Oleh:
Dr. Barnabas Ohoiwutun
KATA PENGANTAR
Nama mata kuliah ini ialah Alam Pemikiran Timur. Dengan Alam
Pemikiran Timur dimaksudkan pemikiran yang hidup dan berkembang
di Timur. Timur yang dimaksudkan adalah Asia, khususnya India dan
Cina. Yang dimaksud adalah pemikiran filosofis atau filsafat yang
tumbuh dan berkembang di India dan Cina yang berkontribusi besar
dalam membentuk peradaban Timur bahkan dunia. Singkatnya,
perkuliahan ini berfokus pada alam pemikiran atau filsafat India dan
filsafat Cina. Secara khusus, yang dipelajari dalam pemikiran India
adalah Hinduisme dan Buddhisme. Sementara yang menjadi bahan
studi dalam filsafat Cina adalah Konfusianisme, dan Taoisme.
Demikian, perkuliahan ini akan dibagi dalam dua bagian besar.
Bagian pertama adalah filsafat atau pemikiran India yang mencakup
dua aliran besar, yakni Hinduisme, Buddhisme dan pemikiran India
Kontemporer. Bagian kedua berfokus pada filsafat atau pemikiran
Cina yang terdiri Konfusianisme dan Taoisme.
Bahasan dalam kuliah ini berfokus terutama pada: karakteristik
filsafat India dan Cina; pengertian; latar belakang sejarah atau konteks
lahirnya; dan pokok-pokok pemikiran filosofis dari paham atau filsuf
entah dalam pemikiran India maupun Cina dan jawaban yang
diberikan atas persoalan-persoalan tersebut sesuai konteksnya.
2
Alam Pemikiran Timur
DAFTAR ISI
3
Alam Pemikiran Timur
BAGIAN PERTAMA
FILSAFAT INDIA
4
Alam Pemikiran Timur
5
Alam Pemikiran Timur
6
Alam Pemikiran Timur
BAB 1
HINDUISME
1. Pengertian Hinduisme
Kata “Hindu” dan “Hinduisme” sesungguhnya tidak ditemukan
dalam literatur-literatur klasik India. Itu bahkan tidak ditemukan juga
dalam bahasa-bahasa kuno India, seperti Sanskrit dan Tamil. Kedua
kata itu, sesungguhnya sebuah istilah dalam bahasa Persia yang
kemudian dimodifikasi oleh orang-orang Muslim dan orang-orang
Eropa, (Steven J. Rosen, Essential Hinduism, 2006;19-20).
Kata “Hindu” sesungguhnya berasal dari kata bahasa Persia,
“sindhu” yang berarti “sungai.” Secara khusus, kata itu menunjuk pada
“Sungai Indus” dan kebudayaan masyarakat yang tinggal dan hidup di
sepanjang sungai itu.
Sejarahwan mencatat bahwa para peneliti Persia masuk India dari
bagian utara timur jauh melalui sungai Indus. Ketika kembali ke
tempat asalnya, mereka mempublikasikan secara detail kisah
mengenai perjalanan itu. Ketika menyebutkan kata “Sindhu,” dialek
lokal mereka menekan “S” menjadi “H.” Atas cara ini seluruh
penduduk penghuni lembah Indus dikenal dengan nama “Hindus”
(Bahasa Sanskritnya adalah Indus). Demikianlah, dalam bahasa Persia,
“Sindhu” menjadi “Hindu,” dan bagian timur dari sungai itu dinamai
Hindustan.
Dalam bahasa Yunani sungai yang sama (Sindhu) disebut “Indos.”
Bentuk jamak dari istilah geografis ini menunjuk pada orang-orang
yang tinggal dan hidup sepanjang sungai itu. Atau lebih lazim dikenal
dengan nama “Indian.” Ketika istilah “Hindu” masuk dan dikenal
dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, kata ini tetap dipakai guna
7
Alam Pemikiran Timur
2. Asal-Usul Hinduisme
Sebagai sebuah paham, Hinduisme merupakan hasil penyatuan dan
perpecahan dari pelbagai macam gerakan religius. Hasilnya adalah
sebuah agama yang menunjukkan ciri-ciri yang sangat berbeda serta
bertentangan, (Ali, 2010; 5-7).
Oleh para sejarahwan diperkirakan bahwa sejarah Hinduisme
sudah berlangsung selama 5000 tahun. Dalam rentang waktu itu,
Hinduisme terbentuk terutama oleh tiga kebudayaan besar dengan
keyakinannya masing-masing. Pertama ialah budaya kaum Aryan atau
Arya (kaum bangsawan). Mereka dikenal sebagai penulis Weda.
Umumnya diperkirakan bahwa para “Aryan” yang berkulit kuning
langsat datang ke India pada tahun 1500 sM sebagai penakluk dan
penduduk. Mereka datang ke India dengan membawa serta aturan-
aturan dan keyakinan hidup yang kemudian didudukkan kepada
penduduk asli India yang berwarna gelap. Ada banyak teori yang
muncul berhubungan dengan tanah asal para Aryan. Tetapi umumnya,
tanpa bukti arkeologis, diyakini bahwa para Aryan berasal dari daerah
kutub Utara, yaitu daerah Skandinavia, Ukraina, Persia, Turki, dan
tempat lain di daerah Timur Tengah dan Asia Tengah. Bukti itu antara
10
Alam Pemikiran Timur
13
Alam Pemikiran Timur
14
Alam Pemikiran Timur
alam pikiran ilahi (svarloka). Agni adalah dewa api, dewa universal,
penikmat dan pemurni, sering disebut juga dewa sumber hidup. Selain
Indra dan Agni ada juga dewa Soma dan Varuna. Soma adalah dewa
kenikmatan Ilahi (Divine Ananda), atau rajanya anggur keabadian.
Sementara Varuna adalah dewa yang bertugas di surga. Varuna
berasal dari kata “vr” yang berarti “meliputi, mencakup,” seperti
langit. Karena dalam Rig-Weda Varuna dipandang sebagai dewa yang
melingkupi semua, (Ali, 2010; 15-18).
