Anda di halaman 1dari 15

SOLIDARITAS ISLAM NU DI MADURA

Di Buat Oleh ;Muhamad Hasan. Mohammad Taufq. Miftahillahkan. Khoirun Nisak. Bedrun. Fathur
Rosi. Moh. Ruji

Solidaritas merupakan rasa kebersamaan, rasa kesatuan kepentingan, rasa simpati,


sebagai salah satu anggota dari kelas yang sama atau bisa di artikan perasaan atau ungkapan
dalam sebuah kelompok yang dibentuk oleh kepentingan bersama. Manfaat yang bisa kita
ambil dari rasa solidaritas adalah saling membantu satu sama lain dan rasa peduli untuk
teman-teman, biasanya sering di lingkungan kita adalah rasa solidaritas atau rasa kepedulian
teman-teman, biasanya pertengkaran sering antara rekan-rekan dan dari Itu di mana kita bisa
melihat ada atau tidak rasa solidaritas.Banyak manfaat yang bisa kita ambil dari rasa
solidaritas dan kepedulian terhadap orang lain berarti menunjukkan rasa penting nya
solidaritas dalam kehidupan manusia di mana solidaritas dalam kehidupan sehari-hari untuk
menjaga kekerabatan ke tetangga, teman, atau keluarga sehingga pas untuk menumbuhkan
rasa solidaritas dalam diri kita sendiri dan menjaga yang tidak hilang kami juga harus mampu
memanfaatkan arti sebenarnya dari solidaritas dengan kami. Dalam islam solidaritas sangat di
anjur bagaimana rosullah swa telah berkata “sebaik-baiknya manusia yaitu yang bermanfaat
bagi manusia yang lain” dari itulah islam ramah dan saling menolong
Solideritas juga merupakan rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu yang
menyangkut tentang kesetiaan antar sesama dalam mencapai tujuan dan keinginan yang
sama. solidaritas hakikatnya bersifat kemanusiaan dan mengandung nilai yang tinggi dan
mulia. Tidak aneh kalau solidaritas merupakan keharusan yang mana tidak bisa ditawar-tawar
lagi. Memang sangat mudah mengucapkan kata solidaritas namun kenyataannya dalam
kehidupan manusia sangat jauh sekali. Dalam ajaran Islam solidaritas sangat dianjurkan
karena solidaritas merupakan salah satu bagian dari nilai Islam yang mengandung nilai
kemanusiaan. Seperti halnya seruan tolong-menolong dalam hal kebaikan.Yang didalamnya
terdapat nilai-nilai solidaritas. Dalam wawasan yang lebih luas tetang hal tersebut, maka
acuan utama dari adanya sebuah solidaritas dapat dilihat dalam teori yang telah diperkenalkan
oleh Emile Duekheim. Acuan utama adalah pada pembagian kerja yang kemudian akan
memberiakan implikasi yang sangat besar terhadap struktur masyarakat. Hal inilah yang
kemudian menurut Emile Durkheim disebut sebagai solidaritas sosial.
Dalam hal ini Emile Durkheim membagi solidaritas dalam dua macam, yaitu
solidaritas mikanik dan solidaritas organik. Solidaritas organik misalnya dicirikan dengan
perbedaan dan persamaan yang terdapat dalam memiliki tugas-tugas dan tanggung jawab
masing-masing. Lain halnya dengan solidaritas mikanis yang oleh Emile Durkheim dicirikan
sebagai solidaritas yang menyatakan bahwa ikatan di antara orang-orang yang terlibat dalam
kegiatan-kegiatan yang mirip. Namun alangkah lebih baiknya apabila kedua macam
solidaritas tersebut dijelaskan satu persatu. Pertama, Solidaritas Organik. Solidaritas organik
yaitu merupakan sebuah ikatan besama yang dibangun atas dasar perbedaan, mereka biasanya
justru dapat lebih bertahan dengan perbedaan yang ada di dalamnya karena pada kenyatannya
bahwa setiap orang memiliki tanggung jawab dan pekerjaan yang berbeda-beda. Akan tetapi
perbedaan tersebut saling berinteraksi dan membentuksuatu ikatan yang sifatnya tergantung.
Masing-masing masyarakat tidak lagi memenuhi semua kebutuhannya sendiri tetapi ditandai
saling ketergantungan yang besar pada orang atau kelompok lain. Saling ketergantungan
antara anggota ini disebabkan karena mereka telah mengenal pembagian kerja yang teratur.
Dan suatu perkerjaan tertentu tidak bisa dikerjakan oleh orang lain.
Solidaritas organik ini biasanya terdapat dalam masyarakat perkotaan yang heterogen.
Hubungan atau ikatan yang biasanya dibangun didasarkan atas kebutuhan materi yang
dikedepankan atau hubungan kerja didalam sebuah perusahaan. Pembagian kerja yang sangat
mencolok hanya ada dalam masyarakat perkotaan yang sebagian besar mereka bekerja dalam
berbagai macam sektor perkonomian. Spesialisai yang berbeda-beda dalam bidang pekerjaan
dan peranan sosial menciptakan ketergantungan yang mengikat satu orang dengan yang
lainnya, sehingga solidaritas organik muncul karena pembagian pekerjaan yang bertambah
besar, bertambahnya apesialisasi dalam pembagian pekerjaan ini akan mengakibatkan pada
bertambahnya saling ketergantungan anatara individu, yang juga memungkinkan
bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Munculnya perbedaan-perbadaan dikalangan
individu merombak kesadaran kolektif itu, yang pada gilirannya akan menjadi kurang penting
lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial.
Akibat pembagian kerja yang semakin rumit, timbullah kesadaran yang lebih mandiri.
Kesadaran individual yang berkembang dalam cara yang berbeda dari sedaran kolektif,
sehingga kepedulian diantara sesama menjadi luntur dan akan berkurang dalam sebuah
masyarakat. Dari kondisi tersebut akan menimbulkan aturan-aturan baru yang berlaku pada
individu, misalnya aturan bagi para dokter, para guru, buruh atau pekerja, konglemerat dan
lain sebgainya, aturan-aturan tersebut menurut menurut Emile Durkhimyang disebut sebagai
bersifat restitutif(memulihkan).Hukum yang bersifat restitutif(memulihkan), yaitu betujuan
bukan untuk menghukum melainkan untuk memulihkan aktifitas normal dari suatu
masyarakat yang kompleks. hukum restitutif sendiri berfungsi sebagai individu dan kelompok
yang berbeda. Hukum yang diberikan bukan untuk balas dendam tapi untuk memulihkan
keadaan. Jenis dalam beratnya hukuman disesuaikan dengan parahnya pelanggaran yang
telah dilakukan dan dimaksudkan guna memulihkan hak-hak korban atau menjamin
bertahannya pola ketergantungan yang tercipta dalam masyarakat.
Kedua, Solidaritas Mekanik. Solidaritas mekanik pada umumnya terdapat pada
masyarakat pedesaan. Solidaritas mekanik ini terbentuk karena mereka terlibat dalam
aktivitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama dan memerlukan keterlibatan
secara fisik. Solidaritas mekanik tersebut mempunyai kekuatan yang sangat besar dalam
