Anda di halaman 1dari 6

RASIONALITAS KEBERADAAN TUHAN

Jessel Bastian Supit

Prodi Teologi/Semester IV

Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng (STF-SP)

Abstrak

Berbicara mengenai keberadaan Tuhan sungguh merupakan suatu absurditas yang


menggaggu akal sehat kebanyakan orang. Bisa saja orang menjadi atheis karena terus-
menerus mempertanyakan Tuhan. Para agamawan dan para filsuf terus mencari jawaban atas
pertanyaan yang telah dikemukakan selama berabad-abad lamanya ini. Setiap masa turut
memberikan jawaban sesuai lingkungan dan budaya dimana mereka hidup. Namun, apakah
pertanyaan tentang Tuhan sudah mencapai pengertian finalnya? Atau sudah ada jawaban
yang dapat diterima semua orang secara rasional (masuk akal)? Maka dari itu, Thomas
Aqunias memberikan bukti-bukti logis sehubungan dengan pertanyaan tersebut.

Keywords: Eksistensi, Mengada (esse), Pengada (ens), Rasional, Partisipatif, Tuhan, A


posteriori

Pendahuluan

Tema “Gagasan Thomas Aquinas tentang Pembuktian Keberadaan Tuhan” merupakan


suatu pilihan tulisan ilmiah yang menarik. Sebab, ketika berbicara tentang Tuhan, pasti muncul
pertanyaan-pertanyaan yang begitu mendasar, antara lain: Apakah Tuhan itu ada atau
bereksistensi? Mengapa kita harus percaya kepada Tuhan? Apakah Tuhan itu masuk akal?
Mungkin ada begitu banyak orang yang tidak pernah terlintas untuk memikirkan atau mencoba
untuk menjawab pertanyaan ini. Hal ini disebabkan karena agama sudah mendarah daging di
dalam masyarakat. Dalam bahasa agama, Tuhan sangat erat kaitannya dengan iman1 seseorang.

1
Iman secara bahasa berasal dari bahasa Arab yang berarti percaya. Dalam konteks bahasa Inggris
digunakan kata belief atau faith. Namun dalam konteks Indonesia, kadang-kadang kita tidak mau menyamakan
antara iman dan percaya karena iman berhubungan dengan ketuhanan, sedangkan percaya tidak berhubungan
dengan ketuhanan. Bagi penulis, iman dan percaya sama saja. Karena iman berasal dari bahasa Arab yang berarti
percaya dalam bahasa Indonesia. Di samping itu konsep percaya tersebut pada dasarnya sama saja. Term percaya,
secara ilmu bahasa, merupakan bentuk kata kerja yang membutuhkan (mengandung di dalamnya) ada objek dari
yang dipercayai tersebut. Atau dengan kata lain, dalam konsep percaya ada keterarahan (intensionalitas) pada
sesuatu objek, “percaya terhadap sesuatu.” “Sesuatu” dari objek percaya tersebut dapat Tuhan atau yang lainnya,
seperti berita ada besi terbang, dan lain-lain. Artinya kualitas percaya sama saja, apakah kepada Tuhan ataupun

1
Maka Tuhan dalam arti demikian merupakan “Ia” yang harus “dipercaya” atau “diyakini”.
Berbeda ketika keberadaan Tuhan membutuhkan jawaban yang masuk akal dan dapat
dipertanggungjawabkan. Manusia pasti akan menuntut suatu “bukti” terhadap apa yang
diyakini atau dipercaya tersebut. Demikianlah hal ini bertolak dari pemahaman bahwa manusia
pada dasarnya mempunyai kodrat untuk ‘ingin tahu’.