Masa Weda dapat dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, periode
Weda Samhita. Ditandai dengan kitab-kitab Weda: Rig-Weda, Sama
Weda, Yajur Weda dan Atharusa Weda. Samhita adalah kumpulan
mantra karya para penyair. Tujuan adanya mantra ialah untuk memuji
para dewa. Kedua, periode Brahmana. Ditandai dengan kitab-kitab
Brahmana yang berisi aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban
keagamaan. Fokusnya pada korban pada imam dan artinya. Pada
periode inilah terjadi pembagian masyarakat dalam 4 strata atau kasta:
Brahmana (para imam), Ksatrya (pemerintah), Waisya (para pekerja),
Sudra (rakyat jelata). Perhatian pada periode ini terutama ditujukan
kepada manusia. Setiap orang, entah orang baik atau jahat setelah
wafat diyakini akan dilahirkan kembali. Ketiga, periode Upanisad.
Ditandai dengan kitab-kitab Upanisad. Awalnya Upanisad berarti
duduk di bawah kaki guru. Dalam perkembangan ia menunjuk pada
ajaran sang guru yang bersifat rahasia. Yang menonjol pada kitab
Upanisad adalah ajarannya bercorak monistis dan absolutistis.
Upanisad mengajarkan bahwa Brahman adalah realitas tertinggi. Ia
adalah realitas transenden. Ia menjelmakan diri dalam segala yang
tampak. Ialah pencipta dunia. Dari Brahmanlah segalanya mengalir.
15
Alam Pemikiran Timur
Ajaran tentang devosi atau bakti kepada Tuhan yang diajarkan oleh
Bhagavata konon dikatakan diwahyukan oleh Vasudeva-Krishna.
Ajaran ini disebut “agama devosi tunggal” (Akantika-Dharma). Dalam
kitab Mahabharata dikatakan bahwa ajaran bhakti diterima Arjuna
pada awal perang Kuruksherta. Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita
yang ditulis sekitar abad ke-4 atau ke-3 sM. Kelak Vasudeva-Krishna
diidentikkan dengan dewa Wishnu dan seluruh gerakan berkembang
menjadi agama Wishnu (Vaishnavisme). Sementara epos Mahabharata
dan Ramayana lantas menjadi sarana pemikiran religius serta bhakti
bagi masyarakat umum. Dalam Mahabharata, dilukiskan
perkembangan agama Shiva dan agama Wishnu yang menyatu dalam
cerita epos. Rama sebagai figur utama dalam epos Ramayana
dilukiskan menjadi jelmaan (avatara) dari dewa Wishnu. Teks
Ramayana lantas dijadikan teks suci bagi kaum Vaishnavisme.
4.3 Masa Pertengahan (1000 – 1800 sM)
Ciri utama masa ini adalah masuknya pengaruh Islam yang
dimulai dengan jatuhnya India ke tangan penyerangan pasukan Islam
dibawah pimpinan Mahmud Ghazu. Pada tahun 1192 penguasa Rajput
di Utara jatuh, dikalahkan oleh Muhammad Ghuri. Menyusul sesudah
itu adalah diberlakukannya aturan Islam oleh dinasti Budak (Slave
Dynasty) tahun 1200 sampai akhirnya runtuh pada tahun 1858.
Kehadiran Islam di India memberikan pengaruh ganda kepada
Hinduisme. Di satu sisi, Islam mendorong perpindahan agama; di lain
pihak Islam mendorong tendensi berkembangnya masyarakat yang
egaliter dan paham monoteistik bagi kaum Hindu. Kondisi ini lantas
memicu munculnya tokoh-tokoh yang berusaha menjembatani jurang
pemisah antara keduanya. Mereka antara lain: Kabir, Guru Nanak dan
Dadu. Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikenal dengan nama
“Bijak.” Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabrahmana-sampradaya,
bercita-cita menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mendorong
para pengikutnya untuk menjadikan semua teks devosional dari
17
Alam Pemikiran Timur
berbagai aliran menjadi satu. Guru Nanak menulis teks suci kaum Sikh
(Grant Sahib), yang bermuatkan kidung-kidung yang ditulis oleh
guru-guru mereka serta orang-orang religius lainnya, entah Hindu pun
Islam.
Ciri paling menonjol dari masa Islam ini adalah: berkembangnya
agama Wishnu (Vaishnavisme). Dua nama besar, yakni Vallabha
(1479-1531) dan Caitanya (1486-1531) mengajarkan devosi yang
fokus pada Krishna dan Radha. Di wilayah Maharastra Vaishnavisme
dipopulerkan dan disebarkan oleh Namadeva (abad 14) dan Tukaram
(abad 17), sementara di utara ia berkembang dalam wujud
penyembahan kepada Rama. Selain itu di bawah pengaruh Islam
berkembang pula penolakan atas pemujaan terhadap patung atau
gambar.
Dampak dari masuk Islam ialah pertama, berkembangnya gaya
hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi
sebagai reaksi terhadap keputusasaan politik dibawah kekuasaan
Islam. Kedua, berkembangnya gerakan Caitanya pada abad ke -15
yang menekankan pembacaan Weda secara komunal guna
menghindarkan Hinduisme menjadi agama rumah atau ritual belaka.
Gerakan devosional ini menaruh perhatian pada penyelamatan dalam
nama Tuhan.
Kendati demikian harus dicatat bahwa di India Selatan Hinduisme
menunjukkan perkembangan yang berbeda. Sejarah merekam bahwa
ketiga aliran utama Vedanta yang diwakili oleh Shankara (abad 9),
Ramanuja (abad 12), dan Madhva (abad 13) muncul di Selatan.
Ramanuja dan Madhva kendati bersifat teistik, namun tetap mengikuti
konsep filsafat Vedanta. Jadi tidak semata-mata bersifat devosional.
Singkatnya, wilayah Selatan memperlihatkan kekuatan dan daya hidup
yang lebih besar tidak hanya secara religius tetapi juga politis.
Ada dua gerakan politik berbasis Hindu yang cukup berhasil
gemilang pada masa ini, yakni kerajaan Vijayanagar di Selatan dan
kerajaan Marathas di bagian Barat (lepas dari kaum Sikh di Punjab).
18
Alam Pemikiran Timur
20
Alam Pemikiran Timur
24
Alam Pemikiran Timur
26
Alam Pemikiran Timur
28
Alam Pemikiran Timur
31
Alam Pemikiran Timur
Jawaban atas pertanyaan ini coba dijawab Gita dalam konteks satu
keputusan moral, seperti tercermin dalam dialog antara Krhisna dan
Arjuna. Pertanyaan khas ialah menyangkut keputusan Arjuna untuk
bertempur atau tidak agar bisa merebut kembali kerajaan yang secara
sah adalah miliknya. Khrisna, yang menyamar menjadi kusir kereta
perang Arjuna, menjawab pertanyaan itu dalam istilah-istilah yang
umum sehingga dapat dikenakan dan diterapkan pada setiap pilihan
moral tertentu. Jawabannya berkisar soal hakikat eksistensi manusia,
hakikat realitas dan tujuan hidup.