membangun kehidupan harmonis antara sesama, sehingga solidaritas tersebut lebih bersifat
lama dan tidak temporer (sementara). Solidaritas mekanik juga didasarkan pada tingkat
homogenitas yang sangat tinggi. Tingkat homogenitas individu yang tinggi dengan tingkat
ketergantungan antara individu yang sangat rendah. Hal ini dapat dilihat misalnya dalam
pembagian kerja dalam masyarakat. Dalam solidaritas mekanik ini, individu memiliki tingkat
kemampuan dan keahlian dalam suatu pekerjaan yang sama sehingga setiap individu dapat
mecapai keinginannya tanpa ada ketergantungan kepada orang lain. Ciri dari masyarakat
solidaritas mekanik ini ditandai dengan adanya kesadaran kolektif yang sangat kuat, yang
menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimen-sentimen bersama. Dimana
ikatan kebersamaan tersebut terbentuk karena adanya kepedulian diantara sesama.
Solidaritas mekanik terdapat dalam masyarakat yang homogen terutama masyarakat
Islam. Hal tersebut karena rasa persaudaraan dan kepedulian diantara sesama lebih kuat dari
pada masyarakat lainnya. Ia meyimpulkan bahwa masyarakat primitif dipersatukan terutama
oleh fakta non-material, khususnya oleh kuatnya ikatan moralitas yang sama. Ataupun oleh
apa yang bisa disebut sebagai kesadaran kolektif. Bagi Emile Durkheim, indikator yang
paling jelas untuk solidaritas mekanik ini adalah ruang lingkungan dan kerasnya hukum-
hukum yang bersifat represif (menekan). Anggota masyarakat ini memiliki kesamaan satu
sama linnya semuanya cenderung sangat percaya pada moralitas bersama, apapun
pelanggaran terhadap sistem nilai bersama tidak akan dinilai main-main oleh setiap individu,
apalagi oleh masyarakat lainnya. Hukuman yang dikenakan terhadap pelanggaran tehadap
aturan-aturan represif tersebut pada hakikatnya adalah merupakan manifestasi dari kesadaran
kolektif yang tujuannya untuk menjamin masyarakat berjalan dengan teratur dengan baik.
Ikatan yang mempersatukan anggota-anggota masyarakat di sini adalah homogen dan
masyarakat terikat satu sama lainnya secara mekanik. Jadi perilaku yang disebut melawan
hukum jika dipandang mengancam atau melanggar kesadaran kolektif. Adapun jenis dan
beratnya hukuman tidak selalu harus mempertimbangkan kerugian atas pelanggarannya, akan
tetapi lebih didasarkan pada kemarahan bersama akibat terganggunya kesadaran kolektif
seperti penghinaan, menfitnah, pembunuhan dan lain sebagainya yang ditujukan kepada
Islam. Untuk menjamin supaya masyarakat yang bersangkutan berjalan dengan baik dan
teratur.
Pada konteksnya, seperti halnya yang berkaitan dengan solidaritas dalam kegiatan
keagamaan. Melihat fenomena yang ada di Madura ini di mana setiap agama memiliki
kegiatan keagamaan atau tradisi tersendiri dengan waktu yang sudah ditentukan dalam
agama-agama mereka. Seperti agama Islam, kalau dilihat mereka para pemeluknya bisa solid
dalam mengikuti acara atau kegiatan keagamaan tersebut mulai dari kegiatan satu tahunan,
bulanan, mingguan dan lain semacamnya. Ada beberapa hal yang hampir sama dalam
keyakinan umat beragama seperti meyakini kehidupan setelah kematian. Di sinilah biasanya
mereka akan melakukan kegiatan atau sebuah kebaikan untuk mendapatkan tempat yang
mulia atau surge ”Islam” mencapai “Moksa” atau lahir kembali ke bumi. Bila kita lahir
kembali, maka dalam kelahiran itu kita menerima akibat-akibat dari perbuatan kita sendiri ke
kehidupan terdahulu. Akibat baik atau buruk. Maka dari itu mereka terkadang berpuasa dan
melakukan kegiatan agama secara bersamaan seperti, hari rata Idul Fitri, Idul Adha, Maulid
Nabi, Isra’ Mi’raj, dan lain sebagainya.
Bisanya kalau kegiatan-kegiatan besar mayoritas mereka tampak lebih solid
dibandingkan kegiatan keagamaan lainnya. Ada sebagian daerah yang mana antara
kelompok-kelompok Islam tertentu saling membantu untuk mensukseskan kegiatan
keagamaan tersebut. Ketika hari Idul Fitri mereka sama-sama menjaga keamanan dan
menghormati tradisi-tradisi kelompok Islam. Membahas masalah solidaritas masyarakat
Islam dalam mengikuti kegiataan keagamaan tentunya setiap daerah akan berbeda apa lagi di
perkotaan yang pastinya ada yang lebih solid antara di perkotaan sama di pedesaan kerena
keadaan yang menjadi faktor masaing-masing daerah. Begitu pula daerah Bangkalan,
Sampang, Pamekasan, dan Sumenep. Seperti yang dijelaskan dalam teorinya Durkhim,
bahwa solidaritas kegiatan keagamaan yang tinggi adalah hanya ada di pedesaan. Faktor
Terbentuknya Solidaritas Kegiatan Keagamaan kalau melihat di sekitar kita terutama di
Madura pada umumnya banyak pemeluk agama yang membangun sebuah solidaritas melalui
Baksos, gotong royong, yasinan, salawatan, tahlilan, dan kegiatan-kegiatan yang lain di luar
hari-hari besar.
Dentensinya dalam ikatan Islam yang ada di Madura untuk membangun adanya
solideritas, hal yang dipegang teguh pertama. interaksi sosial Islam dalam peran hubungan
antara manusia menghasilkan hubungan antara individu dengan individu dan kelompok
dengan kelompok lain. Dalam kehidupan tidak akan terlepas dari inrekasi social begitu pula
dalam Islam. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa proses sosial Islam untuk menjaga
solideritas adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang perorangan dan
kelompok-kelompok saling bertemu dan menentukan sistem serta bentuk-bentuk hubungan
tersebut. Kedua, kesamaan Ideologi Persepsi menjadikan organisasi atau kegiatan bisa solid,
masyarakat Islam di Madura lebih mementingkan bersatu padu dalam membangun sebuah
dearah tentunya dilatar belakangi ideologi yang sama. Ketiga. Peran elit tokoh Islam. Karena
kegiatan Islam dalam sebuah lingkungan tidak akan berjalan dengan istiqamah kalau tidak
ada peran aktif dar tokoh Agama setempat. Keempat. Faktor lingkungan Hal itu sangat
berpengaruh dalam menjaga solidaritas kegiatan masyarakat Islam Madura, karena
lingkungan lambat-laun bisa mengubah sikap seseorang. Kelima, endidikan merupakan
pokok penting dalam membangun pola piker yang bersifat kolektif terutama dalam kegiatan
Islam di Madura, apa bila masyarakat awam maka untuk menwujudkan kegitan butuh diberi
pemahaman yang ringan dan mudah dipahami. Seperti halnya dengan mondok maka akan
terbebas dari kelalaian belajar agama, karena di sana dituntut mengerti dan faham ilmu
