Anda di halaman 1dari 198

mission 21

evangelisches missionswork basel

mission 21
evangelisches missionswork basel

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
ISBN 978-602-6414-27-4

mission 21
evangelisches missionswork basel

9 786026 414274
YAYASAN
TAMAN PUSTAKA KRISTEN
INDONESIA
Hak Cipta Dilindungi Undang-undang!
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruhnya
dalam bentuk apa pun tanpa izin tertulis dari penerbit!
(Sesuai dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 49 Ayat (1) UU No. 19 Tahun 2002)
LAJANG? NIKAH? CERAI? NIKAH LAGI?
SEBUAH ALTERNATIF PEMBINAAN

Tim Penulis:
Yahya Wijaya
Hendri Wijayatsih
Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor
Matias Filemon Hadiputro dan Devina Anugraha
Tabita Kartika Christiani

Editor:
Tabita Kartika Christiani

YAYASAN FAKULTAS TEOLOGI


TAMAN PUSTAKA KRISTEN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
INDONESIA
LAJANG? NIKAH? CERAI? NIKAH LAGI?
Sebuah Alternatif Pembinaan

Hak Cipta © 2019, Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana

Diterbitkan oleh:

YAYASAN TAMAN PUSTAKA KRISTEN INDONESIA


(Anggota IKAPI)
Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo No. 38A Yogyakarta 55222
Telp./Fax.: (0274) 512449; HP/WA: 0878 3821 1445
Email: penerbit@tamanpustakakristen.com
Website: www.tamanpustakakristen.com

untuk

Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana


Jl. dr. Wahidin Sudirohusodo No. 5-25 Yogyakarta 55224
Telp.: (0274) 563929; Faks.: (0274) 513235

dan

MISSION 21
Evangelisches Missionswork Basel

Tim penulis : Yahya Wijaya


Hendri Wijayatsih
Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor
Matias Filemon Hadiputro dan Devina Anugraha
Tabita Kartika Christiani
Editor : Tabita Kartika Christiani
Layout sampul dan isi : Aris Wijayanto
Cetakan pertama : 2019
Ilustrasi cover : https://wallpapermemory.com/373442
https://wallpapermemory.com/373429

ISBN 978-602-6414-27-4
KATA SAMBUTAN

T ingkat perceraian saat ini semakin meningkat, yang juga terjadi


di kalangan Kristen yang notabene melarang perceraian. Ada
berbagai alasan terjadinya perceraian, antara lain karena ekonomi,
perselingkuhan dan KDRT. Di tengah situasi seperti ini, banyak umat
Kristen yang bingung dalam bersikap, apakah menerima atau tidak.
Bila perceraian diterima, maka akan member peluang bagi umat untuk
bercerai, sementara Firman Tuhan mengatakan bahwa “Apa yang telah
dipersatukan oleh Allah, tidak boleh diceraikan oleh manusia” (Mat
19:6). Namun di lain pihak, fakta menunjukkan bahwa ada kasus-
kasus yang membuat rumah tangga tidak bisa dipertahankan lagi, dan
karena itu harus bercerai, misalnya kasus KDRT.
Sehubungan dengan hal ini, PSTF (Pusat Studi Teologi Feminis)
dari Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana merancang
program penelitian dan penulisan buku-buku yang berkaitan dengan
perceraian untuk memberikan masukan dan pemahaman kepada
gereja dan umat bagaimana bersikap terhadap masalah perceraian
yang terjadi di daerah pelayanan masing-masing.
Buku ini merupakan buku ketiga yang diterbitkan Fakultas
Teologi Universitas Kristen Duta Buku pertama berjudul “Perceraian
di Persimpangan Jalan,” yang berisi tentang perceraian dari sudut
pandang hermeneutik Alkitab, khususnya Perjanjian Lama. Buku
kedua berjudul “Perceraian dan Kehidupan Menggereja,” yang berisi
hasil penelitian tentang persepsi warga jemaat berbagai denominasi
gereja tentang perceraian. Kini buku yang ketiga, yang berjudul
“Lajang? Nikah? Cerai? Nikah Lagi? Sebuah Alternatif Pembinaan,”
berisi tentang pembinaan warga jemaat, dari anak-anak hingga lanjut
usia, dalam menghadapi dinamika hidup bersama, yakni hidup lajang,
nikah, cerai, dan nikah lagi.

v
Kami mengucapkan terima kasih kepada tim penulis yang
sudah meluangkan waktunya untuk menuliskan buku pembinaan
ini. Tim penulis terdiri dari Yahya Wijaya, Hendri Wijayatsih,
Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor, Matias Filemon Hadiputro
dan Devina Anugraha dan Tabita Kartika Christiani. Kami juga
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada M21 yang
telah mendukung dan mendanai proyek ini. Semoga kerjasama ini
boleh berlanjut dalam kegiatan yang lain. Tidak lupa juga ucapan
terima kasih ditujukan kepada Fakultas Teologi Universitas Kristen
Duta Wacana yang telah memberikan kesempatan kepada PSTF
untuk melakukan penelitian dan publikasi. Semoga upaya-upaya
yang dilakukan oleh PSTF mendatangkan manfaat bagi semua pihak,
secara khusus bagi banyak keluarga dan gereja yang sedang bergumul
dengan masalah keluarga dan perceraian.

Dr. Asnath Niwa Natar, M.Th.


Ketua Pusat Studi Teologi Feminis (PSTF)
Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana

vi
PENGANTAR

B uku ini merupakan buku ketiga yang diterbitkan Fakultas Teologi


Universitas Kristen Duta Wacana dalam rangka kerja sama
antara Pusat Studi Teologi Feminis Fakultas Teologi Universitas Kristen
Duta Wacana dan Mission 21. Buku pertama berjudul “Perceraian di
Persimpangan Jalan,” yang berisi tentang perceraian dari sudut pandang
hermeneutik Alkitab, khususnya Perjanjian Lama. Buku kedua berjudul
“Perceraian dan Kehidupan Menggereja,” yang berisi hasil penelitian
tentang persepsi warga jemaat berbagai denominasi gereja tentang
perceraian. Kini buku yang ketiga, yang berjudul “Lajang? Nikah? Cerai?
Nikah Lagi? Sebuah Alternatif Pembinaan,” berisi tentang pembinaan
warga jemaat, dari anak-anak hingga lanjut usia, dalam menghadapi
dinamika hidup bersama, yakni hidup lajang, nikah, cerai, dan nikah
lagi.
Banyak orang mengira setelah seseorang cukup dewasa, maka
ia harus menikah. Jika seseorang tidak menikah, orang-orang lain akan
bertanya-tanya dengan heran dan ingin tahu ada apa dengan orang
yang tidak menikah itu. Padahal menikah atau melajang merupakan
pilihan bebas dari tiap orang. Maka bagian awal dari buku ini
membahas tentang “Apakah Keluarga?” (Bab 1) dan “Tidak Menikah,
Baikkah?” (Bab 2). Kedua bab ini merupakan dasar pemikiran tentang
dinamika hidup bersama sebagai keluarga, baik menikah maupun
tidak menikah.
Selanjutnya bab 3-9 merupakan materi pembinaan bagi warga
jemaat, mulai dari anak (Bab 3), remaja dan pemuda (Bab 4-5), orang
dewasa yang memilih hidup melajang (Bab 6), orang dewasa yang
memilih menikah (Bab 7-8), orang yang bercerai (Bab 9), orang yang
menikah kembali (Bab 10), dan orang lanjut usia (Bab 11).
Pembinaan bagi anak difokuskan pada konsep keluarga, dan

vii
bagaimana membina anak yang orangtuanya atau orangtua temannya
bercerai. Pembinaan bagi remaja dan pemuda memperlengkapi
mereka dalam berpacaran, berjodoh, dan bertunangan; dan juga
memperlengkapi remaja yang orangtuanya atau orangtua temannya
bercerai. Pembinaan bagi orang dewasa menyangkut keputusan
apakah melajang, ataukah menikah: bagaimana hidup melajang
dengan bahagia; dan bagaimana mempersiapkan pernikahan dan
membangun pernikahan yang sehat. Namun tidak dapat dipungkiri,
walaupun sangat tidak diharapkan, fenomena menunjukkan adanya
perceraian. Dibutuhkan pembinaan dan pendampingan untuk
pasangan yang bercerai, dan orang yang akan menikah lagi. Pada
akhirnya, pembinaan untuk orang lanjut usia membahas tentang
apakah akan menikah kembali saat pasangan telah meninggal dunia,
ataukah memilih sendiri lagi; dan secara khusus bagaimana dengan
lansia yang mengalami demensia.
Diharapkan buku ini dapat memperlengkapi mahasiswa teologi,
guru-guru Pendidikan Agama Kristen di sekolah-sekolah, pendeta,
penatua, Guru Sekolah Minggu, pembimbing/pendamping remaja
dan pemuda di gereja, dan seluruh warga jemaat dalam membina
dan mendampingi setiap orang dalam menghadapi dinamika hidup
bersama, baik hidup melajang, menikah, maupun jika terpaksa bercerai.
Pembinaan ini bersifat preventif, kuratif, dan transformatif, menuju
kebaikan, kebahagiaan, dan damai sejahtera bagi semua. Buku ini sama
sekali tidak mempromosikan atau mempropagandakan perceraian,
sebab perceraian bukanlah tujuan atau harapan orang yang menikah.
Perceraian adalah sesuatu yang terpaksa dilakukan, sebagai langkah
terakhir yang terpaksa diambil dengan dukacita yang mendalam.
Namun perceraian bukanlah akhir kehidupan, sebab Tuhan selalu
memberikan kesempatan kedua agar seseorang dapat melanjutkan
hidup dengan bahagia, lebih baik, dan lebih damai sejahtera.
Judul buku ini adalah “Lajang? Nikah? Cerai? Nikah Lagi?

viii
Sebuah Alternatif Pembinaan,” yang menunjukkan hidup bersama
sebagai keluarga dan sebagai gereja merupakan hidup bersama
yang dinamis. Berbagai fenomena dan realita bisa terjadi, termasuk
perceraian yang tidak diharapkan. Maka hidup bersama sebagai satu
keluarga/gereja membutuhkan sikap yang tepat dan baik bagi setiap
orang yang ada di dalamnya: bukan menghakimi dan menyalahkan,
melainkan memahami, menghargai, menerima, berempati serta saling
mendukung, menghibur, dan menguatkan.

Tabita Kartika Christiani, Ph.D.


Editor

ix
DAFTAR ISI

Kata Sambutan ............................................................................................v


Pengantar .................................................................................................. vii
Daftar Isi ......................................................................................................x

Bab 1 Apakah Keluarga? .......................................................................1


Bab 2 Tidak Menikah: Sebuah Pilihan ..............................................11
Bab 3 Pembinaan untuk Anak: Dampak Perceraian Orangtua
pada Anak ..................................................................................23
Bab 4 Pembinaan untuk Remaja dan Pemuda: Pacaran, Cinta,
Jodoh, dan Tunangan ...............................................................39
Bab 5 Pembinaan untuk Remaja: Menghadapi Perceraian
Orangtua ....................................................................................57
Bab 6 Pembinaan untuk Kaum Lajang .............................................77
Bab 7 Pembinaan Pranikah: Transisi dari Kehidupan Lajang
Menuju Pernikahan ..................................................................91
Bab 8 Membangun Pernikahan yang Sehat................................... 105
Bab 9 Perceraian................................................................................ 131
Bab 10 Pembinaan Sehubungan dengan Pernikahan Kembali ..... 165
Bab 11 Pembinaan untuk Orang Lanjut Usia (Lansia):
Sendiri Lagi atau Menikah Lagi ........................................... 175

Biodata Penulis ...................................................................................... 185

x
APAKAH KELUARGA?

Bab 1
APAKAH KELUARGA?

Yahya Wijaya

PENDAHULUAN

Secara dogmatis, gereja mengklaim bahwa keluarga adalah lembaga


yang diciptakan oleh Tuhan sendiri. Berdasarkan klaim itu,
gereja memerlakukan keluarga sebagai basis layanannya. Banyak
gereja di Indonesia menghitung jumlah keanggotaan berdasarkan
“KK” (kepala keluarga), meskipun cukup banyak yang menjadi
anggota jemaat secara individual. Setiap tahun kebanyakan gereja
Protestan di Indonesia menyelenggarakan Bulan Keluarga atau
masa penghayatan hidup berkeluarga, yang di dalamnya hampir
seluruh kegiatan gereja diisi dengan tema-tema keluarga, termasuk
kebaktian minggu, meskipun banyak juga pengunjung kebaktian
yang lajang. Perkawinan sebagai awal keluarga juga diperlakukan
secara istimewa. Meskipun tidak diakui sebagai sakramen seperti
dalam Gereja Katolik, ibadah perkawinan di gereja-gereja Protestan
dilayankan bagaikan sakramen juga (pseudo-sakramen?) di mana
hanya pendeta yang boleh melayankan dan harus mengenakan jubah
lengkap dengan asesoris-asesorisnya. Karena klaim bahwa keluarga
adalah lembaga buatan Tuhan sendiri, maka perceraian ditabukan,
meskipun dalam kenyataannya banyak pasangan suami isteri tidak
dapat memertahankan perkawinannya karena berbagai alasan.

Yahya Wijaya 1
APAKAH KELUARGA?

FAMILISME

Bagi kebanyakan masyarakat tradisional Asia, kepentingan dan


kehormatan keluarga dianggap lebih penting ketimbang kebahagiaan
atau kemandirian individu. Di beberapa negara, tradisi penjodohan
oleh orangtua masih berlaku dan perkawinan tanpa restu orangtua
sangat dihindari. Bahkan pesta-pesta perkawinan pun diselenggarakan
oleh orangtua mempelai dan yang diundang utamanya adalah kerabat
dan kenalan dari pihak orangtua. Pendeknya, keluarga memainkan
peran menentukan dalam kehidupan individu-individu anggotanya,
dari soal agama dan moralitas sampai tentang pendidikan dan
tempat tinggal. Bahkan ekonomi dan politik pun berbasis keluarga
seperti terlihat dalam menonjolnya perusahaan-perusahaan besar
(konglomerasi) yang tetap bersifat perusahaan keluarga, dan masih
maraknya “politik dinasti” di mana seseorang menjadi pemimpin
suatu partai politik semata-mata karena orangtuanya adalah tokoh
penting partai tersebut.
Pengutamaan eksistensi keluarga di atas segala-galanya dapat
disebut “familisme”.1 Berbeda dari individualisme yang memahami
manusia pertama-tama sebagai individu yang seolah-olah sama
sekali bebas dari keterkaitan dengan orang lain termasuk orangtua
dan saudara, familisme memandang manusia pertama-tama sebagai
unsur keluarga yang tidak dapat dipahami di luar kaitannya dengan
kehidupan keluarga. Meskipun sering dianggap bagian dari budaya
Asia, sebenarnya familisme bukanlah ciri khas Asia. Familisme pernah
atau masih berlaku di hampir semua masyarakat di dunia, terutama
yang berlatarbelakang tradisi agraris dengan pembagian kerja yang
relatif baku berdasarkan gender dan generasi. Familisme mengalami
tantangan ketika pola kehidupan manusia berubah dari agraris ke
1
Don S. Browning et al., eds., From Culture Wars to Common Ground,
Second Edition: Religion and the American Family Debate, 2 edition (Louisville, Ky:
Westminster John Knox Press, 2000), 2.

2 Yahya Wijaya
APAKAH KELUARGA?

industrial dan kemudian ke era teknologi-informasi, yang membuat


pola permukiman juga bergeser dari rural (pedesaan) ke urban
(perkotaan), dalam hal pembagian kerja dari statis ke dinamis, secara
kultural dari mono-etnik ke multi-etnik, luasan berjejaring berubah
dari lokal ke global, dan pola berkomunikasi berubah dari oral ke
tulisan dan kemudian digital. Perubahan-perubahan itu terjadi mula-
mula di belahan barat dunia dan berangsur-angsur merambah ke
seluruh dunia. Sebagai konsekuensinya, gugatan terhadap familisme
juga mulai di Barat dan lama kelamaan berpengaruh di seluruh dunia.

KEPELBAGAIAN KONSEP DAN PRAKTIK KELUARGA

Temuan beberapa peneliti tentang keluarga menunjukkan bahwa pola


berkeluarga masyarakat Asia telah mengalami perubahan yang besar dari
pola tradisionalnya, ditandai dengan meningkatnya angka perceraian,
semakin tingginya rata-rata usia menikah, dan semakin banyaknya
orang yang tidak menikah.2 Perubahan itu juga berkaitan dengan
meningkatnya kesadaran akan hak perempuan untuk menentukan
nasib sendiri di dalam dan di luar pernikahan. Perempuan tidak lagi
harus menjadi objek tak berdaya yang nasibnya ditentukan oleh ayah
atau suaminya. Keluarga tidak lagi dipahami sebagai lembaga hirarkis
di mana suami adalah penguasa tertinggi dan pengambil keputusan,
sedangkan isteri sekadar pendukung, pendamping atau malahan pada
praktiknya pelayan atau pelengkap suami. Relasi isteri-suami dalam
keluarga masa kini cenderung dibentuk dengan mengusung nilai-nilai
kerjasama dan kesetaraan. Tidak semua pihak menyadari terjadinya

2
Premchand Dommaraju and Gavin Jones, “Divorce Trends in Asia,” Asian
Journal of Social Science 39, no. 6 (2011): 725–50. Lihat juga Stella Quah, “Major
Trends Affecting Families in East and Southeast Asia” (New York: UN Programme
on the Family Division for Social Policy and Development Department of Economic
and Social Affairs, 2013).

Yahya Wijaya 3
APAKAH KELUARGA?

perubahan sosial ini. Bagi yang menyadari perubahan sosial ini,


tanggapannya pun berbeda-beda. Ada yang mensyukurinya, ada pula
yang menyesalinya. Perbedaan pendapat tentang perubahan corak
keluarga tersebut memicu timbulnya pertanyaan mendasar, yaitu
apakah dan bagaimanakah sebenarnya keluarga?
Konsep tentang keluarga tidaklah sama di semua tempat
dan masa. Paula Cooey menyatakan bahwa konsep keluarga punya
sejarahnya sendiri, dan setiap kelompok masyarakat memahami
keluarga dengan cara yang tidak selalu sama dengan kelompok
masyarakat lain. Faktor-faktor seperti hukum yang berlaku, tradisi
keagamaan yang dijalankan, dan teori serta teologi yang dibangun
oleh suatu kelompok masyarakat memengaruhi konsep masyarakat itu
tentang keluarga.3 Sebenarnya di dalam Alkitab sendiri tampak konsep
yang berbeda-beda tentang keluarga dan perkawinan. Perkawinan
monogami, misalnya, tidak berlaku di semua bagian Alkitab. Demikian
pula perceraian tidak selalu diijinkan atau dilarang. Jadi perubahan
konsep tentang keluarga dan perkawinan tidak hanya terjadi di zaman
modern, tetapi merupakan proses yang terus berlangsung sepanjang
sejarah peradaban manusia.
Keluarga sebagai kesatuan suami-isteri yang dibentuk
secara suka sama suka oleh pasangan itu sendiri berdasarkan cinta
sebenarnya baru ada belakangan ini saja.4 Bahkan keluarga dalam
masyarakat Barat, sama seperti di belahan lain dunia, mulanya adalah
ikatan yang lebih bersifat ekonomik, di mana perkawinan tidak lain
dari transaksi antara ayah pengantin perempuan dan sang pengantin
laki-laki.5 Dalam konsep keluarga tradisional itu, isteri dan anak-
anak adalah milik sah suami sepenuhnya, dan karena itu perempuan
3
Paula M. Cooey, Family, Freedom, and Faith: Building Community Today, 1st
edition (Louisville, Ky: Westminster John Knox Press, 1996), 15.
4
Stephen Garrard Post, More Lasting Unions: Christianity, the Family, and
Society (Wm. B. Eerdmans Publishing, 2000), 6.
5
Cooey, Family, Freedom, and Faith, 16.

4 Yahya Wijaya
APAKAH KELUARGA?

tidak dapat menceraikan suaminya. Ironisnya, meskipun pemahaman


tentang perkawinan telah berubah, simbol-simbol yang terkait dengan
transaksi itu masih sering digunakan dalam upacara perkawinan di
masa kini, misalnya mas kawin dan penyerahan pengantin perempuan
oleh ayahnya kepada calon suaminya di depan pendeta.
Dalam banyak masyarakat tradisional, perkawinan merupakan
cara untuk memertahankan kehidupan ekonomik. Melalui
perkawinan, suatu keluarga yang memiliki anak laki-laki memperoleh
tenaga kerja baru berupa perempuan yang diambil isteri oleh anak
laki-laki tersebut. Perempuan dibutuhkan untuk menjalankan
pekerjaan-pekerjaan domestik seperti menyiapkan bekal bagi
suaminya untuk berburu dan mengolah hasil buruan untuk menjadi
makanan seluruh keluarga. Selain itu, tujuan perkawinan adalah
prokreasi, yaitu agar pasangan yang menikah menghasilkan anak-
anak untuk di kemudian hari melanjutkan pekerjaan orangtuanya.
Perkawinan dalam masyarakat tradisional biasanya bukan keputusan
individual dari pasangan yang menikah. Dalam masyarakat semacam
itu, perkawinan adalah bagian dari transaksi sosial dan ekonomi antar
keluarga besar, klan, atau bahkan suku. Konflik suami-isteri biasanya
berakar atau berdampak pada hubungan antar keluarga besar, klan,
atau suku.
Gambaran tentang perkawinan sebagai bagian dari kehidupan
ekonomik tersebut bukanlah satu-satunya model yang pernah ada.
Menjelaskan hasil penelitian antropologis Stephanie Coontz, Max
Stackhouse menunjukkan bahwa model-model hubungan antara
laki-laki dan perempuan mengalami perubahan seiring dengan
perkembangan alat produksi, dari alat produksi yang berbasis
tenaga binatang, selanjutnya tenaga manusia, dan kemudian mesin.
Mengambil contoh sejarah Amerika, Coontz menunjukkan perbedaan
antara kehidupan seksual-ekonomik dalam masyarakat Indian
yang tidak mengenal konsep pemilikan pribadi dengan masyarakat

Yahya Wijaya 5
APAKAH KELUARGA?

pendatang berkulit putih yang menganut ekonomi individual yang


terkait dengan sistem perdagangan internasional. Menurut Coontz,
dalam masyarakat Indian tradisional, keluarga inti tidak memiliki
harta sendiri di luar pemilikan bersama komunitasnya. Mereka juga
memberi kebebasan bagi laki-laki maupun perempuan dalam hal
eksplorasi seksual. Dalam masyarakat itu, perceraian tidak ditabukan,
dan perempuan memiliki kemandirian yang besar. Pola kehidupan
yang seperti itu mengalami perubahan akibat perjumpaan dengan dan
gangguan dari masyarakat pendatang berkulit putih di mana keluarga
inti lebih bersifat eksklusif dalam hal ekonomi, hubungan laki-laki
dan perempuan lebih hirarkis dengan laki-laki sebagai penguasa, dan
perbedaan kelas masyarakat diberlakukan.6
Campur tangan negara dalam perkawinan dan status legal
perkawinan juga baru muncul belakangan. Dalam masyarakat
Tionghoa di Indonesia pada masa lalu, pencatatan perkawinan oleh
kantor catatan sipil tidak dianggap mutlak. Bagi laki-laki Indonesia-
Tionghoa yang tidak memiliki surat bukti kewarganegaraan (SBKRI)
dan akan menikah dengan perempuan yang berkewarganegaraan
Indonesia, pengesahan perkawinan di catatan sipil mengandung
konsekuensi, yaitu status kewarganegaraan anak-anak mereka kelak
akan mengikuti ayah mereka, yaitu Warga Negara Asing (WNA) atau
stateless, yang akan berdampak luas pada kehidupan mereka. Dengan
tidak mensahkan perkawinan mereka di catatan sipil, anak-anak
mereka kelak akan dianggap anak ibu dan status kewarganegaraan
mereka juga mengikuti ibu mereka. Masalahnya, nama ayah mereka
tidak tercantum dalam akta kelahiran mereka, sehingga bisa
menimbulkan tafsir yang keliru bahwa mereka adalah hasil hubungan
gelap atau perselingkuhan.

6
Max L. Stackhouse, Covenant and Commitments: Faith, Family, and Economic
Life, The Family, Religion, and Culture (Louisville, Ky: Westminster John Knox
Press, 1997), 46–47.

6 Yahya Wijaya
APAKAH KELUARGA?

Sebenarnya sikap gereja terhadap pengesahan perkawinan oleh


negara juga tidak selalu sama. Dulu, gereja Protestan di Indonesia
berpendapat bahwa gereja tidak mensahkan perkawinan melainkan
hanya meneguhkan dan memberkatinya. Berdasarkan prinsip itu,
kebaktian perkawinan hanya dilayankan setelah perkawinan itu sah
secara hukum yaitu telah dicatat oleh kantor catatan sipil. Kemudian,
sebagian pendeta diberi kewenangan oleh negara untuk menjadi
petugas luar biasa catatan sipil, sehingga mereka menjalankan
tugas ganda dalam melayankan pernikahan anggota-anggotanya:
mensahkan perkawinan atas nama negara, kemudian meneguhkan
dan memberkatinya atas nama gereja. Selanjutnya, gereja mau tak
mau menyesuaikan sikapnya dengan Undang-undang Perkawinan
yang berlaku yang menetapkan perkawinan secara agama sebagai
prasyarat pencatatan perkawinan oleh negara. Menurut undang-
undang itu, perkawinan baru sah apabila lembaga agama dan negara
telah campur tangan. Pengesahan perkawinan oleh agama dan negara
seperti itu tidak dikenal, baik dalam masyarakat tradisional di masa
lalu maupun dalam Alkitab! Bahkan meneguhkan dan memberkati
perkawinan juga tidak termasuk dalam daftar tugas pelayanan gereja
yang disebutkan dalam Perjanjian Baru.
Jadi, perubahan tentang konsep keluarga dan perkawinan, serta
implikasinya pada perceraian, perkawinan kembali, dan pilihan untuk
tidak menikah, adalah proses yang terus terjadi sepanjang sejarah
peradaban manusia. Tidak ada model yang dapat diklaim sebagai
original dan harus diberlakukan secara permanen. Perkembangan
peradaban manusia memberi pembelajaran bagi setiap masyarakat
untuk selalu mengevaluasi dan memerbarui pemahamannya tentang
segala sesuatu termasuk keluarga dan perkawinan.

Yahya Wijaya 7
APAKAH KELUARGA?

PELAYANAN GEREJAWI BAGI KELUARGA MASA KINI

Perubahan sosial dan penyesuaian-penyesuaian kebijakan yang terus


terjadi sepanjang jaman itu tidak selalu disadari oleh umat gereja
sekarang ini. Banyak gereja menjalankan layanan pastoral, ritual,
dan pembinaan keluarga dengan mengacu pada model keluarga
masa lalu yang bersifat patriarkal (laki-laki sebagai kepala keluarga
pengambil keputusan penting, isteri sebagai pendamping suami dan
pelayan seluruh keluarga). Simbol-simbol patriarki masih dipakai
dalam upacara perkawinan gerejawi dan bahkan dicampuradukkan
dengan simbol-simbol kekristenan sehingga memberi kesan seolah-
olah nilai-nilai Kristen memang pada dasarnya patriarkis. Simbol-
simbol itu misalnya: pemakaian cadar pada mempelai perempuan,
penentuan posisi suami di sebelah kanan isteri, dan penyerahan
mempelai perempuan oleh ayahnya kepada mempelai laki-laki.
Lebih parah lagi, ada gereja yang menghukum pengantin perempuan
yang dianggap “punya cacat moral” karena perilaku seksualnya,
dengan mewajibkannya memertunjukkan simbol tertentu pada
pakaian pengantinnya. Selain itu, ayat-ayat Alkitab yang secara
eksplisit bernada patriarkis pun dibacakan begitu saja sebagai “dasar
pernikahan Kristen”, misalnya Efesus 5:22-28, “Hai isteri-isteri,
tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan…” Ayat-ayat lain
yang lebih menyatakan kesetaraan perempuan dan laki-laki jarang
dipilih. Misalnya, Galatia 3:28 yang menegaskan bahwa di dalam
Kristus “… tidak ada laki-laki atau perempuan.”
Kegagalan gereja untuk memberi layanan yang sensitif terhadap
perubahan sosial juga tampak dalam kebijakan pastoral dan perlakuan
praktis terhadap mereka yang tidak tercakup dalam model keluarga
patriarkis yang permanen. Orang-orang yang bercerai, misalnya,
meskipun tidak diusir dari gereja tetapi tidak mendapat pelayanan
yang optimal. Banyak gereja membatasi kesempatan-kesempatan

8 Yahya Wijaya
APAKAH KELUARGA?

orang-orang yang bercerai untuk mengambil bagian dalam pelayanan.


Bahkan ada gereja yang menanggalkan jabatan kependetaan atas
diri pendetanya yang menikah dengan orang yang pernah bercerai,
dan menghentikan proses kependetaan seorang calon pendeta yang
juga mengalami hal yang sama. Sikap gereja yang ambivalen tampak
dalam hal orang-orang yang bercerai menemukan pasangan yang
baru dan ingin menikah lagi. Banyak gereja menolak meneguhkan
dan memberkati pernikahan mereka, tetapi bersedia memberikan
pelayanan kelas dua. Alasannya bisa prinsipial yaitu mengacu pada
model perkawinan patriarkis yang diklaim “dipersatukan Tuhan,” bisa
juga pragmatis yaitu untuk mencegah kegaduhan umat. Tampaknya,
umat lebih permisif terhadap perpecahan gereja ketimbang
perpecahan keluarga.

KESIMPULAN

Perubahan sosial merupakan proses yang terus terjadi, tidak dapat


dicegah dan tidak dapat diabaikan. Masyarakat abad-21 yang sadar
gender, melek teknologi, serta terakses informasi dan komunikasi
sejagat tidak dapat disamakan dengan masyarakat patriarkis di jaman-
jaman sebelumnya. Perubahan sosial yang terjadi saat ini mencakup
juga pada cara orang memandang keluarga dan perkawinan. Peran
gereja dalam setiap jaman adalah membawa Kabar Baik. Untuk tetap
memainkan peran itu, gereja perlu menyadari kebaruan situasi saat
ini. Bentuk-bentuk layanan dan sikap gereja sehubungan dengan
keluarga dan perkawinan, yang menjadikan keluarga patriarkis
masa lalu sebagai gambaran ideal, tidak selalu relevan dengan situasi
masyarakat sekarang ini. Dibutuhkan keterbukaan pada pihak gereja
agar dapat diperhitungkan perannya di era teknologi informasi dan
komunikasi ini.

Yahya Wijaya 9
APAKAH KELUARGA?

DAFTAR PUSTAKA

Browning, Don S., Bonnie J. Miller-Mclemore, Pamela D. Couture,


and Robert M. Franklin, eds. From Culture Wars to Common
Ground, Second Edition: Religion and the American Family
Debate. 2 edition. Louisville, Ky: Westminster John Knox Press,
2000.
Cooey, Paula M. Family, Freedom, and Faith: Building Community
Today. 1st edition. Louisville, Ky: Westminster John Knox
Press, 1996.
Dommaraju, Premchand, and Gavin Jones. “Divorce Trends in Asia.”
Asian Journal of Social Science 39, no. 6 (2011): 725–50.
Post, Stephen Garrard. More Lasting Unions: Christianity, the Family,
and Society. Wm. B. Eerdmans Publishing, 2000.
Quah, Stella. “Major Trends Affecting Families in East and Southeast
Asia.” New York: UN Programme on the Family Division for
Social Policy and Development Department of Economic and
Social Affairs, 2013.
Stackhouse, Max L. Covenant and Commitments: Faith, Family, and
Economic Life. The Family, Religion, and Culture. Louisville,
Ky: Westminster John Knox Press, 1997.

10 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

Bab 2
TIDAK MENIKAH
Sebuah Pilihan

Yahya Wijaya

PENDAHULUAN

Siklus kehidupan seringkali digambarkan sebagai sebuah proses


yang terdiri dari tahap-tahap kelahiran, perkawinan, menghasilkan
keturunan, dan akhirnya kematian. Tahap kelahiran dan kematian
pasti dialami oleh setiap orang, tetapi tidak semua orang mengalami
pernikahan dan menghasilkan keturunan. Dalam hal tidak menikah,
ada orang yang memilihnya secara sadar dan sengaja sebagai pola
hidup yang dipandang pas bagi dirinya. Ada pula orang yang menjadi
lajang secara terpaksa, karena belum atau tidak menemukan pasangan
hidup yang sesuai dengan harapannya. Ada orang yang memilih
hidup lajang setelah mengalami hidup dalam pernikahan, ada pula
yang sejak semula menjalani hidup lajang tanpa pernah menikah atau
hidup berpasangan. Tulisan ini menyoroti pergumulan yang umumnya
dialami para lajang, perkembangan persepsi masyarakat tentang
hidup melajang, dan pendekatan gerejawi yang layak dikembangkan
bagi dan bersama kaum lajang.

STIGMA NEGATIF TENTANG HIDUP LAJANG

Karena pemahaman tradisional tentang siklus kehidupan, orang-


orang yang tidak menikah seringkali dianggap tidak normal atau tidak

Yahya Wijaya 11
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

utuh. Mereka mengalami tekanan baik dari lingkungan pergaulan


maupun dari orangtua dan keluarga besar. Tidak jarang pula mereka
menjadi korban bullying: disebut “bujang lapuk” atau “perawan tua,”
dan ditengarai mengidap impotensi atau frigiditas, berkepribadian
tidak lumrah, atau berorientasi seksual “menyimpang.” Budgeon
menyebutkan beberapa tudingan yang biasa dilekatkan pada kaum
lajang, antara lain: “egois, kekanak-kanakan, abnormal, tidak
bertanggungjawab, kesepian, tidak utuh, cacat emosional, dan kurang
ikatan personal maupun sosial.”1 Banyak orangtua merasa resah
jika anaknya yang sudah dewasa belum juga menunjukkan tanda-
tanda mau menikah. Bagi orang Asia, pernikahan penting bukan
hanya bagi pasangan terkait tetapi juga bagi keluarga besar masing-
masing. Itu sebabnya orangtua merupakan pihak yang merasa paling
berkepentingan.2 Di masa lalu, orangtua mencarikan jodoh bagi
anaknya, tetapi sekarang perjodohan oleh orangtua sudah tidak
lazim lagi. Tekanan terhadap orang yang tidak menikah juga kerap
didasarkan pada ayat Alkitab, misalnya Kejadian 2:18 “… Tidak baik,
kalau manusia seorang diri saja, Aku akan menjadikan penolong
baginya yang sepadan dengan dia.”

JUMLAH ORANG YANG HIDUP MELAJANG DALAM


MASYARAKAT SEKARANG

Meskipun orang yang melajang sering menghadapi berbagai tekanan


seperti tersebut di atas, prosentasi orang yang tidak menikah semakin
hari semakin bertambah baik di negara-negara Barat maupun di
1
Shelley Budgeon, “Couple Culture and the Production of Singleness,”
Sexualities 11, no.3 (2008), 309, doi: 10.1177/1363460708089422.
2
Karel Karsten Himawan, Matthew Bambling, and Sisira Edirippulige,
“Singleness, Religiosity, and the Implications for Counselors: The Indonesian Case,”
Europe’s Journal of Psychology 14, no. 2 (June 19, 2018): 488, https://doi.org/10.5964/
ejop.v14i2.1530.

12 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

Asia yang budayanya sangat mengutamakan keluarga. Kajian Kislev


memprediksi seperempat penduduk Amerika tidak akan pernah
menikah, dan lebih dari 50% rumah tangga di kota-kota Eropa
terdiri dari satu orang saja. Di Cina, jumlah rumah tangga dengan
satu anggota saja meningkat drastis dari 4,9% di tahun 1990 menjadi
14,5% di tahun 2010.3 Temuan Budgeon4 tentang perkembangan
corak kerumahtanggaan di Inggris menunjukkan kecenderungan
serupa, di mana rumah tangga tunggal merupakan model yang
paling cepat bertumbuh. Bagi Budgeon perubahan itu tidaklah
sekadar sebuah pergantian musiman yang sifatnya sementara
saja, melainkan menandakan awal dari sebuah era baru yang patut
dinamai “abad lajang.” Sementara itu, penelitian Yang dan Yen5 di
Asia mengungkapkan bahwa jumlah orang yang tidak menikah
pada usia sampai 34 tahun di Taiwan mengalami peningkatan dari
2% di tahun 1970 menjadi 11% di tahun 1990. Sedangkan di Jepang,
pada tahun 2000, dalam rentang usia 20-34 tahun, 68% laki-laki dan
56% perempuan tidak menikah. Angka-angka itu cenderung terus
meningkat dari tahun ke tahun. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
Indonesia menunjukkan bahwa situasi di Indonesia juga tidak jauh
berbeda.6 Jones et al. menyimpulkan bahwa prosentasi orang yang
“secara efektif tidak menikah” di Asia Timur dan Asia Tenggara
bahkan lebih tinggi ketimbang di Amerika dan Eropa.7
3
Elyakim Kislev, Happy Singlehood: The Rising Acceptance and Celebration of
Solo Living, kindle edition (University of California Press, 2019), loc 107 of 5741.
4
Budgeon, “Couple Culture and the Production of Singleness,” 301,
5
Wen-Shan Yang and Pei-Chih Yen, “A Comparative Study of Marital
Dissolution in East Asian Societies: Gender Attitudes and Social Expectations
towards Marriage in Taiwan, Korea and Japan,” Asian Journal of Social Science 39,
no. 6 (2011): 754.
6
Himawan, Bambling, and Edirippulige, “Singleness, Religiosity, and the
Implications for Counselors,” 486.
7
Gavin W. Jones, Yanxia Zhang, and Pamela Pei Zhi Chia, “Understanding
High Levels of Singlehood in Singapore,” Journal of Comparative Family Studies 43,
no. 5 (2012): 731.

Yahya Wijaya 13
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

ALASAN-ALASAN HIDUP MELAJANG

Banyak alasan mengapa orang tidak menikah. Salah satunya adalah


perubahan sifat perkawinan dari suatu kontrak ekonomi8 menjadi
suatu persatuan antar individu yang lebih bersifat emosional.
Dalam hal yang terakhir, proses menikah melibatkan lebih banyak
pertimbangan ketimbang sekadar perhitungan ekonomi. Tidak
selalu mudah mencapai kesesuaian dalam hal-hal yang menentukan
seperti corak kepribadian, visi tentang keluarga, jumlah anak yang
diharapkan akan lahir, tingkat intelektualitas, keyakinan religius, dan
filosofi hidup. Suatu pernikahan yang layak secara ekonomi, belum
tentu layak secara etis atau psikologis. Tidak seperti dalam masyarakat
tradisional di mana pernikahan dilakukan terutama demi kepuasan
suami, sekarang kebahagiaan kedua pihak dalam perkawinan telah
menjadi faktor menentukan bagi keberlangsungan suatu pernikahan.
Bagi mereka yang pernah menikah, pengalaman ketidakbahagiaan
dapat mendorong perceraian. Bagi yang belum pernah menikah,
ketidakpastian akan kebahagiaan menjadikan pernikahan bagaikan
perjudian yang beresiko tinggi. Itulah sebabnya, meskipun di Indonesia
sebagian besar lajang sebenarnya mengharapkan akan menemukan
pasangan,9 keputusan untuk menikah tidak mudah untuk diambil.
Alasan lain untuk tidak menikah berkaitan dengan semakin
terbukanya peluang bagi perempuan untuk meraih posisi yang sama
dengan laki-laki dalam hal pendidikan, profesi, dan status sosial.
Perkawinan, apalagi yang mengikuti pola tradisional yang bersifat
patriarkis, dapat menghambat perempuan untuk mengembangkan diri
dalam hal-hal tersebut. Dalam masyarakat-masyarakat Asia di mana
pasangan yang menikah diharapkan segera memiliki anak, perempuan
yang akan dan sudah menikah seringkali harus memilih antara karier
8
Paula M. Cooey, Family, Freedom, and Faith: Building Community Today, 1st
edition (Louisville, Ky: Westminster John Knox Press, 1996), 16.
9
Himawan, Bambling, and Edirippulige, “Singleness, Religiosity, and the
Implications for Counselors,” 489.

14 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

dan keluarga. Mereka yang memilih karier karena capaian-capaian


kerjanya telah menjadi bagian penting dari makna hidupnya harus
mengambil jalan hidup melajang. Dengan perkataan lain, bagi banyak
perempuan, menikah berarti menyerah kepada suatu pola hubungan
yang tidak adil, yang mempertaruhkan kebebasan pribadi, kemandirian
ekonomik, dan kesempatan untuk mengembangkan diri.10 Tetapi
bukan hanya perempuan yang menghindari pernikahan. Penelitian
Jones, Zhang, dan Chia di Singapura mengungkapkan bahwa banyak
pula laki-laki yang merasa hidup melajang membebaskan mereka dari
kewajiban membiayai keluarga, di samping menjamin mereka untuk
tetap menikmati kehidupan sosial yang selama ini mereka rasakan.11

TIDAK MENIKAH SEBAGAI POLA HIDUP NORMAL

Semakin banyaknya orang yang tidak menikah juga memberi


pemahaman baru tentang hidup melajang yang mengoreksi
pandangan tradisional tentang siklus kehidupan. Pandangan bahwa
orang yang normal mesti hidup berpasangan sebagai suami isteri
dengan anak-anak, sekarang mulai dipersoalkan. Budgeon, misalnya,
menyebut pandangan semacam itu sebagai sebuah ideologi yang
bermuara pada budaya patriarki. Pandangan itu bukan hanya tidak
memperhitungkan kehidupan orang-orang yang memilih untuk tidak
mempunyai pasangan seksual, tetapi juga menutup-tutupi kenyataan
tentang persoalan-persoalan dan ketimpangan-ketimpangan yang
melekat pada pola hidup berpasangan.12 Dari akar rumput juga mulai
muncul keberanian orang-orang lajang untuk menyatakan kelajangan
sebagai bagian dari identitas yang mereka rayakan dan pertahankan.
Misalnya, kelompok orang-orang lajang yang menamakan diri
10
Jones, Zhang, and Chia, “Understanding High Levels of Singlehood in
Singapore,” 737.
11
Jones, Zhang, and Chia, 737.
12
Budgeon, “Couple Culture and the Production of Singleness,” 302–4.