Menurut Gita, mengikuti Upanishad, realitas dunia ini kendatipun
selalu dalam proses berubah, tetapi pada kedalaman atau inti dasarnya
bersifat parmanen, tak berubah dan tanpa ragam. Atman, hemat Gita,
juga memiliki karakteristik yang sama, yakni tidak berubah, identik
dengan realitas tertinggi. Hanya saja karen ketikdatahuan akan
hakikatnya yang benar Arjuna (manusia), mengira dirinya sama
dengan self yang berubah-ubah dan hidup dalam satu dunia obyek
yang berubah-ubah. Oleh karena itu, ia berusaha untuk mencari dan
menemukan kepuasaan dalam dunia yang berubah-ubah itu. Namun
hasilnya nihil, karena seluruh proses pencarian itu pada hakikatnya
salah arah.
Pertanyaannya, kenapa Arjuna keliru? Gita menjawab bahwa
kekeliruan itu terjadi karena Arjuna gagal membuat distingsi antara
self yang lebih rendah dan Self tertinggi. Self empirik yang lebih
rendah itu dibentuk oleh aneka guna, yaitu untaian energi-energi yang
merupakan dasar semua eksistensi psiko-fisik. Self inilah yang
menutupi dan menggelapkan Atman dan pada gilirannya membuat
Arjuna menyangka bahwa self empiris itu adalah Self sejati.
Guna menghindarkan Arjuna dari kekeliruan ini, maka Gita
menegaskan bahwa yang harus dibuat ialah mengendalikan dan
mengontrol self empirik sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi
membingungkan seorang pribadi. Kendati demikian, solusi ini tidak
mencukupi. Alasannya karena titik awal di jalan untuk mewujudkan
33
Alam Pemikiran Timur
35
Alam Pemikiran Timur
1. Dharma
Term dharma berasal dari kata dhri yang berarti “mendukung”
atau “mempertahankan,” dan alasan mengapa suatu aturan harus ada
dan dipertahankan. Demikian, dharma lantas dipahami bahwa orang
wajib melaksanakannya karena dharma menunjang individu dan
masyarakat dan olehnya dianggap benar untuk dijalankan. Singkatnya,
dharma adalah pedoman moral untuk perbuatan manusia.
Ada dua jenis dharma, yakni dharma personal dan dharma sosial.
Dharma personal adalah kewajiban moral seseorang yang ditentukan
menurut posisinya dalam keluarga, kelas-kelas sosial dan dalam
jenjang-jenjang hidupnya serta perannya dalam hidup. Sementara
dharma sosial menunjuk pada pedoman-pedoman moral yang mesti
dipakai untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan perselisihan antar
individu dalam masyarakat, karena suatu masyarakat dapat terjamin
dan tertata baik bila konflik-konflik kepentingan antar individu dan
kelompok bisa diatasi dengan baik dan benar. Singkatnya, dharma
menjadi sarana pemenuhan diri personal, serentak pada saat yang sama
menyumbang bagi pemenuhan kebutuhan orang lain.
2. Artha
Kata artha berasal dari kata kerja ri yang berarti “itulah yang
menjadi tujuan seseorang.” Dari kata dasar “tujuan,” artha lantas
dipahami sebagai sesuatu hal yang menjadi tujuan seseorang. Karena
pada dasarnya kesuksesan dan keberhasilan menjadi tujuan hidup
setiap orang, artha kemudian lebih lazim diartikan sebagai
keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksudkan ialah memiliki
kekayaan dan kuasa.
36
Alam Pemikiran Timur
4. Moksha
Kata moksha diturunkan dari kata kerja muc yang berarti
“melepaskan,” atau “membebaskan.” Dari arti literer itu, moksha
lantas dimengerti sebagai pembebasan Self sejati atau Atman, dari
tubuh, pikiran dan dunia. Tujuan ini menggarisbawahi tekanan orang
38
Alam Pemikiran Timur
43
Alam Pemikiran Timur
B. Yoga
Pendiri: ada banyak aliran yoga dengan pendirinya, tetapi yang
paling penting dan berpengaruh ialah sistem Raja- Yoga bentukan dari
Patanjali. Sistim Raja-Yoga merupakan sintesis dari pelbagai generasi
yoga dan budaya.
Ada banyak jenis atau aliran yoga. Tetapi lazimnya dikenal lima
jenis, yakni Raja-yoga, Jnana-yoga, Hatha-yoga, Bhakti-yoga dan
Karma-yoga. Raja-yoga adalah sistem yoga yang menjadikan
44
Alam Pemikiran Timur
A. Mimâmsa
Pendiri mimamsa adalah Sri Jaimini. Dari asal usul kata,
Mimâmsa berarti ‘bertanya’ atau ‘menyelidiki.’ Seperti sudah
dijelaskan di atas, mimâmsa menaruh perhatian terutama pada ritual.
Demikian, dalam mimâmsa dijelaskan tentang liturgi Weda secara
detail dalam 900 judul terpisah, yang disebut adhikarama. Setiap judul
mencakup lima bagian: topik masalah (vishaya), keraguan (samasya),
argumen awal mengangkat keraguan (purva-paksha), argumen
berlawanan yang mencoba membantah argumen awal (uttarapaksha),
dan konklusi (nirnaya).
Filsafat mimâmsa tidak mengenal eksistensi Tuhan, yakni seorang
pribadi yang mengganjar kebaikan manusia dengan hadiah dan
membalas kejahatan manusia dengan hukuman. Baginya, karmalah
47
Alam Pemikiran Timur
48
Alam Pemikiran Timur
berkaitan satu sama lain, karena setiap elemen disebabkan oleh unsur
sebelumnya. Tanah disebabkan oleh air, air oleh api, dan seterusnya.