agama. Keenam, ekonomi merupakan pokok penting untuk mewujudkan solidaritas dalam
kegiatan agama Islam di suatu daerah Madura, karena keduanya sama-sama dibutuhkan dan
saling melengkapi. Ketujuh, kesadaran diri. dengan kesadaran yang dimiliki seseorang maka
tentunya akan menimbulakn sebuah tindakan nyata yang mendorong untuk melakukan hal
kebaikan yang menajadikan masyarakat solid dalam segala kegiatan Agama Islam di Madura.
Islam merupakan agama yang bisa memberikan rahmat kepada manusia di dunia dan
di akhirat nanti, begitu pula Solideritas Islam di Madura. Islam di Madura sangat memegang
tinggi prinsip solidaritas yang hakiki. Banyak sekali ajaran Islam di Madura tersebut yang
menganjurkan bahkan mewajibkan pemeluknya untuk memegang prinsip mulia yang
disyariatkannya. Di antara realita solidaritas itu dapat dilihat dari konsep saling menghormati,
saling menyayangi, saling membahu, tolong menolong, bersedekah, memberi zakat atau
infaq, dan lain sebagainya. Prinsip dalam islam yang dibangun di Madura mengandung dua
dimensi yaitu dimensi vertikal (hablun min Allah) dan dimensi horizontal (hablun min al-
nâs). Umat Islam di Madura tidak tegak kokoh, kecuali atas pondasi persatuan dan
solidaritas di kalangan anggotanya dalam menghadapi kehidupan ini, saling membahu
dalam memikul beban dan tanggungjawabnya, saling menopang menghadapi krisis, dan
problematika.
Sesungguhnya ukhuwah itu bertumpu pada hubungan antar individunya yang menjadi
satu eksistensi dan melangkah bersama dalam medan kehidupan secara gotong-royong. Hal
itu akan melindungi umat Islam di Madura tersebut dari kesia-siaan dan kehinaan. Ada dua
aspek solidaritas Islam di Madura sebagai ciri pembedanya dari semua sistem yang ada, yaitu
solidaritas spiritual dan solidaritas material. Islam di Madura memberikan perhatiannya untuk
menebar pilar solidaritas moral spiritual di tengah masyarakat. Ia merupakan landasan utama
bagi solidaritas material dan melanggengkannya yang menjadikan individu di dalam
masyarakat itu bagaikan satu raga yang merasakan apa yang dirasakan oleh bagian raga
lainnya dan dalam menghadapi kehidupan mereka memiliki sikap yang sama. Hal itu
digambarkan oleh firman Allah SWT; "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan
perempuan sebagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain." (At-
Taubah: 71). Justru itu, mereka adalah rekan sejawat dalam menjalani kehidupan, tidak saling
menghalangi dan membelakangi serta tidak berlepas diri dari apa yang dialami oleh sebagian
lainnya. Itulah tujuan dari perumpamaan hubungan di antara kaum Muslimin itu dengan
hubungan antar anggota badan yang satu, seperti disabdakan oleh Rasulullah saw;
“perumpamaan kaum mukmin dalam hal saling cinta dan saling kasih-mengasihi di antara
mereka itu adalah bagaikan satu jasad yang apabila salah satu dari anggotanya mengalami
keluhan penyakit, maka seluruh anggota badannya akan turut mengalaminya dengan tidak
dapat tidur dan demam," (HR. Bukhari). Dan inilah yang menjadi tujuan diarahkannya
seluruh masyarakat Islam Madura untuk menggalang solidaritas sesama mereka, yaitu agar
mempertajam sensitivitas, saling bahu-membahu menyatakan perasaan-perasaan mereka dan
saling mendukung satu sama lain. Semuanya berusaha mencapai satu tujuan, yaitu me-
realisasikan kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Ada berbagai macam bersolidaritas islam di Madura seperti Shalawatan di Madura
dilaksanakan dengan cara yang berbeda. Jika pada umumnya shalawatan dilaksanakan di
dalam Masjid, kegiatan shalawatan masyarakat Madura ini diselenggarakan di rumah-rumah.
Penyelenggaraan di rumah-rumah ini secara bergantian. Misalnya, hari ini diselenggarakan di
rumah Pak Ahmad maka seminggu kemudian diselenggarakan di rumah tetangganya, dan
seterusnya sampai kembali ke rumah yang awal kembali.Shalawatan yang diadakan
bergantian ini memberikan pelajaran akan rasa tanggung jawab akan hal itu. Sehingga sejak
jauh-jauh hari masyarakat sudah menyiapkan berupa materi dan sebagainya yang
berhubungan dengan kegiatan shalawatan ini. Bukan hanya itu kegiatan ini juga bertujuan
untuk membangun rasa persaudaraan antara sesama mereka. Maka tidak heran jika suatu
ketika tetangganya membangun rumah ataupun merenovasi rumah tetangga yang lain juga
turut membantunya.Shalawatan rutin biasanya diadakan tiap malam Jum’at dan malam
Selasa itu sejatinya bukan hanya kegiatan Shalawatan. Tetapi didalamnya juga ada Yasinan,
yang mana Yasinan ini di baca sebelum shalawatan, artinya shalawatan itu dimulai dengan
pembacaan surah Yasin. Karena Yasinan ini merupakan bacaan yang sudah mentradisi
dikalangan masyarakat Madura yang selalu dibaca tiap malam Selasa dan malam Jum’at.
Hingga aktivitas mengajipun saat itu diliburkan. Itulah salah satu perilaku warga nahdhatul
ulama’
Nahdlatul Ulama adalah salah satu organisasi islam terbesar indonesia, disingkat NU,
yang artinya kebangkitan ulama. Sebuah organisasi yang didirikan oleh para ulama pada
tanggal 31 Januari 1926/16 Rajab 1344 H2 di kampung Kertopaten Surabaya. Untuk
memahami NU sebagai organisasi keagamaan secara tepat, belumlah cukup jika hanya
melihat dari sudut formal semenjak ia lahir. Sebab jauh sebelum NU lahir dalam
bentuk jam’iyyah, ia terlebih dulu ada dan berwujud jama’ah (community) yang terikat kuat
oleh aktivitas sosial keagamaan yang mempunyai karakteristik sendiri.Latar belakang
berdirinya NU berkaitan erat dengan perkembangan pemikiran keagamaan dan politik dunia
Islam kala itu. Pada tahun 1924 di Arab Saudi sedang terjadi arus pembaharuan. leh Syarif
Husein, Raja Hijaz (Makkah) yang berpaham Sunni ditaklukan oleh Abdul Aziz bin Saud
yang beraliran Wahabi. Pada tahun 1924 juga, di Indonesia K.H Wahab Chasbullah mulai
memberikan gagasannya pada K.H. Hasyim Asyari untuk perlunya didirikan NU. Sampai dua
tahun kemudian pada tahun 1926 baru diizinkan untuk mengumpulkan para ulama untuk
mendirikan NU.Berdirinya Nahdlatul Ulama tak bisa dilepaskan dengan upaya
mempertahankan ajaran ahlus sunnah wal jamaah (aswaja). Ajaran ini bersumber dari Al-
qur’an, Sunnah, Ijma’(keputusan-keputusan para ulama’sebelumnya) dan Qiyas (kasus-kasus
yang ada dalam cerita alQur’an dan Hadits) seperti yang dikutip oleh Marijan dari K.H.