Yahya Wijaya 15
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

“Quirkyalone” yang menyatakan hidup melajang sebagai pilihan


yang mereka nikmati. Kelompok itu menolak pemutlakan pola hidup
berpasangan yang, mereka nilai, didasarkan pada “ide kuno tentang
cinta romantis.” Quirkyalone mengusung nilai-nilai penghargaan diri,
semangat kemandirian, kreatifitas, cinta sejati, dan kepercayaan diri
sebagai nilai-nilai yang lebih terjamin dalam pola hidup melajang
ketimbang dalam pernikahan. Sehubungan dengan itu, kelompok itu
menyorongkan “persahabatan yang bermakna” sebagai alternatif bagi
pernikahan atau keterikatan romantis yang sebenarnya sama sekali
tidak ideal.13
Di Indonesia, sebuah survai nasional yang dilakukan pada tahun
2014 menemukan bahwa orang yang tidak menikah terbukti lebih
bahagia ketimbang mereka yang hidup dalam pernikahan.14Temuan
ini mementahkan stigma negatif yang umum dalam masyarakat
Indonesia, yang mengaitkan kelajangan dengan faktor-faktor penyebab
ketidakbahagiaan seperti kesepian dan kesedihan. Sebenarnya, orang
yang menikah pun bisa mengalami kesepian dan kesedihan sama
seperti atau bahkan lebih daripada orang yang tidak menikah. Jadi
sama sekali tidak benar anggapan bahwa menikah adalah satu-satunya
cara untuk mencapai kebahagiaan atau kepenuhan hidup.
Semua itu tidak berarti melajang lebih unggul ketimbang
berpasangan. Yang dikemukakan para peneliti di atas adalah data yang
menunjukkan bahwa stigma negatif tentang hidup melajang lebih
didasarkan pada gambaran idealis tentang hidup berpasangan yang
tidak selalu terbukti dalam realitas kehidupan sehari-hari. Karena itu
tidaklah tepat menilai kehidupan melajang dengan standar kehidupan
berpasangan. Baik melajang maupun berpasangan mempunyai
keuntungan dan persoalannya sendiri-sendiri. Kedua pola hidup itu
sama-sama tidak boleh dianggap dengan sendirinya berbahagia atau
menderita. Baik orang yang melajang maupun berpasangan sama-
Budgeon, 310-1.
13

Himawan, Bambling, and Edirippulige, “Singleness, Religiosity, and the


14

Implications for Counselors,” 488.

16 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

sama membutuhkan dukungan, persahabatan, empati, penghargaan,


dan motivasi dari pihak lain untuk menjalani kehidupan ini.

PERAN AGAMA

Dalam konteks Indonesia, posisi agama sangat strategis dalam


mendampingi kaum lajang menjalankan coping strategy mereka
mengatasi persoalan-persoalan yang mereka hadapi. Orang-orang
lajang menghadapi persoalan-persoalan, baik yang bersumber pada
stigma negatif yang tertanam dalam masyarakat, maupun yang
bersifat individual. Agama dapat membantu orang-orang lajang untuk
meyakini bahwa jalan hidup yang dilakoninya adalah normal dan
bermakna. Namun agama bisa juga berperan sebaliknya. Menurut
Himawan et al., suatu tradisi agama hanya dapat berperan konstruktif
bagi kaum lajang apabila lebih berfokus pada nilai-nilai ketimbang
simbol-simbol keagamaan, tidak menekankan gambaran tentang
Tuhan sebagai tokoh penghukum, dan mampu berfungsi efektif sebagai
sumber spiritualitas dan basis komunitas.15 Sebaliknya, tradisi agama
yang menjadikan hidup dalam pernikahan sebagai norma tunggal
bagi setiap orang akan meneguhkan stigma negatif dalam masyarakat
luas yang membuat orang-orang lajang tertekan dan tidak sejahtera.16
Kemampuan suatu tradisi agama untuk berperan konstruktif tentu
tergantung pada tersedianya sumber-sumber teologis yang dapat
digali dalam Kitab Suci dan ajaran agama tersebut.

ALKITAB TENTANG HIDUP LAJANG

Banyak orang Kristen menganut pandangan bahwa hidup melajang


bukanlah kodrat manusia. Acuan Alkitab yang dipakai adalah
15
Himawan, Bambling, and Edirippulige, 490.
16
Himawan, Bambling, and Edirippulige, 491.

Yahya Wijaya 17
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

Kejadian 2 yang menggambarkan penciptaan manusia sebagai


sepasang suami-isteri yaitu Adam dan Hawa. Sehubungan dengan
itu, Bennett17mengingatkan bahwa Kejadian 1 dan Kejadian 2 tidak
bisa dicampuradukkan seolah-olah keduanya menceritakan satu
kisah penciptaan. Mengikuti Agustinus, Bennett menolak anggapan
bahwa Kejadian 1 adalah rekapitulasi dari kisah-kisah pada pasal-
pasal berikutnya. Bennett menafsirkan Kejadian 2 sebagai versi kisah
penciptaan yang terpisah dari Kejadian 1. Jadi kisah Adam dan Hawa
bukanlah tentang penciptaan manusia yang pertama, melainkan
tentang karya Allah yang bersinambungan sejak penciptaan yang mula-
mula. Dengan demikian, kodrat manusia lebih tercermin dalam kisah
penciptaan dalam Kejadian 1 yang menyebutkan tentang penciptaan
manusia laki-laki dan perempuan yang diciptakan menurut gambar
Allah. Kejadian 1 sama sekali tidak menyebutkan sifat kodrati dari
hubungan antara laki-laki dan perempuan. Karena itu, klaim bahwa
pernikahan adalah sifat kodrati manusia tidak memiliki dasar yang
kuat. Lagipula jika manusia kodrati dihubungkan dengan Yesus Kristus
yang disebut sebagai “gambar Allah yang tidak kelihatan, yang sulung,
lebih utama dari segala yang diciptakan” (Kol 1:15) maka perlu diingat
Yesus menjalani kehidupan melajang. Itu berarti kelajangan seseorang
sama sekali tidak mengurangi keutuhan kodratnya sebagai manusia.
Selain beberapa tokoh utama dalam Perjanjian Baru hidup
melajang, termasuk Yesus dan Paulus, Injil juga secara eksplisit
memberi ruang bagi hidup melajang sebagai suatu cara hidup yang
normal. Perkataan Yesus dalam Matius 19:12 menyatakan pengakuan
Yesus terhadap orang-orang yang hidup melajang karena alasan-
alasan fisik, sosial, maupun spiritual. Paulus, selain menjalani
sendiri hidup melajang, juga merekomendasikan hidup melajang
bagi orang-orang yang diberi karunia khas untuk hidup seperti itu
(I Kor 7:7-8) sambil menunjukkan keuntungan hidup melajang jika
17
Jana Marguerite Bennett, Water Is Thicker than Blood: An Augustinian
Theology of Marriage and Singlehood, 1 edition (Oxford University Press, 2008).

18 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

ingin “memusatkan perhatian pada perkara Tuhan” (I Kor 7:32-35).


Meskipun barangkali benar bahwa pandangan Paulus ini berkaitan
dengan prediksinya yang meleset tentang kedatangan Kristus yang
dikira tinggal hitungan hari, tidak berarti bagi Paulus hidup melajang
hanya tepat dijalankan dalam keadaan darurat. Hitchcock memahami
perkataan Paulus itu sebagai bukan semata-mata sebuah nasihat
praktis melainkan suatu prinsip bahwa hidup melajang, seperti halnya
dengan hidup dalam pernikahan, dapat menjadi sebuah gambaran
tentang Allah dan pekerjaanNya, serta tentang apa artinya berada
dalam perelasian dengan Dia.18 Perlu diperhatikan bahwa meskipun
Paulus merekomendasikan hidup melajang, ia tidak menganggapnya
ideal untuk semua orang. Ia mengakui bahwa bagi sebagian orang,
menikah lebih baik ketimbang melajang (I Kor 7:2,9,36).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa Alkitab
memandang baik hidup melajang maupun hidup berpasangan sebagai
pola-pola hidup yang wajar. Kedua pola hidup itu bisa kondusif bagi
pengembangan moral dan spiritual yang sehat. Setiap orang perlu
memastikan apakah panggilan dirinya adalah untuk hidup melajang
atau menikah. Di sisi lain, Alkitab tidak mengidealisasikan kedua
pola hidup itu. Artinya, baik menikah maupun melajang tidak dengan
sendirinya baik. Para lajang dan pasangan-pasangan suami-isteri
perlu memelihara pola hidup yang mereka jalani agar dapat menjadi
platform bagi kebahagiaan dan kesejahteraan mereka.

GEREJA DAN PARA LAJANG

Kelajangan mempunyai tempat tersendiri dalam tradisi gereja. Gereja


Roma Katolik mewajibkan para rohaniwannya untuk hidup selibat,
dan memelihara biara-biara sebagai komunitas para rahib yang
hidup melajang. Meskipun demikian, hidup melajang bukanlah pola
18
Christina S. Hitchcock, The Significance of Singleness: A Theological Vision for
the Future of the Church (Baker Academic, 2018) kindle edition, loc 598 of 2718.

Yahya Wijaya 19
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

hidup standar bagi umat. Tradisi mengistimewakan kelajangan tidak


diteruskan dalam Gereja Protestan. Banyak jemaat Protestan malah
mengharapkan pendeta menikah dan memiliki keluarga sama seperti
umumnya warga jemaat. Stigma negatif yang sering ditujukan kepada
para lajang tidak jarang terdengar juga di jemaat-jemaat Protestan.
Gereja Protestan cenderung memusatkan perhatian kepada kehidupan
keluarga dengan secara rutin menyelenggarakan program-program
berbasis keluarga, seperti Bulan Keluarga dan Katekisasi Pra-nikah.
Pelayanan yang ditujukan kepada para lajang biasanya hanya bertujuan
untuk menolong mereka menemukan jodoh. Misalnya, program Komisi
Mawar Saron yang pernah dijalankan di lingkungan Gereja Kristen
Indonesia. Program semacam ini memang bermanfaat bagi sebagian
lajang yang mengharapkan untuk menikah, atau yang dikategorikan
oleh Himawan et al sebagai “lajang terpaksa.”19 Memang, sebagian besar
kaum lajang di Asia berharap akan menemukan pasangan hidupnya. Di
Indonesia, angkanya mencapai 80%.20 Namun, belum tentu keinginan
mereka untuk menemukan jodoh itu didasarkan pada kebutuhan yang
sebenarnya. Bisa saja sebabnya karena terintimidasi oleh sikap umum
lingkungan sosial yang mengidealisasikan hidup berpasangan, suatu
kondisi sosial yang disebut oleh Budgeon sebagai “couple culture.”21
Setidaknya ada sekitar 20% kaum lajang yang tidak mengharapkan
untuk menikah. Bagi mereka program-program perjodohan justru akan
terasa memojokkan dan membuat mereka merasa kurang utuh. Untuk
melayani mereka, pelayanan gerejawi perlu meninggalkan pendekatan
idealisasi pernikahan, sehingga hidup melajang tidak dilihat semata-
mata sebagai masalah atau musibah.
Penelitian Frahm-Arp22 di Afrika Selatan mengambil sampel
19
Himawan, Bambling, and Edirippulige, “Singleness, Religiosity, and the
Implications for Counselors,” 489.
20
Himawan, Bambling, and Edirippulige, 489.
21
Budgeon, “Couple Culture and the Production of Singleness.”
22
Maria Frahm-Arp, “Singleness, Sexuality, and the Dream of Marriage,”
Journal of Religion in Africa 42, no. 4 (January 1, 2012): 369–83, https://doi.
org/10.1163/15700666-12341238.

20 Yahya Wijaya
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

sebuah Gereja Pentakosta yang berhasil meninggalkan pendekatan


tradisional yang bercirikan patriarkisme dan familisme. Gereja tersebut
secara sistematis menanamkan rasa percaya diri dan kemandirian bagi
orang-orang yang tidak menikah. Hidup melajang dihargai sebagai
suatu pola hidup yang diperkenan oleh Tuhan dan terhormat di dalam
jemaat. Dengan begitu para lajang tidak mudah menyerah terhadap
intimidasi lingkungan sosial yang cenderung memojokkan mereka,
khususnya perempuan, untuk menerima persyaratan pernikahan
yang tidak adil dan abusive. Di sisi lain, gereja tersebut tidak juga
terjatuh dalam idealisasi hidup melajang dengan tidak memadamkan
harapan untuk menikah bagi para lajang yang benar-benar meyakini
hidup berpasangan sebagai panggilan mereka.

KESIMPULAN

Gereja perlu menyadari perkembangan demografis yang menunjukkan


bahwa hidup melajang semakin menjadi pola hidup yang normal sama
seperti hidup berpasangan. Pelayanan gerejawi terhadap kaum lajang
perlu berangkat dari pengakuan dan penghargaan terhadap pola hidup
yang mereka jalani. Idealisasi pernikahan tidak tepat dijadikan dasar
untuk melayani para lajang. Pernikahan sebagai gerbang memasuki
“hidup bahagia selama-lamanya” hanya ada dalam dongeng-dongeng
Hans Christian Andersen, tidak di dunia nyata. Gereja perlu mengakui
kenyataan bahwa baik melajang maupun menikah memiliki kekuatan
dan persoalannya sendiri-sendiri. Karena itu, idealisasi hidup melajang
pun perlu dihindari. Lebih bermanfaat jika gereja menjadi komunitas
yang bersahabat bagi kaum lajang di mana mereka dapat terbebas
dari stigma negatif yang biasa dilekatkan pada mereka. Gereja yang
“single-friendly” menyediakan konteks persahabatan dan atmosfer
yang reflektif bagi kaum lajang untuk menjalani dan membangun pola
hidup yang sesuai dengan panggilan masing-masing.

Yahya Wijaya 21
TIDAK MENIKAH: SEBUAH PILIHAN

DAFTAR PUSTAKA

Bennett, Jana Marguerite. Water Is Thicker than Blood: An Augustinian


Theology of Marriage and Singlehood. 1 edition. Oxford
University Press, 2008.
Budgeon, Shelley. “Couple Culture and the Production of Singleness,”
Sexualities 11, no.3 (2008): 301-25. https://journals.sagepub.
com/doi/10.1177/1363460708089422.
Cooey, Paula M. Family, Freedom, and Faith: Building Community
Today. 1st edition. Louisville, Ky: Westminster John Knox
Press, 1996.
Frahm-Arp, Maria. “Singleness, Sexuality, and the Dream of Marriage.”
Journal of Religion in Africa 42, no. 4 (January 1, 2012): 369–83.
https://doi.org/10.1163/15700666-12341238.
Himawan, Karel Karsten, Matthew Bambling, and Sisira Edirippulige.
“Singleness, Religiosity, and the Implications for Counselors:
The Indonesian Case.” Europe’s Journal of Psychology 14, no.
2 (June 19, 2018): 485-497–497. https://doi.org/10.5964/ejop.
v14i2.1530.
Hitchcock, Christina S. The Significance of Singleness: A Theological
Vision for the Future of the Church. Baker Academic, 2018.
Jones, Gavin W., Yanxia Zhang, and Pamela Pei Zhi Chia.
“Understanding High Levels of Singlehood in Singapore.”
Journal of Comparative Family Studies 43, no. 5 (2012): 731–50.
Kislev, Elyakim. Happy Singlehood: The Rising Acceptance and
Celebration of Solo Living. 1 edition. University of California
Press, 2019.
Yang, Wen-Shan, and Pei-Chih Yen. “A Comparative Study of Marital
Dissolution in East Asian Societies: Gender Attitudes and
Social Expectations towards Marriage in Taiwan, Korea and
Japan.” Asian Journal of Social Science 39, no. 6 (2011): 751–75.

22 Yahya Wijaya
PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

Bab 3
PEMBINAAN UNTUK ANAK
Dampak Perceraian Orangtua pada Anak

Tabita Kartika Christiani

PENDAHULUAN

Saat orangtua bercerai, mau tidak mau anak terpengaruh. Ayah dan ibu
tidak lagi bersama-sama, sehingga anak harus tinggal bersama salah
satu orangtua: ayah atau ibu, sesuai dengan keputusan pengadilan
tentang hak asuh anak pada saat perceraian secara hukum terjadi.
Tentu hal ini mempengaruhi anak, karena berdampak langsung
dalam kehidupan sehari-hari. Anak harus terpisah dengan salah satu
orangtuanya. Bagi anak yang lebih besar, bahkan remaja, tentunya
sudah lebih bisa memahami mengapa orangtua bercerai. Mungkin
mereka melihat sendiri bagaimana orangtua terus menerus berkonflik
dan tak bisa didamaikan. Mereka memahami ada masalah di antara
kedua orangtuanya. Namun bagi anak yang lebih kecil, mereka
belum dapat memahami masalah di antara orangtuanya. Akibatnya,
bisa jadi justru anak merasa bersalah karena mengira anaklah yang
menyebabkan orangtua bercerai. Padahal sesungguhnya tidak sama
sekali. Hampir tidak ada perceraian disebabkan karena anak. Maka
dibutuhkan pembinaan untuk anak, agar dapat menghadapi dan
menjalani masa krisis ini dengan kuat dan sikap yang tepat.
Untuk membina anak dalam menghadapi perceraian
orangtuanya, dapat dilakukan pembinaan kepada anak secara langsung,
maupun tidak langsung, yaitu melalui Guru Sekolah Minggu dan

Tabita Kartika Christiani 23


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

orangtua yang bercerai. Maka di bawah ini dibahas materi pembinaan


untuk anak secara langsung, untuk Guru Sekolah Minggu yang
mendampingi anak yang orangtuanya bercerai, dan untuk orangtua
yang bercerai, dalam menyiapkan dan mendampingi anak.

PENGERTIAN TENTANG KELUARGA

Tidak selalu keluarga terdiri dari ayah, ibu, dan anak (laki-laki dan
perempuan). Ada keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak dalam
jumlah dan komposisi jenis kelamin yang berbeda satu sama lain. Ada
pula keluarga yang terdiri dari ayah dan anak/ anak-anak. Demikian
juga ada keluarga yang terdiri dari ibu dan anak/ anak-anak. Masih
ada lagi keluarga yang merupakan keluarga besar, termasuk kakek,
nenek, paman, bibi, sepupu dll. Jadi variasi keluarga begitu banyak.
Maka anak tidak perlu berkecil hati atau merasa minder jika orangtua
bercerai dan ia tinggal hanya dengan ayah atau ibu. Anak tetap berada
dalam keluarga yang utuh, bukan keluarga yang kurang. Tiap keluarga
adalah keluarga yang utuh.
Guru Sekolah Minggu yang mengajar di kelas – baik di kelas
yang ada anak dengan orangtuanya bercerai maupun tidak – mesti
berhati-hati dalam menjelaskan tentang keluarga, atau memakai
keluarga sebagai bagian dari pemberitaan Firman, penerapannya,
dan contoh-contoh perbuatan yang diharapkan dilakukan anak. Guru
Sekolah Minggu jangan berasumsi semua anak berasal dari keluarga
yang ideal, harmonis, dan bahagia. Bahkan Guru Sekolah Minggu
perlu mengenal anak satu per satu, agar mengetahui jika ada anak
yang orangtuanya bercerai. Misalnya Guru Sekolah Minggu berhati-
hati dalam menggunakan istilah mama dan papa, terutama jika ada
anak yang orangtuanya bercerai.

24 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

PENGERTIAN TENTANG PERNIKAHAN DAN PERCERAIAN

Pernikahan merupakan perjanjian antara suami dan istri (ayah dan


ibu). Semua orang menikah dengan keinginan hidup bersama dengan
bahagia. Anak dapat membaca buku-buku dongeng yang berakhir
dengan kalimat: mereka hidup bahagia untuk selama-lamanya.
Itulah cita-cita orang-orang yang menikah. Tapi dalam perjalanan
pernikahan seringkali ada masalah di antara ayah dan ibu. Anak dapat
membandingkan dengan pengalamannya bersama teman, kakak,
adik, dan orangtua, yaitu adanya masalah, beda pendapat, konflik,
dsb. Kalau masalahnya kecil, dapat diselesaikan dengan mudah. Tapi
kalau persoalannya besar, pasti sulit diselesaikan. Maka jika ayah dan
ibu bercerai, pasti karena ada masalah yang besar di antara mereka.
Mungkin anak tidak atau belum mengerti apa permasalahan antara
ayah dan ibu, karena anak masih kecil. Jika anak semakin besar, nanti
akan mengerti juga.
Yang penting bagi Guru Sekolah Minggu adalah memandang
perceraian sebagai realita, dan tidak memberikan penilaian/
penghakiman bahwa perceraian adalah dosa – apalagi dosa tak
terampunkan. Jika ada anak yang orangtuanya bercerai, Guru Sekolah
Minggu bertugas mendampingi, menolong, dan meringankan beban
anak, bukan menambah beban dengan penilaian dan penghakiman
yang negatif, sebab perceraian orangtua bukanlah kesalahan dan
tanggungjawab anak.

DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

Dampak perceraian orangtua pada anak tidak sama pada kelompok


usia tertentu. Archibald Hart membedakan dampak perceraian
orangtua pada anak balita, anak kecil, anak besar, dan remaja.1 Anak
1
Archibald D. Hart, Menolong Anak Korban Perceraian: Apa yang Diharapkan

Tabita Kartika Christiani 25


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

balita (bawah lima tahun) kelihatannya belum mengerti secara kognitif


tentang perceraian orangtuanya, namun ia dapat merasakannya.
Sekalipun ia belum dapat mengekspresikan perasaannya secara utuh
dan jelas, namun ada tindakan-tindakan yang menunjukkan bahwa ia
terpengaruh oleh perceraian orangtuanya. Misalnya ia menunjukkan
perilaku kemunduran ke tahap perkembangan sebelumnya: menjadi
bergantung, pasif, berkelakuan seperti bayi, minta disuapi, ingin
memakai popok lagi.
Anak kecil usia 5-8 tahun sudah mulai mengerti apa yang
sedang terjadi pada orangtuanya yang bercerai, namun belum cukup
dewasa untuk dapat menghadapinya. Inilah usia yang paling kritis bagi
anak yang orangtuanya bercerai. Anak kecil juga dapat menunjukkan
kemunduran perilaku, seperti: sulit tidur, kencing sewaktu tidur,
menggigit kuku, dan mengalami kesedihan yang mendalam yang
tak dapat ia ungkapkan, sehingga mengarah pada depresi. Anak
kecil juga dapat mengalami ketakutan yang tidak rasional; misalnya
takut ditinggalkan kedua orangtuanya dan menjadi kelaparan. Lalu ia
berusaha memakai khayalan untuk menyelesaikan krisis keluarganya.
Anak besar usia 9-12 tahun sudah semakin memahami apa
yang terjadi pada orangtuanya yang bercerai, dan emosi dominan
yang ia tunjukkan adalah kemarahan. Ia marah kepada orangtuanya,
orang-orang lain di luar keluarganya, dan teman-temannya yang ia
anggap tidak mendukung, bahkan marah juga kepada Tuhan dan
agama. Ia merasa terasing dari orang-orang yang tadinya dekat
dengannya. Ia merasa tak ada gunanya beragama karena orangtuanya
tidak menjalankan nilai-nilai agama yang mereka anut.
Remaja usia 12 tahun ke atas sudah memahami alasan orangtua
bercerai, sehingga ia tidak serta merta menyalahkan orangtua seperti
yang dilakukan anak-anak. Namun remaja juga terluka secara
mendalam dan mengalami ketakutan. Misalnya takut dipisahkan dari
dan Bagaimana Menolongnya (Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 2002), 37-38.

26 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

teman-teman jika ia harus berpindah rumah mengikuti salah satu


dari orangtuanya; takut diejek dan dihina teman-teman, sehingga ia
cenderung mengundurkan diri dari pergaulan; takut membicarakan
apa yang mengganggu pikiran dan perasaan mereka. Remaja merasa
lelah secara emosional menghadapi perceraian orangtuanya.
Orangtua dan Guru Sekolah Minggu perlu mengetahui dampak
perceraian orangtua pada anak yang tidak sama pada kelompok
usia tertentu, agar dapat menyesuaikan diri dengan usia anak yang
didampingi. Namun demikian penjelasan di atas masih secara umum,
sedangkan setiap anak memiliki reaksi dan ketahanan yang berbeda-
beda. Maka di samping pemahaman umum tersebut di atas, Guru
Sekolah Minggu tetap perlu mengenali anak yang didampingi.

BERBAGAI PERASAAN ANAK DALAM MENGHADAPI


PERCERAIAN ORANGTUA

Ada berbagai perasaan yang muncul dalam diri anak saat orangtuanya
dalam proses perceraian. Perasaan-perasaan yang dominan dapat
dibagi menjadi tahap-tahap: (1) ketakutan dan kecemasan; (2)
ditinggalkan dan ditolak; (3) kesepian dan kesedihan; (4) frustrasi
dan kemarahan; (5) penolakan dan kebencian; (6) kembalinya
kepercayaan.2
Ketakutan dan kecemasan dialami anak sejak sebelum
perceraian orangtuanya terjadi, sebab biasanya perceraian diawali
dengan pertengkaran yang tak habis-habisnya antara ayah dan ibu,
bahkan disertai dengan kekerasan (suara, fisik, psikis), atau sebaliknya
dengan perang dingin (tidak adanya komunikasi) antara ayah dan
ibu. Pada masa ini mulai muncul perasaan ketakutan dan kecemasan
pada anak, yang ikut merasakan ada hal yang tidak beres di antara
2
Hart, Menolong Anak Korban Perceraian: Apa yang Diharapkan dan
Bagaimana Menolongnya, 90-99.

Tabita Kartika Christiani 27


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

orangtuanya. Ketakutan dan kecemasan memuncak saat orangtua


memberitahu anaknya bahwa mereka akan bercerai. Kestabilan dan
kepastian yang selama ini mereka miliki menjadi goyah dan berubah
menjadi ketidakstabilan dan ketidakpastian. Anak merasa takut dan
cemas tentang masa depan keluarga yang tercerai-berai, tanggapan
teman-teman dan orang-orang di sekitar mereka, bahkan masa depan
diri anak sendiri (apakah perceraian orangtua akan menghambat
mereka dalam mencari pekerjaan dan jodoh).
Perasaan ditinggalkan dan ditolak dialami anak saat salah
satu dari orangtuanya pergi meninggalkan keluarga. Apalagi jika
salah satu dari orangtua yang pergi itu tidak lama kemudian menikah
lagi dengan orang yang sudah memiliki anak. Anak semakin merasa
ditinggalkan dan ditolak, seakan-akan salah satu orangtuanya itu
pergi meninggalkannya demi anak lain.
Kesepian dan kesedihan dialami anak begitu orangtuanya
berpisah. Suasana dan kegiatan rutin dalam keluarga berubah menjadi
kesunyian dan kehilangan gairah. Anak menjadi pendiam, pemurung,
dan menghabiskan waktu dengan berpikir dan berkhayal semua ini
segera berlalu dan orangtuanya bersatu kembali. Pikiran dan khayalan
ini justru membuat anak semakin sedih dan banyak menangis.
Perasaan frustrasi dan marah dialami anak karena perceraian
orangtua menghambat terpenuhinya kebutuhan hidup dan rasa aman.
Frustrasi dan kemarahan ditunjukkan anak dengan berbagai cara,
baik secara langsung (kemarahan yang meledak, seperti membanting
pintu, merusak barang), maupun tidak langsung (diam, menarik diri,
pasif, malas mengerjakan tugas, malas belajar). Bahkan ada anak yang
sengaja melukai diri sendiri dan berniat bunuh diri.
Selanjutnya perasaan dapat berubah menjadi penolakan
dan kebencian kepada orangtua yang bercerai. Anak menjaga jarak
dengan orangtuanya agar jangan tersakiti lebih dalam lagi. Anak
juga melakukan tindakan-tindakan negatif untuk menghukum

28 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

orangtuanya. Misalnya mengritik orangtua, membandingkan


orangtuanya dengan orangtua teman, dan mengatakan hal-hal yang
menyakiti hati orangtua. Bahkan ada pula yang melakukan tindakan-
tindakan nakal sehingga orangtuanya dipanggil ke sekolah.
Setelah semua badai taufan perasaan itu reda, pada akhirnya
akan muncul kembali kepercayaan dan ketenangan. Anak sudah
dapat menerima kenyataan, sehingga dapat melanjutkan kehidupan
dengan keadaan yang baru – di mana orangtuanya telah berpisah
dan ia tinggal bersama salah satu dari mereka. Berapa lama waktu
dibutuhkan untuk mencapai perasaan kepercayaan kembali, sangat
ditentukan oleh berbagai hal: tingkat konflik orangtua yang bercerai,
usia dan kepribadian anak, cara orangtua mendampingi anak selama
proses perceraian, dan relasi antara ayah dan ibu yang bercerai. Maka
waktu yang dibutuhkan bisa beberapa bulan, beberapa tahun, bahkan
lebih. Untuk itu dibutuhkan pendampingan yang lebih intensif dan
terarah terhadap anak yang orangtuanya bercerai. Pendampingan
dapat dilakukan oleh kakek dan nenek, paman dan bibi, Guru Sekolah
Minggu, pembimbing remaja, guru di sekolah, pendeta, dan orangtua
dari teman/sahabat.
Begitu pula dukungan dari teman-teman sebaya di sekolah dan
gereja sangat dibutuhkan dalam proses penyembuhan ini. Dengan
terjadinya perceraian orangtua, biasanya anak merasa malu dan minder.
Malu karena mungkin ada yang mem-bully, atau setidak-tidaknya
membicarakan, menggosip, atau menyindir. Minder karena melihat
teman-teman dengan orangtua yang tidak bercerai dan tampak bahagia.
Anak perlu belajar untuk melihat hidup ini secara lebih luas. Anak
tidak ditentukan hanya oleh status pernikahan orangtua. Anak adalah
pribadi yang mandiri. Memang perceraian orangtua mempengaruhi
anak, namun hal itu tidak bersifat fatalistik. Anak tetap bisa bertumbuh,
bergaul, sekolah, mengembangkan diri, bahkan berprestasi, sama
seperti anak-anak lain yang orangtuanya tidak bercerai.

Tabita Kartika Christiani 29


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

Teman-teman dari anak yang orangtuanya bercerai juga


membutuhkan pembinaan, agar mereka tidak mem-bully atau
menghina teman yang orangtuanya bercerai. Teman-teman ini juga
perlu belajar pengertian keluarga, pernikahan dan perceraian, dan
pergumulan teman yang orangtuanya bercerai. Teman-teman perlu
belajar berempati kepada anak yang orangtuanya bercerai. Teman-teman
perlu menunjukkan kasih dan penerimaan, dengan bersikap wajar dan
bergaul sebagaimana biasanya, dengan anak yang orangtuanya bercerai.

PEMAHAMAN ANAK TENTANG TUHAN DALAM


PERCERAIAN ORANGTUANYA

Mungkin ada anak yang orangtuanya bercerai bertanya-tanya: di mana


Tuhan… mengapa Tuhan membiarkan saya mengalami hal ini….
Ada anak yang berkhayal Tuhan akan segera menunjukkan kuasa dan
mujizat, sehingga orangtua tiba-tiba tidak jadi bercerai, atau yang
sudah bercerai menjadi rujuk. Ada anak yang berharap semua ini cuma
mimpi, bukan realita, karena Tuhan bisa mengubah segalanya dalam
sekejap. Namun saat anak menyadari bahwa perceraian orangtuanya
tak bisa dihindarkan, ia bisa marah kepada Tuhan yang ia anggap
tidak cukup berkuasa untuk mencegah perceraian orangtuanya.
Tuhan tidak sayang lagi kepada anak dan orangtuanya, sehingga kasih
tidak terwujud dalam keluarga itu.
Maka anak perlu belajar tentang manusia yang diciptakan oleh
Tuhan. Anak perlu belajar bahwa Tuhan menciptakan manusia sebagai
makhluk yang memiliki kehendak bebas. Tuhan tidak menciptakan
manusia sebagai robot yang diprogram. Maka manusia bisa memilih
jalan yang salah. Manusia jatuh dalam dosa. Termasuk dalam hal
pernikahan dan perceraian: bisa saja orangtua telah salah memilih,
bersikap dan bertindak. Tapi Tuhan mahapengampun. Saat orangtua
gagal mempertahankan pernikahan, dan mereka mengakui dosa dan

30 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

kesalahan mereka di hadapan Tuhan, pasti Tuhan yang mahakasih


mengampuni. Dan Tuhan yang mengampuni memberikan kesempatan
kedua (second chance) bagi mereka untuk menikah kembali dengan sikap
dan relasi yang lebih baik dan sehat, agar tidak mengulang kesalahan
yang sama dalam pernikahan terdahulu. Tuhan tidak meninggalkan
orangtua yang bercerai. Tuhan juga tidak meninggalkan anak-anak
yang orangtuanya bercerai. Tuhan memahami perasaan anak, dan
menangis bersama anak yang sedih oleh perceraian orangtuanya. Tuhan
menyertai agar anak tidak takut, kuatir, dan sedih berkepanjangan.
Tuhan menyertai anak menjalani masa-masa sulit perceraian orangtua.
Tugas orangtua yang bercerai adalah menjelaskan tentang
tanggungjawab mereka sendiri dalam mengambil keputusan untuk
bercerai. Orangtua tidak boleh menyalahkan Tuhan atau menganggap
Tuhan yang bertanggung jawab. Guru Sekolah Minggu bertugas untuk
menjelaskan pengertian tentang manusia dan Tuhan tersebut di atas
kepada anak yang orangtuanya bercerai.

TAHAP-TAHAP PENDAMPINGAN KEPADA ANAK YANG


ORANGTUANYA BERCERAI

Menjadi guru Sekolah Minggu tidak hanya mengajar di depan kelas.


Guru Sekolah Minggu juga mendampingi anak-anak secara pribadi,
dalam pergumulan masing-masing, agar iman anak bertumbuh
dengan baik di tengah pergumulan itu. Maka guru Sekolah Minggu
perlu mendampingi anak pada masa krisis karena perceraian
orangtuanya, dan menjadi teman seperjalanan mereka.
Guru Sekolah Minggu mesti menjalin komunikasi yang
baik dengan anak yang orangtuanya bercerai. Guru menunjukkan
kepedulian dan perhatiannya kepada anak, mulai dari sapaan “hai”
hingga menyediakan waktu dan kesempatan kepada anak untuk
mengekspresikan perasaannya. Guru mendengarkan apa yang dikatakan

Tabita Kartika Christiani 31


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

anak tentang perceraian orangtuanya. Jangan buru-buru memotong dan


memberi nasihat, misalnya: berserah pada Tuhan, Tuhan tahu apa yang
terbaik, semua akan indah pada waktunya, karena yang dibutuhkan
anak adalah orang yang mau mendengarkan suara hatinya. Setelah
mendengarkan anak, Guru Sekolah Minggu dapat mengajaknya berdoa
bersama. Guru Sekolah Minggu juga dapat berkomunikasi dengan
orangtua yang bercerai, agar searah dalam mendampingi anak. Mungkin
ada saat tertentu anak membutuhkan waktu sendirian, Guru Sekolah
Minggu jangan terus menerus bertanya atau meminta anak berbicara.
Guru mesti mengenal apa yang sedang dibutuhkan anak. Di samping
itu, Guru Sekolah Minggu melibatkan anak yang orangtuanya bercerai
dalam kegiatan di gereja. Jangan sampai anak merasa dikucilkan dalam
gereja. Guru Sekolah Minggu juga mengarahkan anak-anak lain agar
mendukung teman pada masa yang sulit ini.
Tahap-tahap pendampingan yang terarah bagi anak yang
orangtuanya bercerai dapat dilakukan sesuai dengan tahap-tahap
emosi yang dialami anak.3 Tahap pertama: penyangkalan. Pada tahap
ini anak tidak dapat menerima kenyataan bahwa orangtuanya bercerai.
Ia menarik diri, diam, dan tidak mau membicarakannya; ia mencari
kesibukan untuk melupakan masalah itu, misalnya dengan main
game sepanjang hari. Guru Sekolha Minggu atau pendamping dapat
mengajak anak ke luar dari rumah untuk melakukan kegiatan sport,
atau makan di luar dalam suasana yang rileks dan menyenangkan. Jika
sudah terjalin relasi yang baik, anak menjadi percaya kepada Guru
Sekolah Minggu, maka ia akan mulai terbuka untuk menceritakan
perasaannya. Namun biarkan hal ini mengalir secara alami dan
sukarela dari anak, bukan dipaksakan oleh guru.
Tahap kedua: marah. Pada tahap ini anak mencari jawab atas
perceraian orangtuanya. Entah terjawab atau tidak, entah jawabannya
3
Josh McDowell dan Ed Stewart, Sahabatku Bergumul dengan Perceraian
Orangtua (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005), 41-44. Tahap-tahap pendampingan ini
diambil dari lima tahapan kedukaan (The Five Stages of Grief) dari Elisabeth Kübler-
Ross, dalam bukunya On Death and Dying (1969).

32 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

benar atau tidak, anak dapat meledak dalam amarah. Pelampiasan


amarah dapat dilakukan dengan kata-kata atau tindakan terhadap
orangtua. Amarah juga bisa ditujukan kepada diri anak sendiri
yang merasa bersalah dalam perceraian orangtuanya, atau gagal
mempertahankan pernikahan orangtuanya. Amarah anak perlu
didengar oleh Guru Sekolah Minggu atau pendamping; jangan buru-
buru diputus dengan pemberian nasihat. Biarkan anak mencurahkan
semua isi hati dan perasaannya sampai tuntas.
Tahap ketiga: tawar menawar. Pada tahap ini anak bernegosiasi
dengan Tuhan. Misalnya berjanji mengubah kelakuannya jika
Tuhan mau mempersatukan kembali orangtuanya. Biarkan anak
menceritakan kepada Guru Sekolah Minggu atau pendamping apa
yang ia katakan kepada Tuhan dalam tawar menawar itu. Meskipun
pendamping tahu bahwa perceraian orangtua bukan disebabkan
kelakuan anak, namun janganlah terburu-buru memotong kata-kata
anak. Biarkan ia mengeluarkan isi hati dan doanya kepada Tuhan yang
berisi tawar menawar itu.
Tahap keempat: depresi. Anak mengalami depresi saat ia sadar
bahwa percerian orangtuanya benar-benar terjadi dan tak dapat
dibatalkan oleh siapapun. Anak merasa sedih, putus asa, kesepian,
takut, cemas, tidak aman dalam menjalani hidup tanpa kehadiran
salah satu dari orangtuanya. Beri kesempatan kepada anak untuk
mencurahkan isi hati dan perasaannya. Tugas pendamping adalah
menegaskan dan memberi nama terhadap perasaan yang dialami
anak, bukan untuk menilai dan memberi nasihat. Biarkan anak
menjalani tahap ini secara tuntas.
Tahap kelima: penerimaan. Setelah semua tahap dilalui, anak
akan sampai pada penerimaan. Anak menerima kenyataan perceraian
orangtuanya dan menghadapinya secara konstruktif. Anak dapat
melihat lebih utuh kedua orangtuanya, dan dapat menerima mereka
dengan status baru sebagai orangtua yang telah bercerai.

Tabita Kartika Christiani 33


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

ARAH PENDAMPINGAN ANAK YANG ORANGTUANYA


BERCERAI

Dalam rangka mendampingi, menolong, dan meringankan beban anak


yang orangtuanya bercerai, Guru Sekolah Minggu perlu memahami
beberapa hal tentang anak dari orangtua yang bercerai.

1. Posisi Anak di antara Orang Tua yang Bercerai

Seringkali anak bingung atau tidak tahu bagaimana harus bersikap


terhadap orangtuanya yang bercerai. Haruskah ia memihak pada
salah satu? Siapa yang salah dan siapa yang benar? Bagaimana
mengasihi yang satu tanpa menyakiti yang lain? Anak perlu belajar
untuk tidak melihat fakta perceraian orangtuanya secara hitam putih.
Tidak ada ayah atau ibu yang 100% salah dan 100% benar. Tidak perlu
pula mencari dan menentukan siapa yang salah dan siapa yang benar.
Perceraian itu keputusan orangtua sendiri. Yang perlu bagi anak
adalah keyakinan bahwa tidak ada mantan orangtua (mantan ayah
dan mantan ibu). Yang mantan hanya suami istri dan semua in-law
(mantan mertua, ipar dsb.). Jadi ayah ya tetap ayah, ibu ya tetap ibu
walau mereka sudah bukan suami istri. Rasa hormat dan kasih mesti
ditunjukkan anak kepada keduanya. Anak tidak perlu memihak.
Kalau anak mengasihi ayah, bukan berarti menyakiti ibu; sebaliknya,
kalau anak mengasihi ibu, bukan berarti menyakiti ayah.

2. Saat Orang Tua yang Telah Bercerai Menikah Lagi

Mungkin ada orangtua yang bercerai kemudian ingin menikah kembali.


Bagaimana anak menerima hal ini? Anak belajar menyadari bahwa
perceraian orangtuanya sudah terjadi dan mereka merasa tidak mungkin
rujuk kembali. Maka anak mesti menerima kenyataan ini dan tidak
perlu berkhayal suatu hari orangtua akan rujuk. Anak belajar bersikap

34 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

realistis dan dapat menerima jika salah satu atau kedua orangtuanya
yang sudah bercerai ingin menikah kembali. Daripada membenci atau
takut kepada ayah atau ibu tiri (karena pengaruh dongeng tentang
ibu tiri dalam cerita anak-anak), lebih baik memandang pernikahan
kembali orangtuanya secara lebih positif. Anak akan memiliki orangtua
yang lebih banyak: dua ayah dan atau dua ibu. Jadi lebih banyak orang
yang akan memperhatikan dan mengasihi anak. Jangan sampai anak
mendasarkan relasinya dengan ayah atau ibu tiri dengan kebencian,
bahkan sebelum mengenalnya. Yang lebih sulit adalah menerima
orangtua tiri yang menjadi orang ketiga dalam pernikahan orangtuanya
yang kemudian berakhir dengan perceraian. Anak perlu belajar kembali
pengertian pernikahan dan perceraian. Ada masalah yang kompleks
yang melatarbelakangi perceraian orangtuanya.

3. Relasi Anak dengan Orang Tua Kandung dan Orang Tua Tiri

Anak perlu belajar menerima kenyataan bahwa orangtuanya sudah


bercerai dan masing-masing menikah kembali. Maka ia memiliki
orangtua kandung dan orangtua tiri. Sikap yang mesti dihindari adalah
rasa benci dan dendam kepada orangtua tiri. Anak belajar bersikap
positif terhadap pernikahan kembali orangtuanya yang sudah bercerai,
yaitu untuk kembali merajut kehidupan pernikahan yang lebih baik dan
membahagiakan. Segala kesalahan yang telah dilakukan orangtua dalam
pernikahan terdahulu, yang berakhir dengan perceraian, diupayakan
untuk tidak terulang kembali. Maka anak dapat menghargai dan
mengasihi orangtua kandung maupun orangtua tiri.

4. Anak Tetap Dapat Bertumbuh Sehat Walau Orang Tua Bercerai

Ada orang yang mengira perceraian orangtua membuat anak menjadi


korban, sehingga disebut sebagai “anak korban perceraian.” Istilah ini
merupakan cap negatif dan membuat stereotyping yang tidak tepat.

Tabita Kartika Christiani 35


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

Anak yang orangtuanya bercerai tetap dapat bertumbuh menjadi


seorang dengan kepribadian yang sehat. Anak telah menjalani
dan melampaui pengalaman yang tidak menyenangkan dengan
perceraian orangtua, namun dapat mengalami penyertaan dan kasih
Tuhan yang tak pernah meninggalkannya. Anak juga dapat belajar
bersikap seimbang, tidak melihat orang lain (dalam hal ini orangtua
yang bercerai) secara hitam putih. Anak juga belajar untuk menerima
kenyataan dan tetap mengasihi serta menghargai orangtua kandung,
bahkan menerima dan mengasihi orangtua tiri.