Tujuan filsafat mimâmsa adalah meraih kebahagiaan surgawi
dengan cara melaksanakan Sabda Brahman. Demikian, upacara
kurban sekali lagi mendapatkan tempat yang istimewa karena
dipandang sebagai sarana tepat untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Namun, mengingat keberhasilan upacara kurban mensyaratkan
‘kemurnian dan kesucian’ diri pelakunya, maka pengendalian indera
dan pikiran yang diperoleh melalui pengendalian energi hidup (prana)
dan pengendalian nafas (prânâyâma), merupakan syarat yang harus
dipenuhi seorang pelaku upacara kurban. Syarat lain ialah melepaskan
milik pribadi dan disiplin diri (yama) yang ketat dan keras.
B. Vedânta
Pendirinya adalah Sri Vyasa. Vedânta atau Upanishad
berkembang sekitar tahun 500-200 sM dan sudah sekian ribu tahun ia
menjadi sumber rujukan bagi umat Hindu. Dari segi asal-usul kata,
‘vedânta’ berarti bagian akhir Weda.
Upanishad ditulis dan diperuntukkan bagi mereka yang berfokus
pada kehidupan spiritual, yakni para arif dan bijaksana. Bagi mereka
ini, Upanishad dipandang sebagai bagian filsafat yang mendasari
seluruh doktrin Hinduisme.
Status Upanishad ialah menyediakan kebenaran yang
membebaskan. Di dalamnya terdapat ajaran tentang ‘jalan
pengetahuan’ untuk mencapai kebebasan akhir. Singkatnya,
Upanishad dipandang sebagai teks sruti yang menawarkan cara untuk
mencapai kebebasan kendati disampaikan tidak secara sistematis.
49
Alam Pemikiran Timur
a. Raja Yoga
Setelah melihat sepintas tentang arti, jenis dan tujuan yoga, uraian
berikut akan lebih berfokus pada raja-yoga yang dipandang sebagai
sistem yoga yang terpenting dan paling unggul dalam tradisi
Hinduisme.
Dari asal-usul katanya, raja-yoga berarti ‘yoga kerajaan’ (royal
yoga). Term ini mulai digunakan sekitar abad ke 16, tetapi sistem raja-
yoga ini sudah lahir sejak abad ke-2 bersamaan dengan disusunnya
teks Yoga Sutras (YS) oleh Pâtañjali. Adapun istilah raja yoga ini
dipakai karena sistem ini dipandang lebih unggul ketimbang sistim
lain, khususnya hatha yoga. Karena jika hatha yoga adalah yoganya
kaum ‘pemula’ yang belum sampai pada kemampuan bermeditasi dan
askese yang baik, maka raja yoga diperuntukkan bagi kaum ksatria
yang berkehendak melatih dan mengendalikan pikirannya. Raja yoga
juga bisa menunjuk kepada ‘penguasa,” Tuhan (ĭshwara), yang dalam
pandangan Pâtañjali dikenal sebagai “Diri transendental.”
Oleh sebagian ahli raja yoganya Pâtañjali dipandang sebagai
medium menuju meditasi dan kontemplasi. Jelasnya, seperti yang
dikatakan oleh Swami Vivekananda: “Raja yoga adalah sainsnya
agama, rasionalitas semua bentuk pemujaan, upacara dan keajaiban.”
Karena pada raja yoga, kita menemukan cara, metode untuk
memfokuskan pikiran; mendapatkan ketenangan pikiran;
mengeneralisasi isi pikiran; dan menarik kesimpulan bagi diri sendiri.
Arahnya adalah menyadari kehadiran yang Ilahi yang melampaui
pikiran, imajinasi, doa dan upacara ritual.
50
Alam Pemikiran Timur
Titik tolak raja yoga ialah pikiran manusia. Jadi, bukan tubuh dan
energi hidup. Kendati âsana (postur tubuh) dan prânâyâna
(pengendalian nafas) diberi tempat, tetapi yang dipentingkan ialah
yama (disiplin moral) dan niyama (disiplin diri) yang adalah medium
untuk mengalahkan nafsu dan keinginan diri sehingga memungkinkan
manusia masuk dalam konsentrasi yang tinggi dan mendalam.
Tujuan raja-yoga adalah meraih pembebasan dan penyempurnaan
diri mental. Yang dimaksudkan ialah pengendalian kehidupan
emosional, penguasaan pikiran dan kesadaran. Fokusnya adalah
kesadaran mental (citta) dan mencapai pemurniaan dan penenangan
diri. Dalam konteks itulah berikut akan diuraikan ‘delapan ruas yoga’
(ashtânga yoga) menurut Pâtañjali.
tempat dan waktu, (YS 2:31) dan merupakan syarat untuk mencapai
keberhasilan dalam latihan yoga. 1). Ahimsa adalah kemustian moral
yang paling utama. Acapkali ahimsa diterjemahkan dengan “tidak
membunuh,” tetapi yang sebenarnya dimaksudkan ialah “tanpa
kekerasan’ dalam pikiran dan aksi. YS 2:35 dengan jelas menerangkan
hal ini: “Jika ahimsa sudah dijalankan secara menyakinkan, maka
kebencian akan berhenti.” 2). Kebenaran (satya). Tentang satya, YS
menulis, “Bagi orang yang sudah melaksanakan kebenaran dan
kejujuran semua tindakan serta akibatnya ada di bawah kendali
dirinya,” (2;36). Tak heran etika yoga menempatkan satya dalam
posisi yang tinggi. 3). Tidak mencuri (asteya). Oleh YS, asteya
dipahami sebagai, “jika asteya sudah ditanamkan, maka semua
kekayaan akan datang,” (2:37). Asteya memiliki relasi yang erat
dengan ahimsa. Pasalnya mencuri barang milik orang lain, melanggar
hak pemiliknya. 4). Selibat atau kemurnian (brahmacarya).
Harafiahnya berarti “perilaku Brahmana.” Tetapi dalam yoga,
brahmacarya dipahami sebagai matiraga, yakni menahan diri terhadap
aktivitas seksual, baik dalam pikiran pun tindakan. “Karena dengan
melaksanakan brahmacarya, manusia mendapatkan kekuatan, “(YS,
2:37). 5). Ketidakrakusan (aparigraha) diartikan sebagai ‘tidak
menerima hadiah.” Dasarnya, karena hadiah akan mendatangkan
kelekatan dan rasa takut akan kehilangan. Demikian para yogi dididik
untuk melakoni kesederhanaan hidup. Banyaknya kepemilikan akan
materi akan mengganggu pikiran. Tentang ini YS 2:39 menulis “Jika
aparigraha sudah tertanam, maka akan datang sebuah pencerahan
menyeluruh tentang bagaimana dan mengapa seseorang dilahirkan.”