Tesis

Thomas Aquinas berpendapat bahwa pembuktian tentang adanya Tuhan hanya dapat
dilakukan secara A posteriori. Artinya, mengetahui berdasarkan apa yang ditemukan secara
aktual di dunia ini, yaitu melalui panca indera atau dari pengaruh yang ditimbulkan realitas itu
dalam pengalaman manusia. Titik tolak pemikiran ini berasal dari keyakinan Thomas Aquinas
bahwa: Tuhan tidak terbukti atau nyata dengan sendirinya kepada manusia, melainkan
menuntut bukti yang rasional atau masuk akal!

Problematika

 Bagaimana membuktikan Tuhan yang tidak terbukti menjadi terbukti atau nyata?
 Bagaimana peranan Tuhan terhadap segala sesuatu yang dikatakan memiliki
hubungan pasrtisipatif?

Isi

Kepercayaan kepada Tuhan yang satu adalah kepercayaan yang sangat logis.
Sebaliknya, kalau seseorang tidak percaya akan Tuhan yang satu, bisa dibilang bahwa itu
melawan akal budi.2 Tidak ada pertentangan antara iman dan akal budi. Teologi sendiri dapat
didefinisikan sebagai ‘iman yang mencari pengertian’ atau faith seeking understanding. Dalam
ensiklik Fides et Ratio, Paus Yohanes Paulus mengatakan bahwa tidak ada pertentangan antara
akal budi dan iman, karena keduanya datang dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Akal budi
ini sudah menjadi bagian integral manusia, yang mempunyai kapasitas untuk menginginkan
pencapaian suatu kebenaran.

kepada yang lain, karena yang membedakan hanya objeknya. Lih. Pari Fariz, Pengalaman Rasional Eksistensi
Tuhan: Pengantar Ontoteologi, Kanz Philosophia Journal for Philosophy & Mysticism, State Islamic University
(UIN) Sy’ârif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, Vol. 1, No. 1, August – November 2011, hlm. 123-124.
2
Pendekatan yang logis ini berdasarkan “self-evidence principle” atau prinsip kebenaran yang tidak perlu
dibuktikan, seperti: suatu akibat terjadi karena suatu sebab (causality). Kita tidak perlu membuktikan apakah
“causality” adalah suatu prinsip yang benar, karena ini sudah menjadi bagian dari acuan berfikir yang bersifat
umum atau “universal” yang menjadi dasar kebenaran untuk diterapkan kepada semua prinsip yang lain. Sebagai
contoh, kita tidak perlu membuktikan bahwa lingkaran itu adalah bulat.

2
Dalam filsafat ketuhanan, dikenallah istilah teologi natural (natural theology) yang
turut dibedakan dengan teologi suci (sacred theology)3. Dalam hubungannya dengan
rasionalitas keberadaan Tuhan maka dipakailah konsep teologi natural. Sebab, teologi natural
merujuk pada kapasistas kodrati manusia, yaitu rasio dan akal budi, yang dipakai untuk
bernalar tentang pokok-pokok iman seperti itu yang ditemukan dalam teologi.4 Dengan itu, kita
pun hendak melihat secara lebih jelas dan mendalam konsep tersebut dalam bingkai pemikiran
Aquinas, sebagai berikut:

1. Bukti rasional keberadaan Tuhan

Untuk membuktikan kebenaran Tuhan, maka St. Thomas Aquinas di dalam bukunya
“Summa Theology,” memberikan lima jalan (Quinque viae)5, yang terdiri dari: 1) prinsip
pergerakan 2) prinsip sebab-akibat 3) ketidakkekalan dan kekekalan, 4) derajat kesempurnaan
dan 5) desain dunia ini.

1.1. Prinsip gerak

Setiap ‘gerak’ di alam semesta selalu memiliki sebab. Suatu hal tidak dapat, dengan hal
yang sama dan dengan cara yang sama, bergerak sendiri: ia membutuhkan penggerak
(digerakkan oleh sesuatu yang lain). Oleh karena itu, ada penggerak yang tidak bergerak dari
mana semua gerakan berasal. Setiap orang menyebut penggerak ini sebagai “Tuhan”.