SIKAP ORANG TUA YANG BERCERAI DALAM MENYIAPKAN


DAN MENDAMPINGI ANAK

Tidak dibenarkan ayah dan atau ibu masing-masing mencari


dukungan anak dengan mengatakan dirinyalah yang benar dan
pasangannya yang salah. Jika hal ini dilakukan, akan membuat anak
menjadi bingung. Bukankah perceraian merupakan tanggung jawab
ayah dan ibu, bukan hanya salah satu. Maka tidak benar mengatakan
atau menentukan salah satu pihak sepenuhnya salah dan pihak
yang lain sepenuhnya benar. Pasti ada andil masing-masing, entah
seimbang atau tidak. Kesepakatan untuk bercerai adalah kesepakatan
kedua belah pihak.
Orangtua yang bercerai jangan hanya sibuk dengan urusan
proses hukum perceraian, atau sibuk memikirkan (atau mengasihani)
diri sendiri, sehingga anak diabaikan (kurang diperhatikan), atau
dibebani dengan masalah perceraian orangtuanya. Mungkin orangtua
merasa lega setelah urusan perceraian selesai, namun jangan lupa
bahwa perceraian orangtua merupakan mimpi buruk bagi anak. Anak
jangan dijadikan sasaran pelampiasan kemarahan atau emosi orangtua.
Justru berilah kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan
perasaannya terhadap perceraian orangtua. Dengarkanlah anak,

36 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

janganlah orangtua merasa terancam. Anak perlu disiapkan dan


didampingi, agar tetap merasakan kasih sayang dari ayah dan ibu,
walaupun keduanya telah bercerai. Orangtua perlu meyakinkan anak
bahwa perceraian mereka bukan karena anak nakal atau anak bersalah.
Walau ayah dan telah berpisah, ikatan kasih orangtua dan anak tidak
terpisahkan. Ada mantan suami/ istri, tetapi tidak ada mantan anak.
Perceraian mungkin menyebabkan rasa malu, sehingga
ada kecenderungan orang yang bercerai meninggalkan komunitas
gereja. Apalagi jika gereja menjatuhkan sanksi/penggembalaan
khusus/disiplin gerejawi. Bagi orangtua yang bercerai, meninggalkan
komunitas mungkin dirasa baik karena menghilangkan salah satu
sumber stress. Namun bagi anak yang orangtuanya bercerai tidaklah
demikian. Meninggalkan gereja berarti kehilangan komunitas
pendukung pada masa yang sulit, sehingga anak semakin kesepian
dan sendirian. Maka, walaupun ada rasa malu, orangtua yang bercerai
hendaknya tetap berada dalam komunitas.

SIKAP GEREJA DALAM MENDAMPINGI ANAK YANG


ORANGTUANYA BERCERAI

Gereja semestinya menjadi komunitas penyembuh, bukan hanya


menghakimi orang yang bercerai. Sebagai komunitas pendukung
dan penyembuh, jemaat jangan berada pada salah satu pihak orang
yang bercerai, melainkan berada pada pihak anak yang orangtuanya
bercerai. Jemaat mesti menemani anak, dan menerimanya dengan
sikap yang sama seperti sebelum orangtuanya bercerai. Jemaat
menghibur dan mendoakan, serta membawa sukacita bagi anak.
Jemaat perlu menekankan kepada anak yang orangtuanya bercerai,
bagaimana dulu awal mula pernikahan orangtuanya yang penuh
cinta, sampai kelahiran anak-anaknya, … barulah pada akhirnya
pernikahan itu harus berakhir dengan perceraian. Anak mesti

Tabita Kartika Christiani 37


PEMBINAAN UNTUK ANAK: DAMPAK PERCERAIAN ORANGTUA PADA ANAK

memahami dan merasakan bahwa ia dilahirkan dalam suasana cinta


kasih orangtuanya, bukan anak yang tidak dikehendaki orangtuanya,
atau bahkan anak yang membawa malapetaka. Jika orangtua akhirnya
bercerai, penyebabnya adalah adanya masalah di antara mereka, dan
bukan karena kehadiran anak dalam keluarga itu.

PENUTUP

Demikianlah beberapa hal tentang pembinaan iman anak dalam


rangka menghadapi dampak perceraian orangtua, yang dapat
dijadikan semacam rambu-rambu bagi Guru Sekolah Minggu,
orangtua, dan gereja secara umum. Ada hal-hal yang harus dilakukan
untuk mendampingi anak, ada pula hal-hal yang harus dihindari agar
tidak semakin membebani anak yang orangtuanya bercerai.

DAFTAR PUSTAKA

Hart, Archibald D. Menolong Anak Korban Perceraian: Apa yang


Diharapkan dan Bagaimana Menolongnya. Bandung: Yayasan
Kalam Hidup, 2002.
McDowell, Josh dan Ed Stewart. Sahabatku Bergumul dengan
Perceraian Orangtua. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2005.
Root, Andrew. The Children of Divorce: The Loss of Family as the Loss
of Being. Grand Rapids: Baker Academic, 2010.

38 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Bab 4
PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA
Pacaran, Cinta, Jodoh, dan Tunangan

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor

PENDAHULUAN

Kehidupan remaja dan pemuda cukup kompleks dan penuh dengan


warna. Oleh karena itu, agar cakupan pembahasan tidak menjadi terlalu
luas, tulisan ini akan menitikberatkan pada beberapa isu dalam dunia
remaja dan pemuda yang terkait dengan relasi berdasarkan cinta-kasih
(pacaran, cinta, jodoh dan tunangan). Melalui tulisan ini, perspektif
dalam membangun relasi di masa pacaran atau tunangan diharapkan
dapat diperkaya dan memberi kontribusi dalam kehidupan remaja,
pemuda, orangtua, dan pihak lain yang terkait (misalnya pembimbing
di gereja). Tulisan ini juga akan menyinggung bagaimana “pacaran”
atau “tunangan” yang seolah-olah menjadi “aturan umum” atau “harus
dijalani” di masa muda ternyata tidaklah mutlak. Dengan demikian,
tidak perlu risau jika ternyata memutuskan untuk tidak berpacaran
atau tidak bertunangan.

APA ITU PACARAN?

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pacar adalah kekasih atau


teman lawan jenis yang tetap dan mempunyai hubungan berdasarkan
cinta-kasih. Berpacaran adalah bercintaan; (atau) berkasih-kasihan

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 39


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

(dengan sang pacar).1 Jadi, dalam pacaran ada relasi yang dekat,
perhatian dan penuh cinta kasih. Biasanya jika kita sudah mulai
senang dengan seseorang, ingin memberi perhatian khusus dan
ingin diperhatikannya juga dengan khusus. Itu berarti ada daya tarik
yang muncul untuk mengenal lebih dalam. Hal ini bisa terjadi kapan
saja di masa muda. Yang terpenting adalah, kejujuran itu penting
dalam masa pacaran. Jika kita menyukai seseorang, kenapa harus
dirahasiakan?2
Masa pacaran adalah masa saling mengenal dan mendukung,
bukan saling mengekang dan menyakiti. Jika ada perbedaan
pendapat, tentu itu hal yang biasa. Tapi, apapun yang terjadi, tetaplah
berpacaran secara sehat. Oleh karena itu, jangan terlalu emosional
atau tergesa-gesa saat memutuskan hendak berpacaran. Pacaran di
masa SD rasanya kurang bijak karena masih sangat dini dan seringkali
kekanak-kanakan. Memasuki usia remaja, ada yang sudah ngotot
ingin pacaran. Biasanya, di jaman now ini, masa pacaran dimulai
ketika masa puber, masa ketika mulai muncul ketertarikan terhadap
lawan jenis. Tidak hanya itu, di masa remaja, energi seksual dan
libido meningkat.3 Jadi, usia remaja memang masih muda, tapi secara
biologis sudah mulai dewasa, muncul hasrat dan ketertarikan pada
seks. Perlu ada kesepakatan bersama dengan orangtua karena remaja
tentu akan menolak jika terlalu banyak larangan. Namun, dengan
adanya kesepakatan yang lahir dari komunikasi terbuka dengan
orangtua, ruang dialog yang positif ini dapat melahirkan sikap yang
bertanggung jawab.4
1
Pusat Bahasa Pendidikan Nasinal, Kamus Besar Bahasa Indonesia: Edisi Ketiga
(Jakarta: Balai Pustaka: 2002), 807.
2
Ray E. Short, 77 Pertanyaan Aktual mengenai Seks, Pacaran, dan Cinta
(Bandung: Kalam Hidup, 2002), 37.
3
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 189.
4
Gary Chapman, The Five Love Languages of Teenagers: Lima Bahasa Kasih
untuk Remaja (Batam: Interaksara, 2003), 224-225; Peter & Heather Larson dan
David & Claudia Arp, Anakku Beranjak Dewasa: Percakapan dengan Putriku Jelang

40 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Oleh karena itu, penting sekali untuk menentukan batasan


dalam pacaran karena dengan tindakan tertentu, misalnya cium-
ciuman, meraba-raba dan mengelus-elus kita kadang sudah tidak
bisa mengendalikan nafsu kita. Area tertentu di tubuh kita (payudara
dan alat kelamin misalnya) sangat peka dan mudah terangsang jika
disentuh. Akibatnya, kadang sulit mengendalikan diri dan akhirnya
melakukan apa yang tadinya tidak ingin dilakukan (melepas baju,
bercumbu berlebihan hingga bersetubuh).5 Di sisi lain, perlu juga
mengambil sikap tegas jika terjadi tindakan kekerasan dalam
berpacaran. Ketika mulai ada ancaman, intimidasi, kekerasan fisik dan
paksaan, bahkan yang mengatasnamakan cinta sekalipun, tindakan
tegas sangat penting untuk dilakukan.6 Jangan takut untuk menolak
dan berkata TIDAK. Komunikasi yang baik dengan orangtua atau
pembimbing remaja dapat menolong untuk mencegah tindakan
kekerasan dalam pacaran.

APAKAH PACARAN ALKITABIAH?

Dalam Alkitab memang tidak dijelaskan tentang pacaran. Sebelum


memasuki pernikahan, biasanya hubungan yang terjalin adalah
tunangan. Tapi, kabar baiknya adalah bahwa Alkitab menjelaskan
mengenai persahabatan. Dalam persahabatan ada kasih. Bisa saja kita
akhirnya menemukan sahabat dekat karena merasa cocok, senang,
suka dan nyaman. Hanya memang, remaja itu dikenal dengan masa
yang bersemangat dan berapi-api, termasuk dalam hal gairah seksual
yang memang wajar terjadi karena kematangan alat-alat kelamin.

Masa Remaja (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 82-83.


5
Kristi Poerwandari dan Atashendartini Habsjah, Ngobrol Soal Tubuh dan
Seksualitas: Cerita Bergambar untuk Remaja dan Orangtua (Jakarta: Program Kajian
Wanita Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2006), 32-33.
6
Ibid., 76.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 41


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Di sisi lain, belum waktunya bagi remaja untuk melakukan


tindakan seksual seperti dalam perkawinan. Sebagaimana disampaikan
Firman Tuhan, “Sebab itu jauhilah nafsu orang muda, kejarlah keadilan,
kesetiaan, kasih dan damai bersama-sama dengan mereka yang berseru
kepada Tuhan dengan hati yang murni” (2 Timotius 2:22). Di masa ini,
pengendalian diri menjadi sangat penting dalam masa pacaran. Nah,
itulah pentingnya kita jujur pada orang tua, pembimbing komisi remaja
di gereja, orang-orang lainnya yang dekat di sekitar kita, termasuk
dengan Tuhan! Mereka bisa menjadi tempat bertanya termasuk yang
mengingatkan kita agar kita jangan melangkah terlalu jauh. Jika kita
menutup diri, dunia milik berdua (yang lain ngontrak), kita bisa jadi
orang yang sok tahu segalanya. Kalau sudah begini, tidak mau dinasehati
lagi. Akibatnya, jika salah kita bisa-bisa tidak menyadari dan akhirnya
terperosok semakin dalam. Jadi, teruslah menjalin komunikasi yang
baik dengan orang di sekitar kita dan tetaplah memiliki relasi yang kuat
dengan Tuhan. Jadikanlah Tuhan teman curhat kita, kepada-Nya kita
menyampaikan cerita suka dan duka saat kita pacaran. Bahkan pergi ke
gereja bersama pacar atau berdoa bersama menjadi satu kebiasaan yang
baik. Bukan sok suci tapi kita memang benar-benar mengakui bahwa
Tuhan akan membuat komitmen pacaran ini menjadi sesuatu yang
berdampak positif dalam kehidupan kita.

APA ITU CINTA?

Cinta biasanya dikaitkan dengan pacaran. Yang menarik, selain istilah


cinta, ada juga istilah “cinta monyet” dalam masa pacaran. Katanya
cinta monyet itu untuk mereka yang berpacaran dalam usia yang sangat
muda (misalnya SLTP/SMP). Benarkah demikian? itu bisa benar
tapi juga bisa keliru. Jika kita belum terlalu serius dan masih sangat
emosional, bisa jadi itu masih cinta monyet. Tapi, di era teknologi yang

42 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

semakin canggih ini, ada banyak remaja yang berpikiran dewasa dan
sangat serius dengan komitmennya berpacaran. Jika demikian, bisa
saja ia benar-benar merasakan cinta. Bahkan ada juga yang demi cinta
rela melakukan segalanya. Melodi cinta lama pun terdengar, hanya
satu yang kusayangi, tiada pengganti sampai saat ini. Jadi, jika ada yang
sampai “mabuk kepayang” karena cinta, lalu apa itu cinta? Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, cinta itu suka sekali atau sayang
benar. Jadi, cinta tidak hanya untuk pacar tapi juga bisa untuk sahabat
atau orangtua. Kalau mau spesifik untuk orang pacaran, cinta dapat
mewujud dalam tindakan yang aktif dan positif. Sebagaimana Gary
Chapman mengungkapkan, love is a verb. Jadi, cinta juga mewujud
dalam tindakan nyata yang positif. Percuma mengatakan kalau kita
cinta tapi memaksa, mengekang, memperdaya, cemburu buta apalagi
memukul dan melakukan tindakan kekerasan. Oleh karena itu, akan
sangat baik jika sejak awal kita dapat mengerti apakah pandangan kita
tentang cinta sama atau tidak dengan orang yang kita sukai/pacar kita.
Itu dapat membuat kita mengantisipasi apabila ternyata ada perbedaan
pemahaman yang cukup tajam dan akhirnya akan membuat relasi kita
dengannya menjadi buruk ke depan.

Cobalah membuat skala prioritas tentang CINTA (dalam


skala angka untuk diri Anda sendiri) pada daftar di bawah ini
dalam urutan angka (1, 2, 3, dst.)! Bandingkan dengan skala
dari orang yang kita sukai/pacar kita!

CINTA adalah:

Menerima apa adanya ____________


Perhatian ____________
Tanggung jawab ____________
Peduli ____________

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 43


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Persahabatan ____________
Jujur ____________
Kesabaran ____________
Kesetiaan ____________
Menghormati ____________
Mendukung ____________
Mempercayai ____________
Selalu ingin bersama dengan pasangan anda ____________
Rasa sayang ____________
Bahagia ____________
Hidup berkecukupan ____________
Uang ____________
Rasa Kagum ____________
Teman Berbagi ____________
Seks ____________
Lainnya (………………………….) ____________

Catatan:
Jika skala cinta didapati berbeda, apakah sangat kontras atau
tidak?

Dalam keyakinan iman Kristen, kita memahami bahwa cinta


adalah anugerah, pemberian Allah, Sang Cinta itu sendiri. Allah
menunjukkan cinta dalam karya penciptaan, pemeliharaan dan
penyelamatan-Nya. Dalam pacaran yang sehat, belum tentu masing-
masing memahami arti cinta yang sama. Ini yang penting untuk
diperhatikan. Jangan sampai saya memahami kalau cinta adalah
membelikan semua barang-barang mahal bagi pacar kita lalu pacar
kita ternyata punya pemahaman yang berbeda.
Tema cinta kasih sendiri sering ditemukan dalam Alkitab.
Misalnya, dalam surat-surat Johannine, cinta kasih kembali ditekankan

44 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

untuk menghadapi perpecahan yang terjadi dalam relasi antar manusia


yang satu dengan yang lain. Dalam komunitas, dua dimensi cinta kasih
sangat penting untuk diingat (kasih pada Tuhan yang tergambar melalui
kebersamaan dengan komunitas dan kesediaan untuk berkorban
sebagaimana yang ditunjukkan Yesus). Inilah cinta kasih yang mutual
sekalipun tidak selamanya simetris.7 Jadi, bicara soal cinta kasih,
daripada kita saling mengharapkan (baca: kadang menuntut) satu
dengan yang lain, lebih baik kita berusaha untuk mewujudkan sebaik-
baiknya apa yang sekiranya diharapkan dalam kebersamaan tanpa
harus membanding-bandingkan apakah yang saya berikan sudah setara
dengan yang saya dapatkan karena toh cinta kasih tidak selamanya
simetris. Yesus sendiri sudah menunjukkan bahwa cinta kasih justru
bermuara pada pengorbanan. Jadi, ada banyak tantangan dan resiko
atas nama cinta kasih, termasuk berpacaran yang tidak hanya senang
terus. Perlu ada pengorbanan, siap untuk menanggung resiko sakit hati
dan bahkan siap untuk berpisah jika memang tidak cocok. Jangan takut
menanggung status jomblo (tidak punya pacar) daripada memaksakan
diri punya pacar tapi menderita dan tidak bahagia.

APAKAH DIA JODOHKU?

Jodoh di tangan Tuhan! Benarkah demikian? Dalam keyakinan


bahwa Tuhan mengatur kehidupan kita, tentu Tuhan juga tidak
kehilangan kuasa untuk menolong kita menemukan jodoh yang
terbaik. Namun, kita juga diberi hikmat untuk memilih, memutuskan
sebaik-baiknya dan sematang-matangnya ketika akan menikahi
seseorang. Termasuk di dalamnya, kita berusaha memahami minat
intelektual, sosial, emosional, spiritual dan fisik masing-masing.8
7
Werner G. Jeanrond, A Theology of Love (London: T&T Clark International,
2010), 20.
8
Gary Chapman, Lima Bahasa Kasih untuk Kaum Lajang: The Five Love

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 45


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Sebelum kita memutuskan, baiklah kita memahami bahwa dalam


dasar keyakinan Kristiani, laki-laki dan perempuan diciptakan
menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:26). Itu berarti dalam
perkawinan Kristen, pasangan kita akan dilihat sebagai sesama
GAMBAR DAN RUPA ALLAH. Sebagai gambar, (Ibr. “tselem”) dan
rupa (Ibr. “demuth”) Allah, manusia memiliki kebergantungan pada
Allah. Ia tidak dapat mengandalkan dirinya sendiri. Walaupun ia dapat
menimbang, memilih dan menggunakan kehendaknya untuk mencari
pasangan, ia perlu melibatkan Allah dalam memutuskan. Jadi, dalam
hal mencari pasangan hidup, manusia dan Allah turut berperan.9
Alkitab menunjukkan bagaimana sebaiknya sosok pendamping hidup
yang tepat dan berkenan di hadapan-Nya, manusia berupaya mencari
pasangan dengan memperhatikan kaidah-kaidah tersebut. Di sisi lain,
jika kita mengasihi dan menghormati pasangan kita, itu berarti kita
juga mengasihi dan menghormati Allah. Dengan demikian, kasih dan
penghormatan kita pada pasangan kita semestinya akan membangun
kasih dan hormat kita pada-Nya. Jika kita semakin jauh dengan Allah
saat bersama dengan pasangan kita, kita perlu memikirkan masak-
masak untuk menjadikannya pasangan sehidup semati.
Sebagai sesama gambar Allah yang juga adalah ciptaan-Nya,
masing-masing pribadi memiliki kehendak dan kemauan untuk
melakukan apa yang baik kepada orang lain termasuk pada pasangannya.
Perlakuan yang baik dan positif inilah yang membuat kita mencintainya
dan memilihnya untuk menjadi pendamping hidup kita apa adanya. Ia
memiliki kebaikan dan kekurangan yang dapat kita terima.

Tanya : Apa kelebihan dan kebaikan pasangan yang membuat kita


jatuh cinta padanya? Tuliskanlah sebanyak-banyaknya!

Languages for Singles (Batam: Interaksara, 2006), 223-229.


9
Emerson Eggerichs, The Love and Respect Experience: A Husband-Friendly
Devotional that Wives Truly Love (Colombia: Thomas Nelson, Inc., 2011), 13-15.

46 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Lalu, bagaimana dengan kekurangan? Hendaknya hal ini tidak


menjadi penghancur dan penghalang upaya kita untuk menikmati
kebersamaan dalam hubungan kita. Oleh sebab itu, setelah tadi kita
berupaya untuk mencoba melihat kelebihan pasangan kita, sekarang
coba tuliskan kekurangan dari pasangan kita (tidak ada yang sempurna
di dunia ini, bukan?) dan tandai mana yang dapat kita terima atau
dapat diatasi (misalnya, pelupa dan kita mengatasi dengan berusaha
mengingatkannya) dan mana yang memang harus diubah (misalnya
suka menampar). Dengan cara ini kita sadar bahwa pasangan kita
bukanlah sosok yang sempurna tapi bagi kita, dialah yang terbaik
yang Tuhan berikan sehingga kita jangan membandingkannya dengan
orang lain, itu hanya akan menyakiti perasaannya. Tapi, jika memang
ada hal-hal krusial yang tidak bisa ditolerir dan tidak mau/bisa untuk
diubah olehnya, sebaiknya kita harus benar-benar merenungkan,
betulkah dia orang yang tepat bagi kita?

Tulislah kekurangan pasangan dalam bagian yang disediakan!


Tandailah mana yang dapat kita terima dan mana yang tidak! Ini akan
menjadi bahan pertimbanganmu, apakah kamu bisa menerimanya
apa adanya atau tidak. Jika memang benar-benar yakin kalau kamu
akan menerima kekurangan itu, berdoalah agar Tuhan menolongmu.
Jika kelihatannya sangat sulit untuk diubah atau tidak bisa ditolerir,
mintalah hikmat Tuhan untuk memutuskan, apakah betul kita mau
hidup bersama dengan orang seperti ini di sepanjang hidup kita?

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 47


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

BERTUNANGAN: APA DAN BAGAIMANA?

Biasanya, kalau sudah yakin bahwa pasangan kita adalah seseorang


yang tepat, keinginan untuk menikah pun muncul atau mulai secara
serius dibicarakan. Pertunangan biasanya dilakukan untuk semakin
mengokohkan ikatan yang dibuat ke tahap yang lebih serius sebelum
pernikahan. Apakah tunangan menjamin bahwa kita pasti akan
menikah dengannya? Tidak juga! Sebelum janur kuning melengkung,
masih ada perubahan yang bisa saja terjadi. Namun, minimal dengan
bertunangan, kita semakin mantap dan serius dalam komitmen,
khususnya untuk mempersiapkan pernikahan. Dalam tahap ini,
kedua keluarga besar biasanya telah saling mengenal dengan baik.
Tahap ini biasa dikenal dengan tahap persiapan, sedikit lagi memasuki
pernikahan.

1. Dua lebih baik dari satu?

Dalam Kejadian 2:20 muncul kata “sepadan”. Arti sepadan dalam


teks ini adalah mempunyai nilai yang sebanding, seimbang, tidak
sama persis namun saling melengkapi. Itulah sebabnya, sangat
keliru jika sepasang kekasih memutuskan untuk menikah dengan
mengatakan bahwa “kami punya banyak kesamaan, cocok rasanya!”
namun dalam perkawinan, mereka kemudian selalu bersitegang
dan akhirnya memutuskan untuk berpisah dengan alasan, “ternyata

48 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

kami keliru, setelah menikah ternyata kami berdua begitu berbeda!”


Mengapa pernyataan ini keliru? Jawabannya adalah, bukankah
manusia memang tidak ada yang sama? Saudara kembar yang
identik pun tidak akan pernah sama 100%. Kadangkala, kita
terjebak dengan pemahaman bahwa karena banyak kesamaan kami
menikah, alangkah lebih baik jika kita tidak memulai perkawinan
dengan pemahaman seperti ini. Berhati-hatilah dengan pernyataan
dan pengharapan ini, jangan sampai kita kecewa di kemudian hari.
Kalau kemudian memang ternyata ada banyak kesamaan, itu sama
sekali tidak akan menjadi masalah. Namun, jangan sampai, hal ini
kemudian menjadi prinsip utama yang kita pegang dan kemudian
membuat kita menjadi anti terhadap perbedaan. Mulailah dengan
kenyataan bahwa kami adalah pribadi yang tidak sama 100%, kami
berbeda, namun perbedaan itu menjadi hal positif yang melengkapi
kami sehingga kami menjadi “lebih” dari sebelumnya. Ini menjadi
kekuatan kami. Jadi, kebersamaan kedua insan ini sesungguhnya
adalah hal yang baik dan positif. Namun, jika ada yang pada akhirnya
memilih untuk hidup sendiri dengan berbagai pertimbangan, maka
hal ini perlu dihargai dan tidak dianggap sebagai sesuatu yang
memalukan atau keliru.

2. Dua menjadi satu?

Dalam Kejadian 2:21-24, kita melihat bahwa Tuhan “tahu dan


memahami” kebutuhan dasar manusia. Tuhan “menyediakan” apa
yang dibutuhkan manusia. Ketika dua orang mulai menyatukan
hati dan berjanji dalam pertunangan untuk memasuki ikatan
pernikahan, mereka dipersiapkan untuk berjalan beriringan,
sehati sepikir dengan tujuan untuk memuliakan Tuhan. Menjadi
satu daging berarti, dari “menatap diri sendiri” menjadi “menatap
bersama ke satu arah” yakni tujuan bersama. Masing-masing dengan
sadar, tulus dan rela berusaha untuk menghilangkan kekurangan

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 49


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

dalam diri yang merusak hubungan. Hal ini sama halnya ketika
operasi bibir sumbing dilakukan. Dalam operasi ini, diambil bagian
daging dari punggung atau paha untuk dijahitkan pada bagian yang
sumbing sehingga bibir menjadi utuh. Seperti inilah satu daging
dimaknai. Disatukan dan ketika menyatu tidak dapat dipisahkan
lagi (selesai operasi, bibir akan menjadi utuh dan daging yang
ditempelkan ke bibir menyatu dengan baik sehingga kita tidak
dapat lagi memisahkannya). Jika tetap “dipaksa” untuk dipisahkan
dan keukeuh berjalan sendiri (baca: tidak mau peduli dan tetap
mempertahankan ego masing-masing), maka akan muncul luka
yang bahkan lebih parah dari keadaan semula. Namun, sekali lagi
hal ini bukanlah membuat kedua orang yang menikah menjadi sama
persis. Kesatuan ini bukanlah kesamaan. Namun, perlu dipikirkan,
sejauh mana kita siap untuk berbagi hidup dengan tetap menghargai
dan mempertahankan keunikan dan kekhasan masing-masing? Jika
ini memang bukan menjadi pilihan yang mau diambil, kita perlu
menghargai apabila keputusan yang kemudian diambil adalah tidak
menikah.

APAKAH KAMI SUDAH SIAP MENIKAH?

Kuis: Bagaimana dengan keadaan anda berdua saat ini?10 Jika telah
bertunangan, berikan tanda  jika sesuai dengan kondisi yang saat ini
sedang anda berdua hadapi!

 Kami sedang sibuk mempersiapkan pesta perkawinan dan


setiap urusan yang berkaitan dengannya namun kami sangat
sering berselisih paham bahkan bertengkar satu dengan yang
lain.
10
Modifikasi dari kuis “Are You Ready for Marriage” yang ada di buku Allan
Pease dan Barbara Pease, How Compatible are You?: Your Relationship Quiz Book
(Great Britain: Clays Ltd, St Ives plc, 2005), 74-75.

50 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

 Jika bertengkar, seringkali kekerasan fisik terjadi.


 Kami pesimis dengan pernikahan kami.
 Kami tidak pernah rutin berdoa secara pribadi karena padatnya
kegiatan kami, termasuk juga berdoa dan beribadah
bersama.
 Kami terlibat konflik besar dengan banyak orang saat
mempersiapkan perkawinan ini (orang tua, saudara,
teman, dll)
 Semakin dekat waktu perkawinan, rasanya kami tidak
merasakan kedamaian, justru mulai muncul keraguan di
hati untuk semua proses ini.
 Kami tidak yakin bahwa pelaksanaan pemberkatan dan resepsi
perkawinan (dan bahkan mungkin perkawinan kami itu
sendiri) akan berjalan dengan baik.
 Kami mulai ragu apakah benar kami berdua saling mencintai
karena sulit sekali untuk bisa berkomunikasi dengan baik
satu sama lain. Kami seringkali bertengkar hebat karena salah
paham.
 Sebenarnya kami dekat karena bergairah satu sama lain, tapi
masih belum yakin, apakah kami berdua benar-benar saling
mencintai?

Jika anda atau pasangan anda memilih tiga atau lebih dari pilihan yang
diberikan, anda berdua perlu memikirkan dengan lebih serius, apakah
benar-benar siap untuk melangsungkan pernikahan?

Mengutip gagasan Robert Sternberg tentang Triangular Theory of


Love, Paul Waney mengemukakan bahwa kunci perkawinan yang
sukses terletak pada keseimbangan antara komitmen, keintiman dan
gairah. Komitmen tidak hanya dalam relasi dengan pasangan, tapi
juga dengan Tuhan. Di dalamnya juga ada keintiman untuk menjalin

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 51


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

relasi yang dekat dan hangat satu sama lain, serta memiliki pola
komunikasi yang baik sekalipun perbedaan pendapat tetap ada. Hal
ini perlu disadari sejak masa pertunangan dan digambarkan dalam
segitiga berikut:11

1. Cinta Sejati

Gairah Keintiman

Komitmen

Dalam relasi cinta sejati, selalu ada upaya untuk menjaga


keseimbangan antara gairah, keintiman dan komitmen.
Namun, dapat terjadi perubahan cinta, yakni:

2. Cinta Tanpa Komitmen

Contoh: hubungan tanpa status, perselingkuhan, married by accident.

Gairah Keintiman

11
Sternberg dikutip oleh Paul Waney dalam Save Your Marriage: Materi
Bimbingan Pra-Nikah GPIB (Jakarta: 2007), 48 (tidak diterbitkan).

52 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Tidak ada komitmen, atau kalaupun ada sangat minimal


jumlahnya. Yang ada hanyalah daya tarik fisik, yang menyebabkan
gairah dan keintiman.

3. Cinta Tanpa Arti

Contoh: kawin paksa, kawin kontrak.

Gairah

Komitmen

Tidak ada keintiman. Gairah muncul hanya karena komitmen


(walaupun terpaksa), tanpa keintiman.

4. Cinta Persahabatan

Contoh: hubungan antar sahabat.

Keintiman

Komitmen

Tidak ada gairah. Daya tarik fisik menjadi kurang penting


dibandingkan dengan rasa aman dan nyaman karena saling
mengenal satu sama lain.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 53


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Membangun dan memelihara cinta yang utuh adalah terus memelihara


kesatuan dari gairah, keintiman, dan komitmen. Jika hal ini telah
disadari dalam masa pertunangan, akan sangat baik sebagai pijakan
menuju tahap selanjutnya, yakni perkawinan.

PENUTUP

Dalam tatanan masyarakat yang seringkali mengaitkan status


berpacaran dan bertunangan dengan harga diri dan identitas,
seringkali muncul perasaan “rendah diri” atau “tidak laku” bagi mereka
yang tidak punya pacar, tidak bertunangan atau gagal memperoleh
pasangan yang dianggap tepat. Bahkan, jika sering putus, gonta-
ganti pacar atau memutuskan untuk mengakhiri ikatan tunangan
dinilai sebagai pribadi yang sulit, aneh atau tidak mampu menjaga
komitmen. Banyak remaja atau pemuda yang akhirnya asal pilih dan
tidak menjadi diri sendiri demi memiliki pacar atau mempertahankan
tunangan. Semoga tulisan ini dapat membuka wawasan bagi orangtua
dan remaja serta pemuda, maupun pihak-pihak terkait dalam
memahami pacaran dan tunangan serta topik yang terkait erat dengan
kedua hal ini yakni pacaran, cinta, jodoh dan tunangan. Melalui
pemahaman serta resiko yang dipaparkan, diharapkan keputusan
untuk berpacaran dan bertunangan benar-benar menjadi keputusan
matang yang telah dipikirkan masak-masak, siap menanggung resiko
dan tidak takut jika harus mengakhiri hubungan. Dalam pengakuan
atas pengejawantahan Allah dalam tiga Pribadi, Bapa, Anak dan Roh
Kudus yang terus berada dalam relasi dan persekutuan, maka relasi
mutual yang selalu melibatkan satu sama lain tanpa mengabaikan
kekayaan dan keunikan masing-masing membuat remaja dan pemuda
bebas menjadi diri sendiri dalam relasi pacaran atau tunangan. Dari
sini diharapkan bahwa relasi yang dibangun oleh pemuda dan remaja
dapat mewujud pada sikap yang mengembangkan kepedulian tidak

54 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

hanya pada diri dan pasangannya saja (jika memang memutuskan


untuk berpacaran dan bertunangan), melainkan turut aktif pula dalam
solidaritas dengan sesama dan bahkan alam semesta. Inilah makna
yang sejati dalam relasi yang tidak hanya memikirkan urusan berdua,
melainkan juga menjadi berkat bagi sekitarnya dan pada akhirnya,
memuliakan nama Tuhan!

DAFTAR PUSTAKA

Chapman, Gary. Lima Bahasa Kasih. Jakarta: Professional Books,


1997.
Chapman, Gary. The Five Love Languages of Teenagers: Lima Bahasa
Kasih untuk Remaja. Batam: Interaksara, 2003.
Chapman, Gary. Lima Bahasa Kasih untuk Kaum Lajang: The Five
Love Languages for Singles. Batam: Interaksara, 2006.
Eggerichs, Emerson. The Love and Respect Experience: A Husband-
Friendly Devotional that Wives Truly Love. Colombia: Thomas
Nelson, 2011.
Jeanrond, Werner G. A Theology of Love. London: T&T Clark
International, 2010.
Larson, Peter & Heather dan David & Claudia Arp. Anakku Beranjak
Remaja: Percakapan dengan Putriku Jelang Masa Remaja.
Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018.
Pease, Allan dan Barbara Pease. Your Relationship Quiz Book: How
Compatible Are You? London: Orion Books, 2005.
Poerwandari, Kristi dan Atashendartini Habsjah. Ngobrol Soal Tubuh
dan Seksualitas: Cerita Bergambar untuk Remaja dan Orangtua.
Jakarta: Program Kajian Wanita, Program Pascasarjana
Universitas Indonesia, 2006.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 55


PEMBINAAN UNTUK REMAJA DAN PEMUDA: PACARAN, CINTA, JODOH, DAN TUNANGAN

Sarwono, Sarlito. Psikologi Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,


2013.
Short, Ray, E. 77 Pertanyaan Aktual mengenai Seks, Pacaran dan Cinta.
Bandung: Yayasan Kalam Hidup, 1984.
Waney, Paul, Save Your Marriage: Materi Bimbingan Pra-Nikah,
Jakarta, 2007 (tidak diterbitkan).

56 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

Bab 5
PEMBINAAN UNTUK REMAJA
Menghadapi Perceraian Orangtua

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor

PENDAHULUAN

Masa remaja (12 tahun ke atas) adalah masa transisi dari periode anak ke
dewasa yang dikenal sebagai masa yang penuh gejolak dan dinamika. Di
masa ini, muncul kemampuan untuk menganggap orang lain sebagai
bagian dari dirinya sendiri dalam upaya untuk membentuk identitas.1
Figur tertentu atau hal-hal yang dianggap baik dan “ideal” oleh remaja
diserap sebagai bagian dari pembentukan identitas diri. Dalam upaya
untuk mencari identitas, kegalauan seringkali menjadi bagian dalam
pencarian jati diri remaja. Hal itu pula yang membuat pertanyaan
‘who am I?’ menjadi krusial bagi remaja (dan sering menjadi tema
yang dipakai dalam pembinaan bagi remaja). Tidak heran, remaja
seringkali mencari figur atau teladan yang bisa dijadikan panutan
dalam hidup. Oleh karenanya, keluarga yang harmonis menjadi salah
satu faktor penting yang mempengaruhi perkembangan remaja.
Ketika perceraian orangtua terjadi, dampaknya cukup destruktif
dalam kehidupan remaja. Saat perceraian sampai kini masih
dianggap sebagai sesuatu yang tabu dan “anti” untuk dibicarakan
dalam komunitas Kristen tertentu (baca: gereja), realita perceraian
(yang saat ini memang benar-benar terjadi di rumah tangga
Kristen) seringkali ditolak dan diabaikan. Akibatnya, remaja yang
1
Sarlito W. Sarwono, Psikologi Remaja (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), 81-82.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 57


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

orangtuanya bercerai seringkali harus berjalan dan berjuang sendiri.


Namun sayangnya, tidak semua berhasil menemukan jalan yang
tepat. Tulisan ini hendak mengulas tentang dampak perceraian bagi
remaja dan bagaimana peran gereja (termasuk pelayan, pembina atau
pendamping remaja) dalam memberikan pendampingan pastoral
bagi remaja, orangtua dan juga warga jemaat dalam menghadapinya.
Dengan demikian, gereja dapat mengerti bahwa ia memiliki peran
yang amat signifikan untuk menolong remaja yang orangtuanya
bercerai.

EFEK JANGKA PENDEK DAN JANGKA PANJANG DARI


PERCERAIAN BAGI REMAJA

Realita perceraian dalam keluarga Kristen menjadi sesuatu


yang tidak terelakkan saat ini. Tanpa bermaksud menghakimi
siapa yang benar atau salah, dampak perceraian memang
menyakitkan, tidak hanya bagi pasangan yang bercerai tetapi
juga bagi keluarga mereka. Saat ini, perceraian dalam keluarga
Kristen lebih besar jumlahnya dibandingkan masa lalu.2
Apabila pasangan yang bercerai ini memiliki anak dalam usia
remaja, persoalan yang dihadapi dapat dikatakan tidak mudah
karena masa remaja memiliki kekhasan tersendiri. Dalam
penelitian terhadap beberapa remaja yang orangtuanya bercerai,
didapati bahwa mereka cenderung memiliki lebih banyak masalah
psikologis dibanding remaja yang orangtuanya tidak bercerai.3
Banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa perceraian
seringkali membuat remaja lebih merasa terluka dibanding kedua

Hildur Mist L. Pálmarsdóttir, “Parental Divorce, Family Conflict and


2

Adolescent Depression and Anxiety,” https://skemman.is/bitstream/1946/22497/1/


BSc_HildurMist.pdf, 4 (diakses 12 Juni 2019).
3
Ibid.

58 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

orangtuanya. Hal ini disebabkan karena konflik antara orangtua


yang menimbulkan suasana tidak nyaman, baik sebelum maupun
sesudah perceraian. Interaksi yang terus-menerus dengan konflik
inilah yang membuat kualitas relasi dengan orangtua menjadi
tidak optimal. Apalagi dalam konteks Indonesia, di mana peran
lingkungan sekitar (keluarga besar, teman, tetangga dan bahkan
warga jemaat) cukup berpengaruh karena bisa ikut menyalahkan
atau membenarkan tanpa tahu secara detail pokok persoalan yang
dihadapi. Dengan demikian, relasi dengan orang-orang di lingkaran
kehidupan keluarga itu, termasuk juga dengan saudara kandung
bisa terdampak secara negatif. Bahkan, persoalan yang dihadapi
dapat meliputi dua aspek sekaligus, yakni efek jangka pendek dan
jangka panjang. Efek jangka pendeknya adalah perasaan tidak
nyaman, gelisah dan bahkan depresi sedangkan dalam jangka
panjang, kondisi ketika seseorang terus menyaksikan konflik dapat
membuat ide agresif tertanam dalam diri yang bersangkutan. Dalam
pemahaman psikologis, efek dari ide agresif ini tidak langsung
terlihat (langsung memaki orang lain saat melihat orangtuanya
saling memaki). Namun, beberapa tahun kemudian (bahkan bisa
terjadi saat sudah dewasa), ide agresif ini kemudian muncul tanpa
sadar ketika seseorang melakukan apa yang sama persis seperti yang
ia saksikan bertahun-tahun silam (misalnya, memaki pasangannya
saat sudah berkeluarga). Di sisi lain, walaupun telah mampu berpikir
dalam level yang lebih kompleks dibandingkan anak-anak, tetap saja
ada remaja yang menyalahkan diri mereka sendiri atas perceraian
orangtuanya. Remaja yang menyalahkan dirinya di masa kini kelak
akan menjadi orang dewasa yang selalu menyalahkan dirinya pula.4
Hal ini diperparah apabila dalam keadaan emosional, orangtua sering
melibatkan mereka dalam konflik sebelum dan sesudah perceraian.

4
Sarlito, 83.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 59


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

PEMAHAMAN DAN PERASAAN REMAJA SAAT ORANGTUA-


NYA BERCERAI BESERTA AKIBATNYA

Dalam tahap perkembangan, remaja dapat dikatakan sudah lebih


mampu memahami alasan dari perceraian orangtuanya dan hal ini
tentu berbeda dari tahap perkembangan anak. Namun, tetap saja
perasaan terluka dan takut dirasakan oleh remaja karena memahami
alasan perceraian belum berarti bisa menerima perceraian tersebut.
Hal ini tidak hanya mencakup relasi dengan orangtua tapi juga
dengan teman sebaya yang memiliki peran penting dalam kehidupan
remaja. Ketika orangtua bercerai, remaja takut dipisahkan dari teman-
temannya jika ia harus pindah rumah mengikuti salah satu dari
orangtuanya. Ia juga takut diejek dan dihina teman-teman, sehingga ia
cenderung merasa rendah diri dan mengundurkan diri dari pergaulan.5
Di sisi lain, remaja juga takut membicarakan apa yang mengganggu
pikiran dan perasaan mereka sekalipun ia lelah secara emosional
menghadapi perceraian orangtuanya.
Dalam studi mengenai pemahaman dan perasaan anak dan
remaja tentang perceraian, Leon & Cole menjelaskan bahwa dalam
usia remaja, memahami alasan dari perceraian orangtuanya tidak
membuat remaja dapat langsung menerima perceraian itu. Situasi
akan semakin suram ketika salah satu orangtua meninggalkan rumah
karena perasaan terabaikan kemudian hadir dalam diri remaja.6
Proses ini dapat membuat remaja bertindak agresif, kasar dan
memberontak (termasuk melakukan apa yang selama dilarang,
misalnya bolos sekolah, menjadi pecandu narkoba atau membiarkan
diri terperosok dalam pergaulan bebas), takut menjalin hubungan
spesial dengan orang lain atau jika menjalin hubungan menjadi sangat
5
Archibald D. Hart, Menolong Anak Korban Perceraian: Apa yang Diharapkan
dan Bagaimana Menolongnya (Bandung: Kalam Hidup, 1996), 38.
6
Kim Leon dan Kelly Cole, “Helping Children Understand Divorce,” https://
skemman.is/bitstream/1946/22497/1/BSc_HildurMist.pdf, 3 (diakses 10 Juni 2019).

