Anda di halaman 1dari 6

I.7.3.1. PRINSIP "KEBAIKAN BERSAMA" (BONUM COMMUNE).

Yang dimaksud dengan kebaikan bersama ialah semua kondisi dalam


masyarakat yang menunjang perkembangan pribadi manusia sepenuhnya
bagi setiap individu. Oleh sebab itu, walaupun "kebaikan bersama" ini lebih
tinggi dari kepentingan individu, namun tidak terpisahkan dari kebaikan
tiap person, sehingga para penguasa yang bertangung jawab atas "kebaikan
bersama" harus pula mengakui, menghormati, mengatur, membela dan
memajukan hak-hak azasi manusia dan berusaha melaksakan kewajiban
negara yang berkaitan dengan hak-hak azasi tersebut.
"Kebaikan bersama" bisa disebut sebagai raison d'etre (alasan
keberadaan) dari penguasa publik, misalnya negara. Negara bisa
dibenarkan hanya karena demi terciptanya kebaikan bersama. Tanpa
alasan itu, negara tidak berhak untuk dibentuk. Yang menyebabkan negara
adalah sah dan memiliki kuasa untuk memerintah untuk ditaati ialah
kewajibannya untuk mengusahakan kebaikan umum. Gereja berpendapat
bahwa kebaikan umum ini harus menjadi kriteria penilaian bagi sah
tidaknya suatu sistem pemerintahan. Kalau sistem pemerintahan tidak
berfungsi baik demi pelayanan kebaikan bersama, maka perlu dicari sistem
lain yang dapat mencapai tujuan itu. Sistem pemerintahan yang berfungsi
dengan baik untuk melayani masyarakat punya hak dan kuasa untuk
mengatur segala sektor kehidupan bersama.

I.7.3.2. PRINSIP SOLIDARITAS DAN SUBSIDIARITAS

Kedua prinsip ini sangat penting dalam mengatur kehidupan bersama


demi kebaikan bersama. Menurut prinsip solidaritas, setiap pribadi, sebagai
anggota masyarakat, mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dari
tujuan masyarakat itu sendiri; bahkan dalam terang Injil, ia memiliki
hubungan tak terpisahkan dengan tujuan keselamatan bangsa manusia.
Konsekuensi moral dari prinsip solidaritas ialah bahwa setiap anggota
suatu kelompok sosial berhak untuk ambil bagian dalam kegiatan demi
kebaikan bersama.

Dalam Sollicitudo Rei Socialis no 39 dan 40, prinsip solidaritas


diterangkan sbb:

"Prinsip solidaritas berarti bahwa dalam masyarakat, para anggota


diakui sebagai person. Mereka yang punya pengaruh karena punya kuasa
atau kekayaan harus merasa bertanggung jawab kepada yang lemah, dan
harus rela membagikan milik mereka. Dan bagi mereka yang lemah, pada
pihak mereka, dengan semangat solidaritas yang sama, bukan saja
menerima bantuan secara pasif, melainkan menggunakan hak mereka
untuk bekerjasama secara aktif. Suatu tanda yang baik pula bahwa dewasa
ini ada kesadaran akan solidaritas di antara kaum miskin itu sendiri.
Mereka berusaha untuk saling mendukung. Dengan tindakan unjuk rasa
secara damai, mereka menuntut hak-hak mereka yang sah dan mengkritik
tindakkan penyelewengan oleh penguasa.

Kalau prinsip solidaritas dihubungkan dengan "bonum commune"


(kebaikan bersama), maka berlaku prinsip bahwa "seluruh alam ciptaan,
diperuntukkan bagi semua orang penghuni dunia ini." Kalau demikian,
maka berdasarkan prinsip solidaritas, bantuan orang kaya kepada orang
miskin, bukanlah suatu tindakan suka rela berdasarkan cinta kasih,
melainkan suatu kewajiban berdasarkan keadilan. Orang yang kurang
beruntung punya hak untuk menikmati hasil bumi sama seperti saudara-
saudaranya yang beruntung. Pemerataan hasil produksi menjadi kewajiban
moral yang harus dilaksanakan.