1.2. Prinsip Sebab-akibat

Di dalam dunia yang diamati ini terdapat penyebab efisiennya. Oleh karena itu, semua
sebab yang berdayaguna menghasilkan sesuatu yang lain. Mengingat bahwa sebab yang
berdayaguna itu juga tidak dapat ditarik hingga tiada batasnya, kesimpulannya harus ada sebab
berdayaguna yang pertama. Di sini, terdapat Pencipta (sebab) Pertama, yang tidak dibuat
(disebabkan) dengan sendirinya. Sebab Pertama itu yang kita sebut Tuhan.

3
Teologi Suci (Sacred Theology) merupakan konsep yang bersumber pada iman atau wahyu. Istilah
terakhir ini sudah lama tidak dipakai lagi; di zaman sekarang disebut ilmu teologi. K. Bertens, dkk. Pengantar
Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2018)
4
Pembuktian iman dengan konsep teologi natural dapat menjadi serupa dengan pembuktian iman secara
filsofis. Sebab, kedua-duanya mengutamakan rasionalitas pemikiran manusia untuk menjawab secara masuk akal
tentang iman. Lih. K. Bertens, dkk., 2018, hlm. 79.
5
Apropos Of The Quinque Viae In General: the unmoved mover; the first uncaused cause; the argument
from contingency/necessary being; the argument from degree of perfection; the teleological argument /argument
from design. Lih. Bonnette Dennis, Aquinas Proofs for God’s Existence, (Netherlands: Martinus Nijhoff, 1972),
p. 69-180.

3
1.3. Argumen dari kemungkinan /makhluk yang diperlukan

Kemungkinan, atau kontingen, adalah makhluk-makhluk, seperti binatang, tumbuh-


tumbuhan dan manusia, yang keberadaannya tidak diperlukan. Untuk semua makhluk seperti
itu, ada waktu sebelum mereka menjadi ada saat mereka belum ada, dan ada waktu setelah
mereka berhenti ketika mereka tidak ada lagi. Jika semuanya hanya mungkin, akan ada suatu
waktu, dahulu kala, ketika belum ada sesuatu pun yang terjadi. Karena itu, tidak ada yang
datang dari ketiadaan, sebab kalau hal itu memang demikian maka tidak akan ada apa-apa
sekarang! Jadi, setidaknya harus ada satu keberadaan yang diperlukan. Wujud Wajib inilah
yang kita sebut Tuhan.

1.4. Argumen dari derajat kesempurnaan

Di dunia ini ada hal-hal yang lebih atau kurang baik, lebih atau kurang adil, benar, dst.
Untuk menentukan derajat kebaikan, keadilan, dst tersebut kita mengukurnya dengan memakai
yang terbaik, yang paling adil, dst sebagai ukurannya. Jadi, adanya yang terbaik diharuskan
oleh karena adanya yang kurang baik, yang baik dan yang lebih baik. Berbagai kesempurnaan
dari berbagai derajat dapat ditemukan di seluruh alam semesta. Derajat ini mengasumsikan
keberadaan standar kesempurnaan tertinggi. Oleh karena itu, kesempurnaan harus memiliki
sebuah puncak. Puncak inilah yang kita sebut sebagai Tuhan.

1.5. Argumen teleologis/argumen dari desain

Saat kita melihat dunia di sekitar kita, dan diri kita sendiri, kita melihat banyak bukti.
Misalnya, desain sayap burung yang dirancang untuk tujuan penerbangan; telinga manusia
yang dirancang untuk tujuan pendengaran; lingkungan alam yang dirancang untuk mendukung
kehidupan; dan seterusnya. Kalau ada desain, pasti ada desainernya. Desainer itu yang kita
sebut Tuhan.