Kedua, Disiplin Diri (niyama). Tujuan niyama ialah mengontrol
energi psiko-fisis yang muncul dari pengendalian diri kehidupan batin
serentak mengharmonikan hubungan kelima elemen disiplin diri
dengan kehidupan seluruhnya dan dengan Yang Ilahi. Niyama
52
Alam Pemikiran Timur
ada beda antara askese dengan penyiksaan diri. Penyiksaan diri atau
askese yang dibuat semata-mata untuk pamer atau dipuji tidak akan
mendatangkan kekuataan dan kesempurnaan diri, sementara askese
yang sungguh akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan
kesempurnaan hidup. 4). Studi Teks Spiritual (Svadhyâya). Istilah
Svadhyâya diturunkan dari kata svâ yang berarti ‘sendiri’ dan adhyâya
yang berarti ‘masuk ke dalam.’ Sementara kata studi berarti upaya
mencari makna yang terletak dibalik teks kitab suci. Di sini yang
menjadi tujuan svadhyâya ialah sebuah upaya peresapan atau
pembatinan kearifan kuno dalam diri. Jadi, bukan sebuah
pembelajaran intelektual. Tegasnya, svadhyâya merupakan sebuah
refleksi meditatif tentang kebenaran yang dituntun dan telah diajarkan
oleh para resi dan arif bijaksana yang bergerak dari pikiran menuju ke
hati. Pada titik ini yang berperan utama ialah hati manusia. Demikian,
YS 2:44, meringkaskan: “dengan mempelajari teks-teks spiritual, akan
terjadi penyatuan dengan dewa-dewi yang disembah.” 5). Penyerahan
diri kepada Tuhan (Ishwara-pranidhâna). Yang dimaksudkan di sini
adalah serah diri yang total kepada Tuhan sebagaimana terungkap
dalam YS 2:45: “melalui penyerahan diri secara menyeluruh, samâdhi
dicapai.” Pertanyaannya, apakah Tuhan seperti yang dipahami dalam
raja yoga itu sama dengan konsep Tuhan dalam agama Yahudi dan
Kristen? Sesungguhnya tidak sama. Tuhan (Ishwara) dalam raja yoga
dipahami sebagai salah satu dari Diri Transendental yang satu dan
banyak (purusha). Statusnya, seperti dijelaskan Patanjali, bercorak
luar biasa di antara banyak diri karena fakta bahwa ia tidak pernah
tunduk pada ilusi yang meniadakan kemahatahuan dan
kemahahadiran-Nya. Secara intrinsik, semua diri adalah bebas, tetapi
hanya Ishwara yang selalu sadar akan kebenaran bahwa ia bebas. Jadi
jelas berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Tapi ia bukanlah juga semacam “kemutlakan universal” sebagaimana
54
Alam Pemikiran Timur
berhubungan erat satu sama lain. Lantas apa itu samâdhi? YS 3:3
memberikan batasannya demikian; “samâdhi adalah kondisi meditasi
yang sama, di mana hanya ada obyek saja, seolah tidak ada
bentuknya.” Nampak jelas kiranya bahwa samâdhi adalah sebuah
situasi puncak yang diperoleh melalui proses disiplin mental yang
tidak gampang dan lama. Terkadang, samâdhi disalah-pahami sebagai
kondisi yang tidak sadar. Padahal yang terjadi dalam samâdhi adalah
orang mengalami penyatuan kesadaran, masuk dalam kejernihan
mental, pikiran dan spiritual. Dalam konteks ini, Patanjali lantas
membagi samprajnita- samâdhi dalam empat bentuk: 1). Savitarka-
samâdhi, yakni jenis samâdhi di mana pikiran terarah pada suatu
obyek tertentu, sehingga memungkinkan seseorang bisa masuk ke
kedalaman obyek tersebut, mengerti dan memahami setiap bagian dari
obyek itu. 2). Savicara- samâdhi ialah tahapan esktasi di mana pikiran
terfokus pada obyek yang halus atau lebih abstrak, seperti warna
merah, cinta, kebaikan, dan lain-lain. Karena ia abstrak obyek-obyek
itu sering sulit dipahami, tetapi dengan samâdhi pikiran manusia akan
terbantu untuk mengerti obyek-obyek itu tanpa harus melihatnya
secara langsung. 3). Sananda- samâdhi yaitu bentuk samâdhi yang
lebih smooth di mana tidak ada lagi diskriminasi dan refleksi karena
orang berkontemplasi hanya tentang pikiran yang tenang dan damai.
Pada tahap ini orang akan mengalami sebuah kebahagiaan yang
mendalam. 4). Sasmita- samâdhi. Pada tahap ini yang dialami dan
dirasakan ialah kesadaran akan individualitas. Jika seorang yogi telah
mencapai tahapan samâdhi ini, maka ia tidak terganggu lagi dengan
hal-hal duniawi, kendati ia tinggal dan berada dalam dunia.
******
58
Alam Pemikiran Timur
BAB 2
BUDDHISME
59
Alam Pemikiran Timur
61
Alam Pemikiran Timur
pengalaman ini tidak memuaskan dia. Ia tetap tidak bisa melarikan diri
dari dunia penderitaan.
Ia akhirnya meninggalkan gaya hidup asketisme dan penyangkalan
diri yang ketat, tetapi tidak kembali kepada pengalaman hidupnya di
masa lampau yang penuh dengan kemewahan. Sebaliknya, ia mencita-
citakan sebuah Jalan Tengah (the Middle Way), yakni sebuah bentuk
hidup yang tidak mewah juga bukan miskin. Ia pergi ke Gaya di mana
tumbuh dan hidup Pohon Pencerahan (Boddhi Tree, the tree of
awakening). Di bawah Pohon Pencerahan itu, Siddharta duduk
bermeditasi selama 49 hari dan hanyut dalam meditasi, dan berefleksi
tentang pengalaman hidupnya, serta memutuskan untuk memahami
kebenarannya. Ia memutuskan entahkah ia mati atau hidup sebagai
yang mengalami pencerahan. Ia akhirnya mencapai Pencerahan dan
menjadi Buddha.
