Anda di halaman 1dari 119

Alam Pemikiran Timur

SEKOLAH TINGGI FILSAFAT


SEMINARI PINELENG

ALAM PEMIKIRAN TIMUR


(Diktat Kuliah untuk Mahasiswa Program Studi Teologi Semester VI)

Oleh:
Dr. Barnabas Ohoiwutun

Lembaga Penelitian dan Pengadian Kepada Masyarakat (LPPM)


2020
1
Alam Pemikiran Timur

KATA PENGANTAR

Nama mata kuliah ini ialah Alam Pemikiran Timur. Dengan Alam
Pemikiran Timur dimaksudkan pemikiran yang hidup dan berkembang
di Timur. Timur yang dimaksudkan adalah Asia, khususnya India dan
Cina. Yang dimaksud adalah pemikiran filosofis atau filsafat yang
tumbuh dan berkembang di India dan Cina yang berkontribusi besar
dalam membentuk peradaban Timur bahkan dunia. Singkatnya,
perkuliahan ini berfokus pada alam pemikiran atau filsafat India dan
filsafat Cina. Secara khusus, yang dipelajari dalam pemikiran India
adalah Hinduisme dan Buddhisme. Sementara yang menjadi bahan
studi dalam filsafat Cina adalah Konfusianisme, dan Taoisme.
Demikian, perkuliahan ini akan dibagi dalam dua bagian besar.
Bagian pertama adalah filsafat atau pemikiran India yang mencakup
dua aliran besar, yakni Hinduisme, Buddhisme dan pemikiran India
Kontemporer. Bagian kedua berfokus pada filsafat atau pemikiran
Cina yang terdiri Konfusianisme dan Taoisme.
Bahasan dalam kuliah ini berfokus terutama pada: karakteristik
filsafat India dan Cina; pengertian; latar belakang sejarah atau konteks
lahirnya; dan pokok-pokok pemikiran filosofis dari paham atau filsuf
entah dalam pemikiran India maupun Cina dan jawaban yang
diberikan atas persoalan-persoalan tersebut sesuai konteksnya.

Pineleng, Medio Agustus 2020


Barnabas Ohoiwutun

2
Alam Pemikiran Timur

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ……………………………………. 2


Daftar Isi ……………………………………………. 3
Bagian Pertama: Filsafat India ……………………. 4
Karakteristik Filsafat India ……………………………. 4
Bab 1 Hinduisme ……………………………………. 7
Bab 2 Buddhisme ……………………………………. 81
Bagian Kedua: Filsafat Cina …………………….. 107
Bab 1 Filsafat Cina dalam Perspektif Pemikiran Timur 107
Bab 2 Konfusianisme: Humanisme dari Timur …….. 113
Bab 3 Taoisme: Jalan Alami Menuju Kebebasan …….. 123

3
Alam Pemikiran Timur

BAGIAN PERTAMA
FILSAFAT INDIA

Karakteristik Filsafat India


Filsafat India dikenal sebagai filsafat yang memiliki kompleksitas
pemikiran. Adanya pelbagai aliran filsafat adalah bukti nyata akan
kompleksitas pemikiran itu. Karena itu agak sulit merumuskan apa
yang menjadi karakteristik atau corak-khas Filsafat India. Kendati
demikian, menurut Radhakrishnan dan Moore, umumnya disepakati
bahwa filsafat India memiliki tujuh karakteristik (Radhakrishnan and
Moore, A Source Book In Indian Philosophy, 1957; xxii-xxvii):
Pertama, pada umumnya filsafat India berfokus pada yang
spiritual. Filsafat India memahami manusia sebagai pribadi yang
spiritual. Karena itu, ia tertarik secara istimewa pada dimensi
spiritualnya dan secara erat menghubungkannya dengan alam semesta
yang juga bersifat spiritual. Dalam konteks ini agama dan filsafat
punya kaitan yang erat sekali. Karena filsafat dipandang sebagai
sebuah petualangan spiritual. Keduanya (filsafat dan agama) fokus
pada arah yang sama, yakni keselamatan manusia dalam relasinya
dengan alam semesta.
Kedua, keyakinan akan relasi yang erat antara filsafat dan
kehidupan. Tendensi atau sikap untuk menerapkan filsafat untuk hidup
ini ditemukan dalam seluruh aliran filsafat India. Bagi filsafat India,
ada kaitan erat antar teori dan praktik, ajaran dan hidup. Pengetahuan
atau kebenaran dicari dan dipelajari tidak semata-mata untuk
pengembangan pengetahuan itu sendiri, tetapi untuk pengembangan
hidup. Pengetahuan dipelajari dan diperoleh agar memecahkan
persoalan dalam hidup manusia. Dengan kata lain, adalah tidak cukup
kebenaran itu diketahui. Kebenaran itu justru harus dihidupi.

4
Alam Pemikiran Timur

Tujuannya, agar manusia tidak saja mengetahui kebenaran yang


tertinggi, tetapi agar manusia menyadarinya atau menjadi satu
dengannya.
Ketiga, sikap introspeksi diri dan pendekatan introspeksi terhadap
realitas. Filsafat dalam paham filsafat India adalah pengetahuan
tentang diri. Filsafat bisa berawal entah dengan dunia luar, pun dunia
internal manusia atau diri manusia. Dalam upaya pencarian kebenaran,
filsafat India dominan menaruh perhatian kepada hidup batin dan
pribadi manusia daripada dunia luar. Dimensi subyektivitas lantas
lebih ditekankan ketimbang aspek obyektivitas. Tak heran studi atas
psikologi dan etika lebih dipentingkan dibanding ilmu pengetahuan
alam atau eksakta.
Keempat, bersifat idealistik. Tendensinya ialah ke arah monistik –
idealistik. Hampir semua filsafat India meyakini bahwa realitas itu
sesungguhnya satu dan bersifat spiritual. Demikian ada kecenderungan
untuk menafsirkan hidup dan realitas dalam cara monistik-idealistik.
Kelima, rasio digunakan secara memadai, tetapi intuisi diterima
sebagai satu-satunya metode yang melaluinya hal-hal fundamental
dapat dikenal. Maksudnya, pengetahuan intelektual atau kekuatan
rasio itu sangat berguna, tetapi tidaklah cukup. Untuk mengetahui
realitas yang sesungguhnya seseorang harus memiliki pengalaman
aktual dan langsung akan itu. Dengan kata lain, orang harus
menyadarinya atau menjadi satu dengan realitas itu. Singkatnya, bagi
filsafat India, rasio dapat menunjukkan kebenaran, tetapi tidak dapat
mencapai kebenaran.
Keenam, penerimaan akan otoritas. Para filsuf India selalu sadar
akan tradisi. Karena itu mereka selalu memposisikan diri sebagai
komentator yang bertugas menjelaskan kebajikan tradisional masa
lampau. Di sini interpretasi dapat saja berubah, tetapi semangat dan
karakter umum dan konsep dasar tetap tinggal sama dari zaman ke
zaman.

5
Alam Pemikiran Timur

Ketujuh, filsafat India dicirikhaskan oleh pendekatan sintetik


terhadap keragaman pengalaman realias. Maksudnya kepelbagaian
pengalaman dan realitas dipandang bukan sebagai perbedaan yang
saling menidak, melainkan kekayaan yang saling melengkapi.

6
Alam Pemikiran Timur

BAB 1
HINDUISME

1. Pengertian Hinduisme
Kata “Hindu” dan “Hinduisme” sesungguhnya tidak ditemukan
dalam literatur-literatur klasik India. Itu bahkan tidak ditemukan juga
dalam bahasa-bahasa kuno India, seperti Sanskrit dan Tamil. Kedua
kata itu, sesungguhnya sebuah istilah dalam bahasa Persia yang
kemudian dimodifikasi oleh orang-orang Muslim dan orang-orang
Eropa, (Steven J. Rosen, Essential Hinduism, 2006;19-20).
Kata “Hindu” sesungguhnya berasal dari kata bahasa Persia,
“sindhu” yang berarti “sungai.” Secara khusus, kata itu menunjuk pada
“Sungai Indus” dan kebudayaan masyarakat yang tinggal dan hidup di
sepanjang sungai itu.
Sejarahwan mencatat bahwa para peneliti Persia masuk India dari
bagian utara timur jauh melalui sungai Indus. Ketika kembali ke
tempat asalnya, mereka mempublikasikan secara detail kisah
mengenai perjalanan itu. Ketika menyebutkan kata “Sindhu,” dialek
lokal mereka menekan “S” menjadi “H.” Atas cara ini seluruh
penduduk penghuni lembah Indus dikenal dengan nama “Hindus”
(Bahasa Sanskritnya adalah Indus). Demikianlah, dalam bahasa Persia,
“Sindhu” menjadi “Hindu,” dan bagian timur dari sungai itu dinamai
Hindustan.
Dalam bahasa Yunani sungai yang sama (Sindhu) disebut “Indos.”
Bentuk jamak dari istilah geografis ini menunjuk pada orang-orang
yang tinggal dan hidup sepanjang sungai itu. Atau lebih lazim dikenal
dengan nama “Indian.” Ketika istilah “Hindu” masuk dan dikenal
dalam bahasa Inggris pada abad ke-17, kata ini tetap dipakai guna
7
Alam Pemikiran Timur

menunjuk pada para penduduk asli di lembah Indus. Tetapi kemudian


secara perlahan berarti seseorang yang secara tetap memeluk agama
Hindu dan tidak berpindah ke Islam.
Sementara kata “Hinduisme,” sebagai istilah untuk agama dari
para penduduk asli yang menjadi familiar dalam bahasa Inggris pada
awal abad 19, pada dirinya adalah produk dari pemikiran Barat yang
berusaha menempatkan dan memosisikan Hinduisme seperti
Kekristenan. Dengan kata lain, Hinduisme dipandang hanya sebagai
sebuah sistim ajaran, kepercayaan dan praktik-praktik keagamaan,
praktis seperti Kekristenan. Dan kini, Hinduisme secara jelas
menunjuk kepada orang agama dari orang-orang India.
Orang-orang India sendiri tidak pernah memakai nama itu sebagai
identitas bagi kebangsaan, budaya, agama pun filsafat. Mereka justru
menyebut tempat asal mereka dengan sebutan “Bharata,” yang berarti
“pencinta pengetahuan/kebijaksanaan,” atau “tanah dari yang
mencintai pengetahuan/kebijaksanaan.”
Demikian, tampak bahwa tidak mudah kiranya menjelaskan
pengertian Hinduisme. Kesulitan ini muncul karena: pertama, tidak
diketahui siapa sesungguhnya pendiri Hinduisme; kedua, tiadanya data
yang pasti dan akurat tentang kapan persis Hinduisme muncul; ketiga,
Hinduisme mempunyai pluralitas doktrin dan aliran serta latihan. Dan
keempat, Hinduisme tidak memiliki tubuh otoritas yang merumuskan
batas-batas dogma. Yong Choon Kim, misalnya, menyebut Hinduisme
sebagai agama ahistoris dan nonhistoris, karena tidak memiliki awal
sejarah dan tidak berpendiri tunggal, (Matius Ali, Filsafat India, 2010;
3).
Tidak heran banyak sejarahawan tentang Hinduisme baik Barat
pun dari India sendiri hanya tiba pada upaya menggambarkan apa itu
Hinduisme. Kloistermaier, seperti dikutip Matius Ali, menggambarkan
Hinduisme sebagai “berziarah ke Tirupati, sebuah program politik,
sebuah filsafat mendalam, sebuah cara hidup, kotbah tentang bhagavad
Gita, hidup asketis, malam ceria dengan melantunkan pujian, Rig-
8
Alam Pemikiran Timur

Weda di sebuah rumah di Bombay, ritual rutin bagi para Brahmana,


festival kuil di Madurai dan mandi di sungai Gangga, dan lain-lain,”
(Ali, 2010;3).
Dengan kata lain, yang bisa dikatakan tentang Hinduisme ialah
menyebutkan aspek-aspek yang menjadi karakteristiknya. Hal itu juga
yang antara lain dibuat oleh Sri Aurobindo (1872-1930), salah seorang
pahlawan dan filsuf India. Menurut Aurobindo, ada tiga aspek yang
menjadi karakteristik penyatu dari Hinduisme. Pertama, pengakuan
akan adanya Yang Absolut yang melampaui semua, Allah yang
Tertinggi atau Purusha kendati diberikan nama yang berbeda oleh para
bijak. Kedua, pengakuan akan adanya pelbagai macam pendekatan
manusia terhadap Yang Kekal dan Yang Tak Terbatas. Allah
mewahyukan Dirinya ke dalam dunia dalam banyak cara. Seluruh
kekuatan alam semesta dan kekuatan lain adalah manifestasi dari the
One. Ketiga, Yang Tertinggi atau Yang Ilahi dapat dipahami melalui
kesadaran universal, (Rosen, 2006;18).
Kendati demikian umumnya oleh para sejarahawan disepakati
bahwa Hinduisme, sebagai sebuah agama dan filsafat, memiliki
karakteristik sebagai berikut (Rosen, 2010; 19): Pertama, percaya
akan keilahian Weda, kitab suci paling tertua yang merupakan buku-
buku suci utama dari Hinduisme. Kedua, percaya akan yang Satu,
Realitas Tertinggi yang melingkupi semua, yang mewujud baik dalam
kekuatan impersonal yang disebut Brahmana, pun sebagai divinitas
personal. Ketiga, percaya akan sifat siklis waktu. Keempat, percaya
akan karma, hukum aksi dan reaksi, dengan mana setiap orang
menciptakan nasibnya sendiri. Kelima, percaya akan reinkarnasi atau
kelahiran kembali. Keenam, percaya akan realitas-realitas alternatif
dengan mahkluk hidup yang lebih tinggi – Allah dan pelbagai macam
manifestasinya – yang dapat ditemui/dikenal melalui penyembahan,
ritual-ritual, sakramen dan doa. Ketujuh, percaya akan guru (orang
bijak) – suri teladan hidup yang sangat berbakti kepada Allah dan
memiliki cara hidup yang baik. Kedelapan, percaya akan prinsip non-
9
Alam Pemikiran Timur

kekerasan (ahimsa) sebagai ungkapan cinta kepada semua ciptaan. Ini


mencakup gagasan tentang kesucian hidup dari seluruh ciptaan.
Kesembilan, percaya bahwa semua agama yang diwahyukan secara
esensial benar dan bahwa toleransi beragama adalah wujud dari
kebijaksanaan sejati. Kesepuluh, percaya bahwa mahkluk hidup
pertama-tama dan utama adalah entitas spiritual, sebuah jiwa dalam
tubuh. Konsekuensinya, cita-cita spiritual adalah esensi dan tujuan
nyata/riil dari hidup. Kesebelas, percaya bahwa sebuah sistim sosial
organik (Varnashrama) adalah esensial dalam memberfungsikan
kemanusiaan secara efektif dan wajar, dan bahwa sistim itu harus
dilandaskan pada kualitas intrinsik.

2. Asal-Usul Hinduisme
Sebagai sebuah paham, Hinduisme merupakan hasil penyatuan dan
perpecahan dari pelbagai macam gerakan religius. Hasilnya adalah
sebuah agama yang menunjukkan ciri-ciri yang sangat berbeda serta
bertentangan, (Ali, 2010; 5-7).
Oleh para sejarahwan diperkirakan bahwa sejarah Hinduisme
sudah berlangsung selama 5000 tahun. Dalam rentang waktu itu,
Hinduisme terbentuk terutama oleh tiga kebudayaan besar dengan
keyakinannya masing-masing. Pertama ialah budaya kaum Aryan atau
Arya (kaum bangsawan). Mereka dikenal sebagai penulis Weda.
Umumnya diperkirakan bahwa para “Aryan” yang berkulit kuning
langsat datang ke India pada tahun 1500 sM sebagai penakluk dan
penduduk. Mereka datang ke India dengan membawa serta aturan-
aturan dan keyakinan hidup yang kemudian didudukkan kepada
penduduk asli India yang berwarna gelap. Ada banyak teori yang
muncul berhubungan dengan tanah asal para Aryan. Tetapi umumnya,
tanpa bukti arkeologis, diyakini bahwa para Aryan berasal dari daerah
kutub Utara, yaitu daerah Skandinavia, Ukraina, Persia, Turki, dan
tempat lain di daerah Timur Tengah dan Asia Tengah. Bukti itu antara

10
Alam Pemikiran Timur

lain ditemukan dalam kemiripan bahasa, misalnya bahasa Avesta kaum


Zoroaster dan Rig-Weda kaum Hindu.
Kedua, tradisi-tradisi dari penduduk asli India, yakni suku-suku
adivasis yang telah tinggal dan berdiam sekitar 500.000 tahun lalu.
Salah satu pengaruh kaum adivasis yang diterima oleh Hinduisme
secara universal ialah ajaran tentang reinkarnasi (kelahiran kembali).
Ketiga, budaya ketiga yang turut membentuk dan mempengaruhi
perkembangan Hinduisme ialah budaya Dravida. Budaya Dravida
meliputi seluruh wilayah India Selatan dan diasumsikan lebih tua
dibanding budaya Weda (India Utara) yang berbahasa Sanskerta.
Lebih tuanya budaya Dravida itu antara lain ditemukan dalam fakta
bahwa orang-orang yang berbudaya Weda menyerap unsur-unsur
budaya Dravida. Para ahli filiologi membuat identifikasi dan
menemukan ada unsur-unsur Dravida dalam Rig-Weda dan teks-teks
Weda kemudian. Kendati demikian, banyak ritual, mitos serta praktik
dari budaya Dravida yang bebas dari pengaruh budaya Aryan. Tak
heran Hinduisme di India Selatan mempunyai banyak ciri yang tidak
terdapat di India Utara.
Akhirnya, harus disebutkan bahwa Hinduisme juga mendapatkan
pengaruh dari Islam, teristimewa pada waktu invasi Muslim ke India
sekitar tahun (1200-1575), dan Eropa selama penjajahan Inggris. Islam
berpengaruh terhadap kebebasan beragama dan kepercayaan akan
adanya satu Tuhan (monoteisme). Sementara pendudukan Inggris
selama 150 tahun di India telah menghasilkan banyak gerakan baru di
dalam Hinduisme, sehingga mengadopsi juga banyak unsur-unsur
asing ke dalam Hinduisme.

3. Teks-Teks Suci Hinduisme


Kata Veda atau Weda dapat dijejaki akarnya pada kata bahasa
Sanskrit “Vid” yang berarti “mengetahui” atau “pengetahuan.” Dalam
pengertian pragmatis, Veda menunjuk pada semua pengetahuan yang
kekal (Rosen, 2006, 49).
11
Alam Pemikiran Timur

Weda adalah sumber tunggal bagi Hinduisme. Tradisi Weda


disebut sruti yang berarti ajaran yang didapat via pendengaran atau
wahyu. Selama berabad-abad, ajaran Weda diwariskan turun-temurun
secara lisan dengan cara menghafal. Sebelum menjadi bahan pelajaran
bagi semua penganut Hindu, ajaran Weda pada awalnya diberikan
hanya untuk para resi atau arif-bijaksana, (Ali, 2010, 10-12).
Weda digunakan dalam arti “sempit” dan “luas.” Dalam arti sempit
Weda menunjuk pada keempat Samhita yang musti dipahami
berkaitan dengan ritual kurban (yajna) menurut kitab Weda. Weda
bukanlah sejarah atau ajaran suci, bukan juga catatan harian tentang
pengalaman spiritual pribadi. Ia lebih merupakan sebuah unsur
mendasar ritual kurban yang bersumber pada tradisi Weda.
Sementara dalam arti luas, Weda meliputi keempat Samhita
(kumpulan), yaitu: Rig-Weda, Yajur-Weda, Sama-Weda, Atharva-
Weda. Rig-Weda berisikan mantra-mantra, yaitu rumusan-rumusan
sakral yang penting dan tidak dapat diubah. Yajur-Weda berisikan
ajaran dasar tentang upacara yang harus diikuti. Sama-Weda berisikan
pengetahuan tentang rahasia nada untuk melantunkan kidung-kidung
yang hanya efektik bila dinyanyikan pada ketinggian nada yang pas.
Atharva-Weda berisikan kumpulan berbagai macam jimat dan mantra
yang umumnya berada di luar wilayah ritual kurban. Setiap Weda
terdiri dari tiga bagian: Brahmana, Aranyaka dan Upanishad.
Brahmana adalah bagian dari sruti yang berisikan penjelasan tentang
upacara kurban. Bagian Brahmana juga berisikan mitos-mitos yang
berkembang di kemudian hari. Aranyakas merupakan teks-teks dari
hutan Aranyaka. Bagian ini memuat refleksi dan tafsiran atas upacara-
upacara ritual. Sementara Upanishads atau bagian akhir dari Weda
adalah bagian berisikan refleksi tentang persoalan-persoalan utama
yang melandasi pemikiran dan praktik. Bagian ini ditulis dan
diperuntukkan bagi mereka yang tidak aktif lagi dalam kehidupan
sosial dan memilih menjadi pertapa atau fokus pada latihan rohani dan
hidup mistis. Berapa jumlah persis Upanishads amat sulit ditentukan.
12
Alam Pemikiran Timur

Terjemahan modern lazimnya terdiri dari 10-15 Upanishads. Sumber


lain menyebutkan ada 108 Upanishads, juga ada ratusan Upanishads
kecil atau sekunder.
Menurut Das Bhagavan, keempat Weda menunjuk pada empat
kebenaran. Rig-Weda berfokus pada pengenalan (cognition); Yajur-
Weda pada aksi atau tindakan (action); Sama-Weda pada keinginan
(desire); dan Athrva-Weda pada benih dan kesatuan (unity). Setiap
bagian Weda terbagi atas bagian-bagian berikut: Mantra (Samhita)
berkaitan dengan pengenalan; Brahmana berhubungan dengan
tindakan; Upanishad terhubung dengan keinginan; dan Tantra
(Upaveda) merupakan benih dan kesatuan. Kesatuan pengenalan akan
semua aspek itu akan menghantar orang untuk tiba pada Brahmana.
Kebenaran Brahmana diperoleh melalui keempat kebenaran Weda itu.
Dengan kata lain, pengenalan, keinginan dan tindakan adalah sarana
yang sama untuk mencapai moksha atau kebebasan spiritual, serta
pembebasan dari rasa sakit dan penderitaan.
Selain Weda, ada juga sejumlah teks-teks yang kendati tidak
dipandang sebagai “wahyu,” mempunyai kewibawaan karena ditulis
oleh tokoh yang penting dan dihormati. Inilah yang disebut dengan
Smriti atau tradisi suci. Smriti mempunyai nilai penting yang praktis
dalam kehidupan kaum Hindu. Teks-teks smriti berisikan aturan-
aturan hidup yang berefek langsung daripada sruti.
Smriti memiliki pengertian luas dan sempit. Dalam arti luas, smriti
meliputi Ithisa-Purana, Epic Ramayana dan Mahabhrata, serta
Bhagavad Gita bersama dengan 18 Puranas yang selain mengandung
mitologi dan legenda, juga berhubungan dengan perilaku yang benar
dari pengikut berbagai aliran spiritual. Ithasa-Purana adalah dasar
pelbagai aliran keagamaan yang berkembang pada era setelah Weda.
Sementara dalam arti sempit smriti terdiri dari Dharmashastra, yaitu
teks yang memberikan penjelasan secara detail mengenai kewajiban
dan hak umat Hindu sesuai status sosial mereka.

13
Alam Pemikiran Timur

4. Sejarah Ringkas Hinduisme


Salah satu alasan mengapa Hinduisme sulit untuk didefinisikan,
seperti sudah diuraikan di atas, ialah karena tiadanya data pasti dan
akurat mengenai kapan persis Hinduisme lahir. Para penulis
Hinduisme modern (asal India), tak jarang karena pengaruh sarjana
Barat, condong mereduksi Hinduisme pada Vedanta Shankaracarya.
Mereka memandang Hinduisme sebagai sebuah proses bertahap dari
tahapan paling rendah yang didominasi dengan ritualisme sampai pada
mistisisme paling canggih. Pola perkembangan ini lazimnya bermula
dari agama suku yang politeistik ke agama etis; selanjutnya dari agama
etis ber-evolusi ke penyembahan kepada satu Tuhan yang personal;
akhirnya dari devosi kepada satu Tuhan berpindah ke realisasi
identitas diri dengan Tuhan yang impersonal. Upaya ini pun masih
bersifat spekulasi yang tidak mempunyai landasan sejarah yang jelas
dan akurat.
Kendati demikian, umumnya sejarahwan membagi sejarah
perkembangan Hinduisme dalam empat masa, yakni masa Weda, masa
reaksi, masa pertengahan dan masa modern.
4.1 Masa Weda (1500 sM – 300 sM)
Masa Weda ditandai dengan masuknya kaum Aryan ke India
dengan membawa serta kepercayaan mereka kepada masyarakat lokal.
Di bawah pengaruh kepercayaan penduduk asli, pemujaan kaum
Aryan berkembang menjadi dua aliran yang berbeda, yaitu ritualistik
dan filosofis. Di satu pihak pemujaan terhadap Alam menempatkan
ritual kurban yang dipimpin oleh para pendeta menjadi hal yang
terpenting. Di lain sisi, tekanan pada dimensi ritual mendorong aliran
filosofis untuk menemukan kehadiran Yang Absolut, Roh dalam
kehidupan batin manusia. Dewa utama yang dikenal dan disembah,
sebagaimana ditemukan dalam Rig-Weda adalah Indra dan Agni.
Indra adalah dewa pembebas (kosmik), pahlawan (duniawi), penguasa

14
Alam Pemikiran Timur

alam pikiran ilahi (svarloka). Agni adalah dewa api, dewa universal,
penikmat dan pemurni, sering disebut juga dewa sumber hidup. Selain
Indra dan Agni ada juga dewa Soma dan Varuna. Soma adalah dewa
kenikmatan Ilahi (Divine Ananda), atau rajanya anggur keabadian.
Sementara Varuna adalah dewa yang bertugas di surga. Varuna
berasal dari kata “vr” yang berarti “meliputi, mencakup,” seperti
langit. Karena dalam Rig-Weda Varuna dipandang sebagai dewa yang
melingkupi semua, (Ali, 2010; 15-18).
Masa Weda dapat dibagi menjadi 3 bagian. Pertama, periode
Weda Samhita. Ditandai dengan kitab-kitab Weda: Rig-Weda, Sama
Weda, Yajur Weda dan Atharusa Weda. Samhita adalah kumpulan
mantra karya para penyair. Tujuan adanya mantra ialah untuk memuji
para dewa. Kedua, periode Brahmana. Ditandai dengan kitab-kitab
Brahmana yang berisi aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban
keagamaan. Fokusnya pada korban pada imam dan artinya. Pada
periode inilah terjadi pembagian masyarakat dalam 4 strata atau kasta:
Brahmana (para imam), Ksatrya (pemerintah), Waisya (para pekerja),
Sudra (rakyat jelata). Perhatian pada periode ini terutama ditujukan
kepada manusia. Setiap orang, entah orang baik atau jahat setelah
wafat diyakini akan dilahirkan kembali. Ketiga, periode Upanisad.
Ditandai dengan kitab-kitab Upanisad. Awalnya Upanisad berarti
duduk di bawah kaki guru. Dalam perkembangan ia menunjuk pada
ajaran sang guru yang bersifat rahasia. Yang menonjol pada kitab
Upanisad adalah ajarannya bercorak monistis dan absolutistis.
Upanisad mengajarkan bahwa Brahman adalah realitas tertinggi. Ia
adalah realitas transenden. Ia menjelmakan diri dalam segala yang
tampak. Ialah pencipta dunia. Dari Brahmanlah segalanya mengalir.