Prinsip solidaritas membantu kita untuk melihat orang lain,


masyarakat atau suatu bangsa, bukan sebagai semacam alat yang bisa
dimanfaatkan, melainkan sebagai "sesama" atau "tetangga" atau penolong
(Kej. 2:18-20). Orang lain atau bangsa lain adalah sesama yang membagi
bersama piring perjamuan kehidupan di mana setiap orang adalah sama di
hadapan Allah. Prinsip kesamaan ini adalah dasar dari solidaritas tapi
serentak juga dasar dari hormat terhadap orang lain. Orang lain tidak bisa
dipakai atau diekploitasi.
Pada akhirnya solidaritas adalah keutamaan kristen, karena sesama
adalah bukan hanya person yang memiliki hak-hak yang sama dengan
saya, melainkan orang yang telah diciptakan sesuai dengan citra Allah dan
ditebus dengan darah Kristus. Sesama adalah pribadi yang harus dikasihi,
bahkan seandainya sesama itu telah menjadi musuh. Seperti Kristus, orang
harus berani berkorban dengan menyerahkan nyawanya bagai saudaranya.
(I Yoh 3:16). Banyak orang kudus telah memberi kesaksian tentang
solidaritas. Misalnya Santo Maximilianus Maria Kolbe yang menyerahkan
nyawanya sebagai ganti salah seorang tahanan yang akan dihukum mati di
kamp konsentrasi Auschwitz.

Prinsip subsidiaritas adalah pelengakap dari solidaritas. Subsidiaritas


berarti wewenang yang sudah diserahkan kepada seorang person harus
dipercayakan sepenuhnya kepadanya. Atasan tidak perlu campur tangan
terhadap suatu tanggung jawab atau tugas yang sudah dipercayakan
kepada bahawahannya. Pemerintahan pusat tidak perlu mengurusi hal-hal
yang menjadi wewenang pemerintah daerah. Subsidiaritas muncul dalam
bentuk sistem desentralisasi kekuasaan.

Tujuan dari prinsip subsidiaritas ialah untuk melindungi person atau


komunitas lokal supaya tidak kehilangan otonominya yang sah. Gereja
sangat memperhatikan pelaksanaan prinsip ini karena hormat terhadap
martabat manusia. Pelaksanaan prinsip subsidiaritas sangat penting untuk
melindungi apa saja yang manusiawi dalam kehidupan sosial dan untuk
melindungi hak-hak kelompok masyarakat dalam relasi antar masyarakat
dan antar negara.

I.7.3.3. PRINSIP PARTISIPASI

Partisipasi adalah suatu keterlibatan seorang anggota dalam suatu


kelompok sosial. Keterlibatan tersebut berangkat dari martabatnya sebagai
person yang punya hak dan kewajiban sama dalam kelompok sosialnya.
Dengan kata lain, partisipasi adalah penghargaan atas pribadi manusia
dalam melakukan peranannya sesuai dengan bakatnya. Dalam sistem
partisipasi, maka seorang person diberi kesempatan untuk
menyumbangkan kemampuannya demi kepentingan bersama. Dengan cara
itu, maka person bersangkutan sendiri diberi kesempatan untuk
berkembang.