60 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

posesif dengan pasangannya dan mempertanyakan ulang keyakinan


selama ini tentang cinta, pernikahan dan keluarga. Perasaan-
perasaan ini juga dapat berdampak pada stress yang berpengaruh
terhadap kesehatan (mudah lelah, pusing, sulit konsentrasi, dll),
berpikir untuk kabur dari rumah atau bahkan mengakhiri hidupnya.7

PERCERAIAN ORANGTUA, PERSOALAN EKSISTENSIAL


REMAJA DAN RELASI DENGAN TUHAN

Keputusan bercerai tidak datang tiba-tiba karenanya biasanya ada


konflik antara suami dan istri yang sudah lebih dahulu mengiringinya.
Tidak jarang dalam konflik ini muncul ungkapan kemarahan dan
kekecewaan. Perasaan kecewa orangtua karena menyesal telah menikahi
pasangannya ini juga menjadi sesuatu yang sangat menyakitkan remaja.
Ketika pernikahan kedua orangtuanya dianggap sebagai sesuatu yang
mengecewakan, gagal atau bahkan keliru, maka kehadirannya yang
adalah hasil dari pernikahan keduanya juga seolah-olah dianggap
sebagai kekeliruan. Hal ini menimbulkan rasa “menolak diri sendiri”
yang kemudian menghancurkan eksistensinya sebagai seorang pribadi
yang sebenarnya sedang berproses untuk pembentukan identitas diri di
masa remaja. Realita ini berujung pada semakin sulitnya remaja untuk
menjawab pertanyaan, “Who am I?” jika ia sendiri adalah “hasil” dari
sebuah kekeliruan.8 Apalagi ketika ia juga harus menghadapi “dilema
loyalitas” karena tahu bahwa kedua orangtua yang bercerai saling
tidak menyukai satu sama lain dan keduanya ingin agar ia mendukung
masing-masing pihak. Proses ini dapat menghasilkan konflik diri yang
7
Judy Branch dan Lawrence G. Shelton, “Coping with Separation and Divorce,”
https://www.dartmouth.edu/~eap/library/COPEhandbook22oct09.pdf, 23-24
(diakses 12 Juni 2019).
8
Andrew Root, “Young People, Divorce and Youth Ministry,” http://andrewroot.
org/wp-content/uploads/2012/04/Young-People-Divorce-And-Youth-Ministry.pdf,
17 (diakses 13 Juni 2019).

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 61


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

amat berat dan menjadi persoalan yang amat sangat krusial dalam masa
remaja.9 Merasa diterima dan dikasihi menimbulkan rasa aman dan
nyaman yang adalah sesuatu yang amat hakiki dalam kehidupan manusia
apalagi bagi remaja dalam masa pencarian dan pembentukan jati diri.
Rasa aman dan nyaman secara ontologis membentuk identitas diri
kita. Dari situlah mengalir rasa percaya (trust). Dalam perkembangan
iman, basic trust adalah dasar dari iman dan itu pertama kali muncul
bukan dalam relasi dengan Tuhan melainkan justru dengan orangtua
yang mengasuh dan membesarkan kita saat bayi. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa rasa aman dan nyaman itu terkait erat dengan
relasionalitas. Dalam komunitas dasar yang dijumpai seseorang (baca:
keluarga), manusia mengalami secara langsung bagaimana rasanya
saling “menghidupi” satu sama lain melalui relasi yang “memberi dan
menerima” rasa aman dan nyaman melalui cinta kasih dan perhatian
satu sama lain. Itulah yang membuat relasi itu menjadi semakin hangat
dan kuat.
Perceraian orangtua memberi dampak yang amat signifikan
ketika semua nilai dan rasa percaya yang telah dibangun (makna
keluarga, cinta dan pernikahan) menjadi porak-poranda. Ini semua
menimbulkan perasaan tidak aman dan nyaman muncul serta
menjadi persoalan yang mengancam eksistensi remaja. Perasaan
tidak aman yang menimbulkan ketidaknyamanan ini yang seringkali
tetap membuat remaja merasa bersalah atas perceraian orangtuanya
walaupun orangtuanya sudah mengatakan bahwa ia tidak bersalah.
Oleh karena perceraian orangtua terkait dengan persoalan yang
ontologis (hakiki) dalam kehidupan remaja, maka pendamping atau
pembina remaja perlu membantu agar remaja tidak hanya sekadar
mendengar bahwa ia tidak bersalah (karena walaupun ini dikatakan
berulangkali kadang perasaan bersalah itu tetap ada), tapi perlu
membantunya untuk merasakan bahwa ia tidak bersalah dengan
memfasilitasi komunikasi dengan orangtua agar tetap memberi kasih
9
Hart, 38.

62 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

dan perhatian yang tidak berubah dari kedua orangtuanya setelah


mereka bercerai.
Secara teologis, manusia diciptakan sebagai gambar Allah
(Kejadian 1:26-27). Pemahaman ini menunjuk pada relasionalitas
yang menjadi dasar penciptaan manusia karena sebagai gambar
Allah, ia akan terus terhubung dengan Sang Pencipta. Allah
Tritunggal sendiri hadir dan berkarya “di dalam” dan “melalui”
relasi. Bahkan, kesendirian dipandang tidak baik dan oleh
karena itu pasangan yang dihadirkan bagi manusia tidak hanya
berperan sebagai pendamping tapi juga penolong yang sepadan.10
Perceraian disebabkan oleh persoalan relasi dari kedua orangtua
dan dapat mengakibatkan persoalan relasi yang lebih kompleks
lagi karena kekecewaan remaja atas perceraian orangtuanya juga
dapat memperburuk pula relasinya dengan orangtua, saudara
kandung, orang-orang di sekitarnya, teman-teman bahkan dengan
Tuhan dan dirinya sendiri. Perceraian tidak hanya menimbulkan
“keterpisahan” antara orangtua yang satu dengan yang lain melainkan
juga membuat eksistensi remaja menjadi retak, bahkan hancur. Oleh
karena itu, pendampingan pastoral yang efektif bagi remaja yang
menghadapi perceraian orangtua adalah dengan tetap meminta
semua pihak (orangtua, keluarga besar, warga jemaat dan teman-
teman) membangun relasi yang konstruktif dengannya. Dalam
relasi yang sejati, remaja akan merasakan (tidak hanya mendengar)
bahwa ia dikasihi dan diterima. Dalam relasi itulah, remaja dapat
merasakan kehadiran Tuhan yang penuh kasih. Tuhan yang penuh
kasih inilah yang juga mengasihi kedua orangtuanya sehingga mereka
dapat diampuni dan diberikan kesempatan untuk tidak mengulang
kesalahan yang sama. Di sisi lain, Tuhan yang penuh kasih juga akan
menjamin bahwa hidupnya (baik masa kini dan masa depan) tidak
hancur seiring perceraian orangtuanya. Bahkan, dalam proses yang
berjalan, ia akan merasakan bahwa ada orang lain (pembina, pendeta,
10
Root, Young People, 18.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 63


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

pendamping) yang juga dapat menjadi seperti keluarganya sendiri


karena Tuhan yang penuh kasih mengalirkan kasih dan perhatian yang
tulus dalam hati orang-orang ini. Mereka juga dapat menjadi orang
yang dapat dipercaya dan menerima remaja apa adanya. Di sinilah
pentingnya pendampingan pastoral dari gereja sebagai komunitas
pendukung remaja dalam menghadapi perceraian orangtuanya.

PENDAMPINGAN PASTORAL BAGI REMAJA YANG


MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

Pendampingan pastoral bagi remaja yang orangtuanya bercerai


diharapkan dapat dilakukan dengan pendekatan yang bottom-up dan
memperhatikan kebutuhan dan kondisi remaja dalam konteksnya.
Oleh karenanya, model pendampingan yang tidak mempertimbangkan
kondisi remaja hanya akan menimbulkan persoalan baru bagi remaja.
Dengan demikian, diperlukan pengenalan dan relasi yang kuat
dengan remaja yang bersangkutan. Proses ini akan menumbuhkan
kepercayaan dari remaja sehingga proses pendampingan dapat
berjalan optimal.
Dalam tulisan Tabita Christiani di buku ini mengenai
pendampingan pastoral bagi anak yang orangtuanya bercerai,
telah dikemukakan tentang tahap-tahap emosi anak yang dapat
diperhatikan dalam pendampingan pastoral. Tahap-tahap itu
meliputi: penyangkalan, marah, tawar-menawar, depresi dan
penerimaan. Untuk remaja, emosi yang muncul kurang lebih sama
walaupun tetap ada bedanya. Strasheim, Durden & Cruickshank11
menjelaskan bahwa tahapan emosi yang dialami remaja ketika
menghadapi perceraian orangtua meliputi beberapa tahap, yakni:
11
Cindy Strasheim, Tonia Durden dan Kara Cruickshank, “Divorce Through
the Eyes of Adolescents,” http://extensionpublications.unl.edu/assets/pdf/g2210.
pdf, 2 (diakses 8 Juni 2019).

64 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

1. Terguncang dan menyangkal: Dalam tahap ini, remaja merasa


terguncang dan menolak kenyataan bahwa orangtuanya
bercerai. Pendamping atau pembina remaja dapat memberi
remaja kesempatan melewati fase ini dengan alamiah dan
jangan terlalu banyak memberi komentar apalagi menilai.
Kemampuan berkomunikasi yang baik, termasuk kesabaran
untuk mendengarkan menjadi penting. Sama dengan tahap
yang dialami anak, ini adalah tahap ketika pendamping dapat
memanfaatkan kesempatan untuk membangun relasi dengan
remaja dan menumbuhkan rasa percaya remaja bahwa ia adalah
orang yang peduli, mengasihi tanpa pamrih dan dapat dipercaya
jika ada hal rahasia yang dibagikan. Pendamping juga dapat
menunjukkan keseriusan dan kepeduliannya untuk menolong
remaja dengan membuat komitmen untuk bertemu secara rutin
atau siap membantu kapan saja jika diperlukan sehingga remaja
jangan sungkan untuk menghubunginya. Apalagi di era digital
saat ini, remaja bisa berkomunikasi dengan lebih mudah dan
bisa menggunakan cara berkomunikasi yang ia sukai.
2. Marah: Saat perceraian tetap terjadi, rasa marah muncul
karena merasa bahwa apa yang ia alami tidak adil jika
dibandingkan dengan keluarga yang lain. Dalam tahap ini pula
ada kecenderungan untuk menyalahkan kedua orangtuanya
dan merasa bahwa mereka tidak menyayanginya dengan
perceraian ini. Dalam kondisi ini, peran pendamping sangat
penting. Kemampuan untuk menerima amarah remaja
tanpa menghakimi menjadi sesuatu yang patut diperhatikan.
Sampaikanlah pada remaja bahwa pendamping mengerti
amarahnya dan bahwa itu sesuatu yang wajar dan manusiawi.
Pendamping juga bisa memberikan “sesuatu” yang dapat
menolong remaja menyalurkan amarahnya, misalnya bola
yang dapat dipukul-pukul ketika marah.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 65


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

3. Depresi dan menarik diri: Dalam proses yang berjalan, amarah


berubah menjadi rasa depresi, hancur hati dan akhirnya
menarik diri dari pergaulan dan aktivitas yang tadinya disukai.
Tahap ini adalah tahap terberat dan merupakan titik terendah
dari duka yang dialami remaja. Penghiburan, dukungan dan
dorongan semangat menjadi penting bagi remaja di tahap ini.12
Dalam tahap ini pula kemampuan mendengar menjadi
penting karena remaja dapat diberi kesempatan untuk
mengungkapkan perasaannya. Dukacita merupakan jalan
untuk mengeluarkan luka hati yang teramat dalam.13
Ia bahkan dapat mengungkapkan perasaannya dalam bentuk
gambar, tulisan atau apa saja yang membuatnya merasa lebih
baik. Kalaupun ia belum siap untuk itu, ia bisa diberi waktu
dan kesempatan untuk menangis dan menumpahkan segala
duka dan luka yang ia alami. Yang terpenting dalam tahap
ini adalah remaja tahu bahwa ia tidak sendiri dan ada orang
lain yang memahami bahwa ini adalah salah satu titik terberat
dalam hidupnya.
4. Negosiasi dan dialog: Tahap ini agak sedikit berbeda dengan
tahap emosi anak. Dalam tahap perkembangan yang sudah lebih
dewasa dari anak, remaja dapat berpikir lebih kompleks dan
mampu diajak bertukar pikiran. Oleh karenanya, kemampuan
berkomunikasi menjadi penting dalam pendampingan bagi
remaja. Dalam tahap ini, muncul keinginan untuk mencoba
mengisi ruang kosong akibat perceraian dengan mencoba
bernegosiasi dengan kedua orangtua agar mereka dapat
melakukan apa yang membuatnya merasa lebih baik sekalipun
mereka bercerai, misalnya tetap rutin berkomunikasi dengannya

Josh McDowell dan Ed Stewart, Sahabatku Bergumul dengan… Perceraian


12

Orangtua (Yogyakarta: Gloria Graffa, 2000), 52-58.


13
Ibid., 40.

66 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

tiap hari (tetap hadir dalam hidupnya sekalipun mereka


berpisah), tidak berkelahi lagi atau saling menjelek-jelekan
satu sama lain di hadapannya serta tidak membatasi ketika
ia ingin bertemu dengan salah satu dari kedua orangtuanya.
Proses ini dapat menolong remaja membuka ruang dialog
untuk menyampaikan apa yang ia rasakan secara apa adanya
dan kira-kira hal apa yang dapat dilakukan untuk membuatnya
merasa lebih baik. Dukungan dan kemampuan pembina/
pendamping remaja untuk membantu mengkomunikasikan
harapan remaja pada orangtua juga penting dalam tahap ini.
Saat kesediaan berdialog sudah muncul, remaja dapat didukung
untuk berdialog dengan orangtua untuk menanyakan
ganjalan dan pertanyaan-pertanyaan dalam hatinya mengenai
perceraian orangtua. Misalnya, remaja dapat diminta untuk
bertanya pada orangtuanya, apakah benar perceraian ini
karena kesalahannya (jika ia memang merasa demikian)?
Atau apa kira-kira yang dapat dilakukan oleh orangtua untuk
menolongnya merasa bahwa ia tidak bersalah? Remaja juga
bisa diajak bertemu dengan sesama remaja yang pernah
mengalami persoalan yang sama untuk berbagi kisah dan
pengalaman sehingga wawasannya dapat semakin dalam
dan dapat berdialog dengan optimal. Bahkan, dalam dialog
remaja dengan orangtuanya, dapat juga berkomunikasi dengan
model pertanyaan 5W+1H.14 Rumusan pertanyaan yang
dimunculkan remaja biasanya terkesan sederhana atau tidak
penting namun walaupun demikian, apa yang mereka tanyakan
sesungguhnya adalah sesuatu yang amat penting dan orangtua
perlu diyakinkan untuk menghargai dan menghormatinya.
Berikut adalah contoh pertanyaan-pertanyaan yang dapat
14
Bdk. Cafcass, “My Family’s Changing,” https://www.tsoshop.co.uk/gempdf/
Cafcass_MFC_Younger.pdf (diakses 11 Juni 2019).

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 67


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

disampaikan dengan model 5W+1H (remaja dapat menambah


atau mengurangi sesuai dengan situasi yang ia hadapi):

• What? ~ Apakah perceraian ini karena salahku? Apa


buktinya kalau kalian tetap mengasihiku? Apakah Tuhan
tidak mengasihiku?
• Why? ~ Mengapa perceraian ini terjadi? Mengapa kalian
tidak mau berdamai demi aku?
• Where? ~ Di mana aku akan tinggal nanti setelah kalian
bercerai?
• Who? ~ Siapa yang akan tinggal denganku? Siapa yang
akan membiayaiku?
• When? ~ Kapan aku harus pindah dan ikut salah satu dari
kalian?
• How? ~ Bagaimana dengan anjing keluarga kita? Bagaimana
jika aku diejek oleh teman-temanku?

5. Penerimaan: Dalam tahap ini, remaja dapat menerima kenyataan


bahwa orangtuanya bercerai (sekalipun kadang dalam tahap
ini tetap ada harapan agar kedua orangtuanya dapat bersatu
kembali). Ia tetap merasa bahwa sekalipun orangtuanya bercerai
namun ia tetap memiliki ayah dan ibu. Saat ini, semangatnya
untuk melanjutkan hidup bangkit kembali dan mampu bersikap
positif. Pendamping bisa juga menolong remaja dalam tahap
ini untuk mengampuni orangtuanya. Jika masih sulit untuk
dilakukan, remaja dapat dibantu untuk mengembangkan
spiritualitasnya dengan Tuhan. Yakinkan remaja bahwa Tuhan
yang mengalirkan pengampunan tanpa batas dalam hidup
manusia akan memampukannya untuk dapat mengampuni
kedua orangtuanya. Dalam tahap ini pula, remaja dapat
dilibatkan untuk berbagi kisahnya dalam rangka menguatkan

68 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

remaja yang lain yang menghadapi situasi yang sama (jika ia


berkenan melakukannya) atau diajak dalam kegiatan pelayanan
yang membuatnya terus merasa bahwa ia memiliki komunitas
pendukung yang mengasihi dan menerimanya apa adanya. Di
era digital ini, komunitas pendukung yang saling berbagi dari
pengalaman yang serupa dapat juga memanfaatkan whatsapp
(grup), instagram, line, facebook, dll.

Tahapan-tahapan ini ini dapat berlangsung dalam jangka


waktu singkat ataupun lama, tergantung dari situasi dan kondisi
yang dialami remaja. Namun, yang terpenting adalah pendampingan
intensif yang sebaiknya dilakukan dalam tahap-tahap ini agar remaja
jangan sampai melakukan hal-hal yang tidak diinginkan, misalnya
menjadi pecandu obat-obatan terlarang atau bunuh diri.
Selain itu, tahapan-tahapan ini juga memiliki gambaran
keluarga yang berbeda-beda dalam benak remaja. Remaja yang
menyangkal realita perceraian akan tetap merasa tidak ada apa-
apa dan tidak ada perubahan dalam keluarganya (gambar 1).
Dalam amarah dan depresi yang dirasakan (termasuk menarik
diri), ia merasa bahwa perceraian adalah mimpi buruk yang sangat
menjengkelkan dan menyakitkan sehingga menghancurkan
keluarganya dan ‘memisahkan’ dirinya dengan kedua orangtuanya
(gambar 2). Setelah ia mulai melakukan negosiasi dan berdialog
untuk mengungkapkan pertanyaan dan kegelisahan, ia akan mulai
pulih dan saat ia mulai bisa menerima, itu karena ada perasaan
bahwa ia tetap dikasihi dan menjadi bagian dalam kehidupan kedua
orangtuanya sekalipun mereka sudah bercerai (gambar 3). Gambaran15
secara utuh kurang lebih demikian:

15
Ketiga gambar ini dibuat oleh penulis atas inspirasi dari pemaparan Judy
Branch dan Lawrence G. Shelton dalam artikel yang berjudul “Coping with Separation
and Divorce,” https://www.dartmouth.edu/~eap/library/COPEhandbook22oct09.
pdf, 23-24 (diakses 12 Juni 2019).

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 69


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

Ayah Ayah Ibu


Ibu Ayah Anak Ibu
Anak
Anak

(1) (2) (3)

GEREJA SEBAGAI KOMUNITAS PENDUKUNG BAGI REMAJA


YANG ORANGTUANYA BERCERAI

Untuk menunjang proses pendampingan pastoral bagi remaja yang


orangtuanya bercerai, konsep gereja sebagai komunitas pendukung
perlu disadari oleh para pelayan, pembina dan pendamping remaja
serta seluruh warga jemaat. Dengan demikian, pendampingan
pastoral dapat berjalan dengan optimal. Beberapa hal penting yang
dapat menunjang konsep gereja sebagai komunitas pendukung adalah
sebagai berikut:

1. Pembinaan dan Pendampingan bagi Kedua Orangtua yang


Bercerai

Beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan adalah


sebagai berikut:

• Menjadi orangtua tunggal karena perceraian tidak mudah


untuk dijalani. Demikian pula ketika menikah lagi menjadi
pilihan dan menghadapi berbagai reaksi yang dimunculkan
oleh remaja. Remaja dalam tahap “marah” dan “depresi-
menarik diri” bisa saja memunculkan perilaku yang sangat tidak
menyenangkan dan memancing emosi orangtua. Diperlukan
perhatian gereja melalui pendampingan atau pembinaan bagi
orangtua yang bercerai sehingga mereka mampu untuk tetap

70 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

menjadi orangtua yang baik bagi anak remajanya. Perhatian


ini, walaupun terkesan sederhana sangat penting artinya bagi
pasangan yang bercerai beserta anak-anaknya. Gereja juga
diharapkan dapat “merangkul” mereka sehingga beban “dosa”
perceraian tidak membuat keadaan yang sulit menjadi semakin
sulit. Atau gereja juga dapat mendorong agar rekonsiliasi
dapat dicapai sekalipun mereka berdua tetap memutuskan
untuk bercerai. Hal ini baik bagi anak/anak-anak mereka.16
Dengan demikian, orangtua dapat ditolong untuk tidak lagi
mengulangi kesalahan yang sama (jika ternyata mengambil
keputusan untuk menikah lagi) atau tidak semakin terperosok
melalui perilaku yang destruktif dan tidak bertanggung jawab.
• Gereja perlu mengarahkan agar orangtua jangan memaksa
remaja untuk langsung menerima keputusan jika ia ingin
menikah lagi. Remaja perlu waktu dan oleh sebab itu,
berikanlah ruang baginya untuk bisa berproses sampai kapan
pun ia merasa siap. Jangan memaksa dan berharap remaja
langsung memberikan dukungan, termasuk untuk menerima
kehadiran keluarga tiri. Diperlukan kesabaran agar tidak
emosional ketika melihat remaja memberi penolakan.
• Perceraian juga merupakan sesuatu yang tidak mudah bagi
orangtua yang bercerai. Mereka tentu sibuk menyelesaikan dan
mengatur banyak hal sembari menata hati mereka yang terluka
karena proses ini. Oleh karena itu, dibutuhkan kepiawaian
dari pihak gereja atau pembina/pendamping remaja untuk
berkomunikasi tentang kondisi anak remaja mereka, apa yang
diharapkan dan ditakuti anak serta apa yang dapat membuat
anak mereka merasa lebih baik. Dengan menjadi jembatan
komunikasi antara remaja dengan orangtuanya, diharapkan
ruang komunikasi diantara orangtua dan anak remaja
16
Andrew Cornes, Divorce and Remarriage: Biblical Principles and Pastoral
Practice (Great Britain: Christian Focus Publications, Ltd., 2016), 381.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 71


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

menjadi semakin baik sehingga lama-kelamaan mereka dapat


berkomunikasi secara langsung. Orangtua juga dapat didukung
untuk tetap menceritakan masa-masa indah ketika remaja
dikandung, dilahirkan dan dibesarkan. Hal ini penting untuk
menolong remaja dalam mengatasi perasaan tidak aman dan
nyaman yang sangat mengganggu jati dirinya sebagai seorang
manusia.17 Tanpa bermaksud menghakimi orangtua yang
bercerai, kata-kata dan sikap yang positif diharapkan dapat
membuat orangtua melihat niat baik dan tulus dari pembina
atau pendamping remaja.
• Gereja juga perlu menyiapkan komunitas pendukung bagi
orangtua yang bercerai. Dengan demikian, mereka dapat
saling menguatkan dan berbagi narasi kepedihan dan harapan
satu sama lain. Dengan tidak meninggalkan persekutuan di
jemaat, anak mereka juga akan melihat bahwa komunitas di
gereja tetap menjadi komunitas yang penting bagi orangtuanya
dan tetap merasa bahwa perceraian kedua orangtuanya tidak
harus membuatnya pindah gereja.

2. Pembinaan bagi Warga Jemaat

Beberapa hal yang patut dipertimbangkan untuk dilakukan adalah


sebagai berikut:

• Pembinaan terhadap jemaat menjadi penting untuk


menjadi komunitas yang mau memahami, menerima (baca:
mengampuni) dan mendukung mereka (orangtua yang
bercerai dan anak mereka) sehingga mereka merasakan
penerimaan dan bukan penolakan apalagi menjadi bahan
omongan saat datang ke gereja. Seringkali, gunjingan masih
17
Andrew Root, The Children of Divorce: The Loss of Family as the Loss of Being
(Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2010), 128-129.

72 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

sering dialamatkan oleh komunitas Kristen terhadap pasangan


yang bercerai dan keluarganya karena anggapan bahwa
perceraian adalah dosa. Inilah bagian dari tugas penting gereja
dalam memberikan edukasi yang tepat bagi warga jemaatnya.
Bentuknya bisa berupa pembinaan, khotbah, ibadah kategorial,
pendalaman Alkitab, pastoral pra nikah dan pasca nikah, atau
bentuk pelayanan lain yang sesuai.18 Ini adalah aspek penting
yang mendukung pendampingan pastoral bagi remaja korban
perceraian.
• Buatlah kegiatan-kegiatan pelayanan lintas generasi yang
membuat remaja korban perceraian dapat menemukan
kembali ‘keluarganya’ atau lebih tepatnya merasakan sense of
family saat terlibat di dalamnya. Ini berbeda dengan kegiatan
pelayanan yang didesain khusus untuk keluarga yang membuat
remaja korban perceraian justru merasa aneh dan terasing
karena orangtuanya tidak lagi bersama. Interaksi yang positif
antara warga jemaat lintas generasi dapat membuat remaja
menemukan ‘komunitas pendukung’ yang mengisi kerinduan
dan ruang kosong dalam dirinya untuk merasakan ‘suasana
keluarga’. Jika keluarga besar remaja dapat dilibatkan dalam
pelayanan ini (kakek, nenek, paman, bibi, dll) dan diyakinkan
untuk terus memberi dukungan positif pada remaja melaluinya,
hal ini tentu akan semakin berdampak baik bagi remaja.
• Warga jemaat juga dapat diarahkan untuk menjadi komunitas
tempatberbaginarasisukadandukadariremajakorbanperceraian.
Di dalamnya aktivitas spiritual yakni saling mendoakan, saling
menopang dalam pembacaan dan pendalaman Firman Tuhan
dapat menjadi sesuatu yang menguatkan remaja. Pertemuan

18
Cornes, 333-344; David Instone-Brewer, Divorce and Remarriage in the
Church: Biblical Solutions for Pastoral Realities (Illinois: InterVarsity Press, 2003),
238-240.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 73


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

informal dapat dilakukan dan tidak melulu pertemuan formal


sehingga ada keakraban dan relasi yang baik dengan remaja
yang bersangkutan. Di dalamnya, remaja dapat diberi ruang
untuk menggunakan talenta yang ia miliki untuk terlibat dalam
pelayanan di gereja. Dengan demikian, remaja dapat merasakan
bahwa selalu ada orang yang mendoakannya, mengasihinya dan
mau hadir baginya. Selain itu, kesempatan aktualisasi diri juga
dapat membuat remaja merasa bahwa dirinya berharga dan
tidak seburuk anggapannya semula bahwa hidupnya tidak lagi
berarti, ditolak dan jati dirinya menjadi porak-poranda karena
perceraian orangtua.
• Pembina remaja juga dapat melibatkan warga jemaat untuk dapat
membuat booklet, buletin, komik atau apapun bentuknya yang
bertujuan sebagai media informasi dengan bentuk yang mudah
dipahami dan menarik (bisa juga dalam bentuk digital) bagi
remaja yang menghadapi perceraian orangtuanya. Isinya dapat
berupa tips, motivasi, aktivitas kreatif, informasi, ruang berbagi
kisah atau cerita inspiratif dari remaja yang pernah mengalami
pengalaman yang sama, atau bisa juga renungan reflektif yang
menguatkan. Dengan demikian, ada keuntungan yang dapat
diperoleh tidak hanya bagi remaja yang bersangkutan tetapi
juga bagi warga jemaat karena dengan dilibatkan, mereka pun
akan diedukasi mengenai bagaimana sebaiknya memandang
perceraian dan membantu anak remaja dalam mengatasinya.

PENUTUP

Perceraian orangtua tidak pernah menjadi sesuatu yang menyenangkan


dan amat sulit untuk dihadapi. Bahkan, sekalipun ada remaja dan anak-
anak korban perceraian yang dapat hidup sukses, berhasil menjalin

74 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

relasi yang positif dengan kedua orangtua yang telah bercerai serta
kedua orangtuanya pun berhubungan baik pasca perceraian tetap
saja “good divorce” ini bukan sesuatu yang dianggap “baik”. Ketika
persoalan ini menjadi amat krusial, gereja perlu menyadari peran
pentingnya sebagai komunitas pendukung yang mampu memberi
dampak positif yang signifikan bagi remaja korban perceraian. Dengan
demikian, perlu kesadaran dan perhatian dari seluruh pihak terkait,
termasuk para pelayan dan warga jemaat sehingga memberikan
dampak yang berarti bagi remaja korban perceraian. Ini menjadi
tantangan yang tidak mudah mengingat perceraian seringkali masih
dianggap tabu bagi umat Kristiani. Oleh karenanya, cinta kasih dan
pengampunan yang Yesus nyatakan dalam kehadiran-Nya di tengah
umat manusia kiranya terus bergema dan mengalahkan kebisingan
dari penghakiman, gunjingan dan penolakan terhadap pasangan
yang bercerai beserta keluarganya. Itulah yang membuat harapan
akan masa depan yang lebih baik akan terus terukir bagi para remaja
korban perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Cornes, Andrew. Divorce and Remarriage: Biblical Principles and


Pastoral Practice. Great Britain: Christian Focus Publications,
Ltd., 2016.
Hart, Archibald D. Menolong Anak Korban Perceraian: Apa yang
Diharapkan dan Bagaimana Menolongnya. Bandung: Kalam
Hidup, 1996.
Instone-Brewer, David. Divorce and Remarriage in the Church: Biblical
Solutions for Pastoral Realities. Illinois: InterVarsity Press, 2003.
McDowell, Josh dan Ed Stewart. Sahabatku Bergumul dengan…
Perceraian Orangtua. Yogyakarta: Gloria Graffa, 2000.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor 75


PEMBINAAN UNTUK REMAJA: MENGHADAPI PERCERAIAN ORANGTUA

Root, Andrew. The Children of Divorce: The Loss of Family as the Loss
of Being. Grand Rapids, Michigan: Baker Academic, 2010.
Sarwono, Sarlito W. Psikologi Remaja. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.

Website

Branch, Judy dan Lawrence G. Shelton. “Coping with Separation


and Divorce.” https://www.dartmouth.edu/~eap/library/
COPEhandbook22oct09.pdf (diakses 12 Juni 2019).
Cafcass. “My Family’s Changing.” https://www.tsoshop.co.uk/gempdf/
Cafcass_MFC_Younger.pdf (diakses 11 Juni 2019).
Leon, Kim dan Kelly Cole. “Helping Children Understand Divorce.”
https://skemman.is/bitstream/1946/22497/1/BSc_HildurMist.
pdf (diakses 10 Juni 2019).
Pálmarsdóttir, Hildur Mist L. “Parental Divorce, Family Conflict and
Adolescent Depression and Anxiety.” https://skemman.is/
bitstream/1946/22497/1/BSc_HildurMist.pdf (diakses 12 Juni
2019).
Root, Andrew. “Young People, Divorce and Youth Ministry.” http://
andrewroot.org/wp-content/uploads/2012/04/Young-People-
Divorce-And-Youth-Ministry.pdf (diakses 13 Juni 2019).
Strasheim, Cindy, Tonia Durden dan Kara Cruickshank. “Divorce
Through the Eyes of Adolescents.” http://extensionpublications.
unl.edu/assets/pdf/g2210.pdf (diakses 8 Juni 2019).

76 Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

Bab 6
PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha

PENDAHULUAN

Gagasan bahwa pernikahan dapat memberikan keutuhan hidup


bagi orang dewasa mewarnai sejarah perjalanan kehidupan ini. Bagi
orang dewasa, hidup terasa kurang lengkap jika belum menikah dan
memiliki anak-anak. Momok yang harus dihadapi oleh para jomblo
saat hari raya di mana seluruh keluarga besar berkumpul adalah
pertanyaan: “Kapan nikah?” Bukan hanya itu, sebutan ‘jomblo’ yang
berasal dari bahasa Sunda yang sudah dibakukan, ‘jom.lo’, secara
negatif berarti: gadis tua yang belum menikah. Seiring perkembangan,
kata ini juga dikenakan pada laki-laki yang belum menikah. Dengan
sebutan ‘jomblo’ ini, maka masyarakat sebenarnya memberikan
penilaian negatif terhadap orang dewasa yang belum menikah. Tidak
jarang komunitas Gereja juga melakukan hal serupa. Akibatnya,
orang dewasa lajang merasa mendapatkan tekanan yang membuatnya
menutup dari dunia di sekitarnya.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Karel Karsten Himawan
et al. mengungkap bahwa ternyata mayoritas lajang di Indonesia
mengalami kondisi tertekan.1 Tekanan paling besar muncul dari
lingkungan, keluarga dan teman. Pratama dan Masykur mengatakan
bahwa “Kecenderungan budaya pada masyarakat Indonesia telah
1
Karel Karsten Himawan, Matthew Bambling, and Sisira Edirippulige,
“Singleness, Religiosity, and the Implications for Counselors: The Indonesian Case,”
Europe’s Journal of Psychology 14, no. 2 (2018): 489.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 77


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

membuat wanita didorong untuk menjadi ibu dan istri dalam sebuah
keluarga, agar ia dihargai sebagai anggota masyarakat sepenuhnya.
Karena budaya tersebut, setiap keluarga akan tetap menyarankan anak
wanitanya untuk menikah.”2 Bagi perempuan, usia 30 tahun merupakan
usia kritis sebab semenjak usia 20-an tahun sudah membayangkan
tentang pernikahan. Dambaan ini biasanya mencapai puncaknya pada
usia 30 tahun, kemudian secara bertahap cenderung berkurang karena
mulai menyesuaikan diri dengan gaya hidup yang lain dan baru, seperti
pekerjaan atau karier.3 Umumnya, perempuan cukup realistik untuk
mengetahui bahwa kesempatan untuk menikah semakin kecil ketika
berusia di atas 40 tahun.4 Sementara tuntutan bagi laki-laki lajang tidak
terlalu besar, karena mereka tahu bahwa laki-laki lajang dapat menikah
kapanpun ia mau.5 Dengan demikian, laki-laki lajang dan perempuan
lajang memiliki pergumulan yang berbeda.
Meskipun laki-laki lajang dan perempuan lajang memiliki
pergumulan yang berbeda, tapi kenyataan tetap menunjukkan bahwa
mereka mengalami tekanan. Seolah-olah hidup pernikahan lebih
baik ketimbang hidup melajang. Gencarnya promosi ini membuat
kaum lajang terdesak tanpa perlawanan. Mereka menerima begitu
saja stigma yang dilekatkan oleh orang lain atas hidupnya. Padahal
melajang atau menikah adalah sebuah pilihan yang dimiliki oleh
setiap orang dewasa. Bennet6 mengutip pernyataan dari Paus Yohanes
Paulus II tentang pernikahan dan panggilan untuk selibat, demikian:
2
Luthfi Anjar Jati Pratama and Achmad Mujab Masykur, “Interpretative
Phenomenological Analysis Tentang Pengalaman Wanita Dewasa Madya Yang
Masih Melajang,” Empati 7, no. 2 (2018): 353.
3
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan) (Jakarta: Erlangga, 1992), 300.
4
Pratama and Masykur, “Interpretative Phenomenological Analysis Tentang
Pengalaman Wanita Dewasa Madya Yang Masih Melajang,” 352.
5
Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, 300.
6
Jana Marguerite Bennett, Singleness and the Church: A New Theology of the
Single Life (Oxford University Press, 2017), 170.

78 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

Keperawanan atau selibat demi Kerajaan Allah tidak


hanya berseberangan dengan hakikat pernikahan, tetapi
mengandaikannya dan menegaskannya. Pernikahan dan
keperawanan atau selibat adalah dua cara untuk mengekspresikan
dan menjalani satu rahasia perjanjian Allah dengan umatNya.
Ketika pernikahan tidak dihargai, tidak akan ada keperawanan
atau selibat yang dikuduskan; ketika seksualitas manusia tidak
dianggap sebagai nilai besar yang diberikan oleh Sang Pencipta,
penolakan untuk itu demi Kerajaan Surga kehilangan artinya.

Menikah atau melajang adalah pilihan yang sama-sama baik.


Keduanya merupakan jalan hidup ini perlu diterima dan diakui
keberadaannya, dengan segala konsekuensinya masing-masing.

PERGUMULAN HIDUP MELAJANG: MERASA TIDAK UTUH

Prof. Dr. J.T. Lobby Loekmono mengatakan bahwa “Pergumulan


yang terberat untuk menjadi perempuan tidak menikah pertama-
tama bukanlah terletak pada pandangan negatif masyarakat terhadap
mereka perempuan yang tidak menikah, tetapi terletak pada
penerimaan diri sendiri.”7 Perasaan serupa juga dialami oleh laki-
laki lajang. Seringkali seseorang yang bergumul mencari pasangan
hidup mengutarakan bahwa hidup mereka tidaklah lengkap atau
utuh tanpa hadirnya seorangan pasangan. Padahal di dalam Kejadian
1:26 dikatakan Tuhan menciptakan manusia seturut dengan gambar
dan rupa Allah. Dilanjutkan dengan Kejadian 1:31 yang menuliskan
bahwa Tuhan melihat semua yang diciptakan-Nya itu sungguh amat
baik. Laki-laki dan peremuan diciptakan sebagai pribadi yang utuh
dan sempurna, meskipun tanpa pasangan.
Salah besar jika mencari keutuhan hidup dari orang lain.
Pernikahan tidak akan membuat hidup ini jadi utuh dan sempurna.8 Jika
7
Debora K Tioso, Sendiri, Namun Tetap Mandiri (Yogyakarta: Gloria Graffa,
2010), 8.
8
Michael Cavanaugh, The Power and Purpose of Singleness: Finding Joy as a

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 79


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

memang pernikahan dapat memberikan keutuhan dan kesempurnaan


tentu percekcokan suami-isteri, bahkan perceraian tidak perlu terjadi.
Tapi kenyataan menunjukan bahwa orang yang menikah belum
tentu merasa dan mendapatkan keutuhan. Alkitab menyatakan
bahwa keutuhan hidup hanya bisa di dapat dari Tuhan. Kolose 2: 10
menuliskan, “Dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia…”. Di dalam
terjemahan Bahasa Indonesia Sehari-hari, “Dan karena hidup bersatu
dengan Kristus, kalian pun diberi hidup sepenuhnya…” Hidup utuh
dan sempurna hanya bisa diraih di dalam persatuan dengan Tuhan.
Keintiman dengan Tuhan perlu dibangun agar hidup terasa
utuh dan sempurna. Oleh karenanya, June Hunt mengusulkan
beberapa checklist yang perlu diperiksa dalam diri ini:9

 Saya menganggap hidup melajang sebagai berkat dari Tuhan.


 Saya telah menemukan keutamaan dan keamanan diri di
dalam Tuhan.
 Saya mengembangkan relasi yang semakin intim dengan
Tuhan.
 Saya bergantung pada Tuhan untuk memberikan makna dan
tujuan hidup ini.
 Saya telah menetapkan tujuan hidup ini sesuai dengan
keinginan Tuhan.
 Saya terlibat dalam kelompok Pemahaman Alkitab.
 Saya menikmati keaktifan pelayanan di Gereja.
 Saya berfokus pada orang-orang yang telah Tuhan tempatkan
dalam hidup ini.
 Saya telah membangun “keluarga rohani”.

Single Adult (New Kensington: Whitaker House, 2008), 32.


9
June Hunt, Singleness: How To Be Single & Satisfied (California: Rose
Publishing Inc, 2014), 19–20.

80 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

 Saya percaya kepada Tuhan dengan seluruh rencanaNya atas


hidup ini.
 Saya mencintai Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi.
 Saya senang berdoa dan memuji Tuhan.

PERGUMULAN HIDUP MELAJANG: RENDAH DIRI

Muncul anggapan bahwa hidup lajang disebabkan karena gagal (tidak


beruntung) dalam hubungan percintaan. Anggapan ini tentu akan
membuat kaum lajang merasa tertolak dan menjadi kurang percaya
diri. Citra diri yang terbangun adalah dirinya kurang menarik sehingga
tidak menjumpai lawan jenis yang mau menikahinya. Beberapa
pertanyaan yang bisa muncul dari perasaan rendah diri ini adalah:10

• Siapa orang yang bisa mencintai saya tanpa syarat?


• Di mana saya bisa merasa diterima sepenuhnya?
• Apa yang salah dengan diri saya?
• Kapan saya akan menemukan kepenuhan?
• Bagaimana saya bisa menemukan arah dan tujuan hidup ini?

Jika tidak kunjung mendapatkan jawabannya, maka citra diri


akan semakin tergerus. Padahal Tuhan Yesus pernah mengatakan
bahwa “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir
demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian
oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena
kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga. Siapa yang dapat
mengerti hendaklah ia mengerti.” (Matius 19:12). Oleh karenanya,
hidup melajang atau hidup menikah adalah sebuah pilihan yang
dimiliki oleh setiap orang dewasa. Hidup melajang adalah sebuah
10
Hunt, 13.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 81


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

keputusan pribadi, bukan didasarkan karena tidak ada orang yang


mau menikahi. Tuhan menciptakan manusia serupa dan segambar
dengan diriNya. Keyakinan ini perlu dipegang teguh supaya dapat
membangun citra diri yang kuat dan sehat. Beberapa checklist yang
perlu diperiksa guna membangun citra diri yang sehat:11

 Saya menikmati hidup melajang.


 Saya merasa hidup ini sudah menyenangkan dan tidak perlu
mencari pasangan untuk dapat membuat bahagia.
 Saya mengetahui dan merasakan keuntungan menjadi lajang.
 Saya menikmati kebebasan untuk secara spontan membuat
rencana dan pergi ke berbagai tempat.
 Saya adalah seorang pribadi yang utuh dan tidak perlu mencari
pasangan untuk melengkapi.
 Saya bersyukur atas apa yang saya miliki dalam hidup ini dan
tidak memikirkan apa yang belum saya miliki.
 Saya merasa utuh ketika menghabiskan waktu sendiri.
 Saya sering sendirian, tetapi saya jarang merasa kesepian.
 Saya bisa memilih kapan waktu sendiri dan kapan waktu
bersama orang lain.
 Saya tidak menggerutu dan marah karena belum menikah.
 Saya tidak takut dengan kata-kata negatif dari orang lain
mengenai hidup melajang yang saya jalani.
 Saya merasa damai dengan kelajangan ini.

Tioso berdasarkan pengalamannya sebagai orang yang


memutuskan untuk melajang, memberikan beberapa petunjuk untuk
dapat mengenal dan menerima diri sendiri:12
11
Hunt, 17–18.
12
Tioso, Sendiri, Namun Tetap Mandiri, 46–49.