4.2 Masa Reaksi (300 sM – 1000 M)

15
Alam Pemikiran Timur

Tekanan berlebihan pada upacara ritual yang muncul dalam masa


Weda ternyata tidak dapat memuaskan aspirasi keagamaan manusia.
Hal ini memunculkan reaksi dari sekelompok kaum arif-bijak yang
bermuara pada sikap memisahkan diri dengan karakteristik sebagai
berikut: a). Tekanan pada moralitas, pengendalian diri dan kerja yang
baik. b). Interpretasi rasional akan masalah kehidupan manusia. c).
Penolakan terhadap ritualisme serta menghormati kehidupan dunia
hewan. d). Percaya akan Tuhan personal, kepadanya siapa manusia
dapat memuja dan berbakti.
Wujud dari reaksi ini ialah munculnya aliran ateistik dan teistik.
Yang tergolong aliran ateistik ialah Jainisme dan Buddhisme (akan
dibahas pada Bab II). Jainisme berasal dari kata Jina yang berarti:
orang yang telah mengalami kemenangan rohani. Jainisme didirikan
oleh Wardhamana. Aliran ini terbagi atas dua, yakni Swetambara yang
lebih lunak dan Digambara yang lebih keras. Inti ajarannya ialah:
pertama tentang Substansi. Jainisme mengajarkan bahwa ada 2
substansi yang kekal ialah Ajiwa (sifatnya tidak berkesadaran, tidak
beruang, dan lain-lain) dan Jiwa (zat yang hidup dan kekal, tak
terkatakan dan tak terhitung). Hakikat jiwa adalah pengetahuan,
intuisi, kuasa dan kebahagiaan. Kedua, tentang Pengetahuan (Jnana).
Pengetahuan adalah upaya mencahayai diri. Jenisnya ada dua:
pengetahuan langsung yang diperoleh via batin dan akal, dan
pengetahuan tak langsung yang diperoleh lewat panca indra. Ketiga,
tentang realitas: realitas itu bersifat dinamis dan selalu berubah.
Yang tergolong aliran teistik adalah Shaivaisme dan Vaishnavisme.
Kendati memainkan peranan penting dalam perkembangan Hinduisme
selanjutnya tetapi asal-usul kedua aliran ini sulit untuk dilacak.
Shaivisme atau agama Shiva agaknya muncul sekitar abad ke-6 sM
dengan menyembah dewa Rudra dalam Weda. Tetapi posisi dewa
Rudra kemudian digantikan oleh Shiva yang adalah dewa non- Aryan.
Shiva dapat masuk dalam tubuh seseorang yang sudah mati serta
muncul dalam bentuk manusia untuk mewahyukan agama baru.
16
Alam Pemikiran Timur

Ajaran tentang devosi atau bakti kepada Tuhan yang diajarkan oleh
Bhagavata konon dikatakan diwahyukan oleh Vasudeva-Krishna.
Ajaran ini disebut “agama devosi tunggal” (Akantika-Dharma). Dalam
kitab Mahabharata dikatakan bahwa ajaran bhakti diterima Arjuna
pada awal perang Kuruksherta. Hal ini terkait dengan Bhagavad-Gita
yang ditulis sekitar abad ke-4 atau ke-3 sM. Kelak Vasudeva-Krishna
diidentikkan dengan dewa Wishnu dan seluruh gerakan berkembang
menjadi agama Wishnu (Vaishnavisme). Sementara epos Mahabharata
dan Ramayana lantas menjadi sarana pemikiran religius serta bhakti
bagi masyarakat umum. Dalam Mahabharata, dilukiskan
perkembangan agama Shiva dan agama Wishnu yang menyatu dalam
cerita epos. Rama sebagai figur utama dalam epos Ramayana
dilukiskan menjadi jelmaan (avatara) dari dewa Wishnu. Teks
Ramayana lantas dijadikan teks suci bagi kaum Vaishnavisme.
4.3 Masa Pertengahan (1000 – 1800 sM)
Ciri utama masa ini adalah masuknya pengaruh Islam yang
dimulai dengan jatuhnya India ke tangan penyerangan pasukan Islam
dibawah pimpinan Mahmud Ghazu. Pada tahun 1192 penguasa Rajput
di Utara jatuh, dikalahkan oleh Muhammad Ghuri. Menyusul sesudah
itu adalah diberlakukannya aturan Islam oleh dinasti Budak (Slave
Dynasty) tahun 1200 sampai akhirnya runtuh pada tahun 1858.
Kehadiran Islam di India memberikan pengaruh ganda kepada
Hinduisme. Di satu sisi, Islam mendorong perpindahan agama; di lain
pihak Islam mendorong tendensi berkembangnya masyarakat yang
egaliter dan paham monoteistik bagi kaum Hindu. Kondisi ini lantas
memicu munculnya tokoh-tokoh yang berusaha menjembatani jurang
pemisah antara keduanya. Mereka antara lain: Kabir, Guru Nanak dan
Dadu. Kabir menulis sekumpulan kidung yang dikenal dengan nama
“Bijak.” Dadu, pengikut Kabir dan pendiri Parabrahmana-sampradaya,
bercita-cita menyatukan semua agama menjadi satu. Dia mendorong
para pengikutnya untuk menjadikan semua teks devosional dari
17
Alam Pemikiran Timur

berbagai aliran menjadi satu. Guru Nanak menulis teks suci kaum Sikh
(Grant Sahib), yang bermuatkan kidung-kidung yang ditulis oleh
guru-guru mereka serta orang-orang religius lainnya, entah Hindu pun
Islam.
Ciri paling menonjol dari masa Islam ini adalah: berkembangnya
agama Wishnu (Vaishnavisme). Dua nama besar, yakni Vallabha
(1479-1531) dan Caitanya (1486-1531) mengajarkan devosi yang
fokus pada Krishna dan Radha. Di wilayah Maharastra Vaishnavisme
dipopulerkan dan disebarkan oleh Namadeva (abad 14) dan Tukaram
(abad 17), sementara di utara ia berkembang dalam wujud
penyembahan kepada Rama. Selain itu di bawah pengaruh Islam
berkembang pula penolakan atas pemujaan terhadap patung atau
gambar.
Dampak dari masuk Islam ialah pertama, berkembangnya gaya
hidup sebagai pertapa atau pengunduran diri dari kehidupan duniawi
sebagai reaksi terhadap keputusasaan politik dibawah kekuasaan
Islam. Kedua, berkembangnya gerakan Caitanya pada abad ke -15
yang menekankan pembacaan Weda secara komunal guna
menghindarkan Hinduisme menjadi agama rumah atau ritual belaka.
Gerakan devosional ini menaruh perhatian pada penyelamatan dalam
nama Tuhan.
Kendati demikian harus dicatat bahwa di India Selatan Hinduisme
menunjukkan perkembangan yang berbeda. Sejarah merekam bahwa
ketiga aliran utama Vedanta yang diwakili oleh Shankara (abad 9),
Ramanuja (abad 12), dan Madhva (abad 13) muncul di Selatan.
Ramanuja dan Madhva kendati bersifat teistik, namun tetap mengikuti
konsep filsafat Vedanta. Jadi tidak semata-mata bersifat devosional.
Singkatnya, wilayah Selatan memperlihatkan kekuatan dan daya hidup
yang lebih besar tidak hanya secara religius tetapi juga politis.
Ada dua gerakan politik berbasis Hindu yang cukup berhasil
gemilang pada masa ini, yakni kerajaan Vijayanagar di Selatan dan
kerajaan Marathas di bagian Barat (lepas dari kaum Sikh di Punjab).
18
Alam Pemikiran Timur

Di bawah pengaruh kerajaan Vijaynagar, terjadi kebangkitan kembali


studi atas Weda dan komentar Hindu atas Weda yang dikerjakan oleh
Sayana. Sementara Shivaji dinobatkan sebagai tokoh yang ahli di
bidang ritual Weda dan mengklaim diri sebagai pelindung Weda.
4.4 Masa Modern (1800 – 1947)
Masa ini ditandainya dengan masuknya pengaruh kebudayaan
Barat (Inggris). Secara kualitatif masuknya Inggris menghadirkan
situasi berbeda di India (Hinduisme). Di satu pihak, kehadiran Inggris
mengurangi kekuatan Islam. Di pihak lain Hinduisme menghadapi
kekuatan baru, yakni kekristenan dan sains, sekularisme, dan
humanisme (Ali, 2010; 26-28).
Bahkan atas inisiatif orang-orang Baratlah pengetahuan atas
Hinduisme dan studi intensif atas Weda digiatkan kembali. Max
Muller, misalnya, adalah satu figur yang mengedit Rig-Weda di masa
modern. Secara umum bisa dikatakan bahwa pengaruh Barat telah
mendorong penganut Hinduisme untuk menyadari kemungkinan
mereka untuk menjaga dan melestarikan niali-nilai tradisional
Hinduisme, walaupun harus menyesuaikan diri dengan mentalitas
modern.
Dampaknya ialah munculnya berbagai gerakan reformasi
mengusung isu tentang Weda dan otoritas Weda. Tokoh reformasi
Hindu pertama ialah Raja Rammohun Roy yang menaruh perhatian
pada usaha membenarkan monoteisme bersumber pada Weda. Sekitar
tahun 1830 ia mendirikan gerakan Brahmo Samaj untuk melanjutkan
perjuangannya. Kemudian muncul pada akhir abad 19 Swami
Dayananda Saraswati yang mendirikan gerakan Arya Samaj di
Bombay dengan tujuan memperkuat kemutlakan Weda yang telah
digagas oleh gerakan Brahmo Samaj.
Akan tetapi menjelang akhir abad 19 dan awal abad 20 Hinduisme
mengalami suatu proses pembalikan. Jika sebelumnya penganut
Hinduisme keras mempertahankan otoritas Weda, maka pada masa ini,
19
Alam Pemikiran Timur

di bawah tekanan dan pengaruh dari Kekristenan yang rasional,


reformis dan modernis, tekanan tidak lagi diberikan pada otoritas
Weda, tetapi pengalaman religius. Sri Ramakrishna, misalnya menolak
Weda dan menggunakannya sebagai sebuah simbol. Tokoh-tokoh
Hinduisme modern lain seperti Swami Vivekananda, B.G. Tilak
(1856-1920), R.Tagore (1861-1941), Sri Aurobindo (1872-1950), dan
Mahatma Gandhi (1869-1948) semuanya mengambil inspirasi dari
Weda tetapi tidak lagi mementingkan otoritas Weda.

5. Realitas Hidup dan Self: Weda dan Upanishad


Teks-teks Hindu paling awal di India, yakni dan Rig-Weda dan
Upanishad (1500-1600 SM) merupakan teks-teks yang bersifat
refleksif, mendalam dan rumit. Isinya berupa hasil permenungan
tentang beragam misteri kehidupan selama berabad-abad. Demikian
selain memberikan pemahaman mengenai bagaimana hidup harus
dijalani, teks-teks ini juga dijadikan inspirasi dan rujukan bagi
masyarakat India, khususnya para penganut Hinduisme hingga kini.
Karena alasan itu, maka uraian pada bagian ini akan memfokuskan
perhatian pada pandangan tentang Realitas dan Self (diri)
sebagaimana termuat dalam Weda dan Upanishad (Bagian ini disadur
dari John M. Koller, Filsafat Asia, Pengantar dan Penerjemah:
Donatus Sermada, Maumere: Penerbit Ledalero, 2010, hlm. 28-48).
5.1 Pemikiran Weda
Kitab Weda berisikan ayat-ayat kebijaksanaan yang membentuk
inti liturgi suci India. Sebagai Kitab Suci yang diilhamkan kepada
tokoh-tokoh yang sudah mencapai eksistensi hidup, Weda dipandang
sebagai kitab yang nir-waktu dan nir-pengarang. Ia dipandang lintas
waktu karena diwahyukan tidak saja kepada manusia pertama, tetapi
juga kini kepada semua orang yang hidupnya telah mencapai inti
terdalam kehidupan. Sementara ia dianggap nir-pengarang karena

20
Alam Pemikiran Timur

diwahyukan bukan oleh pribadi tertentu, melainkan oleh realitas itu


sendiri. Rig-Weda, merupakan kumpulan tertua dari ayat-ayat
kebijaksanaan ini.
Sebagai teks suci, Weda memiliki peran dan orientasi ritual yang
sangat penting dan kuat dalam masyarakat India, karena ia
menguduskan dan memberi makna atas hidup via penciptaan kembali
eksistensi hidup secara ritual dalam bentuk pendarasan, pemadahan
dan nyanyian ayat-ayat suci Weda. Nampak jelas kiranya di sini
bahwa ayat-ayat suci Weda dianggap sebagai yang mempunyai
kekuatan, karena selain membarui hidup dengan energi suci yang
mengalir dari upacara-upacara liturgis, ia juga berperan menyatukan
segalanya. Weda sendiri mengisahkan bahwa ketika ayat-ayat itu
didaraskan, dikidungkan dan dinyanyikan, maka semua ciptaan akan
digerakkan untuk berpartisipasi dalam kebijaksanaan dan energi
realitas ilahi.
Mengingat pentingnya kedudukan Weda dalam liturgi suci India,
maka baik kiranya akan ditampilkan beberapa hal yang menjadi isi
Weda.
a. Dewa-Dewi
Banyak ayat Weda yang berbicara dewa-dewi. Hal ini tidak harus
dimengerti bahwa ayat-ayat itu tentang berisi tentang himne atau
mantra semata. Karena dibaliknya terdapat pemikiran yang mendalam
tentang realitas. Dasarnya, para dewa-dewi itu dipandang bukan saja
sebagai rekaan manusia, tetapi sebagai simbol kekuatan dasariah
eksistensi. Mereka (dewa-dewi) merepresentasikan kekuataan-
kekuatan (kata-kata, kesadaran, hidup, air, angin dan api) yang
menciptakan dan merusakkan hidup, yang mengontrol hidup dan
matinya eksistensi. Dalam Weda dikenal beberapa dewa-dewi, antara
lain:
Agni atau dewa api adalah dewa utama dan penting dalam Weda.
Term agni berarti “api”. Agni adalah lambang kekuatan api yang
21
Alam Pemikiran Timur

dahsyat. Ketika bisa dikendalikan, maka api bisa berfungsi menjadi


pemberi energi bagi hidup (mengubah sayur, ikan dan daging menjadi
makanan). Namun ia bisa berfungsi sebaliknya, yakni menjadi
pemusnah hidup (menghanguskan rumah dan membakar manusia),
tatkala gagal dikontrol oleh manusia. Nah, karena sifatnya yang
transformatif ini, entah kreatif maupun destruktif, maka persembahan-
persembahan kepada Agni dalam upacara-upacara suci Weda, tak lain
merupakan usaha untuk mengendalikan transformasi eksistensi yang
mempengaruhi hidup manusia.
Indra adalah dewa yang menyerupai manusia. Indra adalah dewa
petir. Ia adalah simbol dari keberanian dan kekuatan yang diperlukan
manusia untuk melawan musuh-musuh mereka dan untuk melindungi
keluarga dan komunitasnya.
Vac berarti “perkataan.” Ia adalah dewa komunikasi. Vac
menghadirkan tidak hanya kata-kata, namun pula kesadaran utama
yang memungkinkan munculnya kata-kata. Pengetahuan, medium
paling tepat yang dipunyai manusia untuk mengendalikan eksistensi,
pada dasarnya, adalah Vac, yakni kesadaran yang bekerja melalui
ucapan kata-kata.
Selain Agni, Indra dan Vac, masih ada dewa-dewi lain, simbol
kekuatan paling esensial yang dialami bangsa Veda. Hanya saja,
kendati merepresentasikan kekuatan-kekuatan eksistensi, para dewa ini
tidak dipandang sebagai pengasal atau pencipta eksistensi. Konsep ini
(pencipta eksistensi) malah dianggap sesuatu yang asing bagi Rig-
Weda. Karena bagi mereka inteligensi dan bahan-bahan material dari
alam semesta dipandang sebagai sesuatu yang tidak terpisahkan satu
sama lain.
b. Rita: Aturan Tata Tertib Alam
Karena inteligensi dan bahan-bahan material dari alam semesta
dilihat sebagai satu kesatuan yang erat, maka alam semesta dipandang
sebagai satu totalitas yang teratur baik. Ketertiban itu, yang hadir
22
Alam Pemikiran Timur

dalam bentuk siklus peredaran musim, dan tahap-tahap perkembangan


hidup dari kecil sampai dewasa, menurut Weda, bersumber pada
hakikat terdalam eksistensi itu sendiri. Tata tertib aturan itu, yakni
Rita, hadir pada awal mula segala sesuatu, menjadi landasan untuk
segala norma dan aturan hidup. Dialah pengasal kodrat dan prinsip
masyarakat, moralitas dan keadilan. Karena itu, Rita berperan
mengatur berfungsinya segala sesuatu sambil memberi struktur dan
ritme bagi eksistensi. Alam, para dewa dan pribadi-pribadi, semuanya
tunduk pada tuntutan Rita. Apa yang searah dengan Rita, berkembang,
sebaliknya, apa yang tidak sejalan dengan Rita akan binasa.
Varuna, kadang dipandang sebagai raja para dewa, adalah penjaga
ilahi dari Rita. Ia bertugas menjamin beroperasinya tata tertib kosmik
itu dalam segala aspek dan tahapannya, seraya menghukum semua
yang melanggar tata tertib suci alam semesta. Ayat dalam Weda
berikut kiranya menggarisbawahi peran Varuna itu: “Oh Varuna, jika
kami melanggar tata tertibmu melalui kesembronoan kami, janganlah
menghukum kami, ya Dewata, oleh karena pelanggaran itu,” (Rig
Weda 7:89.5).
c. Asal Usul Eksistensi
Dalam pujian kepada Pribadi Kosmik, si bijak merenungkan
munculnya tata tertib suci alam semesta; tata tertib itu bersumber pada
tata tertib yang inheren ada pada pribadi kosmik. Sering orang
berpandangan bahwa eksistensi alam semesta lahir dari transformasi
eksistensi yang lebih dahulu ada, yakni pribadi kosmik.
Pertanyaannya, dari mana eksistensi yang lebih dahulu ada itu berasal?
Dari apakah asalnya eksistensi paling awal itu? Ketika berefleksi
tentang pertanyaan-pertanyaan itu, para bijak akhirnya sampai pada
pemahaman yang paling penting dalam Rig Weda, yakni: dibalik
eksistensi dan non eksistensi ada realitas yang tidak terbagi, realitas
yang lebih mendasar daripada realitas yang ada dan realitas yang tidak
ada.
23
Alam Pemikiran Timur

Ayat pertama dari Rig Weda mengenai Pujian tentang Asal-Usul


berikut kiranya mengungkapkan penelusuran para bijak akan apa yang
berada mendahului eksistensi:
Pada awal mula tidak ada eksistensi, juga tidak ada non-
eksistensi; tidak ada dunia; juga tidak ada langit di balik
itu. Apa yang menggerakkan? Dia mana? Siapa
melindunginya? Apa sudah ada air, dalam dan tak
terselami? (Rig Weda 10:129:1).
Dari ayat ini jelas nampak bahwa bagi si bijak bila kita ingin
mencari awal mula yang pasti dari segala sesuatu, sebelum semua
yang lain ada, maka kita akan menemukan bahwa sumbernya itu
bukan ada pada eksistensi dan bukan pula pada non-eksistensi. Jika
sumber itu adalah sesuatu yang sudah ada, maka ia bukan pengasal
pertama, yaitu asal mula yang absolut. Olehnya, kita tidak dapat
menegaskan bahwa eksistensi adalah sumber eksistensi.
Sebaliknya, bila kita mengatakan bahwa eksistensi ini bersumber
pada non-eksistensi, maka kita bertentangan dengan pengalaman.
Karena pengalaman mengajarkan kepada kita bahwa hal-hal baru
lazimnya berasal dari apa yang sudah dulu ada melalui proses
transformasi. Tidak pernah ia muncul dari ketiadaan. Nah, kalau bukan
eksistensi dan bukan non eksistensi yang menjadi sumber awal dari
segala sesuatu, lantas dari mana?
Ketika sampai pada titik buntu ini, si bijak lantas mengarahkan
refleksinya pada pokok: Bagaimana kita dapat menjelaskan dari mana
asal segala sesuatu? Dari pengalaman kita belajar bahwa terdapat
benda-benda yang bergerak, dan bahwa perubahan merupakan hal
yang fundamental dari eksistensi. Itu berarti harus ada sumber awal
dari gerak atau perubahan itu, yakni sesuatu yang menjadi penggerak
pertama serentak menjadi pelindungnya. Pertanyaannya, apa
penggerak pertama itu?

24
Alam Pemikiran Timur

Ayat kedua 10:129 menjawabnya dengan menegaskan bahwa yang


mendahului eksistensi dan non-eksistensi, sebelum ada malam atau
siang, sebelum ada kematian dan atau kehidupan, ialah kesatuan
primordial.
Selanjutnya tidak ada kematian dan juga tidak ada
kehidupan kekal. Tidak ada tanda malam atau siang.
YANG ESA bernapas, tanpa napas, dan denyutnya sendiri;
lain dari itu tidak ada sesuatu pun, (Rig Weda 10:129:2).
Oleh si bijak kesatuan primordial itu diberi nama YANG ESA,
karena ia melebihi apa yang ada dan apa yang dapat diberi nama.
Apakah yang mendorong si bijak hingga tiba pada anggapan bahwa
harus ada sesuatu yang melampaui eksistensi dan non-eksistensi?
Jawabannya ialah karena si bijak berpikir tentang eksistensi dan non-
eksistensi sebagai pasangan yang saling mendukung dan saling
mengandaikan. Keduanya, ibarat dua paruh (paruh negatif dan paruh
positif), dari satu keseluruhan yang dibagi dalam dua bagian. Jika
tidak ada satu keseluruhan yang ada lebih dahulu untuk dibagi, maka
tidaklah mungkin ada kedua paruh itu. Dengan kata lain, paruh
negatif/kiri dan paruh positif/kanan tidak dapat jika tidak terdapat satu
totalitas yang mendahuluinya sebagai yang dibagi. Atas cara yang
semirip, si bijak berpikir tentang eksistensi dan non eksistensi sebagai
hasil pembagian dari satu totalitas yang telah lebih dulu ada. Namun
keterbatasan bahasa, totalitas itu, seperti terungkap dalam ayat ini,
tidak dapat dilukiskan secara langsung atau tidak dapat dijadikan
rujukan.
Karena keterbatasan itu, maka si bijak lalu mengalihkan
perhatiannya pada bahasa paradoks untuk mendekati rahasia tentang
unitas asali yang merupakan sumber awali dari setiap hal. Dalam
bahasa yang paradoks, si bijak mengisahkan bahwa sebagai sumber
hidup, sumber primordial itu bernapas, namun tidak bernapas; ia tidak
bergerak, tetapi bergerak. Ia adalah penggerak pertama yang tidak
digerakkan, yang ada lebih dahulu dari ciptaan.
25
Alam Pemikiran Timur

Melengkapi hal itu, maka si bijak dalam ayat 3 menegaskan bahwa


pada awalnya tak ada sesuatupun yang dapat dilihat atau dibedakan.
Bahkan sumber yang menjadi permulaan segalanya tersembunyi –
seperti kegelapan disembunyikan oleh kegelapan. Namun berkat tapas,
yaitu energi upacara yang ampuh dan yang memiliki kemampuan dan
kekuatan untuk mengubah, kegelapan atau sumber yang tak
tertampakkan itu dapat disibakkan sebagai alam semesta.
Kemudian ada kegelapan, yang tersembunyi dalam
kegelapan. Semuanya ini merupakan energi yang tak
terbedakan. YANG ESA, yang disembunyikan oleh
kekosongan, melalui kekuatan energi panas ditampakkan,
(Rig Weda 10:129;3).
Pertanyaannya, dapatkah sumber primordial itu bisa diketahui?
Ayat kelima dan keenam menyatakan bahwa sumber asali dunia
mungkin tidak dapat diketahui. Barangkali ia tetapi tinggal selamanya
sebagai sebuah misteri, sebuah rahasia.
Siapa yang sungguh tahu? Siapa dapat berkata-kata di
sini? kapan ia lahir dan dari mana asalnya – ciptaan ini?
Dewa-dewi ada lebih kemudian daripada penciptaan
dunia ini. Karena itu siapa yang tahu dari mana asal
usulnya? Dari sanalah ciptaan itu muncul. Entah ciptaan
itu bersatu dengannya atau tidak, ia yang melihatnya di
langit tertinggi, hanya Dialah yang tahu – atau barangkali
Ia pun tidak tahu, ( Rig Weda 10:129:5-6).
5.2 Pemikiran Upanishad
Dibanding Weda, Upanishad lebih bersifat filosofis. Karena
Upanishad selain menyodorkan penjelasan atas prinsip-prinsip dasar
eksistensi, namun juga alasan-alasan dibalik prinsip-prinsip tersebut.
Hanya saja analisa yang dihadirkan bukanlah sebuah formal mengenai
kriteria kebenaran dan relasi antara kebenaran dan bukti, melainkan

26
Alam Pemikiran Timur

pengalaman pribadi atas apa yang diklaim yang dipandang sebagai


bukti yang memadai untuk kebenaran klaimnya. Tak heran, Upanishad
condong lebih menekankan isi visi resi dibanding medium untuk
membenarkan visi itu. Artinya, klaim-klaim dalam Upanishad dilihat
bukan sebagai teori-teori filsafati yang musti diabsahkan, melainkan
lebih sebagai laporan tentang pengalaman personal para resi.
Pengalaman para resi itulah yang mengabsahkan klaim-klaim yang
telah dibuat.
Ada dua pertanyaan kunci yang menjadi fokus refleksi Upanishad:
Apa kodrat yang benar dari realitas tertinggi dan siapa aku pada
lapisan yang paling dalam dari eksistensiku? Pertanyaan-pertanyaan
ini mengandaikan adanya perbedaan antara apa yang tampak sebagai
yang riil dan apa yang sungguh-sungguh riil atau antara yang seolah-
olah nyata dan apa nyata-nyata riil. Pertanyaan-pertanyaan ini serentak
membimbing kita pada beberapa isi pokok Upanishad berikut ini.
a. Pencarian terhadap Brahman
Sejak awal para resi percaya bahwa harus ada realitas tertinggi
atau sesuatu yang darinya segala sesuatu yang lain berasal dan
mendapatkan keagungannya yang disebut Brahman yang berarti “yang
membuat menjadi agung.” Karena itu mereka berusaha untuk
mencarinya. Di awal pencarian, seperti direkam Upanishad, Brahman
itu diserupakan dengan benda-benda alam seperti bulan dan matahari,
atau fungsi-fungsi psikologis tertentu dari manusia. Namun segera
mereka menyadari bahwa bila Brahman itu adalah realitas tertinggi,
maka tidak mungkin ia akan dibatasi, karena tidaklah mungkin ada
sesuatu yang melebihi apa yang bisa membatasinya. Demikian mereka
berusaha untuk menggambarkan realitas yang tertinggi itu dengan via
negativa.
Dari perspektif via negativa, Brahman mendapatkan pelbagai
gambaran. Menurut Yajnavalkya, Brahman dimengerti sebagai yang
tak terselami, tidak dapat diubah, tidak dapat dilukai, tidak dapat
27
Alam Pemikiran Timur

digenggam. Sementara menurut Katha Upanishad, Brahman itu tidak


dapat didengar, tidak dapat dilihat, tidak dapat dihancurkan, tidak
dapat dirasa, tidak dapat dicium, tanpa awal dan tanpa akhir, dan
terutama, ia “lebih agung dari yang agung.” Akhirnya, oleh Mundaka
Upanishad, Brahman digambarkan sebagai berikut:
Tidak dapat dilihat, tidak dapat dimengerti, tanpa asal-
usul, tak berwarna, tanpa mata atau telinga, tanpa tangan
atau kaki, tak berkesudahan, merangkum segala sesuatu
dan ada di mana-mana, itulah ia yang tidak dapat
berubah, yang dipandang si bijak sebagai sumber dari
segala sesuatu yang ada.
Bila Brahman adalah pengasal bagi ruang, waktu dan kausalitas,
maka logisnya ia tidak bisa dipandang sebagai sesuatu yang dibatasi
oleh ruang, waktu dan kausalitas. Ia justru berada melampaui semua.
Ia melampuai pengalaman empirik. Karena Brahman melebihi
pemikiran, maka ia tidak bisa dipahami oleh pemikiran. Tak ayal,
hakikatnya tetap tak terhampiri dan rahasia.
b. Pencarian akan Self Tertinggi (Atman)
Sambil mencari Self tertinggi, para resi juga menaruh perhatian
pada pencarian akan self. Upaya ini kiranya memperlihatkan bahwa:
Pertama, self itu lebih dari sekadar materi. Ia lebih dari sekadar tubuh
yang bisa dilihat dan disentuh. Kedua, amat jelas juga kiranya betapa
para pemikir Upanishad membedakan antara self yang tampak dan
Self yang sebenarnya. Dan pencarian ini teristimewa dituntun oleh
pernyataan berikut:
Self (Atman) yang bebas dari kejahatan, yang bebas dari
usia lanjut, yang bebas dari kematian, yang bebas dari
kesusahan, yang bebas dari lapar dan dahaga, yang
menginginkan hanya yang riil, yang memikirkan hanya
kebenaran, ia harus dicari, ia sajalah yang harus

28
Alam Pemikiran Timur

dihasratkan untuk dimengerti. Ia yang telah menyadari


dan mengerti Self ini, ia memperoleh seluruh dunia dan
segenap keinginan (Chandogya Upanishad, VII.71).
Pertanyaan yang perlu dijawab ialah: apakah Self yang
mengagumkan serentak penuh misteri itu, Self yang ada dibalik
penampakan fisik belaka? Jawaban atas pertanyaan coba diberikan
oleh beberapa resi Upanishad. Usaha pertama diberikan oleh resi dari
Taittiriya Upanishad. Menjawab pertanyaan di atas para resi Taittiriya
berusaha mengarahkan perhatian mereka pada berbagai macam aspek
dan fungsi pribadi. Awalnya, Self tertinggi itu dipikirkan sebagai
tubuh, namun segera mereka menyadari bahwa kalau Self diserupakan
dengan tubuh, maka ia tidak ada bedanya dengan makanan karena
tubuh itu sekadar makanan yang dicerna. Karena alasan ini, mereka
kemudian memikirkan Self sebagai makanan yang hidup. Akan tetapi
mereka menemukan bahwa kendatipun pikiran ini membantu mereka
membedakan benda hidup dari benda mati, tetapi hal itu tidak merujuk
pada Self tertinggi, karena seorang lebih daripada sekadar makanan
yang hidup. Individu pada kenyataan bisa melihat, mendengar, merasa
dan lain-lain. Kalau demikian, Self harus dipikirkan dalam bingkai
kemampuan mental untuk mencerap. Tetapi pemahaman seperti ini
pun tidak memadai, karena Self tertinggi itu lebih luas dari berpikir
dan mengerti. Bahkan self yang berpikir dan memahami pun ditolak
sebagai Self tertinggi, karena berpikir dan mengerti pun pasti
disebabkan atau diasalkan dari sesuatu yang lain, sebagaimana ditulis
Taittiriya Upanishad, “berbeda dari dan dalam sesuatu yang
merupakan pengertian, itulah Self yang adalah kebahagian,” (II.5.1).
Uraian di atas kiranya memperlihatkan kepada kita betapa upaya
mencari Self tertinggi pada hakikatnya merupakan perkara menukik
lebih dalam ke keberadaan manusia. Materi/tubuh dipandang lebih
sebagai sesuatu yang membungkus kehidupan, yang pada gilirannya
menyelimuti self indrawi. Lebih dalam dari self indrawi adalah
29
Alam Pemikiran Timur

kegiatan intelektual. Namun masih lebih menukik dari kegiatan


intelektual adalah kebahagiaan sejati. Pada titik ini jelas kiranya,
tampak betapa Self tidak boleh disamakan secara eksklusif dengan
salah satu bentuk yang lebih rendah dari pribadi, namun harus
dipikirkan sebagai sesuatu yang berada dalam lapisan terdalam
eksistensi manusia. Self itulah yang memberi mereka hidup, tetapi
serentak terpisah dari mereka.
Jawaban lain coba diberikan oleh Kena Upanishad yang mencari
Self tertinggi dalam bentuk pencarian atas agen tertinggi. Pertanyaan
yang hendak dijawab ialah: “Atas kehendak siapa dan arahan siapa,
pikiran memancarkan cahaya terhadap obyek-obyek? Atas perintah
siapa, hidup yang pertama bergerak? Atas kehendak siapa, orang
mengucapkan perkataan ini? Dan dewa manakah, yang mendorong
mata dan telinga?” (I.1). Persis pada alinea menyusul pertanyaan-
pertanyaan itu dijawab dengan menegaskan bahwa harus ada satu Self
tertinggi yang mengorientasikan mata pada warna, telinga pada bunyi
dan pengertian pada kesadaran. Self ini dikatakan, “lain dari yang
diketahui dan lain dari yang tidak diketahui,” (I.4). Pertanyaannya,
siapa persis yang mengarahkan mata untuk melihat warna atau akal
budi untuk berpikir? Si bijak menjawab bahwa pengarah itu haruslah
agen batiniah.
c. Pemilahan Antara Subyek dan Obyek
Bila pengarah itu adalah agen batiniah, apakah dia serentak
pengarah semua kegiatan manusia? Si bijak menjawab bahwa Self
tertinggi ini tidak dapat diketahui oleh pengetahuan biasa: “Di sana
mata tidak melihat, perkataan tidak terucap, juga pikiran tidak bekerja;
kita tidak mengetahui, kita tidak mengerti bagaimana seorang dapat
mengajarkan hal ini” (I.3). Mengapa? Dasarnya, karena apa pun yang
dilihat, didengar, dan dimengerti selalu merupakan satu obyek yang
diketahui oleh subyek manusia, dan bukan subyek itu sendiri. Dengan
kata lain, Self tertinggi tidaklah bisa dipahami dengan pengetahuan
30
Alam Pemikiran Timur

biasa. Jika ia tidak bisa dipahami dengan pengetahuan biasa, lantas


dengan cara apa ia dikenal atau dipahami? Si bijak menjawab bahwa
karena Self yang mengetahui adalah subyek tertinggi, maka Self itu
disadari atau dipahami dalam kesadaran diri yang total, di mana ia
dicahayai oleh dirinya sendiri. Artinya, meskipun di satu pihak, dari
perspektif pengetahuan tentang obyek, Self tertinggi itu tidak dapat
diketahui, namun di lain sisi, dari sudut pandang pengalaman langsung
Self itu dapat diketahui secara mendalam dan utuh dalam pengalaman
langsung. Dalam kesadaran diri, Self itu diketahui jauh lebih pasti dan
lengkap daripada obyek pengetahuan mana pun. Di titik ini orang
menemukan kepastian eksistensinya yang melampuai pertanyaan atau
kebimbingan, sebab setiap upaya untuk menggugat eksistensinya
justru menyingkapkan eksistensi si penanya.
d. Atman adalah Brahman
Upaya pencarian Atman dan Brahman kiranya menghantar para
resi pada penemuan penting, yakni tentang relasi antara Atman dan
Brahman. Bahwasanya, menurut mereka, Atman itu tidak lain adalah
Brahman. Hanya ada satu realitas tertinggi, kendati realitas itu tampak
dua karena ia dapat didekati via pencarian terhadap dasar realitas,
maupun melalui pencarian akan dasar self. Jadi, walaupun pencarian
terhadap Brahman, kelihatannya berujung pada kesia-siaan, karena
melampaui gambaran indrawi, namun para bijak akhirnya tiba pada
kesadaran bahwa Brahman itu dapat diketahui via pengalaman
pengakuan diri, yakni pengalaman kesadaran diri yang utuh, karena
Brahman identik dengan subyek tertinggi, yakni Atman. ketika
mencoba mengerti kodrat tertinggi dunia dan self, ditemukan Self yang
sama ada dalam segala sesuatu. Setiap orang berbagi eksistensi yang
terdalam dengan semua eksistensi yang lain. Seorang hanya perlu
mengetahui Self itu untuk mengetahui segalanya. Dan Self ini bisa
dipahami secara akurat karena ia adalah self yang menyingkapkan diri

31
Alam Pemikiran Timur

dalam kesadaran ketika obyek-obyek kesadaran yang menghalangi


pencerahan diri dilampaui.
Identitas Atman dan Brahman merupakan penemuan terbesar yang
dicapai Upanishad. Identitas ini merupakan sesuatu yang misteri
serentak sakral yang dipelihara dengan amat seksama oleh para bijak
Upanishad, dan menjadi ajaran dasar kitab-kitab Upanishad.