2. Hubungan partisipatif antara ‘pengada’ (Ens) dan ‘yang mengada’ (Esse)

Pengada memuat aktivitas mengada, atau aktivitas mengada menjadi karakter khusus
dari pengada.6 Ini hendak mengartikan bahwa segala sesuatu sebagai pengada berpartisipasi
yang mengada itu sendiri. Menurut Thomas Aquinas mengada merupakan hal yang
mengaktualkan segala sesuatu, termasuk juga bentuk-bentuknya. Dengan demikian, apa pun

6
Ohoitimur Johanis,“Metafisika sebagai Hermeneutika (Cara Baru Memahami Filsafat Spekulatif
Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead)”, Jakarta: OBOR, 2006, hlm. 48.

4
yang pada dirinya terdapat esse, secara aktual menjadi ens dan dapat dikatakan bereksistensi7.
Dalam hal ini kita hendak melihat semesta sebagai unsur pengada partikular yang
membutuhkan universalitasnya terhadap yang mengada. Dalam kapasitasnya sebagai pengada,
menjadi sesuatu yang mustahil bahwa semuanya itu bereksistensi secara riil tanpa esse sebagai
yang mengada pada pengada itu sendiri. Esse di sini bersifat independen (berdiri sendiri) dan
fundamental (yang mendasar) dalam realitas. Dengan demikian, esse inilah yang disebut
sebagai Tuhan. Dalam arti segala sesuatu berpartisipasi dalam esse yang padanya segala
sesuatu berasal

Kesimpulan/Relevansi

St. Thomas Aqunias memberikan bukti rasional keberadaan Tuhan dengan konsep lima
jalannya. Rasionalitas pemikiran Aqunias pun membawa serta pemahaman bahwa segala
sesuatu ada (ens) karena terdapat sebab yang mengada (esse) pertama sebelum segala sesuatu
ada. Maka dari itu, tidak mungkin segala sesuatu itu dapat berpartisipasi dan berkesistensi
secara riil dalam realitas tanpanya. Dengan demikian, beberadaan Tuhan dapat dibuktikan
secara tidak langsung dan karena itu dapat diterima oleh akal. Namun, suatu akibat atau
konsekuensi mendasar dari pemahaman ini terdapat dua kemungkinan, yakni: eksistensi Tuhan
sendiri menjadi dapat ‘diakui’ ataupun ‘ditolak’. Penolakan di sini bukan berart negatif bahwa
keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan secara masuk akal. Tetapi, bahwasannya keberadaan
Tuhan dapat diterima akal, di satu sisi akalnya pun dapat menolak. Pada dasarnya, penolakan
dipilih karena orang yang menolak tersebut menuntut bukti secara langsung, dan bahkan tidak
dapat membedakan antara terbukti secara langsung, tidak langsung, dan dapat diterima akal.

7
Eksistensi (existentia) dipakai sebagai terjemahan modern untuk istilah Aquinas “esse”..., Demikianlah
eksistensi secara primer menyatakan prinsip aktualitas yang secara fundamental dan spesifik melandasi adanya
setiap pengada partikular. Lih. Ohoitimur Johanis, 2006, hlm. 51.

5
Kepustakaan

 Ohoitimur Johanis,“Metafisika sebagai Hermeneutika (Cara Baru Memahami


Filsafat Spekulatif Thomas Aquinas dan Alfred North Whitehead)”. (Jakarta: OBOR,
2006).
 K. Bertens, dkk. Pengantar Filsafat, (Yogyakarta: Kanisius, 2018).
 Bonnette Dennis, Aquinas Proofs for God’s Existence, (Netherlands: Martinus
Nijhoff, 1972).
 Pari Fariz, Pengalaman Rasional Eksistensi Tuhan: Pengantar Ontoteologi, Kanz
Philosophia Journal for Philosophy & Mysticism, State Islamic University (UIN)
Sy’ârif Hidayatullah Jakarta, Indonesia, Vol. 1, No. 1, August – November 2011.

Anda mungkin juga menyukai