Anda di halaman 1dari 11

COGNITIVE CONSISTENCY THEORY

Disusun guna memenuhi tugas Mata Kuliah Dosen Pengampu : Epidemiologi Perilaku Kesehatan : Drg. Zahroh Shaluhiyah, MPH PhD

Disusun oleh: Taufiq Priyo Utomo

MAGISTER PROMOSI KESEHATAN UNIVERSITAS DIPONEGORO 2013

A. Pendahuluan Teori-teori konsistensi kognitif berpangkal pada suatu proposisi umum yaitu bahwa kognisi (pengetahuan, kesadaran) yang tidak konsisten dengan kognisi-kognisi lain, maka akan menimbulkan keadaan psikologik yang tidak menyenangkan, sehingga keadaan ini mendorong seseorang untuk mencapai konsistensi antar kognisikognisi tersebut. Ketika konsistensi antar kognisi-kognisi tercapai, maka akan timbul rasa senang dalam dirinya. Tanpa kita sadari, ternyata inkonsistensi kognitif ini terjadi dalam kehidupan sehari-hari, bahkan lebih dari itu kita pun pernah melakukannya. Sebagai salah satu contohnya: kita melihat seorang Presiden sedang makan di warung nasi di pinggir jalanan. Sebelum kita melihat kejadian ini, kita memiliki pengetahuan bahwa menteri itu adalah sosok orang yang royal dan mewah. Ketika kita melihat seorang Presiden yang sedang makan di warung nasi tersebut, maka kita pun merasa aneh karena pada umumnya orang yang makan di warung nasi itu adalah golongan masyarakat kelas bawah. Jelas di sini terdapat dua kognisi yang berbeda, yaitu sosok menteri yang royal dan mewah dengan warung nasi yang sering disinggahi oleh golongan masyarakat kelas bawah. Jika kedua kognisi ini muncul secara sekaligus, maka muncul perasaan inkonsistensi dalam diri kita, yang menyebabkan kita perlu melakukan sesuatu agar muncul konsistensi yang menyenangkan. Misalnya: melihat orang itu sekali lagi untuk meyakinkan bahwa dia sesungguhnya bukan Presiden (orang lain yang mirip dengan Presiden), atau dengan cara mengubah struktur kognitif dengan menyatakan kepada diri sendiri bahwa Presiden adalah manusia juga yang sekali-kali ingin santai makan di warung. Setelah perang dunia kedua, pada tahun 1940-an, sejumlah besar penelitian dilakukan pada perubahan sikap. Ini menghasilkan sejumlah teori berbagai asumsi bahwa orang-orang berusaha untuk konsistensi kognitif : yaitu : mereka akan termotivasi untuk mengurangi kesenjangan yang dirasakan antara berbagai kognisi, karena perbedaan tersebut adalah permusuhan. Dan sejak pertengahan tahun 1950-an berkembang penelitian mengenai perubahan sikap dengan kerangka teoritis manusia sebagai pencari konsistensi kognitif (The Person as Consistency Seeker). Di sini manusia dipandang sebagai makhluk yang selalu berusaha dalam sistem kepercayaan dan di antara sistem kepercayaan dengan perilaku.

Teori kognitif konsistensi memulai fokusnya pada keberadaan sikap dan mencoba menjelaskan bagaimana komponen-komponen sikap sesuai satu sama lain atau dan dengan sikap-sikap yang lain. Teori ini memandang manusia sebagai pemroses yang aktif yang mencoba memahami seluruhnya atas apa yang mereka rasakan, pikirkan dan berbuat di mana mereka secara aktif menyusun dan menafsirkan dunia tersebut untuk membuat kecocokan terhadap inkonsistensi yang biasa terjadi di antara dan dalam sikap-sikap. Latar belakang dari teori ini berasumsi bahwa manusia mencari konsistensi diantara kognisi mereka. Individu yang memiliki keyakinan atau nilai yang tidak konsisten satu sama lain berusaha untuk membuat keyakinan atau nilai itu menjadi lebih konsisten. Demikian pula jika kognisinya konsisten dan dia dihadapkan pada kognisi baru yang akan menimbulkan ketidakkonsistenan, sehingga motif utamanya adalah dia akan berusaha untuk mempertahankan atau memperbaiki konsistensi kognitif. Karakteristik yang ada pada pikiran manusia adalah kecenderungan untuk konsisten (Secord & Backman, 1964). Pemahaman mengenai organisasi sikap sangat penting dalam mempelajari masalah perubahan dan pengubahan sikap, tidak saja dalam mencoba mengerti sebabsebab berubahnya sikap seseorang terhadap suatu obyek tetapi juga dalam memahami mengapa orang berperilaku tidak sesuai dengan sikapnya. Pemahaman ini juga bermanfaat dalam strategi manipulasi situasi untuk mengarahkan sikap individu atau kelompok ke arah yang kita kehendaki. Teori yang termasuk dalam pendekatan konsistensi kognitif mempunyai prinsip dasar, dimana inkonsistensi adalah suatu keadaan psikologis yang tidak menyenangkan dan yang mendorong orang itu secara aktif mencari cara untuk mengurangi ketidakseimbangan ini dengan menurunkan ketidakkonsistenan yang dapat terjadi antara kognisi dan afeksi, antara afeksi dan konasi atau antara kognisi, afeksi dan konasi seseorang terhadap obyek sikap. Hubungan inkonsistensi anatara kognisi-kognisi memiliki istilah atau nama yang berbeda-beda, tetapi merujuk pada satu subtansi yang sama. Heider (1946) menamakannya dengan istilah ketidakseimbangan kognitif (cognitive imbalance). Newcomb (1953) menamakannya dengan istilah asimetri (asimetry). Osgood dan Tannembaum (1955) menamakannya dengan istilah ketidakselarasan

(ingcongruence), sedangkan Festinger (1957) menamakannya dengan istilah disonansi (dissonance).

B. Teori Keseimbangan Heider Akar dari teori konsistensi kognitif adalah teori keseimbangan dari Fritz Heider, merupakan formulasi yang paling awal dan sederhana dari prinsip konsistensi yang dianut dalam teori organisasi sikap yang secara spesifik konsistensi antara individu sikap evaluasi dari objek atau unsur dan keyakinannya saling berhubungan. Kognitif unit terdiri dari dua dievaluasi unsur yang dihubungkan dengan sebuah hubungan. Keadaan keseimbangan atau ketidak seimbangan selalu melibatkan tiga unsur/ elemen yaitu : 1. Individu/Person (P), 2. Orang lain (O), dan 3. Obyek sikap (Ob atau X). Ketiga elemen tersebut membentuk suatu kesatuan yang bisa membentuk suatu kombinasi dan menghasilkan hubungan balance atau unbalance. Pengertian keadaan seimbang (balance) adalah suatu keadaan dimana elemenelemen saling berhubungan satu sama lain secara harmonis sehingga tidak terdapat tekanan untuk mengubah keadaan. Misalnya : 1. Dalam hubungan 2 pihak, keadaan seimbangan terjadi jika hubungan antar kedua elemen itu semua positif atau semua negatif. 2. Dalam hubungan 3 pihak, keadaan seimbang terjadi jika hubungan antar ketiga elemen itu semuanya positif atau 2 negatif dan 1 positif. Sedangkan kondisi yang unbalance menimbulkan desakan atau ketegangan dan tekanan yang mendorong untuk mengubah hubungan kognitif yang sedemikian rupa sehingga tercapai keadaan seimbang dan untuk mengubah keadaan. Minimal ada 3 kemungkinan untuk mengurangi ketidakseimbangan, yaitu dengan cara : 1. 2. 3. Cara yang berpengaruh terhadap perubahan sikap Menolak bahwa tidak akan ada hubungan Memberi tambahan-tambahan yang konsisten sehingga terjadi hubungan yang seimbang. Bila perubahan yang mengarah kepada pengembalian keseimbangan itu tidak tercapai maka akan terjadi ketegangan, sedangkan bila perubahan mungkin terjadi maka hal itu dapat terjadi pada karakter dinamisnya yaitu sikap P atau O dan dapat

pula

terjadi

pada

fungsi

hubungan

diantara

unsur-unsur/

elemen

yang

bersangkutan.Unsur diperlakukan sebagai baik (+) atau negatif (-), hubungan baik sebagai positif (p), negatif (n), atau null (0). Dengan memberi tanda (+) untuk efek positif (positif affect) dan tanda (-) untuk efek negatif (negatif affect) maka suatu keseimbangan akan dicapai bila hubungan diantara ketiga unsur/ elemen tersebut ditunjukkan oleh tanda (+++) atau ditunjukkan oleh tanda (---), yaitu bila ketiga-tiganya positif atau dua diantara ketiganya adalah negatif. Ada 2 tipe hubungan menurut Heider, yaitu : 1. Unit relationship (hubungan unit) Unsur yang terlibat dalam hubungan dipersepsi saling memiliki yang biasanya berlangsung karena kesamaan, kedekatan dan pengalaman masa lalu. Hubungan unit terdiri dari 2 tipe, yaitu : a. Tipe U : jika 2 elemen dipandang saling memiliki

b. Tipe bukan U : jika elemen-elemen tersebut tidak saling memiliki 2. Affective relationship (hubungan sentimen) Penilaian seseorang terhadap sesuatu (termasuk rasa suka). Hubungan sentimen terdiri dari : a. Tipe L b. Tipe DL : penilaian positif : penilaian negatif

Teori keseimbangan Heider menurut para ahli psikologi sosial memang merupakan awal yang baik dalam melakukan analisis mengenai konsistensi kognitif dan implikasinya sangat luas walaupun memiliki keterbatasan-keterbatasan. Keterbatasan itu antara lain : 1. Sifat hubungan unsur-unsur yang hanya kualitatif (suka tidak suka) padahal sikap dan kepercayaan memiliki derajat atau tingkatan yang perlu dikualifikasikan. 2. Hubungan unsur-unsur yang banyaknya terbatas pada 3 unsur saja. 3. Kemungkinan adanya hubungan ganda diantara dua unsur tapi tidak berbicara mengenai tingkat keseimbangann yang dapat terjadi dalam konfigurasi yang kompleks (Fishbein & Ajzen, 1975).

C. Teori Asimetri Newcomb Hipotesa umum yang diajukan Newcomb (1937, 1957) adalah bahwa hukum-hukum yang mengatur hubungan-hubungan antara kepercayaan-kepercayaan dan sikap-sikap yang ada pada seseorang. Beberapa kombinasi kepercayaan dan sikap yang tidak stabil, maka akan mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu, sehingga kepercayaan dan sikap itu berada dalam keadaan stabil. Sampai di sini teori Newcomb tidak berbeda dengan teori P-O-X Heider. Akan tetapi Newcomb menambahkan faktor komunikasi antar individu dan hubungan-hubungan dalam kelompok. Komunikasilah yang menjadikan orang untuk saling berorientasi terhadap suatu objek tertentu.

D. Teori ketidakselarasan (ingcongruence) Teori ini adalah mengenai perubahan prediksi sikap dalam suatu situasi eksperimental tertentu. Dalam situasi eksperimental tersebut, suatu sumber yang dikenal, melalui komunikasi, mendasak seseorang (subjek) untuk mengambil sikap tertentu terhadap suatu objek. Teori Osgood & Tannenbaum (1955) ini lebih terperinci dan lebih mampu memprediksi perubahan sikap, baik terhadap sumber komunikasi maupun terhdap objek, akan tetapi ragamnya perilaku yang dapat dicakup oleh teori ini lebih terbatas daripada teori P-O-X atau A-B-X. Asumsi dasar ke dua adalah bahwa kerangka penilaian seseorang cenderung ke arah penyederhadanaan yang maksimal. Asumsi ini berkaitan dengan dua asumsi lainnya, yaitu:

1) Ada kecenderungan bahwa objek-objek dipandang baik sama sekali atau buruk sama sekali. 2) Objek-objek yang dipandang baik, berapapun tingkat kebaikannya dipandang sebagai sama atau serupa, sedangkan objek-objek yang dipandang jelek batas tertentu akan digolongkan sebagai satu kelompok. Osgood dan Tanenbaum menyatakan bahwa dalam prinsip keselarasan (congruity principle) perubahan penilaian selalu tertuju pada keselarasan yang makin meningkat terhadap kerangka acuan orang yang bersangkutan. Jadi, jika ada dua atau lebih objek sikap yang saling dihubungkan dengan satu pertanyaan, maka timbul kecenderungan bahwa perilaku terhadap salah satu atau semua objek itu akan berubah sedemikian rupa sehingga semua penilaian itu jadi sama. Misalnya: Kepala Sekolah (evaluasi positif) memberi penghargaan (hubungan pernyataan) kepada Rudy si jago berkelahi (evaluasi negatif). Pernyataan itu akan menjadikan dua kemungkinan. Pertama, orang akan mengurangi evaluasi positif terhadap guru. Kedua, sebaliknya orang akan memberi penilaian positif terhadap Rudy. Dalam mengamalkan prinsip keselarasan ini dalam situasi-situasi khusus, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. Masalah keselarasan. b. Arah Perubahan menuju keselarasan. c. Beban tekanan yang ditimbulkan oleh ketidakselarasan dan penyebaran beban tersebut di antara objek- objek sikap.

E. Teori Kogitif Disonansi Teori disonansi kognitif dari Festinger tidak jauh berbeda dari teori-teori konsistensi kognitif lainnya, tetapi ada dua perbedaan yang mesti dicatat: Teori ini adalah tentang tingkah laku umum, jadi tidak khusus tentang tingkah laku sosial. Walaupun demikian, pengaruhnya terhadap penelitian-penelitian psikologi sosial jauh lebih menyolok daripada teori-teori konsistensi yang lain. Inti dari teori disonansi kognitif ini sebenarnya sederhana saja: antara elemenelemen kognitif mungkin terjadi hubungan-hubungan yang tidak pas (nontiffing relations) yang menimbulkan disonansi (kejanggalan) kognitif, disonansi

menimbulkan desakan untuk mengurangi disonansi tersebut dan menghindari

peningkatannya, hasil dari desakan tersebut terwujud dalam perubahan-perubahan pada kognisi, perubahan tingkah laku dan menghadapkan diri pada beberapa informasi dan pendapat-pendapat baru yang sudah diseleksi terlebih dahulu. 1. Asumsi dasar teori Disonansi Kognitif Asumsi dari teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah : a. Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya. Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementigkan adanya stabilitas dan konsistensi. b. Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis. Teori ini merujuk pada faktafakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif. c. Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur. Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut. d. Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi. Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi. Menurut Leon Festinger, Perasaan yang tidak seimbang sebagai disonansi kognitif; hal ini merupakan perasaan yang dimiliki orang ketika mereka menemukan diri mereka sendiri melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan apa yang mereka ketahui, atau mempunyai pendapat yang tidak sesuai dengan pendapat lain yang mereka pegang. Konsep ini membentuk inti dari teori disonansi kognitif, teori ini berpendapat bahwa disonansi adalah sebuah perasaan tidak nyaman yang memotivasi orang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyaman itu. Teori disonansi kognitif beranggapan bahwa dua elemen pengetahuan merupakan hubungan yang disonan (tidak harmonis) apabila dengan

mempertimbangkan dua eleman itu sendiri pengamatan satu elemen akan mengikuti elemen lainnya. Teori berpendapat bahwa disonansi, secara psikologis tidak nyaman , maka akan memotifasi seseorang untuk berusaha mengurangi

disonansi dan mencapai harmonis atau keselarasan. Orang juga akan secara aktif menolak situasi-situasi dan informasi yang sekiranya akan memunculkan disonansi dalam berkomunikasi. 2. Cara mengatasi Disonansi Aronson dan Festinger (1968; 1957; dalam Sarwono, S.W., 2009) mengemukakan tiga mekanisme yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi kognitif, yaitu: a. Mengubah sikap atau perilaku menjadi konsisten satu sama lain. Seorang lesbian yang tinggal di lingkungan yang sangat keras menentang homoseksualitas, misalnya, dapat mengaplikasikan mekanisme ini dengan dua cara, yaitu: (1) mengubah orientasi seksualnya atau setidaknya berpura-pura menjadi heteroseksual; atau (2) pindah ke lingkungan lain yang lebih bisa menerima diri dan orientasinya. b. Mekanisme yang kedua adalah mencari informasi baru yang mendukung sikap atau perilaku untuk menyeimbangkan elemen kognitif yang bertentangan. Misalnyanya seorang lesbian mencari informasi tentang perilakunya yang menyimpang di lihat dari sudut sosial, mencari pembenaran dengan hal yang serupa. Misalnya, sebut aja disini artikel SepociKopi, membaca artikel ini, mungkin kamu tanpa sadar sedang menjalankan mekanisme tersebut. Atau cari info lain yang juga bisa menemukan beberapa artikel argumentatif yang mengemukakan bahwa homoseksualitas sebenarnya tidak bertentangan dengan agama tertentu. Berusaha mencari artikel sejenis untuk menenangkan diri atau dijadikan dasar argumen ketika berdiskusi dengan orang lain juga merupakan aplikasi dari mekanisme di atas. c. Mekanisme yang terakhir adalah trivialization yang berarti mengabaikan atau menganggap ketidaksesuaian antara sikap atau perilaku penyebab disonansi sebagai hal yang biasa. Kamu menjalankan mekanisme ini ketika kamu berusaha tidak peduli, dan tetap berusaha menjalani hari-hari sesuai dengan norma yang ada, meskipun tetap menjalankan kehidupan sebagai lesbian misalnya. 3. Kritik terhadap Teori Disonansi a. Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara menyeluruh kapan dan bagaimanaseseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi. b. Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini.

F. CONTOH PENGGUNAAN TEORI DALAM KESEHATAN

PSK

+
PELANGGAN

(seimbang) KONDOM

PSK

+
PELANGGAN

+ KONDOM

(tidak seimbang)

Seimbang

Penjelasan Contoh pada kasus perilaku penggunaan kondom antara PSK dan pelanggan Seorang pelanggan mempunyai penilaian negatif pada penggunaan kondom (misal karena pelanggan merasa lebih nikmat tanpa kondom) Seorang PSK mempunyai penilaian negatif pada penggunaan kondom (misal karena PSK tidak mempunyai pengetahuan HIV/AIDS yang baik) Pelanggan tersebut suka pada PSK tersebut Maka akan terjadi keadaan seimbang disini, Jika PSK dan Pelanggan tersebut akan melakukan transaksi, kemungkinan besar PSK dan pelanggan bisa melakukan transaksi tanpa menggunakan kondom,

sementara disisi lain bahwa melakukan transaksi seks dengan PSK tanpa menggunakan kondom mempunyai risiko besar tertular HIV/AIDS. Dengan mengacu pada teori keseimbangan bahwa jika terjadi keadaan seimbang antara kognisi kognisi pada seseorang, maka seseorang tersebut tidak mempunyai motivasi untuk berubah, sehingga jika kita ingin merubah perilaku tersebut maka harus mengubah kognisi mereka agar terjadi ketidakseimbangan pada kognisi mereka. Dengan ketidakseimbangan tersebut secara alamiah manusia akan mencari keseimbangan dalam kognisi kognisi mereka. Pada kasus diatas misal kita tahu bahwa ternyata PSK tidak mempunyai pengetahuan yang cukup tentang HIV/AIDS dan kondom, maka bisa dilakukan intervensi pada PSK untuk meningkatkan pengetahuan sehingga kognisi PSK tentang penggunaan kondom menjadi positif dan mau menggunakan kondom saat transaksi, maka jika pelanggan yang tidak mau menggunakan kondom ingin melakukan transaksi dengan PSK tersebut akan terjadi keadaan tidak seimbang. Keadaan ini memungkinkan transaksi tidak terjadi atau mungkin saja pelanggan mau menggunakan kondom dan bisa juga kembali pada keadaan awal bahwa PSK tidak jadi menggunakan kondom. Pada kondisi seperti ini peran intervensi sangat besar untuk menguatkan kognitif PSK agar mau bertahan pada kognisi untuk menggunakan kondom.

Anda mungkin juga menyukai