6. Masyarakat dan Individu: Bhagavad Gita


Secara harafiah Bhagavad Gita berarti “nyanyian Tuhan.” Dalam
tradisi India, Bhagavad Gita merupakan kolaborasi paling penting dari
visi-visi Weda, Upanishad dan visi teistis. Oleh Bhagavad Gita,
konsep Upanishad tentang Atman dan Brahman diambil-alih sebagai
konsep yang menunjuk pada pribadi tertinggi dan realitas tertinggi.
Bedanya, Atman/Brahman, oleh Gita disimbolkan dengan Dewa dan
guru ilahi Gita, yakni Krishna melukiskan dirinya sebagai representasi
yang terbatas sekaligus yang tak terbatas, (Koller, Filsafat Asia, 2010;
85-100).
Tatkala Brahman yang tak terbatas termanifestasi dalam pribadi
Krishna yang konkret, maka terjembatanilah jurang antara yang
terbatas dan yang tak terbatas. Penemuan ini tidak hanya menjadi jalan
keluar bagi persoalan tentang bagaimana merealisasikan yang tak
terbatas, tapi serentak menghadirkan ilham dan harapan bagi orang-
orang biasa yang tidak dapat menghabiskan masa hidup untuk
mengejar pengetahuan yang membebaskan yang diagungkan para
bijak.
Selain itu, ia juga menawarkan pedoman dan petunjuk hidup yang
mengantar orang menuju pemenuhan akan ilham dan harapan itu. Dua
pertanyaan penting yang diangkat Gita dalam proses pemenuhan itu
ialah apakah hubungan self biasa yang empirik dan Self tertinggi
(Atman)? Dengan cara apakah seorang dapat merealisasikan atau
mengalami Self tertinggi (Atman) itu?
32
Alam Pemikiran Timur

Jawaban atas pertanyaan ini coba dijawab Gita dalam konteks satu
keputusan moral, seperti tercermin dalam dialog antara Krhisna dan
Arjuna. Pertanyaan khas ialah menyangkut keputusan Arjuna untuk
bertempur atau tidak agar bisa merebut kembali kerajaan yang secara
sah adalah miliknya. Khrisna, yang menyamar menjadi kusir kereta
perang Arjuna, menjawab pertanyaan itu dalam istilah-istilah yang
umum sehingga dapat dikenakan dan diterapkan pada setiap pilihan
moral tertentu. Jawabannya berkisar soal hakikat eksistensi manusia,
hakikat realitas dan tujuan hidup.
Menurut Gita, mengikuti Upanishad, realitas dunia ini kendatipun
selalu dalam proses berubah, tetapi pada kedalaman atau inti dasarnya
bersifat parmanen, tak berubah dan tanpa ragam. Atman, hemat Gita,
juga memiliki karakteristik yang sama, yakni tidak berubah, identik
dengan realitas tertinggi. Hanya saja karen ketikdatahuan akan
hakikatnya yang benar Arjuna (manusia), mengira dirinya sama
dengan self yang berubah-ubah dan hidup dalam satu dunia obyek
yang berubah-ubah. Oleh karena itu, ia berusaha untuk mencari dan
menemukan kepuasaan dalam dunia yang berubah-ubah itu. Namun
hasilnya nihil, karena seluruh proses pencarian itu pada hakikatnya
salah arah.
Pertanyaannya, kenapa Arjuna keliru? Gita menjawab bahwa
kekeliruan itu terjadi karena Arjuna gagal membuat distingsi antara
self yang lebih rendah dan Self tertinggi. Self empirik yang lebih
rendah itu dibentuk oleh aneka guna, yaitu untaian energi-energi yang
merupakan dasar semua eksistensi psiko-fisik. Self inilah yang
menutupi dan menggelapkan Atman dan pada gilirannya membuat
Arjuna menyangka bahwa self empiris itu adalah Self sejati.
Guna menghindarkan Arjuna dari kekeliruan ini, maka Gita
menegaskan bahwa yang harus dibuat ialah mengendalikan dan
mengontrol self empirik sedemikian rupa sehingga ia tidak lagi
membingungkan seorang pribadi. Kendati demikian, solusi ini tidak
mencukupi. Alasannya karena titik awal di jalan untuk mewujudkan
33
Alam Pemikiran Timur

Atman selalu ditempati oleh self yang tidak berpengetahuan, yang


memandang dirinya dan dunia dibentuk aneka guna sebagai realitas
tertinggi.
Tentang Guna sebagai pembentuk self empirik, Gita menyatakan
bahwa ada tiga (3) macam guna dengan kecenderungan yang berbeda-
beda yang membangun self empirik. Pertama, sattva, adalah tendensi
yang mengarahkan orang kepada kegiatan intelektual. Kedua, rajas,
adalah kecenderungan yang mengarahkan orang untuk bertindak tegas.
Ketiga, tamas, adalah tendensi yang mengorientasikan orang kepada
kegiatan devosional. Perpaduan ketiga guna ini menyebabkan adanya
rupa-rupa pribadi, tiap-tiap dengan bentuk keterikatannya sendiri.
Kesadaran dan pengakuan akan adanya macam-macam pribadi
yang dibentuk oleh tiga guna dengan tendensinya yang berbeda-beda
kiranya mengantar pada pengakuan akan tiga jalan yang pada dasarnya
tetap terarah pada realisasi Atman. Yang umum dan lazim dari ketiga
jalan ini adalah disiplin diri yang bermuara pada ketidakterikatan dan
secara progresif membebaskan Self sejati dari self-guna. Ketiga jalan
ketidakterikatan yang dicapai melalui disiplin diri ini adalah: yoga
pengetahuan bertujuan mendisiplinkan pikiran manusia; yoga karya
terarah pada upaya mendisiplinkan tindakan manusia dan yoga devosi
yang bertujuan mendisiplinkan perasaan.
a. Tujuan Hidup Manusia
Mewujudkan Atman melalui disiplin hidup adalah cita-cita yang
mendasari praktik hidup tiap orang, khususnya orang India. Olehnya,
pertanyaan mendasar yang sering ditanyakan dan ditanggapi serius
oleh orang India adalah bagaimana kehidupan individual dan institusi
masyarakat dapat ditata guna menjamin perwujudan Self sejati itu?
Jawaban atas pertanyaan ini terdiri atas 3 bagian. Pertama, tujuan-
tujuan dasar hidup, yakni sasaran-sasaran dasar hidup manusia, yang
harus dipahami dan diraih. Kedua, fungsi-fungsi mendasar masyarakat
harus ditempati oleh orang-orang yang paling cocok untuk
34
Alam Pemikiran Timur

menjalankan fungsi-fungsi itu. Ketiga, hidup tiap pribadi harus


dibedakan dalam jenjang-jenjang hidup yang bertujuan memenuhi
sasaran-sasaran dasar hidup manusia, termasuk pembebasan diri
(moksha).
Demi menata hidup individu dan masyarakat, pertama-tama orang
harus mengerti dengan baik tujuan hidup manusia dan fungsi atau
perannya yang utama dalam masyarakat. Menurut filsafat India, ada
empat tujuan dasar hidup manusia. Adanya organisasi dan lembaga-
lembaga sosial dalam masyarakat dimaksudkan untuk menjamin
perwujudan keempat tujuan dasar itu. Setiap orang, menurut tradisi
India, memiliki keempat tujuan dasar itu, yang disebut purushartha
yang berarti ‘tujuan seorang.” Tiga tujuan dasar pertama, yaitu
dharma (hidup dalam keutamaan), artha (sarana hidup/keberhasilan)
dan kama (kenikmatan), sudah ada dan dikenal sejak zaman Weda.
Yang ditambahkan kemudian oleh para resi Upanishad adalah tujuan
keempat yakni moksha (pembebasan diri). Keempat tujuan inilah yang
membentuk dan membangun nilai-nilai hidup orang India sejak zaman
Upanishad.
Singkatnya, teori mengenai tujuan hidup manusia sebetulnya
hendak menampilkan suatu upaya untuk mengklasifikasikan tata tertib
pokok tentang pelbagai macam tindakan manusia dalam empat
golongan yang searah dengan empat tujuan hidup itu. Tata aturan yang
mengatur bagaimana orang harus bertindak dalam kaitan dengan orang
lain masuk dalam wilayah dharma. Tata tertib yang menata bagaimana
orang harus bertindak berkaitan dengan kekayaan dan kuasa termasuk
area artha. Tata aturan yang menata bagaimana orang harus berbuat
dan berlaku dalam hubungan dengan kenikmatan dan kesenangan
termasuk kama. Akhirnya, tata tertib yang mengatur bagaimana
seorang musti bertindak dalam kaitan dengan realisasi dirinya
dikategorikan dalam moksha. Dari pembagian ini jelas nampak
kiranya betapa dalam tradisi India, tujuan hidup manusia pada

35
Alam Pemikiran Timur

hakikatnya ditata untuk menjawab pertanyaan “bagaimana hidup itu


musti dihidupi dan dihayati?”

1. Dharma
Term dharma berasal dari kata dhri yang berarti “mendukung”
atau “mempertahankan,” dan alasan mengapa suatu aturan harus ada
dan dipertahankan. Demikian, dharma lantas dipahami bahwa orang
wajib melaksanakannya karena dharma menunjang individu dan
masyarakat dan olehnya dianggap benar untuk dijalankan. Singkatnya,
dharma adalah pedoman moral untuk perbuatan manusia.
Ada dua jenis dharma, yakni dharma personal dan dharma sosial.
Dharma personal adalah kewajiban moral seseorang yang ditentukan
menurut posisinya dalam keluarga, kelas-kelas sosial dan dalam
jenjang-jenjang hidupnya serta perannya dalam hidup. Sementara
dharma sosial menunjuk pada pedoman-pedoman moral yang mesti
dipakai untuk menyelesaikan pelbagai konflik dan perselisihan antar
individu dalam masyarakat, karena suatu masyarakat dapat terjamin
dan tertata baik bila konflik-konflik kepentingan antar individu dan
kelompok bisa diatasi dengan baik dan benar. Singkatnya, dharma
menjadi sarana pemenuhan diri personal, serentak pada saat yang sama
menyumbang bagi pemenuhan kebutuhan orang lain.
2. Artha
Kata artha berasal dari kata kerja ri yang berarti “itulah yang
menjadi tujuan seseorang.” Dari kata dasar “tujuan,” artha lantas
dipahami sebagai sesuatu hal yang menjadi tujuan seseorang. Karena
pada dasarnya kesuksesan dan keberhasilan menjadi tujuan hidup
setiap orang, artha kemudian lebih lazim diartikan sebagai
keberhasilan. Keberhasilan yang dimaksudkan ialah memiliki
kekayaan dan kuasa.

36
Alam Pemikiran Timur

Dua kutipan berikut yang berasal dari Mahabharata dan


Panchatantra, kiranya mengungkapkan dengan jelas sikap orang India
lazimnya terhadap artha. Mahabharata menulis demikian:
Apa yang di sini dipandang sebagai dharma bergantung
semata-mata pada kekayaan (artha). Seorang yang
merampas kekayaan orang lain juga merampas dharma-
nya sendiri. Kemiskinan adalah satu keadaan berdosa.
Segala macam perbuatan bijak mengalir keluar dari
pemilikan akan harta kekayaan yang besar, sebagaimana
dari kekayaan itu muncul semua tindakan religius, segala
kenikmatan dan surga. Kekayaan menyebabkan terjadinya
pencapaian kekayaan, seperti gajah-gajah menawan
gajah-gajah. Tindakan-tindakan religius, kenikmatan,
kebahagiaan, keberanian, nilai dan pembelajaran,
semuanya ini beranjak dari kekayaan. Dari kekayaan
bertambahlah jasa seorang. Ia yang tidak memiliki
kekayaan tidak memiliki dunia ini dan juga tidak memiliki
dunia yang akan datang.”
Kutipan di atas kiranya jelas memperlihatkan betapa kekayaan
(artha) menjadi tujuan yang harus dicapai oleh setiap orang. Karena ia
tidak hanya menjadi sarana untuk menjadi bahagia, tetapi serentak
menjadi tanda kepemilikan seseorang akan dunia kini dan kelak.
Kendati demikian, Mahabharata mengingatkan bahwa tindakan
perampasan kekayaan orang lain adalah sesuatu yang jahat secara
moral. Karena itu sudah sepatutnya ia dihindarkan bahkan dikutuk.
Penegasan yang senada kiranya bisa ditemukan pula dalam kutipan
Panchatantra berikut:
Semerbak harum kekayaan (artha) sudah cukup untuk
membangkitkan penciuman tajam satu mahkluk. Dan
kenikmatan kekayaan malah lebih dari itu. kekayaan
memberik kekuatan yang stabil, keyakinan dan kuasa.
37
Alam Pemikiran Timur

Kemiskinan adalah satu kutukan, lebih buruk dari


kematian. kebajikan tanpa kekayaan tidak punya
pengaruh. Kekurangan uang adalah akar dari segala
kejahatan.
Amat sering kutipan ini, khususnya pada frase tentang
“kemiskinan adalah sebuah kutukan yang lebih buruk dari kematian,”
disalahmengerti bahwa orang miskin itu orang terkutuk. Tetapi
sebetulnya yang dimaksudkan ialah bahwa kemiskinan adalah sesuatu
yang amat mengerikan, karena itu terkutuklah kiranya orang yang
menjadi penyebab kemiskinan orang lain.
3. Kama
Mengingat kekayaan dan kuasa, tidak bernilai pada dirinya, tetapi
untuk dinikmati, maka kama atau kenikmatan menjadi salah satu
tujuan dasar hidup manusia yang harus diusahakan dan diraih. Apakah
kenikmatan yang dimaksudkan adalah kama seksual atau sensual saja?
Vatsyayana, seperti jelas dalam kutipan berikut, menegaskan bahwa
kenikmatan yang dimaksudkan adalah kenikmatan dalam segala
dimensinya.
Kama adalah kenikmatan akan obyek-obyek sesuai dengan
pancaindera, yaitu mendengar, merasa, melihat, meraba
dan mencium, serta dilengkapi oleh pikiran bersama jiwa.
Faktor utama dalam hal ini adalah kontak khusus antara
alat indra dan obyeknya, dan kesadaran akan kenikmatan
yang diakibatkan oleh kontak itu disebut kama.

4. Moksha
Kata moksha diturunkan dari kata kerja muc yang berarti
“melepaskan,” atau “membebaskan.” Dari arti literer itu, moksha
lantas dimengerti sebagai pembebasan Self sejati atau Atman, dari
tubuh, pikiran dan dunia. Tujuan ini menggarisbawahi tekanan orang
38
Alam Pemikiran Timur

India pada aspek spiritual hidup manusia. Menurut Upanishad, karena


Atman itu berada dibalik lingkungan fisik dan mental, maka
kesempurnaan tertinggi seorang manusia terletak pada perwujudan
diri, yakni bersatu dengan Brahman, realitas tertinggi. Oleh karena itu,
pemenuhan tujuan biologis dan sosial manusia harus dilengkapi pula
dengan kebutuhan spiritual. Dengan kata lain, peralihan dharma, artha
dan kama harus dipandang sebagai satu kemustian untuk mencapai
tujuan akhir yakni moksha.
b. Kelas-Kelas Sosial
Demi mewujudkan keempat tujuan dasar hidup manusia itu, maka
tradisi India merekomendasikan bentuk-bentuk khas organisasi sosial.
Dengan kata lain, untuk merealisasikan keempat tujuan dasar hidup
manusia itu, maka masyarakat perlu dibagi dalam kelas-kelas sosial
yang disebut varna. Kelas-kelas itu kemudian dibagi lagi ke dalam
sejumlah kasta atau jati. Klasifikasi kasta itu, dibagi atau dipisahkan
terutama bukan berdasarkan kualifikasi individual, tetapi terutama
berdasarkan warisan keturunan, aturan makan-minum, aturan
perkawinan, kedudukan dan pangkat. Setidaknya ada kurang lebih
2000 kasta yang turut membentuk struktur kelas sosial India. Tetapi
lazimnya hanya ada empat (4) kelas sosial dalam masyarakat India
yang keanggotaannya ditentukan menurut kemampuannya.
Pertama, kelas Brahmana yang mencakup para imam dan guru.
Karakternya ialah kecerdasan otak yang luar biasa dan kefasihan
dalam berbicara. Fungsi utama kelas ini adalah menjaga dan
melestarikan tradisi. Tanggung jawab mereka adalah memelihara
pengetahuan, menjalankan upacara-upacara dan menjaga moralitas.
Kedua, kelas Kshatriya yang meliputi para prajurit. Cirinya adalah
kekuatan, keperkasaan dan keberanian. Fungsi mereka adalah penjaga
dan pelindung masyarakat dengan tugas utama, yakni menjamin
keamanan masyarakat dan menegakkan aturan-aturan yang dituntut
untuk fungsi-fungsi sosial.
39
Alam Pemikiran Timur

Ketiga, kelas Vaishya bercirikan ketrampilan praktis dan inisiatif.


Termasuk dalam kelas ini adalah para pedagang dan produsen. Fungsi
utama mereka ialah memproduksi barang-barang ekonomi masyarakat.
Kewajiban mereka ialah bergiat di bidang pertanian, berternak, dan
berdagang.
Keempat ialah kelas Shudra, yakni para buruh dan hamba
masyarakat. Ciri kelompok ini adalah kemampuan otak yang rendah,
inisiatif yang kurang, dan kemampuan untuk menanggung beban berat.
Kewajiban utama seorang Shudra, menurut Gita, ialah melayani.
Cukup lama pembagian kelas sosial ini dipraktikkan dalam
masyarakat India. Baru pada tahun 1947, dipicu oleh meningkatnya
jumlah orang yang tidak berkelas karena dikeluarkan dari kelas
sosialnya akibat pelanggaran atas aturan-aturan varna dan jati, oleh
konstitusi India yang baru, klasifikasi kelas itu dipandang sebagai
tidak sah.
c. Jenjang-Jenjang Hidup
Jika teori mengenai kelas-kelas sosial berorientasi pada upaya
menjaga ketertiban sosial, maka teori mengenai jenjang-jenjang hidup
(ashrama) berfokus pada pertanyaan: bagaimana hidup personal
seorang individu harus ditata untuk meningkatkan kemajuan dalam
mewujudkan keempat tujuan dasar hidup manusia sambil
memperbesar sumbangsihnya untuk masyarakat? Tradisi India
mengkategorikan hidup manusia dalam empat jenjang disertai
kegiatan-kegiatan yang pantas untuk setiap jenjang.
Jenjang pertama ialah jenjang murid. Jenjang ini mengharuskan
seseorang untuk belajar tentang hidup dalam pelbagai aspeknya. Hal-
hal yang dipelajari pada jenjang ini adalah kewajiban agama, kelas,
jenjang hidup dan lain sebagainya, tak terkecuali seni disiplin diri.
Jenjang kedua ialah berkeluarga. Jenjang ini dipandang sebagai
jenjang yang penting karena seluruh masyarakat bergantung pada jasa
yang diberikan oleh hidup berkeluarga. Untuk menjawab kebutuhan
40
Alam Pemikiran Timur

masyarakat yang besar itu, maka seorang yang berkeluarga harus


teguh berpegang pada dharma, menjamin pertahanan ekonomi dan
mendukung nilai-nilai budaya. Kewajibannya ialah membesarkan
anak, merawat orang tua, menolong orang dan tak ketinggalan ialah
menikmati keberhasilan dan kesenangan duniawi.
Jenjang ketiga adalah berdiam di hutan. Pada tahap ini orang
menarik diri dari masyarakat, melepaskan tujuan meraih keberhasilan
dan kenikmatan dan mulai fokus pada usaha memasuki hidup spiritual,
di mana pembebasan diri (moksha) menjaberdi satu-satunya tujuan.
Jenjang keempat ialah pertapa yang fokus pada pencarian moksha.
Cirinya adalah penolakan mutlak pada harta duniawi dan kenikmatan.
Kepedulian utama orang pada jenjang ini adalah mencapai kebebasan
yang utuh via pembebasan pikiran, tubuh dan dunia.

7. Enam Aliran Filsafat


Keenam sistem filsafat ortodoks India yang percaya akan otoritas
Veda ini disebut shad darshana. Sistem-sistem ini merupakan hasil
realisasi spiritual dan penglihatan kontemplatif (hasil refleksi) dari
para pertapa dan orang bijak India.
Kata darshana berarti persepsi langsung, pandangan
kontemplatif, penglihatan spiritual. Secara filosofis ia berarti
pengetahuan tentang Prinsip Tertinggi (Ultimate Principle). Demikian,
darshana dapat dipahami sebagai sebuah sistem filsafat yang
membentuk kumpulan pengetahuan tentang Prinsip Tertinggi yang
diturunkan dari para pertapa dan para bijak
Keenam sistem filsafat ini dirumuskan oleh para resi (para bijak)
yang memandang Realitas atau Kebenaran (Truth) yang sama dari
perspektif serta kedalaman yang berbeda. Karena itu, tak satupun dari
keenam sistem filsafat ini dapat mengklaim diri mewakili filsafat
ortodoks India.
Keenam sistem filsafat ini lazimnya dibagi menjadi tiga
pasangan ganda: Nyaya-Vaisheshika; Samkhya-Yoga; dan Mimamsa-
41
Alam Pemikiran Timur

Vedanta. Setiap pasangan dianggap sebagai dua aspek berbeda dari


satu disiplin yang sama. Setiap aspek berfungsi sebagai pelengkap dan
penguat bagi aspek lainnya. Vaisheshika adalah tambahan bagi Nyaya.
Yoga adalah tambahan bagi Samkhya. Vedanta adalah kepenuhan dari
Samkhya. Studi atas Vyakarana (tata bahasa), Mimamsa, Nyaya, dan
Samkhya adalah perlu untuk memahami Vedanta. Nyaya mempertajam
intelek dan memampukan seseorang untuk memahami Vedanta.
Nyaya dipandang sebagai sebuah introduksi bagi semua penyelidikan
filosofis. Uraian pada bagian ini akan coba menyoroti keenam aliran
filsafat ini secara terbatas.

7.1 Nyaya dan Vaishesika


A. Nyaya
Dari keenam aliran filsafat yang ada, Nyaya dan Vaishesika
merepresentasikan tipe filsafat analitis. Karakter yang membedakan
filsafat Nyaya, yang didirikan oleh Resi Gautama ini, dengan aliran
lain ialah pengujian kritisnya akan obyek-obyek pengetahuan dengan
sarana-sarana pengetahuan yang terbukti logis. Sistem pemikiran
India, pada umumnya, menerima prinsip-prinsip fundamental dari
Logika Nyaya ini. Paham metafisika dan fisika dari Nyaya – seperti
realisme atom - secara esensial sama dengan pandangan Vaishesika
(Radhakrishnan and Moore, 1957; 356-357 )
Secara harafiah, Nyaya berarti “sarana yang memimpin pikiran
sampai pada sebuah kesimpulan.” Kita dibimbing sampai pada
kesimpulan-kesimpulan dengan argumen-argumen atau penalaran-
penalaran. Argumen-argumen ini bisa valid atau tidak valid.
Sementara secara populer, Nyaya berarti “benar” atau “tepat.” Dari arti
ini, Nyaya lantas dipahami sebagai ilmu tentang penalaran yang benar
atau penalaran yang tepat. Nyaya membedakan empat 4 faktor
pengetahuan: subyek yang mengetahui (pramatr), obyek yang mau
diketahui (prameya), hasil dari kognisi atau obyek sudah diketahui
42
Alam Pemikiran Timur

(pramiti) dan sarana pengetahuan (pramana). Sifat pengetahuan, entah


valid atau tidak valid, amat tergantung pada sarana pengetahuan
pramana yang dipakai. Dengan pramana kita diarahkan kepada
pengertian yang benar tentang obyek-obyek dan dimampukan untuk
menguji validitas pengetahuan, (Radhakrishnan and Moore, 1957;
356.).
B. Vaisheshika
Pendiri aliran ini ialah Resi Kanada. Nama Vaisheshika diambil
dari kata Vaishesa yang secara harafiah berari partikularitas dan
menunjuk pada karakteristik yang dimiliki suatu benda. Uraian
berikut akan fokus pada obyek pengetahuan menurut Vaisheshika.
Menurut Nyaya Sutra 1.9, hal-hal yang dapat diketahui mencakup diri,
tubuh, sarana-sarana indera, obyek-obyek yang diindrai, pikiran,
pengetahuan, tindakan, ketidaksempurnaan mental, kenikmatan dan
kesakitan, penderitaan, dan pembebasan dari penderitaan. Jadi ia
mencakup bukan hanya apa yang material, tetapi juga yang non-fisik.
Sebagai obyek pengetahuan, segala macam hal itu bergantung
pada hubungan antara subyek yang mengetahui dan dunia obyek-
obyek. Jika kita menganggap segala macam hal yang ada dan yang
dapat menjadi obyek pengetahuan dari sudut eksistensi mereka yang
bebas, maka kita akan tiba pada kategori-kategori sistem Vaisheshika.
Kategori-kategori itu ialah; substansi, kualitas, gerak, universalitas,
partikularitas, inherensi, dan non eksistensi.

7.2 Samkhya dan Yoga: Self dan Dunia


A. Samkhya
Secara etimologis kata Samkhya berarti “perhitungan” atau
“pembedaan.” Tidak ada kata sepakat di antara para sejarahwan soal
sumber Samkhya: entah ia berasal dari bagian tertentu dari Upanishad

43
Alam Pemikiran Timur

atau berkembang secara independen. Namun lazimnya, disepakati


bahwa aliran filsafat yang didirikan oleh Sri Kapila Muni, ini bercorak
dualistik. Karena ia memfokuskan penyelidikan dan analisisnya pada
hubungan antara self empirik dan Self tertinggi dan hubungan antara
self sebagai subyek dan hal-hal yang dipandang sebagai obyek
pengetahuan, (Koller, 2010; 103-115)
Sebagai hasilnya, Samkhya menyajikan satu uraian evolutif
tentang dunia empirik dan self dengan menerangkan bagaimana
keduanya berkembang secara bertahap dari guna (energi) yang bersifat
konstitutif dari prakriti, yaitu substrata terakhir dari dunia empirik.
Dalam pandangan Samkhya, Self tertinggi dari setiap pribadi ialah
purusha. Purusha adalah satu monade rohani kesadaran murni yang
dalam kodrtanya terpisah dari aneka guna: pembentuk dunia empirik
dan self empirik.
Demikian, pemahaman akan dunia dan self haruslah dimulai dari
pengalaman seorang tentang self dan dunia. Pengalaman ini
menyingkapkan eksistensi self yang mengetahui dunia yang sedang
berubah. Tepatnya, kita dan dunia sekitar kita berubah. Fakta inilah
yang mendorong para filsuf Samkhya untuk berefleksi dan sampai
pada kesimpulan bahwa segala yang dialami pada hakikatnya
bersumber apa kodrat yang sama, meskipun berbeda dari Self yang
merupakan subyek tertinggi yang mengalaminya.