82 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

1. Saya perlu mengenal diri sendiri seutuhnya sampai sedalam-


dalamnya.
Setiap orang diciptakan secara seimbang, memiliki kelebihan
sekaligus kekurangan. Mengenal diri sendiri itu berarti
mengetahui apa yang menjadi kekuatan dan kekurangannya,
tanpa perlu membanding-bandingkannya dengan orang lain.
Keterbukaan dan kejujuran sangat diperlukan dalam proses
mengenal diri sendiri.
2. Saya perlu mengenal diri sendiri seutuhnya, dalam hubungan
dengan masyarakat.
Manusia adalah makluk sosial, sehingga tidak dapat hidup
menyendiri. Walaupun masyarakat masih memandang sebelah
mata kehidupan melajang, namun tidak berarti menarik diri
dari lingkungan. Justru banyaknya kebebasan dalam diri,
membuka kemungkinan untuk lebih bisa membantu dalam
kegiatan kemasyarakatan. Keterlibatan bersama dengan
sesama, akan turut mempengaruhi kepercayaan diri, sehingga
membentuk jati diri yang semakin kokoh.
3. Saya perlu merasa diri baik, apapun sikap masyarakat terhadap
saya.
Citra diri yang positif akan mendatangkan keberanian untuk
menjalani hidup melajang. Tidak ada lagi perasaan malu,
minder dan takut dengan omongan orang lain. Sebab keputusan
untuk melajang juga sama baiknya dengan hidup pernikahan.
Di dalam citra diri yang positif, keputusan melajang diambil
dengan matang.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 83


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

PERGUMULAN HIDUP MELAJANG: KESEPIAN

Hidup lajang identik dengan kesendirian. Teman-teman sebaya


mungkin sudah lebih sibuk dengan urusan keluarganya masing-
masing. sebenarnya tidak ada yang salah dengan kesendirian, tetapi
ketika orang-orang terdekat justru semakin memojokan untuk
segera menikah, malah menimbulkan rasa kesepian. Seolah tidak ada
seorangpun yang dapat memahami keberadaan diri yang melajang.
Oleh karenanya, patut disadari bahwa kesendirian tidak sama dengan
kesepian. Hidup lajang memang sendiri, tanpa pasangan, tapi bukan
berarti akan mengalami kesepian. Sebab rasa kesepian sebenarnya
bisa hinggap pada setiap orang, termasuk mereka yang menjalani
hidup pernikahan.
Kesepian bisa hinggap ke siapa saja. Tidak peduli orang itu
menikah atau melajang. Pusat-pusat hiburan didatangi oleh orang
yang menikah dan melajang. Bahkan orang yang menikah juga tidak
melulu mencari hiburan bersama anggota keluarganya. Ada saatnya
mereka mencari hiburan bersama dengan teman-temannya. Oleh
karenanya, hidup melajang memang identik dengan kesendirian tapi
bukan kesepian. Beberapa checklist terkait kehidupan sosial kaum
lajang:13

 Saya merasa nyaman pergi mengikuti kegiatan umum bersama


orang lain ataupun sendirian.
 Saya merasa nyaman bergaul dengan lawan jenis tanpa
memandang mereka sebagai calon potensial untuk dijadikan
pasangan.
 Saya dapat menghadiri pernikahan tanpa mengasihani diri
sendiri.
 Saya tidak iri terhadap orang yang menikah.
13
Hunt, Singleness: How To Be Single & Satisfied, 18–19.

84 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

 Saya membangun kedekatan relasi dengan anggota keluarga


dan teman-teman.
 Saya membantu kelangsungan masa depan keponakan atau
anak-anak muda lainnya.
 Saya menikmati kebersamaan dalam persekutuan di Gereja.
 Saya menjalin persahabatan dengan beberapa orang dan
merasa nyaman.
 Saya berinisiatif untuk memulai pertemanan, ketimbang
menunggu orang lain yang menjangkau.
 Saya menemukan sukacita ketika melayani orang lain.
 Saya merasa nyaman bersahabat dengan mereka yang menikah
ataupun lajang.
 Saya memiliki “keluarga” dari persahabatan itu, sehingga bisa
terbuka menceritakan pergumulan.

PERGUMULAN HIDUP MELAJANG: BINGUNG AKAN


TUJUAN HIDUPNYA

Asumsi umum yang ditujukan kepada orang yang melajang adalah


mereka terlalu pemilih dalam mencari pasangan, mereka belum
dapat melupakan masa lalu (traumatis percintaan sebelumnya),
mereka terlalu mengejar karier pekerjaan. Stigma-stigma tersebut
menempatkan orang yang melajang dalam posisi terpojok. Mereka
tidak diberi kesempatan untuk menjelaskan alasannya memilih
melajang, sehingga menimbulkan kegamangan dalam menentukan
tujuan hidupnya. Memang gagasan tentang hidup menikah itu begitu
luar biasa terserapnya dalam cara pandang sekaligus cara hidup yang
dilakoni oleh setiap manusia. Seolah-olah pernikahan itu adalah tujuan
dari kehidupan ini. Padahal I Petrus 1:9 menuliskan bahwa tujuan
hidup ini adalah keselamatan jiwa, “karena kamu telah mencapai

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 85


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

tujuan imanmu, yaitu keselamatan jiwamu.” Oleh karenanya, melajang


sesungguhnya memberikan kesempatan khusus untuk merefleksikan
secara mendalam tujuan dari kehidupan ini.14
Allah menciptakan setiap manusia dengan tujuannya masing-
masing. Hidup menikah atau melajang merupakan salah satu sarana
dalam mencapai pada tujuan tersebut. Sebagaimana yang dikatakan
oleh Tuhan Yesus bahwa ada orang yang melajang demi Kerajaan
Sorga. Di tradisi Gereja Katholik, ada biarawan/biarawati yang
memang melajang atau selibat. Meskipun di Gereja Protestan tidak
terdapat tradisi membiara dan selibat, namun ada pula dijumpai
orang-orang yang memutuskan melajang dan mencurahkan waktunya
bagi pelayanan Gereja. Beberapa langkah yang diperlukan untuk
mengetahui tujuan hidup ini:15

1. Daftarkalah kemampuan, talenta atau bakat Saudara.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

2. Tuliskan pengalaman paling berkesan sepanjang hidup ini.

14
Cavanaugh, The Power and Purpose of Singleness, 143.
15
Gagasan terinspirasi dari Cavanaugh, 161–62.

86 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

3. Tuliskan pekerjaan atau aktifitas yang membuat Saudara


bersemangat untuk melakukannya.

1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.

4. Tetapkan tantangan yang ingin diraih di masa depan.

1.
2.
3.
4.
5.

5. Bagaimana caranya meraih tujuan yang telah ditetapkan


di nomor 4 dengan segala kemampuan, talenta, bakat,
pengalaman, dan semangat yang Saudara miliki? Renungkanlah
dan doakanlah agar Tuhan melimpahkan hikmat, sehingga
tujuan ini adalah juga tujuan yang ditetapkan Allah untuk kita
kerjakan.

PERGUMULAN HIDUP MELAJANG: SEKSUALITAS

Kebutuhan akan seksualitas memang persoalan yang pelik bagi kaum


lajang, sebab hubungan seks hanya dapat dilakukan bagi orang yang
hidup dalam pernikahan. Paulus dalam tulisannya kepada jemaat
di Korintus menuliskan “…Adalah baik bagi laki-laki, kalau ia tidak

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 87


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

kawin, tetapi mengingat bahaya percabulan, baiklah setiap laki-laki


mempunyai isterinya sendiri dan setiap perempuan mempunyai
suaminya sendiri.” (I Korintus 7:1-2). Ayat ini mengindikasikan
bahwa hidup pernikahan ataupun hidup lajang adalah sama-sama
baik. Tidak ada masalah seseorang memutuskan untuk melajang,
selama dapat menguasai dirinya dari berbagai hawa nafsu, sehingga
tidak jatuh ke dalam pencobaan.
Meskipun begitu, sebenarnya bukanlah jaminan hidup
pernikahan akan memberikan kepuasan secara seksual. Kasus-kasus
perselingkuhan ataupun protistusi menjadi bukti bahwa orang yang
menikah bisa saja terjatuh dalam dosa seks. Begitu juga video-video
porno yang disediakan di situs internet. Jangan dikira yang mengakses
situs-situs tersebut hanyalah kaum lajang. Oleh karenanya, godaan
seks dialami oleh setiap orang. Itulah sebabnya, perlu dikendalikan
dan dikuasai, sehingga tidak merusak kehidupan. Beberapa hal yang
dapat dilakukan untuk menguasai diri terhadap nafsu seks:16

1. Carilah orang yang bisa dipercaya untuk mengingatkan soal


godaan seksual ini.
2. Hindarilah dari situasi yang bisa menjebak dalam godaan seks.
3. Bangunlah relasi yang intin dengan Tuhan. Ingatlah bahwa
hubungan seks tidak dapat memberikan kepenuhan cinta,
sebab hanyalah Tuhan yang dapat memberikan cinta tak
bersyarat itu.
4. Jangan pernah gunakan seks untuk mencari cinta.
5. Selalu akui dosa seksual ini dihadapan Tuhan, sehingga
dilimpahkan kekuatan untuk menghadapinya.

16
Hunt, Singleness: How To Be Single & Satisfied, 49–52.

88 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

PENUTUP

Pengenalan dan penerimaan diri akan menghasilkan bangunan konsep


tentang tujuan hidup dan masa depan yang hendak dicapai. Ia dapat
mengembangkan bakat serta talentanya, mempergunakan waktu dengan
efektif, menghasilkan karya yang berguna bagi sesama dan kemuliaan
Tuhan. Mungkin secara materi mereka tidak kaya, tetapi mereka kaya
dalam kebahagiaan dan damai sejahtera Allah.17 Sebagaimana Paulus
yang memilih untuk tidak menikah dan mendedikasikan hidup serta
waktunya bagi pelayanan. Hidup Paulus tetap terasa utuh karena
diselimuti cinta kasih Allah dan cinta kasih dari saudara-saudara
seiman. Ia terus merasakan dukungan atas keberadaan dirinya dan
karya pelayannya. Oleh karenanya, komunitas Gereja dapat menjadi
tempat yang merangkul para lajang dalam proses menuju keutuhan diri.
Collier-Stone (1993:30-32) menceritakan pergumulan di
gerejanya dalam melakukan pendampingan bagi kaum lajang.
Beberapa hal yang perlu diingat adalah:18

1. Semua orang membutuhkan Tuhan.


2. Kita semua saling membutuhkan.
3. Allah hadir secara nyata ketika kita hidup dalam komunitas
dan saling melayani.
4. Ketika kita hidup dan melayani, kita semua harus belajar
tentang memberi dan menerima. Oleh karenanya pelayanan
Gereja perlu: menegaskan dan memperkaya kehidupan
sebagai manusia spiritual melalui ibadah, keterlibatan dalam
pelayanan, rekreasi dan hubungan yang saling menguatkan.
Gereja dapat membangun sebuah paguyuban bagi kaum lajang,
sehingga mereka dapat bertumbuh bersama di dalam iman.
17
Tioso, Sendiri, Namun Tetap Mandiri, 56.
18
Kay Collier-Stone, Single in the Church: New Ways to Minister with 52% of
God’s People (New York: Rowman & Littlefield, 1992), 30–32.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 89


PEMBINAAN UNTUK KAUM LAJANG

Gereja selalu bersikap terbuka, termasuk terhadap kaum


lajang. Oleh karenanya, kaum lajang perlu mendapatkan tempat agar
imannya bertumbuh, memiliki citra diri yang sehat, dan mampu
berkarya bagi kemuliaan Tuhan.

DAFTAR PUSTAKA

Bennett, Jana Marguerite. Singleness and the Church: A New Theology


of the Single Life. Oxford University Press, 2017.
Cavanaugh, Michael. The Power and Purpose of Singleness: Finding Joy
as a Single Adult. New Kensington: Whitaker House, 2008.
Collier-Stone, Kay. Single in the Church: New Ways to Minister with
52% of God’s People. New York: Rowman & Littlefield, 1992.
Himawan, Karel Karsten, Matthew Bambling, and Sisira Edirippulige.
“Singleness, Religiosity, and the Implications for Counselors:
The Indonesian Case.” Europe’s Journal of Psychology 14, no. 2
(2018): 485-497. https://doi.org/10.5964/ejop.v14i2.1530..
Hunt, June. Singleness: How To Be Single & Satisfied. California: Rose
Publishing Inc, 2014.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan).
Jakarta: Erlangga, 1992.
Pratama, Luthfi Anjar Jati, and Achmad Mujab Masykur. “Interpretative
Phenomenological Analysis Tentang Pengalaman Wanita
Dewasa Madya Yang Masih Melajang.” Empati 7, no. 2 (2018):
351–360.
Tioso, Debora K. Sendiri, Namun Tetap Mandiri. Yogyakarta: Gloria
Graffa, 2010.

90 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Bab 7
PEMBINAAN PRANIKAH
Transisi dari Kehidupan Lajang Menuju
Pernikahan

Hendri Wijayatsih

PENDAHULUAN

Kesadaran dan upaya gereja dalam mempersiapkan pasangan yang


hendak menikah, bukanlah hal yang baru lagi. Jika kita perhatikan
buku-buku katekisasi yang diterbitkan oleh gereja, kita melihat
bagaimana pertumbuhan gereja dalam merumuskan bahan dan proses
bina pranikah ini. Gereja-gereja mulai beranjak dari bahan-bahan
katekisasi yang dogmatis teologis, misalnya materi tentang keluarga
Kristen, kewajiban suami/istri menurut Alkitab menuju ke materi yang
lebih menjawab tantangan keluarga-keluarga di masa kini, misalnya
komunikasi dan pengelolaan ekonomi keluarga. Pembaharuan
pelaksanaan bina pranikahpun mulai dikembangkan. Jika dulu sangat
bergantung pada figur pendeta, sekarang mulai banyak gereja yang
memiliki tim bina pranikah yang terdiri dari orang-orang dari berbagai
latar belakan, diantaranya : ahli hukum, psikolog atau tenaga kesehatan.
Namun demikian dalam realitasnya, tanpa disadari pendeta atau tim
yang melakukan bina pranikah terlalu dominan menguasai proses dan
pembicaraan. Dalam situasi ini, marilah kita menyadari yang menjadi
pusat proses bina pranikah ini adalah pasangan yang hendak menikah.
Suara, keyakinan, kekuatan, kegelisahan maupun mimpi-mimpi mereka
perlu kita dengar dan kita jadikan bahan kajian.

Hendri Wijayatsih 91
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

PERTEMUAN SEBELUM BINA PRANIKAH: MEMBUKA


KOMUNIKASI DAN MEMBANGUN KEPERCAYAAN

Urusan yang paling sering menguras energi dan emosi orang yang
akan menikah adalah rincian proses persiapan pemberkatan sampai
resepsi pernikahan. Sejauh pengalaman penulis, jarang sekali gereja
mencantumkan pembahasan tentang persiapan pesta pernikahan
ini dengan calon mempelai. Mungkin gereja beranggapan, kedua
calon mempelai yang sudah mengajukan permohonan mengikuti
bina pranikah, tentu sudah siap dengan segala persiapan pesta
pernikahan mereka dan gereja tinggal memberikan penguatan-
penguatan teologis. Anggapan ini tidak sepenuhnya salah, namun
jika mengingat kembali bahwa pernikahan di Indonesia bukanlah
peristiwa personal, tapi juga komunal, maka bisa dibayangkan
kompleksitas yang mungkin terjadi. Kendatipun gereja tidak
terlibat langsung mengurusi tetek bengek resepsi pernikahan calon
mempelai, namun rasanya gereja perlu mengajak calon mempelai
untuk menyadari seberapa besar investasi diri, waktu dan perhatian
mereka untuk rangkaian pesta pernikahan dan sejauh mana mereka
siap untuk melakukan investasi diri, waktu dan perhatian untuk
bina pranikah. Berbekal kesadaran seperti ini, gereja bekerja sama
dengan mempelai membangun pondasi percakapan yang terbuka
dan saling percaya di awal proses bina pranikah.Harapannya, melalui
pertemuan sebelum bina pranikah seperti ini, gereja menolong calon
mempelai agar tidak jatuh pada kecenderungan untuk mencurahkan
segala energi untuk wedding (seremonial pernikahan) yang terjadi
dalam beberapa jam dan mengabaikan dimensi marriage (dinamika
kehidupan berkeluarga) yang akan mereka jalani di sepanjang
kehidupan pernikahan mereka. Beberapa pertanyaan yang bisa
diajukan pada tahap ini misalnya:

92 Hendri Wijayatsih
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

• Bayangan dan harapan apa yang dimiliki oleh pasangan


tentang rangkaian pemberkatan dan resepsi pernikahan
mereka?
• Upaya-upaya baik apa yang sudah mereka lakukan dalam
mewujudkan bayangan dan harapan itu?
• Hal-hal apa saja yang masih menjadi kendala dalam
mewujudkan bayangan dan harapan mereka itu?
• Upaya-upaya apa yang bisa mereka lakukan untuk men-
jembatani bayangan ideal mereka tentang pemberkatan dan
resepsi pernikahan mereka dengan realitas mereka saat ini?
• Berbekal rangkaian proses di atas, pasangan diajak untuk
menyusun rencana konkrit persiapan pemberkatan dan
resepsi pernikahan mereka.

Melalui percakapan awal seperti ini, diharapkan calon mempelai


mendapatkan penguatan untuk melakukan langkah-langkah konkrit
dalam mempersiapkan rangkaian acara pernikahan mereka (wedding)
dan siap diajak membicarakan materi bina pranikah yang diharapkan
menolong mereka dalam menghidupi pernikahan mereka (marriage).
Dan diakhir pertemuan sebelum bina pranikah ini, calon mempelai
diminta untuk menjawab 2 pertanyaan berikut ini:1

Tuliskan 10 alasan mengapa saat ini adalah saat yang tepat


bagi saudara untuk menikah? Mengapa bukan beberapa
bulan atau bahkan tahun yang lalu?
(Melalui pertanyaan ini, pendeta yang mendampingi bina
pranikah bisa menggali faktor apa yang menjadi latar belakang
pengambilan keputusan pernikahan calon mempelai. Apakah

1
Pertanyaan-pertanyaan ini diadaptasi dari : H Norman Wright, The Premarital
Counseling Handbook, Cetakan ketiga(Chicago : Moody Press, 1992), 106

Hendri Wijayatsih 93
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

pasangan yang hendak menikah menjadi korban “couple


culture”2 atau tidak)

Tuliskan 12 alasan mengapa saudara hendak menikah


dengan calon suami/istri saudara ini?
(Dari jawaban ini, kedua calon mempelai memiliki kesempatan
untuk bercermin diri - siapa dia di mata calon istri/suaminya.
Selain itu, jawaban ini juga berguna bagi pendeta untuk
memetakan sejauh mana masing-masing calon mempelai
berani bersikap jujur serta proporsional dalam mengenal calon
pasangannya)

Kedua pertanyaan tersebut di atas, harus dijawab oleh masing-


masing calon mempelai secara terpisah. Dan masing-masing orang
diharapkan langsung menyerahkannya kepada pendeta beberapa hari
sebelum pertemuan pertama Bina Pranikah.

RANGKAIAN MATERI DAN PROSES BINA PRANIKAH

Menurut Margaret Kornfeld, peran pendeta sangatlah penting dalam


menemani calon mempelai dalam menjalani masa transisi kehidupan
seorang lajang dan siap memasuki kehidupan berumah tangga.
Di Amerika, masa transisi menuju terbentuknya keluarga baru ini
terjadi sekitar 6 bulan sebelum pernikahan sampai 6 bulan setelah
pernikahan.3 Berkaca pada hasil riset di Amerika ini, penting untuk
disadari bahwa bina pranikah perlu dilakukan sebaik mungkin dan
bukan sekedar formalitas pemenuhan persyaratan pernikahan, karena
2
Bandingkan artikel dalam buku ini: Yahya Wijaya, “Tidak Menikah:
Baikkah?”, poin: “Gereja dan Para Lajang”.
3
Margaret Kornfeld, Cultivating Wholeness. A Guide to Care and Counseling in
Faith Communities(New York And London : Continuum, 2000), 160

94 Hendri Wijayatsih
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

bisa jadi bina pranikah yang dilakukan gereja adalah satu-satunya


persiapan pernikahan yang dimiliki oleh calon mempelai.
Jika kita melakukan kajian sejarah atas penelitian-penelitian
keluarga, kita akan menemukan bahwa cukup lama penelitian
diarahkan pada masalah-masalah atau tantangan-tantangan
yang dihadapi oleh keluarga ditengah berbagai arus perubahan.
Penelitian jenis ini sering digolongkan pada penelitian yang
mengarah pada pencarian solusi atas permasalahan (problem
solution based approach). Namun demikian, sejak awal abad 20
banyak peneliti masalah-masalah perkawinan berusaha untuk
mencari kerangka berpikir baru yang mengajak kita untuk melihat
seimbang kesuksesan dan kegagalan keluarga dalam menghadapi
krisis yang menimpa keluarga mereka.4 Dalam bina pranikah
ini, penulis mengusulkan untuk menggunakan American Family
Strenghts Inventory yang disusun oleh John D. DeFrain dan istrinya
Nick Stinnett sebagai sarana refleksi calon mempelai. Kendatipun
sarana ini bernama American Family Strengths Inventory, namun
sejak tahun 1974 alat ini sudah diuji cobakan pada 24.000 keluarga
di Amerika dan 34 negara di dunia. Pada awalnya John dan Nick
menduga bahwa ada beragam faktor yang menguatkan keluarga-
keluarga di dunia, bergantung pada konteks sosial, budaya, politik
dan ekonomi mereka. Namun semakin banyak mereka melakukan
penelitian, semakin banyak data yang menunjukkan kesamaan
faktor-faktor yang dimiliki oleh keluarga-keluarga tangguh di dunia.
Faktor-faktor itu adalah kebersamaan (enjoyable time together),
apresiasi dan afeksi ( appreciation and affection for each other),
komunikasi (communicating effectively with each other), saling
menghargai dan memegang komitment (valuing each other and

4
J. DeFrain & S.M. Asay, Strong Families Around the World : An Introduction
to the Family Strenghths Perspectives in Marriage and Family Review vol 41 No. 1/2,
2007, 1-2

Hendri Wijayatsih 95
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

demonstrating commitment), kesejahteraan spiritual (spiritual


well-being), kemampuan mengatasi stress dan krisis dengan efektif
( managing stress and crisis effectively). 5 Keenam indikator ini
kemudian dirumuskan dalam sub-sub indikator yang diharapkan
akan menolong calon mempelai untuk memotret dinamika keluarga
asalnya. Melalui perbincangan yang terbuka tentang dinamika
keluarga asalnya, diharapkan masing-masing calon mempelai
tertolong untuk mengenal keluarga masing-masing dengan lebih
jujur dan terbuka. Berikut ini versi lengkap dari alat tes ini:6

Instruksi:

1. Alat tes ini dikerjakan oleh masing-masing pasangan secara


terpisah di luar sesi bina pranikah.
2. Tuliskan “S” untuk strength pada kalimat-kalimat yang
menunjukkan bahwa kualitas itu telah saudara miliki dan atau
maujud dalam kehidupan keluarga asal saudara
3. Tuliskan “G” untuk Growth pada kalimat-kalimat yang menurut
saudara mengambarkan potensi yang memungkinkan untuk
dikembangkan dalam keluarga asal saudara
4. Tuliskan “NA” untuk Not Aplicable untuk kalimat-kalimat
yang tidak sesuai denga realitas keluarga asal saudara atau hal-
hal yang saudara anggap tidak penting untuk dikembangkan
dalam keluarga asal saudara

5
J. DeFrain & S.M. Asay, Strong Families Around the World : An Introduction
to the Family Strenghths Perspectives in Marriage and Family Review vol 41 No. 1/2,
2007, 4-5
6
Diadaptasi dari The American Family Strenght Inventory. A Teaching Tools
for Generating Discussion and the Qualities that Make Family Strong yang bisa
diakses di UNL for Families website : unlforfamlies.unl.edu. Dipublikasikan oleh
The University of Nebraska-iIncoln

96 Hendri Wijayatsih
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Kebersamaan (Enjoyable Time Together)


Dalam keluarga kami.....
Kami memiliki sejumlah minat yang sama.
Kami suka bersenang-senang bersama.
Kami merasa nyaman seorang dengan yang lain.
Kami senang saling memberi kesempatan untuk melakukan
hal-hal baru.
Kami sangat menikmati cerita-cerita kakek/nenek tentang
masa lalu mereka.
Kami menikmati aktivitas keluarga yang sederhana dan tidak
memakan biaya.
Kami memiliki tempat yang kami sebut “home”.
Kami merasa terhubung dengan kuat satu dengan yang lain.
Kami sering berkumpul bersama untuk menguatkan relasi
kami.
Kami memiliki banyak kegiatan-kegiatan yang bersifat
kebersamaan.
Kami sering mentertawakan dalam pengertian yang positif.
Mengamati ritual dan tradisi keluarga adalah hal yang
penting dalam keluarga kami.
Kami sangat menikmati kesempatan untuk saling
membagikan pengalaman masing-masing.
Kami menikmati kegiatan-kegiatan bersama yang bersifat
spontan dan tanpa perencanaan terlebih dahulu.
Semua hal tersebut di atas kami miliki, kami memiliki waktu
yang cukup untuk saling memperhatikan seorang dengan
yang lain. Kami juga sangat menikmati kebersamaan kami.
Apresiasi dan Afeksi (Appreciation and Affection for Each Other)
Dalam keluarga kami.....
Kami menghargai seorang dengan yang lain dan
mengekspresikan penghargaan kami seorang dengan yang
lain.

Hendri Wijayatsih 97
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Kami menikmati saat kami bisa saling menolong.


Kami senang menepati janji satu sama lain.
Kami senang menunjukkan perhatian kami satu sama lain.
Kami merasa dekat satu dengan yang lain.
Kami senang bersikap baik seorang dengan yang lain.
Kami sedang saling memeluk.
Kami senang saling memikirkan seorang dengan yang lain.
Kami saling menunggu tanpa komplain.
Kami memberikan kesempatan setiap anggota keluarga
untuk menyelesaikan tugasnya masing-masing.
Kami bisa saling memaafkan seorang dengan yang lain.
Kami tumbuh semakin kuat karena kami saling mencintai.
Semua hal tersebut di atas, kami saling mengapresiasi dan
memperhatikan seorang dengan yang lain.
Komunikasi (Communicating Effectively with Each Other)
Dalam keluarga kami.....
Kami senang membagikan perasaan kami seorang pada yang
lain.
Mudah untuk saling memahami perasaan satu sama lain.
Kami senang berkomunikasi terbuka seorang dengan yang
lain.
Kami saling mendengarkan.
Kami menghargai sudut pandang orang lain.
Membicarakan masalah adalah hal penting bagi kami.
Kami saling memberi kesempatan untuk saling
mengekspresikan keinginannya.
Kami menikmati proses diskusi dalam keluarga.
Kami saling bercanda dan berbagi joke seorang dengan yang
lain.
Kami jarang saling menjatuhkan.
Sarkasme tidak umum digunakan.
Memiliki semua hal tersebut di atas, komunikasi kami efektif.

98 Hendri Wijayatsih
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Saling Menghargai dan Memegang Komitmen (Valuing Each


Other and Demonstrating Commitment)
Dalam keluarga kami……..
Tanggung jawab dibagi secara seimbang.
Setiap orang harus berkontribusi dalam pengambilan
keputusan.
Masing-masing individu diperbolehkan untuk mengambil
keputusan mereka sendiri.
Kami mudah untuk saling percaya satu dengan yang lain.
Kami senang melakukan sesuatu yang membuat kami
nyaman sebagai sebuah keluarga.
Kami memiliki harapan yang masuk akal satu dengan yang
lain.
Kami diijinkan untuk menjadi diri kami sendiri.
Kami menghargai peran masing-masing individu dalam
keluarga kami.
Kami sangat menghargai seorang dengan yang lain.
Kami menghargai peran masing-masing individu dalam
keluarga kami.
Kami sangat mudah untuk bersikap jujur seorang terhadap
yang lain.
Kami mendukung pertumbuhan kepercayaan diri seorang
dengan yang lain.
Memiliki segala hal di atas, kami saling menghargai dan
berkomitmen [ada kesejahteraan kami sebagai sebuah
keluarga.
Kesejahteraan Spiritual (Spiritual Well-being)
Dalam keluarga kami.....
Kami memiliki sikap yang positif terhadap kehidupan.
Rumah kami adalah tempat khusus dan istimewa bagi kami.
Kami memiliki rasa saling memiliki yang tinggi.
Kami menikmati saat belajar tentang sejarah keluarga kami.

Hendri Wijayatsih 99
PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Kami memiliki keterkaitan yang kuat dengan nenek moyang


kami.
Ada perasaan aman dan nyaman.
Kami menyadari keterkaitan antara kami dengan alam dan
dunia di sekitar kami.
Kami merasakan keterkaitan yang erat dengan bumi.
Ada rasa damai diantara kami.
Kami meyakini bahwa cinta kasih adalah kekuatan yang
menyatukan kami bersama.
Kami merasakan manfaat dari keyakinan kami akan adanya
Tuhan.
Mudah bagi kami untuk saling membagikan nilai-nilai
spiritualitas kami.
Keyakinan religious kami saling kompatible satu dengan
yang lain.
Memiliki semua hal tersebut di atas, kami memiliki relasi
spiritual kuat yang meneguhkan sejahteraan kami.
Kemampuan Mengatasi Stres dan Krisis dengan Efektif
(Managing Stres and Crisis Effectively)
Dalam keluarga kami.....
Krisis menolong kami untuk tumbuh semakin dekat satu
dengan yang lain.
Mudah bagi kami untuk mencari jalan keluar dari masalah
jika kami membicarakannya.
Selalu penting bagi kami untuk merubah hal-hal yang bisa
kami ubah.
Kami bisa bekerjasama untuk menyelesaikan masalah
keluarga yang pelik.
Krisis menolong kami dalam memperkuat relasi kami.
Kami berusaha untuk tidak kuatir secara berlebihan karena
akhirnya segala sesuatu akan baik-baik saja.

100 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

Kami bisa menghadapi masalah-masalah harian dengan


percaya diri.
Kami sedang menopang satu dengan yang lain.
Kami memiliki teman-teman yang selalu siap berada
bersama kami.
Krisis membuat kami saling lebih dekat seorang dengan yang
lain.
Kami selalu bisa menemukan sesuatu yang baik di balik
sebuah krisis.
Kami merasa mudah untuk merubah rencana kami sesuai
dengan perubahan situasi.
Kami memiliki keberanian untuk mengambil resiko yang
kami yakini akan mendukung pertumbuhan keluarga kami.
Kami merasa kemampuan untuk menerima hal-hal yang
tidak bisa kami ubah adalah hal yang penting.
Memiliki semua hal di atas, kami melihat tantangan sebagai
peluang untuk bertumbuh.
Penilaian Ketangguhan Keluarga secara Global
Dalam keluarga kami.....
Kami saling mengasihi seorang dengan yang lain.
Kami puas dengan kehidupan berkeluarga kami.
Kami adalah keluarga yang berbahagia.
Kami memiliki semua hal di atas, kami adalah keluarga yang
tangguh.

Setelah mengisi kuesioner di atas, pendeta selaku pendamping


bina pranikah mengajak masing-masing calon mempelai untuk
menceritakan, bertanya dan menanggapi secara empatik setiap
evaluasi yang dibuat oleh calon istri/suaminya terhadap keluarga
asalnya. Laju pembahasan masing-masing indikator keluarga tangguh
di atas, sangat bergantung pada dinamika masing-masing calon
mempelai. Yang jelas, selaku pendamping bina pranikah, pendeta

Hendri Wijayatsih 101


PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

menolong masing-masing calon mempelai untuk memulai masa


transisi mereka keluar dari dinamika keluarga asal mereka dan
bersiap diri memasuki keluarga baru yang akan mereka bangun.
Diharapkan dengan diskusi yang terbuka seperti ini dalam bina
pranikah, calon mempelai tertolong untuk tidak mewarisi atau
bahkan memaksakan begitu saja, apa-apa yang biasa ada atau yang
mereka anggap baik dalam keluarga asal mereka ke dalam keluarga
baru yang akan dibentuk, tanpa kesepakatan dengan calon istri atau
suaminya. Sebab menurut Margharet Konrfeld, konflik-konflik yang
dihadapi oleh pasangan yang baru menikah, kebanyakan berasal dari
ketidakmampuan masing-masing calon mempelai untuk benar-benar
menyadari bahwa mereka sekarang telah memiliki keluarga sendiri
yang berbeda dengan keluarga asal mereka.7
Setelah selesai pembahasan kuesioner di atas, pendeta
selaku pembimbing bina pranikah hendaknya mulai mengajak
calon mempelai untuk merumuskan visi kehidupan keluarga baru
mereka. Selain itu, pendeta juga menanyakan hal-hal apa yang ingin
mereka diskusikan atau gali lebih lanjut dalam bina pranikah agar
mereka tangguh menjalani transisi dari kehidupan seorang lajang
dan bersiap memasuki kehidupan berkeluarga. Baik juga jika calon
mempelai untuk melengkapi penemuan diri mereka di atas dengan
pembahasan tentang triangle of love.8 Baik juga jika calon mempelai
dan pendeta mendiskusikan, adakah pihak-pihak lain (warga jemaat,
tenaga profesional, anggota keluarga) yang perlu dilibatkan dalam
bina pranikah ini. Dan sebelum bina pranikah ini diakhiri, pendeta
disarankan untuk mendorong calon mempelai untuk mendata semua
sumber-sumber iman: teks alkitab, lagu-lagu, simbol-simbol dan lain-

Margaret Kornfeld, Cultivating Wholeness. A Guide to Care and Counseling in


7

Faith Communities(New York And London : Continuum, 2000), 161


8
Uraian detail tentang hal ini dapat dibaca dalam artikel yang ditulis Jeniffer
F.P Wowor dalam buku ini dengan judul; Pembinaan untuk Remaja dan Pemuda :
Pacaran, Cinta, Jodoh dan Tunangan

102 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

lain, yang diyakini mempelai akan meneguhkan perjalanan mereka


menjalani transisi kehidupannya yang baru. Akan menarik juga jika
informasi tentang hal ini, kemudian diolah sedemikian rupa dan
dimasukkan dalam liturgi pemberkatan nikah.

Visi kami terhadap keluarga yang akan kami bangun:

Pihak-pihak yang akan kami Topik/isu apa yang hendak kami


libatkan dalam persiapan gali/diskusikan dengan mereka
pernikahan kami selanjutnya

Sumber-sumber iman dan disiplin rohani dan hendak kami


kembangkan dalam keluarga baru yang akan kami bentuk:

PENUTUP

Dengan memperhatikan rangkaian materi dan proses tersebut


di atas, kita bisa membayangkan betapa krusialnya peran gereja
mempersiapkan warganya untuk memasuki tataran baru kehidupan
dari seorang lajang menuju ke dalam kehidupan berkeluarga.
Pelibatan pihak-pihak lain baik yang ada berasal dari dalam jemaat
lokal maupun dari luar, diharapkan menjadi jaring pengaman sosial
maupun spiritual bagi calon mempelai dalam menjalani kehidupan
berumah tangga yang mereka rancangkan.

Hendri Wijayatsih 103


PEMBINAAN PRANIKAH: TRANSISI DARI KEHIDUPAN LAJANG MENUJU PERNIKAHAN

DAFTAR PUSTAKA

DeFrain. J & S.M. Asay, Strong Families Around the World: An


Introduction to the Family Strenghths Perspectives in: Marriage
and Family Review vol 41 No. 1/2, 2007
Kornfeld. Margare, Cultivating Wholeness. A Guide to Care and
Counseling in Faith Communities(New York And London:
Continuum, 2000)
Wright. H Norman, The Premarital Counseling Handbook, Cetakan ke
3 (Chicago: Moody Press, 1992), 106

104 Hendri Wijayatsih


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Bab 8
MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha

PENGANTAR

Bayangan bahwa pernikahan akan memberikan kebahagiaan


selamanya, bak cerita di negeri dongeng, kebanyakan menggelayut
dalam benak pasangan suami-isteri saat memulai mahligai rumah
tangganya. Namun begitu hidup pernikahan mulai dijalani, ternyata
ada banyak perbedaan kecil yang mulai menjadi kerikil-kerikil tajam
menusuk perjalanan relasi suami-isteri. Meskipun sudah menuntaskan
kurikulum bina pranikah, kompleksitas hidup pernikahan dapat
membuyarkan bayangan indah pernikahan. Oleh karenanya,
hidup pernikahan sesungguhnya membutuhkan perjuangan dan
pengorbanan. Suami-isteri perlu terus belajar menyesuaikan diri
dengan berbagai perubahan yang terjadi.

FASE HIDUP PERNIKAHAN

Betty Carter dan Monica McGoldrick membagi hidup pernikahan


menjadi 6 fase, yaitu:1

1. Sebelum Berkeluarga: Dewasa Muda yang Tidak Terikat


Perubahan yang terjadi di fase ini adalah belajar hidup mandiri
terpisah dari orang tua. Jika sebelumnya masih bergantung
1
Betty Carter and Monica Ed McGoldrick, The Changing Family Life Cycle: A
Framework for Family Therapy (Gardner Press, 1988), 317.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 105


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

pada orang tua, maka sekarang mulai menata kehidupan


sendiri. Dengan penghasilan yang didapat dari pekerjaan,
para dewasa muda mulai membangun masa depannya. Ia
berkenalan dan berelasi dengan banyak orang, sambil mencari
pasangan hidupnya.
2. Berkeluarga: Pasangan Baru
Jalinan relasi yang semakin mantap di masa pacaran berlanjut
sampai jenjang pernikahan. Hati ditambatkan pada pasangan
yang akan menemani sepanjang kehidupan ini. Laki-laki
dan perempuan berkomitmen untuk menyatu dan membina
keluarga. Mereka kini menjadi suami-isteri yang tentu perlu
belajar untuk saling menerima satu sama lain, termasuk juga
keluarga besarnya.
3. Keluarga dengan Anak Kecil
Kelahiran anak dalam keluarga tentu mengubah kehidupan
berkeluarga. Suami-isteri memiliki peran baru sebagai orang
tua yang bertanggung jawab atas pengasuhan dan pendidikan
anaknya. Peran ini tentu membutuhkan penyesuaian, termasuk
juga terhadap peran baru yang terjadi pada orang tua dari
suami-isteri yang kini dipanggil kakek dan nenek.
4. Keluarga dengan Remaja
Pada usia anak remaja, orang tua perlu mempersiapkan anaknya
untuk menuju pada kemandirian. Anak sudah mulai memiliki
dunianya sendiri, sehingga ada waktu lebih luang bagi suami-
isteri untuk juga menjalani kehidupan pribadinya. Selain soal
pola pengasuhan dan pendidikan anak yang berubah, di masa
ini suami-isteri juga perlu memberi perhatian kepada kakek-
nenek. Usia yang tidak lagi muda tentu membuat kakek-nenek
memiliki banyak keterbatasan, sehingga perlu diperhatikan
secara serius.

106 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

5. Melepaskan Anak-anak untuk Melanjutkan Hidupnya Secara


Mandiri
Anak sudah besar, tidak lagi bergantung pada orang tua, dan
sudah siap untuk membangun rumah tangganya sendiri. Oleh
karenanya, perlu melakukan penyesuaian terhadap kehadiran
(calon) menantu. Dan juga mulai mempersiapkan diri untuk
kembali berdua di rumah. Sementara itu kakek-nenek yang
semakin sepuh dengan segala keterbatasannya perlu disadari
dan diterima dalam keikhlasan. Begitupula ketika kakek-nenek
berpulang ke rumah Bapa di Sorga.
6. Keluarga di Hari Tua
Sekarang sudah saatnya menerima bahwa generasi zaman telah
berubah. Gilirannya menjadi kakek-nenek. Oleh karenanya,
berlakulah bijaksana agar menjadi teladan bagi anak dan cucu.
Kenyataan terberat di fase ini adalah merelakan kepulangan
kekasih hati lebih dulu ke rumah Bapa di Sorga.

Tiap fase dalam pernikahan memiliki pergumulannya masing-


masing, yang menuntut suami-isteri untuk saling bekerja sama. Pepper
Schwartz mengungkapkan hasil temuannya bahwa pasangan yang
membangun kesetaraan dalam berelasi memperoleh pernikahan yang
lebih bahagia dan tahan lama.2 Lebih lanjut, Schwartz mengatakan,
“Inti dari pernikahan bukanlah berbagi segala sesuatu secara 50-50.
Melainkan, pembagian pengambilan keputusan, tanggung jawab,
dan pekerjaan rumah, dilakukan dalam kerangka keintiman dan
kerjasama dalam pernikahan.”3 Suami-isteri saling berbagi peran
dalam keterbukaan, sehingga sukacita mengerjakannya. Oleh
karenanya diperlukan pola komunikasi yang baik. Kadang terdapat

2
Pepper Schwartz, Peer Marriage: How Love between Equals Really Works (New
York: Free Press, 1994), 2.
3
Schwartz, 2.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 107


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

persoalan yang lebih dipahami oleh suami, sehingga dominasi suami


dalam membuat keputusan lebih besar ketimbang isteri. Tetapi juga
ada situasi yang berlaku sebaliknya, dimana isteri lebih memberi
sumbangsih ketimbang suaminya. Dan hal itu tidaklah masalah!

KUESIONER: MENGAMBIL KEPUTUSAN

Di bawah ini terdapat beberapa situasi yang perlu diambil keputusan.


Berikanlah persentase bagian Anda berdua dalam membuat
keputusan, sehingga mencapai 100 %. Lalu tuliskanlah alasannya.

Situasi yang Suara Suara


Alasannya
dihadapi Suami Isteri
Contoh: 75% 25% Isteri berasal dari luar
kota, sehingga tidak
Memilih rumah terlalu memahami
tinggal lingkungan yang baik
untuk dijadikan rumah
tinggal.
Memilih warna
cat rumah
Memilih
perabotan
rumah tangga
Memilih
kendaraan baru
Memilih gereja
Memilih tempat
rekreasi
Menentukan
jumlah anak

108 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Membersihkan
rumah
Memilih menu
masakan
Cara mendidik
anak
Menentukan
sekolah anak

Suami-isteri perlu membiasakan diri untuk mengambil


keputusan secara bersama-sama, sebab hal itulah yang akan membuat
ikatan suami-isteri menjadi semakin lekat. Yang perlu diingat adalah
suami-isteri berada dalam keseteraan. Segala sesuatu dibicarakan dalam
keterbukaan, sehingga tidak memendam masalah yang bisa sewaktu-
waktu meledak. Beberapa masalah sensitif yang biasa dihadapi dalam
kehidupan pernikahan adalah soal keuangan, hubungan seksual, dan
perbedaan cara suami-isteri dalam membangun spiritualitas.

KEUANGAN KELUARGA

Elizabeth B. Hurlock mengatakan, “Uang dan kurangnya uang


mempunyai pengaruh yang kuat terhadap penyesuaian diri orang
dewasa dengan perkawinan.”4. Apalagi di era E-Commerce sekarang
ini. Orang tidak perlu menyediakan waktu khusus untuk berbelanja.
Cukup santai di rumah dengan gadget di tangan, barang-barang
yang dibutuhkan akan diantar sampai depan pintu. Tawaran produk
muncul tanpa henti di gadget yang kita pegang, menggoda untuk
segera dibeli karena sedang ada flash sale. Akibatnya, pengeluaran
sulit terkontrol, bahkan lebih besar pasak daripada tiang. Di sinilah
4
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan) (Jakarta: Erlangga, 1992), 291.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 109


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

kelihaian bank-bank penyedia kartu kredit ikut menggoda kita


dengan berbagai kemudahannya. Kita mulai menggali hutang yang
semakin lama kian dalam. Akhirnya, suami-isteri bertengkar hebat
karena masalah uang.
Suami-isteri perlu berdiskusi dan merencanakan keuangan
keluarga mereka. Beberapa hal yang perlu didiskusikan:

1. Apakah yang menjadi tujuan keuangan keluarga Anda di masa


depan?
A. ______________________________________________
______________________________________________
B. ______________________________________________
______________________________________________
C. ______________________________________________
______________________________________________
D. ______________________________________________
______________________________________________
E. ______________________________________________
______________________________________________

2. Apakah yang menjadi prioritas keuangan keluarga Anda?


A. ______________________________________________
______________________________________________
B. ______________________________________________
______________________________________________
C. ______________________________________________
______________________________________________
D. ______________________________________________
______________________________________________
E. ______________________________________________
______________________________________________

110 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

3. Buatlah rencana jangka pendek, jangka menengah dan jangka


panjang keluarga Anda yang membutuhkan alokasi dana!