Legenda Buddhisme mengatakan bahwa awalnya Buddha bahagia
untuk tinggal dalam situasi itu (nirvana), tetapi Brahma, raja dari para
dewa memintanya, atas nama seluruh dunia, agar ia harus
membagikan pengertiannya atau pengalaman Pencerahannya dengan
orang lain. Buddha kemudian kembali ke tempat kelahirannya dan
selama 45 tahun mengajarkan tentang pencerahan kepada banyak
pengikutnya yang menjadi pribadi-pribadi yang mencapai Pencerahan.
Buddha meninggal dunia pada usia 80 tahun (480 sM).
63
Alam Pemikiran Timur
66
Alam Pemikiran Timur
74
Alam Pemikiran Timur
75
Alam Pemikiran Timur
76
Alam Pemikiran Timur
dampak buruk kepada diri sendiri pun kepada orang lain. Tindakan
jahat menghasilkan efek yang jahat bagi diri sendiri dan orang lain.
Jelas nampak kiranya betapa karma memainkan peranan penting
dalam etika Buddhist. Karma membatasi penyebab peristiwa dan
takdir dari pengada, seperti dikatakan sang Buddha, “melalui diri kita,
kejahatan dilakukan. Oleh diri kita, kita memikul penderitaan. Oleh
diri kita, kesalahan dihentikan. Oleh diri kita, kita menjadi murni.
Tidak seorangpun menyelamatkan kita selain diri kita sendiri. Tidak
seorangpun dapat dan tidak seorangpun boleh. Kita sendirilah yang
harus menjalani jalan itu. Buddha hanya menunjukkan jalan,”
(Dhammapada, I, VIII, LX; Majjhima-Nikaya III,21). Singkatnya,
manusia adalah pencipta kebaikan dan kejahataan, dan dia juga yang
menghentikan seluruh kejahatan dan melakukan kebaikan.
Menurut Budhha ketidaktahuan (avija) merupakan penyebab
utama Karma. Kelahiran kembali pada dirinya tidak sebuah kejahatan
moral, tetapi sebuah kondisi yang perlu bagi proses menuju
kesempurnaan. Ia menjadi jahat tatkala karma merupakan hasil dari
ketidaktahuan. Bagi Buddhisme, sebuah tindakan disebut tindakan
sejati atau bermakna jika tindakan itu disadari, dimaui, direfleksikan
dan dikehendaki. Tindakan itu bercorak personal; ia adalah milik dari
mahkluk ciptaan, seperti terungkap dalam teks Angutara, “manusia
adalah pewaris dari tindakan yang ia lakukan, “ (Angutara-Nikaya, III,
186). “Tindakan yang jahat yang anda lakukan tidak dilakukan oleh
ibumu atau ayahmu atau orang lain. Anda sendirilah yang telah
melakukan tindakan yang jahat itu, kamu sendiri yang akan menuai
hasilnya,” (Majjhima-Nikaya, III, 181).
Amat jelaslah bahwa kualitas moral dari perbuatan kemauan
menentukan karma. Hukum karma menyatakan bahwa terdapat sebuah
kaitan antara kualitas moral, tingkat keahlian/ketrampilan dalam
perbuatan kemauan, dan hasilnya. Siapa kita ditentukan terutama oleh
78
Alam Pemikiran Timur
81
Alam Pemikiran Timur
sebagai aliran Buddhisme tertua yang berupaya setia pada ajaran dan
latihan-latihan Buddhisme tradisional. Hinayâna menerima kanon Pâli
sebagai kitab suci utama, (Ali, 2010; 185 – 198).
Berbeda dengan Hinayâna yang bercorak konservatif, Mahâyâna
merupakan Buddhisme yang liberal yang muncul kemudian dan
berupaya mengadakan reinterpretasi atas Buddhisme. Selain kanon
Pali sebagai Kitab Suci utama, Mahâyâna juga masih memiliki teks-
teks baru lain dalam bahasa Sanskerta. Lagi tidak seperti Hinayâna
yang hanya percaya bahwa ada satu Buddha, yakni Gautama, Sang
Buddha, kaum Mahayanis meyakini bahwa terdapat banyak Buddha,
selain Sang Buddha. Secara filsafati beda utama Buddhisme
Mahâyâna dan Hinayâna terletak pada pandangan tentang realitas. Jika
Hinayâna mengakui adanya realitas unsur atau entitas (dharma), maka
Mahayâna berpendapat bahwa semua benda adalah “kosong,”
(shunya).
Aliran Mahâyâna terutama berkembang di Utara dan Timur Asia
pada negara-negara seperti, Tiongkok, Tibet, Mongolia, Korea dan
Jepang; sementara aliran Theravâda tumbuh subur teristimewa di
Asia- Selatan dan atau Tenggara, misalnya Sri-Lanka, Thailand,
Burma, Laos dan Kamboja. Negara yang Buddhismenya adalah
campuran kedua aliran itu ialah Vietnam. Tidak heran, secara
geografis, aliran Mahâyâna disebut Buddhisme Utara (Northern
Buddhism), sementara Hinayâna disebut Buddhisme Selatan (Southern
Buddhism).
4.1 Hinayâna
Selain Theravada dan Southern Buddhism, Buddhisme Hinayâna
juga punya sebutan lain seperti Early Buddhism, Monastic Buddhism,
dan Doctrine of the Elders. Theravada adalah aliran tertua dalam
Buddhisme yang ada sejak era raja Asoka di India Selatan dengan
83
Alam Pemikiran Timur
kitab suci utama berbahasa Pâli. Tujuan utama ajaran Theravada ialah
mencapai keselamatan individual atau arahat. Dengan kata lain, ia
menekankan “pembebasan diri sendiri” (pacceka-Buddha). Jadi
berbeda dengan Mahayana fokus pada “pencerahan bagi semua
mahkluk,” (samyak-samBuddha), (Ali, 2010; 186-188).
Hinayana percaya hanya pada Sakyamuni Buddha dan
Boddhisattva Maitreya dan menolak percaya pada Buddha Amitabha,
Boddhisattva Avalokitesvara (Kwan Yin) yang diterima dan diakui
oleh aliran Mahayana. Dasarnya ialah karena Hinayana lebih
menekankan dimensi sejarah dan doktrin awal dari Buddhisme yang
digagaskan dan diwariskan oleh Sang Buddha.