B. Yoga
Pendiri: ada banyak aliran yoga dengan pendirinya, tetapi yang
paling penting dan berpengaruh ialah sistem Raja- Yoga bentukan dari
Patanjali. Sistim Raja-Yoga merupakan sintesis dari pelbagai generasi
yoga dan budaya.
Ada banyak jenis atau aliran yoga. Tetapi lazimnya dikenal lima
jenis, yakni Raja-yoga, Jnana-yoga, Hatha-yoga, Bhakti-yoga dan
Karma-yoga. Raja-yoga adalah sistem yoga yang menjadikan
44
Alam Pemikiran Timur

konsentrasi dan meditasi sebagai medium untuk mencapai kebebasan.


Jnana-yoga (yoga pengetahuan) adalah upaya mencapai realisasi Diri
dengan cara mata kearifan (the eye of wisdom), yaitu dengan melatih
diskriminasi (viveka) supaya dapat membedakan antara yang sejati dan
tidak sejati. Hatha-yoga (yoga fisik) ialah sistem yoga yang berupaya
melampaui kesadaran egois dan menyadari sang Diri atau Realitas
ilahi. Fokus mendasar Hatha-yoga adalah mengkreasikan sebuah
tubuh yang ilahi supaya keabadian terwujud dalam tubuh. Bhakti-yoga
(yoga devosi) adalah sistem yoga yang berusaha mencapai realisasi-
diri via pemurnian emosional manusia dan membangun saluran ke
arah yang ilahi. Dalam bahkti yoga yang Ilahi tidak dipandang sebagai
sang Absolut yang impersonal, tetapi seorang Pribadi. Demikian yang
diutamakan bukanlah usaha identifikasi total dengan Tuhan, tetapi
persatuan dan peleburan parsial dengan-Nya. Akhirnya, karma-yoga
(yoga tindakan) ialah upaya menuju realisasi diri via tindakan.
Tindakan yang dimaksudkan ialah tindakan yang melampaui motivasi
egois, (Ali, 2010: 49-50).
Pertanyaannya, apa itu yoga? Kata yoga (Inggrisnya: yoke) berasal
dari kata Sanskerta, yuj yang berarti “penyatuan.” Jadi yoga berarti
bersatunya kesadaran manusia dengan sesuatu yang lebih luhur, lebih
transenden, lebih abadi. Sementara, menurut Panini, yoga yang
diasalkan dari kata yuj mempunyai tiga arti yang berbeda: penyerapan,
Samadhi (yujyate); menghubungkan (yunakti); dan pengendalian
(yojyanti). Dari ketiga makna itu yang penting ialah ‘meditasi’
(dhyana) dan ‘penyatuan’ (yukti), tetapi yang lebih penting ialah
penyatuan. Dalam bhakti-yoga, yoga berarti penyatuan dengan Tuhan
(sayujya). Sementara dalam sistim Yoga pada umumnya, yoga berarti
bahwa semua yang berevolusi akhirnya lebur dan menyatu dalam
harmoni prakriti; dan purusha akan terserap kembali serta berpisah ke
dalam esensi pertamanya.
45
Alam Pemikiran Timur

Agak jelas kiranya betapa yoga berfokus pada disiplin psikis


sebagai sarana menuju kesadaran spiritual dan tertuju pada realitas
batin yang lebih dalam dan lebih tinggi. Yoga adalah sarana menuju
rahasia sang diri (Self) dan yang ilahi (Divine). Ia menunjukkan
kepada kita pengetahuan, penglihatan, kehadiran realitas imanen,
kosmik dan transenden. Singkatnya, yoga adalah penemuan hakikat
diri. Tegasnya, tujuan yoga seperti tertuang dalam teks Upanishad
ialah mengantar manusia mengenal Dirinya secara ontologis.
Maksudnya menemukan nasib sendiri. Karena dengan mengenal sang
Diri, manusia mengetahui semuanya; dan dengan menjadi Diri,
manusia menjadi Sang Absolut Atman atau Brahman. Pendeknya,
melalui yoga manusia bergerak dari pengenalan diri yang periferal
menuju pengenalan diri yang sejati, otentik dan dalam (Atman).
Menjadi jelas dan terang kiranya bahwa tujuan utama dan umum
dari yoga ialah penyatuan (Samadhi), kendati setiap jenis yoga
memiliki formulasi dan tekanan yang berbeda. Bagi raja-yoga tujuan
yoga ialah meraih kebebasan via konsentrasi dan meditasi. Persisnya,
bagi Sri Aurobindo, tujuan raja-yoga ialah mencapai pembebasan dan
penyempurnaan diri mental, yaitu pengendalian seluruh perangkat
pencerapan, emosi, pikiran dan kesadaran. Menurut jnana-yoga
tujuannya mencapai realisasi diri (Self-realitazation) via kebajikan.
Metode yang dipakai ialah ‘refleksi intelektual’ (vicara) dan
‘diskriminasi yang benar’ (viveka). Di mata hatha yoga tujuan yoga
adalah mentransendenkan ego dan merealisasikan Diri (Self) dengan
metode âsana (postur tubuh), prânâyâma (pengendalian nafas),
mantra dan mudrâ. Bagi bhakti yoga tujuan yoga ialah mencapai
realisasi diri via devosi kepada Tuhan. Akhirnya bagi karma yoga,
tujuan yoga ialah mencapai tindakan yang bebas dari egoisme atau
yang melampaui motivasi ego. Yang dimaksudkan ialah bertindak
tanpa pamrih.
46
Alam Pemikiran Timur

7.3 Mimâmsâ dan Vedânta


Dalam studi Hinduisme, filsafat Mimâmsa dan Vedanta, seperti
halnya Sâmkhya dan Yoga, ditempatkan dalam satu pasangan.
Keduanya, merupakan dua bagian dari satu filsafat yang
merepresntasikan unsur paling asli dari tradisi Weda.
Bagian pertama dari filsafat ini disebut purwa-mimâmsa lazimnya
dinamakan Mimâmsa , sementara bagian keduanya disebut Uttara-
mimâmsa atau lebih dikenal dengan nama Vedânta.
Filsafat mimâmsa secara khusus menaruh perhatian pada sistim
ritual Weda (karmakanda). Fungsinya, menjelaskan secara detail
berbagai ritual kurban ditambah penjelasan tentang aspek liturginya.
Sedangkan vedânta bertugas menjelaskan pengetahuan Weda
(jnanakanda). Filsafat vedânta mendasarkan diri pada ajaran
Upanishad. Fokusnya pada Brahmana, olehnya disebut juga Brahma-
Mimâmsa.

A. Mimâmsa
Pendiri mimamsa adalah Sri Jaimini. Dari asal usul kata,
Mimâmsa berarti ‘bertanya’ atau ‘menyelidiki.’ Seperti sudah
dijelaskan di atas, mimâmsa menaruh perhatian terutama pada ritual.
Demikian, dalam mimâmsa dijelaskan tentang liturgi Weda secara
detail dalam 900 judul terpisah, yang disebut adhikarama. Setiap judul
mencakup lima bagian: topik masalah (vishaya), keraguan (samasya),
argumen awal mengangkat keraguan (purva-paksha), argumen
berlawanan yang mencoba membantah argumen awal (uttarapaksha),
dan konklusi (nirnaya).
Filsafat mimâmsa tidak mengenal eksistensi Tuhan, yakni seorang
pribadi yang mengganjar kebaikan manusia dengan hadiah dan
membalas kejahatan manusia dengan hukuman. Baginya, karmalah
47
Alam Pemikiran Timur

yang memberikan hukuman atau ganjaran atas apa yang ia perbuat.


Yang dianut mimâmsa adalah kepercayaan akan adanya sejumlah
dewa-dewi (politeistik) yang berdiam di surga (svarga).
Surga adalah tempat tujuan jiwa manusia jika telah mengalami
pembebasan. Demikianlah upacara ritual sebagai sarana atau syarat
untuk masuk surga menempati posisi yang penting dalam filsafat
mimâmsa. Praktik ritual teristimewa meliputi pelbagai upacara kurban
(yajna). Upacara kurban ini dipersembahkan kepada dewa-dewa
tertentu, yang dipercaya bila menyenangkan hati dewa-dewa itu, akan
menghadirkan kelimpahan rezeki dan berkat jasmani dan rohani bagi
pelakunya.
Dalam konteks inilah, mimâmsa menerima sepenuhnya
kemultlakan Weda serentak sebagai karya dari bahasa konvensional
dan emanasi Realitas berbentuk sabda. Di sini kidung-kidung
dipandang sebagai rumusan sakral (mantra) yang mengandung makna
dan kekuatan pada dirinya yang menghadirkan kebenaran dan daya
magis. Mantra-mantra itu lazimnya dibacakan pada upacara kurban
bersamaan dengan dilangsungkannya kurban persembahan.
Seberapa efektif upacara amat tergantung seberapa benar dan
seberapa lama mantra dan ritual kurban dibaca dan dilaksanakan.
Semakin berulang-ulang mantra dibacakan dan semakin benar upacara
ritual kurban dilaksanakan sehingga menyenangkan hati dewa, maka
semakin mengalir banyak berkat, keuntungan dan hikmat
dianugerahkan dewa kepada pelakunya. Di sinilah letak efektivitas dan
kekuatan sebuah mantra dan upacara kurban.
Barangkali karena tekanan pada upacara kurban itulah, filsafat
mimâmsa kurang berfokus kepada kosmologi. Kendati demikian, oleh
mimâmsa disebutkan unsur-unsur yang ada dalam alam, yakni tanah,
air, api, udara, eter dan suara (sabda). Keenam elemen itu saling

48
Alam Pemikiran Timur

berkaitan satu sama lain, karena setiap elemen disebabkan oleh unsur
sebelumnya. Tanah disebabkan oleh air, air oleh api, dan seterusnya.
Tujuan filsafat mimâmsa adalah meraih kebahagiaan surgawi
dengan cara melaksanakan Sabda Brahman. Demikian, upacara
kurban sekali lagi mendapatkan tempat yang istimewa karena
dipandang sebagai sarana tepat untuk merealisasikan tujuan tersebut.
Namun, mengingat keberhasilan upacara kurban mensyaratkan
‘kemurnian dan kesucian’ diri pelakunya, maka pengendalian indera
dan pikiran yang diperoleh melalui pengendalian energi hidup (prana)
dan pengendalian nafas (prânâyâma), merupakan syarat yang harus
dipenuhi seorang pelaku upacara kurban. Syarat lain ialah melepaskan
milik pribadi dan disiplin diri (yama) yang ketat dan keras.

B. Vedânta
Pendirinya adalah Sri Vyasa. Vedânta atau Upanishad
berkembang sekitar tahun 500-200 sM dan sudah sekian ribu tahun ia
menjadi sumber rujukan bagi umat Hindu. Dari segi asal-usul kata,
‘vedânta’ berarti bagian akhir Weda.
Upanishad ditulis dan diperuntukkan bagi mereka yang berfokus
pada kehidupan spiritual, yakni para arif dan bijaksana. Bagi mereka
ini, Upanishad dipandang sebagai bagian filsafat yang mendasari
seluruh doktrin Hinduisme.
Status Upanishad ialah menyediakan kebenaran yang
membebaskan. Di dalamnya terdapat ajaran tentang ‘jalan
pengetahuan’ untuk mencapai kebebasan akhir. Singkatnya,
Upanishad dipandang sebagai teks sruti yang menawarkan cara untuk
mencapai kebebasan kendati disampaikan tidak secara sistematis.

49
Alam Pemikiran Timur

a. Raja Yoga
Setelah melihat sepintas tentang arti, jenis dan tujuan yoga, uraian
berikut akan lebih berfokus pada raja-yoga yang dipandang sebagai
sistem yoga yang terpenting dan paling unggul dalam tradisi
Hinduisme.
Dari asal-usul katanya, raja-yoga berarti ‘yoga kerajaan’ (royal
yoga). Term ini mulai digunakan sekitar abad ke 16, tetapi sistem raja-
yoga ini sudah lahir sejak abad ke-2 bersamaan dengan disusunnya
teks Yoga Sutras (YS) oleh Pâtañjali. Adapun istilah raja yoga ini
dipakai karena sistem ini dipandang lebih unggul ketimbang sistim
lain, khususnya hatha yoga. Karena jika hatha yoga adalah yoganya
kaum ‘pemula’ yang belum sampai pada kemampuan bermeditasi dan
askese yang baik, maka raja yoga diperuntukkan bagi kaum ksatria
yang berkehendak melatih dan mengendalikan pikirannya. Raja yoga
juga bisa menunjuk kepada ‘penguasa,” Tuhan (ĭshwara), yang dalam
pandangan Pâtañjali dikenal sebagai “Diri transendental.”
Oleh sebagian ahli raja yoganya Pâtañjali dipandang sebagai
medium menuju meditasi dan kontemplasi. Jelasnya, seperti yang
dikatakan oleh Swami Vivekananda: “Raja yoga adalah sainsnya
agama, rasionalitas semua bentuk pemujaan, upacara dan keajaiban.”
Karena pada raja yoga, kita menemukan cara, metode untuk
memfokuskan pikiran; mendapatkan ketenangan pikiran;
mengeneralisasi isi pikiran; dan menarik kesimpulan bagi diri sendiri.
Arahnya adalah menyadari kehadiran yang Ilahi yang melampaui
pikiran, imajinasi, doa dan upacara ritual.

50
Alam Pemikiran Timur

Titik tolak raja yoga ialah pikiran manusia. Jadi, bukan tubuh dan
energi hidup. Kendati âsana (postur tubuh) dan prânâyâna
(pengendalian nafas) diberi tempat, tetapi yang dipentingkan ialah
yama (disiplin moral) dan niyama (disiplin diri) yang adalah medium
untuk mengalahkan nafsu dan keinginan diri sehingga memungkinkan
manusia masuk dalam konsentrasi yang tinggi dan mendalam.
Tujuan raja-yoga adalah meraih pembebasan dan penyempurnaan
diri mental. Yang dimaksudkan ialah pengendalian kehidupan
emosional, penguasaan pikiran dan kesadaran. Fokusnya adalah
kesadaran mental (citta) dan mencapai pemurniaan dan penenangan
diri. Dalam konteks itulah berikut akan diuraikan ‘delapan ruas yoga’
(ashtânga yoga) menurut Pâtañjali.

b. Ashtanga Yoga: Delapan Jalan Menuju Transendensi Diri


Ashtanga yoga adalah sebuah metode spiritualitas praktis yang
disusun Pâtañjali dalam Yoga Sutras. Ashtanga yoga terdiri dari:
disiplin moral (yama), disiplin diri (niyama), postur tubuh (âsana),
pengendalian diri (prânâyâma), pengendalian indra (pratyâhâra),
konsentrasi (dhâranâ), meditasi (dhyâna), dan ekstasis atau
pembebasan (samâdhi). Oleh Pâtañjali ke-8 ruas yoga ini dilukiskan
sebagai anak tangga yang menuntun seseorang berjalan menuju
realisasi diri dan transendensi diri. Dalam Yoga Sutras dijelaskan
bahwa ke-8 ruas yoga itu dapat dipandang dari dua sudut pandang. Di
satu sisi, bisa dipandang sebagai penyatuan kesadaran yang tumbuh; di
lain pihak, dapat dilihat sebagai pemurnian diri yang dinamis. Berikut
adalah penjelasan atas ke-8 ruas yoga itu.
Pertama, disiplin moral (yama). Menurut YS, Yama meliputi: tanpa
kekerasan (ahimsâ), kebenaran (satya), tidak mencuri (asteya), selibat
(brahmacarya), dan ketidakrakusan (aparigraha), (2:30). Kelima
disiplin moral ini bersifat universal dan tidak terbatas oleh ruang,
51
Alam Pemikiran Timur

tempat dan waktu, (YS 2:31) dan merupakan syarat untuk mencapai
keberhasilan dalam latihan yoga. 1). Ahimsa adalah kemustian moral
yang paling utama. Acapkali ahimsa diterjemahkan dengan “tidak
membunuh,” tetapi yang sebenarnya dimaksudkan ialah “tanpa
kekerasan’ dalam pikiran dan aksi. YS 2:35 dengan jelas menerangkan
hal ini: “Jika ahimsa sudah dijalankan secara menyakinkan, maka
kebencian akan berhenti.” 2). Kebenaran (satya). Tentang satya, YS
menulis, “Bagi orang yang sudah melaksanakan kebenaran dan
kejujuran semua tindakan serta akibatnya ada di bawah kendali
dirinya,” (2;36). Tak heran etika yoga menempatkan satya dalam
posisi yang tinggi. 3). Tidak mencuri (asteya). Oleh YS, asteya
dipahami sebagai, “jika asteya sudah ditanamkan, maka semua
kekayaan akan datang,” (2:37). Asteya memiliki relasi yang erat
dengan ahimsa. Pasalnya mencuri barang milik orang lain, melanggar
hak pemiliknya. 4). Selibat atau kemurnian (brahmacarya).
Harafiahnya berarti “perilaku Brahmana.” Tetapi dalam yoga,
brahmacarya dipahami sebagai matiraga, yakni menahan diri terhadap
aktivitas seksual, baik dalam pikiran pun tindakan. “Karena dengan
melaksanakan brahmacarya, manusia mendapatkan kekuatan, “(YS,
2:37). 5). Ketidakrakusan (aparigraha) diartikan sebagai ‘tidak
menerima hadiah.” Dasarnya, karena hadiah akan mendatangkan
kelekatan dan rasa takut akan kehilangan. Demikian para yogi dididik
untuk melakoni kesederhanaan hidup. Banyaknya kepemilikan akan
materi akan mengganggu pikiran. Tentang ini YS 2:39 menulis “Jika
aparigraha sudah tertanam, maka akan datang sebuah pencerahan
menyeluruh tentang bagaimana dan mengapa seseorang dilahirkan.”
Kedua, Disiplin Diri (niyama). Tujuan niyama ialah mengontrol
energi psiko-fisis yang muncul dari pengendalian diri kehidupan batin
serentak mengharmonikan hubungan kelima elemen disiplin diri
dengan kehidupan seluruhnya dan dengan Yang Ilahi. Niyama
52
Alam Pemikiran Timur

meliputi: “kemurnian diri (shauca), berpuas diri (samthosa), askese


(tapas), studi teks spiritual (svâdyâya) dan penyerahan diri kepada
Tuhan(Ishwara-pranidhâna),” (YS 2:32). 1). Kemurnian diri (shauca)
tergolong keutamaan yang terpenting dalam spiritualitas yoga.
Tentang shauca, YS 2:42 menyatakan, “melalui kemurnian diri
muncul kemuakan terhadap tubuh sendiri dan terhadap sentuhan dari
tubuh yang lain.” Ada dua jenis kemurnian diri, yakni kemurnian lahir
dan kemurnian batin. Kemurnian fisik diperoleh melalui mandi, hidup
teratur, dll. Sementara kemurnian batin didapat melalui jalan
konsentrasi dan meditasi. Seseorang haruslah murni agar dapat
mencerminkan terang Yang Ilahi. 2). Berpuas diri (samthosa) berarti
mencukupkan diri dengan apa yang sudah ada sebagai lawan dari
mentalitas konsumtif dan materialistik. Berpuas diri adalah sebuah
usaha penyangkalan diri, yaitu pengorbanan diri dengan sengaja atas
apa yang secara kodrati bukan milik kita, dan karena itu kelak diambil
kembali ketika kematian datang menjemput. Samthosa adalah medium
bagi manusia untuk menjalani hidup, entah suka maupun duka,
dengan sukacita, seperti dikatakan YS 2:42: “Dengan berpuas diri
kegembiraan tertinggi dicapai.” Jelasnya, berpuas diri berarti menjadi
diri sendiri apa adanya, tanpa mencari dan menggantungkan
kebahagiaan diri pada benda-benda di luar diri. Ketika sesuatu datang,
kita biarkan dan terima. Jika tidak, juga bukan masalah. 3). Askese
(tapas). Tapas berarti “berkilau,” “panas” dan merujuk pada energi
psikosomatis yang muncul sebagai hasil matiraga yang sering kali
dialami oleh seorang yogi. Tapas adalah elemen ketiga dari niyama
yang melingkup latihan sadar, semisal: berdiri atau duduk diam selama
mungkin; menahan rasa lapar, haus serta panas dan dingin; berdiam
diri serta berpuasa. Dalam YS 3:46 dengan jelas dikatakan bahwa
melalui latihan akan diperoleh kesempurnaan tubuh, menjadi kebal
terhadap unsur tertentu. Kendati demikian pantas perhatikan bahwa
53
Alam Pemikiran Timur

ada beda antara askese dengan penyiksaan diri. Penyiksaan diri atau
askese yang dibuat semata-mata untuk pamer atau dipuji tidak akan
mendatangkan kekuataan dan kesempurnaan diri, sementara askese
yang sungguh akan melahirkan ketenangan, kedamaian dan
kesempurnaan hidup. 4). Studi Teks Spiritual (Svadhyâya). Istilah
Svadhyâya diturunkan dari kata svâ yang berarti ‘sendiri’ dan adhyâya
yang berarti ‘masuk ke dalam.’ Sementara kata studi berarti upaya
mencari makna yang terletak dibalik teks kitab suci. Di sini yang
menjadi tujuan svadhyâya ialah sebuah upaya peresapan atau
pembatinan kearifan kuno dalam diri. Jadi, bukan sebuah
pembelajaran intelektual. Tegasnya, svadhyâya merupakan sebuah
refleksi meditatif tentang kebenaran yang dituntun dan telah diajarkan
oleh para resi dan arif bijaksana yang bergerak dari pikiran menuju ke
hati. Pada titik ini yang berperan utama ialah hati manusia. Demikian,
YS 2:44, meringkaskan: “dengan mempelajari teks-teks spiritual, akan
terjadi penyatuan dengan dewa-dewi yang disembah.” 5). Penyerahan
diri kepada Tuhan (Ishwara-pranidhâna). Yang dimaksudkan di sini
adalah serah diri yang total kepada Tuhan sebagaimana terungkap
dalam YS 2:45: “melalui penyerahan diri secara menyeluruh, samâdhi
dicapai.” Pertanyaannya, apakah Tuhan seperti yang dipahami dalam
raja yoga itu sama dengan konsep Tuhan dalam agama Yahudi dan
Kristen? Sesungguhnya tidak sama. Tuhan (Ishwara) dalam raja yoga
dipahami sebagai salah satu dari Diri Transendental yang satu dan
banyak (purusha). Statusnya, seperti dijelaskan Patanjali, bercorak
luar biasa di antara banyak diri karena fakta bahwa ia tidak pernah
tunduk pada ilusi yang meniadakan kemahatahuan dan
kemahahadiran-Nya. Secara intrinsik, semua diri adalah bebas, tetapi
hanya Ishwara yang selalu sadar akan kebenaran bahwa ia bebas. Jadi
jelas berbeda dengan konsep Tuhan dalam tradisi Yahudi dan Kristen.
Tapi ia bukanlah juga semacam “kemutlakan universal” sebagaimana
54
Alam Pemikiran Timur

menjadi doktrin dari Upanishad atau Buddhisme Mahayana. Ajaran


Patanjali lebih bersifat teistik. Karena bersumberkan pada tradisi
Bhagawad-Gita yang bersifat teristik. Di sana ditegaskan bahwa
pikiran religius manusia secara alami, condong menyembah Realitas
yang luhur dan transenden. Pembaktian kepada Tuhan menyiratkan
keterbukaan hati manusia kepada yang Ilahi, yang transenden.
Uraian tentang yama dan niyama kiranya menghantar kita pada
beberapa kesimpulan berikut: pertama, yama dan niyama adalah
sebuah upaya untuk mengontrol hawa nafsu dan keinginan manusia.
Tegasnya, memerangi keinginan dan hawa nafsu manusia yang jahat
sehingga mememinimalisir tindakan yang buruk dan jahat. Jadi,
kedua, jelas terlihat bahwa fungsi yama dan niyama ialah untuk
menata kehidupan sosial dan kehidupan personal para yogi. Ketiga,
tujuan dari semua latihan yama dan niyama ialah meniadakan semua
karma yang merupakan penyebab subliminal yang hidup dalam jiwa
manusia. Singkatnya, yama dan niyama adalah tahapan awal dalam
upaya panjang seorang yogi menciptakan lingkungan atau kondisi
hidup yang baik dan benar menuju pencerahan diri.
Ketiga, postur Tubuh (asâna). Kalau yama dan niyama adalah
sarana untuk melatih dan membentuk pribadi seseorang dalam relasi
dengan diri dan orang lain secara moral dan mental, maka asana
merupakan sebuah upaya purifikasi dan mendiamkan tubuh fisik,
sebagaimana diungkapkan YS 2:46: “Postur tubuh haruslah dalam
kondisi stabil dan enak.” Dengan mengambil posisi tubuh, khususnya
melipat anggota tubuh, seorang yogi akan mencapai ketenangan batin.
Ketenangan batin ini penting karena akan membantu proses
konsentrasi pikiran.
Keempat, pengendalian napas (prânâyâma). Term prana berarti
‘daya hidup,’ vitalitas.’ Tak jarang prana diterjemahkan sebagai
‘napas’ dan ‘hidup.’ Namun makna yang sebenarnya ialah daya hidup
55
Alam Pemikiran Timur

yang menjadi sumber semua kehidupan. Dalam yoga prânâyâma


menempati posisi yang sentral. Karena keberhasilan dalam yoga amat
ditentukan oleh pengendalian nafas secara baik dan teratur. Bahkan
latihan disiplin moral (yama), pengendalian diri (niyama),
pengendalian indra (pratyâhâra) dan konsentrasi (dharana) adalah
bentuk manipulasi prana. Karena ada hubungan erat antara daya
hidup, nafas, emosi dan pikiran. YS 2:49 dengan jelas menegaskan:
“setelah menguasai asanas, kita harus melatih keluar masuknya
nafas.” Tatkala, pengendalian nafas plus konsentrasi dilatih dengan
baik, maka daya hidup (prana) akan mengalami peningkatan. Ketika
prana dan konsentrasi dipusatkan dalam pikiran dan hati, maka
kualitas kesadaran akan berubah secara tajam dan bergerak menuju
kontemplasi.
Kelima, pengendalian indera (pratyâhâra). Pengendalian indera
atau pratyâhâra adalah sebuah kondisi di mana kesadaran sudah bisa
membebaskan diri dari pengaruh lingkungan luar secara efektif.
Dalam YS 2:54, pratyâhâra diuraikan sebagai: “Jika indera-indera
menarik diri dari obyek (benda-benda) dan meniru seolah-olah
mempunyai kodrat materi pikiran, maka inilah yang disebut
pratyâhâra.” Jelas kiranya betapa tidak mudah untuk mencapai
pengendalian indera yang baik, demikian dalam proses latihan
pratyâhâra seorang yogi berusaha agar tidak boleh menangkap suara
dengan telinga, merasakan sentuhan dengan kulit, melihat bentuk
dengan mata dan mencicipi dengan lidah. Karena baru ketika ia
berhasil menutup kelima indera, pikiran dan kesadarannya akan
menjadi aktif sehingga ia akan terbantu untuk masuk pada ketenangan
diri yang baik.
Keenam, konsentrasi (dhârsanâ). Kata dharsana diturunkan dari
kata kata kerja dhri yang berarti “menahan.” Yang ditahan adalah
fokus seseorang pada sebuah obyek yang sudah dibatinkan.
56
Alam Pemikiran Timur

Konsentrasi dipahami sebagai upaya menaruh perhatian pada satu


tempat (desha). Tempat itu bisa menunjuk pada bagian tertentu dari
tubuh pun obyek eksternal tertentu di luar diri. Konsentrasi adalah
tahapan lanjut setelah pengendalian nafas. Tentang dhâranâ, YS 2:53
dan YS 3:1 menulis demikian, “Dan pikiran sudah siap untuk
konsentrasi.” “Dhâranâ adalah memfokuskan pikiran pada suatu
tempat, obyek atau ide.” Singkatnya, dhâranâ adalah sebuah situasi di
mana tubuh mengalami ketenangan secara fisik dan batin dalam arti
bebas dari ketegangan otot serta gangguan lainnya. Namun, sejujurnya
harus dikatakan bahwa tidaklah mudah mencapai konsentrasi.
Kesulitannya terletak pada banyaknya hambatan yang sering muncul
dalam sebuah latihan konsentrasi. YS 1:30 menjelaskan hambatan-
hambatan itu; “ Terdapat sembilan hambatan yang mungkin muncul
dalam upaya menenangkan pikiran, yakni: penyakit, kebosanan,
keraguan, kecerobohan, kemalasan, sensualitas, persepsi yang salah,
kegagalan untuk mencapai dasar yang kuat dan menyimpang dari
dasar. Gangguan itu adalah hambatan dalam meditasi.”
Ketujuh, meditasi (dhyâna). Meditasi adalah langkah lebih lanjut
dari konsentrasi. Lazimnya, meditasi dipahami sebagai konsentrasi
yang lama dan mendalam. Bedanya, jika dalam konsentrasi
mekanisme utama ialah keterfokusan perhatian, maka dalam meditasi
mekanisme yang melandasi proses ini adalah ‘kemengaliran yang
tunggal.’ Tujuan awal meditasi ialah menahan, menekan dan
menghentikan modifikasi pikiran, tetapi selanjutnya dimaksudkan
untuk memperkuat kesadaran.
Kedelapan, ekstasi (samâdhi). Kalau konsentrasi adalah langkah
awal menuju meditasi, maka meditasi adalah pintu masuk bagi ekstasi.
Dengan kata lain, esktasi hanya mungkin bila ketenangan dan
kedamaian pikiran sudah dicapai dalam meditasi. Itu berarti,
konsentrasi, meditasi dan samâdhi merupakan tiga tahapan yang saling
57
Alam Pemikiran Timur

berhubungan erat satu sama lain. Lantas apa itu samâdhi? YS 3:3
memberikan batasannya demikian; “samâdhi adalah kondisi meditasi
yang sama, di mana hanya ada obyek saja, seolah tidak ada
bentuknya.” Nampak jelas kiranya bahwa samâdhi adalah sebuah
situasi puncak yang diperoleh melalui proses disiplin mental yang
tidak gampang dan lama. Terkadang, samâdhi disalah-pahami sebagai
kondisi yang tidak sadar. Padahal yang terjadi dalam samâdhi adalah
orang mengalami penyatuan kesadaran, masuk dalam kejernihan
mental, pikiran dan spiritual. Dalam konteks ini, Patanjali lantas
membagi samprajnita- samâdhi dalam empat bentuk: 1). Savitarka-
samâdhi, yakni jenis samâdhi di mana pikiran terarah pada suatu
obyek tertentu, sehingga memungkinkan seseorang bisa masuk ke
kedalaman obyek tersebut, mengerti dan memahami setiap bagian dari
obyek itu. 2). Savicara- samâdhi ialah tahapan esktasi di mana pikiran
terfokus pada obyek yang halus atau lebih abstrak, seperti warna
merah, cinta, kebaikan, dan lain-lain. Karena ia abstrak obyek-obyek
itu sering sulit dipahami, tetapi dengan samâdhi pikiran manusia akan
terbantu untuk mengerti obyek-obyek itu tanpa harus melihatnya
secara langsung. 3). Sananda- samâdhi yaitu bentuk samâdhi yang
lebih smooth di mana tidak ada lagi diskriminasi dan refleksi karena
orang berkontemplasi hanya tentang pikiran yang tenang dan damai.
Pada tahap ini orang akan mengalami sebuah kebahagiaan yang
mendalam. 4). Sasmita- samâdhi. Pada tahap ini yang dialami dan
dirasakan ialah kesadaran akan individualitas. Jika seorang yogi telah
mencapai tahapan samâdhi ini, maka ia tidak terganggu lagi dengan
hal-hal duniawi, kendati ia tinggal dan berada dalam dunia.