Partisipasi berhubungan pula dengan keadilan. Keadilan berarti tiap


orang mendapatkan kesempatan untuk menerima sesuai dengan
kebutuhannya dan untuk memberikan sesuai dengan kemampuannya.
Suatu pastisipasi yang adil, proporsional dan bertanggungjawab dari setiap
anggota kelompok sosial, baik di bidang ekonomi, politik maupun
kebudayaan adalah jalan yang pasti menuju ko-eksistensi yang manusiawi.
Kehidupan bersama yang manusiawi hanya mungkin kalau ada partisipasi.
Di dalam sistem partisipasi tidak ada satu pihak yang merasa lebih berjasa
dari yang lain. Setiap anggota memiliki hak dan kewajiban yang sama
sebagai pribadi yang bermartabat. Berbedaan bukan terletak pada
martabat, melainkan pada fungsi dan tanggungjawab. Karena fungsinya,
seseorang bisa diberi tanggungjawab yang lebih besar dari anggota yang
lain.
Partisipasi berhubungan pula dengan visi tentang perkembangan
manusia. Partisipasi dianggap sebagai sistem sosial yang sangat
mendukung perkembangan sejati seorang person. Salah satu sarana
perkembangan persoan ialah realisasi diri. Seorang person perlu diberi
kesempatan untuk merealisasikan potensi dan bakatnya. Dalam sistem
partisipasi, kemungkinan itu diberi kepercayaan dan kesempatan seluas-
luasnya. Kita mengenal istilah kepemimpinan partisipatif, suatu cara
kepemimpinan yang melibatkan para anggota untuk menyumbangkan
tenaga dan pikiran mereka demi kepentingan bersama. Keputusan diambil
melalui dialog untuk mencari jalan terbaik demi kepentingan bersama dan
kebaikan masing-masing anggota.
I.7.3.4. PRINSIP DEMOKRASI

Demokrasi berhubungan dengan soal kekuasaan. Pertanyaan dasar


ialah : dari mana datangnya kekuasaan? Ada jenis kekuasaan yang
bercorak natural. Kuasa orang tua terhadap anak-anaknya adalah
kekuasaan natural. Kekuasaan itu muncul dari kenyataan bahwa orang tua
melahirkan anak-anak. Ada jenis kekuasaan yang bercorak teologis.
Kekuasaan Magisterium Gereja terhadap umatnya bercorak teologis.
Kekuasaan itu diyakini sebagai pemberian dari Tuhan Allah. Tuhan
memilih dan mengangkat orang-orang tertentu menjadi gembala dalam
Gereja-Nya. Kekuasaan teologis tidak sama dengan kekuasaan natural.

Dalam setiap masyarakat ada suatu jenis kekuasaan yang tidak bisa
disebut natural atau teologis. Ditinjau dari asal-usulnya, kekuasaan
natural berasal dari hak-hak natural, seperti hak orang tua terhadap anak-
anak; sedangkan kekuasaan teologis, berasal dari pengutusan Ilahi dalam
konteks iman. Sekarang kalau kita berfikir tentang kekuasaan negara, dari
manakah para pejabat pemerintahan itu memperoleh kekuasaannya?
Mungkin bisa dijawab dengan mengatakan, "dari prestasi pribadi". Ada
orang-orang pandai dan berbakat memimpin yang dalam perjalanan
kariernya akhirnya sampai menjadi seorang penguasa. Tetapi masih bisa
ditanyakan, "kekuasaan" yang ia capai atau jabatan sosial yang mampu ia
masuki itu asal-usulnya dari mana? Kita harus menjawab dari rakyat
banyak atau dari himpunan manusia yang memberi kepercayaan kepada
seseorang untuk menduduki jabatan pimpinan. Ditinjau dari asal-usulnya,
maka setiap kekuasaan dalam masyarakat adalah dari rakyat. Jenis
kekuasaan ini disebut kekuasaan demokratis.

Manusia zaman ini semakin menjadari pentingnya demokrasi. Sistem


demokrasi adalah satu-satunya cara menyelenggarakan pemerintahan yang
paling sesuai dengan aspirasi manusia. Karena dalam sistem tersebut,
martabat manusia sebagai pribadi diutamakan. Setiap orang punya hak
untuk berpartisipasi dalam kehidupan bersama. Sistem demokrasi
menjamin kesamaan di antara manusia. Dalam hal pemerintahan, setiap
anggota suatu negara memiliki hak dan kewajiban yang sama. Kekuasaan
demokratis tidak memberi tempat pada pemujaan seorang individu,
melainkan menekankan kesamaan semua orang dan perjuangan bagi
kebaikan bersama. Gereja sangat mendukung sistem demokrasi sebagai
cara menyelenggarakan kehidupan bersama yang sesuai dengan martabat
manusia.

Anda mungkin juga menyukai