Mustofa Bisri ada tiga substansi, yaitu: pertama Dalam bidang-bidang hukum-hukum Islam
menganut salah satu ajaran dari empat madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’I, dan Hanbali), yang
dalam praktiknya para Kyai NU menganut kuat madzhab Syafi’i.kedua Dalam soal tauhid
(ketuhanan), menganut ajaran Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-
Maturidzi.ketiga Dalam bidang tasawuf, menganut dasar-dasar ajaran Imam Abu Qosim
AlJunaidi. Proses konsulidasi faham Sunni berjalan secara evolutif. Pemikiran Sunni dalam
bidang teologi bersikap elektik, yaitu memilih salah satu pendapat yang benar.
Hasan Al-Bashri (w. 110 H/728) seorang tokoh Sunni yang terkemuka dalam masalah
Qada dan Qadar yang menyangkut soal manusia, memilih pendapat Qodariyah, sedangkan
dalam masalah pelaku dosa besar memilih pendapat Murji’ah yang menyatakan bahwa sang
pelaku menjadi kufur, hanya imannya yang masih (fasiq). Pemikiran yang dikembangkan
oleh Hasan Al-Basri inilah yang sebenarnya kemudian direduksi sebagai pemikiran Ahlus
sunnah waljama’ah.Setelah dilahirkan, NU ini memperluas cakupannya hingga di beberapa
kota untuk mendirikan cabang-cabang yang telah menyetujui untuk mendirikan himpunannya
di daerah itu, sampai dapat membentuk kring di cabang Gresik, cabang Sidoarjo dan
Surabaya, yang dulu pada tahun tersebut di sebut kring (cabang NU tingkat desa/kelurahan).
Kring adalah sebagai konsekuensi perluasan konsolidasi supaya lebih dekat dengan basis
massa (masyarakat). Jadi tidak hanya membentuk ditingkat cabang, melainkan juga ditingkat
kelurahan maupun desa yang lebih khususnya di Surabaya.
Sejak tahun 1952 sebutan itu ditiadakan lagi dan diganti namanya menjadi Pengurus
Ranting (PR). Tujuan dibentuknya kring ini adalah untuk memproduktifkan santri maupun
kelompok (massa) NU yang belum mempunyai wadah, yang pada saaat itu di Surabaya masih
sangat minim mengenai masjid untuk berkumpulnya massa NU. Dan tujuan lain dari
dibentuknya kring di Surabaya adalah untuk menghimpun dana infaq dan dana sosial untuk
pembangunan tempat ibadah agar menjadi wadah bagi massa NU.
Munculnya cabang-cabang ini bermula pada malam Jumat, tanggal 10 Muharram
1347, pada malam itu telah diadakannya pertemuan yang agak besar oleh pihak H.B.N.O
(HoofdBestuur Nahdlatoel Oelama) untuk merayakan adanya balai H.B.N.O yang baru
pindah di kampung Bubutan gg 1/7 sambil merayakan berdirinya DRUKKERIJ (Percetakan)
N.O (yang sampai sekarang masih diusahakan oleh N.O). Perayaan tersebut dikunjungi oleh
beberapa Ulama dari luar kota Surabaya, misalnya: K.H.M Hasyim Asyari, K.H.M Ma’sum,
K.H.M Bisrie dari Jombang. K.H.M Dhofir, K.H.M Ma‟sum dan K.H Abdullah Faqih dari
Gresik, dan lain-lain.Pertemuan tersebut dihadiri kurang lebih 250 orang dari para Ulama dan
adapun dari kaum muslimin di Surabaya. Pertemuan ini diadakan dengan beberapa khutbah
dan pidato yang dilakukan oleh para ulama-ulama. Sesudah selesai upacara K.H Hasyim
Asyari bertanya kepada para hadirin “Apakah perlu di kota Surabaya didirikan cabang NU?
Sebab sebelum ini penduduk Surabaya masih mengikuti langkah dan terjangnya anggota
H.B.N.O.”Setelah hadirin dapat tawaran dari K.H Hasyim Asyari tersebut, para hadirin pun
menjawabnya dengan serentak “MUFAKAT” yang berarti setuju. Sesudah mendapat suara
kemufakatan, maka diterangkanlah asas dan tujuan NO. yang diterangkan oleh M. Shodieq
(Soegeng Joedodowiryo) selaku seketaris H.B.N.O. setelah asas dan tujuan sudah dijelaskan
dan dirasa cukup, maka diadakanlah susunan pengurus cabang yang pertama pada tahun
1929.Untuk melakukan perluasan dan memperkenalkan NU kepada khalayak umum, maka
NU membentuk sebuah gerakan yang disebut Anggota Lajnah Nashihin. Salah satu tujuan
utama dibentuknya Jam’iyyatun Nashihin ini adalah melakukan pengembangan organisasi
NU dengan mendirikan Cabang NU di seluruh Indonesia. Posisi Jam’iyyatun Nashihin
sebagai komisi propaganda yang meyakinkan masyarakat agar membentuk organisasi NU,
mengamalkan akidah Ahlussunnah wal jama’ah dan mencintai bangsa Indonesia yang saat itu
sedang mempersiapkan proses kemerdekaan.
Lajnah nasichin ini terdiri dari sembilan orang: KH. Hasyim Asyari, KH. Bisri
Syansuri, KH. Raden Asnawi, KH. Ma‟shum, KH. Mas Alwi, KH. Musta‟in, KH. Abdul
Wahab Hasbullah, KH. Abdul Halim dan Ustadz Ubaidillah Ubaid. Tugas para Kiai itu adalah
hadir ke daerah-daerah untuk meyakinkan tokoh masyarakat bersama masyarakat mendirikan
NU dengan menjelaskan visi-misi dan tujuan NU, untuk kemudian mendirikan cabang di
tempat-tempat tersebut. Dan dalam pelaksanaan tugasnya terdapat pembagian wilayah
tertentu. Misalnya, Kiai Wahab, Kiai Bisri, dan Kiai Abdul Halim lebih mengutamakan
daerah Jawa Tengah dan Jawa Barat. Sedangkan Kiai Hasyim Asyari, Kiai Mas Alwi dan
beberapa anggota lainnya lebih terfokus di daerah Jawa Timur dan sekitarnya. Tetapi bukan
berarti pembagian tugas ini berlaku secara ketat. Dalam pelaksanaannya, ternyata seringkali
terjadi tukar menukar wilayah.Dalam masa perintisan tersebut, selain mengadakan
perhubungan diantara para ulama bermazhab untuk mendirikan cabang NU, generasi pendiri
organisasi ini juga berusaha memperhatikan masalah sosial, kemasyarakatan, pendidikan dan
juga dakwah.
Madura yang mayoritas penduduknya banyak orang mengatakan kehidupannya
berada di bawah kemiskinan, berwatak keras, mata pencahariannya setiap hari sebagai petani,
pedagang, dan mengadu nasib ke berbagai manca negara. Meskipun banyak orang yang
cenderung mengartikan orang Madura dikenal mempunyai kepribadian kurang baik, identik
dengan kekerasan, padahal kenyataannya tidaklah demikian. Orang Madura juga mayoritas
penduduknya adalah orang yang taat beragama, ramah, halus santun, seperti orang Madura
yang ada di Kabupaten Sumenep. Semangat dan etos kerja yang pantang menyerah dan
istiqamahnya dalam meraih cita-cita, adalah salah satu karakter yang dimiliki oleh Madura.
Pulau yang terdiri dari empat kabupaten, yakni Kabupaten Bangkalan, Sampang, Pamekasan,
dan Sumenep ini dikenal dengan tempat kediaman para raja dan kiai. Seperti Raja Sultan
Abdurrahman (Asta Tinggi Sumenep), Raja Batu Ampar Pamekasan, dan salah satu kiai yang
cukup fenomenal, yakni Syaikhona Kholil Bangkalan. Syaikhona Kholil ini, adalah
keturunan dari para wali songo yakni, Sunan Kudus (Sayyid Ja’far Shodiq), Sunan Ampel