******

58
Alam Pemikiran Timur

BAB 2

BUDDHISME

Buddhisme memiliki sejarah yang panjang di India. Buddhisme


muncul sekitar abad ke-6 sM di India dan mempunyai doktrin yang
beraneka ragam. Buddhisme terutama dibentuk oleh ajaran Buddha,
aliran Hinayana dan Mahayana serta beberapa aliran lain. Uraian
berikut akan coba memberikan penjelasan tentang sejarah, dan pokok-
pokok ajaran Buddhisme dilengkapi dengan uraian tentang dua aliran
utama dalam Buddhisme, yakni Hinayana dan Mahayana: kesamaan
dan perbedaannya.

1. Latar Belakang Buddhisme: Sejarah Hidup Buddha

Sejarah Buddhisme adalah kisah dari perjalanan spiritual seorang


manusia menuju pencerahan, dan ajaran-ajaran serta cara hidup yang
dikembangkannya. Dengan menemukan jalan menuju pencerahan,
Siddharta Gautama dipimpin dari penderitaan dan kelahiran kembali
ke arah jalan Pencerahan dan menjadi terkenal dengan sebutan Buddha

59
Alam Pemikiran Timur

atau orang yang sudah mencapai pencerahan (the awankened one),


(Jove Jim S. Aguas, Advanced Ethics (Unpublished), 2010; hlm. 1).
Siddharta Gautama lahir sekitar tahun 563 (556 atau 580) sM di
Lumbini (Kapilavastu) India Utara, di mana Nepal berada sekarang. Ia
lahir dalam sebuah keluarga bangsawan. Ayahnya bernama
Suddhadona dari suku Sakhya dan ibunya bernama Maha-Maya.
Maha-Maya meninggal seminggu setelah melahirkan Siddharta.
Ayahnya kemudian menikahi Prajapati, saudara dari Maha-Maya. Di
bawah asuhan dan pemeliharaan Prajapatilah Siddharta tumbuh besar
dan menjadi dewasa. Gautama adalah nama keluarga, sementara
Siddharta adalah nama diri yang berarti mencapai tujuan. Selain
sebutan Buddha, Siddharta Gautama juga memiliki beberapa nama
lain: Sakyamuni yang berari si bijak dari suku Sakhya (lazim dipakai
oleh penganut Buddhisme di negara-negara Asia- Timur), Tathagata
yang berarti dia yang telah mencapai Kebenaran, dan Bhayavat
artinya yang terberkati (the Blessed One), (Alfredo P. Co, Philosophy
of the Compasionate Buddha, 2003; 11, 14).
Sebagai anak yang lahir dari keturunan bangsawan, Siddharta jauh
dari pengalaman penderitaan. Ayahnya, yang mendapatkan bisikan
bahwa Siddharta, anaknya akan menjadi seorang raja yang besar di
dunia selalu berupaya untuk menghindarkan Siddharta dari semua hal
yang dapat saja membangunkan dia dari kesadaran akan penderitaan di
dunia.
Suatu hari, ketika sudah tumbuh dewasa dan menikahi Yasudhara,
saudari sepupunya yang darinya ia memperoleh anak bernama Rahula,
Siddharta pergi keluar dari istana tempat ia hidup. Tatkala ia pergi
keluar, ditemani Channa, ia melihat seorang yang sudah tua dengan
wajah kurus dan tidak beraturan. Kaget dengan kenyataan itu, ia
bertanya, “apa arti hal itu?” Channa menjawab bahwa seorang tua
adalah seorang yang telah menjalani hidup selama bertahun-tahun.
60
Alam Pemikiran Timur

Siddharta kemudian bertanya lagi, “mengapa seorang manusia harus


tampak demikian, setelah sekian tahun hidup? Akankah saya juga akan
menjadi demikian?” Channa menjawab bahwa tidak ada seorangpun
akan lepas dari pengalaman itu.
Beberapa waktu kemudian, Siddharta keluar lagi dari istana, kali
ini berjumpa dengan seorang yang sakit dan menderita. Pengalaman
ketiga yang ia jumpai ialah proses penguburan dan kremasi dari
seorang yang sudah meninggal. Channa menjelaskan kepada Siddharta
bahwa setiap akan sakit dan akan meninggal sekali kelak. Pengalaman
keempat yang ia temukan ialah perjumpaannya dengan seorang
pertapa dengan tubuh dan kepala penuh debu, berkelana mencari
Pencerahan. Pengalaman-pengalaman ini sungguh-sungguh
mengganggu dan menggugat kesadaran Siddharta. Dia belajar dan
menjadi tahu bahwa sakit-penyakit, ketuaan, dan kematian adalah
nasib dari manusia yang tidak bisa terhindarkan. Setiap orang tidak
akan lolos dari kenyataan itu. Ia lantas pergi menemui seorang rahib,
dan memutuskan bahwa semua pengalaman itu adalah tanda bahwa ia
harus meninggalkan kehidupan istananya yang nyaman dan hidup
sebagai seorang pengemis-gelandangan yang suci.
Dalam perjalanan selanjutnya, Siddharta menemukan bahwa
terdapat begitu banyak penderitaan di dunia. Dan karena itu ia
berusaha mencari solusi atau cara untuk keluar dari penderitaan itu
dengan jalan berguru pada kaum beragama. Tetapi hal itu tidak
memberikan jawaban memuaskan kepadanya. Ia juga bertemu dengan
seorang pertapa India yang menganjurkan dia untuk mengikuti dan
menghidupi displin hidup dan penyangkalan diri yang ekstrim. Ia juga
berlatih meditasi, tetapi menemukan bahwa bahkan kondisi
pengalaman meditasi tingkat tinggi sekalipun tidak cukup. Ia
menjalani cara hidup asketisme ini selama enam tahun, tetapi

61
Alam Pemikiran Timur

pengalaman ini tidak memuaskan dia. Ia tetap tidak bisa melarikan diri
dari dunia penderitaan.
Ia akhirnya meninggalkan gaya hidup asketisme dan penyangkalan
diri yang ketat, tetapi tidak kembali kepada pengalaman hidupnya di
masa lampau yang penuh dengan kemewahan. Sebaliknya, ia mencita-
citakan sebuah Jalan Tengah (the Middle Way), yakni sebuah bentuk
hidup yang tidak mewah juga bukan miskin. Ia pergi ke Gaya di mana
tumbuh dan hidup Pohon Pencerahan (Boddhi Tree, the tree of
awakening). Di bawah Pohon Pencerahan itu, Siddharta duduk
bermeditasi selama 49 hari dan hanyut dalam meditasi, dan berefleksi
tentang pengalaman hidupnya, serta memutuskan untuk memahami
kebenarannya. Ia memutuskan entahkah ia mati atau hidup sebagai
yang mengalami pencerahan. Ia akhirnya mencapai Pencerahan dan
menjadi Buddha.
Legenda Buddhisme mengatakan bahwa awalnya Buddha bahagia
untuk tinggal dalam situasi itu (nirvana), tetapi Brahma, raja dari para
dewa memintanya, atas nama seluruh dunia, agar ia harus
membagikan pengertiannya atau pengalaman Pencerahannya dengan
orang lain. Buddha kemudian kembali ke tempat kelahirannya dan
selama 45 tahun mengajarkan tentang pencerahan kepada banyak
pengikutnya yang menjadi pribadi-pribadi yang mencapai Pencerahan.
Buddha meninggal dunia pada usia 80 tahun (480 sM).

2. Pencerahan dari Buddha

Setelah bermeditasi dalam waktu yang lama di bawah Pohon


Pencerahan, Siddharta disadarkan akan sebuah visi baru, visi tentang
karakter hidup manusia. Sebagai Buddha atau Yang dicerahkan,
Siddharta melihat dirinya dan seluruh hidup sebagai bagian dari
sebuah proses perubahan yang tiada akhirnya. Seluruh alam semesta
merupakan sebuah sistim yang saling berhubungan, tidak dapat
62
Alam Pemikiran Timur

dipisahkan dan terdiri dari pelbagai macam bentuk hidup yang


bergerak dari satu bentuk ke bentuk yang lain, (Aguas, 2010; hlm. 1-
2).
Buddha mencapai pengalaman kepuasan batin dan terpisah secara
total dari dunia fisik yang disebut nirvana. Bagi Buddhisme, nirvana
adalah penghancuran ego, sebuah kondisi kekosongan (a state of
emptiness) atau ketiadaan (nothingness). Nirvana adalah sebuah situasi
kepuasan batin karena di sana terdapat hanya “kesadaran murni,”
tanpa individualitas, keterpisahan, diskriminasi atau intelektualisasi.
Nirvana mentransendenkan pengalaman keseharian. Ia adalah sebuah
pembebasan dari penderitaan sementara masih tinggal atau berada
dalam kesadaran. Nirvana dapat dialami, tetapi tidak bisa dipahami
atau dijelaskan. Kendati demikian pengalaman ini membaharui kita
karena ia mengubah perhatian kita berkaitan dengan pengalaman
keseharian dan yang dibatasi waktu ke arah hal-hal yang luar biasa dan
abadi.
Setelah mencapai kondisi yang penuh kepuasan batin, Buddha
dihadapkan pada pilihan entahkah tetap tinggal di nirvana, dan terus
bermeditasi dan menjauhkan diri dari penderitaan atau mau
membagikan pengalamannya. Tetapi ia menunda pembebasan dan
memilih tinggal dan menolong orang lain menjadi Buddha bagi
dirinya. Demikianlah Siddharta menjadi Buddha yang berjalan (the
Walking Buddha), seorang pengembara, kali ini bukan sebagai pencari
tetapi sebagai seorang Guru.
Buddha, yang oleh sebagian aliran Buddhisme disebut
Bodhisattva, bukanlah seorang penyelamat dan bukan pula seorang
perantara bagi orang lain. Ia hanya menunjukkan jalan yang benar. Ia
adalah seorang bijak dan pribadi penuh belarasa yang telah berjalan
melampaui diskriminasi. Di sana tidak ada lagi “Saya” atau “Kamu.”

63
Alam Pemikiran Timur

Ia tidak mengalami atau merasakan lagi keterpisahan pada setiap level.


Dengan kata lain, yang dialami ialah kepenuhan.

3. Pokok – Pokok Ajaran Buddhisme

 Sumber utama ajaran Buddhisme yang diwariskan Buddha


termuat dalam 3 kumpulan kitab yang disebut Tri-Pitaka yang berarti 3
keranjang (The Three Basket). Ketiga keranjang kitab itu adalah:
Vinaya-Pitaka adalah kitab yang berisi peraturan bagi para
bhikkhu atau para rahib.
Sutta-Pitaka adalah kitab berisi ceramah-ceramah, tanya-jawab
dan perundingan-perundingan.
Abhidhamma-Pitaka adalah kitab yang berisi penjelasan mengenai
kebenaran terakhir.
 Adapun beberapa pokok yang diyakini, baik oleh Buddhisme
Hinayana, pun Mahayana, merupakan ajaran utama Buddhisme ialah:
Empat Kebenaran Mulia (Four Noble Truths) dan Delapan Jalan
Kebenaran (Noble Eightfold Paths); Tiga Tanda sang Wujud (Ti-
Lakkhana), yakni: penderitaan (Dukkha, Suffering), Ketidakkekalan
(Anicca, Impermanence), Bukan diri atau ketiadaan diri (Anatta, Non-
Ego, Non-Self); Hukum Karma, Reinkarnasi; Pencerahan
(Enlightenment) dan Nirvana sebagai tujuan akhir. Uraian berikut coba
menjelaskan pokok-pokok ajaran tersebut.

3.1 Empat Kebenaran Mulia (Ariya-Sacca, Four Noble Truth)

 “Saya mengajarkan penderitaan, asalnya, penghentian dan jalan


keluarnya, “demikian seru Buddha 2500 tahun yang lalu. Ajaran
Buddha tentang keempat kebenaran mulia dan delapan jalan kebenaran
sebagai sarana untuk mencapai pembebasan termuat dalam Tri-Pitaka.
Keempat kebenaran mulia berisi esensi dari ajaran-ajaran Buddha.
64
Alam Pemikiran Timur

Adalah keempat kebenaran mulia ini muncul dalam pemahaman


Buddha selama meditasinya di bawah pohon pencerahan. Keempat
kebenaran itu dapat dijelaskan sebagai berikut:
 Pertama, kebenaran tentang penderitaan (dukkha). Penderitaan
datang dalam banyak bentuk. Menurut Buddha, penderitaan tidak
hanya muncul dalam bentuk: ketuaan, sakit-penyakit, dan kematian,
tetapi lebih dari itu. Hidup jauh dari ideal dan menyenangkan, secara
perlahan hidup jauh dari apa yang kita harapkan. Dalam kenyataan
manusia sering takluk kepada keinginan dan rasa lapar, dan amat
sering menginginkan banyak hal dalam hidupnya. Tetapi bahkan
ketika manusia mampu memuaskan keinginan-keinginan itu,
kepuasannya hanya bersifat sementara. Atau kalaupun manusia tidak
menderita karena faktor dari luar seperti penyakit, ia tetap merasa
tidak terpenuhi dan terpuaskan keinginannya. Inilah kebenaran tentang
penderitaan. Untuk sebagian orang ajaran ini mungkin dianggap
bersifat pesimistik, tapi bagi kaum Buddhis, ajaran ini tidak optimistik
pun bukan pesimistik, tetapi lebih bersifat realistik.
 Kedua, kebenaran tentang penyebab atau asal penderitaan
(dukkha-samudaya). Menurut Buddha akar dari penderitaan ialah
keinginan (tanhâ). Keinginan ini, menurut Buddha muncul dalam tiga
(3) bentuk, yang ia gambarkan sebagai tiga (3) akar kejahatan (three
roots of evil), atau tiga api (three fires), atau tiga racun (three poisons).
Ketiga penyebab utama penderitaan itu adalah: kerakusan dan
keinginan (greed and desire) yang dilambangkan dalam seni dengan
seekor ayam jantan; ketidaktahuan (ignorance) yang direpresentasikan
oleh seekor babi; dan kebencian (hatred) atau keinginan kuat untuk
merusak yang disimbolkan dengan seekor ular. Tanha secara khusus
juga berarti rasa lapar yang kuat (carving). Kendati demikian, tidak
berarti bahwa kaum Buddhist memandang negatif seluruh keinginan
manusia. Buddhisme tetap mengakui adanya keinginan positif, seperti
65
Alam Pemikiran Timur

keinginan untuk mencapai pencerahan atau keinginan agar orang lain


memperoleh hidup yang lebih baik. Istilah yang tepat untuk keinginan
semacam ini ialah chanda.
 Ketiga, kebenaran tentang lenyapnya penderitaan. Seorang
Buddhist bercita-cita untuk mencapai nirvana. Nirvana berarti
mencapai pencerahan atau terbebasnya seseorang dari ketamakan,
ketidaktahuan dan kebencian. Seseorang yang telah mencapai nirvana
tidak serta merta menghilang dan masuk dalam kerajaan surga.
Nirvana barangkali lebih baik dipahami sebagai sebuah keadaan
pikiran yang dapat dicapai oleh manusia. Ia merupakan sebuah
keadaan yang diliputi kegembiraan spiritual yang mendalam, tanpa
emosi negatif dan ketakutan. Seseorang yang telah mencapai
pencerahan dipenuhi dengan belarasa terhadap seluruh mahkluk hidup.
Ketika ia mencapai pemisahan, hawa nafsu hilang. Dengan hilangnya
hawa nafsu, ia mencapai pembebasan. Ketika ia dibebaskan, terdapat
kesadaran atau pengetahuan bahwa ia telah dibebaskan. Ia memahami
bahwa kelahiran melelahkan, kehidupan yang suci telah dijalani, apa
yang dapat dilakukan harus dilakukan, tidak ada yang melampaui itu.
Setelah mati seorang yang telah dicerahkan dibebaskan dari kelahiran
kembali, namun Buddhisme tidak memberikan jawaban pasti
mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Buddha mencegah para
pengikutnya dari banyak bertanya tentang nirvana. Dia menghendaki
mereka untuk berkonsentrasi pada tugas mereka yang mana dapat
membebaskan mereka dari kelahiran kembali.
 Kebenaran keempat ialah kebenaran tentang jalan untuk
melenyapkan penderitaan, yakni delapan (8) jalan kebenaran (the
eightfold path) yang memberi petunjuk menuju pembebasan dari
penderitaan dan berisikan praktik seluruh ajaran sang Buddha.
Kedelapan jalan kebenaran itu ialah (Co, 2003; hlm. 60-63):

66
Alam Pemikiran Timur

1). Pengertian yang benar (samma-ditthi). Pengertian yang benar


adalah momen tiba pada kebenaran tentang makna hidup, pencapaian
kebajikan yang final. Ia adalah kesadaran pikiran kepada kebenaran.
2). Pikiran yang benar (samma-sankappa). Kebenaran tumbuh
dari pikiran yang merupakan benih atau buah dari ide-ide kita. Oleh
karena itu kita harus berhati-hati dengan ide-ide yang berkembang
dalam alam pikiran kita. Kita harus berhati-hati apakah ide-ide dan
pikrian itu muncul dari sebuah keinginan yang menyebabkan
penderitaan. Benih-benih penderitaan yang berakar pada pikiran kita
disebabkan oleh apa yang disebut Buddha dengan lima belas kotoran:
kehendak yang sakit, tidak ramah, kemerosotan, kekuasaan, irihati,
kecemburuan, kemunafikan, penipuan, keras kepala, ketidaksopanan,
keangkuhan, kesombongan, arogansi, keaplaan. Untuk menghilangkan
benih-benih kekotoran yang menyebabkan penderitaan itu, maka
terdapat enam metode yang bisa dipakai: 1) mengendalikan diri dari
apa yang menyenangkan pancaindera/perasaan yang bisa
menyebabkan kelekatan. 2). Menggunakan semua kekuatan yang kita
miliki untuk mencapai kedamaian dalam hati kita. 3). Toleran terhadap
perbedaan namun tidak menyerah kepada alam pikiran yang liar. 4).
Menghindari semua yang tidak murni dan yang akan mencemarkan
pikiran. 5). Menghancurkan apa yang menyebabkan sesuatu yang
benar dikotori. 6). Mengembangkan ketrampilan diri dan mencapai
kedamaian.
3). Bicara yang benar (samma-vaca). Manusia dinilai dari caranya
dia berbicara. Demikian seharusnya setiap orang berhati-hati dengan
kata-kata yang diucapkannya. Karena kata-kata terkadang bisa lebih
tajam dari senjata mematikan ciptaan manusia. Ia bisa menjadi sumber
inspirasi, tetapi juga bisa mencederai hati dan perasaan orang lain.
Buddha mengajukan empat cara menggunakan kata-kata yang bisa
mengantar pada kedamaian dalam hidup kita: 1). Kata-kata yang jujur:
67
Alam Pemikiran Timur

karena adalah dalam kebenaran manusia menemukan pencerahan. 2).


Kata-kata yang simpatik dan ramah yang mendamaikan hati,
menghantar orang untuk hidup bersama dalam damai. 3). Kata-kata
yang menumbuhkan adalah lebih menyenangkan daripada kata-kata
yang melukai hati orang lain. 4). Kata-kata yang pantas diucapkan
pada moment yang tepat, jauh dari gossip, tidak benar, dan cinta diri.
Kepantasan kata-kata kita diukur oleh bagaimana mereka berkembang
dalam keheningan.
4). Bertindak atau berbuat yang benar (samma-kammanta). Adalah
dalam tindakan eksistensi manusia bermuara. Lazimnya dari pikiran
kita digerakkan untuk berbicara, dan dari perkataan lahir tindakan
manusia. Oleh karena itu, tindakan kita haruslah dilakukan dengan
bijak. Kita harus melakukan hal yang benar dan secara konstan
menghindari hal-hal yang akan melukai orang lain dan diri kita. Pada
dasarnya Buddha mengajarkan manusia “untuk tidak melakukan
kejahatan.” Itu adalah dasar aturan moral dari Buddha. Tindakan harus
diarahkan untuk pemeliharaan seluruh mahkluk hidup dan harus lahir
dari belarasa yang dalam kepada seluruh ciptaan. Singkatnya,
bertindak yang benar berarti bertingkah laku secara damai dan
harmonis; menghindari pencurian, pembunuhan, kesenangan sensual
yang berlebihan.
5. Penghidupan yang benar (samma-ajiva). Adalah dalam
keseharian hidup yang konkret seseorang belajar tentang hidup di
dunia yang sementara ini. Ia ditantang untuk selamat melalui apa yang
diperolehnya. Oleh karena itu, ia harus menjauhkan diri dari setiap
bentuk pekerjaan yang dapat melukai hidup itu. Orang harus berupaya
menghindarkan diri dari segala bentuk profesi yang menyebabkan
terenggutnya hidup mahkluk ciptaan, seperti pembunuhan dan
sejenisnya. Singkatnya, orang harus menghindarkan diri dari semua
bentuk hidup atau tindakan yang bisa mencederai hidup ciptaan,
68
Alam Pemikiran Timur

seperti eksploitasi manusia, atau membunuh binatang, atau penjualan


senjata mematikan.
6. Usaha yang benar (samma-vayama). Sesungguhnya jalan dari
hidup yang baik itu tidak mudah. Daya magis dari dunia samsara itu
penuh dengan daya tarik untuk memuaskan perasaan kita. Banyak hal
yang seharusnya dihindari dan tidak dilakukan manusia itulah yang
acapkali disukai dan dilakukan oleh kebanyakan manusia. Menurut
Buddha, adalah disiplin dan ketekunan kunci yang menyiapkan jalan
menuju pencerahan. Ketika manusia dengan sungguh-sungguh
memahami makna penderitaan, dan memutuskan untuk mencari
pembebasan darinya, maka ia mengembangkan usaha yang benar dan
tepat untuk mencapai pembebasan. Pendeknya, usaha yang benar
menunjuk pada upaya untuk mencapai kondisi pikiran yang positif:
membebaskan seseorang dari kejahatan.
7. Perhatian yang benar (samma-sati). Seseorang harus berusaha
untuk memberikan seluruh perhatian kepada apa yang ia lakukan.
Tubuh dapat membantu pikiran manusia keluar dari kebingungan yang
disebabkan oleh dunia samsara. Dengan memfokuskan pernafasan,
gerakan, tindakan, manusia dapat sampai pada ketenangan dan
kejelasan hidup. Dengan memberikan perhatian kepada perasaan
internal dan eksternalnya, mengamati keluar masuknya, akan
membantu manusia untuk mengerti ketergantungan kita dan mencapai
ketenangan dan damai. Memahami sifat atau karakter perasaan dapat
membantu kita keluar dari kebiasaan melekatkan diri pada dunia yang
mempesonakan. Dan dengan memberikan perhatian kepada keadaan
mental kita dapat mengenali lima penghalang dari kualitas mental,
yakni: keinginan sensual, kehendak yang sakit, kemalasan, kecemasan,
dan keraguan.
8. Konsentrasi yang benar (samma-samadhi). Pengalaman hidup
manusia memperlihatkan bahwa tak jarang, keinginan-keinginan
69
Alam Pemikiran Timur

manusia mendorongnya ke arah lautan penderitaan. Tetapi jiwa yang


tekun dan kuat akan tetap berdiri kuat dalam kebajikan dan
mengarahkan diri kepada hidup yang damai. Konsentrasi pikiran
kepada jalan damai itulah konsentrasi yang benar. Singkatnya,
konsentrasi yang benar menunjuk pada upaya mengembangkan fokus
mental untuk mencapai kesadaran diri yang mantap.
 Kedelapan jalan kebenaran itu lazimnya dapat dikelompokkan
menjadi tiga (3) kelompok, yakni: sila atau moralitas (berbicara yang
benar, bertindak yang benar dan penghidupan yang benar); Samadhi
atau meditasi atau konsentrasi (usaha yang benar dan konsentrasi yang
benar); dan prajna atau kebajikan (pengertian dan pikiran yang benar).
1. Sila menurut kaum Buddhis terdiri dari kesadaran kehendak
untuk menjauhkan diri dari: perilaku diri yang tidak benar seperti
membunuh ciptaan, mencuri, pelecehan seksual; perkataan yang tidak
benar seperti berbohong, memfitnah, kata-kata kasar, dan kata-kata
yang tidak bermakna; pikiran yang tidak benar, seperti kebencian,
kedengkian, dan pandangan yang salah. Tujuannya ialah untuk
menghindarkan manusia dari setiap tindakan yang mungkin saja dapat
melukai atu mencederai orang lain.
 Apa itu sila? Sila adalah disposisi batin yang terungkap dalam
perkataan dan perbuatan yang benar. Dalam Buddhisme dikenal
pancasila atau lima pedoman perilaku moral, yaitu: menjauhi
pembunuhan, pencurian, perzinahan, pembohongan dan pemabukan,
(Co, 2003: hlm. 65-66).
 Menjauhi pembunuhan lahir terutama dari sikap untuk tidak
melukai orang lain. Tidak seorangpun dapat berkembang dalam cinta
kepada orang lain jika ia tidak mampu menghindarkan diri dari
perbuatan melukai orang lain. Namun dalam Buddhisme, pedoman ini
berlaku tidak hanya bagi manusia tetapi juga bagi seluruh mahkluk
hidup.
70
Alam Pemikiran Timur

 Menjauhi pencurian menunjuk pada tidak mengambil apa yang


bukan milik kita. Menjauhi pencurian juga berarti bahwa seseorang
hanya dapat menerima sesuatu yang diberikan dengan murah hati.
Orang tidak boleh memaksa orang lain untuk memberikan kepadanya
sesuatu yang orang lain tidak berkeinginan untuk memberikannya.
 Menjauhi perzinahan berarti seseorang tidak boleh terlibat
dalam kegiatan seksual yang bisa menyebabkan konflik, kekesalan
atau penderitaan bagi orang lain.
 Menjauhi pembohongan menunjuk pada perkataan yang bodoh
atau salah, seperti berbohong, menyebarkan issu/rumor, gossip,
memfitnah, pembunuhan karakter, dan perkataan yang melukai orang
lain.
 Menjauhi pemabukan karena menyebabkan penghancuran diri
baik pikiran maupun tubuh. Pemabukan merusak tubuh manusia dan
karena itu Buddhisme peduli dengan pemurniaan pikiran, semua hal
yang mengganggu atau mengacaukan kedamaian pikiran dihindarkan.
 Menurut Buddhisme seorang yang mengikuti dan
mempraktikkan kelima pedoman moral di atas akan membina atau
memelihara lima kebajikan (pancadharma) berikut:
 Mencintai-keramahtamahan atau belarasa terhadap seluruh
ciptaan. keutamaan ini lahir dari hati mereka yang mengikuti atau
menghidupi larangan melukai orang lain.
 Kesabaran dalam hidup diperoleh oleh manusia yang
mendisiplinkan diri dalam hidup.
 Kesucian diperoleh dan dipupuk oleh dia yang hidup dalam
ikatan perilaku seksual yang pantas.
 Kejujuran dicapai oleh mereka yang menghiasi hidupnya
dengan hidup yang benar dan jujur.
 Kewaspadaan diperoleh oleh mereka yang menjaga pikirannya
untuk tetap jernih, tidak tercemar, dan terang.
71
Alam Pemikiran Timur

