Anda di halaman 1dari 32

LAPORAN INDIVIDU

PENGERTIAN PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA MENURUT PARA AHLI


PENDEKATAN EMIC DAN ETHIC DALAM PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
METODE PENELITIAN DALAM PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
MANFAAT MEMPELAJARI PSIKOLOGI LINTAS BUDAYA
ARTICLE

DOSEN : Drs. Melkian Naharia S.Psi, M.Pd

OLEH :

Nama : ESTER DELLA MARANDOF

NIM : 19101013/D/NO.URUT 09

UNIVERSITAS NEGERI MANADO FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI


PSIKOLOGI 2020
A. Uraian Pengertian Psikologi Lintas Budaya Menurut Para Ahli

1. M A T S U M O T O ( 2 0 0 4 )

Psikologi lintas budaya adalah cabang psikologi yang (terutama) menaruh


perhatian pada pengujian berbagai kemungkinan batas-batas pengetahuan
dengan mempelajari orang-orang dari berbagai budaya yang berbeda.

Dalam arti sempit, psikologi lintas budaya secara sederhana hanya berarti
melibatkan unsur latar belakang keragaman budaya yang berbeda dalam
memaknai hal psikologis.

Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas
apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku
bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific,
berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)

2. T R I A N D I S , M A L P A S S , & D A V I D S O N ( 1 9 7 2 )

Psikologi lintas budaya mencakup kajian suatu pokok persoalan yang


bersumber dari dua budaya atau lebih. Dengan menggunakan metode
pengukuran yang ekuivalen, untuk menentukan batas-batas yang dapat
menjadi pijakan teori psikologi umum dan jenis modifikasi teori yang psikologi
umum dan jenis modifikasi teori yang diperlukan agar menjadi universal.

3. B R I S L I N G , L O N N E R , & T H O R N D I K E ( 1 9 7 3 )

Psikologi lintas budaya ialah kajian empirik mengenai anggota berbagai


kelompok budaya yang telah memiliki perbedaan pengalaman, yang dapat
membawa kearah perbedaan perilaku yang dapat diramalkan dan signifikan.
Dalam sebagian besar kajian, kelompok-kelompok yang dikaji biasa berbicara
dengan bahasa berbeda dan dibawah pemerintahan unit-unit politik yang
berbeda.

4. SEGALL, DASEN DAN POORTINGA (1990)

Psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan
penyebarannya; sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk; dan
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.

Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman
perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks
budaya, tempat perilaku terjadi

5. T R I A N D I S ( 1 9 8 0 )
Psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku
dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang
berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-
perubahan dalam budaya yang bersangkutan.

Jadi dari pengertian psikologi lintas budaya menurut para ahli di atas saya
dapat menyimpulkan bahwa psikologi lintas budaya merupakan kajian-kajian
perilaku manusia dalam mengatur, memengaruhi, mengubah rupa (bentuk,
sifat, fungsi, dan sebagainya) fenomena kejiwaan dan perilaku manusia
dalam persamaan dan perbedaan berbagai budaya.

B. Pendekatan Emic dan Ethic dalam Psikologi Lintas Budaya

Ethic dan Emic sebenarnya merupakan istilah antropologi yang dikembangkan


oleh pike (1967), dalam Segall, 1990), istilah – istilah ini berasal dari kajian
antropologi bahasa, yaitu Phonemix atau studi yang mempelajari bunyi –
bunyian yang digunakan atau ditemukan pada semua bahasa atau universal
pada semua budaya. Selanjutnya Pike menggunakan istilah Emic dan Ethic
untuk menjelaskan dua sudut pandang (point of view) dalam mempelajari
perilaku dalam kajian budaya. Ethic sebagai titik pandang dalam mempelajari
budaya dari luar system budaya tersebut, dan merupakan pendekatan awal
dalam mempelajari suatu system budaya tersebut, dan merupakan
pendekatan awal dalam mempelajari suatu sistem  yang asing. Sedangkan
Emic sebagai titik pandang merupakan studi perilaku dan dalam system
budaya tersebut (Segall, 1990).

Psikologi lintas budaya diartikan  kajian mengenai persamaan dan perbedaan


dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok
etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubahan psikologis dan sosio-
budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan
yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut.

Untuk mempelajari manusia dan budaya dalam prinsip- prinsip psikologi lintas
budaya, terdapat dua pendekatan dasar dalam mempelajarinya, yaitu :

1. Pendekatan emic dalam Psikologi Lintas Budaya

Pendekatan emic memfokuskan pada pengkajian budaya dari dalam, pada


pemahaman budaya ketika anggota-anggota dari budaya memahami
kebudayaan mereka. Emik mengacu pada temuan-temuan yang tampak ber-
beda untuk budaya yang berbeda. Emik mengacu pada kebenaran yang
bersifat khas-budaya (culture-specific).

Emic secara sederhana adalah pendekatan yang mengacu pada pandangan


warga masyarakat yang dikaji. Emik (native point of view) misalnya, mencoba
menjelaskan suatu fenomena dalam masyarakat dengan sudut pandang
masyarakat itu sendiri.

2. Pendekatan ethic dalam Psikologi Lintas Budaya

Pendekatan ethic memfokuskan pada memahami budaya dari luar dengan


membandingkan budaya-budaya yang menggunakan karakteristik yang telah
ditetapkan sebelumnya. Ethic mengacu pada kebenaran atau prinsip
yang universal.

Pendekatan ethic secara sederhana adalah pendekatan yang mengacu pada


pandangan si pengamat. Ethic merupakan penggunaan sudut pandang orang
luar yang berjarak (dalam hal ini siapa yang mengamati) untuk menjelaskan
suatu fenomena dalam masyarakat.

3. Emic dan Ethic dalam Psikologi Lintas Budaya

Secara umum, sebagian besar ahli psikologi lintas-budaya sepakat bahwa


orang dari budaya yang berbeda menunjukkan cara yang berbeda-beda
dalam kebanyakan aspek perilaku manusia. Setiap budaya berevolusi dengan
cara khasnya masing-masing dalam berperilaku dengan gaya yang paling
efisien untuk bertahan hidup.

Cara-cara ini akan berbeda tergantung pada sumber daya yang dimiliki dalam
masyarakat tersebut, seperti bentang alam, kepadatan penduduk,
ketersediaan makanan dan sumber- sumber lain, dst. Menghadapi kebutuhan
yang berbeda dalam lingkungannya, setiap kebudayaan akan me-
ngembangkan perbedaan-perbedaan yang kemudian berdampak pada
perilaku orang-orang dalam kebudayaan tersebut. Pendekatan emik dalam
hal ini menjadi sesuatu yang lebih obyektif, karena perilaku kebudayaan 
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri.
Kajian dapat berupa definisi dan cara menganalisis proses kognitif
masyarakat yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu
sendiri, bukan pandangan peneliti.

Namun demikian, individu memiliki kecenderungan untuk melihat berdasarkan


latar belakang budayanya sendiri, sehingga berdampak pada pandangan
yang lebih sempit terhadap  perilaku dalam budaya-budaya lain. Maka dari itu,
diperlukan kajian lintas budaya untuk dapat memahami dan menafsirkan
perilaku dari latar belakang budaya yang lain.

Psikologi lintas budaya menjadi studi yang kritis dan komparatif atas efek
kultural pada manusia. Psikologi lintas budaya menarik pandangannya dari
dua contoh atau lebih yang merepresentasikan dua kelompok kelompok
budaya. Sebagai contoh, jika kita ingin mengetahui faktor-faktor psikologis
yang mempengaruhi pola pengasuhan ayah pada suatu kelompok budaya,
dan atau membandingkannya dengan keadaan lain yang sama namun
dialami oleh kelompok budaya yang berbeda, maka pemikiran tersebut
termasuk dalam pemikiran ilmiah kajian psikologi lintas budaya. Emic atau
ethic menjadi sudut pandang (point of view) yang digunakan untuk
mendapatkan, analisa hingga interpretasi atas data-data yang diperoleh.

C. Metode Penelitian Dalam Psikologi Lintas Budaya

Metode penelitian dalam lintas budaya memiliki beberapa tujuan, yaitu:

1. Mendeskripsikan fenomena
2. Memberikan penjelasan atas deskripsi fenomena yang dihasilkan
dengan menginterpretasikan data.
3. Prediksi ke depan atas data-data yang dimiliki peneliti hingga muncul
saran.

Dari beragam metode penelitian dalam psikologi lintas budaya baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, berikut adalah metode penelitian dalam psikologi
lintas budaya yang paling lazim digunakan :

1. Etnografi

Etnografi adalah penelitian yang dilakukan untuk mendeskripsikan


kebudayaan sebagaimana adanya. Model ini berupaya mempelajari
peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek
sebagai obyek studi. Studi ini terkait dengan bagaimana subyek
berpikir, hidup, dan berperilaku.

Penelitian etnografi merupakan kegiatan pengumpulan data yang


dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai
aktivitas sosial, peristiwa dan kejadian unik dan berbagai benda
kebudayaan dari suatu masyarakat.

Ciri-ciri lainnya dari penelitian etnografi adalah:

1. Sumber data bersifat ilmiah, artinya peneliti harus memahami gejala


empirik (kenyataan) dalam kehidupan sehari-hari;
2. Peneliti sendiri merupakan instrumen yang paling penting dalam
pengumpulan data;
3. Bersifat deskriptif, artinya, mencatat secara teliti fenomena budaya
yang dilihat, dibaca, lewat apa pun termasuk dokumen resmi,
kemudian mengkombinasikan, mengabstrakkan, dan menarik
kesimpulan;
4. Digunakan untuk memahami bentuk-bentuk tertentu (shaping), atau
studi kasus;
5. Di lapangan, peneliti harus berperilaku seperti masyarakat yang
ditelitinya;
6. Kebenaran data harus dicek dengan dengan data lain (data lisan dicek
dengan data tulis);
7. Orang yang dijadikan subyek penelitian disebut partisipan, konsultan,
serta teman sejawat
8. Titik berat perhatian harus pada pandangan emik, artinya, peneliti
harus menaruh perhatian pada masalah penting yang diteliti dari orang
yang diteliti, dan bukan dari etik.

Etnografi memberi perhatian pada hakikat kebudayaan sebagai pengetahuan


yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasikan
pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. Etnografi mengungkap
seluruh tingkah laku sosial budaya melalui deskripsi yang holistik.

2. Kajian Folklore

Folklor adalah salah satu bentuk tradisi rakyat dalam kolektif


kebudayaan. Dalam kaitannya dengan budaya, folklor memiliki
beragam bentuk, misalnya, folklor terdiri dari budaya material,
organisasi politik, kepercayaan rakyat, ilmu rakyat, puisi rakyat, adat,
takhayul, teka-teki, mitos, magi, ilmu gaib dan sebagainya.

Tahap-tahap penelitian folklor, yaitu: pengumpulan data,


pengklasifikasian, dan penganalisisan. Topik penelitian yang sangat
erat dengan tradisi, maka hubungan antara peneliti dan subjek
penelitian sangat penting untuk menentukan keberhasilan penelitian.
Jika hubungan terkesan kaku dan kurang terbuka, berarti ada tanda-
tanda bahwa penelitian kurang berhasil.

3. Etnometodolog

Etnometodologi merupakan cara pandang kajian sosial budaya


masyarakat sebagaimana adanya yang mengungkap budaya dalam
konteks interaksi sosial. Dasar filosofi metode penelitian ini adalah
fenomenologi, yang memandang “pengertian dan penjelasan dari suatu
realitas harus dibuahkan dari gejala realitas  itu sendiri”.

Etnometodologi menitikberatkan bagaimana pendukung budaya


memandang, menjelaskan, dan menggambarkan tata hidup mereka
sendiri. Penelitian diarahkan untuk mengungkap bagaimana
seorang individu maupun kelompok memahami kehidupannya. Subjek
penelitian tak harus masyarakat terasing, melainkan masyarakat yang
ada di sekitar kita. Etnometodologi termasuk kajian yang berlandaskan
pada postpositivistik. Paradigma yang dibangun oleh paham ini senada
dengan etnosains yang berusaha mendeskripsikan budaya, tradisi,
keyakinan, masyarakat itu sendiri. Kesadaran pemilik budaya tentang
miliknya menjadi pangkal tolak etnosains.

