluruh warisan nenek moyangnya. Orang Dayak yang hendak dibaptis harus

membuang alat dan benda kuno serta sastra tradisional yang dilarang memakai bahasa tinggi

dan tidak diperbolehkan menghafal mitos atau cerita tradisional. Barang siapa dibaptis, ia

hidup terpencil dari teman-teman sesukunya, bagi orang Dayak hal itu sulit diterima. Berbeda

dengan agama Islam pada masa itu berhasil mencacat kemajuan lebih besar di kalangan orang

Dayak di banding agama Kristen.

Tahun 1930 Zending mulai bersikap positif terhadap agama suku sehingga tahun 1941

diakui oleh gereja memerlukan pengetahuan yang dalam mengenai agama Kaharingan

(agama suku). Tahun 1920 akibat kekalahan Jerman di perang dunia I, RMG terpaksa

menyerahkan lapangan kerja di Kalimantan kepada lembaga Basler Mission di Suis. Setelah

mengenal lapangan, mereka segera mengadakan serangkaian rapat persiapan kemandirian

Gereja, pada tahun 1932 lembaga pendidikan guru di Banjarmasin ditingkatkan menjadi

sekolah Teologi. Pada tanggal 4 april 1935 diresmikan Gereja Dayak Evangelis yang berdiri

sendiri dan ditahbiskan lima orang pendeta Dayak. Pada tahun 1956 ditentukan para utusan

Zending tidak lagi berdiri diluar lembaga gereja, tetapi akan menjadi tenaga gereja namun

peranan Zending dalam gereja yang masih berdiri sendiri itu masih sangat besar dan para

Zendeling akan tetap membantu memajukan Gereja Dayak sampai benar-benar berdiri

sendiri. Nama gereja Dayak Evangelis di ubah menjadi gereja Kalimantan Evangelis (GKE).

Hal ini menunjukan bahwa gereja ingin untuk menjadi suatu gereja nasional di tengah

Indonesia yang merdeka. Dalam tahun ini juga seorang Batak dan seorang Jawa dipilih untuk

menjadi anggota majelis sinode.

7
C. Kekristenan di Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat

Pekabaran Injil di Kalimantan Timur pada tahun 1929 lembaga Christian and

Missionary Alliance ( CAMA,CMA ) datang dan bekerja di Kalimatan Timur. Tenaga CAMA

yang bekerja di Kaltim bertentangan dengan persoalan yang dialami oleh RMG di Dayak

Kalimantan Selatan sering menghadapi gerakan massal ke agama Kristen, mereka tidak

keberatan untuk membaptis orang sesudah Pendidikan yang berlangsung beberapa hari

ataupun beberapa bulan saja dan bahwa pertumbuhan gereja di Kaltim jauh lebih pesat

ketimbang yang di Kalsel. Tahun 1990 jumlah anggota KINGMI yang kemudian menjadi

GKII di Kaltim berkisar sekitar 100.000 jiwa dan yang telah dibaptis 30.000 orang.

Pekabaran Injil di Kalimantan Barat pada tahun 1933 CAMA bekerja di bagian hulu

sungai Kapuas (Kapuas Besar) di Kalimantan Barat. Tahun 1839-1850 sebenarnya sudah

terdapat tenaga Zending dari Amerika di Kalbar, tetapi usaha yang mereka bawa tidak

membuahkan hasil yang nyata sehingga dihentikan begitu saja. Tahun 1906, Board of

Foreign Missions of the Methodist Episcotal Church di Amerika yang telah bekerja di

Serawak, menangani karya p.I di kalangan orang Tionghoa di Pontianak dan sekitarnya.

Karya p.I ini meluas dengan cepat dan mulai tahun 1922 mencakup orang Dayak di daerah

tersebut. Tetapi pada tahun 1928 Zending Methodis menarik diri dari Kalimantan dan Jawa.

Usaha p.I di Kalbar diserakannya kepada GPI, yang meneruskan dalam kerja sama dengan

Basler Missions.

Pada tahun 1997 jemaat GKE terdiri dari 220.000 anggota. Gereja berupaya untuk terus

meningkatkan taraf kehidupan di pedalaman. Usaha p.I di Kalbar diserahkan kepada GPI,

yang akan meneruskan dalam kerja bersama dengan Basler Mission. Sementara itu telah

8
berdiri jemaat mandiri, yang berkembang menjadi Tiong Hwa Kie Tok Kauw Hwee dan

tahun 1967 mereka menerima gereja Kristen Kalimantan Barat. Akan tetapi, tahun 1963

pendatang dari daerah lain mendirikan Gereja Protestan Kalimantan Barat (GKBP) sesudah

tahun 1990 GKPB ini berkembang, karena mulai mengabarkan injil kepada orang Dayak di

wilayahnya. Pada tahun 1990, orang Kristen Protestan yang ada di seluruh wilayah

Kalimantan berjumlah ± 700.000 jiwa, yang sepertiganya termasuk GKE di samping itu

terdapat ± 500.000 jiwa Katolik, 80% di Kalimantan Barat. Pada tahun 1995 anggota

KINGMI/GKII di Kalimantan Barat termasuk yang belum dibaptis, berjumlah ± 60.000

orang.

ANALISIS KRITIS

Metode yang para Zendeling lakukan di Kalimantan kurang teratur dan tidak

sistematis akibatnya metode yang mereka lakukan bersimpang siur dan meleset sehingga

metode yang mereka lakukan tidak berhasil. Harapan Zending supaya daerah pedalaman

dapat dikristenkan seluruhnya sehingga suku Dayak dimasukkan dalam satu gereja suku yang

besar sama seperti dengan orang Batak dan orang Toraja. Namun harapan itu meleset karena

di Kalimantan tidak sampai terjadi pertobatan massal. Maka Gereja Kristen di Kalimantan

merupakan minoritas kecil yang terbagi beberapa lembaga. Usaha Pekabaran Injil yang

dilakukan oleh para Zendeling di Kalimantan merupakan suatu hal yang mengesankan.

Memang Pekabaran Injil di Kalimantan tidak jauh berbeda dengan Pekabaran Injil di daerah

lainnya tetapi usaha Pekabaran Injil yang ada di Kalimantan merupakan suatu hal yang luar

biasa meskipun sangat sulit untuk di capai bagi Zendeling bahkan timbul peperangan, namun

upaya Zendeling untuk mengkristenkan suku Dayak dan dapat dimasukkan dalam satu gereja

suku yang besar merupakan suatu hal yang patut disyukuri.

9
PERTANYAAN KRITIS

1. Bagaimana sikap Zending terhadap agama Kristen yang masih tetap memakai nama

suku sendiri dan adat tradisional?

2. Mengapa setelah perang Hidayat yang membuat Pekabaran Injil berhenti, masyarakat

kembali lagi menerima RMG?

DAFTAR PUSTAKA

Dr.Th. Van den Ragi Carita 1, Cetakan ke-20. Jakarta: Indonesia BPK Gunung Mulia.

Van den End, Th. dan J. Weitjens. Ragi Carita 2, cetakan ke-14. Jakarta: Indonesia BPK

Gunung Mulia.

https://jurnalharmoni.kemenag.go.id/index.php/harmoni/article/view/47

10
11

Anda mungkin juga menyukai