Jangka Pendek Kebutuhan Dana


Contoh: Biaya persalinan Rp 10.000.000,00

Jangka Menengah Kebutuhan Dana


Contoh: Mengganti Rp 15.000.000,00
kendaraan

Jangka Panjang Kebutuhan Dana


Contoh: Biaya sekolah anak Rp. 30.000.000,00

4. Buatlah rincian anggaran pengeluaran keluarga setiap


bulannya, agar penggunaan uang dapat terkontrol!
5. Tentukanlah persentase dana yang akan ditabungkan guna
memenuhi rencana yang sudah ditetapkan, dengan mengacu
pula pada dana pengeluaran setiap bulannya!

KEINTIMAN SEKSUAL

William Glasser dan Carleen Glasser mengatakan, “Seks yang


memuaskan merupakan unsur penting dalam pernikahan yang
panjang dan bahagia. Bukan seberapa sering Anda melakukannya

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 111


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

atau seberapa lamanya yang penting, tetapi sangat penting bahwa


setiap kali Anda bercinta, kedua pasangan memiliki pengalaman yang
memuaskan.5 Pernikahan dan keintiman seksual memang memiliki
korelasi yang erat. Tim dan Beverly LaHaye menuliskan 5 pandangan
suami terhadap keintiman seksual:6

1. Persetubuhan memuaskan dorongan seksnya.


Dorongan seks pada laki-laki tidak hanya mempengaruhi
tingkah laku seksualnya, tetapi juga kepribadiannya,
pekerjaannya, motivasinya dan hampir semua karakteristik
lain dalam hidupnya. Oleh karenanya, laki-laki yang sedang
mengalami tekanan dalam pekerjaannya akan mengalami
penurunan gairah seksual.
2. Persetubuhan membuatnya sungguh-sungguh merasa bahwa ia
adalah seorang laki-laki sejati.
Dorongan seks rupanya secara kompleks juga berkaitan
dengan ego laki-laki. Seorang suami yang puas secara seksual
adalah seorang pria yang dengan cepat akan mengembangkan
keyakinan diri dalam bidang-bidang lain dari kehidupannya.
3. Persetubuhan membuatnya lebih mengasihi isterinya.
Laki-laki yang menyalurkan dorongan seksnya dengan tepat,
yaitu, melakukan hubungan seksual dengan isterinya, membuat
hatinya menjadi tenang. Itulah yang membuatnya makin
mengasihi isterinya. Berbeda ketika laki-laki menyalurkan
dorongan seksnya secara serampangan, seperti masturbasi atau
melakukan prostistusi. Di dalam dirinya akan muncul perasaan
bersalah, yang secara perlahan akan menggerogoti jiwanya.

William Glasser and Carleen Glasser, Eight Lessons for a Happier Marriage
5

(Harper Collins, 2009), 95.


6
Tim & Beverly LaHaye, Kehidupan Seks Dalam Pernikahan Bimbingan Seks
Bagi Suami-Istri (Yogyakarta: ANDI Offset, 2009), 24–34.

112 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

4. Persetubuhan mengurangi friksi di dalam rumah tangga.


Rasa makin cinta terhadap isteri tentu akan mengurangi friksi-
friksi dalam rumah tangga. perbedaan-perbedaan kecil tidak
akan menjadi masalah yang besar.
5. Persetubuhan memberikan pengalaman hidup yang paling
menyenangkan kepadanya.
Luapan fisik dan emosional yang luar biasa tentu memberikan
pengalaman yang menyenangkan. Hal itu semakin membuatnya
bersemangat dalam menjalani tanggung jawabnya sebagai
suami bagi keluarganya.

Sedangkan bagi isteri, persetubuhan juga penting dalam hidup


pernikahan, sebab:7

1. Persetubuhan membuatnya sungguh-sungguh merasa bahwa ia


adalah seorang wanita.
Hubungan seksual dengan suaminya meningkatkan citra
dirinya sebagai perempuan. Ia akan berhenti memandang
rendah dirinya dan mulai menerima keberadaan dirinya,
sebagaimana penerimaan suami yang telah menerimanya
dengan sepenuh hati.
2. Persetubuhan memberi kepastian kepadanya bahwa suaminya
mengasihinya.
Semua orang memiliki kebutuhan pokok untuk dikasihi. Hal
ini lebih kelihatan di dalam diri kaum perempuan ketimbang
kaum laki-laki. Di dalam persetubuhan, isteri akan dapat
merasakan dengan intens cinta kasih dari suaminya.
3. Persetubuhan memuaskan dorongan seksnya.
Perempuan sebagaimana laki-laki juga memiliki dorongan
seks yang perlu disalurkan. Di dalam persetubuhan, isteri
7
LaHaye, 39–49.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 113


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

merasakan getaran dalam hatinya, yang membuatnya merasa


bahagia karena diterima dan dicintai oleh suaminya.
4. Persetubuhan membuat sistem sarafnya rileks.
Persetubuhan di dalam pernikahan tidak hanya membantu
suami-isteri untuk mempertahankan kesetiaan mereka satu
sama lain, tetapi juga merupakan “obat” penenang syaraf yang
sangat dibutuhkan oleh pasangan suami-isteri.
5. Persetubuhan merupakan pengalaman yang paling indah yang
dapat dialami oleh seorang wanita.
Bila dilakukan sebagaimana mestinya dan sampai mencapai
orgasme, percintaan di dalam perkawinan dapat menjadi salah
satu pengalaman yang paling menyenangkan bagi perempuan.
Ia akan terus mengingatnya, sehingga terus berusaha menjadi
kemesraan dengan suaminya.

KUISONER: KEINTIMAN SEKSUAL

Setiap pernyataan perlu diberikan nilai dari 1-5, dengan cara dilingkari
pada angka yang paling sesuai dengan pemahaman Anda. Skala 1 untuk
menyatakan paling tidak setuju dan 5 untuk menyatakan paling setuju.

Pernyataan Penilaian
Seks hanya untuk mendapatkan
1 2 3 4 5
keturunan.
Seks juga berfungsi untuk
1 2 3 4 5
memberikan kenikmatan.
Kenikmatan seks adalah bersifat
1 2 3 4 5
daging, dan bukan dari Allah.
Seks adalah salah satu pengalaman
1 2 3 4 5
paling indah dalam pernikahan.

114 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Anda dapat secara terbuka


menyatakan keinginan untuk 1 2 3 4 5
berhubungan seks kepada pasangan.
Anda menikmati hubungan seksual
1 2 3 4 5
dengan pasangan.
Kepuasan seksual merupakan
salah satu faktor yang memperkuat 1 2 3 4 5
pernikahan.
Tiap pasangan perlu mempelajari
1 2 3 4 5
pedoman seks yang baik.
Setelah melakukan hubungan seksual,
Anda dan pasangan berbincang- 1 2 3 4 5
bincang secara mendalam.
Anda dan pasangan merasa puas
dengan hubungan seksual yang telah 1 2 3 4 5
dilakukan selama ini.

KEINTIMAN SPIRITUAL

Relasi pernikahan juga memiliki dimensi spiritual. Perjanjian Lama


menggunakan relasi suami-isteri untuk melukiskan relasi Tuhan
dengan umat. Begitupula di Perjanjian Baru, Paulus di dalam suratnya
kepada jemaat di Efesus mengingatkan suami-isteri untuk saling
menghormati dan mengasihi, sebagaimana relasi jemaat dengan
Kristus. Oleh karena itu, suami-isteri di dalam membangun rumah
tangganya perlu selalu melibatkan Tuhan. Tidak hanya secara bersama
sebagai pasangan dan keluarga, tetapi juga di dalam kehidupannya
pribadi. Suami dan isteri masing-masing sebagai pribadi perlu
membangun keintiman dengan Tuhan.
Gary Thomas8 menuliskan bahwa terdapat 9 cara seseorang
membangun keintimannya dengan Tuhan, yaitu:
8
Gary L. Thomas, Sacred Pathways: Discover Your Soul’s Path to God
(Zondervan, 2009).

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 115


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

1. Kaum Naturalist
Keindahan alam semesta dapat membuat hati bergetar
merasakan keagungan, kehadiran dan kasih Tuhan. Perpaduan
warna jingga di langit saat petang hari. Kemunculan mentari
yang perlahan-lahan mengusir kegelapan malam. Kaum
Naturalist begitu menikmati pengalaman berada di alam
terbuka dan mampu menghayatinya sebagai pengalaman iman
yang membuatnya bertumbuh.
Apakah Anda seorang Naturalist? Berikut ini terdapat beberapa
pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan skala 1
untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5 untuk
pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan saat
dikelilingi dengan alam ciptaanNya, seperti:
pegunungan, hutan atau lautan.
Saya merasa terasing jika harus terlalu banyak
menghabiskan waktu di dalam ruangan, hanya
mendengarkan atau menyanyikan lagu. Tidak
ada yang membuat saya merasa dekat dengan
Tuhan daripada berada di luar ruangan.
Saya lebih suka menyembah Tuhan dengan
cara menghabiskan waktu satu jam seorang
diri di samping danau kecil ketimbang
mengikuti persekutuan kelompok.
Saya akan merasa sangat bahagia jika dapat
berada di taman atau padang rumput untuk
berdoa.

116 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Melihat keindahan alam lebih menggerakan


saya dalam memahami Tuhan daripada
berpartisipasi dalam ibadah yang formal
maupun diskusi-diskusi konsep teologi yang
muktahir.
Total Nilai

2. Kaum Sensates
Lukisan, musik, pergelaran teater, dan hasil karya seni rupa
dapat memunculkan getaran yang membuat seseorang
merasakan kehadiran dan kasih Tuhan. Sebagai contohnya,
Henri Nouwen, di dalam salah satu bukunya menuliskan
refleksi teologisnya ketika melihat lukisan cat minyak
“Kembalinya Si Anak Hilang” karya Rembrandt. Kaum sensates
dapat merasakan getaran tertentu saat melihat, mendengar,
membaui, mencecap dan meraba benda-benda yang ada di
sekitarnya. Sepulang dari gereja, rasa anggur yang masih
membekas di mulut saat mengikuti Sakramen Perjamuan tadi
bisa terus menggetarkan batinnya.
Apakah Anda seorang Sensates? Berikut ini terdapat beberapa
pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan skala 1
untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5 untuk
pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa dekat dengan Tuhan saat berada
di sebuah gereja yang memungkinkan saya
untuk bisa melihat, membaui, mendengar, dan
mencecap keagunganNya.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 117


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Saya menikmati peribadahan di gereja yang


memiliki arsitektur dan tata ruang yang
menampakkan keagungan.
Kualitas musik dan nyanyian ibadah yang
kurang baik, seperti tidak dipersiapkan
dengan sungguh-sungguh, terasa sangat
menggangu bagi saya.
Saya secara alami senang mengunjungi
museum ataupun pergelaran seni ketimbang
berjalan-jalan di pegunungan, atau membaca
buku sendirian.
Saya merasa bertumbuh ketika melihat ikon
dan mendengar musik klasik saat sedang
berdoa kepada Tuhan.
Total Nilai

3. Kaum Tradisionalists
Tata ibadah yang teratur, penggunaan simbol-simbol yang
tetap, memberi diri untuk terlibat dalam hidup menggereja,
membuat kaum tradisionalist bergetar merasakan kehadiran
dan cinta Allah. Ada kecenderungan untuk mempertahankan
ritual dan tradisi yang sudah berlaku selama ini, tanpa ada
keinginan untuk mengubahnya.
Apakah Anda seorang Tradisionalist? Berikut ini terdapat
beberapa pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan
skala 1 untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5
untuk pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan saat
saya mengikuti ibadah dengan liturgi yang

118 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

sudah saya kenal sejak dulu. Ritual dan tradisi


menggerakan saya lebih dari apapun.
Ketika maju ke altar gereja dan
mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan,
saya merasakan kedekatan denganNya.
Kata “tradisi” dan “sejarah” sangat menarik
bagi saya.
Ikut melayani dalam pelayanan ibadah
minggu, menaruh simbol-simbol Kekristenan
di rumah, mobil, kantor, dan secara rutin
melakukan persekutuan doa di keluarga,
adalah kegiatan yang sangat saya nikmati.
Saya akan sangat menikmati pola doa pribadi
yang saya lakukan setiap hari.
Total Nilai

4. Kaum Ascetics
Mengambil jarak dari kenyataan sehari-hari di dalam
kesendirian, mengupayakan hidup sederhana, dan melakukan
disiplin-disiplin rohani secara ketat, adalah cara yang
dipergunakan oleh kaum ascetics dalam membangun relasinya
dengan Tuhan. Yohanes Pembaptis merupakan contoh
yang tepat untuk menggambarkan kaum ascetics. Tinggal
menyendiri di padang gurun dengan berpakaian dari kulit
binatang, makannya madu dan belalang, serta memiliki
standard moral yang tinggi.
Apakah Anda seorang Ascetics? Berikut ini terdapat beberapa
pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan skala 1
untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5 untuk
pernyataan yang paling Anda setujui.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 119


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan keti-
ka saya sendirian, tidak ada yang mengalih-
kan perhatian, dan hanya fokus pada
kehadiran-Nya.
Saya ingin menggambarkan iman itu lebih
bersifat “internal” daripada “eksternal”.
Keheningan, kesendirian dan disiplin rohani
sangat menarik bagi saya.
Mengambil retreat seharian di sebuah biara di
mana saya dapat menghabiskan banyak waktu
sendirian untuk membaca Alkitab, berdoa
dan berpuasa, adalah kegiatan yang akan saya
nikmati.
Saya akan benar-benar menikmati waktu
berdoa semalam suntuk, menahan untuk
tidak berkata-kata, dan belajar hidup
sederhana.
Total Nilai

5. Kaum Activists
Berjuang membela keadilan dan kebenaran secara nyata dengan
jalan terjun ke lapangan membuat kaum activist merasakan
kedekatannya dengan Tuhan. Kaum activist sangat terinspirasi
dari kisah nabi-nabi di Perjanjian Lama yang begitu berani
berkonfrontasi demi mewujudkan damai sejahtera.
Apakah Anda seorang Activists? Berikut ini terdapat beberapa
pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan skala 1
untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5 untuk
pernyataan yang paling Anda setujui.

120 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan saat
sedang berjuang membela keadilan. Seperti
misalnya: menulis pesan kepada pejabat pe-
merintah, baik secara langsung melalui surat
ataupun melalui email, media sosial, surat
kabar.
Saya merasa frustasi ketika melihat orang
Kristen yang apatis dan tidak peduli terhadap
ketimpangan sosial di sekitarnya.
Perjuangan yang penuh konfrontasi dan
aktifitas sosial sangat menarik bagi saya.
Menghadiri pertemuan yang membahas
kejahatan sosial, atau menentang kebijakan
baru di lingkungan yang dirasa tidak adil,
menjadi sangat penting buat saya.
Saya lebih suka berdiri selama satu jam di pa-
nas terik atau di tengah hujan untuk menen-
tang ketidak-adilan, ketimbang berada di ka-
mar untuk duduk berdoa atau membaca buku.
Total Nilai

6. Kaum Caregivers
Memperhatikan dan menolong orang lain memberi getaran
yang tiada terlukiskan dalam kalbu. Cinta Allah terasa
berkobar-kobar dan menggerakan diri untuk membagikan
cinta itu kepada sesama. Saat ada orang yang membutuhkan
bantuan, rasanya ingin segera membantunya.
Apakah Anda seorang Caregivers? Berikut ini terdapat
beberapa pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 121


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

skala 1 untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5


untuk pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan
ketika melakukan pelawatan di rumah sakit
atau penjara, berada di antara orang miskin
yang membutuhkan pertolongan, menemani
orang yang kesepian dan terpinggirkan.
Saya merasa heran melihat orang Kristen
yang menghabiskan waktunya menyanyikan
lagu-lagu sementara tidak peduli pada
tetangganya yang kelaparan.
Kata “pelayanan” dan “belas kasihan” sangat
menarik bagi saya.
Saya merasakan kekuatan Tuhan di saat sibuk
melakukan pelayanan bagi orang-orang yang
membutuhkan pertolongan, sehingga saya
dapat melakukannya dengan badan yang
sehat dan hati penuh sukacita.
Saya lebih suka mendampingi orang
yang sakit di rumah sakit atau membantu
memperbaki atap rumah tetangga, ketimbang
mengikuti retreat atau memberikan renungan
dalam persekutuan.
Total Nilai

7. Kaum Enthusiasts
Ibadah dengan model kebangunan atau kebangkitan rohani
dan menyaksikan lawatan Tuhan melalui mukjizat-mukjizat

122 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

yang terjadi, membuat kaum enthusiasts merasakan kehadiran


dan cinta Allah. Mereka dengan penuh antusiasme bernyanyi,
bersorak, melonjak, menangis, dalam menyembah Tuhan.
Apakah Anda seorang Enthusiasts? Berikut ini terdapat
beberapa pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan
skala 1 untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5
untuk pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa paling dekat dengan Tuhan
ketika saya dapat meluapkan dengan penuh
semangat seluruh isi hati, menyembah Tuhan
sepanjang hari, dan menyerukan nama-Nya.
Merayakan Allah dan cinta kasih-Nya adalah
sebuah bentuk ibadah favorit saya.
Allah adalah Allah yang pernuh dengan
semangat, dan karena itu kita pun harus
bersemangat dalam memuji-Nya. Saya tidak
mengerti bagaimana seorang Kristen dapat
mengatakan ia mencintai Allah tetapi terlihat
seperti orang yang sedang berduka setiap kali
mereka masuk dalam gereja.
“Perayaan” dan “sukacita” adalah dua kata
yang menggambarkan diri saya.
Saya menikmati ketika hadir dalam sebuah
seminar untuk belajar bagaimana memuji dan
menyembah Allah melalui tarian dan musik
kontemporer. Saya menghayati bagaimana
Allah dapat bergerak dalam cara-cara yang
tidak terpikirkan.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 123


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Saya menghabiskan lebih banyak uang untuk


mengunduh musik dan pujian ketimbang
buku.
Total Nilai

8. Kaum Contemplatives
Merenungi kehidupan yang telah dijalani akan membawa
pada penghayatan akan cinta kasih Allah. Di dalam
ketenangan, kaum contemplatives mengosongkan diri dari
segala keinginan sehingga dapat memandang wajah Allah
yang penuh cinta. Ignatius dari Loyola dalam buku Latihan
Rohani memberikan tuntunan untuk masuk ke dalam
kontemplasi. “Apa yang telah saya lakukan untuk Kristus?
Apa yang sedang saya lakukan untuk Kristus? Apa yang harus
saya lakukan untuk Kristus?” Pertanyaan reflektif ini dapat
menolong untuk memeriksa batin.
Apakah Anda seorang Contemplatives? Berikut ini terdapat
beberapa pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan
skala 1 untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5
untuk pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa dekat dengan Tuhan ketika
merasakan sentuhan kasihNya yang secara
emosional membuat saya bertumbuh untuk
terus melekat padaNya. Kristus bagaikan
sahabat yang selalu menemani saya.
Saat yang paling sulit dalam iman adalah
ketika saya tidak bisa merasakan kehadiran
Allah dalam diri saya.

124 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Kata “kekasih Allah”, “keintiman dengan


Allah”, dan “hati”, sangat menarik buat saya.
Saya benar-benar menikmati waktu 30
menit tanpa gangguan setiap pagi untuk
duduk diam merenung dan merasakan
kehadiranNya.
Ketika memikirkan tentang Tuhan, saya
memikirkan tentang cinta, persahabatan dan
penyembahan total kepadaNya.
Total Nilai

9. Kaum Intelectuals
Konsep-konsep teologi yang baru selalu menantang untuk
dibaca, digumuli dan didiskusikan. Itulah cara kaum Intelectuals
merasakan kehadiran Allah. Mereka senang menafsirkan ayat-
ayat Alkitab dengan metode tafsir muktahir, atau mempelajari
dan mengkaji ulang dogma-dogma gereja.
Apakah Anda seorang Intelectuals? Berikut ini terdapat
beberapa pernyataan yang perlu diberikan nilai 1-5, dengan
skala 1 untuk pernyataan yang paling Anda tidak setujui dan 5
untuk pernyataan yang paling Anda setujui.

Pernyataan Nilai
Saya merasa dekat dengan Tuhan ketika saya
belajar sesuatu yang baru tentang Dia, yang
tidak saya pahami sebelumnya. Saya harus
tahu persis akan apa yang saya yakini tentang
Allah.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 125


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

Saya merasa frustasi ketika di gereja hanya


menekankan soal pengalaman spiritual dan
cenderung mengabaikan pengajaran doktrin
yang tepat.
Kata “konsep” dan “kebenaran” sangat
menarik bagi saya.
Saya sangat menikmati waktu untuk
membaca buku-buku teologi tanpa gangguan.
Kemudian mendiskusikannya dalam
kelompok kecil.
Saya lebih banyak menghabiskan uang untuk
membeli buku ketimbang membeli CD lagu
rohani.
Total Nilai

Sekarang, isilah total nilai yang sudah ada pada 9 cara di atas:

____ Naturalist
____ Sensates
____ Tradisionalist
____ Ascetic
____ Activist
____ Caregiver
____ Enthusiast
____ Contemplative
____ Intellectual

Nilai yang paling tinggi menggambarkan kecenderungan


Anda dalam membangun relasi dengan Tuhan. Ingatlah bahwa tidak
masalah jika Anda memiliki lebih dari satu cara yang dominan. Selain
itu, cara yang Anda lakukan dapat saya mengalami perubahan seiring
berjalannya waktu. Oleh sebab itu, setelah suami-isteri mengetahui

126 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

cara masing-masing dalam membangun relasinya dengan Tuhan,


maka keduanya perlu mendiskusikannya agar terbangun rasa saling
menerima dan memahami. Selain itu, suami-isteri juga dapat saling
belajar sehingga merasakan kekayaan spiritualitas. Iman mereka
secara individual menjadi semakin kuat dan intim dengan Allah. Hal
ini tentu akan mempengaruhi kualitas iman keluarga secara komunal.
Keluarga semakin intim dengan Tuhan, sehingga relasi penuh cinta
dan pengampunan selalu diupayakan.

BERANI MEMINTA MAAF

Perbedaan suami-isteri tidak jarang menimbulkan konflik. Suami-


isteri saling melukai dan merasa sama-sama terluka. Konflik terjadi
karena suami-isteri mempertahankan egonya, sehingga menuduh
yang lainnya salah. Padahal di dalam konflik, masing-masing pihak
memiliki andil kesalahan yang membuat masalah semakin besar.
Oleh karenanya, David Clarke menyatakan, “Bagian terpenting dari
pernikahan adalah mengidentifikasi kesalahan Anda dan berusaha
memperbaikinya.”9 Tidak perlu cepat-cepat menunjukan pasangan
sebagai pihak yang bersalah, sementara menempatkan diri sebagai
pihak yang benar. Itu tidak akan ada gunanya. Tidak akan mengubah
hidup pernikahan menjadi lebih baik. Sebab ketika kita berfokus
pada kesalahan atau kelemahan pasangan, maka kita menjadi orang
yang egois.
Cobalah belajar dari kisah Adam dan Hawa saat ditanya oleh
Tuhan, “Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang
engkau makan itu?” Mereka tidak mau mengakui kesalahannya, malah
sibuk menunjuk kesalahan pihak lain. Tidak ada yang mau melihat
pada dirinya sendiri. Manusia kian terjebak dalam dosa. Mereka

9
Dr. David Clarke and William G. Clarke, I Don’t Want a Divorce: A 90 Day
Guide to Saving Your Marriage (Revell, 2009), 31.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 127


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

diusir dari Taman Eden. Pengalaman itu, jangan sampai berulang


dalam hidup pernikahan kita. Maka dari itu baiklah masing-masing
pihak mengambil waktu untuk menenangkan diri.

1. Tuliskanlah perasaan kesal yang Anda rasakan!


_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

2. Mengapa Anda kesal?


_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

3. Apa yang bisa Anda lakukan untuk menghilangkan kejengkelan


itu?
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

Setelah menjawab ketiga pertanyaan itu, maka sekarang


mulailah untuk mengidentifikasi kesalahan yang sudah diperbuat
yang menyebabkan masalah semakin besar.

1. Tuduhan apa saja yang sudah Anda lontarkan kepada pasangan?


_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

128 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

2. Kira-kira, menurut Anda, apakah pasangan Anda terluka


dengan tuduhan itu?
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

3. Apakah Anda bersedia meminta maaf atas segala tuduhan


yang telah Anda ucapkan itu? Jika YA, tuliskanlah permintaan
maaf itu.
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________
_________________________________________________

Langkah terakhir adalah saling menukarkan jawaban yang telah


ditulis itu. Masing-masing membacanya, lalu tuliskanlah tindakan apa
yang bisa Anda lakukan untuk memulihkan situasi konflik yang telah
terjadi.
_______________________________________________________
_______________________________________________________
_______________________________________________________
_______________________________________________________
_______________________________________________________

Pada langkah terakhir, Anda menuliskan tindakan yang bisa


Anda lakukan, bukan tindakan yang Anda harapkan dilakukan
oleh pasangan. Satu hal yang perlu diingat adalah kita tidak pernah
bisa mengubah orang lain, sebab yang bisa kita lakukan hanyalah
mempengaruhinya. Maka jika Anda mengingingkan pasangan
berubah, maka Anda perlu berubah lebih dulu.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 129


MEMBANGUN PERNIKAHAN YANG SEHAT

PENUTUP

Kompleksitas hidup pernikahan dengan berbagai perubahan di


dalamnya tentu tidak bisa tertampung semuanya dalam tulisan
ini. Oleh karenanya, tulisan ini sesungguhnya hanyalah sebuah
pemantik agar suami-isteri mau terus berkomunikasi secara terbuka
dan dalam kerendahan hati. Silahkan Anda melanjutkan pokok-
pokok diskusi lainnya sesuai dengan situasi rumah tangga yang
sedang dihadapi. Ingatlah selalu Kolose 3:13 di dalam mengarungi
biduk rumah tangga!

DAFTAR PUSTAKA

Carter, Betty, and Monica Ed McGoldrick. The Changing Family Life


Cycle: A Framework for Family Therapy. Gardner Press, 1988.
Clarke, Dr David, and William G. Clarke. I Don’t Want a Divorce: A 90
Day Guide to Saving Your Marriage. Revell, 2009.
Glasser, William, and Carleen Glasser. Eight Lessons for a Happier
Marriage. Harper Collins, 2009.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan).
Jakarta: Erlangga, 1992.
LaHaye, Tim & Beverly. Kehidupan Seks Dalam Pernikahan Bimbingan
Seks Bagi Suami-Istri. Yogyakarta: ANDI Offset, 2009.
Schwartz, Pepper. Peer Marriage: How Love between Equals Really
Works. New York: Free Press, 1994.
Thomas, Gary L. Sacred Pathways: Discover Your Soul’s Path to God.
Zondervan, 2009.

130 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Bab 9
PERCERAIAN

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha

PANDANGAN UMUM TENTANG PERCERAIAN

Pasangan suami-isteri yang memutuskan untuk menikah tentu


tidak pernah membayangkan kehidupan rumah tangganya akan
mengalami perpisahan atau perceraian. Kata “cerai” menurut
pengertian yang dituliskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI), berarti: v (kata kerja), 1. pisah; 2. putus hubungan sebagai
suami isteri; talak. Kemudian kata “perceraian” memiliki arti:
n (kata benda), 1. perpisahan; 2. perihal bercerai (antara suami
isteri); perpecahan. Sedangkan kata “bercerai” berarti: v (kata
kerja), 1. tidak bercampur (berhubungan, bersatu, dsb) lagi; 2.
berhenti berlaki-bini (suami isteri). Di dalam UU No. 1 Tahun 1974
Pasal 38 terdapat ketentuan fakultatif bahwa “Perkawinan dapat
putus karena kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan.”
Dengan demikian, terdapat dua jenis perceraian: 1. cerai mati,
yaitu: perpisahan antara suami-isteri karena salah satu meninggal;
2. cerai hidup, yaitu: perpisahan antara suami-isteri selagi kedua-
duanya masih hidup. Aturan mengenai putusan pengadilan tentang
perceraian dituangkan dalam Pasal 39 UU No. 1 Tahun 1974, yaitu:

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan


setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak
berhasil mendamaikan kedua belah pihak.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 131


PERCERAIAN

(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa


antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai
suami isteri.
(3) Tatacara perceraian di depan sidang Pengadilan diatur dalam
peraturan perundangan tersendiri.

Di dalam pemahaman sebagian besar gereja (dan juga umat


Kristen di Indonesia) cerai hidup adalah perbuatan yang tidak
diperkenankan oleh Tuhan. Kalimat janji pernikahan, “Sampai maut
memisahkan”, diartikan bahwa pernikahan itu harus bertahan sampai
salah satunya meninggal dunia (cerai mati). Gereja tidak pernah
menganjurkan perpisahan atau perceraian ketika suami-isteri terlibat
dalam ketidak-harmonisan. Upaya paling besar yang dilakukan oleh
Gereja dalam proses pendampingan terhadap relasi suami-isteri yang
sedang berada dalam pergumulan adalah, mengarahkan agar tetap
mempertahankan bahtera rumah tangga.
Pemahaman ini juga berkelindan dengan hukum adat, yang
memandang cerai hidup sebagai masalah sosial. Pemutusan hubungan
perkawinan karena perceraian dalam hukum adat tidak hanya
dipahami sebagai bentuk pemutusan hubungan perikatan lahir dan
batin antara suami dan isteri, tetapi juga pemutusan hubungan lahir
dan batin dengan paguyuban dalam keluarga dan masyarakat yang di
dalamnya suami dan isteri itu menjadi anggota keluarganya dan warga
masyarakatnya.1 Hukum adat dalam kebanyakan suku di Indonesia
memandang pernikahan sebagai peristiwa yang sangat penting dalam
penghidupan masyarakat, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut
laki-laki dan perempuan calon mempelai saja, tetapi juga orangtua
kedua belah pihak, bahkan keluarga mereka masing-masing. Hubungan
laki-laki dan perempuan setelah dilangsungkan perkawinan menjadi
bagian paguyuban besar sebab keluarga besar dari kedua belah pihak
1
Muhammad Syaifuddin, Sri Turatmiyah, and Annalisa Yahanan, Hukum
perceraian (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 26.

132 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

telah menyatu dan merupakan penunjang pokok hidup suami isteri


selanjutnya beserta anak-anaknya.2 Oleh karenanya, perceraian
dianggap mencederai keharmonisan hidup bersama dalam masyarakat.
Perceraian dianggap sebagai peristiwa amoral yang tidak
berkenan di mata Allah dan sistem sosial kemasyarakatan. Pandangan
ini telah lama tertanam kuat dalam diri umat Kristen di Indonesia.
Orang-orang yang melakukan perceraian dipandang telah melakukan
dosa besar dan mencoreng kekudusan persekutuan. Tidak berhenti
sampai disitu, orang yang bercerai juga menjadi bahan pergunjingan.
Oleh karenanya harus dilayani ibadah pertobatan di depan jemaat atau
pejabat Gereja. Kenyataan ini membuat orang yang bercerai dirundung
perasaan malu sehingga seolah terpinggirkan dari dunia sosialnya.
Mereka dianggap sebagai pelanggar norma, dipandang sebelah mata,
dan suara mereka sering tidak lagi diperhitungkan.3 Meskipun pada
kasus-kasus tertentu, perceraian dapat juga dipandang sebagai jalan
keluar terbaik dari permasalahan yang dihadapi oleh suami-isteri.
Ketika relasi suami-isteri tidak lagi menemukan harmoni, bahkan
cenderung saling menyakiti, tentu malah membuat suasana rumah
menjadi panas membara. Jika situasi itu berlangsung dalam waktu yang
cukup lama, maka seluruh anggota keluarga hidup dalam perasaan
tertekan dan kehilangan damai sejahtera. Semuanya menderita secara
psikis. Mereka tetap tinggal dalam satu rumah, namun sudah tidak
lagi sehati sejiwa. Bukankah ini sama saja sudah terjadi perceraian,
meski belum diputuskan secara formal oleh pengadilan?! Di pihak
lain ada bukti bahwa anak-anak yang orangtuanya secara emosional
bercerai tetapi mereka masih tinggal dalam satu atap rumah jauh lebih
menderita dibanding anak yang orangtuanya bercerai secara sah.4

2
Syaifuddin, Turatmiyah, and Yahanan, 25.
3
Ruth Schäfer and Freshia Aprilyn Ross, Bercerai Boleh Atau Tidak? Tafsiran
Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 2.
4
Elizabeth B. Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang
Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan) (Jakarta: Erlangga, 1992), 310.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 133


PERCERAIAN

Pada kasus-kasus tertentu, ketidak-harmonisan suami-isteri


terus terjadi tanpa adanya titik temu menyebabkan pertengkaran
tiada henti. Perlu juga diingat bahwa pergumulan tiap pasangan
berbeda-beda. Bahkan masing-masing pribadi memiliki narasi
hidup, sifat dan karakter yang berbeda, yang tentu mempengaruhi
cara mereka dalam memandang masalah dan mengambil keputusan.
Situasi rumah tangga tidak kunjung membaik, dan malah cenderung
bertambah parah, sehingga mulailah opsi perceraian dibicarakan
sebagai pilihan terakhir yang tidak terhindarkan. Apalagi kebanyakan
masalah suami-isteri bersifat tertutup, sehingga Gereja terlambat
mengetahuinya. Saat relasi suami-isteri sudah diujung tanduk, barulah
Gereja terlibat dalam proses pendampingan. Tidak jarang pula,
Gereja baru terlibat dalam proses pendampingan setelah pasangan
suami-isteri mengambil keputusan untuk bercerai. Oleh karena itu,
meskipun agama dan hukum adat memandang perceraian secara
negatif, namun kenyataannya kasus-kasus perceraian, sebagaimana
data yang disajikan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) terus meningkat
setiap tahunnya.5
Hal lain yang patut disadari adalah terjadinya perubahan
dalam pola relasi antar manusia yang berimbas pula pada kehidupan
keluarga. Constance Ahrons menyebutkan bahwa Perempuan
seringkali disalahkan sebagai penyebab perceraian.6 Perempuan yang
meninggalkan rumah untuk bekerja dan terlalu menuntut adanya
kesetaraan, dianggap sebagai penyebab yang mengubah tatanan dalam
keluarga. Dan memang peningkatan perceraian bertepatan dengan
kebangkitan gerakan emasipasi wanita atau gerakan feminisme.
Tetapi semuanya ini tidak serta merta semakin membenarkan

Asnath Niwa Natar, ed., Perceraian dan Kehidupan Menggereja (Yogyakarta:


5

Taman Pustaka Kristen Indonesia & Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana,
2018), 1.
6
Constance Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When
Your Marriage Comes Apart (HarperCollins, 1994), 14.

134 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

pernyataan bahwa perceraian itu buruk dan merusak, melainkan


justru menguatkan pernyataan bahwa daripada harus tinggal dalam
pernikahan yang tidak memuaskan, destruktif dan kasar, perempuan
sekarang dapat memilih untuk pergi karena meningkatnya
kemandirian.
Munculnya kesadaran baru yang menggugah terjadinya
perubahan ini, tentu perlu disikapi secara bijaksana. Yang perlu diingat
adalah keputusan untuk bercerai pasti sudah mengalami proses
pergumulan panjang. Tidak mungkin keputusan bercerai diambil
dalam tempo yang singkat. Alison Clarke-Stewart dan Cornelia
Brentano mengatakan bahwa “Proses pengambilan keputusan awal
bisa memakan waktu berbulan-bulan atau bahkan bertahun-tahun,
dan bahkan ketika keputusan perceraian akhirnya dibuat, proses
menuju perceraian mungkin tidak cepat. Pasangan sering berpisah,
lalu berdamai, lalu berpisah lagi. Mereka mungkin berakhir dengan
pengadilan dan kadang-kadang, setelah bertahun-tahun berlalu masih
kembali melakukan proses pengadilan.”7 Oleh karenanya, perceraian
bukanlah situasi yang dapat dilihat secara hitam-putih. Ada banyak
spektrum yang patut dipertimbangkan, sebab perceraian memang
situasi yang serba dilematis.

PERCERAIAN: DILEMATIS

Seorang isteri menuturkan kisah lika-liku hidup pernikahannya selama


kurang lebih dua puluh tahun. Kehidupan perekonomian keluarga ini
terbilang pas-pasan. Mereka berjualan untuk memenuhi kebutuhan
sehari-hari. Sebagai modal usaha tidak jarang mereka meminjam
uang kepada tetangga, rentenir, atau bank. Di saat jatuh tempo

7
Alison Clarke-Stewart and Cornelia Brentano, Divorce: Causes and
Consequences (New Haven: Yale University Press, 2006), 52.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 135


PERCERAIAN

pembayaran utang semakin dekat, temperamen suami cenderung


mengalami perubahan. Lebih cepat marah, bahkan beberapa kali
melakukan kekerasan secara verbal dan fisik. Lama-kelamaan sang
isteri tidak tahan akan perlakukan suaminya, dan memutuskan untuk
pergi dari rumah bersama anak-anaknya. Tinggalah sang suami di
rumah sendirian.
Beberapa bulan kemudian, sang suami jatuh sakit. Mendengar
kabar ini, sang isteri segera datang ke rumah sakit. Di sana, suaminya
meminta maaf atas semua perlakukan kasar yang sudah diperbuatnya
dan berjanji untuk tidak mengulanginya lagi. Melihat pengakuan dan
kepasrahan ini, sang isteri jadi tidak tega meninggalkan suaminya.
Iapun bingung. Di satu sisi, ia masih trauma dengan perlakukan
kasar yang pernah diterimanya. Tapi di sisi lain, ia kasihan karena
tidak ada yang mengurus suaminya. Kondisi dilema semacam ini
patut dipertimbangkan dalam proses pendampingan terhadap suami-
isteri yang sedang mengalami pergumulan. Tidak pernah ada hitam-
putih atau benar-salah dalam soal relasi suami-isteri, sebab hidup
pernikahan telah melibatkan emosi mendalam pada kedua insan.
Perceraian adalah situasi yang dilematis bagi pasangan suami-
isteri. Apalagi di dalam pernikahan Kristen sangat ditekankan bahwa
“Apa yang telah dipersatukan oleh Allah tidak boleh diceraikan
oleh manusia” (Mat 19:6; Mrk 10:9). Hasil penelitian menunjukkan
larangan tidak boleh bercerai sangat kuatnya dipahami oleh orang-
orang Kristen.8 Namun muncul keragu-raguan saat diperhadapkan
pada kasus-kasus seperti: perselingkuhan, kekerasan dalam
rumah tangga (KDRT) dan ekonomi. Situasi dilematis ini tidak
hanya dialami oleh pasangan suami-isteri yang sedang mengalami
pergumulan, tetapi juga dirasakan para pengurus gereja yang
mendampingi dan seluruh warga gereja. Oleh karena itu, patut diakui
bahwa proses pendampingan dalam pengambilan keputusan perlu
8
Natar, Perceraian dan Kehidupan Menggereja, 47.

136 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

dilakukan dengan penuh kehati-hatian dan batin yang jernih. Perlu


diingat bahwa keputusan akhir yang diambil oleh suami-isteri yang
mengalami kasus-kasus perselingkuhan, KDRT, ekonomi, sangatlah
beragam. Walaupun hasil penelitian yang dilakukan oleh Tim Peneliti
dalam buku Perceraian dan Kehidupan Menggereja9 menunjukkan
bahwa responden lebih permisif terhadap perceraian dengan alasan
perselingkuhan, tetapi bukan berarti kasus perselingkuhan selalu
berakhir dengan perceraian.
Seorang suami ketahuan berselingkuh, sebab hubungan
gelap itu sudah membuahkan kehamilan. Isterinya tentu saja kaget,
bingung, kecewa dan marah. Awalnya, sang isteri ingin meminta
cerai dari suaminya. Namun, sang suami mengakui perbuatannya
dan mengatakan ingin mempertahankan rumah tangganya. Ia sadar
akan konsekuensi dari perbuatannya dan bersedia untuk bertanggung
jawab secara finansial terhadap anak hasil perselingkuhannya itu.
Perubahan perilaku di rumah ditunjukkan oleh sang suami. Ia
lebih memperhatikan isteri dan anak-anak. Akhirnya, sang isteri
mengurungkan niatnya untuk bercerai dan mengatakan akan
mengampuni suaminya. Bahkan ia juga siap mengasuh anak hasil
hubungan gelap itu jika memang tidak ada yang mau mengurusnya.
Sang isteri secara legawa mau bertemu dengan perempuan yang pernah
menjadi selingkuhan suaminya guna menyepakati jalan keluar yang
dirasa terbaik bagi semuanya. Suami-isteri ini kemudian mendatangi
psikolog keluarga, dan mulai memperbaiki rumah tangganya.
Tidak pernah ada rumus yang pasti dalam pendampingan
terhadap kasus-kasus perceraian. Semuanya serba dilematis, dan
menjadi sebuah ketegangan yang dialektis. Idealisme dan realisme
perlu dipertemukan dalam dialog yang menghasilkan keputusan
teologis sekaligus etis. Ruth Schafer dan Freshia Aprilyn Ross
dalam bukunya Bercerai : Boleh atau Tidak? Tafsiran Terhadap Teks-
9
Natar, 35–43.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 137


PERCERAIAN

teks Perjanjian Baru, meneliti ayat-ayat yang menuliskan tentang


perceraian, antara lain: Matius 5:31-32, Matius 19:1-12, Markus
10:1-12, Lukas 16:18, dan I Korintus 7:10-16. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa Perjanjian Baru memang tidak menganjurkan
perceraian, tetapi tidak pula menolaknya secara membabi buta tanpa
mempertimbangkan situasinya. Misalnya saja yang terlihat dalam
Matius 5:32 yang memberikan pengecualian di mana diperbolehkan
suami menceraikan isterinya yang kedapatan berzinah. Ruth Schafer
dan Freshia Aprilyn Ross berpendapat bahwa “Pada zaman itu masalah
perzinaan adalah masalah yang mewabah dan dianggap oleh laki-laki
Kristen relevan untuk diatur. Pada zaman kita ini, permasalah rumah
tangga jelas tidak hanya terjadi karena perzinaan isteri (khususnya
kasus perzinaan suami yang banyak sekali!), tetapi ada hal lain yang
juga sangat berbahaya dan berisiko khususnya bagi isteri, yaitu kasus
kekerasan dalam rumah tangga (…) C.S Keener secara eksplisit
menyebutkan KDRT sebagai bentuk ketidaksetiaan yang cocok
dipandang dan ditangani sebagaimana perzinaan dalam Injil Matius
sehingga dapat menjadi sebab diperbolehkannya perceraian.”10
Sementara Paulus juga melakukan hal yang sama. Ia tidak
menganjurkan perceraian, tetapi memberikan ijin jika disebabkan
karena perbedaan iman. Di bagian akhir bukunya, Ruth Schafer dan
Freshia Aprilyn Ross menutupnya dengan pernyataan: “Pernikahan,
sebagaimana hari sabat, dilembagakan untuk manusia, dan bukan
sebaliknya.”11 Pendapat ini semakin menegaskan bahwa perceraian
memang sebuah keputusan dilematis yang menuntut adanya dialog
kreatif guna mempertemukan idealisme dengan realisme. Oleh
karenanya, proses pendampingan terhadap suami-isteri untuk
mengambil keputusan ini bukan dengan mengedepankan Hukum

Schäfer and Ross, Bercerai Boleh Atau Tidak? Tafsiran Terhadap Teks-Teks
10

Perjanjian Baru, 195.