4. Etnosains

Etnosains dalam konteks kajian lintas budaya merupakan ilmu yang


mempelajari atau mengkaji sistem pengetahuan dan tipe-tipe kognitif
budaya tertentu.

Penelitian etnosains terhadap fenomena budaya berpusat pada pemilik


budaya. Dengan demikian, budaya tidak lagi dipandang dari aspek
peneliti, melainkan berlandaskan pengalaman empiris pemilik. Budaya
diangkat berdasarkan pendapat dari pemilik budaya, tanpa campur
tangan peneliti yang berarti. Pengumpulan data dalam etnisains tidak
berbeda dengan penelitian etnografi, yaitu dengan menggunakan
pengamatan dan wawancara. Setelah data terkumpul,
pengklasifikasian atau kategorisasi dapat dilakukan oleh peneliti.
Kategorisasi tersebut sebaiknya ditunjukkan kepada informan, dan
kalau mungkin informan boleh ikut mengklasifikasikan sendiri. Justru
klasifikasi informan ini yang lebih asli, dibanding peneliti.

5. Interaksionisme Simbolik

Interaksionisme Simbolik adalah salah satu model penelitian budaya


yang berusaha mengungkap realitas perilaku manusia. Perspektif
interaksi simbolik berusaha memahami budaya lewat perilaku manusia
yang terpantul dalam komunikasi. Interaksi simbolik lebih menekankan
pada makna interaksi budaya melalui komunikasi budaya antar warga
setempat. Pada saat berkomunikasi manusia banyak menampilkan
simbol yang bermakna, dan tugas peneliti adalah menemukan makna
tersebut.

Peneliti berusaha merekonstruksi realitas budaya yang terjadi melalui


interaksi antar anggota komunitas. Pada saat interaksi itu terjadi,
peneliti bisa melakukan umpan balik berupa pertanyaan-pertanyaan
yang saling menunjang. Melalui interaksi seseorang dengan orang lain,
akan terbentuk pengertian yang utuh.

6. Grounded Theory

Grounded theory termasuk ragam atau model penelitian dasar yang


ingin mencari rumusan teori budaya berdasarkan data empirik. Dasar
pemikiran model ini adalah simpulan secara induktif yang digunakan
untuk sebuah teori. Dalam kaitannya dengan budaya, grounded theory
merumuskan teori-teori baru tentang budaya atas dasar data berbentuk
kenyataan, teori tersebut akan lebih mengakar pada budaya yang
bersangkutan, karena lahir dari kebudayaan tersebut.

Penelitian budaya melalui grounded theory menghimpun data untuk


menciptakan teori. Jika ada hipotesis, bukan seperti hipotesis
positivisme rasionalistik yang menghendaki pembuktian, melainkan
lebih mengembangkan hipotesis. Makna boleh berubah dan
berkembang berdasarkan data di lapangan. Dengan demikian, akan
ditemukan teori yang hakiki, sejalan dengan perkembangan budaya,
dan sesuai dengan kondisi setempat.

Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari
simpulan deduktif logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang
secara progresif menjadi besar. Grounded theory bertujuan untuk
menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau
mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data.
Karena itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada
kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-
ciri utama. Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data
lapangan.

D. Manfaat Mempelajari Psikologi Lintas Budaya

Manfaatnya adalah kita dapat mengetahui persamaan dan perbedaan budaya


lain dalam berperilaku yang sangat beragam dan untuk mengindentifikasi
dampak budaya lain terhadap perilaku kita, pendidikan, kehidupan dalam
keluarga, pengalaman sosial dan lainnya.

E. Article

Cross-Cultural Psychology as a Scholarly Discipline :


On the Flowering of Culture in Behavioral Research
Marshall H. Segall Walter
J. Lonner John W.
Berry Syracuse
University Western Washington University Queens University

A history of cross-cultural psychology shows it to be an increasingly important part of


modern psychology. Despite widespread agreement that culture is an indispensable
component in the understanding of human behavior, there are noteworthy
conceptual differences regarding the ways in which culture and behavior interrelate.
Perspectives include absolutism and relativism, each with methodological
consequences for such contemporary research concerns as values (including
individualism-collectivism), gender differences, cognition, aggression, intergroup
relations, and psychological acculturation. Societal concerns relating to these topics
are briefly described. When all of psychology finally takes into account the effects of
culture on human behavior (and vice versa), terms like cross-cultural and cultural
psychology will become unnecessary.

Can it still be necessary, as we approach the millennium (as measured on the


Western, Christian calendar), to advocate that all social scientists, psychologists
especially, take culture seriously into account when attempting to understand human
behavior? This has been a self-evident proposition to all whose work has long been
identified with cross-cultural psychology (e.g., Berry et al., 1997) and its many
constituent parts--"cultural psychology" (Shweder & Sullivan, 1993),
"ethnopsychology" (Diaz-Guerrero, 1975), "societal psychology" (Berry, 1983), and
"lapsychologie interculturelle" (Camilleri & Vinsonneau, 1996)--as well as its closest
related disciplines--"psychological anthropology" (Bock, 1994; Hsu, 1972; LeVine,
1973, 1982), and "comparative anthropology" (Ember & Ember, 1988; Munroe &
Munroe, 1997; Whiting & Child, 1953). It was long ago asserted, as if it were a dictum,
namely, "human behavior is meaningful only when viewed in the sociocultural
context in which it occurs" (e.g., Segall, 1979, p. 3, emphasis added)! The present
article, directed especially to the readers of the American Psychologist, has several
precursers. In this journal, there have been several articles calling for more attention
to culture by psychological researchers (e.g., Betancourt & Lopez, 1993; Cole, 1984;
Fowers & Richardson, 1996; Gergen, Gulerce, Lock, & Misra, 1996; Greenfield, 1997b;
Phinney, 1996; Triandis & Brislin, 1984).

Nevertheless, psychology in general has long ignored "culture" as a source of


influence on human behavior and still takes little account of theories or data from
other than Euro-American cultures. It is not easy to understand why psychology has
been so reluctant to recognize culture. Perhaps the answer lies in an observation
(attributed to Marshall McLuhan): "It's a cinch [that] fish didn't discover water." Just
as clearly, psychologists didn't discover culture. Any context for human behavior that
is so all-encompassing as culture is for the developing individual is likely to be
ignored, or if noticed, to be taken for granted. And just as quickly as the fish out of
water discovers its importance, so too has psychology recently had to contend with
culture as an important foundation for the discipline. As national societies become
increasingly diverse and international contacts become common, psychologists can
no longer assume an acultural or a unicultural stance. An inventory done several
years ago of the contents of undergraduate textbooks in psychology revealed that
culture in relation to behavior had been nearly always absent, or, at best, either
perfunctory or an afterthought (Lonner, 1990). However, we can applaud several
introductory psychology texts that, during the past few years have made solid
attempts to rectify the situation (e.g., Sternberg, 1995; Wade & Tavris, 1996; Westen,
1996). Despite these efforts, there is still
widespread neglect. Perhaps this neglect reflects
some misunderstanding of

Marshall H. Segall
what the many varieties of cross-cultural psychologists do, what kinds of research are
carried out, what the implications of the field's research findings might be, and how
the field has evolved from its beginnings some four decades ago. To clarify these
matters is the intent of this paper.
The developers of modern cross-cultural psychology (see below for a brief
history) meant it to be unabashedly multicultural and maximally inclusive (see Berry
& Dasen, 1974), although it has often fallen short of these ideals. Berry and Dasen
discussed three complementary goals that were proposed for the emerging field: to
transport and test our current psychological knowledge and perspectives by using
them in other cultures; to explore and discover new aspects of the phenomenon
being studied in local cultural terms; and to integrate what has been learned from
these first two approaches in order to generate more nearly universal psychology,
one that has pan-human validity The existence of universals in other disciplines (for
example, biology, linguistics, sociology, and anthropology) provided some basis for
the assumption that we would be able to work our way through to this third goal with
some success.
Along the way, questions have been raised regarding the best name for the
enterprise. For instance, Lonner (1992) expressed concern that "cross-cultural
psychology" might appear too limited or restricted, because of its unfortunate
historical association with two-culture contrasts--the kind of research sorties that
lead to uninterpretable data, as Campbell (1961) pointed out. Also, to some
observers, this name may call to mind an overly intense focus on quantitative,
reductionist methods and a shunning of more innovative, qualitative techniques.
Over the years, the debate was quiet, bubbling up only in the 1990s (e.g., Dasen,
1993; Davidson, 1994; Diaz-Guer rero, 1993; Malpass, 1993; Poortinga & van de
Vijver, 1994; Segall, 1993), but a better name for the enterprise than "cross-cultural
psychology" never emerged. Our position on the name issue is that what cross-
cultural psychology is called is not nearly as important as what it does--to ensure that
the broadest range of psychological topics be explored within the broadest possible
spectrum of ethnicity and culture and by diverse methodologies.
Cross-cultural psychology, defined broadly as we do here, comprises many ways
of studying culture as an important context for human psychological development
and behavior. Articulate spokespersons for cultural psychology (e.g., Boesch, 1991;
Cole, 1996; Shweder & Sullivan, 1993) offer one approach for focusing on culture as
integral to all psychological functioning, with culture and psychology viewed as
"mutually constitutive phenomena" (Miller, 1997, p. 88). Cross-cultural psychology
consists mostly of diverse forms of comparative research (often explicitly and always
at least implicitly) in order to discern the influence of various cultural factors, many of
them related to ethnicity, on those forms of development and behavior.
In this comparative mode, culture is treated as comprising a set of independent
or contextual variables affecting various aspects of individual behavior (Lonner &
Adamopoulos, 1997; Segall, 1984). Cross-cultural research typically seeks evidence of
such effects.
Aware of the famous early definition of culture by the anthropologist Herskovits,
who stated, "Culture is the man-made part of the environment" (Herskovits, 1948, p.
17), cross-cultural researchers occasionally seek as well the influence of individuals'
behavior on ever-changing culture. When doing so, the independent and dependent
variables are interchanged, and their distinction becomes blurred. But more often
than not, the search is for culture's effect on behavior.
That such a comparative research enterprise, albeit clearly feasible, is difficult has
been confronted constructively from the start, by some of psychology's most
respected methodologists (e.g., Campbell, 1964). We have consistently argued that
all psychologists necessarily carry their own culturally based perspectives with them
when studying in other cultures; as restated recently, "these perspectives were initial
sources of bias (usually Euro-American), to be confronted and reduced as work
progressed in the other culture(s)" (Berry, in press).
The modern era of cross-cultural psychology began shortly after the end of World
War II. Its rapid expansion may be attributed to a shared motivation to understand
the attendant horrors of the war and to expand the intellectual horizons of
psychology beyond parochial, nationalistic boundaries. With the increased salience of
international perspectives accompanying the cold war, the study of human behavior
in cultural context evolved particularly rapidly. The half decade 1966-1970 saw the
start of the quarterly Cross-Cultural Psychology Bulletin (originally called the Cross-
Cultural Social Psychology Newsletter, published aperiodically) and the International
Journal of Psychology, as well as an initial Directory of Cross.