2. Samadhi atau konsentrasi atau kontemplasi. Samadhi pada satu


sisi adalah terfokusnya pikiran pada satu titik. Ia mencakup sembilan
(9) tahapan meditasi. Dikatakan bahwa pada awalnya pikiran masih
menggunakan seluruh aktivitas mental, (Digha-Nikaya. II, 156);
Digha-Nikaya, III, 265, 290; Angutara-Nikaya, IV, 410). Dalam
proses selanjutnya, pikiran secara bertahap membebaskan dirinya dari
pelbagai macam aktivitas dan menjadi bertambah jelas. Akhirnya, ia
menembus tahapan ke sembilan dan tahap terakhir, yakni kontemplasi
tentang distingsi tentang persepsi dan perasaan, di mana nafsu berahi
seseorang dihilangkan oleh pengetahuan dan kemudian mencapai
pencerahan.
 Samadhi juga menempatkan seorang yang mempraktikkan
kontemplasi dalam kepemilikan akan enam (6) kekuatan spiritual
tertinggi yang disebut “pengetahuan super.” Lima di antaranya bersifat
duniawi dan yang keenam bersifat transendental. Keenam pengetahuan
itu ialah: kekuatan fisik, kemampuan meramal, kemampuan membaca
dan menembus pikiran orang lain, pendengaran ilahi, kemampuan
mengingat, kesucian atau kemurnian diri yang menjamin pembebasan
dari hidup di dunia (Digha-Nikaya. III. 281). Buddhisme merekam
empat praktek spiritual yang bisa membantu seseorang untuk
mencapai hidup yang mencerahkan. Keempat praktIk itu terdiri dari:
pikiran yang dipenuhi dengan kehendak baik (Maitri); belarasa
(Karuna); kegembiraan yang altruistik (Mudita); dan ketenangan diri
yang sempurna (Upeksa).
 Praktek maîtri atau metta, menurut Visudhi-Magga, harus
diawali dengan permenungan tentang akibat dari kejahatan dan
kebencian serta berkat dari pikiran yang dipenuhi dengan kehendak
yang baik atau welas-asih. Selama orang belum memahami dampak
dari kejahatan, ia tidak akan dapat mengatasi kejahatan. Demikian, tak
seorangpun dapat meraih pikiran yang luhur dan mulia, selama ia
72
Alam Pemikiran Timur

belum pahami berkatnya. Kebencian tidak dapat dikalahkan dengan


kebencian. Olehnya, orang yang dipenuhi dengan kebencian akan
terpenjara oleh pikirannya dan ia akan terhanyut dalam kehidupan
yang jahat, seperti berpikir, berbicara dan bertindak yang jahat; dan ia
tidak akan dapat memahami kesejahteraan dirinya, pun kesejahteraan
orang lain. Tatkala orang bisa mengatasi kebencian dalam dirinya,
kejahatan menghilang. Orang akan mengenal kesejahteraan dirinya
dan kesejahteraan orang lain serta kesejahteraan hidup kedua belah
pihak. Dalam syair “welas-asih” ditegaskan: “mereka yang selalu
berbuat baik dan ingin mencapai ketenangan batin, haruslah berteguh
hati, sungguh-sungguh taat, lemah-lembut dan rendah hati,” (Sutta-
Nipata, 43 ff:1).
 Dalam Vibhanga XIII, ditegaskan bahwa Karuna pertama-tama
harus ditunjukkan kepada orang yang malang, jahat, orang yang jatuh
melarat, berdukacita, miskin dan sengsara. Caranya ialah merasa iba
dan kasihan ketika melihat orang lain menderita dan mengalami
kemalangan. Jika praktik ini dilaksanakan atau dikembangkan terus-
menerus, maka nurani seseorang akan dipenuhi dengan bela rasa,
kasih sayang dan kegembiraan yang altruistik. Jika kenyataan ini
sungguh dihidupi, maka kemauan jahat tidak akan dapat meraja atas
hati orang tersebut, (Bdk. Digha-Nikâya).
 Sedangkan tentang mudita dikatakan merupakan sebuah rasa
simpati dan ikut serta mengalami dan merasakan kebahagiaan atau
kegembiraan orang lain. Sikap ini pertama-tama harus ditunjukkan
kepada teman atau sahabat terdekat dengan cara ikut serta menyatakan
kegembiraan bersama mereka, sebagaimana dikatakan dalam
Vibhanga XIII, “Bagaimana caranya seorang rahib dalam tingkat awal
menembus suatu tujuan dengan pikiran yang berisi mudita? Jawabnya:
Bila melihat orang lain yang baik budi dan menyenangkan hati, maka
akan merasa gembira, demikain juga cara sang rahib menembus semua
73
Alam Pemikiran Timur

mahkluk dengan mudita. Berkah serta cara pengembangannya adalah


sama dengan bela-rasa.”
 Dalam Buddhisme dikenal samadhi atau bhavana (bahasa Pali)
benar (samma-samadhi) dan samadhi salah (miccha-samadhi).
Samadhi benar adalah bersatu dengan kesadaran dari karma baik,
sedangkan Samadhi salah adalah bersatu dengan semua kesadaran dari
karma yang jahat. Namun jika dipakai term samadhi, maka yang
dimaksudkan ialah samadhi yang benar.
3. Kebajikan atau keutamaan (Prajna). Kebajikan merupakan
element terakhir dari delapan jalan kebenaran. Latihan konsentrasi
tidaklah cukup lengkap untuk memurnikan pikiran, dan karena itu
untuk menjamin ketenangan, damai dan pencerahan, Prajna sangatlah
dibutuhkan. Kebajikan di sini bukan pengetahuan yang kabur atau
bangunan yang tidak jelas, bukan masalah emosi dan intelek. Prajna
merupakan sebuah pertanyaan tentang visi yang jelas dan benar dalam
menerima dan memeluk keempat kebenaran mulia dan memahami
secara mendalam karakteristik umum dari segala sesuatu – hal yang
berubah-ubah, penderitaan, dan gejala impersonalitas termasuk
kedamaian dan nirvana. Melalui kebajikan seseorang memotong atau
mengakhiri apa yang menyebabkan penderitaan dan kelahiran
kembali. Buddha mengatakan: “Saya telah menginsafi kebenaran
mulia; mengakhiri kelahiran kembali; Saya telah menghidupi hidup
yang murni; apa yang harus dijalankan telah dijalankan; oleh karena
itu tidak akan ada lagi kelahiran kembali untuk saya.” Prajna atau
kebajikan mencakup perhatian yang total dalam perjalanan menuju
kesadaran yang paling tinggi, menjadi sepenuhnya diresapi oleh
Realitas absolut.

3.2 Tiga Tanda Sang Wujud (Ti-Lakkhana)

74
Alam Pemikiran Timur

 Dalam Buddhisme dikenal tiga eksistensi atau tiga tanda sang


wujud yang dinamai Ti-Lakkhana. Dengan Ti-Lakkhana dimaksudkan
tiga sifat mendasar yang dimiliki kehidupan. Ketiga sifat dasar itu
ialah: semua bentuk adalah tidak kekal (aniccata/anicca); semua
bentuk adalah derita (dukkhata); dan semua keadaan yang bersyarat
maupun tidak bersyarat adalah tanpa aku dan tidak mempunyai inti
yang kekal (anatta), (Ali, 2010; hlm. 175-176).
1. Ketidak-kekalan (Anicca) merupakan sebuah gejala utama yang
ada dalam semua pengada. Dhammapada dengan tegas dan jelas
mengatakan itu “semua benda-benda yang ada bersifat sementara,”
(227). Semua hal berada dalam proses menjadi (becoming),
berkelanjutan, berubah dan mati. Perubahan usia ke arah ketuaan,
sakit-penyakit, dan kematian adalah fakta konkrit dan mendasar dari
dunia fenomena. Setiap akibat, diyakini, Buddhisme ada penyebabnya.
Demikian, proses perubahan sebab-akibat itu hanya mungkin
dihentikan ketika penyebabnya dihentikan. Inilah inti ajaran filsafat
analitis Buddhisme. Lantas apakah tujuan atau arah dari ajaran
tentang anicca atau kesementaraan ini? Menurut Buddhisme, tujuan
anicca ialah untuk menghindarkan dua ekstrim, yaitu: antara realisme
dan nihilisme. Dengan realisme dimaksudkan sebuah kepercayaan atau
pandangan bahwa segala sesuatu itu ada, sedangakan nihilisme adalah
kepercayaan atau pandangan bahwa segalanya nihil atau tidak ada.
Guna menghindari kedua pandangan yang ekstrim ini, Buddha
menawarkan dan mengajarkan “doktrin jalan tengah” (The Middle
Doctrine). Gagasan dasar ajaran “jalan tengah” ialah bahwa segalanya
selalu berada dalam proses menjadi (becoming). Pasalnya, karena
dalam dunia samsara tidak ada momen yang diam, tak bergerak.
Transformasi dalam semua mahkluk hidup selalu ditentukan oleh
keadaan pra-eksistensi menurut hukum karma.

75
Alam Pemikiran Timur

2. Penderitaan (dukkha) adalah gejala hidup amat familiar, dekat


dan mendasar dalam dunia ini. Penderitaan menjadi karakter paling
khas dan menonjol yang dialami setiap mahkluk hidup di dunia ini.
Misalnya: kelahiran, usia tua, kesakitan dan kematian. Singkatnya,
bisa dikatakan bahwa penderitaan merupakan sebuah kenyataan fisik
dan mental dari kehidupan manusia, karena ia ada dan tertanam dalam
keberadaan semua mahkluk hidup di dunia ini. Tentang ini
Dhammapada menulis, “sumber utama penderitaan ialah nafsu dan
kesenangan inderawi manusia,” (248).
3. Ketiadaan diri atau tidak ber-diri (Anattâ, Non-Self), anattâ
berarti tiadanya jiwa permanen dan abadi seperti substansi dalam diri
manusia. Buddhisme mengajarkan bahwa sang ‘diri’ (self) bukan
merupakan suatu entitas yang tak berubah, tetapi sesungguhnya adalah
kosong (empty). Misalnya, nama Nasagena, hanyalah sebuah nama
untuk menamai rambut kepala, otak, pancaindera serta kesadaran,
karena tidak semua rambut, otak, tubuh dapat disebut Nagasena.
Dengan pendekatan analitis, Buddhisme mengingkari eksistensi Diri
(self).

3.3 Samsara dan Karma

Samsara dapat diterjemahkan sebagai reinkarnasi. Konsep ini


adalah warisan dari Hinduisme, namun Buddhisme tidak mengenal
perpindahan jiwa. Yang diajarkan Buddha ialah perpindahan karakter
atau personalitas seperti nyata nampak dalam konsep anattâ. Pada titik
ini terletak perbedaan konsep samsara dalam Buddhisme dan dalam
Hinduisme. Kendati demikian, Buddhisme juga mengajarkan bahwa
dunia samsara adalah dunia ‘penderitaan’ dan ‘ilusi.’ Oleh karena itu
manusia harus membebaskan diri dari samsara untuk meraih
keselamatan. Dengan ini, nampak jelas betapa pandangan Buddhisme

76
Alam Pemikiran Timur

tentang dunia lebih bercorak realistik dan idealistik ketimbang


pesimistik, (Ali, 2010; 177-178).
Konsep samsara dalam Buddhisme punya hubungan erat dengan
ajaran tentang karma. Secara literer, karma (Sanskrit) berarti
“tindakan.” Kata karma ini digunakan untuk menunjuk pada tindakan
yang dikehendaki. Sebagai konsep moral, istilah karma sudah muncul
sebelum lahirnya Buddha, namun Buddha mengambil-alih konsep
yang sama untuk menjelaskan doktrin moralnya dan memberikan
penafsirannya. Dalam Buddhisme, karma menunjuk pada hukum
moral sebab-akibat. Apapun yang manusia lakukan menghasilkan
kesan mental tertentu yang kelak menghasilkan buah tertentu, seperti
dikatakan Buddha, “sesuai benih yang ditaburkan, demikian buah yang
kamu dapatkan. Tindakan yang baik akan menghasilkan buah atau
hasil yang baik. Tindakan yang jahat membuahkan hasil yang jahat
pula. Jika kamu menanam benih yang baik, maka kamu akan
mendapatkan buah yang baik.” Namun dalam Buddhisme, karma tidak
lagi dipahami semata-mata sebagai fungsi ketidaktahuan hidup dari
individu seperti dalam teks-teks Veda, merepresentasikan kontuinitas
rantai/rangkaian sebab-akibat seluruh aspek hidup kita. Karma lebih
menunjuk aspek kosmik. Ketimbang tindakan menjadi ‘benih’ yang
menghasilkan buah, tindakan pada dirinya merupakan buah dari
‘benih’ dalam ‘kesadaran repositori.’
Namun karma juga dipahami sebagai hukum penyebab moral. Ia
merupakan hukum aksi dan reaksi dalam lingkup etis. Ia adalah
hukum alam di mana setiap tindakan menghasilkan efek tertentu.
Dalam konteks ini, gagasan hukum tindakan melibatkan perbuatan
kemauan dari pikiran, perkataan dan perbuatan. Karena semua ini
kapabel untuk menyebabkan yang baik dan yang jahat. Pikiran jahat
menyebabkan kekerasan terhadap diri sendiri dan dapat menyebabkan
kekerasan terhadap yang lain lagi. Perkataan jahat dapat menyebabkan
77
Alam Pemikiran Timur

dampak buruk kepada diri sendiri pun kepada orang lain. Tindakan
jahat menghasilkan efek yang jahat bagi diri sendiri dan orang lain.
Jelas nampak kiranya betapa karma memainkan peranan penting
dalam etika Buddhist. Karma membatasi penyebab peristiwa dan
takdir dari pengada, seperti dikatakan sang Buddha, “melalui diri kita,
kejahatan dilakukan. Oleh diri kita, kita memikul penderitaan. Oleh
diri kita, kesalahan dihentikan. Oleh diri kita, kita menjadi murni.
Tidak seorangpun menyelamatkan kita selain diri kita sendiri. Tidak
seorangpun dapat dan tidak seorangpun boleh. Kita sendirilah yang
harus menjalani jalan itu. Buddha hanya menunjukkan jalan,”
(Dhammapada, I, VIII, LX; Majjhima-Nikaya III,21). Singkatnya,
manusia adalah pencipta kebaikan dan kejahataan, dan dia juga yang
menghentikan seluruh kejahatan dan melakukan kebaikan.
Menurut Budhha ketidaktahuan (avija) merupakan penyebab
utama Karma. Kelahiran kembali pada dirinya tidak sebuah kejahatan
moral, tetapi sebuah kondisi yang perlu bagi proses menuju
kesempurnaan. Ia menjadi jahat tatkala karma merupakan hasil dari
ketidaktahuan. Bagi Buddhisme, sebuah tindakan disebut tindakan
sejati atau bermakna jika tindakan itu disadari, dimaui, direfleksikan
dan dikehendaki. Tindakan itu bercorak personal; ia adalah milik dari
mahkluk ciptaan, seperti terungkap dalam teks Angutara, “manusia
adalah pewaris dari tindakan yang ia lakukan, “ (Angutara-Nikaya, III,
186). “Tindakan yang jahat yang anda lakukan tidak dilakukan oleh
ibumu atau ayahmu atau orang lain. Anda sendirilah yang telah
melakukan tindakan yang jahat itu, kamu sendiri yang akan menuai
hasilnya,” (Majjhima-Nikaya, III, 181).
Amat jelaslah bahwa kualitas moral dari perbuatan kemauan
menentukan karma. Hukum karma menyatakan bahwa terdapat sebuah
kaitan antara kualitas moral, tingkat keahlian/ketrampilan dalam
perbuatan kemauan, dan hasilnya. Siapa kita ditentukan terutama oleh
78
Alam Pemikiran Timur

apa yang kita pikirkan, katakan dan lakukan di masa lampau,


sementara apa yang sedang kita pikirkan, katakan dan lakukan
sekarang akan menentukan masa depan kita. Nyatalah kiranya bahwa
karma terkait erat dengan hukum sebab akibat (samsara).
Jadi, doktrin tentang samsara itu ibarat pemindahan cahaya lilin.
Menyalakan sebuah cahaya lilin dari lilin yang lain memperlihatkan
bahwa cahaya yang disampaikan adalah sama dan satu dalam artian
“berkelanjutan,” walaupun lilinnya berbeda. Menurut Buddhisme jiwa
seseorang tidak dilahirkan kembali sebagai sebuah substansi
individual konkret, namun personalitas dilahirkan kembali di
kehidupan mendatang, hanya sebagai “batin-jasmani.” Namun itu
bukanlah batin-jasmani yang sama, dilahirkan di kehidupan
mendatang, karena tindakan (karma) di kehidupan sekarang akan
melahirkan bentuk batin-jasmani lain di kehidupan akan datang.
Kendati demikian, Buddhisme tetap menekankan bahwa tindakan
seseorang menentukan nasibnya di masa akan datang. Hanya melalui
usaha yang benar dan sungguh-sungguh nirvana atau pencerahan
dapat diraih oleh seorang manusia.

3.4 Nirvana, Shunyatâ dan Tathatâ

Buddhisme memandang dan memahami Realitas Absolut sebagai


nirvana atau pencerahan atau kebuddhaan. Realitas yang sama juga
digambarkan sebagai “kebegituan atau kedemikianan” (tathatâ,
suchness) atau “kekosongan” (shunyatâ). Bagi Buddhisme, seorang
yang sudah mengatasi keinginan atau keegoannya merupakan orang
yang telah mencapai nirvana. Dan orang yang mengalami pencerahan
menyatu dengan Realitas Absolut. Istilah Nirvana berarti
“penghapusan” (extinction). Yang dimaksudkan ialah penghapusan
dari keinginan atau keegoan. Dengan menghilangkan keinginan dan
kebodohan atau kegelapan batin (avidya), akan menghilang juga
79
Alam Pemikiran Timur

penderitaan akan kelahiran, ketuaan, penyakit, kecemasan dan


keputusasaan. Tatkala penderitaan menghilang, maka yang tertinggal
ialah kedamaian dan keheningan total, yaitu nirvana. Nirvana adalah
kebaikan tertinggi (summum bonum), sebuah keadaan damai total yang
bertolak belakang dengan dunia samsara, yakni penderitaan dan
kecemasan. Demikian, seseorang dikatakan dikatakan telah masuk
dalam nirvana, ketika ia telah bersih dari karma dan samsara. Dan
karena itu, nirvana, oleh Buddhisme dipahami sebagai kebahagiaan
tertinggi yang dapat dicapai, (Ali, 2010; 179-180).
Selanjutnya, nirvana, oleh Buddha ditekankan sebagai
“kekosongan” (shunyata), karena dalam kondisi nirvana semua
keinginan, hawa nafsu dan egoisme diri menghilang atau musnah.
Yang tersisa atau ada ialah kedamaian dan keheningan sempurna.
Sementara tathatâ (suchness) dipahami sebagai esensi spiritual
tertinggi. Menurut Buddhisme Mahayana, tathatâ menunjuk pada
yang Absolut. Ia melampaui semua atribut: ada atau tiada, satu atau
banyak. Ia melampaui yang logis. Olehnya, ia disebut tathatâ.
Secara sederhana tathatâ berarti melihat benda-benda sebagaimana
adanya. Dalam Buddhisme, ia dimengerti sebagai keadaan di mana
“tidak ada pemisahan antara “yang mengetahui” (the knower) dan
“yang diketahui” (the known); antara subyek dan obyek. Dengan kata
lain, tathatâ adalah sebuah kondisi tanpa diskriminasi atau non
dualitas, di mana pikiran dipurifikasikan dan penyatuan dengan
kebenaran diwujudkan. Dalam Buddhisme Mahayana, tathatâ
dimengerti juga sebagai shunyatâ (void, emptiness). Karena shunyatâ
bebas dari segala macam atribut yang relatif. Jadi shunyatâ adalah
tathatâ dan tathatâ dan shunyatâ.
Shunyatâ bagi Buddhisme bukanlah sebuah kekosongan belaka,
tetapi sebuah konsepsi positif dalam arti yang absolut, karena
shunyatâ identik dengan tathatâ. Ketika seseorang berusaha mencapai
80
Alam Pemikiran Timur

shunyatâ, maka ia akan mengatasi pikiran (mind) dan diri (self).


Dalam kondisi ini, gunung bisa dipandang sebagai gunung, tetapi
dalam arti lain ia bukanlah gunung. Maksudnya sebuah kondisi di
mana benda dipandang seperti adanya tanpa diskriminasi. Jadi, dalam
shunyatâ yang orisinil terdapat realitas (tathatâ).
Dengan rumusan lain, bisa dikatakan bahwa shunyatâ tidak bisa
dapat dipahami hanya dengan mengandalkan kemampuan rasio.
Shunyatâ, menurut Buddhisme, hanya dapat dipahami via intuisi
religius (prajnâ). Karena prajnâ adalah sumber sejati segala
pengetahuan. Dengan prajnâ, seseorang dimampukan untuk
menyadari kekosongan. Pada momen inilah tathatâ dan pencerahan
direalisasikan.

3.5 Pencerahan dan Keselamatan

Dalam Buddhisme, tujuan final semua usaha manusia ialah


mencapai nirvana atau pencerahan, yakni terbebasnya manusia dari
penderitaan atau segala bentuk kelekatan hidup yang tidak sehat dan
tidak teratur. Ketika seorang mengalami pencerahan paradigmanya
menjadi holistik, cara pandang dualistik atau bercorak diskriminatif
berakhir dan diganti dengan kearifan transendental (prajnâ). Pikiran
tidak lagi dituntun oleh pengetahuan relatif, karena orang sudah
mencapai pencerahan, di mana hidup dituntun oleh prajnâ, (Ali, 2010;
182-183).
Sementara keselamatan oleh Buddhisme dipahami sebagai sebuah
perubahan psikologis keadaan batin manusia. Konteksnya ialah
“lenyapnya” keinginan dan egoisme diri, dan merajanya sang batin
(Buddhahood). Pencapaian nirvana ini seringkali dipahami juga
sebagai “realisasi kekosongan” (shunyatâ) dan “kedemikianan”
(tathatâ), sebagai Realitas Absolut.

81
Alam Pemikiran Timur

Umumnya, baik Mahayana pun Theravada, sepakat bahwa ketiga


disiplin delapan jalan kebenaran: moralitas (sila), meditasi (samadhi),
dan keutamaan (prajnâ) merupakan sarana paling tepat untuk
mencapai pencerahan. Bedanya, jika Theravada fokus pada
keselamatan individual yang disebut Arahat, maka Mahayana konsern
dengan keselamatan semua mahkluk hidup via bantuan para
Bodhisattva dan Buddha. Kuncinya ialah “bela-rasa yang agung”
(mahakaruna) dan “kearifan atau kebajikan agung” (mahaprajnâ).
Demi keselamatan semua mahkluk, maka seorang Bodhisattva
menunda untuk masuk nirvana, sampai semua mahkluk diselamatkan
dan ia bernazar untuk melayani dan membantu mereka. Dalam konteks
inilah, “bela-rasa” ditempatkan pada posisi yang paling tinggi dalam
Buddhisme Mahayana. Sementara kearifan oleh Mahayana diposisikan
sebagai medium untuk melayani orang lain, sehingga semua orang
boleh meraih nirvana.
Kiranya nampak jelas betapa keselamatan dalam Buddhisme itu
bercorak humanistis. Nirvana itu dicapai bukan karena pemberian atau
rahmat dari Tuhan, tetapi karena usaha manusia sendiri, kendatipun
ada aliran Buddhisme juga yang mengakui ide tentang karunia ilahi
dan iman manusia untuk meraih keselamatan.

4. Buddhisme Theravâda dan Mahâyâna

Setelah sang Buddha mangkat, mulanya Buddhisme yang tumbuh


dan dikenal ialah Hinayâna (Kendaraan Kecil). Dalam perjalanan
berkembang pula Mahâyâna yang muncul sekitar abad 1 M. Jadi
Buddhisme yang dulunya hanya satu lantas terpecah dan berkembang
menjadi dua aliran besar, yakni Hinayâna dan Mahâyâna yang hidup
dan dikenal orang hingga dewasa ini. Aliran Hinayâna dikenal juga
dengan sebutan Theravâda (the Elder’s Way), karena memandang diri
82
Alam Pemikiran Timur

sebagai aliran Buddhisme tertua yang berupaya setia pada ajaran dan
latihan-latihan Buddhisme tradisional. Hinayâna menerima kanon Pâli
sebagai kitab suci utama, (Ali, 2010; 185 – 198).
Berbeda dengan Hinayâna yang bercorak konservatif, Mahâyâna
merupakan Buddhisme yang liberal yang muncul kemudian dan
berupaya mengadakan reinterpretasi atas Buddhisme. Selain kanon
Pali sebagai Kitab Suci utama, Mahâyâna juga masih memiliki teks-
teks baru lain dalam bahasa Sanskerta. Lagi tidak seperti Hinayâna
yang hanya percaya bahwa ada satu Buddha, yakni Gautama, Sang
Buddha, kaum Mahayanis meyakini bahwa terdapat banyak Buddha,
selain Sang Buddha. Secara filsafati beda utama Buddhisme
Mahâyâna dan Hinayâna terletak pada pandangan tentang realitas. Jika
Hinayâna mengakui adanya realitas unsur atau entitas (dharma), maka
Mahayâna berpendapat bahwa semua benda adalah “kosong,”
(shunya).
Aliran Mahâyâna terutama berkembang di Utara dan Timur Asia
pada negara-negara seperti, Tiongkok, Tibet, Mongolia, Korea dan
Jepang; sementara aliran Theravâda tumbuh subur teristimewa di
Asia- Selatan dan atau Tenggara, misalnya Sri-Lanka, Thailand,
Burma, Laos dan Kamboja. Negara yang Buddhismenya adalah
campuran kedua aliran itu ialah Vietnam. Tidak heran, secara
geografis, aliran Mahâyâna disebut Buddhisme Utara (Northern
Buddhism), sementara Hinayâna disebut Buddhisme Selatan (Southern
Buddhism).
4.1 Hinayâna
Selain Theravada dan Southern Buddhism, Buddhisme Hinayâna
juga punya sebutan lain seperti Early Buddhism, Monastic Buddhism,
dan Doctrine of the Elders. Theravada adalah aliran tertua dalam
Buddhisme yang ada sejak era raja Asoka di India Selatan dengan

83
Alam Pemikiran Timur

kitab suci utama berbahasa Pâli. Tujuan utama ajaran Theravada ialah
mencapai keselamatan individual atau arahat. Dengan kata lain, ia
menekankan “pembebasan diri sendiri” (pacceka-Buddha). Jadi
berbeda dengan Mahayana fokus pada “pencerahan bagi semua
mahkluk,” (samyak-samBuddha), (Ali, 2010; 186-188).
Hinayana percaya hanya pada Sakyamuni Buddha dan
Boddhisattva Maitreya dan menolak percaya pada Buddha Amitabha,
Boddhisattva Avalokitesvara (Kwan Yin) yang diterima dan diakui
oleh aliran Mahayana. Dasarnya ialah karena Hinayana lebih
menekankan dimensi sejarah dan doktrin awal dari Buddhisme yang
digagaskan dan diwariskan oleh Sang Buddha.
Ada dua aliran penting dalam Buddhisme Hinayana, yakni
Vaibhashika dan Sauntrantika. Vaibhashika ialah aliran Hinayana
yang berpandangan bahwa realitas terdiri dari obyek jasmani dan
batin. Substansi benda-benda memiliki keberadaan yang tetap di masa
lampau, kini dan kelak. Bagi Vaibhashika, adanya obyek eksternal
diketahui bukan melalui penyimpulan, melainkan secara langsung via
persepsi. Maksudnya, pengetahuan kita mengenai realitas atau obyek
eksternal kita peroleh bukan karena hasil kreasi pikiran subyektif,
melainkan karena penemuan obyek-obyek yang disodorkan kepada
kita. Dari sini harus disimpulkan bahwa obyek eksternal itu
bereksistensi. Adalah mustahil persepsi atau kontak antara pancaindera
dan realitas terjadi jika tidak ada obyek persepsi.
Seperti Vaibhashika, Sautrantika juga berpendapat bahwa realitas
adalah obyek jasmani dan batin. Bedanya menurut Sautrantika apa
yang diserap oleh pancaindera secara langsung ialah bukanlah obyek-
obyek riil, melainkan ide-ide yang hanya merupakan copy atau tiruan
dari obyek-obyek eksternal. Bagi aliran Sautrantika persepsi seseorang
terhadap obyek eksternal amat tergantung pada empat hal, yakni:
obyek jasmani, pikiran subyketif, indera dan kondisi-kondisi
84
Alam Pemikiran Timur

pendukung lainnya. Adapun prosedur obyek eksternal dipersepsikan


oleh kita adalah sebagai berikut:
a. Obyek menghadirkan diri dalam kesadaran dalam bentuk
tertentu.
b. Pikiran menyebabkan kesadaran akan bentuk.
c. Indera menentukan apa itu kesadaran.
d. Harus ada kondisi pendukung, seperti cahaya atau posisi.
Persepsi lahir sebagai hasil kerjasama dari semua unsur itu. Jika
salah satu elemennya berubah, maka persepsi yang kita dapatkan juga
akan berubah. Misalnya, pulau yang nampak di kejauhan akan terlihat
lebih kecil ketimbang pulau yang letaknya dekat dengan posisi subyek
yang melihat. Kondisi mental seseorang juga turut mempengaruhi.
Seorang yang lemah dalam penglihatan pasti juga akan memiliki
persepsi yang terbatas dibanding seorang yang memiliki penglihatan
yang normal. Oleh karena itulah, Sautrantika meyakini bahwa dunia
atau realitas di luar telah kehilangan sebagian realitasnya dan menjadi
dasarnya asumsi kita akan adanya imej-imej. Imej atau ide adalah
sebuah “keserupaan” antara obyek dan kesadaran. Pemahaman yang
baik akan sebuah ide, akan membantu penyimpulan keberadaan obyek
luar. Pasalnya, tidaklah mungkin ada ide tanpa penyebab.

4.2 Mahâyâna

Nama lain untuk Mahâyâna adalah Buddhisme utara; Tantra


(Vajrayâna) dan Zen Buddhisme. Ideal hidup yang diajarkan dan
dicitakan oleh Mahâyâna ialah tercapai pencerahan atau penerangan
bagi semua mahkluk. Atas alasan itulah seorang Boddhisattva, yakni
seorang yang sudah mencapai pintu pencerahan, menunda masuk ke
dalamnya karena ingin menyelamatkan orang lain yang masih hidup
dalam penderitaan, (Ali, 2010; 188-190).
85
Alam Pemikiran Timur

Menurut The Seeker’s Buddhisme Mahâyâna memiliki ciri-ciri


sebagai berikut:
a. Mencapai cita-cita ideal kehidupan seorang bodhisattva.
b. Kosmologi baru yang berhubungan dengan praktik visualisasi.
c. Sebuah arah baru filsafat yang bersumber pada pengalaman akan
kekosongan (shunyata).
Adapun beda Mahâyâna, menurut The Seeker’s Glossary
Buddhism, dan Hinâyana adalah sebagai berikut:
a. Sosialitas versus individualitas.
b. Konsep karunia dan kerja versus manusia mencapai penerangan
dengan usaha sendiri.
c. Cinta kasih (karunâ) versus kebijaksanaan (prajna).
d. Mencitakan Boddhisattva versus kehidupan seorang arahat.
e. Buddha sebagai seorang penyelamat versus Buddha sebagai
seorang suci.
f. Mengembangkan metafisika versus menghindari metafisika.
g. Memasukkan ritual versus menghilangkan ritual.
h. Memasukkan doa-doa lainnya versus membatasi doa pada
meditasi dan paritta.
i. Liberal versus konservatif.

4.3 Persamaan Pandangan tentang Nirvana

Kendati berbeda Hinayâna dan Mahâyâna memiliki beberapa


persamaan pandangan tentang esensi nirvana, (Ali, 2010; 190-191).
a. Nirvana tidak dapat dijelaskan secara tuntas. Nirvana tidak
memiliki asal-usul, tidak berubah. Ia bersifat kekal (amrita).
b. Nirvana harus diwujudkan dalam diri sendiri; syaratnya ialah
dengan mengatasi keinginan akan kenikmatan dan kesenangan
indrawi.

