Di Buat Oleh ;Muhamad Hasan. Mohammad Taufq. Miftahillahkan. Khoirun Nisak. Bedrun. Fathur
Rosi. Moh. Ruji
Syaikh Ali Jum’ah, mantan mufti Mesir, menyampaikan bahwa golongan aswaja ini
sampai kapanpun dianut oleh mayoritas al-‘ammah atau al-jumhur umat Islam. Pendapat ini
disampaikan pada pembukaan Muktamar Ahlussunnah wal Jama’ah di Chechnya (25/8/16).
Secara umum dalam menegakkan Islam ala minhaj ahlussunnah wal jamaah an-
nahdliyah, orang-orang NU berpedoman pada karakter tawassuth (sikap di tengah-
tengah), tawazun (seimbang), i`tidal (lurus), dan tasamuh (toleran). Empat karakter ini
menjadi landasan bersikap. dan kepada sikap yang empat itu masyarakta Madura berpegang
teguh agar menjaga kebersamaan. Mungkin tidak banyak yang menyadari bahwa secara
implisit karakter tersebut sebagian besar dimiliki orang-orang Madura. Hal ini dapat kita
amati ketika ada sanak kerabat yang meninggal dunia digelar tahlilan 7 hari hingga seribu
hari. Jumlah tamu yang hadir biasanya lebih hingga 100 orang. Jika yang bersangkutan tokoh
masyarakat akan lebih banyak lagi. Melalui cara ini ikatan sosial warga terbangun dan
terbentuk. Meminjam istilah Coser, relasi ini membentuk semacam sefety velve atau katup
penyelamat dari adanya kemungkinan konflik sosial. Dari sinilah kemudian keseimbangan
dan toleransi dalam beragama dan bermasyarakat tercipta di lingkungan Madura.Ikatan
toleransi dan keseimbangan yang mengikat di Madura ini tentu tak selamanya kuat jika
seluruh elemen tidak bergandengan tangan membela NU dan merawat kebangsaan dalam
bingkai NKRI. Apalagi kini tantangan ke depan semakin besar. Benar tidak berupa
peperangan fisik, tetapi tantangan di masa mendatang ini secara masif dan halus menyasar ke
pelbagai lapisan masyarakat melalui pelbagai cara. Seiring perkembangan zaman, tantangan
NU khususnya di Madura tidak lagi penjajahan secara verbal melalui indoktrinasi paham
Wahabi dan berperang melawan Inggris. Secara sederhana, mengutip pendapat Ketua MUI
KH. Ma’ruf Amin (2017), ada tiga tantangan besar yang secara umum harus dihadapi dan
diselesaikan NU. Ketiga tantangan besar tersebut diantaranya; gerakan radikalisme dan
intoleran yang semakin masif di Indonesia, kesenjangan ekonomi, dan masalah korupsi.
Ketiga tantangan ini juga berlaku di Madura. NU beserta seluruh banomnya seyogianya
merapatkan barisan dalam meng-counter-nya.Menjawab tantangan tersebut warga NU
khususnya di Madura seyogianya merapatkan barisan. Dalam konteks ke-Madura-an
warga nahdliyin dapat membela NU dan merawat NKRI melalui rekatan-rekatan sosial yang
ada. Tidak hanya itu, simpul-simpul yang berada di kampung-kampung, meminjam bahasa
KH. Mas Mansur, harus bangkit dan menggerakkan (an-nahdhah). Bangkit merawat barisan
harakah an-nahdliyah, menggerakkan masyarakat agar mandiri, bangkit dan merawat
kerekatan emosional warga dalam mempertahankan tanahnya dari kongmelarasi, dan turun
gunung dengan lebih memperbanyak rekatan sosial baik melalui pengajian dan semacamnya.
dalam NU selama ini tidak pernah menyalahkan praktek ibadah orang lain yang
berbeda. NU tak pernah menyalahkan apalagi monolak bentuk negara NKRI dan dasar negara
Pancasila. Bahkan secara tegas NU menyatakan akan membela dan mempertahankan NKRI
dan Pancasila, ini tercermin dalam slogan "NKRI dan Pancasila harga mati". Dari itu
menunujukan bahwa nu itu sangat bersolidaritas meskipun Pengabaian terhadap NU ini
berdampak pada masuknya gerakan dan pemikiran keagamaan yang menyalahkan semua hal
ke dalam seluruh aspek lehidupan bangsa terutama dalam aspek keagamaan. Untuk itu NU
mengingatkan agar kader maupun pemikiran ala NU bisa berperan lebih besar untuk
menggantikan pemkiran yang menggap semua salah. Selain itu, pernyataan tersebut juga
dimaksudkan untuk meningaktkan soliditas dan solidaritas sekaligus upaya menjaga spirit
perjuangan warga NU dalam menjaga NKRI. Ketika bangsa ini sudah di kepung oleh fitnah,
hoaks, caci maki dan saling menyalahkan, di sini Kiai Said membakar spirit perjuangan
warga NU untuk melawan semua itu dengan cara mengambil peran strategis secara maksimal.
Karena dalam kondisi demikian pemikiran NU lah yang paling sesuai untuk menjawab
berbagai persoalan tersebutenilaian seperti itulah yang mengakar dikalangan umum,
khususnya warga NU. Benar, praktek ibadah atau budaya tertentu yang dipertahankan oleh
setiap organisasi, termasuk NU memang menjadi ciri khusus dari masing-ormas tersebut.
Namun, semua yang dipraktekan NU itu merupakan model legal formal dari jam’iyyah
terbesar di Nusantara ini, bukan subtansi yang menjadi ruh bagi eksistensi keberlangsungan
Jam’iyyah Nahdlatul ulama (NU).
Oleh karenanya, melihat hal itu dalam Musyawarah Nasional Ulama Nomor:
02/Munas/VII/2006 di Surabaya tentang Bahtsul Masail Maudhu’iyyah Fikrah
Nahdiyyah diputuskanlah bahwa Nu harus memiliki metode berikir ke-NU-an sebagai
langkah implementatif dalam rangka meneguhkan Nahdhatul Ulama pada garis-garis
perjuangannya ( khittah). Khittah perjuangan NU yang sebelumnya sudah diputuskan dalam
Muktamar NU ke-27 tahun 1984 di Situbondo demikian dimaksudkan adalah sebagi aturan,
koridor dan khususiyyah dari Jam’iyyah Nahdhatil Ulama sendiri agar generasi-
generasi nahdadhiyyin berikutnya bisa mengikuti para founding father
dan tidak keluar dari relnya. Maka lima Fikrah Nahdhiyyah yang disarikan dari butir-butir
khittah tersebut, yakni tawassuthiyyah (pola pikir moderat) yang melahirkan sikap tawazun
(seimbang) dan i’tidal (tegak), tasamuhiyah (pola pikir toleran), ishlahiyah (pola pikir
reformatif), Tathawwuriyah (pola pikir dinamis) dan pola pikir manhajiyah (pola pikir
metodologis) inilah sebagai ruh dan subtansi yang seharusnya lebih dikedepankan,
dipertahankan dan diperjuangkan menjadi ciri khas Nahdlatul Ulama, selain dari model
format praktek-praktek ibadah tersebut.
Madura dan NU tak ubahnya dua mata uang yang tidak bisa dipisahkan, namun
belakangan sempat berhembus isu warga Pulau Garam juga berperan dalam menggembosi
organisasi terbesar di dunia itu. Setidaknya hal tersebut terlihat dari gelagat sebagian tokoh
Madura yang terlibat dalam gerakan aksi yang dilakukan organisasi berhaluan radikal. "Tapi
kita sebagai warga nahdliyin Madura sudah membuktikan itu tidak benar. Acara malam ini
membuat hal itu terbantahkan," terang sesepuh PCNU Pamekasan, KH Abd Kadir, di tengah-
tengah lautan nahdliyin yang memadati lapangan sepak bola Waru Kabupaten Pamekasan,
Sabtu (7/4) malam. Puncak Harlah NU dari sebanyak 40 rangkaian kegiatan sebelumnya itu,
dihadiri oleh puluhan ribu kaum nahdliyyin dari kalangan pengurus, anggota, dan warga
nahdliyin dari 13 kecamatan yang ada di Kabupaten Pamekasan. Mereka melampaui target
panitia di kisaran 5 ribu pengunjung. Menurut Kiai Abd Kadir yang merupakan ketua panitia,
isu bahwa NU semakin ditinggalkan jama'ahnya, dengan kegiatan puncak Harlah NU dengan
sendirinya terbantahkan. Apalagi dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan pra harlah sebelumnya
yang selalu ramai dengan kehadiran warga nahdliyin. Hal itu lanjutnya, membuktikan bahwa
warga nahdliyin tetap istiqamah berjuang bersama para ulama NU, upaya memecah belah
yang dilakukan oleh mereka yang tidak suka terhadap NU, tidak akan pernah berhasil.
"Insyaallah NU ini akan jaya hingga yaumul qiyamah. Kita meyakini itu karena pendirinya
adalah waliyullah. Siapa yang tidak mengakui kewalian Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai
Hasyim Asy'ari yang pendiri NU beserta ulama lainnya. Pasti mereka sudah melalui tirakat
untuk mendirikan organisasi kita tercintah ini,"
Dalam sebuah pertemuan NU, seorang mentor ke-NU-an saya berujar, “orang Madura
memiliki tanggungjawab ke-NU-an yang tidak ringan. NU tanpa restu Ulama Besar Madura,
Syaikhona Cholil, tidak akan berdiri. Jika orang Madura tidak memiliki tanggungjawab besar
merawat NU, maka ia kelak yang pertama kali akan dimintai
pertanggungjawaban”Mendengar pernyataan di atas warga NU yang hadir dalam pertemuan
itu bertepuk tangan. Tidak melulu dalam suasana suka, tetapi tepukan itu lebih dimaknai
sebagai cara membangkitkan diri secara intenal. Menyelusupkan roh ke-NU-an para muassis
dalam kesadaran dan menggemakannya di ceruk relung bathin yang paling dalam. Saya
bersaksi pernyataan di atas membuat bulu kuduk berdiri.
Mungkin bagi orang lain, pernyataan di atas tak lebih dari seorang motivator yang piawai
meracik diksi agar para hadirin terkesima. Atau malah pernyataan di atas dianggap “lebay”.
Tapi bagi hadirin tentu tidak. Pernyataan di atas bagi warga NU yang hadir dimaknai sebagai
menyambung sanad ke-NU-an pada akar historis berdirinya yang tak lepas dari Syaikhona
Khalil, Ulama besar Madura. Jadi, NU dan Madura ibarat dua sisi dari satu keping mata uang.
Tak terpisah dan tak akan terpisah.
Pertama-tama tentu saja, pernyataan di atas bermakna jika dikaitkan dengan pengalaman ke-
NU-an di Madura sendiri. Ada gelombang terorganisir dan by design yang mengobarkan
kebencian pada NU melalui cara-cara yang jauh dari akhlakulkarimah. Itu massif dilakukan
kelompok kanan gado-gado dengan memanfaatkan masyarakat Madura yang kurang well-
informed melalui isu-isu liberal, pluralisme, PKI, anti-China, tidak suka Habaib, dsb. Isu ini
dimainkan dengan cukup massif memanfaatkan momentum pilpres yang dikendalikan Islam
politik di Jakarta.
Saat ini suasananya memang mulai reda. Residunya tentu masih ada. Untuk sementara sel-sel
kelompok kanan setengah mati atau bahkan mati. Tapi, seperti menunggu momentum, sel-sel
ini akan dihidupkan kembali seiring kepentingan kelompok Islam Politik di Jakarta. Memang,
residunya berbeda antar empat kabupaten di Madura. Yang paling besar residunya mungkin di
Pamekasan, satu kabupaten yang jejak historisitas Syarekat Islam paling kuat dibanding NU.
Soal ini memang tak boleh dianggap remeh. Sebagaimana pernyataan Gus Yahya
Staquf, Madura masuk dalam skenario “Njakarmadu”, satu skenario yang ingin menjadikan
basis kelompok kanan setelah Jakarta. Jika basis kelompok kanan kuat di sisi Madura (dan
Jakarta sebagai sisi lainnya), maka Jatim dan Jateng sebagai basis Nahdliyin dan nasionalis
akan terjepit dan dalam jangka panjang pelan-pelan akan tergerogoti.Di sinilah makna
pernyataan mentor di atas menemukan relevansinya. Orang Madura dituntut memiliki
tanggungjawab besar merawat NU sebagai wasilah merawat warisan berharga para muassis
NU, termasuk warisan Syaikhona Khalil, Ulama besar Madura.Kontekstualisasi lainnya atas
pernyataan mentor di atas adalah tanggung jawab orang Madura untuk merawat persoalan-
persoalan agraria; tanah, air, udara yang dipijak, direguk, dan dihirup orang Madura. Soal ini
juga tak kalah beratnya. Madura paska beroperasinya jembatan Suramadu menjadi sasaran
investasi melalui massifnya penguasaan lahan yang dalam jangka panjang diyakini akan
menjadikan orang Madura terpinggirkan. Tidak saja secara sosial-ekonomi, tetapi juga secara
budaya. Jika di lahan-lahan yang sudah dikuasai para investor itu nantinya dibangun aneka
macam industri, maka tradisi warga nahdliyin juga akan dipinggirkan. Masyarakat Industri
selalu menghadirkan corak keberagamaan yang rigid, instans, dan puritan satu sisi, dan
liberal di sini lain. Dua masalah di atas butuh respon NU (dan tentunya tanggungjawab orang
NU Madura). Maka ke depan dibutuhkan rencana-rencana strategis yang dilakukan secara
sinergis antar PCNU se-Madura. Dengan menyusupkan spirit ke-NU-an para muassis,
khususnya Syaikhona Khalil, saya meyakini orang Madura akan tetap menjadikan NU
sebagai “agama”. Tentu upaya-upaya kita perlu memadukan antara upaya lahir dan
bathin.Teruslah diingat dawuh mentor di atas, “jika orang Madura abai merawat NU, maka
orang Madura yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak karena “menghianati” warisan
Syaikhona Khalil”. Jadi, mari membangun Indonesia dari Madura. Wallahu A’lam.
Sebagaimana masyarakat Madura pada umumnya, Agama bagi warga dua desa ini
adalah Islam. Agama ini sudah meresap dan mewarnai kehidupan sosial, mulai dari cara
berprilaku, berpakaian, cara makan, bahkan cara tidur pun mengikuti ajaran agama. Posisi
tidur warga seperti posisi mayat membujur ke utara dan menghadap arah kiblat. Islam telah
benar-benar menjadi ruh, sehingga belum diketemukan di kedua desa tersebut ada warga
yang menyatakan diri bukan Muslim, atau menyatakan diri pindah dari agama Islam ke
agama lain, sekalipun keislaman mereka hanya bertaraf Islam KTP bukan Islam ongghu
(Islam sejati, Islam maksimalis). Kepatuhan, ketaatan, atau kefanatikan warga pada agama
Islam yang dianut sudah lama terbentuk. Mereka sangat patuh menjalankan syariat agama
Islam seperti: melakukan shalat lima waktu, berpuasa, zakat, bersedekah dan bersungguh-
sungguh dalam hal agama. Hasrat mereka untuk naik haji sedemikian besar, sama dengan
hasrat mereka memasukkan putranya ke pesantren. Itulah sebabnya mengapa seorang kiai dan
haji sebagai guru panutan mendapat tempat terhormat di mata warga. Pun begitu dengan
tradisi kegamaan yang mereka jalankan, praktek-praktek amaliyah NU menjadi pemandangan
yang memenuhi kegiatan keagamaan warga sehari-hari. Kelompok-kelompok yasinan, dibaan
maupun sholawatan begitu banyak jumlahnya. Acara ritual-ritual kegamaan seperti
selametan, mauludan dan sebagainya yang dikatakan banyak pihak sebagai praktek-praktek
tradisi “Islam Nusantara” tersebut amat lazim ditemukan di rumah-rumah warga. Tidak
hanya itu, praktek-praktek tradisi lokal seperti tradisi mukka’ bumih (selametan saat mau
bangun rumah), tradisi nampaneh pasah (selamatan awal Ramadhan), tradisi ter- ater saat Idul
Fitri dan lainnya kerap dilakukan warga. Meskipun tidak sesemarak dulu -sebagaimana
diungkapkan salah satu tokoh agama di desa tersebut— namun mayoritas warga masih
meyakini bahwa praktek-praktek adet (adat/tradisi lokal) itu berkaitan erat dengan doktrin
agama tentang pahala dan surga. Dalam artian, ketika mereka mampu menyelenggarakannya
maka keyakinan akan medapatkan tambahan pahala dan perlindungan dari Allah SWT
sehingga bisa selamat dunia akhirat dan akhirnya masuk surga. Praktek ibadah dan tradisi
kegamaan sebagaimana diungkapkan di atas itulah, oleh warga kemudian disebut dengan
istilah “Islam Sehari-hari”. Bagi mereka, istilah “Islam sehari-hari” ini memberikan
pengertian pelaksanaan ajaran Islam baik terkait tata cara peribadatan, ritual maupun tradisi
keagamaan lainnya yang telah dilakukan dan diturunkan serta ditanamkan oleh para leluhur
maupun pendahulu mereka dalam praktek-praktek kegamaan keseharian masyarakat . “Islam
sehari-hari” merupakan ajaran Islam yang didapatkan dari ulama/kiai saat leluhur mereka,
orang tua mereka bahkan mereka sendiri yang saat ini masih hidup menimba ilmu agama
Islam di pesantren. Segenap doktrin dan ajaran yang telah didapatkan kemudian diterapkan
secara turun-temurun tanpa banyak mengalami modifikasi. Bahkan telah menjadi “syariat”
dalam beragama dan menjalani kehidupan keagamaan yang amat lazim dan kuat dalam
konstruksi pengetahuan dan pengamalan ajaran Islam di desa. Sehingga wajar jika di
kemudian hari didapati perilaku dan ekspresi keagamaan dari individual maupun kelompok
berbeda dengan “Syariat Islam Sehari-hari” ini bisa memunculkan reaksi dari warga. Sebab,
warga secara ramai akan menilainya sebagai ajaran yang menyimpang. Nah, berangkat dari
titik inilah penulis akan mengungkapkan respon dan pemahaman warga NU di tingkat
terbawah terhadap gagasan Islam Nusantara yang dikumandangkan oleh NU di tingkatan
atas. Sebagaimana ditulis dan diungkapkan oleh banyak pihak, gagasan Islam Nusantara ini
bukanlah hal yang baru di Indonesia. Konsepsi Islam Nusantara dikatakan sebagai sebuah
model penyebaran Islam yang telah dilakukan oleh Walisongo, para kiai/ulama terdahulu
tidak dengan jalan peperangan, tapi bil himah wal mau’idhatil hasanah. Islam Nusantara
merupakan proses islamisasi di Indonesia dengan jalan merangkul, melestarikan dan
menghormati serta tidak memberangus budaya dan tradisi yang sudah ada sebelumnya.
Proses islamisasi seperti inilah yang sekarang kita nikmati, dimana sekitar 87 persen
penduduk Indonesia beragama islam.
"Islam telah mengatur segala bentuk aktivitas manusia, mulai dari yang urusan dunia
maupun yang sifatnya akhirat yang di kenal dengan ibadah. Dalam Agama Islam segala
bentuk ibadah baik yang sunah ataupun yang wajib sudah dibuat aturan dan cara
melaksanakannya,"
Selain itu menurut Ibnu 'Arabi dalam kitab Faidul Qodir Juz 3 halaman 18 menegaskan
bahwa sebuah hukum atau aturan agama (ibadah) tidaklah boleh di buat untuk main-main.
Barang siapa yang menggunakan ibadah untuk hal-hal tersebut maka mereka adalah termasuk
orang-orang yang bodoh. Sehingga dari dasar-dasar tersebut Ia menegaskan bahwa hukum
ibadah-ibadah yang dimanfaatkan untuk kepentingan seperti demonstrasi termasuk haram
karena termasuk dalam perbuatan yang mempermainkan ibadah. "Walaupun bentuknya
ibadah yaitu berupa sholat, tetapi sholat tersebut dilaksanakan dengan tujuan lain dan di
tempat yang tidak layak,
Ada berbagai macam macam ibadah di Madura yang masih di jalankan sampek saat
ini seperti
Keistimewaan bulan syawal yang pertama adalah puasa 6 hari di bulan syawal. Puasa 6 hari
pada bulan syawal ini biasanya dilakukan mulai hari kedua bulan syawal, karena di hari
pertama, yaitu saat hari raya idul fitri diharamkan untuk melaksanakan ibadah puasa. Setelah
menjalani puasa selama satu bulan penuh pada bulan Ramadan, puasa 6 hari di bulan syawal
ini menjadi pelengkap atau penyempurna amalan pada bulan Ramadan.
Walaupun biasa dilakukan pada hari kedua bulan syawal, banyak juga yang melaksanakan
ibadah puasa 6 hari di bulan syawal ini pada minggu kedua bulan syawal. Hal ini disebabkan
karena minggu pertama syawal kebanyakan orang masih merayakan hari raya idul fitri
dengan bersilaturahmi ke rumah keluarga maupun teman. Saat bersilaturahmi ini biasanya
disertai dengan makan dan minum dalam rangka lebaran.
Keutamaan puasa Syawal terdapat dalam hadits yang diriwayatkan Muslim. Hadits itu berasal
dari Abu Ayyub Al Anshori yang pernah mendengar sabda Nabi Muhammad SAW.
"Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka
dia berpuasa seperti setahun penuh." (HR Muslim).
Dengan keutamaan puasa 6 hari di bulan syawal ini, tentunya akan sangat merugi bila
seorang muslim tidak memanfaatkan salah satu keistimewaan bulan syawal ini. Dengan
hanya mencukupkan puasa Ramadan dengan puasa 6 hari di bulan syawal membuat
kamu memndapatkan pahala seakan berpuasa setahun penuh. Maka dari itu, puasa 6
hari di bulan syawal merupakan salah satu keistimewaan bulan syawal yang paling
besar pahalanya bagi umat islam, walaupun merupakan ibadah sunah. Melaksanakan
puasa 6 hari di bulan syawal juga merupakan wujud rasa syukur dan memohon
ampunan kepada Allah SWT bagi seluruh umat muslimBersilaturahmi merupakan salah
satu ibadah yang tidak asing lagi di bulan syawal. Salah satu keistimewaan bulan
syawal ini biasanya dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti mudik ke kampung
halaman dan saling bermaafan dengan keluarga, tetangga, dan teman-teman. Jadi tidak
heran bila bulan syawal begitu istimewa dengan menjadi salah satu bulan dimana
kebanyakan umat muslim bersilaturahmi. Bulan syawal merupakan bulan yang penuh
berkah dan ampunan dari Allah SWT dengan silaturahmi dan bermaaf-maafan yang
dilaksanakan oleh seluruh umat islam