Walter J. Lonner
Cultural Psychological Research (Berry, 1968). These
years were marked also by the publication of a
multisocietal study of cultural influences on visual
perception (Segall, Campbell, & Herskovits, 1966), a
paperback volume entitled Cross-Cultural Studies
(Price-Williams, 1969), and the inauguration of the
Journal of CrossCultural Psychology in 1970. By the
1980s, enough research had been done to justify two
major handbooks, one in cross-cultural psychology
generally (Triandis et al., 1980) and the other in human
development (Munroe, Munroe, & Whiting, 1981).
Albeit vigorous, the discipline was marked by some
conceptual and methodological weaknesses. In the
early days, there was, far too often, a naive application of EuroAmerican theoretical
notions and, worse, instruments designed, produced, and validated in Euro-American
settings to research conducted in other settings. This approach, dubbed "imposed
etic" (Berry, 1969) most often yielded uninterpretable "cross-cultural" differences.
Recently, it was once again criticized (Greenfield, 1997b) appropriately, if belatedly.
On the other hand, when it could be demonstrated that the instrument, although
produced in one setting, was nonetheless applicable in many other settings,
differences obtained with that instrument could be taken as reflecting some cultural
variables. When, in addition, those differences were predicted on the basis of a
theory (as in the case of Brunswikian theory of phenomenal absolutism predicting
cultural differences in optical illusion susceptibility), empirical findings became highly
interpretable, if not immune from plausible alternative interpretations (e.g., Segall,
Campbell, & Herskovits, 1966).
Following the linguist Pike (1967), many cross-cultural psychologists used the
terms etic and emic to refer, respectively, to (a) comparative, across-cultures studies,
and to (b) careful, internal exploration of psychological phenomena in local cultural
terms. When such emic research succeeded, it would be expected to provide
indigenous, culturally based meanings that were most probably missed when making
the initial imposed etic approach to psychological phenomena in various cultures.
Consequently, one could emerge with what has been termed a "derived etic" (Berry,
1969), which is clearly to be preferred over an "imposed etic."
If extensive use of emic approaches in a number of cultures produced
instruments that satisfy the derived etic criteria, then comparative examination with
such an instrument of behavior in various cultures could yield either differences or
similarities in psychological functioning. If obtained behavioral differences were
superficial, but nonetheless, reflective of underlying shared psychological
phenomena, even these could support notions of psychological universals. For
example, the Segall, Campbell, and Herskovits study (1966) obtained cross-cultural
differences in illusion susceptibility, but these differences reflected a universally
shared process of active interpretation of ambiguous stimuli by perceivers in all the
cultures sampled in ways that were always "ecologically valid" (Brunswik & Kamiya,
1953).
In the extreme, and probably late in the game, even a universal psychology might
emerge, but we argue that universality can never be assumed in advance. Berry,
Poortinga, Segall, & Dasen (1992) posed three theoretical orientations in cross-
cultural psychology, which they called "absolutism," "relativism," and "universalism."
The absolutist position is one that assumes that human phenomena are basically the
same (qualitatively) in all cultures: honesty is honesty, and depression is depression,
no matter where one observes it. From the absolutist perspective, culture is thought
to play little or no role in either the meaning or display of human characteristics.
Assessments of such characteristics are likely to be made using standard instruments
(perhaps with linguistic translation), and interpretations are made facilely, but most
likely erroneously, without alternative culturally based views taken into account. This
orientation resembles, of course, the imposed etic approach that was characteristic
of some early cross-cultural work. Cross-cultural psychology is still stereotyped and
unfairly criticized for having used this research mode in its earlier incarnations. It is
true, however, that although a priori absolutism is deplored, a universally applicable
psychological theory remains a tantalizing and presumably attainable goal for many
cross-cultural psychologists. They seek it in a more sophisticated manner than they
used to.
Cultural relativism, a term advanced by the anthropologist Boas (1911) and
expanded and disseminated by Herskovits (1948), was initially meant primarily to
warn against invalid cross-cultural comparisons, flavored by ethnocentric value
judgments. Berry et al. (1992) appropriated the word relativism to designate the
opposite of absolutism. Thus, for relativists, in this sense, there is typically little or no
interest in intergroup similarities, a stark contrast with absolutists, who assume there
to
John W. Berry
be species-wide basic processes that produce many
similarities.
Absolutists would be prone to attempt context-
free measurements, using standard psychological
instruments, frequently making evaluative
comparisons, and, as a consequence, open themselves
up to the error of using "imposed etics" when working
in societies other than their own. In contrast,
relativists would lean toward strictly emic research,
considering context-free concepts and their
measurement to be impossible. They would try to
avoid all comparisons, which, if made at all, would be as nonevaluative as possible.
Few scholars are found at either pole. However, for some years, one could find
many European and American experimental psychologists who stubbornly denied
that cultural factors affected psychological processes, and they proceeded to
accumulate culture-bound findings that they believed to be universally valid for all of
humankind. In parallel, some adherents of the cultural psychology movement (e.g.,
Shweder & Sullivan, 1993) sometimes place themselves quite close to the relativist
pole, emphasizing that psychological processes and structures vary in such
fundamental ways in different cultural contexts that they are beyond comparison, or
nearly so. Although this orientation resembles the one currently espoused by
"cultural" psychologists, many do make comparisons (see Miller, 1997).
Where are most cross-cultural psychologists on these dimensions defined in the
extremes by absolutism and relativism? The answer is somewhere in between, where
they strike a balance, revealing an orientation that borrows from both of the poles.
Cross-cultural psychologists typically expect both biological and cultural factors to
influence human behavior, but, like relativists, assume that the role of culture in
producing human variation both within and across groups (especially across groups) is
substantial. For example, Poortinga, van de Vijver, Joe, and Van de Koppel (1987)
examined cultural variables very carefully (a process they call "peeling the onion") in
order to reveal the "psychic unity of mankind" at the core of culture. Of course, the
outer layers of the "onion" are important cultural phenomena in their own right.
So, many cross-cultural psychologists allow for similarities due to species-wide
basic processes but consider their existence subject to empirical demonstration. This
kind of universalism assumes that basic human characteristics are common to all
members of the species (i.e., constituting a set of psychological givens) and that
culture influences the development and display of them (i.e., culture plays different
variations on these underlying themes, called "variform universals" by Lonner, 1980).
Assessments are based on the presumed underlying process, but measures are
developed in culturally meaningful versions. Comparisons are made cautiously, using
a wide variety of methodological principles and safeguards, whereas interpretations
of similarities and differences are attempted that take alternative culturally based
meanings into account (see van de Vijver & Leung, 1997a, 1997b). This orientation
resembles the derived etic approach. It is characteristic of much of contemporary
cross-cultural psychology and is also advocated by some cultural psychologists (e.g.
Greenfield, 1997a). It thus serves as a communal basis for convergence of the various
approaches to cross-cultural psychology (see Lonner & Adamopoulos, 1997, and
Poortinga, 1997).

What Is Culture and Where Is It Found?


Earlier conceptions of culture included the views that (a) culture was "out there"
to be studied, observed, and described; (b) culture was a shared way of life of a group
of socially interacting people, and (c) culture was transmitted from generation to
generation by the processes of enculturation and socialization. In recent years, along
with the emergence of more cognitive approaches in many branches of psychology,
individuals have come to be viewed in cross-cultural psychology not as mere pawns
or victims of their cultures but as cognizers, appraisers, and interpreters of them. In
contrast, from a "social construction" perspective (Misra & Gergen, 1993), culture is
not a given but is created daily through interactions between individuals and their
surroundings. Culturalpsychology, which has been defined as "a designation for the
comparative study of the way culture and psyche make up each other" (Shweder &
Sullivan, 1993, p. 498), emphasizes this constructive characteristic of culture and
places culture not outside individuals, where it influences their behavior, but "as an
intersubjective reality through which worlds are known, created, and experienced"
(Miller, 1997, p. 103).
A perspective in which culture and the self are seen as interdependent (Miller,
1997, pp. 88-89) has been a part of cross-cultural psychology for some time. There
are numerous examples of interactions between context and person (e.g., feedback
relationships in the ecocultural framework; see Berry et al., 1992), and this
perspective was explicit in Herskovits's (1948) definition of culture, so it is certainly
not exclusive to those calling themselves "cultural" psychologists (Segall, 1993).
Definitions of culture abound (see Munroe & Munroe, 1997, p. 173, for a succinct
discussion), but the most meaningful way to grasp the concept of culture as it exists
in the field of cross-cultural psychology is to consider how it is conceptualized in the
research, in short, to glean its operational definition.
As noted by Munroe and Munroe (1997), most cross-cultural psychologists,
whose ultimate concern is with individual behavior, use the concept of culture either
to identify contexts or to designate a set of antecedent variables.
Definitions of culture abound (see Munroe & Munroe, 1997, p. 173, for a succinct
discussion), but the most meaningful way to grasp the concept of culture as it exists
in the field of cross-cultural psychology is to consider how it is conceptualized in the
research, in short, to glean its operational definition. As noted by Munroe and
Munroe (1997), most cross-cultural psychologists, whose ultimate concern is with
individual behavior, use the concept of culture either to identify contexts or to
designate a set of antecedent variables.
To cite only one example, in recent years, many researchers have shown interest
in the notion of individualism-collectivism as a cultural characteristic and have
predicted behavioral differences across national samples that are presumed to lie at
various places along the individualism-collectivism dimension (see Kagitqibasi, 1997,
for a thorough review of this research).
In all of this research there is either a search for differences across groups or for
similarities, or, as is increasingly the case, for both. Jahoda and Krewer (1997, p. 4)
confirmed that all cross-cultural psychologists, regardless of perspective (toward
absolutist or tending to relativist) must cope with, in order to understand human
behavior in different cultures "the diversity of human behavior in the world and the
link between individual behavior and the cultural context in which it occurs" (Berry et
al., 1992, p. 1).

What Kinds of Research Are Carried Out?


Most studies in the field involve data collection from at least two cultural groups, but,
as noted by Van de Vijver and Leung (1997b, p. 259), some studies are monocultural,
with comparisons made, at least implicitly, with data collected previously, usually by
other researchers and often in one researcher's own society. It is generally agreed
that a minimum of three cultures should be involved if meaningful comparisons are
to be made, for, as Campbell (1961) noted, all studies that consist solely of single-pair
comparisons are uninterpretable. By implication, of course, monocultural studies--if
not accompanied by an examination of appropriately comparative data from at least
one other culture--are also uninterpretable. This fact has inspired the notion of the
"unconfounding function of cross-cultural research" (Campbell, 1961; Segall, 1979;
Segall, Dasen, Berry, & Poortinga, 1990) in recognition of the fact that potentially
important variables (e.g., the father's roles as mother's lover and as boy's
disciplinarian in middle-class Viennese society) are separable only by going
elsewhere. By so doing, Bronislaw Malinowski found the former role attached to
fathers and the latter to maternal uncles in the Trobriand Islands (where he found
that all the ambivalence was attached to the uncles). And this, of course, is why cross-
cultural research is essential! Without it, whole generations of psychologists might
have continued to believe that the Oedipus Complex, revealed by intergenerational
sexual jealousy, as depicted by Freud, is a psychological reality, rather than an
unfortunate guess by a clever clinician, rooted in his own time and place.