Ada dua aliran penting dalam Buddhisme Hinayana, yakni
Vaibhashika dan Sauntrantika. Vaibhashika ialah aliran Hinayana
yang berpandangan bahwa realitas terdiri dari obyek jasmani dan
batin. Substansi benda-benda memiliki keberadaan yang tetap di masa
lampau, kini dan kelak. Bagi Vaibhashika, adanya obyek eksternal
diketahui bukan melalui penyimpulan, melainkan secara langsung via
persepsi. Maksudnya, pengetahuan kita mengenai realitas atau obyek
eksternal kita peroleh bukan karena hasil kreasi pikiran subyektif,
melainkan karena penemuan obyek-obyek yang disodorkan kepada
kita. Dari sini harus disimpulkan bahwa obyek eksternal itu
bereksistensi. Adalah mustahil persepsi atau kontak antara pancaindera
dan realitas terjadi jika tidak ada obyek persepsi.
Seperti Vaibhashika, Sautrantika juga berpendapat bahwa realitas
adalah obyek jasmani dan batin. Bedanya menurut Sautrantika apa
yang diserap oleh pancaindera secara langsung ialah bukanlah obyek-
obyek riil, melainkan ide-ide yang hanya merupakan copy atau tiruan
dari obyek-obyek eksternal. Bagi aliran Sautrantika persepsi seseorang
terhadap obyek eksternal amat tergantung pada empat hal, yakni:
obyek jasmani, pikiran subyketif, indera dan kondisi-kondisi
84
Alam Pemikiran Timur
4.2 Mahâyâna
86
Alam Pemikiran Timur
87
Alam Pemikiran Timur
90
Alam Pemikiran Timur
Kesimpulan
Daftar Pustaka
1. Steven J. Rosen, Essential Hinduism. London; Praeger. 2006.
2. Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan
Buddhisme. Jakarta: Sanggar Luxor. 2010.
91
Alam Pemikiran Timur
BAGIAN KEDUA
FILSAFAT CINA
92
Alam Pemikiran Timur
Bab 1
FILSAFAT CINA DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN TIMUR
94
Alam Pemikiran Timur
97
Alam Pemikiran Timur
BAB 2
KONFUSIANISME : HUMANISME DARI TIMUR
98
Alam Pemikiran Timur
1. Konfusius
a. Latar Belakang Pemikirannya
Konfusius atau K’ung Fu-Tzu atau Kong Hu Chu (551-479
sM) di kota Cou, wilayah Ch’ang P’ing, negeri Lu. Nama
aslinya K’ung Ch’iu.
Hidup pada zaman ketika Cina mengalami pergolakan,
disintegrasi politik dan sosial, serta dekandensi moral.
Situasi ini mendorongnya untuk mengadakan reformasi moral-
politik sebagai jalan menciptakan keadilan, perdamaian dan
ketertiban umum
Konfusianisme adalah filsafat sosial yang juga mengandung
unsur kebudayaan Cina kuno.
b. Gagasan-Gagasan Filosofis
Gagasan-gagasan filsafati Konfusius tumbuh dalam bingkai
cita-citanya membaharui masyarakat Cina dengan fokus pada problem
kemanusiaan. Karena itu, filsafat Konfusianisme disebut humanisme
dan dibedakan dengan naturalisme dan supernaturalisme. Naturalisme
paham filsafat yang beranggapkan bahwa sumber nilai ialah alam.
Supernaturalisme: sumber nilai ialah kekuatan adikodrati. Bagi
Konfusius, sumber nilai-nilai adalah manusia. Humanismenya
dijabarkan dalam beberapa konsep dasar.
1. Cheng-Ming atau Rektifikasi Nama. Alam semesta merupakan
satu kesatuan yang saling bertautan satu sama lain. Harmoni
tergantung pada keseimbangan fungsi dan relasi setiap elemen.
Penyimpangan salah elemen akan menyebabkan kekacauan secara
keseluruhan. Prinsip ini diterapkan pada kehidupan masyarakat.
Masyarakat terdiri dari pelbagai elemen. Penyimpangan fungsi
dan peran akan menghasilkan kekacauan dalam masyarakat. Hal
99
Alam Pemikiran Timur
a. Latar Belakang
Mo Tzu dan Yang Chu. Pemikirannya berkembang sebagai reaksi
atas teori moral Mo Tzu dan Yang Chu yang saling bertentangan.
Menurut Mo Tzu (479-438 sM), kekacauan dalam masyarakat
terjadi bukan krn kurangnya penghargaan terhadap manusia tetapi
krn hilang saling cinta timbal balik antara manusia satu sama lain.
Apalagi warga masyarakat saling peduli satu sama lain, maka
keadaan negara akan aman. Di sini ini citakan relasi persahabatan
tanpa diskriminasi (chien ai). Yang Chu sebaliknya, berpendapat
bahwa nilai tertinggi ialah hidup manusia dan karena setiap
individu berkewajiban melindungi dan memeliharanya.
Semboyannya: wei wo (setiap orang harus mengurus dirinya).
Hidup adalah ukuran segalanya. Kekacauan terjadi krn orang
103
Alam Pemikiran Timur
b. Gagasan Filosofis
Tentang Manusia: Baik Secara Kodrati. Ia sepakat dengan
Konfusius soal jen, li, yi, dan Hsiao. Tetapi Ia memberikan tekanan
lebih kepada yi. Alasan mengapa Mensius menekankan yi adalah
pengakuannya akan perbedaan antara kebaikan dan kebenaran. Jen
merujuk pada kebaikan yang mendasari kodrat manusia. sementara
yi menunjuk pada kebenaran dan keadilan tindakan manusia.
Pembedaan ini penting karena, kendati setiap manusia memiliki
Jen, tetapi tidak setiap orang bisa bertindak benar atau sesuai yi.
Implikasinya, yi perlu harus lebih ditekankan jika kemungkinan
bertindak keliru hendak dijelaskan. Ini tidak berarti yi terpisah dari
jen, justru yi adalah klimaks dari pengembangan jen. Di sini
terlihat perbedaan antara Mensius dan Konfusius: 1). Mensius
membedakan antara kodrat manusia yang baik (jen) dari perbuatan
yang benar (yi). Sementara Konfusius tidak membedakannya. 2).