11
Schäfer and Ross, 200.

138 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Gereja (Tata Gereja), melainkan pendekatan pastoral transformatif.12


Langkah-langkah pendampingan memungkinkan suami-isteri
melihat dari berbagai sisi. Suami-isteri diajak untuk lebih dalam
melihat kehidupan pernikahan yang sudah mereka jalani, agar
dapat mengambil keputusan. Tujuan akhirnya bukanlah menjawab
pertanyaan: boleh atau tidak boleh bercerai, sebagaimana pendekatan
Hukum Gereja. Pendekatan pastoral transformatif bertujuan agar
kehidupan masing-masing pribadi dapat kembali pulih, terlepas
apapun keputusan yang dibuat.
B. Ward Power mengutip pandangan C. S. Lewis tentang
perceraian, demikian: “Pandangan Kristen mengenai perkawinan
didasarkan atas ajaran Kristus, yakni bahwa suami-isteri dipandang
sebagai organisme tunggal – sebagaimana pengertian yang dimaksud
dalam ungkapan ‘satu daging’. Perceraian merupakan pemotongan
satu anggota tubuh yang hidup, semacam operasi bedah (...) dan
perceraian itu seperti mengamputasi kedua kaki Anda dan bukan
sekadar bubar dari kongsi bisnis atau seperti desersi [meninggalkan
tanggung jawab] dalam dinas ketentaraan.”13 Pandangan ini kemudian
dijadikan dasar bagi Powers untuk memberikan ilustrasi demikian:
Nah, andaikan seseorang bertanya kepada saya, “Apakah diizinkan
(atau dalam keadaan apa itu diperbolehkan) saya memotong kaki
kiri saya?” Bagaimana jawaban saya terhadap orang tersebut? Dari
satu sisi, selalu ada izin, tetapi hal itu tidak pernah menguntungkan,
tidak pernah diinginkan, tidak pernah menjadi sesuatu yang dianjurkan
karena konsekuensinya, tidak pernah menjadi seseorang menjadi lebih
baik. Ini adalah hal yang amat menyedihkan bila terjadi, dan setelah
itu akan melumpuhkan hidup orang tersebut. Dia hanya akan tinggal
menatap, dalam keadaan yang sangat menyedihkan, hasil yang amat
buruk akibat mengambil keputusan memotong kakinya.
Anda tidak akan langsung mengamputasi kaki Anda hanya karena
12
Yusak Tridarmanto, “Menegakkan Prinsip ‘Tidak Bercerai’ Tanpa Harus
Jatuh Ke Dalam “Legalisme Yang Beku”,” in Perceraian Dan Kehidupan Menggereja
(Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Indonesia & Fakultas Teologi Universitas Duta
Wacana, 2018), 98–99.
13
B. Ward Powers, Perceraian & Perkawinan Kembali (Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2011), 79.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 139


PERCERAIAN

bermaksud menyembuhkan bengkak serius pada ibu jari kaki atau hanya
karena pergelangan kaki yang patah – sebaliknya Anda akan berusaha
membalut yang luka atau merawat yang patah. Dan bagaimanapun
juga Anda tentu tetap mempertahankan kaki tersebut untuk tidak
diamputasi. Pertanyaan Anda – apakah amputasi “diizinkan”? –
menjadi sungguh tidak masuk akal. Hal boleh atau tidak boleh bukanlah
inti persoalannya.14

Gereja sebagai tempat pembinaan spiritual diperhadapan


pada tantangan untuk memberikan pendampingan secara tepat.
Perlu disadari bahwa keputusan perceraian yang kasusistik semacam
ini tidak berarti Gereja bersikap permisif dan memperbolehkan
pasangan suami-isteri untuk bercerai. Gereja hanya berusaha
untuk bersikap realistik dan terbuka, sehingga dapat memberikan
pendampingan yang tepat. Ketimbang Gereja sibuk mengutuk
perceraian dan mencari “biang keroknya”, alangkah lebih baik
jika pandangan diarahkan untuk menolong orang-orang yang
bercerai agar dapat melanjutkan kehidupannya dengan baik. Proses
pendampingan ini adalah unik dan dinamis. Oleh karenanya, Gereja
di dalam melakukan pendampingan perlu peka akan pergumulan
tiap pribadi suami dan isteri. Mengupayakan penyelesaian yang
terbaik bagi seluruh anggota keluarga, sehingga meski terjadi
perceraian, mereka berpisah dengan damai.
Menggali lebih dalam persoalan yang sedang dihadapi menjadi
titik krusial ketimbang menjawab pertanyaan: boleh atau tidak boleh
bercerai. Suami-isteri perlu mengetahui persoalan yang sedang mereka
hadapi sebelum mengambil keputusan. Melalui langkah ini diharapkan
suami-isteri juga siap akan segala konsekuensi yang ditimbulkan dari
keputusan tersebut. Tidak terus-menerus saling menyalahkan dan
dapat segera berdamai dengan diri sendiri. Hidup dapat kembali
ditata. Jika memutuskan untuk tetap mempertahankan rumah tangga,
maka relasi suami-isteri ditata ulang dengan lebih baik. Sementara,

14
Powers, 79.

140 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

jika memutuskan untuk bercerai, maka kehidupan masing-masing


pribadi ditata agar tetap dapat melanjutkan kehidupan. Amputasi
memang menyedihkan, tetapi bukan alasan terus-menerus berada
dalam keterpurukan. Perceraian memang tidak dapat dibenarkan,
tetapi rahmat pengampunan Allah selalu disediakan bagi setiap orang.
Tidak ada dosa yang tidak dapat diampuni oleh Allah.

KONSEKUENSI PERCERAIAN

Proses mengambil keputusan untuk bercerai jauh lebih sulit ketimbang


proses mengambil keputusan untuk menikah.15 Perceraian tidak
pernah disebabkan oleh faktor tunggal dan sulit untuk diprediksi serta
dicari titik simpulnya.16 Ada banyak alasan yang bisa dikemukakan,
tapi dari banyaknya alasan yang muncul dapat dikerucutkan menjadi
tiga penyebab utama terjadinya perceraian, yaitu: masalah ekonomi,
perselingkuhan dan kekerasan dalam rumah tangga.17 Sementara
Matius 19:8 memberikan dasar alasan dibalik terjadi perceraian, yaitu:
“Karena ketegaran hatimu…” Hati yang berkali-kali terluka dan tersakiti
lama-kelamaan menjadi keras. Tidak lagi peka dan mati rasa. Bara cinta
mulai redup. Tidak lagi ada gairah dalam relasi berkeluarga, bahkan
yang muncul adalah rasa enggan atau takut untuk berjumpa dengan
pasangan. Pertengkaran dan pertikaian semakin runcing tanpa ada
solusi damai. Di dalam kondisi semacam inilah terbersit pikiran untuk
bercerai. Jika situasi rumah tangga tidak kunjung berubah dan perilaku
pasangan tetaplah sama, maka perceraian bisa saja sudah terjadi, meski
belum ada keputusan formal dari pengadilan. Suami isteri sudah tidak
lagi saling peduli satu sama lain, walau masih tinggal dalam satu rumah.
15
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
Comes Apart, 86.
16
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 29.
17
Natar, Perceraian Dan Kehidupan Menggereja, 4.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 141


PERCERAIAN

Cukup banyak isteri yang tetap bertahan dalam pernikahan


meski suaminya sudah berulang kali menyakiti hatinya, karena kuatir
tidak dapat membiayai kebutuhan hidupnya dan anaknya. Mereka
memilih untuk tetap bertahan dalam pernikahan sebab selama ini
suami satu-satunya yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
Namun demikian, rumah tangga yang dibina ini bisa dikatakan
penuh dengan kepura-puraan. Relasi suami dan isteri hanya sekadar
gimmick, tanpa ada komunikasi mendalam apalagi cinta. Sebenarnya
rumah tangga ini hanya tinggal menunggu waktu saja. Lambat laun
akan muncul keberanian untuk bercerai karena sudah tidak lagi tahan
dengan situasi yang ada. Hati sudah mengeras dengan amat sangat
akibat rasa sakit menahun.
Tentu ada konsekuensi dari perceraian. Jika pernikahan sudah
membuahkan anak-anak, maka pengasuhan anak menjadi persoalan
yang perlu dipecahkan. Begitupula soal harta gono-gini atau soal
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan hidup di masa mendatang. Alison
Clarke-Stewart and Cornelia Brentano18 menyebutkan beberapa
akibat dari perceraian yang akan dialami oleh suami isteri:

1. Mobilitas Menurun

Penelitian di tahun 1985 menunjukkan bahwa satu tahun setelah


terjadinya perceraian, standard kehidupan isteri jadi menurun
drastis sekitar 73%, sedangkan standard kehidupan suami jadi
meningkat sebesar 42%. Hal ini terjadi karena biasanya hak asuh anak
diberikan kepada sang ibu, sehingga ada banyak pengeluaran guna
menunjang kehidupan anaknya. Sementara tanggungan sang ayah
malah berkurang. Meskipun demikian, pendapatan keseluruhan
dari keluarga yang bercerai menjadi lebih sedikit ketimbang keluarga
yang utuh.

18
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 67–76.

142 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Penurunan ekonomi ini berdampak pada menurunnya


mobilitas suami dan isteri. Sebagai contoh, mereka yang sebelumnya
memiliki rumah terpaksa harus menjualnya karena termasuk harta
gono-gini. Lalu uang hasil penjualan rumah tersebut dibagi dua.
Ketika mereka akan membeli rumah yang baru tentu anggarannya
lebih sedikit. Begitupula anggaran untuk pemenuhan kebutuhan
hidup lainnya.

2. Pergeseran dalam Jaringan Sosial

Perceraian tentu menyebabkan perubahan dramatis dalam


kehidupan suami isteri. Tidak hanya pasangan yang pergi, tetapi juga
seluruh keluarga dan teman-temannya. Jaringan sosial mengalami
pergeseran. Ada kerabat dan teman yang tidak lagi termasuk dalam
jejaring setelah terjadi perceraian. Ditambah lagi, orang yang bercerai
cenderung menutup diri dari lingkungan pergaulan. Kenyataan ini
tentu menimbulkan rasa kesepian.

3. Perubahan Peran

Di dalam masyarakat tradisional, umumnya seorang suami bertugas


untuk mencari nafkah sementara isteri bertugas mengurus rumah
tangga dan merawat anak-anak. Ketika perceraian terjadi, maka tidak
ada lagi pembagian tugas. Suami dan isteri harus mampu mencari
nafkah sekaligus mengurus rumah tangga serta merawat anak.
Akibatnya, mereka akan sering merasa kelelahan. Apalagi jika anak-
anak mulai bertingkah dan sulit dikendalikan. Setelah bercerai, kini
mereka menjadi single parents.

4. Masalah Psikologis

Penurunan ekonomi yang berdampak pada menurunnya mobilitas,


rasa kesepian karena berkurangnya jaringan pertemanan, dan kelelahan

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 143


PERCERAIAN

dalam menjalankan peran sebagai single parent, akan mendatangkan


masalah-masalah psikologis. Frustasi, stress, kemarahan, dan depresi
bisa mudah melanda suami dan isteri yang bercerai. Tidak jarang pula
muncul keinginan untuk bunuh diri.

5. Gejala-Gejala Fisik

Masalah psikis juga akan mempengaruhi kesejahteraan fisik. Mulai


dari penurunan berat badan, sakit perut, nyeri tubuh, sakit kepala,
dan masalah tidur. Ada yang sampai berhari-hari tidak dapat tidur
karena setiap kali berbaring di ranjang selalu terkenang akan mantan
pasangannya. Akibatnya, ia kurang tidur dan tidak bergairah dalam
melakukan aktifitas keseharian.

Selain itu, perlu juga disadari bahwa perceraian turut pula


mempengaruhi spiritualitas. Beberapa perasaan yang muncul, antara
lain:

1. Perasaan marah dan menyalahkan Tuhan atas kondisi


perceraian tersebut, sehingga enggan untuk berelasi dengan
Tuhan.
2. Perasaan bersalah di hadapan Tuhan dan komunitas Gereja
karena tidak dapat memenuhi janji pernikahan.
3. Perasaan malu dan tidak layak di hadapan Tuhan, sehingga
mulai undur dari persekutuan Gereja.
4. Perasaan takut tidak mendapatkan pengampunan dari Tuhan
dan kuatir berkat Tuhan akan tertutup bagi kehidupan mereka
kelak.

Tiap orang yang bercerai memiliki reaksi berbeda dalam


menghadapi konsekuensi yang ditimbulkan dari perceraiannya.

144 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Hal ini sedikit banyak dipengaruhi oleh kualitas kepribadiannya.19


Mengutip pendapat dari Henderson dan Milstein, Sri Mulyani
Nasution mengatakan bahwa “Kemampuan manusia untuk bangkit
dari pengalaman negatif, bahkan menjadi lebih kuat selama
menjalani proses penanggulangannya dinamakan resiliensi.”20 Setiap
orang memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan-
perubahan yang terjadi pada dirinya, termasuk dalam menghadapi,
mengatasi, mendapatkan kekuatan dan bahkan mampu mencapai
transformasi diri setelah mengalami kemalangan.21 Oleh karenanya,
penguatan terhadap orang-orang yang mengalami perceraian perlu
dilakukan. Hal itu bertujuan agar mereka dapat kembali menata dan
melanjutkan kehidupannya.
Sementara bagi anak-anak, konsekuensi dari perceraian
adalah kehilangan total yang menjungkir-balikan kehidupan mereka.
Reaksi tiap usia anak dalam menghadapi orang tua yang bercerai
memang berbeda-beda, tetapi secara umum gejalanya adalah mereka
mengalami kebingungan dan merasa diabaikan karena orangtua
hanya berjuang dengan masalahnya sendiri.22 Ketika perceraian
terjadi, anak-anak cenderung menyalahkan dirinya. Mereka berpikir
bahwa dirinyalah yang menjadi penyebab pertengkaran orangtuanya.
Kenyataan ini tentu akan mempengaruhi anak-anak dalam jangka
panjang, terutama dalam soal psikologis. Efek perceraian orangtua
sangat merusak konsep pribadi anak.23 Oleh karenanya, ayah dan
ibu yang bercerai harus tetap menjadi keluarga bagi anak-anaknya.24
19
Clarke-Stewart and Brentano, 78.
20
Sri Mulyani Nasution, Resiliensi Daya Pegas Menghadapi Trauma Kehidupan
(Medan: USU Press, 2011), 1.
21
Nasution, 3.
22
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 106.
23
Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, 310.
24
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
Comes Apart, 3.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 145


PERCERAIAN

Orangtua wajib untuk tetap memenuhi kebutuhan anak-anak mereka,


seperti: kebutuhan emosional, ekonomi dan fisik. Walau sudah tidak
bersama, namun kemitraan dalam mengasuh anak-anak perlu tetap
dikedepankan.

FASE PERCERAIAN

Meskipun perceraian mengandung berbagai konsekuensi, namun


bayangan akan kehidupan yang lebih bahagia dan terbebas dari
suasana mencekam di rumah, menghadirkan alternatif lain untuk
tidak sekadar mempertahankan pernikahan. Jika bayangan alternatif
ini dirasa lebih besar manfaatnya, maka tidak menutup kemungkinan
pasangan akan memutuskan untuk bercerai. Oleh karenanya, patut
disadari bahwa keputusan untuk mengakhiri pernikahan adalah
keputusan yang sangat berat. Ada banyak hal yang dipertimbangkan
dalam proses pengambilan keputusan tersebut, seperti ajaran agama,
tanggung jawab terhadap anak, masalah keuangan, tekanan sosial,
serta konsekuensi-konsekuensi logis lainnya. Tiap pasangan memiliki
jangka waktu berbeda di dalam pengambilan keputusan ini. Clarke-
Stewart dan Brentano mengatakan: “Seringkali, pasangan tersebut
bimbang dalam pengambilan keputusan mereka selama bertahun-
tahun, mencatat satu per satu kekerasan yang dilakukan oleh
pasangannya, juga janji-janji yang dilanggarnya, sampai menemukan
ketidak-setiaan atau tindak kekerasan terakhir [yang tidak dapat lagi
ditolerir], mereka tiba pada keputusan yang jelas [untuk bercerai].”25
Bagi kebanyakan orang, mengakhiri pernikahan adalah keputusan
paling traumatis dalam hidup mereka.26

Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 53.


25

Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
26

Comes Apart, 75.

146 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Betty Carter dan Monica McGoldrick27 membagi fase-fase


menuju perceraian, sebagai berikut:

1. Pengambilan keputusan untuk bercerai.


2. Membuat rencana untuk bercerai.
3. Terjadinya perpisahan.
4. Perceraian.
5. Menjadi orang tua tunggal dengan hak asuh anak.
6. Menjadi orang tua tunggal tanpa hak asuh anak.

Tiap fase memiliki gejolak emosional yang berbeda. Ahrons


mengatakan bahwa “Masa transisi adalah titik baliknya.”28 Seperti
masa transisi dari anak-anak menuju dewasa – ada banyak perubahan
yang menimbulkan kebingungan dan ketidak-nyamanan – begitulah
pula masa transisi pada perceraian. Clarke-Stewart dan Brentano
menjabarkannya demikian:

Ketika pasangan mulai bergerak menuju perceraian dan


konsekuensi emosional, ekonomi dan sosial dari perceraian
mulai gamblang, adalah biasa terjadi peningkatan ambiguitas
emosional. Kemarahan dan ambivalensi sering muncul
secara bergantian. Pasangan mungkin akan melakukan gerak
mendekat-menghindar, satu sisi mempertahankan rutinitas
pernikahan yang akrab, tapi saat berikutnya mengingat semua
kesalahan dalam pernikahan dan berusaha mencari jalan
keluarnya. Ambivalensi ini sering meningkat setelah berpisah.
Barangkali pada awalnya setiap ketidakpuasan dalam pernikahan
berusaha untuk disangkal dan ditolak, tapi setelah masalah
pernikahan diakui, muncullah kecemasan dan depresi sebagai
reaksi terhadap hilangnya relasi yang dekat. Kedua pasangan
dihadapkan pada upaya mempertahankan diri dengan kesepian
yang menyakitkan, dan dengan meningkatnya ketidakpastian

27
Betty Carter and Monica Ed McGoldrick, The Changing Family Life Cycle: A
Framework for Family Therapy (Gardner Press, 1988).
28
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
Comes Apart, 75.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 147


PERCERAIAN

tentang apakah alternatif [perceraian] itu benar-benar semenarik


yang mereka bayangkan [sebelumnya].29

Beberapa pertanyaan awal yang perlu dijawab dengan sadar


dan jujur, antara lain:

1. Apakah dulu Anda dan pasangan telah benar-benar


mempersiapkan diri dan dengan penuh kemantapan
mengambil keputusan untuk menikah (tanpa ada desakan dari
pihak lain)?
2. Apakah Anda dan pasangan saling mencintai?
3. Sudah berapa lama Anda menjalani pernikahan?
4. Seberapa sering Anda dan pasangan memiliki waktu
berkualitas untuk berkomunikasi saling berbagi pikiran,
gagasan, perasaan, harapan?
5. Apakah Anda dapat menikmati kehidupan seksual dalam
pernikahan?
6. Permasalahan apakah yang biasanya menimbulkan konflik
dalam rumah tangga Anda?
7. Bagaimana biasanya Anda dan pasangan menyelesaikan
konflik?
8. Apakah Anda dan pasangan terbiasa untuk meminta maaf?
9. Bagaimana relasi Anda dengan orangtua, mertua, keluarga
Anda dan keluarga pasangan Anda?
10. Tuliskan alasan-alasan Anda ingin melakukan perceraian?

Pertanyaan awal ini dapat membantu dalam menjernihkan


pikiran, sehingga keputusan tidak diambil secara emosional. Di dalam
pikiran yang jernih, tentu keputusan diambil dengan penuh kesadaran.
Bukan sekadar emosi sesaat yang berujung pada penyesalan. Oleh
29
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 54–55.

148 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

karenanya, sediakan waktu untuk menenangkan diri sebelum mulai


menjawab tiap pertanyaan. Jawaban bisa dituliskan dalam secarik
kertas agar dapat dibaca ulang dan dievaluasi.

PENGAMBILAN KEPUTUSAN UNTUK BERCERAI

Fase pertama ini merupakan fase yang paling melelahkan dan emosional.
Memberitahukan kepada pasangan terkait keinginan untuk bercerai,
lalu membicarakannya dengan seluruh anggota keluarga, bukanlah hal
yang mudah. Tidak jarang pembicaraan-pembicaraan malah menjurus
untuk mencari pihak yang bersalah, yang justru semakin memperparah
situasi. Ada banyak pertentangan, kemarahan, dan tangisan terjadi pada
fase ini. Pasangan yang ingin bercerai cenderung saling membenci.
Mereka saling menyerang, menghina, meneriakan kata-kata makian
dan mengamuk. Bagi kebanyakan orang, fase pengambilan keputusan
untuk bercerai ini lebih menimbulkan stress ketimbang saat pengadilan
memutuskan perceraian secara legal-fomal.30
Pada fase pengambilan keputusan untuk bercerai ini,
masing-masing pasangan perlu menyadari akan kelemahan dan
kekurangannya sehingga tidak sibuk saling menyalahkan. Ketika
pasangan saling menyalahkan, maka kemungkinan untuk terluka dan
menambah rasa sakit semakin terbuka lebar. Oleh karenanya, mereka
perlu belajar menerima kekuarangan dalam diri yang turut menjadi
penyebab terjadinya perceraian. Sekalipun demikian, penerimaan akan
kekurangan dalam diri ini tidak lantas menjadi sikap menyalahkan
diri sendiri. Tidak ada yang perlu disalahkan dalam kegagalan ini.
Banyak faktor baik diri sendiri maupun pasangan yang memang sulit
untuk menemukan keselarasan, sehingga perceraian menjadi jalan
keluar yang terbaik guna meraih kedamaian.

30
Clarke-Stewart and Brentano, 56.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 149


PERCERAIAN

Waktu pengambilan keputusan untuk bercerai adalah masa


transisi yang akan mengubah perjalanan kehidupan ke depannya.
Ada beragam tantangan yang akan dihadapi sebagai konsekuensi atas
keputusan yang diambil. Tekanan sosial mungkin juga akan dirasakan.
Oleh karenanya, di masa transisi ini, pasangan perlu juga melakukan
konseling pernikahan yang dapat membantu dalam mengambil
keputusan.31 Sementara tugas pendamping yang dapat dilakukan kepada
pasangan yang akan bercerai adalah menolong mereka untuk dapat
mengambil keputusan dengan jernih. Terus memberikan dukungan agar
mereka tidak menyalahkan diri sendiri atau menyalahkan pasangan.
Russell Wild dan Susan Ellis Wild menuliskan 12 pertanyaan
yang harus ditanyakan kepada diri sendiri sebelum mengambil
keputusan untuk bercerai:32

a. Bagaimana keadaan diri saya? Apakah saya puas dengan diri


saya sendiri?
b. Apa peran dan tugas yang saya anggap penting dalam hidup
ini? Bagaimana pernikahan dan perceraian mempengaruhi
peran dan tugas itu?
c. Apakah yang memberi saya kepuasan: pernikahan, pekerjaan,
merawat anak-anak, pertemanan?
d. Di mana saya ingin berada sekarang, satu tahun dan lima tahun
mendatang?
e. Apakah kondisi dan kebutuhan pernikahan menghalangi
kebutuhan saya secara pribadi? Apakah perceraian membuat
saya lebih dekat atau lebih jauh dari memenuhi kebutuhan itu?
f. Apakah masalah dalam pernikahan dapat diperbaiki atau di
luar kendali saya?
Russell Wild and Susan Ellis Wild, The Unofficial Guide to Getting a Divorce
31

(Hoboken, N.J: Wiley, 2005), 5.


32
Wild and Wild, 18.

150 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

g. Apakah ada pengaruh luar yang mempengaruhi pernikahan


kami yang dapat dihilangkan?
h. Bisakah saya secara terbuka berbagi perasaan frustasi dengan
pasangan? Jika tidak, mengapa?
i. Dapatkan saya memaafkan pasangan untuk hal-hal yang saya
anggap sebagai kesalahan besar?
j. Menurut saya, apakah pasangan saya menarik secara fisik?
k. Apakah saya menghormati pasangan sebagai pribadi?
l. Apakah saya ingin menjadi tua bersama pasangan saya
sekarang ini?

Fase pertama ini memang penuh dengan emosi, tetapi


pengambilan keputusan janganlah bersifat emosional. Segala
sesuatunya perlu dipertimbangkan dengan matang, sehingga siap
dengan konsekuensi-konsekuensi yang akan ditimbulkan dari
keputusan tersebut.

MEMBUAT RENCANA UNTUK BERCERAI

Fase kedua adalah mulai memikirkan rencana yang harus ditempuh


untuk terjadinya perceraian. Beberapa pertanyaan yang dapat
diajukan kepada diri sendiri adalah: Apa yang paling Anda inginkan
dari perceraian ini? Apa yang paling penting bagi Anda? Jawaban
atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menciptakan dasar bagi rencana
perceraian yang akan ditempuh. Mulailah dengan menentukan
prioritas. Jika anak menjadi prioritas utama, maka pertimbangkanlah
yang terbaik baginya secara obyektif.33 Barulah setelah itu bertemu
dengan keluarga besar, menghubungi lembaga bantuan hukum,
mengurus berkas-berkas yang dibutuhkan pengadilan, hingga
33
Wild and Wild, 24–25.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 151


PERCERAIAN

mengikuti jalannya persidangan. Fase kedua ini tidak akan terlalu


menguras tenaga, meskipun ledakan-ledakan emosional mungkin
akan tetap terjadi. Apalagi proses persidangan yang kadang melelahkan
dapat membuat emosi kembali bergejolak.
Walaupun tidak dapat dipungkiri bahwa percakapan seputar
rencana perceraian dapat menimbulkan kemarahan. Ini adalah
reaksi yang tidak bisa dihindarkan. Namun, hal itu bukan berarti
masing-masing pasangan dapat bebas mengungkapkannya tanpa
menahan diri. Kemarahan hanya akan meruncingkan permusuhan
dan menyulitkan langkah untuk bergerak maju.34 Oleh karenanya,
meski berat, sikap kooperatif perlu dikembangkan pada fase kedua
ini, terutama pembicaraan-pembicaraan yang menyangkut masalah
hak asuh anak, tunjangan-tunjangan dan harta gono-gini.
Masa transisi ini mengajak masing-masing pasangan
memikirkan tentang prioritas yang ingin diraih. Russell Wild dan
Susan Ellis Wild mengajukan beberapa daftar pertanyaan, sebagai
berikut:35

a. Apakah prioritas utamanya adalah mempertahankan


rumah? Catatan yang dapat diberikan di sini adalah jika
ingin menjual rumah dan membagi rata hasilnya, perlu pula
mempertimbangkan salah satu orang tua tetap dapat tinggal
di rumah, setidaknya selama masa awal fase perpisahan, untuk
meminimalkan gangguan pada anak-anak.
b. Di mana anak-anak akan tidur? Pertanyaan ini menempati
urutan pertama yang ditanyakan oleh anak-anak. Bagi
sebagian besar anak, masalah di mana mereka tidur di malam
hari sangatlah penting.

Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
34

Comes Apart, 81.


35
Wild and Wild, The Unofficial Guide to Getting a Divorce, 25–26.

152 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

c. Apakah memerlukan bantuan keuangan dari pasangan? Selama


beberapa saat mungkin bantuan keuangan sangat diperlukan.
Apalagi jika selama hidup pernikahan, salah satu pasangan
tidak mendapatkan penghasilan.
d. Bantuan keuangan seperti apakah yang dibutuhkan: tunjangan
anak, uang sekolah, kesehatan, atau perawatan gigi untuk
anak?
e. Barang-barang apakah yang ingin dipertahankan? Ada
peringatan yang diberikan untuk tidak menjual atau
membuang barang apapun, sebab bisa jadi punya nilai berharga
bagi pasangan. Ada baiknya barang-barang disimpan sampai
masing-masing pasangan merasa tenang, lalu dengan rasional
mulai membagi barang-barang tersebut.
f. Apakah aset finansial yang dimiliki? Barangkali selama
pernikahan, aset-aset finansial dimiliki bersama. Oleh
karenanya, perlu direncanakan untuk membaginya.
g. Seandainya memiliki bisnis bersama, bagaimanakah bisnis
tersebut ditangani setelah terjadinya perceraian?

TERJADINYA PERPISAHAN

Kebanyakan orang mengingat hari dimana mereka berpisah, bukan


hari dimana pengadilan menjatuhkan keputusan perceraian. Inilah
yang terjadi di fase ketiga, ketika suami dan isteri saling berpisah.
Hari perpisahan adalah salah satu peristiwa yang sulit dilupakan oleh
orang yang bercerai. Untuk anak-anak, ini adalah pertama kalinya
mereka menyadari betapa dahsyatnya peristiwa yang sedang terjadi,
meskipun mereka mungkin telah mencurigai atau takut akan kejadian
ini selama beberapa waktu. Mungkin mereka pernah mendengar
pertengkaran ayah dan ibu, atau merasakan perubahan dimana ibu

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 153


PERCERAIAN

atau ayah semakin menjauh dan kurangnya canda tawa di rumah.


Tetapi jarang anak-anak diberitahu bahwa orang tua mereka sekarang
akan berpisah, sampai pada hari perpisahan itu.36
Tantangan terberat dari perpisahan adalah kesepian, sekalipun
mungkin ada perasaan senang dapat keluar dari ketidaknyamanan
pernikahan. Sekitar enam bulan setelah perpisahan, orang-orang
melaporkan bahwa intensitas kesepian mereka berkurang, tetapi
tidak frekuensinya.37 Saat perpisahan adalah masa transisi yang
menimbulkan goncangan besar, sebab mengubah secara total rutinitas
yang terjadi di rumah. Peran lama menghilang sedangkan peran baru
belum terbentuk. Masa depan keluarga seperti serba tidak pasti.38
Pada fase ini ada lima tugas umum yang akan dialami oleh suami-
isteri menurut Clarke-Stewart dan Brentano, antara lain:39

a. Mereka harus terpisah secara emosional dan psikologis satu


sama lain dan membangun identitas yang terpisah.
b. Jika mereka memiliki anak, mereka harus belajar menjadi
orang tua tunggal.
c. Mereka harus terpisah secara keuangan dan masing-masing
harus belajar mandiri mencukupkan kebutuhan-kebutuhan
ekonominya.
d. Mereka harus mengatur ulang dan membangun kembali
jejaring pertemanan masing-masing.
e. Mereka harus melakukan langkah-langkah hukum yang
diperlukan untuk perceraian dan menyelesaikan semua
masalah keuangan dan hak asuh anak.
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
36

Comes Apart, 109.


37
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 56.
38
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
Comes Apart, 109.
39
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 57.

154 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

Orang yang bercerai pada masa transisi ini sangat


membutuhkan teman yang dapat menguatkan dan menghiburnya.
Oleh karenanya, carilah orang yang dapat dipercaya sebagai tempat
untuk menumpahkan segala cerita seputar pernikahan dan perceraian,
kekesalan, kemarahan, sakit hati. Teman yang bisa mendukung
sebab meski masa transisi ini penuh dengan tangisan, pada akhirnya
kenyataan perpisahan harus bisa diterima. Dengan demikian, pikiran
perlu selalu diarahkan untuk memandang diri sendiri dan kehidupan
ini secara positif, seperti: masih memiliki bakat dan keterampilan
untuk dikembangkan, teman dan kerabat yang mengasihi, anak-anak
yang masih mengasihi dan membutuhkan bantuan, keyakinan iman
yang dapat menjadi landasan untuk berpengharapan, dan kesibukan
yang dapat dikerjakan untuk mengisi waktu.40 Perlahan-lahan mulai
menyembuhkan luka batin dan kembali menata kehidupan demi
masa depan yang lebih baik.

PERCERAIAN SECARA LEGAL-FORMAL

Suami dan isteri telah berpisah secara psikis dan fisik. Mereka
atau salah satunya sedang mengurus berkas-berkas di Pengadilan
Negeri. Beberapa menghubungi pengacara untuk membantu dan
mendampingi selama proses pengajuan gugatan di pengadilan, tetapi
ada pula yang langsung mengurusnya sendiri. Di kantor Pengadilan
Negeri juga terdapat Pos Bantuan Hukum (POSBAKUM) yang dapat
membantu membuat surat pengajuan gugatan perceraian. Jika surat
gugatan sudah di daftarkan di Pengadilan Negeri, maka selanjutnya
pengadilan akan mengirimkan surat panggilan yang berisi jadwal
persidangan. Proses persidangan dari sidang pertama sampai sidang
terakhir tidak bisa ditentukan jumlahnya. Jika para pihak (suami-

40
Wild and Wild, The Unofficial Guide to Getting a Divorce, 250–51.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 155


PERCERAIAN

isteri) tidak hadir, maka proses persidangan akan cepat. Namun jika
para (suami-isteri) hadir, maka prosesnya akan lebih lama. Di awal
persidangan, hakim biasanya akan memerintakan agar dilakukan
mediasi. Jika mediasi gagal dilakukan, maka persidangan akan
dilanjutkan sampai pada keputusan perceraian.
Barangkali selama proses pengadilan, masih ada pengharapan
agar dapat kembali rujuk, atau berharap pasangannya akan berubah
pikiran. Tapi kini, pengharapan itu seolah sirna. Hidup pernikahan
sudah kandas dan tidak ada lagi yang dapat dilakukan untuk
memperbaikinya. Oleh karenanya, keputusan perceraian yang
dijatuhkan oleh pengadilan dapat memicu kembali munculnya
amarah, sakit hati dan perasaan bersalah. Ditambah lagi rasa kesepian
dan beratnya menjalani hidup sendiri. Semuanya ini adalah penyebab
utama terjadi stress dan depresi. Inilah yang terjadi pada fase keempat,
ketika perceraian sudah diputuskan secara legal-formal.
Russell Wild dan Susan Ellis Wild memberikan catatan bahwa
kabar perceraian perlu disampaikan sendiri kepada kerabat, teman,
tetangga dan semua orang yang dikenal.41 Mereka mungkin telah
mendengar desas-desusnya, maka alangkah lebih baik jika informasi ini
disampaikan secara langsung. Dengan demikian, mereka terhindar dari
gossip murahan dan mendapatkan informasi yang jelas. Selain itu, kabar
perceraian yang disampaikan secara langsung juga membuka orang
lain untuk turut memberikan dukungan. Clarke Stewart dan Brentano
mengatakan bahwa “Setelah perceraian, terutama jika pengalamannya
membuat stres, teman dan kerabat akan menawarkan dukungan
sosial agar [yang bercerai] merasa lebih baik. Dukungan sosial dari
keluarga dan teman berkaitan erat dengan pemulihan psikologis. Jenis
dukungan yang tampaknya paling bermanfaat adalah sosial emosional
– persahabatan, mendengarkan, mengajak bersosialisasi – tetapi
jangan memberikan uang atau barang-barang.”42 Orang yang bercerai
41
Wild and Wild, 37.
42
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 81.

156 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

seringkali merasa rendah diri. Oleh karenanya, kepercayaan diri perlu


kembali ditingkatkan. Jika kepercayaan dirinya mulai meningkat, maka
ia juga akan mulai memandang masa depan dengan penuh optimisme.

MENJADI ORANG TUA TUNGGAL DENGAN HAK ASUH


ANAK

Perebutan hak asuh anak biasanya terjadi dalam persidangan perceraian.


Bahkan orangtua yang tadinya sama sekali tidak memperhatikan anak-
anaknya, berjuang keras untuk mendapatkan hak asuh.43 Masing-
masing tidak mau kehilangan hak asuh atas anak-anak mereka.
Keputusan yang biasanya diambil oleh pengadilan terkait hak asuh
anak adalah jika anak-anak masih di bawah usia dewasa (17 tahun),
maka seringnya hak asuh anak diberikan kepada ibunya. Sementara
ayah diberikan kesempatan untuk berkunjung dengan waktu yang
disepakati bersama. Tetapi bisa juga pengadilan mengambil keputusan
sebaliknya, ayah yang mendapatkan hak asuh anak dan ibu yang sesekali
berkunjung. Perlu disadari bahwa pertengakaran hebat sebelumnya
dapat menimbulkan keenganan untuk memberikan keleluasaan waktu
berkunjung bagi mantan pasangan yang tidak memiliki hak asuh. Tidak
jarang pula orang tua yang memiliki hak asuh anak melarang mantan
pasangannya untuk mengunjungi anaknya. Oleh karenanya, kerelaan
untuk menerima bahwa anak tetap membutuhkan kedua orang tuanya
menjadi pergumulan di masa transisi ini.
Selain itu, pemegang hak asuh anak tentu harus berjuang keras
guna mencukupi biaya-biaya yang dibutuhkan, seperti: sekolah dan
kesehatan. Masalah keuangan juga dirasakan pada masa transisi ini. Jika
sebelumnya segala biaya tersebut ditanggung bersama, maka sekarang
ada biaya-biaya yang harus ditanggung sendiri. Orangtua dengan hak
asuh mungkin perlu bekerja untuk menunjang kebutuhan-kebutuhan
43
Ahrons, The Good Divorce: Keeping Your Family Together When Your Marriage
Comes Apart, 7.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 157


PERCERAIAN

hidupnya dan anaknya, tapi itu berarti ada waktu kebersamaan dengan
anak yang dikorbankan. Hal ini tentu menimbulkan dilematis tersendiri,
antara mendapatkan uang dan pengasuhan anak. Jika kedua peran ini
dijalani sekaligus, mungkin kelelahan akan cepat menghampiri. Fisik
yang lelah dapat berakibat mudah marah dan melakukan kekerasan
terhadap anak.44 Masa transisi pada fase ini adalah menyeimbangkan
waktu antara bekerja demi mendapatkan uang, dan melakukan
pengasuhan terhadap anak-anak. Situasi ini barangkali perlu juga
dibicarakan dengan mantan pasangan, agar dapat menemukan solusi
terbaik demi pertumbuhan anak-anak.

MENJADI ORANG TUA TUNGGAL TANPA HAK ASUH ANAK

Sekilas mungkin orang tua tanpa hak asuh anak memiliki kelonggaran
waktu yang lebih banyak. Ia dapat fokus untuk kembali meniti
karier atau membangun jejaring pertemanannya. Namun keadaan
berpisah dari anak-anak tentu menimbulkan perasaan kehilangan.
Oleh karenanya, pembicaraan tentang jadwal kunjungan perlu
mendapatkan perhatian serius. Ia harus menemukan cara agar tetap
terhubung dengan anak-anaknya. Dan mungkin juga membantu
secara ekonomi mantan pasangannya dalam pemenuhan biaya-
biaya yang dibutuhkan oleh anak-anak mereka. Yang terbaik bagi
pertumbuhan anak harus diutamakan.
Tema umum di masa transisi ini meliputi kebutuhan anak,
masalah pengawasan dan disiplin, tugas tanggung jawab secara
spesifik seperti antar-jemput anak.45 Ketika hak asuh anak jatuh
kepada mantan pasangan, bukan berarti tidak lagi peduli terhadap
tumbuh-kembang anak dan menyerahkan secara penuh tanggung
jawab untuk membesar anak. Bagaimanapun juga, anak-anak adalah
44
Clarke-Stewart and Brentano, Divorce, 138.
45
Clarke-Stewart and Brentano, 194.

158 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

darah daging dari kedua orang tuanya yang dituntut tanggung jawab
atas pertumbuhan fisik, psikis dan mentalnya.

MELAKUKAN PENDAMPINGAN

Keenam fase perceraian itu dapat saja terjadi secara tumpang


tindih (tidak berurutan). Begitupula perasaan-perasan yang muncul
dapat saja bolak-balik berulang. Misalnya saja kasus di mana seorang
suami tiba-tiba pergi meninggalkan rumah dan keluarganya. Lalu tanpa
sepengetahuan oleh isterinya, si suami mengurus gugatan perceraian
di pengadilan. Isteri baru tahu akan gugatan itu ketika tiba-tiba datang
surat panggilan dari pengadilan yang berisi jadwal persidangan. Hal
ini sontak membuatnya marah. Belum lagi ditambah tugas tanggung
jawab merawat anak. Tentu ini adalah situasi yang tidak mudah, sebab
masa transisi berlangsung dengan cepat. Setelah puas mengasihani diri,
barulah secara pelan-pelan si isteri mulai dapat diajak berdiskusi tentang
konsekuensi dari perceraian, seperti hak asuh anak. Ia sudah agak tenang
dan sudah dapat diajak berpikir rasional. Namun tak lama kemudian,
rasa kesepian menghantamnya. Emosinya meningkat lagi. Apalagi
saat anaknya mulai menanyakan keberadaan ayahnya yang tidak ada
di rumah. Ia berusaha sekuat tenaga mengendalikan diri karena ingat
tugasnya sebagai orang tua. Di depan anaknya, ia berusaha untuk tegar.
Sampai akhirnya tibalah hari di mana pengadilan mengambil keputusan,
dan vonis perceraian dijatuhkan. Seketika itu juga meledaklah seluruh
kemarahannya. Ia mengamuk, merasa diperlakukan secara tidak adil,
menyalahkan pasangannya dan juga dirinya sendiri, serta tidak mau
melakukan apa-apa selain meratapi nasibnya.
Hal yang paling dibutuhkan untuk melewati setiap tahapnya
adalah sistem pendukung yang kuat.46 Gereja diharapkan dapat
membangun sistem pendukung yang membantu dalam menghadapi
46
Wild and Wild, The Unofficial Guide to Getting a Divorce, 275.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 159


PERCERAIAN

kasus-kasus perceraian. Sebab mereka membutuhkan bahu untuk


menangis, telinga yang berempati untuk mendengarkan segala cerita
dan keluh kesah. Jangan tambah beban mereka dengan tudingan-
tudingan yang mengucilkan. Akan tetapi, mulailah untuk terbuka
dan memperhatikan mereka. Kebutuhan emosional yang berbeda
di tiap tahap perceraian perlu mendapatkan perhatian serius agar
pendampingan dapat tepat sasaran.
Pendamping perlu peka di dalam memetakan perasaan-
perasaan yang muncul, sehingga dapat menentukan langkah-langkah
pendampingan berdasarkan pada fase-fase perceraian. Masa transisi
dengan pergumulannya masing-masing di tiap fase dapat menjadi
alat bantu dalam mengarahkan pendampingan menuju pemulihan.
Intinya, pasangan yang sedang berada dalam fase menuju perceraian
membutuhkan teman. Hati dan pikiran mereka sedang tidak dapat
berpikir jernih. Kekecewaan, kekesalan, kemarahan, sakit hati, ketidak
berdayaan, berkecamuk dalam hati dan pikiran. Mereka bingung dan
merasa putus asa. Fungsi pendamping sebagai teman adalah membantu
mereka untuk tetap mampu berpikir jernih dalam pengambilan
keputusan-keputusan yang muncul sebagai konsekuensi atas perceraian
tersebut. Melalui pertanyaan-pertanyaan yang sudah disajikan pada
bagian-bagian sebelumnya dalam tulisan ini, dapat dijadikan panduan
untuk mengarahkan mereka dalam mengambil keputusan. Selain itu,
keberadaan pendamping juga membuat mereka tidak merasa kesepian.
Tetap merasa diperhatikan dan tidak ditinggalkan bergumul sendirian.
Dengan adanya pendampingan diharapkan pasangan yang telah bercerai
dapat berdamai dengan diri sendiri dan menata kembali hidupnya.