The Implications of Cross-Cultural Psycho|ogy's Research Findings


First (and probably foremost), our findings are meant to contribute to the
understanding of human behavior. In this respect, cross-cultural psychology is, in its
intent, as "pure" as general psychology in its incarnation as a "science of human
behavior." (And because cross-cultural psychology studies behaviors always in
cultural context, it even provides correctives to culture-bound interpretations of data
previously collected in a single society, where the potentially relevant variables were
inextricably confounded.)
Because cross-cultural psychology is descended from modern, scientific, general
psychology, it is part of an intellectual tradition, rooted in Europe but developed
mainly in America, that was a reaction to an earlier European tradition of political and
social philosophy. Rejecting this as "soft," the late 19th century founders of
psychology followed the Wundtian laboratory tradition and adopted the controlled
experiment as the sine qua non of scientific research.
But, as Jahoda and Krewer (1997, p. 14) recently reminded us, the same Wundt
published 10 volumes on Volkerpsychologie and commented, "only the individual
psychology and Volkerpsychologie together constitute the whole of psychology"
(Wundt, 1908, p. 228). And so, with one foot planted in the laboratory, the early
crosscultural psychologists, like Rivers, put the other foot forward and undertook
data-gathering expeditions.
Beyond its historical links with general psychology, cross-cultural psychology has
diverse influences, including some that originate in such social-science disciplines as
anthropology, sociology, history, and political science among others. For the most
part nonlaboratory disciplines, these disciplines have long labored in the field, out
there among real people in real places and at real times. Willing to settle for truth in
context, both historical and cultural context, cross-cultural psychologists take the
world as it is and the people in it as they are--or, at least, as they perceive them to be.
What is lost in scientific control of the subject matter is, we believe, more than made
up by the enhanced validity, especially the ecological validity, of our findings. In the
process, we endeavor to give all human beings the respect and understanding they
deserve.
Cross-cultural psychology is also an inherently international discipline. Its
practitioners include many whose origins and present home bases are beyond the
European American world. Even though their training has likely exposed them to
Western scientism, their everyday surroundings cry out for their work to be useful.
For psychologists trained in the West, but who work in third-world settings, the
imperative to do something useful 3 is also very much there. Even when we do
"scientific research" in such settings, we feel a strong, compelling urge to give
something back to people who have allowed us to study them.
Furthermore, because we often do our research in settings where human
problems are so dramatically visible-in countries where poverty, disease, and
suffering of many kinds are daily realities--and because we have seen other places
where the world is a better place, we know that the best of all possible worlds is a
goal not yet attained, but well worth pursuing.
Even when we work in technologically developed nations--because most of them
enjoy considerable cultural diversity--we are often confronted by an uneven
distribution across ethnic groups of well-being on the one hand and various kinds of
distress on the other, and we sense an ethical imperative not to paper over these
inequities with dispassionate research reports. So our work lends itself not merely to
discussions of scholarly findings but to their social applications as well.
Among the topics the field has pursued, there are many that have yielded findings
with practical implications.
In the field of cognition, we have come to know, among other things, that there
are differences between identifiable groups in performance in many different
domains (e.g., Irvine and Berry, 1988; Poortinga, 1983), including in some classical
measures of "intellectual competence," such as IQ, and scholastic aptitude tests of
various kinds. But we also know well the inherent faults of such measures, and we
know the many other variables that correlate both with membership in the various
groups compared (e.g., income and wealth) and with performance, so we can support
in a compelling way policies that are designed to enhance the equality of opportunity
and oppose vigorously the use of test measures as selection devices into experiences
that prepare people for subsequent opportunities to improve their lot in life.
Implicit in cross-cultural studies of values (e.g., Smith and Schwartz, 1997;
Triandis, 1995) are guidelines for improvements in intergroup relations, the global
marketplace, and international diplomacy and negotiation. We know about many
ways in which peoples in different parts of the world, and peoples in the same part
but who have come from other parts, differ from each other in their approach to life.
One dimension among these that is currently receiving considerable research
attention is "individualism-collectivism" (Kagitqibasi, 1997; Triandis, 1995). The many
differences in conceptualizations of the world affect what people in various societies
think is fair, for example, or what they think matters a lot, a little, or not at all. These
kinds of differences necessarily affect how we relate to each other when those in the
relationship come armed with their own values, which are sometimes different from
those of the persons with whom they are interacting (Gudykunst & Bond, 1997). So
professors interacting with international students (Brislin & Horvath, 1997), clinicians
with clients (Beardsley & Pedersen, 1997; Tanaka-Matsumi & Draguns, 1997),
diplomats with their opposite numbers in negotiation sessions, and businessmen and
women operating in the global market place (see Hui & Luk, 1997) are all prone to
errors of judgment, interpretation, and self-presentation, errors that vary from the
trivial, through the humorous, to the disastrous. Not surprisingly, a whole field of
training has grown up around the issues in intercultural understanding, and in these
domains, an applied cross-cultural psychology clearly exists (Bhagat & Landis, 1996).
Cross-cultural research on gender (see Best & Williams, 1997) has also resulted in
applicable findings of considerable social import. The core finding in this domain is, of
course, the cultural embeddedness of genderrelated phenomena, from sex
differences in behavior, to relations between the sexes. An understanding of
traditional gender roles, which are both reflective of and supportive of traditional
patterns of relations between the sexes, as rooted in economic, religious, political,
and other cultural forces, should not support the continuation of any policies or
programs that permit discrimination against one of the sexes, including policies that
undergird unequal pay for equal work, or differential access to certain kinds of
careers or to the training programs that lead to careers. Also, a form of behavior that
is so unforgivably common in many societies--spouse battering, rape, and male
bullying of females--might be reduced were we better able to articulate the
relationship of such behaviors to culturally based "common wisdom" concerning how
men ought to behave toward women. In this respect, the vicious cycle of beliefs in
superiority and inferiority, and the use of such beliefs to justify continuing
discriminatory practices, which in turn reinforce the beliefs and so on, round and
round, as if in perpetuity, might be broken were we to break the stranglehold of
outmoded beliefs about the basis of differences between the sexes.
An understanding of the involvement of gender role phenomena in the story of
crime and punishment in our societies (see the recent review by Segall, Ember, &
Ember, 1997) should inform our thinking on who commits crimes and why, and
therefore, what should be done to reduce the potential for criminal behavior. That
most crimes in most societies are committed by adolescent boys, and how this is
rooted in culture (and not only in biology) would lead to programs that focus on the
availability of role models, on family supports, and other preventative measures,
rather than on more and more punitive responses, which probably do nothing to
reduce crime, but instead much toward increasing it. How this same set of ideas from
cross-cultural psychology enables us to understand the ways that notions of
manhood, honor, and ethnic pride are involved in many contemporary wars may well
be one of the most important potential contributions of cross-cultural psychology.
As noted earlier, cross-cultural psychology is concerned with the influence of
cultural diversity wherever it is found. Historically, much of the research was carried
out internationally, "in the field," by doing "fieldwork" with "other" cultures. More
recently, there has been a substantial increase in concern with cultural diversity
within culturally diverse societies (Berry & Annis, 1988). This new emphasis (variously
termed "ethnic," or "acculturation" psychology) and "la psychologie interculturelle,"
mainly in the French language tradition (e.g., Clanet, 1990; Retschitzky, Bossel-Lagos,
& Dasen, 1989; Camilleri & MalewskaPeyre, 1997), has begun to treat cultural
communities living together in plural societies as "cultures" in their own right (rather
than as mere "minorities"). Examples are immigrants and refugees, indigenous
peoples and ethnocultural groups that continue to manifest distinct cultural features
years (even generations) after contact with more dominant cultural groups. As
intercultural contacts increase in all parts of the world, interest in this area of
psychology will almost certainly grow.
In part this interest has been stimulated by the fact that many cultural attributes
remain important to people and that they serve as important contexts for
psychological development even while they are in the process of changing during
acculturation. There are two important areas of study in this evolving field. In one,
there is a domestic parallel to the international work, looking at how culture,
ethnicity, and behavior influence each other. In the second, there is a concern for the
psychological difficulties (termed "acculturative stress" by Berry, Kim, Minde, & Mok,
1987) that may arise for individuals who carry out their lives in or between two
cultures. Together, these areas of study reveal a growing emphasis on psychological
change and mutual adaptation of persons and groups in multicultural settings (Berry,
1997; Berry & Sam, 1997).
Intergroup relations is arguably the single most important domain in which cross-
cultural psychology has important ideas, theories, and facts to contribute (see the
review by Gudykunst & Bond, 1997). Moreover, it is the most serious of all the
problems confronting humankind, as witness so-called Black-White 4 relations in the
United States, in South Africa, and elsewhere, and the 20th century record of
holocaust, genocide, interethnic warfare, and terrorism, a history that promises to
continue well into the 21 st century. Our primary contribution to efforts to deal with
this huge set of problems is a generalization, perhaps our highest order
generalization, namely the notion that culture is the primary shaper and molder of
everyone's behavior. Differences traditionally attributed to that seemingly very
concrete thing called "race," which by definition makes those differences seem
biologically determined and hence immutable, are now known to be cultural and
hence changeable by policies that take into account and attempt to eliminate
disadvantages suffered to date by various cultural groups--the very groups that we
traditionally have thought of as races, differentially blessed or damned by their
nature to be among the haves or among the have nots.
From the viewpoint of modern science, in particular population genetics, the
concept of race at the human level has absolutely no meaning; it is merely a social
construct (Cavalli-Sforza, Menozzi & Piazza, 1994; Gould, 1994, 1997; Langaney,
1988). Earlier in this century, physical anthropologists tried to categorize human
groups in terms of visible physical characteristics, such as skin color, height, hair, and
facial features. They came up with a taxonomy of usually three to five categories, 5
such as negroid, mongoloid and caucasoid, or black, brown, yellow, red, and white.
That these category labels constitute "races" is still a popular misconception and has
not disappeared entirely from school textbooks, dictionaries, and encyclopedias
(which lend the conception an air of reality).
An exhibition shown so far in natural science museums in Paris, Geneva, and
Syracuse, New York (Langaney, Van Blijenburgh, & Sanchez-Mazas, 1992) makes it
clear that human genetic diversity defies any simple classification. Because the
scientific evidence is clearly against any such classification, many cross-cultural
psychologists no longer use race except as a term that is explicitly defined as the
social construction that it in fact is. On the other hand, because the illusion of race is
so compelling and so widely held (in other words, because it is such an important
social construct), we have to deal with the fact that many people think it is real and
view the world as if it contained races. When one adds to the belief in race the two
further ideas that races are qualitatively different in terms of talent and capacity and
that they should be treated differently, then we have what has long been labeled
"racism". Here we are arguing that merely misusing the social construct of race as a
biological reality is itself racist and should be resisted as vigorously as one resists
"racial discrimination."

Summary and Future Directions


In this article, we have covered a lot of territory in relatively little space. Our main
point has been that "culture" and all that it implies with respect to human
development, thought, and behavior should be central, not peripheral, in
psychological theory and research. To keep culture peripheral, or, worse, to avoid it
altogether lest it challenge one's own view of reality is myopic and a disservice to
psychological inquiry.
Fortunately, over roughly the past 30 years, with a growth spurt that attracted
hundreds of enthusiastic scholars, there has ensued a small explosion of books,
journals, and scholarly organizations that take culture seriously.
Highly significant was the six-volume Handbook of Cross-Cultural Psychology
(Triandis et al., 1980), which recently led to the three-volume second edition (Berry et
al., 1997), both noted earlier. Together, these handbooks define the scope of the
cross-cultural effort in psychology, which is also reflected in the dozens of other
books in the field (e.g., Matsumoto, 1996; Smith & Bond, 1993), and those dating
from the early 1960s that were mentioned earlier in this article.
Among several scholarly and professional organizations, within and adjacent to
psychology, with an international or cross-cultural focus, the International Association
for Cross-Cultural Psychology (IACCP) remains at the center of the enterprise's growth
and development. Since its inaugural meeting in Hong Kong in 1972, IACCP has held
international congresses every two years, and a host of regional congresses nearly
every odd-numbered year, in nearly every part of the world. Recently, and in
celebration of its 25th anniversary, IACCP held its first ever international congress to
take place in the United States. The meeting took place from August 3 through 8 on
the campus of Western Washington University in Bellingham, Washington.
That Silver Jubilee Congress honored past accomplishments and also peered into
the future in an effort to determine how best cross-cultural psychology may continue
to expand its horizons and to contribute to the solution of increasingly global as well
as intercultural problems. Attended by approximately 500 psychologists from more
than 60 countries, as well as representatives from various indigenous groups, the
complex scientific program was exciting and wide-ranging and in several ways, a
landmark conference. APA President-Elect Richard M. Suinn was on the program, as
were past presidents of International Union of Psychological Sciences (IUPsyS),
International Association of Applied Psychology (IAAP), and other organizations. This
was a healthy sign for the continued growth of IACCE.
Cross-cultural psychology has grown from a whisper and a hope circa 1960 into a
large and thriving intellectual enterprise circa 2000. We close our examination of this
phenomenon with a paradox, namely, that crosscultural psychology will be shown to
have succeeded when it disappears. For, when the whole field of psychology
becomes truly international and genuinely intercultural-in other words, when it
becomes truly a science of human behavior-- cross-cultural psychology will have
achieved its aims and become redundant.