104
Alam Pemikiran Timur
3. Penutup: Kesimpulan.
Sebagai kesimpulan beberapa hal bisa ditegaskan: a). Humanisme
Konfusianisme terpusat pada konsep Jen. b). Karena prinsip-
prinsip moral mengandaikan pengembangan kepribadian, maka 2
syarat perlu dipenuhi, yakni pendidikan dan pendidikan itu harus
dimulai dari keluarga (inti masyarakat). c). Mensius memberikan
pendasaran moral yang sama dengan Konfusius, tetapi lebih
radikal. Baginya Hati manusia baik secara moral, maka manusia
pun baik secara kodrati. d). Implikasi pandangan keduanya: setiap
107
Alam Pemikiran Timur
108
Alam Pemikiran Timur
BAB 3
TAOISME : JALAN ALAMI MENUJU KEBEBASAN
1. Lao Tzu
Riwayat hidupnya agak kabur, tapi tradisi tempatkannya
antara tahun 566-470 (604) sM. Nama aslinya Li Erh (Li: nama
keluarga pohon plum; erh: nama diri artinya “telinga”). Setelah wafat
diberi gelar Lao Tzu (Lao: Tua) artinya si guru tua. Atau Lao
Dan/Tan.
a. Taoisme dan Konfusianisme: Sebuah perbandingan
Persamaannya: bertitik tolak dari situasi kemiskinan dan
penderitaan masyarakat akibat salah kelola dari penguasa negara.
Perbedaannya pada tanggapan terhadap situasi tersebut. 1).
Konfusius menekankan kebaikan moral kodrat manusia sebagai
medium untuk ciptakan pembaharuan dalam masyarakat. Lao Tzu
fokus pada keselarasan dan kesempurnaan alami. Konfusius jadikan
kepribadian yang dewasa secara moral sebagai ideal hidup, sementara
109
Alam Pemikiran Timur
110
Alam Pemikiran Timur
sesuai dengan Tao. 9). Maka peraturan yang ditetapkan harus searah
dengan Tao alam semesta.
c. Gagasan Filosofis Lao Tzu
Jadi menurut Lao Tzu yang jadi akar kejahatan sosial bukanlah
masalah dekadensi moral, tetapi keinginan manusia yang tidak pernah
terpenuhi. Demikian jika untuk mau menyelesaikannya bukan dengan
menciptakan aturan-aturan moral guna mengikuti keinginan kita, tetapi
dengan mengikuti Toa. Karena defacto ketika manusia berusaha untuk
puaskan keinginanya selalu berujung dengan kejahatan.
Kebahagiaan dan kebaikan menurut Lao Tzu dapat dicapai
tatklala manusia memilih sikap/prinsip non-aksi yang bersumber pada
kesederhanaan Tao, karena Tao yang agung selalu tanpa keinginan.
Lao Tzu menyebut prinsip non-aksi itu: Wu-Wei berarti tindakan
secara bebas dan spontan lahir dari hakikat. Exam: seekor sapi tidak
boleh berusaha untuk berlaku seperti ayam. Hidup sederhana berarti
bertindak tanpa keinginan.
Kesimpulannya bertindak yang tepat ialah menyesuaikan diri
dengan Tao, bukan dengan tujuan untuk penuhi pelbagai keinginan.
Implikasinya ialah pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang betul-
betul memimpin bukan memerintah. Tugasnya menuntun masyarakat
agar ikut jalan Tao.
Apa hakikat Tao? Konteks tepat untuk pahami hakikat Tao
ialah prinsip Yin-Yang. Secara harafiah Yin : sesuatu yang tertutup &
tdk bisa diketahui. Secara simbolik artinya sesuatu yang dibelakang.
Yin berarti: mundur, pasif, yang lemah dan yang gelap. Wakili unsur
bumi, betina, bulan, malam perempuan, air, dll. Yang : sesuatu yang
terbuka dan bisa diketahui. Yang lambangkan segala sesuatu yang di
depan. Yang adalah prinsip progresif, dinamis, aktif, dan terang.
Wakili unsur langit, siang, matahari, jantan, pria, api, aksi, kuat, dll.
Segala dalam direduksi dalam dua prinsip itu: Yin- Yang. Walau
111
Alam Pemikiran Timur
114
Alam Pemikiran Timur
makanan. Tapi yang diragukan ialah fakta bahwa ia pedas. Jadi utk
buat komparasi perlu criteria atau standar yang independen utk nilai
relasi penyataan yang satu dengan penyataan yang lain. Tap standar
independen butuhkan standar penilaian lain dan standar penilaian itu
butuhkan standar yang lain lagi. Jadi tak terbatas. Jadi bagaimana
menilai/memilih bila setiap orang selalu nilai dari perspektif terbatas?
Bagi kaum skeptik itu tetap tidak mungkin. Karena pengetahuan
tergantung pada sesuatu yang benar, tapi sesuatu itu tidak pasti dan
dapat berubah-ubah. Singkatnya, bagi Chuang Tzu, pada dasarnya
tidak ada criteria yang sama sekali pasti yang denganya pernyataan ttg
kebenaran dapat diukur. Jadi yang dibutuhkan adalah sebuah
perspektif yang tak terbatas (lampau yang empiris dan kognitif).
Pertanyaannya, apakah dengan utamakan perspektif tak terbatas, ia
remehkan atau abaikan lapisan empiris dan pengetahuan rasional?
Jawabnya, tidak. Karena justru dunia sehari-harilah pangkal menuju
alam kesempurnaan. Manusia sejati adalah manusia yang bisa masuk
dan salami dunia transcendental dengan tujuan memberi makna pada
dunia sehari-hari. Dalam diri orang bijak yang transcendental dan yang
duniawi berjumpa. Karena di sanalah Tao alam dan Tao manusia
menyatu.
Kesimpulan umum. 1). Taoisme kedepankan keselarasan
kosmik. Berhadapan dengan gejolak sosial politik yang dikedepankan
ialah hidup yang alami, sederhana, spontan, lemah-lembut dan tulus.
Atas cara ini Taoisme sindir manusia yang bergumul dengan problem
yang diciptakannya sendiri; keserakahan yang berujung pada konflik,
pertikaian dan penderitaan. 2). Harmoni andaikan pluralitas: tak ada
keselarasan tanpa kemajemukan. Yin-yang bisa bersatu dengan
sempurna tanpa saling mereduksi. Artinya perbedaan itu pada
dasarnya bisa disatukan. Syaratnya ialah mengatasi partikularitas dan
menyatu dengan “dunia lain.” 3). Dari perspektif lingkungan hidup,
117
Alam Pemikiran Timur
118
Alam Pemikiran Timur
119