86
Alam Pemikiran Timur

c. Dalam nirvana, diri personal tidak berfungsi lagi. Satu-satunya


jalan menuju nirvana ialah menghilangkan diri personal.
d. Nirvana adalah sebuah kedamaian (sama atau upasama) yang
tidak bisa dijelaskan secara tuntas oleh rasio manusia.
e. Nirvana memberikan rasa aman yang abadi.
Dalam teks-teks Buddhisme, nirvana lazimnya dieksplanasikan
dengan empat cara berikut:
a. Secara negatif, Nirvana berarti tiadanya kematian (amrita), tidak
berubah, tidak dapat dimusnahkan (acyuta), tanpa akhir (ananta),
tidak dihasilkan, tanpa kelahiran kembali, tidak dilahirkan, tidak
mengalami peleburan (apalokina), tidak diciptakan (abhutam), bebas
dari penyakit, bebas dari usia tua, bebas dari perpindahan jiwa, bebas
dari penderitaan (dukkha-nirodha), dan pembebasan akhir
(apavangga).
b. Secara positif, nirvana adalah kedamaian (sama,upsama); ia
adalah kebahagiaan tertinggi (nibbanan paramam sukham); ia adalah
kebijaksanaan ilahi (prajna), penerangan atau kesadaran murni
(vijnana) dan rasa aman (kshamam).
c. Secara paradoks. Dalam teks Prajna paramita atau Mahayana,
nirvana dipahami sebagai “tinggal dalam kondisi yang tidak
ditinggali.” Maksudnya berada dalam kondisi di mana kebanyakan
orang tidak suka untuk menghidupinya, seperti bebas dari keinginan
yang memenjarakan, dan lain-lain. Satu-satunya cara mencapai tujuan
adalah menyadari bahwa dalam arti yang sesungguhnya tidak ada
tujuan.
d. Secara simbolis. Secara simbolik nirvana sebagai: gua yang
dingin; pulau di dalam banjir; dan kota suci, tempat berlindung dan
pantai di seberang.

4.4 Beda pandangan filosofis antara Hinayâna dan Mahâyâna

87
Alam Pemikiran Timur

Walaupun memiliki persamaan soal paham tentang nirvana, secara


filosofis Hinayâna dan Mahâyâna memiliki beberapa titik perbedaan.
Di sini Mahâyâna akan direpresentasikan oleh sistim filsafat
Madhyamaka. Madhyamaka adalah sistem filsafat yang digagas oleh
Nagarjuna pada abad ke-6. Lazimnya sistem ini dikenal sebagai
filsafat jalan tengah (Middle Way Philosophy), (Ali, 2010;192-197).
a. Beda penafsiran mengenai konsep hukum kausalitas, yakni
Pratitya-samutpada (interdependent-origination). Konsep ini
merupakan salah satu ajaran yang sangat penting dalam Buddhisme.
Pratitya-samurpada mengajarkan bahwa tidak ada gejala yang tidak
muncul tanpa penyebab. Semua kejadian merupakan serangkaian
hukum sebab-akibat. Hukum sebab-akibat ini berlaku bagi alam
semesta dan manusia. Paham hukum kausalitas ini menjadi penting
karena dua hal: pertama, pratitya-samutpada menyediakan uraian
yang jelas tentang dimensi kesementaraan serta ketergantungan semua
fenomena pada kondisi. Kedua, konsep pratitya-samutpada juga
memperlihatkan dengan jelas bahwa kelahiran, masa tua, kematian
serta semua penderitaan muncul dari keberadaan fenomenal amat
tergantung pada kondisi-kondisi. Derita itu akan lenyap seiring
hilangnya kondisi-kondisi tersebut. Bagi Hinayana, pratitya-
samutpada merupakan “penampakan benda-benda yang tidak kekal
atau sementara.” Ia merupakan sebuah hukum sebab-akibat yang
mengatur muncul dan lenyapnya berbagai elemen (dharmas).
Sementara menurut sistem Madhyamaka, muncul dan lenyapnya
unsur-unsur karena hukum kausalitas.
b. Beda penafsiran tentang Nirvana antara Hinayana dan
Mahayana dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, bagi Hinayana nirvana itu abadi (nitya) dan
membahagiakan (sukha). Sementara menurut Madhyamika, nirvana
tidak berpredikat apapun
88
Alam Pemikiran Timur

Kedua, di mata kaum Hinayana nirvana merupakan sesuatu yang


musti diraih, sedangkan bagi kaum Madhyamika nirvana bukanlah
sesuatu yang harus dicapai. Tentang hal ini Madhyamaka Karika
menulis, “nirvana adalah apa yang bukan hanya tidak ditinggalkan,
namun juga apa yang tidak dicapai. Nirvana adalah sesuatu yang tidak
dihancurkan dan juga tidak bersifat kekal; nirvana juga bukan sesuatu
yang dihancurkan maupun yang diproduksi,” (XXV, 3).
Ketiga, bagi kaum Vaibhashika nirvana dianggap sebagai sebuah
entitas positif (bhava); mereka memandang nirvana sebagai sesuatu
yang tidak terkondisi oleh siapapun. Sementara bagi kaum
Madhyamika, adalah kontradiksi bila mengatakan bahwa nirvana
adalah sebuah entitas positif, karena adalah mustahil menemukan
sebuah entitas positif independen terhadap apapun dalam realitas.
c. Bagi kaum Hinayana ideal hidup bagi seorang Buddhis ialah
mencapai kesucian individual (arahat), sementara bagi aliran
Mahayana cita-cita hidup seorang Buddhis ialah mencapai
Boddhisattva atau keBuddhaan bagi seluruh mahkluk. Jelas kiranya,
pencerahan yang dicitakan kaum Mahayana lebih bercorak universal
dibanding kaum Hinayana.
d. Distingsi dalam sarana yang dipakai untuk meraih nirvana. Bagi
kaum Hinayana, nirvana dapat dicapai seseorang dengan
mewujudnyatakan ketiadaan diri atau diri yang tidak bersubstansi
(pudgala-nairatmya). Sementara menurut kaum Mahayana, nirvana
tidaklah cukup dicapai dengan merealisasikan ketiadaan diri. Dimensi
itu masih harus dilengkapi dengan realisasi dharma-nairatmya.
Maksudnya semua elemen dari eksistensi adalah tidak substansial,
tidak mempunya realitas mandiri. Bagi aliran Mahayana realisasi
keduanya adalah sarana utama bagi seseorang untuk mencapai nirvana.
e. Beda pandangan tentang melenyapkan hambatan (avarana).
Aliran Hinayana berpendapat bahwa manusia tidak dapat mencapai
89
Alam Pemikiran Timur

nirvana karena realitas tersembunyi oleh selubung keinginan


(dvarana), antara lain: kelekatan, kebencian. Kegiatan kleshas (10
kotoran batin: sombong, keliru, keraguan, kemalasan, kegelisahan,
kekeliruan, tidak tahu malu, tidak takut, panjika dan parawira)
tergantung pada identifikasi diri personal. Dan dengan merealisasikan
pudgada-nairatmya, segala rintangan bisa dilenyapkan. Bagi mereka,
lenyapnya kotoran-kotoran batin saja sudah cukup untuk mencapai
nirvana. Sedangkan menurut kamu Mahayana realitas bukan hanya
dilingkupi oleh kotoran batin, tetapi juga oleh selubung yang
merintangi pengetahuan sejati. Olehnya, melenyapkan selubung
pengetahuan ini adalah harus. Hal ini mungkin via perwujudan semua
elemen, yakni bahwa semua unsur eksistensi adalah kosong dan tidak
berego. Bagi aliran Mahayana, lenyapnya kotoran batin belumlah
memadai untuk mencapai “kebebasan mutlak;” lenyapnya selubung
pengetahuan juga merupakan hal yang mungkin.
f. Aliran Hinayana bersifat intelektual, sementara Mahayana
bercorak devosional. Tujuan utama Hinayana ialah mengikuti dan
mempraktikkan Delapan Jalan Utama dari sang Buddha. Di sini yang
ditekankan ialah aspek kamanusiaan Buddha. Sedangkan dalam
Mahayana, Buddha dilihat sebagai Tuhan, yaitu realitas tertinggi yang
membumi dalam rupa manusia untuk kebaikan umat manusia.
Tekanan pada devosi secara nyata nampak dalam seni pahat (patung)
dan seni lukis. Bagi Mahayana, jalan kebijaksanaan ilahi yang berat
hanya dikhususkan bagi kaum Buddhis yang sudah maju. Bagi kaum
biasa, devosi kepada sang Buddha menjadi jalan untuk mencapai
nirvana. Buddha disembah dalam bentuk Avalokitesvara, Amitabha
dan Buddha masa depan, yaitu Maitreya.
h. Aliran Hinayana menganut paham pluralisme radikal,
sedangkan Mahayana beraliran filsafat non-dualisme (advaya).

90
Alam Pemikiran Timur

i. Dalam filsafat Hinayana pendekatan yang dipakai ialah


rasionalitas dengan sedikit unsur mistisisme, sementara dalam
Mahayana pendekatan yang dipakai ialah supra-rasional dan penuh
nuansa mistisisme.

Kesimpulan

Sebagai konklusi tentang konsep kebahagiaan menurut aliran


Hinayana dan Mahayana, maka beberapa hal bisa dikatakan.
Pertama, kebahagiaan (sukha) termasuk dalam salah satu macam
perasaan (vedana) dari lima macam perasaan, yaitu: kebahagiaan fisik
(sukha), kebahagiaan batin (somanassa), derita fisik (dukkha), derita
batin (domanassa) dan ketenangan batin (upekkha).
Kedua, ada sepuluh tahapan kebahagiaan, yakni dari tahap fisik
atau indrawi sampai tahap yang paling tinggi. Kondisi transendental
ini disebut nirodha sampatti, yang berarti mengalami nirvana. Sang
Buddha menjelaskan nirvana sebagai nirvana paramam sukham.
Artinya nirvana adalah kebahagiaan tertinggi.
Ketiga, terdapat beberapa persamaan pandangan antara Buddhisme
Hinayana dan Mahayana tentang nirvana. Tetapi terdapat juga
distingsi filosofis antara keduanya tentang bagaimana nirvana itu
dicapai.

Daftar Pustaka
1. Steven J. Rosen, Essential Hinduism. London; Praeger. 2006.
2. Matius Ali, Filsafat India Sebuah Pengantar Hinduisme dan
Buddhisme. Jakarta: Sanggar Luxor. 2010.

91
Alam Pemikiran Timur

3. Radhakrishnan and Moore, A Source Book In Indian


Philosophy, 1957.
4. John M. Koller, Filsafat Asia, Pengantar dan Penerjemah:
Donatus Sermada. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
5. Jove Jim S. Aguas, Advanced Ethics (Unpublished). Manila:
University of St. Tomas. 2009.
6. Alfredo P. Co, Philosophy of the Compasionate Buddha. UST
Printing Press. 2003.

BAGIAN KEDUA
FILSAFAT CINA

92
Alam Pemikiran Timur

Bab 1
FILSAFAT CINA DALAM PERSPEKTIF PEMIKIRAN TIMUR

Pertanyaan yang hendak dijawab ialah:


 Apakah Filsafat Timur punya hubungan makna yang sama
dengan “Filsafat” Yunani?
 Apakah beda “filsafat” dan “agama” dalam tradisi Timur?
 Dalam arti apakah “Filsafat Cina” dianggap sebagai Filsafat?
 Apakah karakteristik dasar Filsafat Cina?
 Apa relevansi belajar Filsafat Cina?

1. “Filsafat Barat” dan “Filsafat Timur”


 Filsafat adalah term yang berasal dari lingkungan barat. Ia
menunjuk pada upaya rasional para filsuf Yunani untuk mencari
arkhe. Ada dua elemen dasar filsafat Barat.
 Muncul sebagai reaksi atas kemapanan ajaran mitos dan
mitologi. Dalam iklim di mana mitos dan mitologi dominan, filsafat
lahir sebagai pendekatan alternatif.
 Filsafat adalah an intellectual adventure. Filsafat berkembang
melalui proses dialog yang berlangsung secara sistematis dan kritis.
Tujuannya merumuskan arkhe yang selalu terbuka pada kritik atau
pengujian kritis. Demikianlah, berfilsafat dalam dunia Barat menjadi
suatu aktivitas yang transtemporal dan transkultural. Awalnya
bergumul dengan alam, kemudian manusia dan berkembang ke
bidang lain seperti politik, ilmu pengetahuan.
 Uraian di atas memerlihatkan bahwa sejak awal Filsafat
menekankan pengetahuan rasional dan dikhotomi antara manusia dan
93
Alam Pemikiran Timur

alam semesta. Dampaknya realitas (alam) dipandang sebagai obyek


penelitian dan penyelidikan dalam bingkai ilmu pengetahuan.
Puncaknya pada zaman modern. Baru pada jelang akhir abad 19,
dimulai dengan Nietzsche, eksistensialisme berusaha memulihkan
martabat luhur manusia yang nyaris hilang.
 Singkatnya, bisa dikatakan bahwa sampai akhir abad 20 fisafat
Barat telah menyumbang banyak untuk ilmu pengetahuan. Ironisnya,
dalam kemajuan itu, martabat manusia justru terpuruk.
 Di Timur filsafat justru bertolak dari pengalaman kesatuan
manusia dengan alam. Manusia dilihat sebagai bagian dari alam.
Keduanya saling membutuhkan.
 Demikian di Timur, Filsafat lahir bukan sebagai reaksi rasional
atas pengetahuan dogmatis, pun curiosity atas peristiwa alam, tetapi
lebih sebagai refleksi atas kehidupan. Fokusnya ialah bagaimana
hidup bisa berlangsung secara harmonis.
 Singkatnya, di Timur filsafat dilihat sebagai “pandangan
hidup.” Itu tidak berarti filsafat Timur tidak mengandung aspek
rasionalitas dan kekritisan. Karena defacto filsafat Cina misalanya
merupakan refleksi kiritis dan mendalam atas kemanusiaan. Dengan
lain kata lain, di Timur kita berfilsafat tidak demi pengetahuan itu
sendiri, tapi demi hidup/perbaiki hidup. Kita berfilsafat tidak untuk
tahu saja, tetapi untuk menghidupinya.

2. “Filsafat” dan “Agama”


 Uraian di atas memerlihatkan bahwa Filsafat Timur
menekankan Identitas (kesatuan manusia dengan Alam). Di sini jelas
terlihat di Timur Filsafat dan agama mempunyai kaitan erat.

94
Alam Pemikiran Timur

 Agama dalam arti apa? Agama sebagai “seni dan teori


mengenai kehidupan batin.” (A. Whitehead). Secara primer agama
sama dengan nilai dan pandangan hidup yang diyakini bermakna oleh
orang/kelompok orang (aspek infrastruktur). Dimensi eksternalnya,
yaitu: ritus, simbol-simbol, dogma, dan perasaan religius. Di sini bisa
terlihat bahwa:
 Pertama, di Barat, filsafat terpisah dari agama. Filsafat otonom
terhadap teologi/agama. Tapi di Timur, filsafat satu dengan agama.
Agama persis dimensi yang memformulasikan kedalaman inti
kehidupan, yakni keselamatan manusia.
 Kedua, di Timur, kendati “filsafat” dan “agama” dipandang
dari perspektif holistik yang sama, dalam kenyataan keduanya bisa
selalu dibedakan, misalnya antara Hinduisme sebagai agama dan
Hinduisme sebagai filsafat, atau Buddhisme sebagai agama dan
Buddhisme sebagai Filsafat.
 Singkatnya, di Timur, ‘filsafat” dan “agama” selalu bisa dibaca
dalam satu perspektif penghayatan kesatuan alam semesta.
3. Karakteristik Dasar Filsafat Cina

 Kendati tergolong sebagai Filsafat Timur, Filsafat Cina


memiliki karakteristik dasar (konsep-konsep filsafati) sendiri yang
terutama bersumberkan pada Konfusianisme, Taoisme dan Neo-
Konfusianisme. Ada beberapa karakteristik dasar Filsafat Cina.
Pertama, tujuan utama filsafat ialah kesempurnaan. Secara
mendasar filsafat terarah kepada pengembangan dan realisasi
kesempurnaan potensial yang dimiliki manusia. Kendati realisasinya
berbeda-beda. Misalnya, Taoisme ajarkan manusia untuk ikuti Tao
(jalan batiniah). Konfusianisme ajarkan manusia capai kesempurnaan
melalui pengembangan Jen dan pelaksanaan kebajikan-kebajikan
sosial. Bagi Budhisme, hal itu dicapai dengan pemahaman meditatif ke
95
Alam Pemikiran Timur

dalam alam pikiran. Neo-Kongchuisme menggabungkan pemahaman


Taoisme dan Kongchuisme.
1. Kesempurnaan manusiawi berwajah ganda. a). Dimensi
batiniah, tercermin pada keteduhan dan kedamaian hidup seorang
pribadi. Ia tetap tenang walau sedang bermasalah. Menurut
keyakinan Cina, ada kaitan erat antara ketenangan batin dan energi
hidup. Semakin tenang, semakin berdaya. b), Lahiriah,
maksudnya suatu perilaku sosial manusia yang mampu
menghargai berbagai bentuk kehidupan. Aspek ini sama
pentingnya dengan aspek batiniah, karena tidak pernah itu
diwujudkan dalam keterasingan.
2. Hanya orang yang mencapai kesempurnaan berwajah
ganda yang disebut orang bijaksana, karena ia “bijaksana di dalam,
dan meraja di luar.”
3. Tugas filsafat ialah memungkinkan agar tiap orang dapat
menjadi “bijaksana di dalam dan meraja di luar” (Kongchu).
Kedua, berorientasi kemanusiaan. Karakteristik ini jelas
terlihat dalam uraian di atas. Itu berartii filsafat tidak pernah
dipisahkan dari kehidupan. Teori selalu ada kaitan dengan praksis.
Kemurnian filsafat diukur dari seberapa jauh ia berdampak pada cita-
cita menjadi “bijaksana di dalam dan meraja di luar.” Olehnya, yang
jadi tema-tema pokok dalam filsafat Cina ialah etika dan politik.
Dampak langsung dari orientasi kemanusiaan ini adalah semua filsuf
Cina memberikan tempat yang istimewa bagi etika dan kehidupan
spiritual. Kehidupan sosial penting, tetapi hidup spiritual tidaklah
diabaikan. Buntutnya, filsafat Cina menekankan keutamaan-
keutamaan hidup, khususnya dalam keluarga.
Ketiga, mengutamakan sintesis dan toleransi. Karakteristik ini
merupakan konsekuensi dari tendensi filsafat Cina yang menekankan
kehidupan manusia yang multi-dimensi. Metode filsafat cina bersifat
96
Alam Pemikiran Timur

sintesis ketimbang analitis, inklusif ketimbang eksklusif. Dengan kata


lain, ia lebih menekankan sintesis pandangan hidup yang benar secara
partikular. Efeknya, sikap toleransi dan simpati menjadi mendominasi
pemikiran Cina.
Keempat, gagasan dasar tentang realitas. Ada tiga gagasan
dasar realitas menurut Filsafat Cina. a). Realitas merupakan sebuah
peristiwa. Ciri utama peristiwa ialah pertautan/kaitan antara elemen
yang satu dengan elemen yang lain. Tak ada peristiwa yangg terjadi
dalam isolasi total. Karena itu, alam semesta tidak perlu dianalisis,
dipilah menjadi substansi. Di sini yang utama bukan tujuan tapi proses
peristiwa itu terjadi. Jadi bukan being, tapi becoming. b). Mengenai
ruang. Alam semesta bukanlah ruang yang kosong, tetapi suatu sistem
daya hidup, suatu lingkup yang dipenuhi dengan ch’i (elan vital).
Konsekuensinya, jika pemikir C ina bicara tentang kausalitas yang
dimaksudkan ialah suatu sistem pertalian. Maksudnya, segala sesuatu
saling memengaruhi dalam rangka proses menjadi. c). Konsep waktu.
Jika di Barat waktu dipandang secara linear (berlangsung menurut
garis lurus dan datar tanpa kemungkinan kembali), di Cina waktu
dilihat secara siklis. Segalanya beredar menurut garis lingkaran
(konsep yin-yang).
4. Relevansi Studi Filsafat Cina
 Filsafat Cina berkembang hanya di Cina. Kesulitan dalam studi
filsafat Cina ialah masalah bahasa. Lantas apa relevansinya? a).
Menolong membentuk pandangan hidup yang holistik dengan arah
dasar pada harmoni hidup. Membuat hidup lebih bijaksana. b).
Menyumbangkan inspirasi-inspirasi segar yang memperkaya landasan
kehidupan bersama sebagai suatu bangsa. c). Kesempatan baik untuk
terbuka dan belajar dari kebudayaan lain yang kendati dekat, tapi
terasa asing karena aspek budaya yang berbeda.

97
Alam Pemikiran Timur

BAB 2
KONFUSIANISME : HUMANISME DARI TIMUR
98
Alam Pemikiran Timur

1. Konfusius
a. Latar Belakang Pemikirannya
 Konfusius atau K’ung Fu-Tzu atau Kong Hu Chu (551-479
sM) di kota Cou, wilayah Ch’ang P’ing, negeri Lu. Nama
aslinya K’ung Ch’iu.
 Hidup pada zaman ketika Cina mengalami pergolakan,
disintegrasi politik dan sosial, serta dekandensi moral.
 Situasi ini mendorongnya untuk mengadakan reformasi moral-
politik sebagai jalan menciptakan keadilan, perdamaian dan
ketertiban umum
 Konfusianisme adalah filsafat sosial yang juga mengandung
unsur kebudayaan Cina kuno.
b. Gagasan-Gagasan Filosofis
 Gagasan-gagasan filsafati Konfusius tumbuh dalam bingkai
cita-citanya membaharui masyarakat Cina dengan fokus pada problem
kemanusiaan. Karena itu, filsafat Konfusianisme disebut humanisme
dan dibedakan dengan naturalisme dan supernaturalisme. Naturalisme
paham filsafat yang beranggapkan bahwa sumber nilai ialah alam.
Supernaturalisme: sumber nilai ialah kekuatan adikodrati. Bagi
Konfusius, sumber nilai-nilai adalah manusia. Humanismenya
dijabarkan dalam beberapa konsep dasar.
1. Cheng-Ming atau Rektifikasi Nama. Alam semesta merupakan
satu kesatuan yang saling bertautan satu sama lain. Harmoni
tergantung pada keseimbangan fungsi dan relasi setiap elemen.
Penyimpangan salah elemen akan menyebabkan kekacauan secara
keseluruhan. Prinsip ini diterapkan pada kehidupan masyarakat.
Masyarakat terdiri dari pelbagai elemen. Penyimpangan fungsi
dan peran akan menghasilkan kekacauan dalam masyarakat. Hal
99
Alam Pemikiran Timur

yang terpenting di sini ialah filsafat identitas. Ketertiban


masyarakat tergantung pada kejelasan identitas setiap elemen
masyarakat. Gejolak atau konflik sosial terjadi karena terjadi
penyimpangan identitas. Inilah yang disebut dengan prinsip
cheng-ming atau right use of words.
2. Prinsip-prinsip Moral Dasar. 1). Jen. Hakikat manusia sebagai
manusia: Jen. Jen= dibentuk dari (baca: jen): manusia dan
(baca: erh): dua. Jen menunjuk pada kualitas moral yang harus
dijadikan pedoman dalam berelasi. Apa arti sesungguhnya Jen?
Konfusius tidak memberikan secara eksplesit. Ia berikan arti
berbeda sesuai konteks percakapan. Demikian, Jen bisa berarti
“penguasaan diri dan kembali kepada kesopanan,” (Yen Yuan).
Jen juga berarti “mencintai sesama manusia,” (Fan Ch’ih) Tersirat
di sini hakikat kemanusiaan: kemampuan mencinta. Arti lain Jen:
“jangan lakukan kepada orang lain apa yang anda sendiri tidak
kehendaki orang lain lakukan bagimu,” (Chung-Kung) Kutipan di
atas perlihatkan bahwa Jen sulit didefinisikan. Karena itu,
lazimnya Jen diberikan beberapa arti: keutamaan (virtue),
kemanusiaan (humanity), kehendak baik (benevolence),
kemanusiaan sejati (true manhood), watak moral (moral
character), cinta (love), kebaikan manusiawi (human goodness),
belaskasih (human heartedness). Dari semua arti itu, terjemahan
yang bisa merangkum semuanya ialah “kemampuan mencinta.”
Konsep ini mengandung implikasi moral yang penting, yakni
karena hakikat manusia terletak pada Jen, maka orang harus
hidup sesuai Jen. Apa artinya hidup sesuai Jen? Artinya
mewajibkan pengembangan kepekaan hati dan sikap peduli pada
sesama. Demikian, Tzeng Tzu mengingatkan: “Jalan yang
diajarkan Sang Guru tidak lari kehendak yang baik (Chung) atau
altruism (Shu). Chung berarti melakukan kebaikan kepada orang
100
Alam Pemikiran Timur

lain dan mendukung pengembangan dirinya. Shu menyatakan


sikap terbuka dan simpatik terhadap orang lain yang berada dalam
kemalangan. Jadi, secara positif Chung menyerukan kehendak
dan perbuatan baik terhadap orang lain, sementara Shu secara
negatif menyatakan larangan untuk tidak menjahati orang lain. 2).
Li. Li berarti sikap patut di hadapan orang lain. Jad menyangkut
adat-istiadat, kebiasaan, aturan ritual, norma sopan-santun, etiket
pergaulan sosial. Dasar Li ialah Jen. Karena itu, Li tidak boleh
bertentangan dengan Jen. Fungsi Li ialah untuk mengontrol
naluri/hawa nafsu yang tidak teratur dan mentransformasikannya
menjadi perilaku yang mengungkapkan hakikat manusia. Jadi Li
itu semacam aturan menyangkut agama, tata sosial dan moral.
Dari perspektif sejarah, Li berkembang pada tiga tataran
kehidupan. Pertama, Li berasal dari lingkungan agama. Kedua, Li
menunjuk pada peraturan sopan-santun dalam pergaulan sosial.
Ketiga, Li diperluas sampai menjangkau segala sesuatu yang
dipandang selaras dengan Jen. 3). Yi. Yi lazimnya diartikan
sebagai “ kebenaran dan keadilan,” (righteousness). Bagi
Konfusius, Yi menunjuk pada cara bertindak yang benar dan tepat
dalam situasi khusus sehingga tindakan itu selaras dengan Jen.
Dalam arti ini, Yi menyatakan baik sesuatu yang benar yang harus
dilakukan, karena sesuai dengan prinsip moral pun kemampuan
untuk pahami apa yang benar, (Intuisi). Baginya, sikap yang
benar dan sesuai dengan Yi bersifat tanpa syarat dan mutlak.
Dengan kata lain, Yi menunjuk pada tindakan yang benar karena
tindakan itu secara moral benar pada dirinya (sesuai dengan Jen).
4). Hsiao. Hsiao (filial piety) atau bakti seorang anak merupakan
kebajikan yang harus dihidupi dalam setiap keluarga. Orang harus
dihormati dan dimuliakan karena dari merekalah hidup
diturunkan. Wujud konkrit bakti itu ialah melindungi tubuh
101
Alam Pemikiran Timur

mereka dari kekerasan, memelihara dan merawat mereka,


mengharumkan nama mereka dengan perbuatan baik. Jadi hsioa
meliputi aspek fisik, maupun spiritual. Setelah orang tua wafat,
Hsiao ditunjukkan dengan cara melanjutkan cita-cita atau usaha
mereka. Hsiao kemudian dipraktikkan secara luas ke masyarakat
dan menjadi kebajikan moral dan sosial.
3. Pandangan Politik Konfusius. Pandangan politiknya muncul
dalam konteks cita-citanya mengatasi keterpurukan politik dan
moral Cina pada zamannya. a). Perdamaian sebagai cita-cita
politik. Kehidupan suatu negara harus dilandaskan pada
keutamaan-keutamaan moral. Karena hematnya kesejahteraan
masyarakat tergantung pada kualitas moralnya. Tugas pemerintah
ialah mewujudkan perdamaian bagi dunia. Guna mencapai
perdamaian dunia, maka beberapa syarat harus dipenuhi, yakni:
tercukupnya sandang-pangan, terlindunginya rakyat dari ancaman
penyakit, adanya perlindungan terhadap kebebasan menyatakan
pendapat. Singkatnya, terjamin kebutuhan jasmani dan spiritual.
b). Pendidikan. Karena perdamaian dunia amat tergantung pada
kualitas pribadi, maka pendidikan jelas punya peranan yang
sangat penting. Tujuan pendidikan adalah mengerti kemanusiaan
dan juga alam semesta. Namun pengetahuan atau pengenalan akan
diri sendiri jauh lebih penting daripada pengetahuan tentang dunia
eksternal. Singkatnya, pengetahuan sejati berarti pengenalan diri
pertama-tama secara moral dan kemudian secara sosial. Karena
pengenalan diri akan menghantar orang pada kehendak yang
tulus. Tujuan atau sasaran lain dari pendidikan ialah
memampukan orang untuk mengatasi kegelisahan dan dorongan-
dorongan nalurinya. Karena orang yang gelisah dan cemas terus-
menerus dengan berbagai hal tidak akan tenang dan bersih hatinya
serta membuat orang tidak mampu bersikap tulus kepada orang
102
Alam Pemikiran Timur

lain. Dari mana Pendidikan itu harus dimulai? Menurut Konfusius


keluarga tempat paling awal pendidikan itu harus dimulai melalui
teladan hidup orang tua. c). Relasi kekerabatan. Bagi Konfusius,
relasi kekerabatan dalam keluarga mempunyai peranan penting
dalam hidup masyarakat. Karena dalam lingkungan keluargalah
anak dapat belajar dari orang tuanya sikap saling menghormati,
taat hukum, hormat kepada pemerintah dan melakukan kebaikan
kepada siapapun. Terungkap jelas di sini bahwa hsiao itu sangat
penting karena ia menjadi dasar bagi semua jenis relasi yang harus
dihidupi dalam setiap keluarga. Keluarga dan masyarakat yang
baik adalah keluarga dan masyarakat yang menghidupi jen karena
dikondisikan oleh hsiao. Jadi, konfisius amat menekankan
peranan individu dalam masyarakat. Dampaknya studi tentang
negara harus berangkat dari realitas individual.