(Raden Rahmat), Sunan Giri (Muhammad Ainul Yaqin), Sunan Gunung Jati (Syarif
Hidayatullah), dan bersambung hingga Rasulullah SAW. Maka tidak berlebihan jika banyak
orang beranggapan bahwa, Syaikhona Kholil dikatakan seorang ulama dan gurunya para kiai
se-Jawa dan Madura. Sejumlah murid yang berhasil dicetak menjadi ulama besar oleh
Syaikhona Kholil adalah, Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari (Tebu Ireng Jombang), KH
Wahab Hasbullah (Tambak Beras Jombang), KH Bisri Syansuri (Denanyar Jombang), KH
As’ad Syamsul Arifin (Sukorejo Situbondo), Kiai Cholil Harun (Rembang), Kiai Ahmad
Shiddiq (Jember), Kiai Hasan (Genggong Probolinggo), Kiai Zaini Mun’im (Paiton
Probolinggo), Kiai Abi Sujak (Sumenep), Kiai Toha (Bata-Bata Pamekasan), Kiai Usymuni
(Sumenep), Kiai Abdul Karim (Lirboyo Kediri), Kiai Munawir (Krapyak Yogyakarta), Kiai
Romli Tamim (Rejoso Jombang), Kiai Abdul Majid (Bata-Bata Pamekasan). Dari sekian
santri Syaikhona Kholil pada umumnya menjadi pengasuh pesantren dan tokoh NU seperti
Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari dan Kiai Wahab Hasbullah. Bahkan Presiden pertama
RI Soekarno, juga pernah berguru pada Syaikhona Kholil Bangkalan (hal.17-177). Selain
berhasil mencetak para santri-santrinya menjadi kiai, Syaikhona Kholil adalah salah satu kiai
yang menjadi penentu berdirinya organisasi terbesar di Indonesia, yakni Nahdlatul Ulama
yang disingkat (NU). Dalam proses pendiriannya para kiai NU tidak sembarangan
mendirikan sebuah organisasi, dalam jangka dua tahun Kiai Hasyim Asy’ari melakukan
shalat istikharah (minta petunjuk kepada Allah), untuk mendirikan sebuah organisasi yang
mewadahi para pengikut ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Meskipun yang melakukan
istkharah adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim As’ari, akan tetapi petunjuk (isyarah) tersebut
tidak jatuh ke tangan Kiai Hasyim Asy’ari, melainkan isyarah tersebut melalui Syaikhona
Kholil Bangkalan. Munculnya isyarah sebuah tongkat dan tasbih yang akan diberikan kepada
Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari melalui perantara Kiai As’ad Syamsul Arifin, yang
merupakan tanda akan berdirinya sebuah organisasi besar yakni jam’iyah Nahdlatul Ulama
(NU). Dalam buku biografi lengkap Syaikhona Kholil Bangkalan ini, juga menceritakan
beberapa kisah karomah Syaikhona yang terkadang sulit dijangkau oleh akal manusia. Seperti
dalam kesaksian Kiai As’ad Syamsul Arifin, salah satu santri yang sekaligus menjadi khodim
(pelayan) Syaikhona Kholil. Suatu ketika Kiai As’ad dipanggil oleh Syaikhona Kholil,
diperintah untuk memberikan seutas tasbih dan bacaan asmaul husna “Ya Jabbar Ya Qohhar”,
kepada Kiai Hasyim As’ari dan sekaligus memberikan uang 1 ringgit untuk bekal dalam
perjalanan. Setelah memberikan uang sebagai bekal dalam perjalanan, tasbih pemberian
Syaikhona Kholil akhirnya dikalungkannya kepada leher Kiai As’ad, lalu berangkatlah beliau
ke Jombang. Dengan kekuasaan Allah, dalam perjalanan dari Bangkalan hingga sampai di
Jombang uang pemberian Syaikhona Kholil tetap utuh. Kejadian ini menurut Kiai As’ad
adalah bagian karamah yang dimiliki oleh Syaikhona Kholil Bangkalan. Jika kita dicermati
dengan seksama ternyata pendirian jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), melalui proses waktu
yang panjang. Dan proses berdirinya NU ini, menurut penulis tidak lepas dari perjuangan dan
peran “Tokoh Empat Serangkai” yakni Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Hasyim Asy’ari,
Kiai Wahab Hasbullah, dan Kiai As’ad Syamsul Arifin. Namun menurut penulis, penyebutan
empat ulama tersebut bukan berarti menafikan peran penting ulama lainnya seperti, Kiai
Nawawie Sidogiri Pasuruan, Kiai Ridwan Surabaya, dan Kiai Bisri Sansuri Jombang. Penulis
dan editor kurang selektif dan teliti dalam mengoreksi buku ini, banyak kepenulisan yang
salah ketik yang tentunya akan mengganggu kepada pembaca. Namun buku ini tetap menarik
untuk kita baca dan kita miliki. Dengan membaca buku Syaikhona Kholil Bangkalan ini,
pembaca akan di ajak untuk meneladani perjuangan Syaikhona Kholil dan para ulama lainnya
ketika melakukan proses berdirinya NU. Mengingat besar perjuangan para tokoh NU, dengan
harapan warga NU khususnya para elit-elit NU mampu mengembalikan NU kepada jati
dirinya, yaitu sebagai pengayom umat, penjaga pesantren, dan pengawal tradisi. NU bukanlah
kendaraan berpolitik praktis yang tujuannya hanya untuk meraih kekuasaan dan jabatan.
Wallahu a’lam.
Ada salah satu seorang Madura ditanya “apa agamamu?” Ia menjawab “NU.”
Anekdot ini cukup populer. Lebih-lebih setelah diviralkan Gus Dur semasa hidupnya. Masak
iya agama orang Madura NU? Tentu orang Madura tidak benar-benar menjawab NU sebagai
agamanya. Apa yang tersirat dapat menjadi pemantik kita bahwa NU sebagai organisasi
keagamaan Islam telah mendarah daging di lingkungan masyarakat Madura.Sebagai bahan
refleksi hari lahir NU ke-95 yang bertepatan tanggal 16 Rajab 1439 Hijriyah saya mencoba
mengajak warga NU, khususnya warga NU di Madura, untuk melakukan refleksi bersama
bagaimana masa depan NU di masa mendatang. Mengapa Madura? Saya beranggapan
Madura sebagai salah satu wilayah pertahanan NU. Hampir seluruh penduduk asli Madura
berkhidmat ke NU. Di Sumenep misalnya, hampir setiap minggu digelar PKPNU
(Pendidikan Kader Penggerak Nahdlatul Ulama) sebagai pemompa militansi kader.Sejak
berdirinya, NU tumbuh subur di Madura. Di awal-awal kemerdekaan NU dideklrasikan
sebagai ulama Madura. Kerekatan emosional terhadap pendiri dan pioner NU samacam
Syaikh KH. Muhammad Khalil bin Abdul Latif Bangkalan atau disapa Mbah Kholil
misalnya, menjadi pondasi kuat berdirinya NU di tanah garam. Hal ini tak mengherankan
sebab mayoritas Kiai pendiri NU di Madura pernah menimba ilmu ke mbah Kholil.Selain
rekatan emosional, kemudahan berdirinya NU di Madura sejatinya telah tumbuh dari amalan-
amalan Islam khas pesantren. Embrio NU tumbuh dari amaliyah islamiyah atau amalan-
amalan Islam yang khas NU; ahlussunnah wal jamaah (aswaja). Nalar aswaja ini, meminjam
bahasa Maulana Syaikh Ali Jum’ah, lebih banyak dianut umat Islam di seluruh dunia
sepanjang masa dengan empat madzhab populer Maliki, Hanafi, Syafi’i, dan Hambatan

Syaikh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir, menyampaikan bahwa golongan aswaja ini
sampai kapanpun dianut oleh mayoritas al-‘ammah atau al-jumhur umat Islam. Pendapat ini
disampaikan pada pembukaan Muktamar Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya (25/8/16).

Sepanjang sejarah berdirinya, NU mengalami pelbagai tantangan. Mulai dari meng-


counter paham Wahabi hingga mempertahankan kemerdekaan melawan serdadu Inggris di
Surabaya. Peristiwa gerilya ini kemudian dikenal Maklumat Resolusi Jihad. Pada peristiwa
ini orang-orang NU di Madura juga ikut terlibat di dalam Laskah Hizbullah. Bahkan dalam
satu riwayat menyebut bahwa santri yang membunuh Brigjen AWS Mallaby dengan bom
bunuh diri berasal dari Bangkalan.dan Dari itu sudut pandang akidah, berdirinya NU di
Madura juga tidak lepas dari aspek isu internasional. Paham Wahabi yang sudah menguasai
Kerajaan Arab Saudi saat itu meringsek ke Indonesia hingga Madura. Untuk membendung
paham ini mengakar di tengah-tengah masyarakat NU kemudian mengambil peran signifikan.

Secara umum dalam menegakkan Islam ala minhaj ahlussunnah wal jamaah an-
nahdliyah, orang-orang NU berpedoman pada karakter tawassuth (sikap di tengah-
tengah), tawazun (seimbang), i`tidal (lurus), dan tasamuh (toleran). Empat karakter ini
menjadi landasan bersikap. dan kepada sikap yang empat itu masyarakta Madura berpegang
teguh agar menjaga kebersamaan. Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa secara
implisit karakter tersebut sebagian besar dimiliki orang-orang Madura. Hal ini dapat kita
amati ketika ada sanak kerabat yang meninggal dunia digelar tahlilan 7 hari hingga seribu
hari. Jumlah tamu yang hadir biasanya lebih hingga 100 orang. Jika yang bersangkutan tokoh
masyarakat akan lebih banyak lagi. Melalui cara ini ikatan sosial warga terbangun dan
terbentuk. Meminjam istilah Coser, relasi ini membentuk semacam sefety velve atau katup
penyelamat dari adanya kemungkinan konflik sosial. Dari sinilah kemudian keseimbangan
dan toleransi dalam beragama dan bermasyarakat tercipta di lingkungan Madura.Ikatan
toleransi dan keseimbangan yang mengikat di Madura ini tentu tak selamanya kuat jika
seluruh elemen tidak bergandengan tangan membela NU dan merawat kebangsaan dalam
bingkai NKRI. Apalagi kini tantangan ke depan semakin besar. Benar tidak berupa
peperangan fisik, tetapi tantangan di masa mendatang ini secara masif dan halus menyasar ke
pelbagai lapisan masyarakat melalui pelbagai cara. Seiring perkembangan zaman, tantangan
NU khususnya di Madura tidak lagi penjajahan secara verbal melalui indoktrinasi paham
Wahabi dan berperang melawan Inggris. Secara sederhana, mengutip pendapat Ketua MUI
KH. Ma’ruf Amin (2017), ada tiga tantangan besar yang secara umum harus dihadapi dan
diselesaikan NU. Ketiga tantangan besar tersebut diantaranya; gerakan radikalisme dan
intoleran yang semakin masif di Indonesia, kesenjangan ekonomi, dan masalah korupsi.
Ketiga tantangan ini juga berlaku di Madura. NU beserta seluruh banomnya seyogianya
merapatkan barisan dalam meng-counter-nya.Menjawab tantangan tersebut warga NU
khususnya di Madura seyogianya merapatkan barisan. Dalam konteks ke-Madura-an
warga nahdliyin dapat membela NU dan merawat NKRI melalui rekatan-rekatan sosial yang
ada. Tidak hanya itu, simpul-simpul yang berada di kampung-kampung, meminjam bahasa
KH. Mas Mansur, harus bangkit dan menggerakkan (an-nahdhah). Bangkit merawat barisan
harakah an-nahdliyah, menggerakkan masyarakat agar mandiri, bangkit dan merawat
kerekatan emosional warga dalam mempertahankan tanahnya dari kongmelarasi, dan turun
gunung dengan lebih memperbanyak rekatan sosial baik melalui pengajian dan semacamnya.

dalam NU selama ini tidak pernah menyalahkan praktek ibadah orang lain yang
berbeda. NU tak pernah menyalahkan apalagi monolak bentuk negara NKRI dan dasar negara
Pancasila. Bahkan secara tegas NU menyatakan akan membela dan mempertahankan NKRI
dan Pancasila, ini tercermin dalam slogan "NKRI dan Pancasila harga mati". Dari itu
menunujukan bahwa nu itu sangat bersolidaritas meskipun Pengabaian terhadap NU ini
berdampak pada masuknya gerakan dan pemikiran keagamaan yang menyalahkan semua hal
ke dalam seluruh aspek lehidupan bangsa terutama dalam aspek keagamaan. Untuk itu NU
mengingatkan agar kader maupun pemikiran ala NU bisa berperan lebih besar untuk
menggantikan pemkiran yang menggap semua salah. Selain itu, pernyataan tersebut juga
dimaksudkan untuk meningaktkan soliditas dan solidaritas sekaligus upaya menjaga spirit
perjuangan warga NU dalam menjaga NKRI. Ketika bangsa ini sudah di kepung oleh fitnah,
hoaks, caci maki dan saling menyalahkan, di sini Kiai Said membakar spirit perjuangan
warga NU untuk melawan semua itu dengan cara mengambil peran strategis secara maksimal.
Karena dalam kondisi demikian pemikiran NU lah yang paling sesuai untuk menjawab
berbagai persoalan tersebutenilaian seperti itulah yang mengakar dikalangan umum,
khususnya warga NU. Benar, praktek ibadah atau budaya tertentu yang dipertahankan oleh
setiap organisasi, termasuk NU memang menjadi ciri khusus dari masing-ormas tersebut.
Namun, semua yang dipraktekan NU itu merupakan model legal formal dari jam’iyyah
terbesar di Nusantara ini, bukan subtansi yang menjadi ruh bagi eksistensi keberlangsungan
Jam’iyyah Nahdlatul ulama (NU).
Oleh karenanya, melihat hal itu dalam Musyawarah Nasional Ulama Nomor:
02/Munas/VII/2006 di Surabaya tentang Bahtsul Masail Maudhu’iyyah Fikrah
Nahdiyyah diputuskanlah bahwa Nu harus memiliki metode berikir ke-NU-an sebagai
langkah implementatif dalam rangka meneguhkan Nahdhatul Ulama pada garis-garis
perjuangannya ( khittah). Khittah perjuangan NU yang sebelumnya sudah diputuskan dalam
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo demikian dimaksudkan adalah sebagi aturan,
koridor dan khususiyyah dari Jam’iyyah Nahdhatil Ulama sendiri agar generasi-
generasi nahdadhiyyin berikutnya bisa mengikuti para founding father
dan tidak keluar dari relnya. Maka lima Fikrah Nahdhiyyah yang disarikan dari butir-butir
khittah tersebut, yakni tawassuthiyyah (pola pikir moderat) yang melahirkan sikap tawazun
(seimbang) dan i’tidal (tegak), tasamuhiyah (pola pikir toleran), ishlahiyah (pola pikir
reformatif), Tathawwuriyah (pola pikir dinamis) dan pola pikir manhajiyah (pola pikir
metodologis) inilah sebagai ruh dan subtansi yang seharusnya lebih dikedepankan,
dipertahankan dan diperjuangkan menjadi ciri khas Nahdlatul Ulama, selain dari model
format praktek-praktek ibadah tersebut.

Madura dan NU tak ubahnya dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan, namun
belakangan sempat berhembus isu warga Pulau Garam juga berperan dalam menggembosi
organisasi terbesar di dunia itu. Setidaknya hal tersebut terlihat dari gelagat sebagian tokoh
Madura yang terlibat dalam gerakan aksi yang dilakukan organisasi berhaluan radikal. "Tapi
kita sebagai warga nahdliyin Madura sudah membuktikan itu tidak benar. Acara malam ini
membuat hal itu terbantahkan," terang sesepuh PCNU Pamekasan, KH Abd Kadir, di tengah-
tengah lautan nahdliyin yang memadati lapangan sepak bola Waru Kabupaten Pamekasan,
Sabtu (7/4) malam. Puncak Harlah NU dari sebanyak 40 rangkaian kegiatan sebelumnya itu,
dihadiri oleh puluhan ribu kaum nahdliyyin dari kalangan pengurus, anggota, dan warga
nahdliyin dari 13 kecamatan yang ada di Kabupaten Pamekasan. Mereka melampaui target
panitia di kisaran 5 ribu pengunjung. Menurut Kiai Abd Kadir yang merupakan ketua panitia,
isu bahwa NU semakin ditinggalkan jama'ahnya, dengan kegiatan puncak Harlah NU dengan
sendirinya terbantahkan. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan pra harlah sebelumnya
yang selalu ramai dengan kehadiran warga nahdliyin. Hal itu lanjutnya, membuktikan bahwa
warga nahdliyin tetap istiqamah berjuang bersama para ulama NU, upaya memecah belah
yang dilakukan oleh mereka yang tidak suka terhadap NU, tidak akan pernah berhasil.
"Insyaallah NU ini akan jaya hingga yaumul qiyamah. Kita meyakini itu karena pendirinya
adalah waliyullah. Siapa yang tidak mengakui kewalian Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai
Hasyim Asy'ari yang pendiri NU beserta ulama lainnya. Pasti mereka sudah melalui tirakat
untuk mendirikan organisasi kita tercintah ini,"

Dalam sebuah pertemuan NU, seorang mentor ke-NU-an saya berujar, “orang Madura
memiliki tanggungjawab ke-NU-an yang tidak ringan. NU tanpa restu Ulama Besar Madura,
Syaikhona Cholil, tidak akan berdiri. Jika orang Madura tidak memiliki tanggungjawab besar
merawat NU, maka ia kelak yang pertama kali akan dimintai
pertanggungjawaban”Mendengar pernyataan di atas warga NU yang hadir dalam pertemuan
itu bertepuk tangan. Tidak melulu dalam suasana suka, tetapi tepukan itu lebih dimaknai
sebagai cara membangkitkan diri secara intenal. Menyelusupkan roh ke-NU-an para muassis
dalam kesadaran dan menggemakannya di ceruk relung bathin yang paling dalam. Saya
bersaksi pernyataan di atas membuat bulu kuduk berdiri.

Mungkin bagi orang lain, pernyataan di atas tak lebih dari seorang motivator yang piawai
meracik diksi agar para hadirin terkesima. Atau malah pernyataan di atas dianggap “lebay”.
Tapi bagi hadirin tentu tidak. Pernyataan di atas bagi warga NU yang hadir dimaknai sebagai
menyambung sanad ke-NU-an pada akar historis berdirinya yang tak lepas dari Syaikhona
Khalil, Ulama besar Madura. Jadi, NU dan Madura ibarat dua sisi dari satu keping mata uang.
Tak terpisah dan tak akan terpisah.

Pertama-tama tentu saja, pernyataan di atas bermakna jika dikaitkan dengan pengalaman ke-
NU-an di Madura sendiri. Ada gelombang terorganisir dan by design yang mengobarkan
kebencian pada NU melalui cara-cara yang jauh dari akhlakulkarimah. Itu massif dilakukan
kelompok kanan gado-gado dengan memanfaatkan masyarakat Madura yang kurang well-
informed melalui isu-isu liberal, pluralisme, PKI, anti-China, tidak suka Habaib, dsb. Isu ini
dimainkan dengan cukup massif memanfaatkan momentum pilpres yang dikendalikan Islam
politik di Jakarta.

Saat ini suasananya memang mulai reda. Residunya tentu masih ada. Untuk sementara sel-sel
kelompok kanan setengah mati atau bahkan mati. Tapi, seperti menunggu momentum, sel-sel
ini akan dihidupkan kembali seiring kepentingan kelompok Islam Politik di Jakarta. Memang,
residunya berbeda antar empat kabupaten di Madura. Yang paling besar residunya mungkin di
Pamekasan, satu kabupaten yang jejak historisitas Syarekat Islam paling kuat dibanding NU.

Soal ini memang tak boleh dianggap remeh. Sebagaimana pernyataan Gus Yahya
Staquf, Madura masuk dalam skenario “Njakarmadu”, satu skenario yang ingin menjadikan
basis kelompok kanan setelah Jakarta. Jika basis kelompok kanan kuat di sisi Madura (dan
Jakarta sebagai sisi lainnya), maka Jatim dan Jateng sebagai basis Nahdliyin dan nasionalis
akan terjepit dan dalam jangka panjang pelan-pelan akan tergerogoti.Di sinilah makna
pernyataan mentor di atas menemukan relevansinya. Orang Madura dituntut memiliki
tanggungjawab besar merawat NU sebagai wasilah merawat warisan berharga para muassis
NU, termasuk warisan Syaikhona Khalil, Ulama besar Madura.Kontekstualisasi lainnya atas
pernyataan mentor di atas adalah tanggung jawab orang Madura untuk merawat persoalan-
persoalan agraria; tanah, air, udara yang dipijak, direguk, dan dihirup orang Madura. Soal ini
juga tak kalah beratnya. Madura paska beroperasinya jembatan Suramadu menjadi sasaran
investasi melalui massifnya penguasaan lahan yang dalam jangka panjang diyakini akan
menjadikan orang Madura terpinggirkan. Tidak saja secara sosial-ekonomi, tetapi juga secara
budaya. Jika di lahan-lahan yang sudah dikuasai para investor itu nantinya dibangun aneka
macam industri, maka tradisi warga nahdliyin juga akan dipinggirkan. Masyarakat Industri
selalu menghadirkan corak keberagamaan yang rigid, instans, dan puritan satu sisi, dan
liberal di sini lain. Dua masalah di atas butuh respon NU (dan tentunya tanggungjawab orang
NU Madura). Maka ke depan dibutuhkan rencana-rencana strategis yang dilakukan secara
sinergis antar PCNU se-Madura. Dengan menyusupkan spirit ke-NU-an para muassis,
khususnya Syaikhona Khalil, saya meyakini orang Madura akan tetap menjadikan NU
sebagai “agama”. Tentu upaya-upaya kita perlu memadukan antara upaya lahir dan
bathin.Teruslah diingat dawuh mentor di atas, “jika orang Madura abai merawat NU, maka
orang Madura yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak karena “menghianati” warisan
Syaikhona Khalil”. Jadi, mari membangun Indonesia dari Madura. Wallahu A’lam.

Sebagaimana masyarakat Madura pada umumnya, Agama bagi warga dua desa ini
adalah Islam. Agama ini sudah meresap dan mewarnai kehidupan sosial, mulai dari cara
berprilaku, berpakaian, cara makan, bahkan cara tidur pun mengikuti ajaran agama. Posisi
tidur warga seperti posisi mayat membujur ke utara dan menghadap arah kiblat. Islam telah
benar-benar menjadi ruh, sehingga belum diketemukan di kedua desa tersebut ada warga
yang menyatakan diri bukan Muslim, atau menyatakan diri pindah dari agama Islam ke
agama lain, sekalipun keislaman mereka hanya bertaraf Islam KTP bukan Islam ongghu
(Islam sejati, Islam maksimalis). Kepatuhan, ketaatan, atau kefanatikan warga pada agama
Islam yang dianut sudah lama terbentuk. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agama
Islam seperti: melakukan shalat lima waktu, berpuasa, zakat, bersedekah dan bersungguh-
sungguh dalam hal agama. Hasrat mereka untuk naik haji sedemikian besar, sama dengan
hasrat mereka memasukkan putranya ke pesantren. Itulah sebabnya mengapa seorang kiai dan
haji sebagai guru panutan mendapat tempat terhormat di mata warga. Pun begitu dengan
tradisi kegamaan yang mereka jalankan, praktek-praktek amaliyah NU menjadi pemandangan
yang memenuhi kegiatan keagamaan warga sehari-hari. Kelompok-kelompok yasinan, dibaan
maupun sholawatan begitu banyak jumlahnya. Acara ritual-ritual kegamaan seperti
selametan, mauludan dan sebagainya yang dikatakan banyak pihak sebagai praktek-praktek
tradisi “Islam Nusantara” tersebut amat lazim ditemukan di rumah-rumah warga. Tidak
hanya itu, praktek-praktek tradisi lokal seperti tradisi mukka’ bumih (selametan saat mau
bangun rumah), tradisi nampaneh pasah (selamatan awal Ramadhan), tradisi ter- ater saat Idul
Fitri dan lainnya kerap dilakukan warga. Meskipun tidak sesemarak dulu -sebagaimana
diungkapkan salah satu tokoh agama di desa tersebut— namun mayoritas warga masih
meyakini bahwa praktek-praktek adet (adat/tradisi lokal) itu berkaitan erat dengan doktrin
agama tentang pahala dan surga. Dalam artian, ketika mereka mampu menyelenggarakannya
maka keyakinan akan medapatkan tambahan pahala dan perlindungan dari Allah SWT
sehingga bisa selamat dunia akhirat dan akhirnya masuk surga. Praktek ibadah dan tradisi
kegamaan sebagaimana diungkapkan di atas itulah, oleh warga kemudian disebut dengan
istilah “Islam Sehari-hari”. Bagi mereka, istilah “Islam sehari-hari” ini memberikan
pengertian pelaksanaan ajaran Islam baik terkait tata cara peribadatan, ritual maupun tradisi
keagamaan lainnya yang telah dilakukan dan diturunkan serta ditanamkan oleh para leluhur
maupun pendahulu mereka dalam praktek-praktek kegamaan keseharian masyarakat . “Islam
sehari-hari” merupakan ajaran Islam yang didapatkan dari ulama/kiai saat leluhur mereka,
orang tua mereka bahkan mereka sendiri yang saat ini masih hidup menimba ilmu agama
Islam di pesantren. Segenap doktrin dan ajaran yang telah didapatkan kemudian diterapkan
secara turun-temurun tanpa banyak mengalami modifikasi. Bahkan telah menjadi “syariat”
dalam beragama dan menjalani kehidupan keagamaan yang amat lazim dan kuat dalam
konstruksi pengetahuan dan pengamalan ajaran Islam di desa. Sehingga wajar jika di
kemudian hari didapati perilaku dan ekspresi keagamaan dari individual maupun kelompok
berbeda dengan “Syariat Islam Sehari-hari” ini bisa memunculkan reaksi dari warga. Sebab,
warga secara ramai akan menilainya sebagai ajaran yang menyimpang. Nah, berangkat dari
titik inilah penulis akan mengungkapkan respon dan pemahaman warga NU di tingkat
terbawah terhadap gagasan Islam Nusantara yang dikumandangkan oleh NU di tingkatan
atas. Sebagaimana ditulis dan diungkapkan oleh banyak pihak, gagasan Islam Nusantara ini
bukanlah hal yang baru di Indonesia. Konsepsi Islam Nusantara dikatakan sebagai sebuah
model penyebaran Islam yang telah dilakukan oleh Walisongo, para kiai/ulama terdahulu
tidak dengan jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Islam Nusantara
merupakan proses islamisasi di Indonesia dengan jalan merangkul, melestarikan dan
menghormati serta tidak memberangus budaya dan tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Proses islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana sekitar 87 persen
penduduk Indonesia beragama islam.

"Islam telah mengatur segala bentuk aktivitas manusia, mulai dari yang urusan dunia
maupun yang sifatnya akhirat yang di kenal dengan ibadah. Dalam Agama Islam segala
bentuk ibadah baik yang sunah ataupun yang wajib sudah dibuat aturan dan cara
melaksanakannya,"
Selain itu menurut Ibnu 'Arabi dalam kitab Faidul Qodir Juz 3 halaman 18 menegaskan
bahwa sebuah hukum atau aturan agama (ibadah) tidaklah boleh di buat untuk main-main.
Barang siapa yang menggunakan ibadah untuk hal-hal tersebut maka mereka adalah termasuk
orang-orang yang bodoh. Sehingga dari dasar-dasar tersebut Ia menegaskan bahwa hukum
ibadah-ibadah yang dimanfaatkan untuk kepentingan seperti demonstrasi termasuk haram
karena termasuk dalam perbuatan yang mempermainkan ibadah. "Walaupun bentuknya
ibadah yaitu berupa sholat, tetapi sholat tersebut dilaksanakan dengan tujuan lain dan di
tempat yang tidak layak,
Ada berbagai macam macam ibadah di Madura yang masih di jalankan sampek saat
ini seperti
Keistimewaan bulan syawal yang pertama adalah puasa 6 hari di bulan syawal. Puasa 6 hari
pada bulan syawal ini biasanya dilakukan mulai hari kedua bulan syawal, karena di hari
pertama, yaitu saat hari raya idul fitri diharamkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Setelah
menjalani puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan, puasa 6 hari di bulan syawal
ini menjadi pelengkap atau penyempurna amalan pada bulan Ramadan.

Walaupun biasa dilakukan pada hari kedua bulan syawal, banyak juga yang melaksanakan
ibadah puasa 6 hari di bulan syawal ini pada minggu kedua bulan syawal. Hal ini disebabkan
karena minggu pertama syawal kebanyakan orang masih merayakan hari raya idul fitri
dengan bersilaturahmi ke rumah keluarga maupun teman. Saat bersilaturahmi ini biasanya
disertai dengan makan dan minum dalam rangka lebaran.

Keutamaan puasa Syawal terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Muslim. Hadits itu berasal
dari Abu Ayyub Al Anshori yang pernah mendengar sabda Nabi Muhammad SAW.
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka
dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim).

Dengan keutamaan puasa 6 hari di bulan syawal ini, tentunya akan sangat merugi bila
seorang muslim tidak memanfaatkan salah satu keistimewaan bulan syawal ini. Dengan
hanya mencukupkan puasa Ramadan dengan puasa 6 hari di bulan syawal membuat
kamu memndapatkan pahala seakan berpuasa setahun penuh. Maka dari itu, puasa 6
hari di bulan syawal merupakan salah satu keistimewaan bulan syawal yang paling
besar pahalanya bagi umat islam, walaupun merupakan ibadah sunah. Melaksanakan
puasa 6 hari di bulan syawal juga merupakan wujud rasa syukur dan memohon
ampunan kepada Allah SWT bagi seluruh umat muslimBersilaturahmi merupakan salah
satu ibadah yang tidak asing lagi di bulan syawal. Salah satu keistimewaan bulan
syawal ini biasanya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti mudik ke kampung
halaman dan saling bermaafan dengan keluarga, tetangga, dan teman-teman. Jadi tidak
heran bila bulan syawal begitu istimewa dengan menjadi salah satu bulan dimana
kebanyakan umat muslim bersilaturahmi. Bulan syawal merupakan bulan yang penuh
berkah dan ampunan dari Allah SWT dengan silaturahmi dan bermaaf-maafan yang
dilaksanakan oleh seluruh umat islam

Anda mungkin juga menyukai