Terjemahan

Psikologi Lintas Budaya sebagai Disiplin Ilmiah: Tentang Berkembangnya Budaya


dalam Penelitian Perilaku
Marshall H. Segall Walter
J. Lonner John W.
Berry Syracuse
University Western Washington University Queens University

Sebuah sejarah psikologi lintas budaya menunjukkannya sebagai bagian yang semakin
penting dari psikologi modern. Meskipun ada kesepakatan yang tersebar luas bahwa
budaya merupakan komponen yang sangat diperlukan dalam memahami perilaku
manusia, ada perbedaan konseptual yang patut diperhatikan mengenai cara-cara di
mana budaya dan perilaku saling terkait. Perspektif mencakup absolutisme dan
relativisme, masing-masing dengan konsekuensi metodologis untuk masalah
penelitian kontemporer seperti nilai-nilai (termasuk individualisme-kolektivisme),
perbedaan gender, kognisi, agresi, hubungan antarkelompok, dan akulturasi
psikologis. Kekhawatiran sosial terkait dengan topik-topik ini dijelaskan secara
singkat. Ketika semua psikologi akhirnya memperhitungkan efek budaya pada
perilaku manusia (dan sebaliknya), istilah-istilah seperti psikologi lintas budaya dan
budaya akan menjadi tidak perlu.

Masih dapatkah, ketika kita mendekati milenium (yang diukur pada kalender Barat,
Kristen), untuk mengadvokasi bahwa semua ilmuwan sosial, terutama psikolog,
mempertimbangkan budaya secara serius ketika mencoba memahami perilaku
manusia? Ini telah menjadi proposisi jelas bagi semua yang karyanya telah lama
diidentifikasi dengan psikologi lintas budaya (misalnya, Berry et al., 1997) dan banyak
bagian penyusunnya - "psikologi budaya" (Shweder & Sullivan, 1993), "etnopsikologi"
(Diaz-Guerrero, 1975), "psikologi sosial" (Berry, 1983), dan "lapsychologie
interulturelle" (Camilleri & Vinsonneau, 1996) - serta disiplin ilmu terkait terdekat -
"antropologi psikologis" (Bock , 1994; Hsu, 1972; LeVine, 1973, 1982), dan
"antropologi komparatif" (Ember & Ember, 1988; Munroe & Munroe, 1997; Whiting
& Child, 1953). Sudah lama dinyatakan, seolah-olah itu adalah diktum, yaitu, "perilaku
manusia bermakna hanya jika dilihat dalam konteks sosiokultural di mana ia terjadi"
(mis., Segall, 1979, hal. 3, penekanan ditambahkan)! Artikel ini, diarahkan terutama
untuk para pembaca American Psychologist, memiliki beberapa perintis. Dalam jurnal
ini, ada beberapa artikel yang menyerukan perhatian lebih pada budaya oleh para
peneliti psikologis (misalnya, Betancourt & Lopez, 1993; Cole, 1984; Fowers &
Richardson, 1996; Gergen, Gulerce, Lock, & Misra, 1996; Greenfield, 1997b; Phinney,
1996; Triandis & Brislin, 1984).
Namun demikian, psikologi pada umumnya telah lama mengabaikan "budaya"
sebagai sumber pengaruh pada perilaku manusia dan masih sedikit
memperhitungkan teori atau data dari selain budaya Eropa-Amerika. Tidak mudah
untuk memahami mengapa psikologi begitu enggan mengenali budaya. Mungkin
jawabannya terletak pada pengamatan (dikaitkan dengan Marshall McLuhan): "Ini
mudah sekali sehingga ikan tidak menemukan air." Sama jelasnya, psikolog tidak
menemukan budaya. Konteks apa pun untuk perilaku manusia yang mencakup segala
hal sebagai budaya bagi individu yang sedang berkembang cenderung diabaikan, atau
jika diperhatikan, dianggap diterima begitu saja. Dan secepat ikan keluar dari air
menemukan pentingnya, psikologi baru-baru ini juga harus bersaing dengan budaya
sebagai fondasi penting untuk disiplin. Ketika masyarakat nasional menjadi semakin
beragam dan kontak internasional menjadi hal yang umum, para psikolog tidak lagi
dapat mengambil sikap acultural atau unicultural. Inventarisasi yang dilakukan
beberapa tahun yang lalu dari isi buku teks sarjana dalam psikologi mengungkapkan
bahwa budaya dalam kaitannya dengan perilaku hampir selalu tidak ada, atau, paling
banter, baik asal-asalan atau renungan (Lonner, 1990). Namun, kami dapat memuji
beberapa teks psikologi pengantar bahwa, selama beberapa tahun terakhir telah
melakukan upaya yang kuat untuk memperbaiki situasi (mis., Sternberg, 1995; Wade
& Tavris, 1996; Westen, 1996). Terlepas dari upaya ini, masih ada pengabaian yang
meluas. Mungkin pengabaian ini mencerminkan beberapa kesalahpahaman tentang

Marshall H. Segall
Apa yang dilakukan oleh banyak varietas psikolog
lintas budaya, jenis penelitian apa yang
dilakukan, apa implikasi dari temuan penelitian
lapangan, dan bagaimana bidang tersebut telah
berevolusi dari permulaannya sekitar empat
dekade lalu. Untuk memperjelas masalah ini
adalah maksud dari makalah ini.
Para pengembang psikologi lintas-budaya
modern (lihat di bawah untuk sejarah singkat)
menjadikannya multikultural dan inklusif secara
maksimal (lihat Berry & Dasen, 1974), walaupun
sering gagal memenuhi cita-cita ini. Berry dan
Dasen membahas tiga pelengkap tujuan yang diusulkan untuk bidang yang muncul:
untuk mengangkut dan menguji pengetahuan dan perspektif psikologis kita saat ini
dengan menggunakannya dalam budaya lain; untuk mengeksplorasi dan menemukan
aspek-aspek baru dari fenomena yang sedang dipelajari dalam istilah budaya lokal;
dan untuk mengintegrasikan apa yang telah dipelajari dari dua pendekatan pertama
ini untuk menghasilkan lebih banyak psikologi universal, yang memiliki validitas pan-
manusia Keberadaan universal dalam disiplin ilmu lain (misalnya, biologi, linguistik,
sosiologi, dan antropologi) menyediakan beberapa dasar untuk asumsi bahwa kita
akan dapat bekerja melalui tujuan ketiga ini dengan beberapa keberhasilan.
Sepanjang jalan, pertanyaan telah diajukan tentang nama terbaik untuk
perusahaan. Sebagai contoh, Lonner (1992) menyatakan keprihatinannya bahwa
"psikologi lintas budaya" mungkin tampak terlalu terbatas atau terbatas, karena
hubungan sejarahnya yang tidak menguntungkan dengan dua perbedaan budaya -
jenis penelitian yang mengarah pada data yang tidak dapat diinterpretasikan, seperti
Campbell ( 1961) menunjukkan. Juga, bagi beberapa pengamat, nama ini mungkin
mengingatkan kita pada fokus yang terlalu intens pada metode kuantitatif,
reduksionis dan menghindari teknik kualitatif yang lebih inovatif. Selama bertahun-
tahun, debat itu hening, hanya terjadi pada 1990-an (misalnya, Dasen, 1993;
Davidson, 1994; Diaz-Guer rero, 1993; Malpass, 1993; Poortinga & van de Vijver,
1994; Segall, 1993), tetapi nama yang lebih baik untuk perusahaan daripada
"psikologi lintas budaya" tidak pernah muncul. Posisi kami tentang masalah nama
adalah bahwa apa yang disebut psikologi lintas budaya tidak sepenting apa yang
dilakukannya - untuk memastikan bahwa topik psikologi seluas mungkin dieksplorasi
dalam spektrum etnis dan budaya seluas mungkin dan dengan beragam metodologi .
Psikologi lintas budaya, didefinisikan secara luas seperti yang kita lakukan di sini,
terdiri dari banyak cara mempelajari budaya sebagai konteks penting untuk
perkembangan dan perilaku psikologis manusia. Juru bicara mengartikulasikan untuk
psikologi budaya (misalnya, Boesch, 1991; Cole, 1996; Shweder & Sullivan, 1993)
menawarkan satu pendekatan untuk berfokus pada budaya sebagai bagian integral
dari semua fungsi psikologis, dengan budaya dan psikologi dipandang sebagai
"fenomena saling konstitutif" (Miller, 1997, hlm. 88). Psikologi lintas budaya sebagian
besar terdiri dari beragam bentuk penelitian komparatif (seringkali secara eksplisit
dan selalu setidaknya secara implisit) untuk melihat pengaruh berbagai faktor
budaya, banyak dari mereka yang terkait dengan etnis, pada bentuk-bentuk
perkembangan dan perilaku.
Dalam mode komparatif ini, budaya diperlakukan sebagai terdiri dari serangkaian
variabel independen atau kontekstual yang mempengaruhi berbagai aspek perilaku
individu (Lonner & Adamopoulos, 1997; Segall, 1984). Penelitian lintas budaya
biasanya mencari bukti efek seperti itu.
Sadar akan definisi awal budaya yang terkenal oleh antropolog Herskovits, yang
menyatakan, "Budaya adalah bagian buatan manusia dari lingkungan" (Herskovits,
1948, hlm. 17), peneliti lintas budaya kadang-kadang mencari juga pengaruh individu.
'Perilaku pada budaya yang selalu berubah. Ketika melakukan itu, variabel
independen dan dependen dipertukarkan, dan perbedaannya menjadi kabur. Tetapi
lebih sering daripada tidak, pencarian adalah efek budaya pada perilaku.
Bahwa perusahaan riset komparatif seperti itu, meskipun jelas layak, sulit telah
dihadapi secara konstruktif sejak awal, oleh beberapa ahli metodologi psikologi yang
paling dihormati (mis., Campbell, 1964). Kami secara konsisten berargumen bahwa
semua psikolog harus membawa perspektif mereka sendiri berdasarkan budaya
ketika mereka belajar di budaya lain; sebagaimana dinyatakan kembali baru-baru ini,
"perspektif ini merupakan sumber bias awal (biasanya orang Eropa-Amerika), yang
harus dikonfrontasi dan dikurangi ketika pekerjaan berkembang dalam budaya lain"
(Berry, in press).
Era modern psikologi lintas-budaya dimulai tak lama setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Ekspansi yang cepat dapat dikaitkan dengan motivasi bersama untuk
memahami kengerian yang menyertai perang dan untuk memperluas cakrawala
intelektual psikologi di luar batas-batas parokial, nasionalistik. Dengan meningkatnya
arti-penting perspektif internasional yang menyertai perang dingin, studi tentang
perilaku manusia dalam konteks budaya berkembang sangat cepat. Setengah dekade
1966-1970 menjadi awal dari Buletin Psikologi Lintas-Budaya triwulanan (awalnya
disebut Buletin Psikologi Sosial Lintas-Budaya, diterbitkan secara aperiodik) dan
Jurnal Psikologi Internasional, serta Direktori awal Cross.