BERDAMAI DENGAN DIRI SENDIRI

Elizabeth B. Hurlock mengungkapkan bahwa “Efek traumatik


dari perceraian biasanya lebih besar dari pada efek kematian,

160 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

karena sebelum dan sesudah perceraian sudah timbul rasa sakit


dan tekanan emosional, serta mengakibatkan cela sosial.”47 Oleh
karenanya, pemulihan setelah perceraian pasti membutuhkan
waktu, seperti seseorang yang sedang mengalami kedukaan karena
kematian. Meminjam teori Elisabeth Kübler-Ross dalam bukunya
On Death and Dying48 yang menyebutkan adanya lima tahap pada
masa kedukaan, maka dapat pula diterapkan kepada orang yang
mengalami perceraian:

1. Penyangkalan

Perceraian bagaikan mimpi buruk yang berusaha untuk dihindari. Ada


yang berusaha untuk merahasiakannya dan enggan membicarakannya.
Bahkan ada pula yang masih memakai cincin pernikahan di jarinya,
menyimpan foto-foto pernikahan di rumah atau handphone. Mereka
bersikap seolah-olah masih hidup dalam pernikahan. Namun
seberapa kerasnya usaha untuk menyangkalnya, percayalah bahwa
semua usaha itu akan gagal. Oleh karenanya Russell Wild dan Susan
Ellis Wild menyarankan tiga hal agar dapat melewati tahap ini:49

a. Keluarkan. Bicarakanlah perasaan kepada teman atau kerabat


yang dapat dipercaya. Berceritalah. Hal ini akan memberikan
kelegaan sekaligus kekuatan untuk menghadapi kenyataan.
b. Simpanlah semua gambaran dari kehidupan pernikahan
yang telah dijalani, seperti: melepaskan cincin pernikahan,
menyimpan hadiah-hadiah yang pernah diberikan oleh
mantan pasangan, menurunkan foto-foto pernikahan. Jika
anak masih tinggal bersama, maka foto-foto bersama sebagai
keluarga dapat dipertimbangkan untuk tetap terpasang.
47
Hurlock, Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang
Kehidupan, 309.
48
Elisabeth Kübler-Ross, On Death and Dying (London: Routledge, 1973).
49
Wild and Wild, The Unofficial Guide to Getting a Divorce, 267.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 161


PERCERAIAN

c. Keluarlah. Jangan mengasingkan diri dan berkubang dalam


kesedihan. Memang kejadian buruk telah terjadi, tetapi dunia
tetap menawarkan keindahannya. Lihat dan rasakanlah.

2. Marah

Kemarahan adalah sesuatu yang wajar dari perceraian. Pada fase awal,
kemarahan dapat meluap-luap, bahkan berlebihan. Mungkin pula ada
perasaan sakit hati, juga dendam. Jika dituruti, kemarahan tidak akan
ada habisnya. Sangat mungkin malah berakhir dalam keputus asaan
yang mendalam. Memelihara kemarahan hanya akan menyakiti diri
sendiri. Oleh karenanya, kemarahan ini perlu disalurkan secara tepat.
Misalnya dengan berolah raga, berdoa dalam diam (kontemplasi),
atau berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan gereja/sosial. Intinya,
kemarahan dapat disalurkan dengan melakukan berbagai kegiatan
positif, sehingga energi itu tersalurkan dengan benar.

3. Tawar-menawar

Tawar-menawar tidak hanya dilakukan saat proses menuju perceraian,


seperti perdebatan soal harta gono-gini dan hak asuh anak, tetapi
juga setelah vonis perceraian dijatuhkan. Pasangan yang belum dapat
menerima keputusan perceraian bisa jadi masih berusaha bernegosiasi
untuk mengutuhkan kembali pernikahannya. Ia melakukan berbagai
hal yang disukai mantannya dengan harapan bisa kembali meraih
cintanya. Terhadap beberapa orang yang mengetahui tentang
informasi perceraiannya, ia minta didoakan agar dapat pasangannya
mau mencintai dan menikahinya lagi.

4. Depresi

Setelah tawar-menawar tidak kunjung terjadi, maka rasa frustasi


akan datang. Beberapa hal yang menyebabkan depresi, antara lain:

162 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PERCERAIAN

muncul perasaan bersalah atas keputusan perceraian yang sudah


terjadi; Ketakutan terhadap masa depan yang serba tidak pasti, atau
meragu untuk bisa tetap bertahan menghadapi tantangan kehidupan
seorang diri; kepercayaan diri yang menurun karena telah mengalami
penolakan dan kegagalan; kesendirian dan kesepian. Atas segala
frustasi yang terjadi, hidup jadi terasa kosong tak bermakna. Tidak
ada lagi gairah untuk melakukan rutinitas. Pada beberapa kasus,
mungkin diperlukan tenaga ahli (psikolog atau psikiater) untuk
menolong dalam melewati tahap ini.

5. Penerimaan

Perlahan-lahan peristiwa perceraian itu mulai dapat diterima. Segala


emosi negatif meredup, dan kesadaran baru terbentuk. Perceraian
ternyata tidak semengerikan yang dibayangkan. Meskipun memang
berat, tapi nyatanya berhasil menjalani hari demi hari. Ada banyak
pengalaman yang memperkaya batin dari hidup sendiri. Tidak lagi
menyalahkan diri sendiri, atau pasangan atau situasi yang mengakibatkan
perceraian terjadi. Justru hikmah dari perceraian sudah dapat dipetik
dan membentuk kepribadian menjadi semakin berhikmat. Ia dapat
berdamai dengan Tuhan, diri sendiri, dan mantan pasangan.

Pada kelima tahap ini pendamping dapat berperan sebagai


teman yang menemani dalam perjalanan prosesnya, sekaligus
mendorong serta menyemangati untuk dapat mengampuni diri sendiri
dan mantan pasangan. Baik juga jika pendamping mulai mengajak
untuk terlibat dalam berbagai kegiatan positif, sehingga terbuka
terhadap hal-hal baru yang dapat memberi kegembiraan. Komunitas
Gereja dapat menjadi tempat yang baik bagi orang yang baru bercerai
guna kembali bertumbuh di dalam iman dan pengharapan. Perceraian
bukanlah akhir dari segalanya, sebab masih banyak kebahagiaan yang
bisa diraih dan dihadirkan Tuhan dalam hidup ini.

Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha 163


PERCERAIAN

DAFTAR PUSTAKA

Ahrons, Constance. The Good Divorce: Keeping Your Family Together


When Your Marriage Comes Apart. HarperCollins, 1994.
Carter, Betty, and Monica Ed McGoldrick. The Changing Family Life
Cycle: A Framework for Family Therapy. Gardner Press, 1988.
Clarke-Stewart, Alison, and Cornelia Brentano. Divorce: Causes and
Consequences. New Haven: Yale University Press, 2006.
Hurlock, Elizabeth B. Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan: Edisi Kelima (Terjemahan).
Jakarta: Erlangga, 1992.
Kübler-Ross, Elisabeth. On Death and Dying. London: Routledge, 1973.
Nasution, Sri Mulyani. Resiliensi Daya Pegas Menghadapi Trauma
Kehidupan. Medan: USU Press, 2011.
Natar, Asnath Niwa, ed. Perceraian Dan Kehidupan Menggereja.
Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen Indonesia & Fakultas
Teologi Universitas Duta Wacana, 2018.
Powers, B. Ward. Perceraian & Perkawinan Kembali. Jakarta: Yayasan
Komunikasi Bina Kasih, 2011.
Schäfer, Ruth, and Freshia Aprilyn Ross. Bercerai Boleh Atau Tidak?
Tafsiran Terhadap Teks-Teks Perjanjian Baru. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2015.
Syaifuddin, Muhammad, Sri Turatmiyah, and Annalisa Yahanan.
Hukum perceraian. Jakarta: Sinar Grafika, 2013.
Tridarmanto, Yusak. “Menegakkan Prinsip ‘Tidak Bercerai’ Tanpa
Harus Jatuh Ke Dalam “Legalisme Yang Beku”.” In Perceraian
Dan Kehidupan Menggereja. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen
Indonesia & Fakultas Teologi Universitas Duta Wacana, 2018.
Wild, Russell, and Susan Ellis Wild. The Unofficial Guide to Getting a
Divorce. Hoboken, N.J: Wiley, 2005.

164 Matias Filemon Hadiputro & Devina Anugraha


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

Bab 10
PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN
PERNIKAHAN KEMBALI

Hendri Wijayatsih

PENDAHULUAN

Pada tahun 2013, Departemen Ekonomi dan Sosial Perserikatan


Bangsa-bangsa memaparkan bahwa keluarga-keluarga di Asia
Selatan dan Asia Tenggara diperhadapkan pada perubahan-
perubahan yang signifikan. Terkait artikel ini ada 2 perubahan yang
menarik untuk diperhatikan yaitu tingginya kasus perceraian dan
perubahan usia dimana seseorang memutuskan untuk menikah.1
Fakta ini bukan hanya menantang sikap gereja terhadap perceraian
sekaligus juga sikap gereja terhadap realitas pernikahan kembali di
kalangan warga jemaatnya. Sejauh pengalaman penulis, selama ini
gereja cenderung bersikap simplisistis dalam menyikapi pernikahan
kembali warga gerejanya. Jika yang akan menikah adalah janda/
duda karena kematian, gereja cenderung memperlakukan warga
gereja tersebut seperti seorang lajang. Jika warga yang akan menikah
kembali itu cerai hidup, maka sejauh warga gereja tersebut telah
memiliki surat cerai yang sah dan tidak ada keberatan baik dari calon
pasangan maupun keluarga dari kedua belah pihak, maka gereja
segera memproses persiapan pernikahan kembali ini melalui bina
pranikah. Pelaksanaan bina pranikah pasangan yang akan menikah

1
https://www.un.org/esa/socdev/family/Publications/mtquah.pdf

Hendri Wijayatsih 165


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

kembali inipun biasanya tidak banyak berbeda dengan materi serta


proses bina pranikah bagi warga jemaat yang baru akan menikah
untuk pertama kalinya. Bijakkah gereja bersikap seperti ini?

PENJERNIHAN PERAN GEREJA DAN PENDETA DALAM


MENDAMPINGI PASANGAN YANG AKAN MENIKAH
KEMBALI

Menurut, Norman Wright, banyak orang beranggapan bahwa


janda/duda yang akan menikah kembali, pastilah sudah belajar
dari kegagalan pernikahan mereka sebelumnya. Namun dalam
kenyataannya masalah-masalah yang mungkin terjadi dalam
pernikahan kembali sangatlah unik, sehingga kadang-kadang
pengalaman dari pernikahan sebelumnya tidak bisa diberlakukan
dalam kondisi pernikahan kembali. Jika tidak dipersiapkan dengan
baik, ada kemungkinan pasangan yang akan menikah kembali telah
habis energinya untuk “memadamkan api” yang muncul dalam
pernikahan mereka, misalnya masalah keuangan, masalah anak-
anak dengan saudara-saudara tiri mereka, masalah dengan ipar-ipar
dalam pernikahan yang baru maupun dalam pernikahan sebelumnya
dan lain-lain.2
Dengan menyadari kompleksnya kemungkinan masalah
yang muncul dalam pernikahan kembali, peran gereja dan pendeta
amatlah penting. Pendampingan macam apa yang idealnya
dikembangkan oleh gereja dan pendeta agar pasangan yang hendak
menikah kembali dimampukan untuk “menyelesaikan” luka dan
sisa-sisa masalah dari pernikahan sebelumnya dan terhindar dari
upaya menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang
2
H. Norman Wright, The Premarital Counseling Handbook, Third Edition (
Chicago : Moody Press, 1992) 256

166 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

sudah tua atau bak memasukkan anggur yang baru pada kantung
yang lama (bandingkan Markus 2:21-22)?
Menurut Norman Wright, ada 3 hal yang bisa dilakukan
gereja dalam mendampingi warga jemaatnya menjalani masa
transisi menuju pernikahannya kembali. Ketiga hal tersebut, disebut
oleh Wright dengan 3 R yaitu Resolve (menyelesaikan masalah yang
tersisa dari pernikahan sebelumnya) , Rebuild (bagaimana individu
yang telah bercerai mengembangkan dirinya setelah perceraian?)
dan Relink (bagaimana kesiapan individu yang akan menikah
kembali itu dalam memasuki pernikahannya yang baru?).3

RESOLVE (MENYELESAIKAN SISA-SISA MASALAH DARI


PERNIKAHAN SEBELUMNYA)

Setelah berkenalan dan membangun kepercayaan dengan warga


jemaat yang akan menikah kembali, pendeta yang akan melakukan
bina pranikah perlu menggali bagaimana relasi antara janda/duda
yang akan menikah kembali dengan suami/istri dari pernikahan
sebelumnya. Apakah segala masalah yang terjadi dalam pernikahan
sebelumnya telah selesai segera setelah perceraian itu memiliki
kekuatan hukum? Banyak pernikahan berakhir dalam persidangan
di pengadilan, namun masalah-masalah emosial yang ada sebelum
atau di sekitar perceraian itu, bisa saja masih terbawa sampai
beberapa tahun. Selain itu, setiap individu memiliki kecenderungan
untuk membawa serta memori buruk maupun positif ke dalam
pernikahan yang baru. Jika relasi dengan pasangan yang baru
berjalan dengan baik dan sesuai harapan, orang akan cenderung
melihat pernikahan sebelumnya bak mimpi buruk. Sebaliknya, jika

3
Wright, The Premarital Counseling Handbook, 259-267

Hendri Wijayatsih 167


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

pernikahannya kembali tidak berjalan seperti yang diharapkan, ada


kemungkinan orang yang menikah kembali kemudian menjadikan
pernikahannya sebelumnya sebagai gambaran ideal. Dengan
begitu, pernikahan kembali akan menjadi ladang yang subur bagi
perbandingan-perbandingan yang justru akan merugikan keluarga
yang baru dibentuk.
Belum lagi, jika jika mantan istri atau suami dari pernikahan
sebelumnya masih hidup, bagaimana individu yang akan menikah
kembali ini selama ini berelasi dengan mantan suami/istrinya?
Bagaimana juga relasi dengan anak-anak pasca perceraian terjadi?
Hal-hal seperti ini ada baiknya dibicarakan secara terbuka bersama
pasangan yang hendak menikah kembali. Entah individu yang
akan menikah dua-duanya ataupun salah satunya janda/atau duda,
pembicaraan seperti ini akan menolong masing-masing pihak
mengenal lebih dalam individu yang hendak mereka nikahi.

Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa ditanyakan kepada


individu yang akan menikah kembali:

1. Bisakah anda menjelaskan bagaimana anda mencoba


mengatasi masalah-masalah yang muncul dalam
pernikahan anda sebelumnya?
2. Bagaimana hubungan anda dengan suami/istri dalam
pernikahan terdahulu? Hal-hal baik apa saja yang ada di
sana? Hal-hal apa saja yang menjadi tantangan hubungan
anda dengan istri/suami dalam pernikahan sebelumnya”
3. Apakah anda mendapatkan bantuan dari orang lain
(keluarga, kolega atau kenalan) dalam mengatasi masalah-
masalah dalam pernikahan anda sebelumnya? Bantuan-
bantuan apa yang menolong anda dalam mengatasi

168 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

masalah? Bantuan-bantuan apa yang justru memperburuk


situasi?
4. Jika anda memiliki anak dari pernikahan sebelumnya,
bagaimana anda menyapakati tentang pengasuhan
anak-anak dengan mantan suami/istri anda? Bagaimana
perasaan anda terkait dengan kesepakatan itu?
5. Seberapa banyak waktu yang anda habiskan untuk
memikirkan mantan suami/istri anda? Daftarkan hal-hal
yang menjadi bahan pikiran anda.
6. Apakah anda membandingkan mantan istri/suami
dengan calon istri/suami anda yang baru? Hal-hal apa
saja yang secara sadar ataupun tidak sadar, masuk dalam
daftar perbandingan tersebut?
7. Seberapa sering anda bertemu kembali dengan mantan
suami/istri anda? Untuk urusan apa? Bagaimana perasaan
anda terhadap perjumpaan-perjumpaan tersebut?
8. Bisakah anda menggambarkan bagaimana dinamika
perasaan anda selama proses perceraian dengan pasangan
anda di pernikahan sebelumnya?

Melalui pertanyaan-pertanyaan di atas, orang yang pernah


bercerai dan akan menikah kembali, diajak untuk dengan jujur
menilai perasaan dan pengalamannya. Melakukan konfrontasi
diri seperti ini penting untuk dilakukan, agar orang yang akan
menikah kembali jujur melihat realitas kekiniannya dan tidak
menjadikan pernikahannya kembali sebagai pelarian atas luka
yang tengah dialaminya. Banyak orang beranggapan bahwa
masalah yang luka yang muncul selama proses perceraian dalam
pernikahan sebelumnya akan selesai seiring berjalannya waktu.

Hendri Wijayatsih 169


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

Ini adalah anggapan yang naif. Tidak ada masalah yang selesai
seiring dengan berlalunya waktu. Masalah, luka harus diakui dan
diproses agar tidak membebani langkah ke depan. Peristiwa, tempat,
ingatan tertentu pada pernikahan terdahulu bisa saja muncul dan
menggangu proses penyesuaian awal dalam pernikahan yang baru.
Dengan membicarakannya secara terbuka, diharapkan orang yang
akan menikah kembali, memiliki ruang yang cukup untuk jernih
merespon luapan emosi dan atau kenangan yang muncul tak terduga.

REBUILT (MENGEMBANGKAN DIRI PASCA PERCERAIAN)

Pada bagian ini, orang yang akan menikah kembali diajak untuk
melihat kembali kehidupannya pasca perceraian. Bagaimana orang
tersebut mengembangkan dirinya dalam status yang baru. Apakah
mereka mendapatkan pendampingan dan konseling pastoral pasca
perceraian? Upaya-upaya personal apa yang dia lakukan untuk
bangkit dari perceraiannya?

Berikut ini beberapa pertanyaan yang bisa diajukan untuk


menggali bagaimana perkembangan diri seseorang pasca
perceraian :
1. Berapa lama anda sudah menjalani hidup anda sebagai
janda/duda?
2. Apakah anda memiliki orang-orang kepercayaan yang
mensupport anda pasca perceraian? Siapa saja mereka?
Support apa saja yang mereka berikan kepada anda?
3. Bagaimana anda melihat diri anda saat ini dibandingkan
dengan diri anda sesaat setelah perceraian ?
4. Apakah ada pengetahuan/ketrampilan/sikap hidup yang

170 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

anda kembangkan pasca perceraian? Jika ada, sebutkan


dan manfaat apa yang anda dapatkan? Jika tidak ada,
mengapa?
5. Pelajaran apa yang anda dapatkan dari kandasnya
pernikahan anda terdahulu? Bagaimana memanfaatkan
pelajaran tersebut bagi pertumbuhan dan perkembangan
keluarga baru yang akan anda bangun? Usahakan spesifik,
misalnya : apa yang anda pelajari tentang diri anda sendiri,
kebutuhan, perasaan-perasaan, tujuan hidup, kemampuan
anda mengatasi stress, bagaimana menyikapi kemarahan
orang lain, bagaimana mengatasi perbedaan, dll
6. Berangkat dari pembelajaran yang anda dapatkan dalam
pernikahan sebelumnya, upaya apa yang bisa anda lakukan
agar bisa menjadi suami/istri yang baik bagi suami/istri
anda yang baru?

Melalui pertanyaan-pertanyaan di atas, orang yang akan


menikah kembali ditolong untuk melihat sejauh perkembangan
dirinya pasca perceraian dan diajak untuk menimbang kembali,
apakah perkembangannya itu bisa menjadi modal yang memadai
untuk memasuki kehidupan pernikahan yang baru?

RELINK (MEMBANGUN RELASI BARU)

Pada bagian ini, pendeta mendampingi orang yang akan menikah lagi
untuk menilai niatannya menikah kembali dengan penuh kejujuran.
Apakah niatannya untuk menikah lagi adalah sebuah niatan yang
sehat? Apakah niatan untuk menikah kembali ini lebih didasari
oleh ketidakmampuannya mengatasi kesepian pasca perceraian?

Hendri Wijayatsih 171


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

Dalam pernikahan yang pertama, seseorang memiliki waktu yang


cukup untuk saling menjalani perkembangan relasinya yaitu mulai
perkenalan dan pengambilan keputusan untuk menikah, menjalani
adaptasi pernikahan, belajar menyesuakan diri dengan peran
baru sebagai orang tua dll. Sedangkan dalam pernikahan kembali,
kondisinya jauh berbeda. Dalam pernikahan kembali akan ada
bapak/ibu kandung dan ada bapak/ibu tiri, selain itu akan ada anak
kandung maupun anak tiri serta akan ada besan maupun ipar dari
pernikahan baru maupun yang sebelumnya. Bagaimana orang yang
akan menikah kembali menjalin relasi dalam kompleksitas seperti
ini? Kesepakatan dan antisipasi macam apa yang telah dibuat?

Berikut ini beberapa pertanyaan yang bias diajukan kepada


orang yang akan menikah kembali dalam rangka memetakan
kebutuhan anak dan atau anak-anak yang mereka bawa dari
pernikahan sebelumnya :

1. Jika ada ketidakkesepakatan terkait pengasuhan anak dan


juga kegiatan-kegiatan yang mereka ikuti, apa yang akan
anda berdua lakukan?
2. Bagaimana anda berdua akan mengatur relasi anak dan
anak tiri anda dengan kerabat dari pernikahan sebelumnya
maupun ikatan kekerabatan yang baru dibentuk?
3. Apa yang akan anda berdua jelaskan jika ada kerabat
dari pernikahan anda terdahulu bertanya-tanya tentang
pernikahan anda kembali?
4. Gambarkan upaya apa yang telah anda berdua lakukan
dalam mempersiapkan anak dan anak tiri anda ke dalam
pernikahan anda kembali?
5. Akankah anda melibatkan anak dan anak tiri anda

172 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

dalam rangkaian prosesi mulai dari pemberkatan nikah


sampai dengan resepsi? Jika iya, bagaimana keterlibatan
mereka? Jika tidak, mengapa? Dan bagaimana juga anda
menjelaskan keterlibatan atau ketidakterlibatan mereka
ini?
6. Sejauh pengenalan anda berdua dan juga anak serta anak
tiri, bagaimana anda akan menata ulang rutinitas harian
anda sebagai sebuah keluarga baru?

Alangkah baiknya jika pertanyaan-pertanyaan di atas diajukan


sebelum pelaksanaan pernikahan, sehingga masing-masing pihak
memiliki waktu yang cukup untuk mendiskusikan dan menyepakati
hal-hal utama dalam relasi mereka yang baru.
Setelah mendiskusikan 3 R ( Resolve, Rebuild dan Relink)
ini, pendeta yang melakukan bina pranikah, bisa melakukan seleksi
materi bina pranikah yang ada di buku ini. Materi mana yang perlu
ditambahkan dalam bina pranikah untuk orang yang akan menikah
kembali.

PENUTUP

Dari gambaran materi pembinaan ini kita mengetahui bahwa gereja


tidak bisa menyamakan begitu saja bina pranikah untuk pasangan
yang akan menikah pertama kali dan untuk pasangan yang akan
menikah kembali. Bina pranikah untuk orang yang akan menikah
lagi, membutuhkan waktu yang lebih lama, karena ada banyak faktor
yang perlu dimasukkan dalam pertimbangan.

Hendri Wijayatsih 173


PEMBINAAN SEHUBUNGAN DENGAN PERNIKAHAN KEMBALI

DAFTAR PUSTAKA

https://www.un.org/esa/socdev/family/Publications/mtquah.pdf
Wright, H. Norman, The Premarital Counseling Handbook, Third
Edition ( Chicago : Moody Press, 1992)

174 Hendri Wijayatsih


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

Bab 11
PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA
(LANSIA)
Sendiri Lagi atau Menikah Lagi

Tabita Kartika Christiani

PENDAHULUAN

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2018 angka
harapan hidup laki-laki Indonesia adalah 69,30 tahun, sedangkan
perempuan 73,19 tahun.1 Maka, menurut Menteri Kesehatan Nila
Moeloek, rata-rata angka harapan hidup orang Indonesia adalah 71
tahun. Dari rata-rata usia 71 tahun itu, 9 tahun terakhir atau mulai
usia 62 banyak yang mengalami masa tidak sehat atau sudah terserang
penyakit.2
Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2017
adalah 23,66 juta jiwa (9,03% dari populasi penduduk Indonesia,
dengan rincian 8,54% laki-laki dan 9,53% perempuan).3 Sedangkan
persentase penduduk lansia menurut status perkawinan pada tahun
2015 adalah:

1
https://www.bps.go.id/QuickMap?id=0000000000
2
http://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/03/12/usia-harapan-hidup-
masyarakat-indonesia-meningkat-rata-rata-71-tahun
3
file:///C:/Users/Tabita/Downloads/Analisis%20Lansia%20Indonesia%20
2017.pdf p. 1, 3.

Tabita Kartika Christiani 175


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

Belum Cerai
Kawin Cerai Mati
Kawin Hidup
Laki-laki 0,68% 82,78% 1,44% 15,10%
Perempuan 1,14% 39,25% 3,22% 56,39%
Rata-rata 0,92% 59,78% 2,38% 36,92%

Dari data-data ini tampak persentase lansia laki-laki kawin lebih


tinggi daripada persentase perempuan kawin, yaitu 82,78% dibanding
39,25%. Sedangkan persentase lansia laki-laki yang berstatus cerai
mati lebih rendah daripada persentase perempuan yang cerai mati,
yaitu 15,10% disbanding 56,39%. Hal ini menunukkan kecenderungan
penduduk lansia perempuan lebih dapat hidup mandiri dibanding
penduduk lansia laki-laki.4 Dengan perkataan lain, lebih banyak
lansia duda yang menikah lagi, dibanding dengan lansia janda yang
menikah lagi.

SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI?

Banyak lansia yang menjadi janda atau duda karena kematian


pasangannya. Maka ia menjadi sendiri lagi, single again. Pilihannya
adalah apakah tetap mau sendirian menghabiskan sisa hidup, ataukah
mau menikah lagi. Ada banyak hal dan banyak pihak yang harus
dipertimbangkan untuk menikah kembali – berbeda dari pernikahan
pertama pada waktu masih muda dulu. Pertimbangan untuk menikah
lagi menyangkut pendapat anak cucu, pembagian warisan, apakah
siap menjadi janda atau duda kedua kali jika pasangan yang baru juga
meninggal, kesehatan, dan perbedaan usia dengan pasangan yang
baru.

4
file:///C:/Users/Tabita/Downloads/Analisis%20Lansia%20Indonesia%20
2017.pdf p. 4.

176 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

1. Pertimbangan Anak-Cucu

Saat berusia lanjut seseorang sudah memiliki anak, menantu, cucu,


bahkan cicit. Mereka ini juga harus dipertimbangkan dan dimintai
pendapat jika kakek atau nenek mau menikah kembali. Ada yang
langsung setuju, menyambut gembira, bisa memahami kebutuhan
kakek atau nenek, bahkan senang karena tugas dan tanggung jawab
anak cucu beralih ke pasangan baru kakek atau nenek. Namun ada
pula anak cucu yang tidak setuju dengan pernikahan kembali kakek
atau nenek. Ada yang merasa malu, jengah, asing dengan seorang
baru yang tiba-tiba masuk dalam keluarga, atau kekuatiran tentang
warisan. Pertimbangan anak cucu menjadi lebih kompleks dan rumit
jika masing-masing pihak yang akan menikah pada usia lanjut telah
memiliki keluarga besar. Makin banyak pihak yang harus dimintai
pertimbangan dan persetujuan.

2. Pertimbangan Warisan

Warisan dapat menjadi masalah yang sulit dan rumit dalam keluarga,
walaupun tidak ada pernikahan kembali kakek nenek. Maka dapat
dibayangkan jika kekuatiran tentang warisan menjadi serius dalam
pertimbangan untuk kakek atau nenek menikah kembali. Ada
kekuatiran warisan akan jatuh ke tangan pasangan baru kakek atau
nenek. Maka sejak awal harus dibicarakan dan diputuskan. Misalnya
apakah pernikahan kembali kakek atau nenek dengan perjanjian
harta terpisah atau tidak. Jika harta terpisah maka warisan akan jatuh
ke tangan anak cucu, bukan ke tangan pasangan baru. Namun perlu
dilihat apakah pasangan baru ini juga memiliki harta yang cukup
dalam perjanjian harta terpisah. Jangan sampai setelah menikah
dengan perjanjian harta terpisah, lalu pasangan yang berharta
meninggal, maka pasangan yang masih hidup tidak memiliki apa-apa

Tabita Kartika Christiani 177


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

untuk melanjutkan kehidupannya, dan anak cucu membiarkan hal itu


terjadi sesuai dengan perjanjian. Bagaimanapun ia adalah pasangan
baru kakek atau nenek; sudah selayaknya ia diperhatikan dan dicukupi
kebutuhan hidupnya sampai meninggal. Namun jika anak cucu
juga tidak terlalu berkecukupan, tentu hal ini akan menjadi beban
tambahan. Kekuatiran ini tidak perlu terjadi pada kakek nenek yang
merupakan pensiunan pegawai dengan uang pensiun bulanan, yang
dapat diturunkan kepada pasangannya jika ia meninggal. Kebutuhan
hidupnya sudah terjamin dari dana pensiun.

3. Pertimbangan: Siapkah menjadi Janda atau Duda untuk Kedua


Kali

Menikah kembali pada usia lanjut juga memungkinkan seorang


kembali menjadi janda atau duda untuk kedua kali karena pasangan
barunya itu meninggal dunia. Ia harus siap. Penyesuaian diri dengan
status dan peran baru yang berubah-ubah tentu membutuhkan
kesiapan tersendiri. Apalagi jika ada perubahan nama bagi janda
yang menikah kembali dan mau mencantumkan nama suami baru.
Atau janda itu biasanya dipanggil dengan nama almarhum suami,
lalu setelah menikah lagi ia harus dipanggil dengan nama baru. Jika
sudah memakai nama suami kedua, lalu suami kedua meninggal juga,
perubahan identitas terjadi lagi. Bahkan semuanya bertambah rumit
jika ada yang ingin menikah kembali untuk ketiga kalinya karena
dua pasangan sebelumnya sudah meninggal semua. Jika tidak siap
menghadapi semua perubahan dan kompleksitas masalah, dan tidak
ada minat serta keinginan, banyak janda dan duda yang memilih tidak
menikah kembali.

178 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

4. Pertimbangan Kesehatan

Keadaan kesehatan orang berusia lanjut perlu menjadi pertimbangan


saat ia mau menikah lagi, apalagi dengan pasangan yang jauh lebih
muda. Pernikahan kembali dapat menimbulkan gairah hidup, dan
juga gairah seksual yang mungkin selama itu sudah mulai padam.
Pertimbangan kesehatan penting, jangan sampai tidak lama setelah
menikah kembali ia meninggal dunia karena jantungnya tidak kuat
memompa gairah seksualnya. Selain itu, pertimbangan kesehatan
masing-masing juga penting bagi orang berusia lanjut yang hendak
menikah kembali. Jika pasangan barunya ini dalam kondisi kesehatan
yang lemah, siapkah pasangan barunya mendampingi dan merawat?
Jangan sampai setelah menikah muncul kekecewaan yang membuatnya
ingin bercerai.

5. Pertimbangan Perbedaan Usia

Seorang duda biasanya lebih cepat menua karena tidak terbiasa


melakukan banyak hal sendiri. Saat istrinya masih hidup ia banyak
dilayani. Maka setelah istrinya meninggal ia menjadi bingung dalam
menjalani hidup sehari-hari dan melakukan pekerjaan rumah
tangga. Misalnya tentang makanan, pakaian, kebersihan rumah dsb.
Sedangkan seorang janda biasanya malah terlihat segar, karena sudah
bebas dari berbagai kewajiban istri untuk melayani suami. Sekarang ia
memiliki waktu untuk diri sendiri, me time. Itu sebabnya lebih banyak
duda yang ingin segera menikah kembali, dibandingkan dengan janda
yang bertahan seumur hidup. Ketika seorang berusia lanjut hendak
menikah kembali, perlu dipertimbangkan perbedaan usia dengan
pasangan barunya. Jika sama-sama berusia lanjut tentu harus siap
menua bersama. Sedangkan jika pasangan baru jauh lebih muda
usianya, mungkin banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Tabita Kartika Christiani 179


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

SAAT PASANGAN TAK INGAT LAGI

Salah satu penyakit orang berusia lanjut adalah demensia atau lupa.
Definisi demensia secara medis pada laman rumah sakit di Singapura5
adalah sebagai berikut:

Demensia atau pikun, adalah penyakit yang menyebabkan sel


otak memburuk dan mati lebih cepat dari biasanya. Ini bukan
bagian dari proses penuaan normal, dan pada saat ini, belum
ada obat yang dapat menyembuhkan Demensia. Demensia
menyebabkan penurunan kemampuan mental, penilaian
dan perilaku. Keadaan ini menyebabkan kehilangan daya
ingat, menurunnya kemampuan intelektual, dan perubahan
kepribadian. Keadaan ini dapat mempengaruhi orang dewasa
pada tahap manapun dalam kehidupannya, tetapi kejadian
demensia lebih umum terjadi pada orang di atas usia 65 tahun.
Terdapat beberapa jenis demensia:
• Penyakit Alzheimer disebabkan oleh kombinasi faktor risiko
genetika dan gaya hidup.
• Demensia vaskuler (demensia multi-infark) yang disebabkan
oleh stroke otak yang berkali-kali.

Selanjutnya lembaga Alzheimer Indonesia (Alzi) menjelaskan


tentang penyakit Alzheimer sebagai berikut:

Penyakit Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum,


berjumlah kira-kira dua-pertiga dari semua kasus. Penyakit ini
menyebabkan penurunan kemampuan kognitif secara berangsur-
angsur, sering bermula dengan kehilangan daya ingat. Penyakit
Alzheimer ditandai oleh dua abnormalitas di otak – plak amyloid
(amyloid plaques) dan ‘neurofibrillary tangles’ (belitan-belitan
neurofibriler). Plak itu adalah kumpulan protein yang abnormal
yang disebut beta amyloid. Belitan-belitan itu adalah kumpulan
serat yang berbelit-belit yang terdiri dari protein yang disebut tau.
Plak dan serat yang berbelit-belit itu menghambat komunikasi
antara sel-sel syaraf dan menyebabkan sel-sel itu mati.6

https://www.mountelizabeth.com.sg/id/medical-specialties/medical-
5

specialties/brains-nerves/dementia
6
https://www.alzi.or.id/apa-yang-menyebabkan-demensia/

180 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

John Swinton dalam bukunya yang berjudul “Demensia: Allah


Senantiasa Ingat” memberikan definisi demensia sebagai berikut:

Demensia adalah penyakit otak; suatu dampak dari kerusakan


otak yang disebabkan oleh berbagai macam faktor. Kerusakan
otak ini mengakibatkan cedera serius, terutama pada fungsi-
fungsi kortikal yang lebih tinggi dalam otak. Hal ini kemudian
mengakibatkan kerusakan kognitif yang menyebabkan atau
didahului masalah emosi, perilaku, dan motivasi. Bersamaan
dengan hilangnya fungsi kognitif dan kehancuran sel otak yang
terjadi seusdahnya, penderita akan kehilangan kendali atas
emosi dan kemampuan sosialnya, lalu kemampuan berintraksi
secara layak mulai mengalami penurunan, termasuk motivasinya
untuk menjalankan rutinitas sehari-hari.7

Orang yang mengalami demensia pada tingkat yang cukup


parah dapat mengalami perubahan kepribadian atau menjadi pribadi
yang berbeda. Ia tidak mengenali pasangannya, anak-anaknya, cucu-
cucunya dan orang-orang di sekelilingnya. Malah ada yang takut
kepada pasangannya, dan mencurigai pasangannya itu sebagai orang
lain yang hendak berbuat jahat kepadanya. Orang yang mengalami
demensia tidak dapat mengendalikan emosinya, dan sering tidak
mempertimbangkan perasaan orang lain, tidak dapat bertoleransi
atau tepa slira.
Acara “Kick Andy” dari stasiun TV “Metro TV” dua kali
menayangkan topic tentang demensia dan Alzheimer, yaitu edisi
“Ketika Ibu Melupakanku” yang ditayangkan pada 4 September 20158
dan “Jangan Maklum dengan Pikun” yang ditayangkan pada tanggal
6 Oktober 2017.9 Dalam tayangan-tayangan ini sebuah keluarga
menceritakan pengalamannya saat sang ibu mengalami demensia,
sehingga ia selalu curiga dan marah kepada orang-orang di sekitarnya,
baik itu anggota keluarga, asisten rumah tangga, maupun sopir keluarga
7
John Swinton. Demensia: Allah Senantiasa Ingat. Jakarta: YKBK, 2015, p. 57.
8
https://www.youtube.com/watch?v=Auo-JO63tfc
9
https://www.youtube.com/watch?v=8NhN9QPCxgc

Tabita Kartika Christiani 181


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

itu. Salah seorang anak sempat menyarankan agar ayah dan ibunya
bercerai saja karena setiap hari selalu bertengkar. Untunglah sang
ayah tidak menuruti kata anaknya, sebab ternyata belakangan mereka
mengetahui bahwa sang ibu mengalami demensia yang disebabkan
perasaan ditinggal (oleh anak-anaknya yang menikah dan tinggal di
luar kota), sehingga ia merasa kesedihan yang mendalam dan depresi.
Upaya suami dan anak dari ibu yang mengalami demensia untuk tetap
merawat sang ibu di rumah memberikan hal yang positif bagi ibu itu
hingga akhir hayatnya. Sang ibu mengalami demensia dari tahun 2009
hingga meninggal dunia tahun 2017.
Mirip dengan kisah yang ditayangkan dalam acara “Kick Andy”
tersebut, dalam buku berjudul “Demensia: Allah Senantiasa Ingat”
dikisahkan adanya saran perceraian karena pasangan yang mengalami
demensia.10 Bahkan demensia itulah yang dijadikan alasan untuk
bercerai, sebab seorang yang mengalami demensia menjadi pribadi
yang berbeda dari yang dikenal pasangannya, bahkan orang yang
mengalami demensia dianggap atau disamakan dengan orang yang
sudah mati. Memang dalam buku ini contoh pasangan yang mengalami
demensia, yang bernama Gordon, tidak diceraikan oleh istrinya, yang
bernama Elaine, namun dengan menempatkan Gordon di rumah rawat
penderita demensia membuat keadaan Gordon semakin parah.
Pertanyaan yang muncul dari kondisi demensia adalah: apakah
demensia merupakan alasan yang dianggap sah untuk perceraian?
Dalam buku ini dikisahkan bahwa seorang pendeta televangelis yang
ditanya pemirsa televisi tentang hal ini menjawab bahwa demensia
disamakan dengan kematian, sehingga janji pernikahan “sampai maut
memisahkan kita” menjadi alasan sah untuk perceraian – “sampai
demensia memisahkan kita.” Pendapat televangelis ini menuai
kemarahan, baik dari orang Kristen maupun bukan orang Kristen.11
10
John Swinton. Demensia: Allah Senantiasa Ingat. Jakarta: YKBK, 2015, p 149.
11
John Swinton. Demensia: Allah Senantiasa Ingat. Jakarta: YKBK, 2015, p 155-

182 Tabita Kartika Christiani


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

Tentu saja demensia tidak boleh dijadikan alasan orang


bercerai, sebab penderita demensia itu masih hidup, dan ia tetap
menjadi dirinya dan tidak menjadi orang lain. Memang ada perubahan
kepribadian, tetapi bukankah semua orang juga mengalami perubahan
kepribadian di sepanjang kehidupannya. Menceraikan pasangan yang
mengalami demensia merupakan tindakan yang kejam dan tidak
dapat dibenarkan. Tentu saja pasangan dari penderita demensia tidak
selalu mampu merawat sendiri; dibutuhkan bantuan dari seluruh
keluarga dan tenaga professional untuk dapat mendampingi penderita
demensia seumur hidupnya. Yang dibutuhkan oleh penderita
demensia adalah kaish sayang dari pasangan dan seluruh keluarga,
bukan perceraian.

KESIMPULAN

Lansia juga bergumul dengan pernikahan kembali saat pasangannya


sudah meninggal dunia. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan,
yaitu dukungan dari anak cucu, perjanjian harta/ warisan, kesiapan
untuk menjadi janda/ duda kembali jika pasangan yang kedua
meninggal dunia, kesehatan, dan perbedaan usia dengan pasangan
yang baru. Lansia juga bergumul dengan pasangan yang mengalami
demensia, yang membutuhkan pendampingan dengan kasih sayang,
bukan perceraian.

DAFTAR PUSTAKA

Suardiman, Siti Partini. Psikologi Usia Lanjut. Yogyakarta: Gadjah


Mada University Press, 2011.

156.

Tabita Kartika Christiani 183


PEMBINAAN UNTUK ORANG LANJUT USIA (LANSIA): SENDIRI LAGI ATAU MENIKAH LAGI

Swinton, John. Demensia: Allah Senantiasa Ingat. Jakarta: YKBK,


2015.

Website

https://www.bps.go.id/QuickMap?id=0000000000
http://www.tribunnews.com/kesehatan/2019/03/12/usia-harapan-
hidup-masyarakat-indonesia-meningkat-rata-rata-71-tahun
file:///C:/Users/Tabita/Downloads/Analisis%20Lansia%20
Indonesia%202017.pdf
https://www.mountelizabeth.com.sg/id/medical-specialties/medical-
specialties/brains-nerves/dementia
https://www.alzi.or.id/
https://www.youtube.com/watch?v=Auo-JO63tfc
https://www.youtube.com/watch?v=8NhN9QPCxgc

184 Tabita Kartika Christiani


BIODATA PENULIS

Hendri Wijayatsih adalah pendeta tugas khusus Greja Kristen Jawi


Wetan (GKJW) di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana
sejak 2003, dengan bidang spesialisasi Pendampingan dan Konseling
Pastoral.

Jeniffer Fresy Porielly Pelupessy-Wowor adalah pendeta tugas


khusus Gereja Protestan Indonesia bagian Barat (GPIB) di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Duta Wacana sejak 2014, dengan bidang
spesialisasi Pendidikan Kristiani.

Matias Filemon Hadiputro dan Devina Anugraha adalah sepasang


suami-isteri lulusan Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta
Wacana yang kini melayani di Gereja Kristen Jawa (GKJ) Tangerang.

Tabita Kartika Christiani adalah pendeta tugas khusus sinode


wilayah Gereja Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa
Tengah di Fakultas Teologi Universitas Kristen Duta Wacana sejak
1993, dengan bidang spesialisasi Pendidikan Kristiani, Spiritualitas,
dan Teologi Disabilitas.

Yahya Wijaya adalah pendeta tugas khusus sinode wilayah Gereja


Kristen Indonesia (GKI) Sinode Wilayah Jawa Tengah di Fakultas
Teologi Universitas Kristen Duta Wacana sejak 2002, dengan bidang
spesialisasi Etika Teologis.

185
YAYASAN FAKULTAS TEOLOGI
TAMAN PUSTAKA KRISTEN UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
INDONESIA
mission 21
evangelisches missionswork basel

mission 21
evangelisches missionswork basel

FAKULTAS TEOLOGI
UNIVERSITAS KRISTEN DUTA WACANA
ISBN 978-602-6414-27-4

mission 21
evangelisches missionswork basel

9 786026 414274
YAYASAN
TAMAN PUSTAKA KRISTEN
INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai