Jalan Raya Manado-Pineleng Km. 10 Pineleng Dua 95661 Kab. Minahasa Sulawesi Utara
Telp (081-237-270-710) Email: bemstfsp@gmail.com Website: www.stfsp.ac.id
JUDUL:
TEOLOGI PEMBEBASAN GUSTAVO GUTIERREZ
Oleh Kelompok 1:
PINELENG
2022
PENDAHULUAN
Pada tahun 60-an para teolog radikal (kaum liberal) mulai bosan menggeluti tantangan
intelektual dari para pembela atheisme/kaum modernisme. Sudah saatnya kekristenan
bertanggungjawab dengan menggabungkan diri membela kaum miskin dan tertindas. Hanya
dengan cara demikianlah para teolog dapat membuktikan realitas Tuhan yang nyata. Dalam
dekade terakhir ini banyak orang membicarakan Teologi Pembebasan, bukan saja di Amerika
Latin tempat asal lahirnya teologi ini, tetapi juga di Asia dan Afrika. Walaupun Teologi
Pembebasan timbul di mana-mana, namun Teologi Pembebasan sendiri memang berasal dari
Amerika Latin.1
Di masa lampau, masyarakat Amerika Latin yang akrab dengan hegemoni kekuasaan
kaum borjuis menyebabkan timbulnya keprihatinan dalam hati para teolog Kristen kala itu.
Keprihatinan ini akhirnya melahirkan suatu model teologi yang dikenal dengan nama Teologi
Pembebasan. Teologi Pembebasan adalah model teologi yang berorientasi pada praksis, yaitu
tindakan nyata untuk pembebasan kaum termarginalkan, miskin dan tertindas. Membawa konsep
Teologi Pembebasan kepada terang firman Tuhan adalah tindakan yang tepat bagi Gereja masa
kini dalam menyikapi Teologi Pembebasan. Maka dari itu tulisan ini adalah melihat latar
belakang lahirnya Teologi Pembebasan, apa yang menjadi isi dan dasar dari Teologi Pembebasan
serta relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.
Masalah kemiskinan dan dampak yang ditimbulkannya adalah juga pokok bahasan dalam
ilmu teologi atau ilmu agama, apa pun agamanya dan bukan hanya menjadi perhatian dalam
ilmu-ilmu sosial. Untuk itu, bagi para teolog, upaya penelitian dan pembahasan mengenai
masalah kemiskinan adalah bagian dari tanggung jawab moral dan iman kepada masyarakat
sekaligus kepada Tuhan yang memberikan hidup ini.
1
A. A. Yewangoe. Implikasi Teologi Pembebasan Amerika Latin Terhadap Misiologi dalam Mengupayakan Misi
Gereja Yang Kontekstual (ed. John CampbellNelson, et al.; Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di
Indonesia, 1995), hlm. 69.
Kemiskinan merupakan fenomena yang terjadi hampir di semua negara yang sedang
berkembang seperti kemiskinan yang terjadi di Indonesia. Kemiskinan muncul karena ketidak-
mampuan sebagian masyarakat untuk menyelenggarakan hidupnya sampai suatu taraf yang
dianggap manusiawi. Kondisi ini menyebabkan menurunnya kualitas sumberdaya manusia,
sehingga produktivitas dan pendapatan yang diperolehnya sangat rendah. Lingkaran kemiskinan
terus terjadi, karena dengan penghasilan yang rendah tidak mampu mengakses sarana
pendidikan, kesehatan dan nutrisi secara baik sehingga menyebabkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) dari aspek intelektual dan fisik menjadi sangat rendah, berakibat produktivitas
juga menjadi rendah. Selain itu, rendahnya kualitas SDM menyebabkan kelompok ini tersisih
dari persaingan ekonomi, politik, sosial budaya maupun psikologi sehingga semakin tidak
mampu mendapatkan kesempatan yang baik dalam sistem sosial ekonomi masyarakat.
Tema “Pembebasan” juga relevan untuk konteks masyarakat kita yang mendambakan
terwujudnya masyarakat adil, makmur, tentram dan damai. Masalah kemiskinan,
keterbelakangan, keadilan sosial (khususnya pemerataan dalam menikmati hasil-hasil
pembangunan), ditambah lagi dengan terpaan badai berbagai krisis yang melanda kehidupan
bangsa ini, telah menjadi keprihatinan bersama. Tuntutan agar pemerintah segera mengadakan
reformasi di berbagai bidang (politik, ekonomi dan hukum), tujuannya antara lain untuk
membebaskan masyarakat dari beban keprihatinan ini. Dalam konteks inilah Gereja berteologi.
Sambil beriman dan beribadah kepada Tuhan, juga berpartisipasi dalam upaya-upaya perbaikan
dan peningkatan taraf hidup masyarakat.
4
Andrew Conradi, OFS. “Understanding JPIC, Canadian Edition” (2013). hlm, 16.
5
Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes art. 3. OBOR: Cet. 13-Maret 2017, hlm. 523.
6
Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes art. 1. OBOR: Cet. 13-Maret 2017, hlm. 522.
7
KV II, Gaudium et Spes, hlm. 522.
sendirinya Gereja menemukan kembali makna terdalam dari panggilan Gereja itu sendiri, yakni
mewartakan keselamatan kepada semua makluk ciptaan.” (LG. Art. 5)8
Dengan sendirinya, wujud konkret dalam menyatakan karya keselamatan itu salah satunya
adalah teologi pembebasan yang dikemukakan oleh Martin Chen dalam pandangan Gustavo.
Karena ia bertolak dari situasi dan keadaan Amerika Latin yang penuh ketimpangan dalam
kehidupan manusia.
2.3. Munculnya Teologi Pembebasan di Amerika Latin
Teologi Pembebasan muncul di Amerika Latin dan negara-negara dunia ketiga yang lain.
Teologi ini merupakan suatu pemikiran teologis yang berpusat pada pengalaman kaum miskin
dan perjuangan mereka untuk kebebasan, dimana Allah juga hadir di dalamnya. Karena dengan
teologi ini, nilai-nilai Injil dimunculkan kepermukaan dunia konkret. Dunia yang penuh dengan
masalah dan penindasan sehingga nilai-nilai Injil dimunculkan untuk bangsa manusia supaya
boleh mendapat kebebasan dan keadilan. Karena dari nilai-nilai yang dimunculkan maka peran
Gereja menjadi sangat penting. Sebab Gereja hadir untuk meneruskan misi Yesus di dunia ini,
yakni mewaratakan Keselamatan dan Kerajaan Allah bagi semua umat manusia. Sehingga
dengan sendirinya, hadirnya teologi pembebasan ini adalah untuk memecahkan masalah
ekonomi dan politik yang membawa problem bagi masyarakat. Masalah-masalah itu seperti;
penindasan, rasisme, kemiskinan, penjajahan, ideologi dan sebagainya. Bertolak dari
kesenjangan itu, teologi pembebasan diartikan sebagai suatu refleksi bersama dari komunitas
untuk masalah-masalah sosial yang terjadi di kehidupan manusia. Terlebih kehidupan manusia
Amerika Latin yang penuh dengan penindasan dan penderitaan.
Teologi Pembebasan (Liberation Theology) berawal pada abad ke-16, ketika Antonio de
Montesinos dan Bartolome de las Casas melontarkan teologi mereka mengenai kenabian untuk
melawan kaum penjajahan. Sedangkan istilah teologi pembebasan muncul pada tahun 1960-an.
Dimana, manusia dengan bebas melakukan suatu kebiasaan pastoral yang sederhana dan masuk
akal. Kemudian dari pihak Konsili Vatikan II juga mendorong pengembangan teologi
pembebasan ini dan juga konferensi Wali Gereja Amerika Latin di Medellin. Demi memberi
hak-hak kemanusiaan yang adil dan merata kepada semua orang. Terlebih kepada mereka yang
tertindas dan menderita di Amerika Latin.9
8
Konsili Vatikan II. Gaudium et Spes art. 5. OBOR: Cet. 13-Maret 2017, hlm. 525
9
Chen Martin. Teologi Gustavo Gutierrez. (Yogyakarta : Kanisius, 2002), hlm. 28.
3. Teologi Pembebasan
Dalam memahami dan mengerti tentang pengertian pembebasan menurut pandangan
Gustavo, maka hal yang perlu kita lihat yakni bagaimana Martin Chen melihat pembebasan
berdasarkan tiga bagian. Pertama, makna pembebasan Kristiani dalam terang perkembangan.
Kedua, makna pembebasan Kristiani dalam kaitan dengan penyelamatan Allah. ketiga, makna
dari teologi pembebasan sendiri.
3.1. Pembebasan dan Perkembangan
Kata pembebasan adalah istilah kunci dalam teologi Gutierrez, karena itu Chen
menghantar kita supaya memahami secara tepat bagaimana Gustavo memakai istilah
pembebasan. Pertama-tama, Gustavo mengunakan istilah perkembangan. Tetapi kemudian ia
menolak penggunaan istilah perkembangan, karena istilah ini tidak memberikan keterangan
yang benar tentang realitas Amerika Latin. Menurut Gustavo istilah pembebasan memberikan
keterangan yang komprehensif (terperinci, utuh, lengkap) yang menyeluruh di bidang sosial,
personal dan teologis mengenai realitas Amerika Latin.
Hal yang pertama, hendak dilihat ialah, pembebasan menunjukan kenyataan yang
bertentangan dengan realitas dalam bidang ekonomi, politik, sosio-budaya Amerika Latin yang
membuat pembagian masyarkat yaitu kelas “kaya dan miskin”. Dengan pembagian seperti itu
mulai menunjukan bahwa siapa yang terbesar atau tertinggi akan menghukum mereka yang
rendah atau miskin. Namun melihat realitas itu maka teologi pembebasan dari Gustavo ini
memberikan suara dan perjuangan untuk kelas sosial yang terdindas supaya keluar dari
penindasan tersebut. Kedua, pembebasan menunjukan akan martabat manusia untuk bertanggung
jawab terhadap hidup dan nasibnya. Oleh karena itu perubahan sosial yang sejati dari pembagian
sosial tidak adil dinyatakan tercapai kalau dilakukan oleh pribadi-pribadi yang bebas (dimensi
personal).
Ketiga, kata atau istilah pembebasan ini memilki dasar Alkitabiah, yaitu karya akan
pembebasan Allah terhadap umat-Nya. Allah yang membebaskan manusia itu terungkap pada
pribadi Yesus Kristus yang membebaskan manusia dalam cengkraman dosa dan segala
kecenderungan manusia. Karena itu, istilah pembebasan ini menunjukan kasih dan rahmat yang
diberikan oleh Allah kepada seluruh umat manusia. Atas rahmat Allah inilah martabat manusia
diperjuangkan supaya menjadi orang yang bebas dan merdeka terhadap ketidakadilan. Maka dari
itu, pembebasan merupakan perjuangan manusia untuk menuju hidup yang bebas bertanggung
jawab terhadap kehidupannya yang bersumber dari rahmat pembebasan yang telah Allah berikan.
Dalam tema ini, menurut Chen istilah pembebasan ada kaitan yang erat dengan kata
penyelamatan. Chen kembali mengunakan ungkapan atau pandangan dari Gustavo.
Penyelamatan itu merupakan persatuan antara manusia dengan Allah sehingga seluruh keadaan
manusia adalah perjalanan manusia untuk menuju kepenuhan dalam Kritsus. Maka
penyelamatan manusia itu merangkum seluruhnya dimensi kemanusiaan-Nya, yakni secara
jasmani maupun rohani (sosial, manusia, kosmos, kesementaraan dan kekekalan).
Bertolak dari pandagan Gustavo, maka Chan melihat bahwa Gustavo dalam teologi
pembebasannya merunjuk pada dinamika penyelamatan yang berlangsung dalam sejarah
manusia, atau dengan kata lain ia menekankan pada realitas historis penyelamatan. Maka
pembebasan adalah suatu proses yang mencangkup unsur keselurahan, sehingga tidak terbiarkan
satu pun dimensi kehidupan manusia yang disentuh. Karena ketika segala dimensi kehidupan
manusia tidak disentuh atau ditindas, maka tindakan dan sikap manusia sungguh tidak
mengekspersikan karya Allah. Maka pembebasan adalah suatu proses transformasi tentang
sejarah umat manusia dalam dinamika kerajaan Allah.
Chen dan Gustavo kemudian menegaskan kembali bahwa kendati pembebasan historis/
sejarah adalah perkembangan Kerajaan Allah dan penyelamatan, namun ia bukanlah Kerajaan
Allah dan bukan mengungkapkan seluruh penyelamatan. Karena mereka mengatakan bahwa
pembebasan adalah suatu yang terlaksana yaitu kedatangan Kerajaan Allah yang adalah suatu
rahmat dari Allah.
Berdasarakan kedua istilah yang digunakan yaitu ‘penyelamat’ dan ‘pembebasan’, maka
Gustavo dapat mendefinisikan teologi pembebasan sebagai suatu teologi penyelamatan dalam
keadaan yang bersifat konkret, historis dan politis yang ada di dalam dunia dewasa ini. Yang
dimaksud dengan stituasi yang bersifat historis ditendai dengan adanya ketidakadilan sosial
terhadap kaum lemah dan miskin (situasi Amerika Latin). Atas peristiwa yang terjadi ini maka
teologi Gustavo ini sering disebut sebagai teologi kaum miskin. Karena dalam teologi ini
membicarakan tentang kehidupan kaum miskin yang ditindas dan bagaimana mereka berjuang
untuk hidup.
Bagi Teologi Pembebasan, iman akan Allah harus memiliki relevansi bagi perjuangan
pembebasan mereka ysng tersingkir dan yang tertindas. Mengimani dan menjadi pewarta karya
Allah yang membebaskan dan dekat dengan orang miskin dan tertindas sebagaimana nampak
dalam diri Yesus Kristus, dimana tujuan akhir harus bermuara pada perjuangan pembebasan
mereka yang miskin, lapar dan tertindas.
Dari sinilah peranan teologi pembebaasan sangat relevan hubungannya dengan dunia
sekarang ini dan dapat memenuhi seta menjawab kebutuhan yang ada pada zaman sekarang. Di
mana seperti yang sudah dibahas pada paper bagian atas bahwasannya Teologi Pembebasan ini
menekankan atau bertujuan pada aspek pembebasan bagi mereka yang miskin, lapar, dan
tertindas.
Teologi Pembebasan merupakan konsep teologi yang berorientasi pada praksis yang
mengupayakan keadilan dan kesejahteraan bagi semua orang. Dalam konteks ini Yesus yang
datang ke dunia membawa kasih, dan keadilan-Nya bagi umat manusia. Berdasarkan hal ini
teologi pembebasan hadir dalam solidaritas sosial sebagai refleksi kehadiran Kristus. Sama
seperti yang terdapat dalam beberapa ayat Alkitab yang menekankan kasih terhadap kaum
miskin: “hanya kami harus tetap mengingat orang-orang miskin dan memang itulah yang
sungguh-sungguh ku usahakan melakukannya.” (Galatia 2:10); ”Kata Yesus kepadanya:
Jikalau engkau hendak sempurna, pergilah, juallah segala milikmu dan berikan itu kepada
orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah kemari dan
ikutlah Aku” (Matius 19:21).10 Selanjutnya dalam Katekismus Gereja Katolik juga menekankan
pada aspek Hukum cinta kasih, yakni: “Kasih adalah kebijakan ilahi, denganya kita mengasihi
Allah di atas segala-galanya demi diri-Nya sendri dan karena kasih kepada Allah kita
mengasihi sesama seperti diri kita sendri. Yesus membuat kasih menjadi suatu perintah baru
(KGK 1822-1823).11
Jika konsep Teologi Kebebasan apakah cocok untuk diterapkan dalam kehidupan umat
manusia di zaman sekarang tentu jawabannya, Ya. Jadi, bagaimana cara penerapan Teologi
Pembebasan ini berlangsung adalah dengan menyadarkan umat melalui peranan Gereja lewat
ajakan-ajakan yang sangat relevan dalam kehidupan sehari-hari, dimana otoritas Gereja mampu
terbuka dan dapat merangkul umatnya dari berbagai kalangan dan status yang ada. Sehingga,
melalui tindakan ini umat dapat meresapi panggilan hidup iman Kristiani dimana pun ia berada.
Dan perlu diingat bahwa Teologi Pembebasan tidak mengeluarkan kebenaran firman Tuhan
untuk kemudian diterapkan ke dalam kehidupan dunia bermasyarakat tetapi justru mengambil
10
Lih. Lukas 12:33-34, Lukas 14:12-14, berbicara juga mengenai kasih akan kaum miskin.
11
Bdk. Yoh 13:43; Yoh. 13:1; Yoh. 15:9; Yoh. 15:12
konteks yang terjadi di dalam masyarakat dan mencocokkannya atau mengaitkannya dengan
Sabda Tuhan maupun ajaran Gereja yang dianggap mendukung konteks tersebut. Dengan
demkian, teologi haruslah bertolak dari kebenaran iman dan bukannya memanipulasinya agar
selaras dengan tindakan.
KESIMPULAN
Teologi Pembebasan Gutierrez bermula ketika ia melihat teologi dari gereja-gereja abad pertama
yang menekankan aspek-aspek rohani dari kehidupan Kristen, yang berpusat pada dunia metafisik dari
pada tentang realita kehidupan di dunia. Jadi, teologi Gutierrez merupakan reaksi menentang metode
tradisional dalam berteologi. Pada akhirnya, Gutierrez mengatakan bahwa gereja tidak akan memiliki
suatu teologi pembebasan yang otentik sampai mereka yang tertindas mampu mengekspresikan diri
mereka sendiri secara bebas dan kreatif di dalam masyarakat sebagai manusia Allah. Namun,
sebagaimana titik tolak Teologi Pembebasan adalah konteks sosial di Amerika Latin, maka teologi ini
juga tidak dapat diterapkan secara utuh pada konteks masyarakat dan kekristenan di Indonesia.
Daftar Pustaka