Walter J. Lonner
Penelitian Psikologis Budaya (Berry, 1968). Tahun-
tahun ini ditandai juga oleh publikasi studi multisocietal
tentang pengaruh budaya pada persepsi visual (Segall,
Campbell, & Herskovits, 1966), volume buku kecil
berjudul Studi Lintas Budaya (Price-Williams, 1969), dan
peresmian buku tersebut. Jurnal CrossCultural
Psychology pada tahun 1970. Pada 1980-an, penelitian
yang cukup telah dilakukan untuk membenarkan dua
buku pegangan utama, satu di psikologi lintas budaya
umumnya (Triandis et al., 1980) dan yang lainnya
dalam pengembangan manusia (Munroe, Munroe, &
Whiting , 1981).
Meskipun penuh semangat, disiplin itu ditandai oleh
beberapa kelemahan konseptual dan metodologis. Pada hari-hari awal, ada, terlalu
sering, aplikasi naif konsep teoritis EuroAmerican dan, lebih buruk lagi, instrumen
dirancang, diproduksi, dan divalidasi dalam pengaturan Euro-Amerika untuk
penelitian yang dilakukan di pengaturan lain. Pendekatan ini, dijuluki "etic yang
dipaksakan" (Berry, 1969) paling sering menghasilkan perbedaan "lintas budaya" yang
tidak dapat ditafsirkan. Baru-baru ini, sekali lagi dikritik (Greenfield, 1997b) tepat, jika
terlambat. Di sisi lain, ketika dapat ditunjukkan bahwa instrumen, meskipun
diproduksi dalam satu pengaturan, masih berlaku di banyak pengaturan lain,
perbedaan yang diperoleh dengan instrumen itu dapat dianggap mencerminkan
beberapa variabel budaya. Ketika, di samping itu, perbedaan-perbedaan itu diprediksi
berdasarkan teori (seperti dalam kasus Brunswikian, teori absolutisme fenomenal
yang memprediksi perbedaan budaya dalam kerentanan ilusi optik), secara empiris
temuan menjadi sangat dapat ditafsirkan, jika tidak kebal dari interpretasi alternatif
yang masuk akal (mis., Segall, Campbell, & Herskovits, 1966).
Mengikuti ahli bahasa Pike (1967), banyak psikolog lintas budaya menggunakan
istilah etic dan emic untuk merujuk, masing-masing, ke (a) studi banding, lintas-
budaya, dan (b) eksplorasi hati-hati dari fenomena psikologis dalam budaya lokal
ketentuan Ketika penelitian emik tersebut berhasil, diharapkan akan memberikan
makna asli, berdasarkan budaya yang paling mungkin terlewatkan ketika melakukan
pendekatan etik awal yang dipaksakan terhadap fenomena psikologis di berbagai
budaya. Akibatnya, seseorang dapat muncul dengan apa yang disebut sebagai "etik
turunan" (Berry, 1969), yang jelas lebih disukai daripada "etik yang dipaksakan."
Jika penggunaan luas pendekatan emik dalam sejumlah kultur menghasilkan
instrumen yang memenuhi kriteria etik turunan, maka pemeriksaan komparatif
dengan instrumen perilaku dalam berbagai kultur dapat menghasilkan perbedaan
atau kesamaan dalam fungsi psikologis. Jika perbedaan perilaku yang diperoleh
adalah dangkal, tetapi tetap, mencerminkan fenomena psikologis bersama yang
mendasarinya, bahkan ini dapat mendukung gagasan universal psikologis. Sebagai
contoh, studi Segall, Campbell, dan Herskovits (1966) memperoleh perbedaan lintas
budaya dalam kerentanan ilusi, tetapi perbedaan ini mencerminkan proses
interpretasi aktif bersama rangsangan ambigu oleh pengamat dalam semua budaya
yang disampel dengan cara yang selalu " valid secara ekologis "(Brunswik & Kamiya,
1953).
Dalam keadaan ekstrem, dan mungkin di akhir permainan, bahkan psikologi
universal mungkin muncul, tetapi kami berpendapat bahwa universalitas tidak pernah
dapat diasumsikan sebelumnya. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (1992)
mengemukakan tiga orientasi teoretis dalam psikologi lintas-budaya, yang mereka
sebut "absolutisme," "relativisme," dan "universalisme." Posisi absolut adalah yang
mengasumsikan bahwa fenomena manusia pada dasarnya sama (secara kualitatif)
dalam semua budaya: kejujuran adalah kejujuran, dan depresi adalah depresi, di
mana pun orang mengamatinya. Dari sudut pandang absolut, budaya dianggap hanya
memainkan sedikit atau tidak sama sekali peran, baik dalam arti maupun tampilan
karakteristik manusia. Penilaian karakteristik seperti itu mungkin dilakukan dengan
menggunakan instrumen standar (mungkin dengan terjemahan linguistik), dan
interpretasi dibuat dengan lancar, tetapi kemungkinan besar keliru, tanpa pandangan
berbasis budaya alternatif dipertimbangkan. Orientasi ini menyerupai, tentu saja,
pendekatan etik yang dipaksakan yang merupakan karakteristik dari beberapa
pekerjaan lintas budaya awal. Psikologi lintas budaya masih distereotipkan dan
dikritik secara tidak adil karena menggunakan mode penelitian ini dalam inkarnasinya
sebelumnya. Memang benar, bahwa walaupun absolutisme apriori disesalkan, teori
psikologi yang berlaku secara universal tetap menjadi tujuan yang menggiurkan dan
mungkin dapat dicapai bagi banyak psikolog lintas budaya. Mereka mencarinya
dengan cara yang lebih canggih daripada biasanya.
Relativisme kultural, istilah yang dikembangkan oleh antropolog Boas (1911) dan
diperluas dan disebarluaskan oleh Herskovits (1948), pada awalnya dimaksudkan
terutama untuk memperingatkan terhadap perbandingan lintas-budaya yang tidak
valid, yang dibumbui oleh penilaian nilai etnosentris. Berry et al. (1992) menggunakan
kata relativisme untuk menunjuk kebalikan dari absolutisme. Dengan demikian, bagi
para relativis, dalam pengertian ini, biasanya ada sedikit atau tidak ada minat pada
kesamaan antarkelompok, suatu kontras yang tajam dengan absolutis, yang
menganggap ada.

John W. Berry
Menjadi proses dasar seluruh spesies yang
menghasilkan banyak kesamaan.
Absolutis akan cenderung untuk mencoba
pengukuran bebas konteks, menggunakan instrumen
psikologis standar, sering membuat perbandingan
evaluatif, dan, sebagai konsekuensinya, membuka diri
terhadap kesalahan menggunakan "etika yang dipaksakan" ketika bekerja di
masyarakat selain mereka sendiri. Sebaliknya, relativis akan condong ke arah
penelitian emik yang ketat, menganggap konsep bebas konteks dan pengukurannya
menjadi tidak mungkin. Mereka akan mencoba untuk menghindari semua
perbandingan, yang, jika dibuat sama sekali, akan menjadi tidak bernilai mungkin.
Beberapa sarjana ditemukan di kedua kutub. Namun, selama beberapa tahun,
orang dapat menemukan banyak psikolog eksperimental Eropa dan Amerika yang
dengan keras kepala menyangkal bahwa faktor budaya mempengaruhi proses
psikologis, dan mereka melanjutkan untuk mengumpulkan temuan yang terikat
budaya yang mereka yakini secara universal valid untuk semua umat manusia. Secara
paralel, beberapa penganut gerakan psikologi budaya (misalnya, Shweder & Sullivan,
1993) kadang-kadang menempatkan diri mereka cukup dekat dengan kutub relativis,
menekankan bahwa proses dan struktur psikologis bervariasi dalam cara-cara
mendasar seperti itu dalam konteks budaya yang berbeda sehingga mereka berada di
luar perbandingan, atau hampir seperti itu. Meskipun orientasi ini mirip dengan yang
saat ini didukung oleh psikolog "budaya", banyak yang melakukan perbandingan
(lihat Miller, 1997).
Di mana sebagian besar psikolog lintas budaya pada dimensi-dimensi ini
didefinisikan secara ekstrem oleh absolutisme dan relativisme? Jawabannya ada di
suatu tempat di antaranya, di mana mereka mencapai keseimbangan,
mengungkapkan orientasi yang meminjam dari kedua kutub. Psikolog lintas budaya
biasanya mengharapkan faktor biologis dan budaya untuk mempengaruhi perilaku
manusia, tetapi, seperti halnya para relativis, menganggap bahwa peran budaya
dalam menghasilkan variasi manusia baik di dalam maupun lintas kelompok
(terutama lintas kelompok) adalah substansial. Sebagai contoh, Poortinga, van de
Vijver, Joe, dan Van de Koppel (1987) meneliti variabel budaya dengan sangat hati-
hati (sebuah proses yang mereka sebut "mengupas bawang") untuk mengungkapkan
"kesatuan psikis umat manusia" pada inti budaya. . Tentu saja, lapisan luar "bawang"
adalah fenomena budaya penting dalam hak mereka sendiri.
Jadi, banyak psikolog lintas budaya memungkinkan untuk kesamaan karena proses
dasar spesies luas tetapi menganggap keberadaan mereka tunduk pada demonstrasi
empiris. Jenis universalisme ini mengasumsikan bahwa karakteristik dasar manusia
adalah umum untuk semua anggota spesies (yaitu, membentuk seperangkat givens
psikologis) dan bahwa budaya mempengaruhi perkembangan dan tampilan mereka
(yaitu, budaya memainkan variasi berbeda pada tema-tema yang mendasarinya, yang
disebut "variform universal" oleh Lonner, 1980). Penilaian didasarkan pada proses
dasar yang diduga, tetapi langkah-langkah dikembangkan dalam versi yang bermakna
secara budaya. Perbandingan dibuat dengan hati-hati, menggunakan berbagai prinsip
dan perlindungan metodologis, sedangkan interpretasi persamaan dan perbedaan
diupayakan yang mempertimbangkan makna berbasis budaya alternatif (lihat van de
Vijver & Leung, 1997a, 1997b). Orientasi ini menyerupai pendekatan etik turunan. Ini
adalah karakteristik dari banyak psikologi lintas budaya kontemporer dan juga
dianjurkan oleh beberapa psikolog budaya (mis. Greenfield, 1997a). Dengan demikian
ia berfungsi sebagai basis komunal untuk konvergensi berbagai pendekatan psikologi
lintas budaya (lihat Lonner & Adamopoulos, 1997, dan Poortinga, 1997).

Apa itu Budaya dan Di Mana Ditemukan?


Konsepsi budaya sebelumnya termasuk pandangan bahwa (a) budaya "di luar
sana" untuk dipelajari, diamati, dan dijelaskan; (B) budaya adalah cara hidup bersama
dari sekelompok orang yang berinteraksi secara sosial, dan (c) budaya ditransmisikan
dari generasi ke generasi melalui proses enkulturasi dan sosialisasi. Dalam beberapa
tahun terakhir, seiring dengan munculnya pendekatan yang lebih kognitif di banyak
cabang psikologi, individu menjadi dipandang dalam psikologi lintas budaya bukan
hanya sebagai pion atau korban dari budaya mereka tetapi sebagai pengenal, penilai,
dan penafsir dari mereka. Sebaliknya, dari perspektif "konstruksi sosial" (Misra &
Gergen, 1993), budaya tidak diberikan tetapi diciptakan setiap hari melalui interaksi
antara individu dan lingkungannya. Culturalpsychology, yang telah didefinisikan
sebagai "penunjukan untuk studi perbandingan tentang cara budaya dan jiwa saling
membentuk" (Shweder & Sullivan, 1993, hal. 498), menekankan karakteristik
konstruktif dari budaya ini dan menempatkan budaya bukan pada individu luar, di
mana ia memengaruhi perilaku mereka, tetapi "sebagai realitas intersubjektif yang
melaluinya dunia dikenal, diciptakan, dan dialami" (Miller, 1997, hlm. 103).
Perspektif di mana budaya dan diri dipandang saling tergantung (Miller, 1997,
hlm. 88-89) telah menjadi bagian dari psikologi lintas budaya selama beberapa waktu.
Ada banyak contoh interaksi antara konteks dan orang (misalnya, hubungan umpan
balik dalam kerangka ekokultural; lihat Berry et al., 1992), dan perspektif ini secara
eksplisit dalam definisi budaya Herskovits (1948), sehingga tentu saja tidak eksklusif
untuk mereka menyebut diri mereka psikolog "budaya" (Segall, 1993).
Definisi budaya berlimpah (lihat Munroe & Munroe, 1997, hal. 173, untuk diskusi
singkat), tetapi cara yang paling bermakna untuk memahami konsep budaya seperti
yang ada di bidang psikologi lintas budaya adalah dengan mempertimbangkan
bagaimana budaya itu ada. dikonseptualisasikan dalam penelitian, singkatnya, untuk
mendapatkan definisi operasionalnya.
Seperti dicatat oleh Munroe dan Munroe (1997), sebagian besar psikolog lintas
budaya, yang perhatian utamanya adalah perilaku individu, menggunakan konsep
budaya baik untuk mengidentifikasi konteks atau untuk menunjuk satu set variabel
anteseden.
Untuk mengutip hanya satu contoh, dalam beberapa tahun terakhir, banyak
peneliti telah menunjukkan minat pada gagasan individualisme-kolektivisme sebagai
karakteristik budaya dan telah memperkirakan perbedaan perilaku di seluruh sampel
nasional yang dianggap terletak di berbagai tempat sepanjang dimensi
individualisme-kolektivisme (lihat Kagitqibasi, 1997, untuk tinjauan menyeluruh dari
penelitian ini).
Dalam semua penelitian ini ada yang mencari perbedaan antar kelompok atau
kesamaan, atau, seperti yang semakin banyak terjadi, untuk keduanya. Jahoda dan
Krewer (1997, hal. 4) menegaskan bahwa semua psikolog lintas budaya, terlepas dari
perspektif (menuju absolut atau cenderung relativis) harus mengatasi, untuk
memahami perilaku manusia dalam budaya yang berbeda "keragaman perilaku
manusia dalam dunia dan hubungan antara perilaku individu dan konteks budaya di
mana ia terjadi "(Berry et al., 1992, hal. 1).