2. Mensius: Konfusiniasme Idealis ( 317-289 sM)

a. Latar Belakang
Mo Tzu dan Yang Chu. Pemikirannya berkembang sebagai reaksi
atas teori moral Mo Tzu dan Yang Chu yang saling bertentangan.
Menurut Mo Tzu (479-438 sM), kekacauan dalam masyarakat
terjadi bukan krn kurangnya penghargaan terhadap manusia tetapi
krn hilang saling cinta timbal balik antara manusia satu sama lain.
Apalagi warga masyarakat saling peduli satu sama lain, maka
keadaan negara akan aman. Di sini ini citakan relasi persahabatan
tanpa diskriminasi (chien ai). Yang Chu sebaliknya, berpendapat
bahwa nilai tertinggi ialah hidup manusia dan karena setiap
individu berkewajiban melindungi dan memeliharanya.
Semboyannya: wei wo (setiap orang harus mengurus dirinya).
Hidup adalah ukuran segalanya. Kekacauan terjadi krn orang
103
Alam Pemikiran Timur

memperebutkan harta. Mensius berpendapat teori Mo Tzu dan


Yang Chu mengandung cacat, yakni berat sebelah. Chien ai Mo
Tzu secara berat sebelah mereduksi individualitas manusia pada
altruism absolut. Padahal atas cara itu disangkal kekuatan afektif
individu. Sementara wei wo-nya Yang Chu terlampau bersifat
individualistis dan egosentris bahkan condong menolak dimensi
sosialitas manusia. Bagi Mencius kedua teori ini bidaah. Ia justru
melihat bahwa Konfusius sudah mengagas kesimbangan
individulitas dan sosialitas manusia itu dalam konsep jen, li, yi dan
Hsiao. Tetapi kelemaham lebih serius ialah teori keduanya tidak
memberikan jawaban dasar ttg sumber moralitas, mengapa
manusia harus bersikap moral. Intinya, bagi Mensius teori Mo Tzu
dan Yang Chu gagal memberikan pendasaran moral bagi
masyarakat.

b. Gagasan Filosofis
Tentang Manusia: Baik Secara Kodrati. Ia sepakat dengan
Konfusius soal jen, li, yi, dan Hsiao. Tetapi Ia memberikan tekanan
lebih kepada yi. Alasan mengapa Mensius menekankan yi adalah
pengakuannya akan perbedaan antara kebaikan dan kebenaran. Jen
merujuk pada kebaikan yang mendasari kodrat manusia. sementara
yi menunjuk pada kebenaran dan keadilan tindakan manusia.
Pembedaan ini penting karena, kendati setiap manusia memiliki
Jen, tetapi tidak setiap orang bisa bertindak benar atau sesuai yi.
Implikasinya, yi perlu harus lebih ditekankan jika kemungkinan
bertindak keliru hendak dijelaskan. Ini tidak berarti yi terpisah dari
jen, justru yi adalah klimaks dari pengembangan jen. Di sini
terlihat perbedaan antara Mensius dan Konfusius: 1). Mensius
membedakan antara kodrat manusia yang baik (jen) dari perbuatan
yang benar (yi). Sementara Konfusius tidak membedakannya. 2).
104
Alam Pemikiran Timur

Bagi Konfusius manusia punya potensi untuk berbuat baik. Bagi


Mensius kebaikan sudah bagian dari kodrat manusia. Menurut
Mensius secara kodrati manusia itu baik. Hal ini ia buktikan
dengan dua argumen.
Argumen pertama disampaikannya sebagai berikut: a). secara
kodrati semua manusia sama; b) si bijak yang dari kodratnya baik
adalah manusia. c). Oleh karena itu, semua manusia dari kodratnya
baik.
Argumen kedua menegaskan bahwa kebaikan manusia bersifat
eviden dalam kebajikan jen, li, yi dan chih. Semua manusia
memiliki sumber-sumber awal kebajikan. Hal itu terungkap secara
jelas dalam universalitas perasaan. Belas kasih adalah sumber
awal jen. Rasa malu adalah akar dari yi. Rasa hormat adalah awal
mula li. Pengetahuan akan yang benar dan salah adalah akar dari
keutamaan chih (kebijaksanaan). Kesimpulannya adalah manusia
dari kodratnya bersifat moral. Karena ia dari kodratnya bersifat
moral maka ia tahu yang benar dan salah; punya belas kasih;
bersikap hormat dan rendah hati dan kenal rasa malu. Dari mana
kodrat manusia yang baik itu bersumber? Dari Thian (metafisik)
dan Hsin atau hati (humanistis).
Tentang Thian. Ada beberapa arti. 1). Literer, thian/thien berarti
ruang tak berhingga yang ada di atas kepala,” yaitu langit/surga.
2). Secara metafisik thian menunjuk pada asal-usul manusia. Ia
adalah pengasal dan penentu hidup dan nasib manusia. Di sini
thian dihubungkan dengan ming (nasib), sehingga terbentuklah
thian ming. 3). Bagi Mensius, thian berarti person yang
berkesadaran, inteligen, dan mengarahkan segalanya kepada
tujuan tertentu, tapi ini bukan berarti sebuah predeterminasi.
Bagaimana relasi manusia dan thian dijelaskan? Menurut
Mensius, karena Thian yang adalah penyebab eksistensi manusia
105
Alam Pemikiran Timur

itu jauh (transenden), tapi jg sekaligus dekat (imanen), maka jalan


terbaik mengenal Thian ialah melalui refleksi. Implikasinya, tidak
ada gunanya mencari Thian di luar. Tugas pokok manusia ialah
menemukan Thian dalam dirinya secara tulus. Sejauh mana Thian
yang imanen itu berpengaruh terhadap kodrat manusia? Jawaban
ditempatkan dalam konteks beberapa pandangan moral lain. 1).
Kualitas moral kodrat manusia ditentukan sama sekali secara
eksternal oleh faktor keturunan. 2). Secara moral kodrat manusia
bersifat netral (indiferen). Jadi secara intrinsik kodrat manusia
tidak memiliki kualitas yang baik. Kao Tzu katakan perbuatan
moral dan kekuatan moral itu datang dari proses interaksi dengan
orang lain. 3). Secara potensial kodrat manusia mengandung benih
kebaikan dan kejahatan. Jadi dapat berubah tergantung
lingkungan. Mensius menolak semua pandangan itu. Baginya,
kodrat manusia yang diberikan Thian itu benar-benar baik dan rasa
moral/kecenderungan moral serta perbuatan moral itu bersumber
pada inti terdalam manusia, yaitu Hsin (Hati). Karena itu, hati
menurut Mensius adalah inti kodrat manusia. Apakah itu hati?
Tentang Hati (Hsin). Mensius pahami dalam arti luas, yakni hati
sebagai sumber afeksi dan kekuatan refleksi. Sebagai sumber
afeksi, hati menunjuk pada kepekaan manusia terhadap penderitaan
orang lain. Rasa simpati atau kepekaan ini tidak hanya menjadi ciri
khas individual tetapi juga landasan bagi pengembangan
masyarakat (masyarakat beradab tdk terbentuk tidak hanya pada
sistim sosial politik tapi juga pada kualitas hati). Sebagai kekuatan
refleksi hati (liang-ch, rasa moral) menunjuk pada kemampuan
manusia utk menyadari dan merenungkan realitas di luar dirinya.
Dalam fungsi refleksif ini, menurut Mensius, “hati juga bernalar”.
Dengan “bernalar” Ia maksudkan kegiatan refleksi, bukan berpikir
secara matematis dan logis. Berpikir = perhitungan logis – untung
106
Alam Pemikiran Timur

rugi. Refleksi hantar org dgn tenang memasuki kodratnya yg asli


sambil hindari emosi-emosi dangkal dan jadi bijak. Apa
pentingnya fungsi hati yang bernalar? 1). Agar hati tidak
tersesat/terjerat oleh keinginan duniawi (dibandingkan dgn seekor
ayam). 2). Agar hati peka dan peduli dengan hidupnya dan tahu yg
lebih prioritas (dibandingkan dengan perhatian istimewa terhadap
jari yang terluka). 3). Agar org tahu atur dan tata perilaku
hidupnya (Dibandingkan dengan perlakuan dan perhatian terhadap
pohon). Kendati demikian, Mensius juga mengakui keterbatasan
hati. 1). Hati manusia baru berbelaras ketika dihadapkan dengan
situasi konkrit. 2). Manusia secara kodrati baik, tapi sering
manusia tidak tahu cara kembangkan hati krn sering dikurung oleh
suasana hidup yang tdk sehat. 3). Hati manusia tidak dapat
berkembang dgn sendiri. Ia butuh usaha dan perjuangan. Dalam
konteks ini ia jelaskan tentang sumber kejahatan. Sumber
kejahatan: 1). Pengaruh lingkungan sosial. 2). Pengabaian self:
orang mengabaikan kebaikan-kebaikan kodrati dalam dirinya. 3).
Kegagalan mengolah rasa dan pemahaman. Ada niat baik, tetapi
tidak mampu melakukan kebaikan karena kurang pengetahuan
yang menuntun orang untuk buat keputusan yang tepat dan benar.

3. Penutup: Kesimpulan.
Sebagai kesimpulan beberapa hal bisa ditegaskan: a). Humanisme
Konfusianisme terpusat pada konsep Jen. b). Karena prinsip-
prinsip moral mengandaikan pengembangan kepribadian, maka 2
syarat perlu dipenuhi, yakni pendidikan dan pendidikan itu harus
dimulai dari keluarga (inti masyarakat). c). Mensius memberikan
pendasaran moral yang sama dengan Konfusius, tetapi lebih
radikal. Baginya Hati manusia baik secara moral, maka manusia
pun baik secara kodrati. d). Implikasi pandangan keduanya: setiap
107
Alam Pemikiran Timur

orang/individu harus bersikap baik terhadap sesamanya dalam


setiap tingkatan relasinya.

108
Alam Pemikiran Timur

BAB 3
TAOISME : JALAN ALAMI MENUJU KEBEBASAN

 Studi tentang Taoisme sebagai filsafat membedakan adanya 3


tradisi. Pertama, Taoisme awal (Yang Chu). Inti ajarannya ialah “wei-
wo.” Untuk menjaga kemurnian diri dan hidup manusia harus
menempuh dan menjalani hidup sebagai pertapa. Kedua, Taoisme
yang berkembang di tangan oleh Lao Tzu. Pokok ajarannya ialah
dunia selalu berubah, tetap ada hukum yang mendasari perubahan itu.
Jadi hidup manusia harus mengikuti hukum itu (termuat dalam Tao Te
Ching dan Dao De Jing). Ketiga, Taoisme versi Chuang Tzu.
Ajarannya fokus pada kehidupan mistik (termuat dalam kitab Chuang
Tzu). Dalam uraian ini fokus hanya pada Lao Tzu dan Chuang Tzu.

1. Lao Tzu
 Riwayat hidupnya agak kabur, tapi tradisi tempatkannya
antara tahun 566-470 (604) sM. Nama aslinya Li Erh (Li: nama
keluarga pohon plum; erh: nama diri artinya “telinga”). Setelah wafat
diberi gelar Lao Tzu (Lao: Tua) artinya si guru tua. Atau Lao
Dan/Tan.
a. Taoisme dan Konfusianisme: Sebuah perbandingan
 Persamaannya: bertitik tolak dari situasi kemiskinan dan
penderitaan masyarakat akibat salah kelola dari penguasa negara.
 Perbedaannya pada tanggapan terhadap situasi tersebut. 1).
Konfusius menekankan kebaikan moral kodrat manusia sebagai
medium untuk ciptakan pembaharuan dalam masyarakat. Lao Tzu
fokus pada keselarasan dan kesempurnaan alami. Konfusius jadikan
kepribadian yang dewasa secara moral sebagai ideal hidup, sementara
109
Alam Pemikiran Timur

Lao Tzu idealkan hidup yang simple dan harmonis. Singkatnya,


mereka berbeda dalam hal sikap terhadap keinginan. Bagi Konfusius,
keinginan/emosi perlu diekspresikan/disalurkan. Bagi Lao Tzu,
membiarkan segalanya berlangsung secara spontan tanpa rekayasa. 2)
Pandangan tentang manusia. Konfusius tekankan prinsip aksi, krn
manusia adalah ukuran dan sumber segala sesuatu. Lao Tzu tekankan
prinsip non-aksi karena harmoni alam semesta adalah sumber dan
ukuran segalanya. 3). Fokus pada pembaharuan. Konfusius, fokus
pada manusia dan sosialitasnya, tanpa relasi eksplisit dgn alam dgn
dampak moralitas dan sistem sosial jd pusat kesejahteraan hidup
manusia. Lao Tzu fokus pada kesatuan relasi manusia dengan alam.
Inilah yang disebut dengan prinsip tindakan manusia adalah bagian
dari “cara jagat raya bekerja/prinsip penyelenggaraan alam semesta.”
Atau lazim disebut “Tao” atau jalan.
b. Tanggapan atas Pendekatan Moral Konfusius
 Bagi Lao Tzu manusia hanya dapat meraih kepuasan dan
kebermaknaan hidup ketika mampu menyelaraskan kehidupan dengan
Tao. Ajarannya tentang Tao dirumuskan dalam suatu argumen
bertahap 9 sebagaimana terungkap dalam kitab Tao Te Ching. 1).
Manusia mau bertindak karena ingin penuhi keinginannya. 2). Tapi
tidak selalu terpenuhi. Yang terjadi justru konflik. 3). Agar tercapai
harmoni antara individu, standar ttg kebenaran dan moralitas perlu
dirumuskan secara jelas. 4). Ternyata adanya standar moral tidak
menyelesaikan konflik. 5). Kalau standar moral tidak selesaikan
masalah, kenapa tidak ditiadakan saja? 6). Tapi standar moral hanya
dapat dibuat kalau keinginan sbg sumber tindakan ditiadakan. 7).
Tindakan yang bersumber pada keinginan dapat ditiadakan jika hidup
diseimbangkan dengan “cara kerja jagat raya.” 8). Ikut “cara jagat raya
bekerja” andaikan penyelarasan diri dan perilaku alam dan bertindak

110
Alam Pemikiran Timur

sesuai dengan Tao. 9). Maka peraturan yang ditetapkan harus searah
dengan Tao alam semesta.
c. Gagasan Filosofis Lao Tzu
 Jadi menurut Lao Tzu yang jadi akar kejahatan sosial bukanlah
masalah dekadensi moral, tetapi keinginan manusia yang tidak pernah
terpenuhi. Demikian jika untuk mau menyelesaikannya bukan dengan
menciptakan aturan-aturan moral guna mengikuti keinginan kita, tetapi
dengan mengikuti Toa. Karena defacto ketika manusia berusaha untuk
puaskan keinginanya selalu berujung dengan kejahatan.
 Kebahagiaan dan kebaikan menurut Lao Tzu dapat dicapai
tatklala manusia memilih sikap/prinsip non-aksi yang bersumber pada
kesederhanaan Tao, karena Tao yang agung selalu tanpa keinginan.
Lao Tzu menyebut prinsip non-aksi itu: Wu-Wei berarti tindakan
secara bebas dan spontan lahir dari hakikat. Exam: seekor sapi tidak
boleh berusaha untuk berlaku seperti ayam. Hidup sederhana berarti
bertindak tanpa keinginan.
 Kesimpulannya bertindak yang tepat ialah menyesuaikan diri
dengan Tao, bukan dengan tujuan untuk penuhi pelbagai keinginan.
Implikasinya ialah pemimpin yang bijak adalah pemimpin yang betul-
betul memimpin bukan memerintah. Tugasnya menuntun masyarakat
agar ikut jalan Tao.
 Apa hakikat Tao? Konteks tepat untuk pahami hakikat Tao
ialah prinsip Yin-Yang. Secara harafiah Yin : sesuatu yang tertutup &
tdk bisa diketahui. Secara simbolik artinya sesuatu yang dibelakang.
Yin berarti: mundur, pasif, yang lemah dan yang gelap. Wakili unsur
bumi, betina, bulan, malam perempuan, air, dll. Yang : sesuatu yang
terbuka dan bisa diketahui. Yang lambangkan segala sesuatu yang di
depan. Yang adalah prinsip progresif, dinamis, aktif, dan terang.
Wakili unsur langit, siang, matahari, jantan, pria, api, aksi, kuat, dll.
Segala dalam direduksi dalam dua prinsip itu: Yin- Yang. Walau
111
Alam Pemikiran Timur

berbeda keduanya bentuk satu lingkaran penuh. Keterangan gambar:


1). Lingkaran utuh nyatakan kesatuan dan pengaruh yg menyeluruh.
2). Bagian hitam= prinsip Yin. 3). Bag. Putih = Yang. 4). Yin & Yang
tidak terpisahkan. Tidak ada batasan tegas. Keduanya saling terikat
secara komplementer. 5). Dalam Yin ada setitik terang. Dalam Yang
ada setitik gelap. Titik wakili daya yg luar biasa, yakni kontradiksi yg
ada dalam alam. Segala yang berkaitan dengan Yin-Yang dirangkum
dalam 3 gagasan pokok: perlawanan, transformasi dan harmoni. 6).
Yin-Yang saling tergantung. Kesatuan Yin-Yang melahirkan
keteraturan alam semesta.

 Bagaimana hubungan Yin-Yang dan Tao? Lao Tzu menjawab


bahwa Tao adalah prinsip yang melandasi interelasi Yin-Yang. Tao
adalah sumber Yin-Yang, non-being dan being. Kata Lao Tzu, “Tao
hasilkan satu (realitas), satu (realitas) hasilkan dua (yin-yang), dua
(yin-yang) hasilkan tiga (materi, energi & hukum alam).”
 Sebagai prinsip asali, Tao tanpa karakteristik, tanpa nama,
bukan sesuatu (nothing). Mengapa Tao tak bernama? Menurut Lao
Tzu, karena hakikatnya tanpa nama. Ia tak berubah walau merupakan
prinsip perubahan. Dampaknya, Tao tak dapat dimengerti. Kalau Tao
tidak dapat diberi nama, lantas apa artinya kata “Tao”? Lao Tzu jawab,
Tao melampaui segala nama dan segala pengertian. Tao is a non-
name. Karena hakikatnya, tanpa nama, maka Tao hanya bisa ditunjuk.
Ia hanya bisa menunjuk unsure-unsur pembeda.
 Kendati hakikat Tao tidak bisa didefinisikan, Lao Tzu berusaha
untuk berikan penjelasan. “ Tao itu kosong. … Ia menumpulkan
ketajaman.. Ia mengurangi kekusutannya.. Ia menyelaraskan
112
Alam Pemikiran Timur

cahayanya… Menyatu dgn setiap debu dunia” Maksudnya:


kekosongan berarti absensi karakteristik. Ia nyatakan kapasitas tak
terhingga. Semakin kosong, semakin sempurna. Kekosongan dikaitkan
dengan keteduhan, kedamaian. Menumpulkan, mengurangi kekusutan
artinya gerakan Tao selalu kembalikan suatu gerakan ekstrim ke titik
baliknya. “Menyatu dalam setiap debu dunia” artinya Tao itu bersifat
imanen, menyatu dengan dunia.
 Tentang Moral Politik. Tao tolak pendekatan intelektualitas.
Karena akan berakhir dengan upaya campur tangan yang merusak.
Dan ini bertentangan dengan prinsip wu-wei: tidak campuri jalan Tao.
Agar prinsip itu dapat dijalankan 3 sikap dasar harus dimiliki: 1).
Kerendahan hati artinya tetap bersatu dengan kehidupan, selalu dekat
dengan keaslian diri yang sederhana dan tulus. 2). Kelemah-lembutan
artinya jauh dari kekerasan. Karena hakikat kekerasan berarti rebut
sesuatu bagi dirinya. 3). Penyangkalan diri : “dirimu hanyalah tubuh
yang dipinjamkan alam kepadamu. Hidupmu bukanlah milikmu…”
Jadi penyangkalan diri berarti manusia merasa tdk memiliki dirinya
sendiri. Hanya orang yang sangkal diri bisa alami keteduhan dan
ketenangan sempurna.
 Dalam konteks itu ia bicara tentang “cinta”. Cinta artinya tak
memikirkan diri sendiri atau masuki perasaan orang lain tanpa
menguasai.
 Dalam bidang politik, Lao Tzu aplikasikan prinsip wu-wei
sebagai implikasi dari fungsi Tao. Maksudnya, Tao biarkan segalanya
terjadi secara spontan dan alami tanpa paksaan atau rekayasa. Hanya
pemerintahan yang dijalankan tanpa rekayasa akan terhindar dari
konflik.
 Bagaimana ciptakan ketertiban dalam masyarakat? Hemat Lao
Tzu caranya dengan biarkan masyarakat hidup menurut kehendaknya.
Kesulitan, kekacauan terjadi karena penguasa banyak campuri
113
Alam Pemikiran Timur

kehidupan rakyatnya. Implikasinya, cara memimpin yang baik ialah


hindari pemaksaan terhadap rakyat. Dalam arti itu, setiap pemimpin
harus selalu merendah. Buruknya sebuah pemerintahan terlihat dari
banyaknya larangan dan kekacauan melawan larangan. Banyaknya
larangan perlihatkan struktur sosial ketat dan agresi terhadap proses
alami. Sikap agresi matikan keadilan dan kebaikan spontan.
 Kesimpulan: 1). Pada Lao Tzu kita temukan benih-benih
gagasan politik anti-kekerasan dan anti-diskriminasi sebagai implikasi
dari prinsip wu-wei dan konsekuensi mengiktui jalan Tao. 2). Pada
Lao Tzu jelas terlihat sikap melawan legalisme. 3). Jelas juga terlihat
perlawanan terhadap etatisme/ campur tangan berlebihan
penguasa/negara dalam kehidupan rakyat yang inspirasikan gerakan
anti-diktator politik. 4). Ia mendukung prinsip subsidiaritas sosial:
rakyat harus putuskan sendiri kepentingan dan kehendaknya sesuai
Tao.

2. Chuang Tzu (k.l. 369-286 sM)


 Seorang pertapa Taois yang memilih hidup dalam keheningan
jauh dari masyarakat dan urusan politik.
1. Ajarannya
 Tentang kebebasan dan mistisisme. “Kebebasan” berarti
spontanitas yang kontinui dari alam semesta. Menurut paham ini, tak
satupun unsur dari alam dan aktivitasnya yang dimengerti dalam
isolasi (semuanya saling terkait). Dasar spontanitas ialah Tao. Jadi
kendati filsafatnya beda dengan Lao Tzu, tapi ia sepaham dengan Lao
Tzu tentang konsep tentang Tao. Baginya, Tao adalah kesempurnaan
yang lingkupi dan cakup segala sesuatu. Taolah yang memungkian
eksistensi segala sesuatu. Ia yakin kebahagiaan bisa dicapai ketika

114
Alam Pemikiran Timur

manusia mampu identifikasi diri dengan Tao. Keyakinan itu nyata


dalam gambarannya tentang manusia bijak atau manusia sejati.
Manusia sejati adalah manusia yang mampu bebaskan diri dari ikatan
dunia dunia sehari-hari (empiris dan kognitif) dan sampai pada
persatuan dengan Tao (lapisan mistik). Untuk mendukung
pandangannya Chuang Tzu ajukan 4 argumen: perbedaan-perbedaan
bersifat relatif,; hal-hal yang saling berlawanan bersifat komplementer;
argumen berdasarkan perspektif; dan tentang skeptisisme.
 Perbedaan-perbedaan bersifat relatif. Titik tolaknya
pengalaman “rasa.” Makananya misalnya bisa berbeda rasa di mulut
setiap orang. Chuang Tzu aplikasikan hal itu pada semua jenis
perbedaan. Jadi kecil-besar, dll, semua bersifat relatif, tergantung
perspektif. Jadi sumber relativitas itu adalah perspektif. Hanya dalam
Tao semuanya menyatu. Artinya dari perspektif Tao tidak ada
perbedaan apapun, karena pada Toa tidak ada perspektif dan
partikularitas. Alasan kenapa semua jenis perbedaan ialah karena
perbedaan selalu berhubungan dengan karakteristik yang mewujud
pada peristiwa dan benda-benda. Karakteristik yang berbeda
diturunkan dari pikiran manusia yang membentuk ide ttg benda-benda
konkrit. Implikasinya, apa yg dipikirkan manusia relafif dan olehnya
pengetahuan pun relatif. Pengetahuan relatif karena bersumber pada
konsep-konsep yang relatif. Atas cara ini Chuang Tzu kritik pengikut
Konfusianisme (moralitas sebagai ukuran kebenaran) dan Mohisme
(yang pragmatis dan menerima “praksis” sebagai kriteria
pengetahuan). Berpijak pada argumennya, Ia perlihatkan bahwa rasa
senang atau tidak senang itu relatif.
 Oposisi-oposisi bersifat komplementer. Maksudnya secara
logis konsep A merujuk pada konsep lawannya B. Tanpa A, B tidak
bisa bereksistensi. Jadi ada pria karena ada wanita. Dalam arti itu
keduanya saling melengkapi. Jadi ini soal cara pandang. Nampak jelas
115
Alam Pemikiran Timur

bahwa Chuang Tzu berpikir dalam bingkai pasangan oposisi yang


saling melengkapi. Kritiknya, korelasi macam itu berlaku hanya untuk
kata sifat. Bukan untuk kata benda, kambing misalnya dengan konsep
apa bisa dipertentangkan secara komplementer? Ia menjawab bahwa
pada konsep “kambing” sekurang-kurangnya secara implisit merujuk
pada konsep “bukan kuda.” Kita tidak bisa kenakan konsep “kambing”
pada yang sesuatu yang bukan kambing. Tanpa rujukan implisit itu,
kita tidak mungkin buat pembedaan. Jadi syarat multak gunakan
konsep adalah kemampuan bedakan apa yang dirujuk dan apa yg
tidak dirujuk. Manakah yang lebih hakiki: “kambing” atau “bukan
kambing”? Ia jawab, tidak kedua-duanya, karena keduanya itu sama-
sama perlu. Artinya, pengetahuan real itu tidak bisa dipastikan.
 Argumen berdasarkan perspektif. Gagasan dasarnya sesuatu
yang sama tampak berbeda pada orang berbeda karena perspektif
berbeda. Atau obyek sama tapi orang yang sama ubah sudut pandang.
Bagian manakah yang benar dan mana yang salah dari realitas yang
ditangkap itu? Baginya pertanyaan itu tidak bisa dijawab, krn realitas
pada dirinya tidak bisa berubah sesuai perspektif. Ia independen. Ia
punya perspektif sendiri, maka pahaminya orang harus atasi perspektif
yang terbatas/partikular. Karena pandangan dari perspektif yang
terbatas akan distorsi otentitas realitas. Maka dibutuhkan sebuah
perspektif yang universal, perspektif transcendental yang atasi
pengalaman empirik dan kognitif. Yang dimaksudkan ialah mengikuti
jalan Tao. Atas cara ini ia hendak tegaskan bahwa manusa tidak
pernah pahami realitas terdalam secara tuntas. Dengan dengan itu ia
ajarkan suatu skeptisisme.
 Skeptisisme. Menurut Chuang Tzu selalu ada kesulitan bagi
kita untuk buktikan bahwa “ayam pedas” atau “ayam tawar” itu benar-
benar sesuai dengan realitas sebenarnya. Seorang skeptik bisa saja
diyakinkan bahwa “rasa pedas” atau “rasa tawar” itu merujuk pada
116
Alam Pemikiran Timur

makanan. Tapi yang diragukan ialah fakta bahwa ia pedas. Jadi utk
buat komparasi perlu criteria atau standar yang independen utk nilai
relasi penyataan yang satu dengan penyataan yang lain. Tap standar
independen butuhkan standar penilaian lain dan standar penilaian itu
butuhkan standar yang lain lagi. Jadi tak terbatas. Jadi bagaimana
menilai/memilih bila setiap orang selalu nilai dari perspektif terbatas?
Bagi kaum skeptik itu tetap tidak mungkin. Karena pengetahuan
tergantung pada sesuatu yang benar, tapi sesuatu itu tidak pasti dan
dapat berubah-ubah. Singkatnya, bagi Chuang Tzu, pada dasarnya
tidak ada criteria yang sama sekali pasti yang denganya pernyataan ttg
kebenaran dapat diukur. Jadi yang dibutuhkan adalah sebuah
perspektif yang tak terbatas (lampau yang empiris dan kognitif).
Pertanyaannya, apakah dengan utamakan perspektif tak terbatas, ia
remehkan atau abaikan lapisan empiris dan pengetahuan rasional?
Jawabnya, tidak. Karena justru dunia sehari-harilah pangkal menuju
alam kesempurnaan. Manusia sejati adalah manusia yang bisa masuk
dan salami dunia transcendental dengan tujuan memberi makna pada
dunia sehari-hari. Dalam diri orang bijak yang transcendental dan yang
duniawi berjumpa. Karena di sanalah Tao alam dan Tao manusia
menyatu.
 Kesimpulan umum. 1). Taoisme kedepankan keselarasan
kosmik. Berhadapan dengan gejolak sosial politik yang dikedepankan
ialah hidup yang alami, sederhana, spontan, lemah-lembut dan tulus.
Atas cara ini Taoisme sindir manusia yang bergumul dengan problem
yang diciptakannya sendiri; keserakahan yang berujung pada konflik,
pertikaian dan penderitaan. 2). Harmoni andaikan pluralitas: tak ada
keselarasan tanpa kemajemukan. Yin-yang bisa bersatu dengan
sempurna tanpa saling mereduksi. Artinya perbedaan itu pada
dasarnya bisa disatukan. Syaratnya ialah mengatasi partikularitas dan
menyatu dengan “dunia lain.” 3). Dari perspektif lingkungan hidup,
117
Alam Pemikiran Timur

Taoisme memberikan sumbangan yang signifikan. Bahwa manusia


hanya satu entitas dari alam semesta. Ia bukanlah pemimpin. Taolah
pemimpin. Maka yang harus dibuat manusia ialah patuh pada jalan
alami. Hidup selaras dengan alam. Siapa rawat alam ia dapat mengenal
dan berjalan di jalan Tao.
Daftar Pustaka
1. John M. Koller, Filsafat Asia, Pengantar dan Penerjemah:
Donatus Sermada. Maumere: Penerbit Ledalero, 2010.
2. Alfredo P. Co, Philosophy of Ancient China, third edition.
Manila: UST Publishing House, 2005

118
Alam Pemikiran Timur

119

Anda mungkin juga menyukai