Apa Jenis Penelitian Yang Dilakukan?


Sebagian besar studi di lapangan melibatkan pengumpulan data dari setidaknya dua
kelompok budaya, tetapi, seperti dicatat oleh Van de Vijver dan Leung (1997b, hal.
259), beberapa studi bersifat monokultural, dengan perbandingan dibuat, setidaknya
secara implisit, dengan data yang dikumpulkan sebelumnya , biasanya oleh peneliti
lain dan sering dalam masyarakat satu peneliti sendiri. Secara umum disepakati
bahwa minimal tiga budaya harus dilibatkan jika perbandingan yang berarti harus
dilakukan, karena, sebagaimana dicatat oleh Campbell (1961), semua studi yang
hanya terdiri dari perbandingan pasangan tunggal tidak dapat diinterpretasikan.
Implikasinya, tentu saja, studi monokultural - jika tidak disertai dengan pemeriksaan
data komparatif yang tepat dari setidaknya satu budaya lain - juga tidak dapat
diinterpretasikan. Fakta ini telah mengilhami gagasan tentang "fungsi penelitian
lintas-budaya yang tidak membingungkan" (Campbell, 1961; Segall, 1979; Segall,
Dasen, Berry, & Poortinga, 1990) sebagai pengakuan terhadap fakta yang berpotensi
sebagai variabel penting (misalnya, variabel peran ayah sebagai kekasih ibu dan
sebagai pendisiplin anak lelaki dalam masyarakat kelas menengah Wina hanya dapat
dipisahkan dengan pergi ke tempat lain. Dengan melakukan hal itu, Bronislaw
Malinowski menemukan peran sebelumnya melekat pada ayah dan yang terakhir
pada paman ibu di Kepulauan Trobriand (di mana ia menemukan bahwa semua
ambivalensi melekat pada paman). Dan ini, tentu saja, mengapa penelitian lintas
budaya sangat penting! Tanpa itu, seluruh generasi psikolog mungkin akan terus
percaya bahwa Kompleks Oedipus, yang diungkapkan oleh kecemburuan seksual
antargenerasi, seperti yang digambarkan oleh Freud, adalah realitas psikologis,
daripada dugaan malang oleh seorang dokter yang pintar, yang berakar pada waktu
dan tempatnya sendiri.

Implikasi Temuan Penelitian Psikologi Lintas Budaya


Pertama (dan mungkin terutama), temuan kami dimaksudkan untuk berkontribusi
pada pemahaman perilaku manusia. Dalam hal ini, psikologi lintas-budaya, dalam
maksudnya, sama "murni" dengan psikologi umum dalam inkarnasinya sebagai "ilmu
perilaku manusia." (Dan karena psikologi lintas-budaya mempelajari perilaku selalu
dalam konteks budaya, itu bahkan menyediakan koreksi untuk interpretasi terikat-
budaya dari data yang sebelumnya dikumpulkan dalam satu masyarakat, di mana
variabel-variabel yang berpotensi relevan dirusak secara tak terpisahkan.)
Karena psikologi lintas-budaya diturunkan dari psikologi modern, ilmiah, umum,
itu adalah bagian dari tradisi intelektual, yang berakar di Eropa tetapi berkembang
terutama di Amerika, yang merupakan reaksi terhadap tradisi filsafat sosial dan
politik Eropa sebelumnya. Menolak ini sebagai "lunak," pendiri psikologi abad ke-19
mengikuti tradisi laboratorium Wundtian dan mengadopsi eksperimen terkontrol
sebagai sine qua non dari penelitian ilmiah.
Tetapi, seperti yang Jahoda dan Krewer (1997, hlm. 14) baru-baru ini
mengingatkan kita, Wundt yang sama menerbitkan 10 volume tentang
Volkerpsychologie dan berkomentar, "hanya psikologi individu dan Volkerpsychologie
yang bersama-sama membentuk keseluruhan psikologi" (Wundt, 1908, p. 228) ).
Maka, dengan satu kaki ditanam di laboratorium, para psikolog lintas budaya awal,
seperti Rivers, mengedepankan kaki lainnya dan melakukan ekspedisi pengumpulan
data.
Di luar hubungan historisnya dengan psikologi umum, psikologi lintas budaya
memiliki pengaruh yang beragam, termasuk beberapa yang berasal dari disiplin ilmu
sosial seperti antropologi, sosiologi, sejarah, dan ilmu politik. Untuk sebagian besar
disiplin ilmu nonlaboratory, disiplin ini telah lama bekerja di lapangan, di luar sana di
antara orang-orang nyata di tempat nyata dan pada waktu nyata. Bersedia menerima
kebenaran dalam konteks, baik konteks sejarah dan budaya, psikolog lintas budaya
mengambil dunia apa adanya dan orang-orang di dalamnya sebagaimana adanya -
atau, setidaknya, seperti yang mereka rasakan. Kami percaya, apa yang hilang dalam
kontrol ilmiah terhadap materi pelajaran, lebih dari dibuat oleh validitas yang
ditingkatkan, terutama validitas ekologis, dari temuan kami. Dalam prosesnya, kami
berusaha untuk memberikan semua manusia rasa hormat dan pengertian yang layak
mereka dapatkan.
Psikologi lintas budaya juga merupakan disiplin internasional yang inheren.
Praktisi-praktisi itu termasuk banyak yang asal-usul dan pangkalan-pangkalan yang
ada sekarang berada di luar dunia Eropa-Amerika. Meskipun pelatihan mereka
kemungkinan telah membuat mereka terpapar pada ilmu pengetahuan Barat,
lingkungan sehari-hari mereka menyerukan agar pekerjaan mereka bermanfaat. Bagi
para psikolog yang terlatih di Barat, tetapi yang bekerja di lingkungan dunia ketiga,
keharusan untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat juga ada di sana. Bahkan ketika
kita melakukan "penelitian ilmiah" di lingkungan seperti itu, kita merasakan dorongan
kuat dan kuat untuk memberikan sesuatu kembali kepada orang-orang yang telah
memungkinkan kita untuk mempelajarinya.
Lebih jauh lagi, karena kita sering melakukan penelitian di tempat-tempat di
mana masalah manusia begitu dramatis terlihat - di negara-negara di mana
kemiskinan, penyakit, dan penderitaan banyak jenisnya merupakan kenyataan sehari-
hari - dan karena kita telah melihat tempat lain di mana dunia adalah tempat yang
lebih baik, kita tahu bahwa yang terbaik dari semua dunia yang mungkin adalah
tujuan yang belum tercapai, tetapi layak untuk dicapai.
Bahkan ketika kita bekerja di negara-negara maju secara teknologi - karena
kebanyakan dari mereka menikmati keragaman budaya yang besar - kita sering
dihadapkan dengan distribusi yang tidak merata di seluruh kelompok etnis
kesejahteraan di satu sisi dan berbagai jenis tekanan di sisi lain, dan kami merasakan
keharusan etis untuk tidak kertas atas ketidakadilan ini dengan laporan penelitian
memihak. Jadi pekerjaan kami cocok tidak hanya untuk diskusi tentang temuan ilmiah
tetapi untuk aplikasi sosial mereka juga.
Di antara topik-topik yang telah diusahakan oleh lapangan, ada banyak yang telah
menghasilkan temuan dengan implikasi praktis.
Di bidang kognisi, kita telah mengetahui, antara lain, bahwa ada perbedaan
antara kelompok yang dapat diidentifikasi dalam kinerja di banyak domain yang
berbeda (misalnya, Irvine dan Berry, 1988; Poortinga, 1983), termasuk dalam
beberapa ukuran klasik " kompetensi intelektual, "seperti IQ, dan tes bakat skolastik
dari berbagai jenis. Tetapi kami juga tahu betul kesalahan bawaan dari tindakan
tersebut, dan kami tahu banyak variabel lain yang berkorelasi baik dengan
keanggotaan dalam berbagai kelompok yang dibandingkan (misalnya, pendapatan
dan kekayaan) dan dengan kinerja, sehingga kami dapat mendukung dengan cara
kebijakan yang meyakinkan yang dirancang untuk meningkatkan kesetaraan
kesempatan dan menentang dengan penuh semangat penggunaan langkah-langkah
tes sebagai perangkat seleksi menjadi pengalaman yang mempersiapkan orang untuk
peluang selanjutnya untuk meningkatkan nasib mereka dalam kehidupan.
Tersirat dalam studi lintas-budaya tentang nilai-nilai (mis., Smith dan Schwartz,
1997; Triandis, 1995) adalah pedoman untuk perbaikan dalam hubungan antar
kelompok, pasar global, dan diplomasi dan negosiasi internasional. Kita tahu tentang
banyak cara di mana orang-orang di berbagai belahan dunia, dan orang-orang di
bagian yang sama tetapi yang datang dari bagian lain, berbeda satu sama lain dalam
pendekatan mereka terhadap kehidupan. Satu dimensi di antara ini yang saat ini
menerima perhatian penelitian yang cukup besar adalah "individualisme-
kolektivisme" (Kagitqibasi, 1997; Triandis, 1995). Banyak perbedaan dalam
konseptualisasi dunia mempengaruhi apa yang orang-orang di berbagai masyarakat
anggap adil, misalnya, atau apa yang mereka anggap penting, sedikit, atau tidak sama
sekali. Jenis-jenis perbedaan ini tentu mempengaruhi bagaimana kita berhubungan
satu sama lain ketika mereka dalam hubungan dipersenjatai dengan nilai-nilai mereka
sendiri, yang kadang-kadang berbeda dari orang-orang yang berinteraksi dengan
mereka (Gudykunst & Bond, 1997). Jadi profesor berinteraksi dengan siswa
internasional (Brislin & Horvath, 1997), dokter dengan klien (Beardsley & Pedersen,
1997; Tanaka-Matsumi & Draguns, 1997), diplomat dengan angka yang berlawanan
dalam sesi negosiasi, dan pengusaha dan wanita yang beroperasi di dunia pasar (lihat
Hui & Luk, 1997) semuanya rentan terhadap kesalahan penilaian, interpretasi, dan
penyajian diri, kesalahan yang bervariasi dari sepele, melalui humor, hingga bencana.
Tidak mengherankan, seluruh bidang pelatihan telah tumbuh di sekitar masalah
dalam pemahaman antar budaya, dan dalam domain ini, psikologi lintas budaya yang
diterapkan jelas ada (Bhagat & Landis, 1996).
Penelitian lintas budaya tentang gender (lihat Best & Williams, 1997) juga
menghasilkan temuan yang dapat diterapkan dari impor sosial yang cukup besar.
Temuan inti dalam domain ini adalah, tentu saja, tertanamnya budaya dari fenomena
terkait gender, dari perbedaan jenis kelamin dalam perilaku, hingga hubungan antar
jenis kelamin. Pemahaman tentang peran gender tradisional, yang mencerminkan
dan mendukung pola hubungan tradisional antara jenis kelamin, yang berakar pada
kekuatan ekonomi, agama, politik, dan budaya lainnya, tidak boleh mendukung
kelanjutan dari setiap kebijakan atau program yang memungkinkan diskriminasi.
terhadap salah satu jenis kelamin, termasuk kebijakan yang menerima upah yang
tidak sama untuk pekerjaan yang sama, atau akses yang berbeda ke jenis karier
tertentu atau ke program pelatihan yang mengarah ke karier. Juga, suatu bentuk
perilaku yang sangat umum dimaafkan di banyak masyarakat - pemukulan pasangan,
pemerkosaan, dan intimidasi pria terhadap wanita - dapat dikurangi jika kita lebih
mampu mengartikulasikan hubungan perilaku seperti itu dengan "kebijaksanaan
umum" yang berdasarkan budaya mengenai bagaimana pria harus bersikap terhadap
wanita. Dalam hal ini, lingkaran setan kepercayaan dalam superioritas dan
inferioritas, dan penggunaan keyakinan semacam itu untuk membenarkan praktik-
praktik diskriminatif yang berkelanjutan, yang pada gilirannya memperkuat keyakinan
dan seterusnya, berputar-putar, seolah-olah dalam kekekalan, mungkin rusak kalau
kita untuk mematahkan cengkeraman kepercayaan usang tentang dasar perbedaan
antara jenis kelamin.
Pemahaman tentang keterlibatan fenomena peran gender dalam cerita kejahatan
dan hukuman dalam masyarakat kita (lihat ulasan baru-baru ini oleh Segall, Ember, &
Ember, 1997) harus menginformasikan pemikiran kita tentang siapa yang melakukan
kejahatan dan mengapa, dan oleh karena itu, apa yang harus dilakukan untuk
mengurangi potensi perilaku kriminal. Bahwa sebagian besar kejahatan di sebagian
besar masyarakat dilakukan oleh remaja laki-laki, dan bagaimana ini berakar dalam
budaya (dan tidak hanya dalam biologi) akan mengarah pada program yang berfokus
pada ketersediaan panutan, dukungan keluarga, dan langkah-langkah pencegahan
lainnya, daripada pada respon hukuman yang lebih dan lebih, yang mungkin tidak
melakukan apa pun untuk mengurangi kejahatan, tetapi sebaliknya
meningkatkannya. Bagaimana serangkaian ide yang sama dari psikologi lintas-budaya
ini memungkinkan kita untuk memahami cara-cara yang melibatkan pengertian
kedewasaan, kehormatan, dan kebanggaan etnis dalam banyak perang kontemporer
mungkin merupakan salah satu kontribusi potensial paling penting dari psikologi
lintas-budaya.
Seperti disebutkan sebelumnya, psikologi lintas budaya berkaitan dengan
pengaruh keanekaragaman budaya di mana pun ia ditemukan. Secara historis, banyak
penelitian dilakukan secara internasional, "di lapangan," dengan melakukan "kerja
lapangan" dengan budaya "lain". Baru-baru ini, telah ada peningkatan substansial
dalam keprihatinan dengan keragaman budaya dalam masyarakat yang beragam
secara budaya (Berry & Annis, 1988). Penekanan baru ini (beragam disebut psikologi
"etnis," atau "akulturasi") dan "la psychologie interculturelle," terutama dalam tradisi
bahasa Prancis (misalnya, Clanet, 1990; Retschitzky, Bossel-Lagos, & Dasen, 1989;
Camilleri & MalewskaPeyre , 1997), telah mulai memperlakukan komunitas budaya
yang hidup bersama dalam masyarakat majemuk sebagai "budaya" dalam hak
mereka sendiri (bukan hanya sebagai "minoritas"). Contohnya adalah imigran dan
pengungsi, masyarakat adat dan kelompok etnokultural yang terus mewujudkan fitur
budaya yang berbeda bertahun-tahun (bahkan generasi) setelah kontak dengan
kelompok budaya yang lebih dominan. Ketika kontak antarbudaya meningkat di
semua bagian dunia, minat pada bidang psikologi ini hampir pasti akan tumbuh.
Sebagian minat ini telah dirangsang oleh fakta bahwa banyak atribut budaya tetap
penting bagi orang-orang dan bahwa mereka berfungsi sebagai konteks penting bagi
perkembangan psikologis bahkan ketika mereka sedang dalam proses perubahan
selama akulturasi. Ada dua bidang studi penting dalam bidang yang berkembang ini.
Dalam satu, ada paralel domestik dengan pekerjaan internasional, melihat bagaimana
budaya, etnis, dan perilaku saling mempengaruhi. Dalam yang kedua, ada
kekhawatiran terhadap kesulitan psikologis (disebut "stres akulturasi" oleh Berry,
Kim, Minde, & Mok, 1987) yang mungkin muncul untuk individu yang menjalankan
kehidupan mereka di dalam atau di antara dua budaya. Bersama-sama, bidang studi
ini mengungkapkan penekanan yang tumbuh pada perubahan psikologis dan saling
adaptasi orang dan kelompok dalam pengaturan multikultural (Berry, 1997; Berry &
Sam, 1997).
Hubungan antarkelompok adalah domain tunggal yang paling penting di mana
psikologi lintas budaya memiliki ide, teori, dan fakta penting untuk disumbangkan
(lihat ulasan oleh Gudykunst & Bond, 1997). Selain itu, ini adalah yang paling serius
dari semua masalah yang dihadapi manusia, sebagai saksi yang disebut hubungan
Hitam-Putih 4 di Amerika Serikat, di Afrika Selatan, dan di tempat lain, dan catatan
abad ke-20 tentang holocaust, genosida, perang antaretnis, dan terorisme, sebuah
sejarah yang menjanjikan untuk terus berlanjut hingga abad ke-21. Kontribusi utama
kami pada upaya untuk menangani serangkaian masalah besar ini adalah generalisasi,
mungkin generalisasi tingkat tertinggi kami, yaitu gagasan bahwa budaya adalah
pembentuk utama dan cetakan perilaku semua orang. Perbedaan yang secara
tradisional dikaitkan dengan hal yang tampaknya sangat konkret yang disebut "ras,"
yang menurut definisi membuat perbedaan-perbedaan itu tampak ditentukan secara
biologis dan karenanya tidak dapat diubah, sekarang diketahui bersifat kultural dan
karenanya dapat diubah oleh kebijakan yang memperhitungkan dan berupaya
menghilangkan kerugian yang diderita hingga saat ini. oleh berbagai kelompok
budaya - kelompok-kelompok yang secara tradisional kita anggap sebagai ras,
diberkati secara berbeda atau terkutuk oleh sifatnya untuk berada di antara yang
kaya atau di antara yang tidak memiliki.
Dari sudut pandang sains modern, khususnya genetika populasi, konsep ras pada
tingkat manusia sama sekali tidak memiliki makna; itu hanyalah konstruksi sosial
(Cavalli-Sforza, Menozzi & Piazza, 1994; Gould, 1994, 1997; Langaney, 1988).
Sebelumnya pada abad ini, antropolog fisik mencoba mengkategorikan kelompok
manusia dalam hal karakteristik fisik yang terlihat, seperti warna kulit, tinggi, rambut,
dan fitur wajah. Mereka datang dengan taksonomi yang biasanya terdiri dari tiga
sampai lima kategori, 5 seperti negroid, mongoloid dan caucasoid, atau hitam, coklat,
kuning, merah, dan putih. Bahwa label-label kategori ini merupakan "ras" masih
merupakan kesalahpahaman yang populer dan belum sepenuhnya hilang dari buku
teks sekolah, kamus, dan ensiklopedi (yang membuat konsepsi itu menjadi
kenyataan).
Sebuah pameran yang ditunjukkan sejauh ini di museum-museum ilmu
pengetahuan alam di Paris, Jenewa, dan Syracuse, New York (Langaney, Van
Blijenburgh, & Sanchez-Mazas, 1992) memperjelas bahwa keragaman genetik
manusia menentang setiap klasifikasi sederhana. Karena bukti ilmiah jelas menentang
klasifikasi semacam itu, banyak psikolog lintas budaya tidak lagi menggunakan ras
kecuali sebagai istilah yang secara eksplisit didefinisikan sebagai konstruksi sosial
yang sebenarnya. Di sisi lain, karena ilusi ras begitu menarik dan begitu luas dipegang
(dengan kata lain, karena itu adalah konstruksi sosial yang begitu penting), kita harus
berurusan dengan kenyataan bahwa banyak orang berpikir itu nyata dan memandang
dunia. seolah-olah itu berisi ras. Ketika seseorang menambah keyakinan pada ras, dua
gagasan lebih lanjut bahwa ras secara kualitatif berbeda dalam hal bakat dan
kapasitas dan bahwa mereka harus diperlakukan secara berbeda, maka kita memiliki
apa yang telah lama disebut "rasisme". Di sini kami berargumen bahwa hanya
menyalahgunakan konstruksi sosial ras sebagai realitas biologis itu sendiri rasis dan
harus dilawan sekuat seseorang menolak "diskriminasi rasial."

Ringkasan dan Petunjuk Masa Depan


Dalam artikel ini, kami telah membahas banyak wilayah dalam ruang yang relatif
sedikit. Poin utama kami adalah bahwa "budaya" dan semua yang disiratkan
sehubungan dengan perkembangan manusia, pemikiran, dan perilaku harus menjadi
pusat, bukan pinggiran, dalam teori dan penelitian psikologis. Menjaga agar budaya
tidak melekat, atau, lebih buruk, untuk menghindarinya sama sekali agar tidak
menantang pandangan sendiri tentang realitas adalah rabun dan merugikan
penyelidikan psikologis.
Untungnya, selama kurang lebih 30 tahun terakhir, dengan lonjakan pertumbuhan
yang menarik perhatian ratusan cendekiawan yang antusias, terjadilah ledakan kecil
buku, jurnal, dan organisasi ilmiah yang menganggap serius budaya.
Yang sangat signifikan adalah Buku Pegangan enam jilid Psikologi Lintas Budaya
(Triandis et al., 1980), yang baru-baru ini mengarah ke edisi kedua tiga jilid (Berry et
al., 1997), keduanya disebutkan sebelumnya. Bersama-sama, buku pegangan ini
mendefinisikan ruang lingkup upaya lintas budaya dalam psikologi, yang juga
tercermin dalam lusinan buku lain di lapangan (misalnya, Matsumoto, 1996; Smith &
Bond, 1993), dan buku-buku yang berasal dari awal 1960-an. yang disebutkan
sebelumnya dalam artikel ini.
Di antara beberapa organisasi ilmiah dan profesional, di dalam dan berdekatan
dengan psikologi, dengan fokus internasional atau lintas budaya, Asosiasi
Internasional untuk Psikologi Lintas Budaya (IACCP) tetap menjadi pusat
pertumbuhan dan perkembangan perusahaan. Sejak pertemuan perdananya di Hong
Kong pada tahun 1972, IACCP telah menyelenggarakan kongres internasional setiap
dua tahun, dan sejumlah kongres regional hampir setiap tahun bernomor ganjil, di
hampir setiap bagian dunia. Baru-baru ini, dan untuk merayakan hari jadinya yang ke-
25, IACCP mengadakan kongres internasional pertamanya yang diadakan di Amerika
Serikat. Pertemuan berlangsung dari 3 hingga 8 Agustus di kampus Western
Washington University di Bellingham, Washington.
Kongres Silver Jubilee itu menghormati prestasi masa lalu dan juga mengintip ke
masa depan dalam upaya untuk menentukan bagaimana psikologi lintas-budaya
terbaik dapat terus memperluas cakrawala dan untuk berkontribusi pada solusi yang
semakin global serta masalah antarbudaya. Dihadiri oleh sekitar 500 psikolog dari
lebih dari 60 negara, serta perwakilan dari berbagai kelompok pribumi, program
ilmiah yang kompleks itu menarik dan luas jangkauannya dan dalam beberapa hal,
konferensi penting. Presiden APA Terpilih Richard M. Suinn berada di program,
seperti juga presiden masa lalu dari International Union of Psychological Sciences
(IUPsyS), Asosiasi Internasional Psikologi Terapan (IAAP), dan organisasi lainnya. Ini
adalah tanda yang sehat untuk kelanjutan pertumbuhan IACCE.
Psikologi lintas-budaya telah berkembang dari bisikan dan harapan sekitar tahun
1960 menjadi perusahaan intelektual yang besar dan berkembang sekitar tahun
2000. Kami menutup penelitian kami terhadap fenomena ini dengan sebuah
paradoks, yaitu, bahwa psikologi lintas budaya akan terbukti berhasil ketika
menghilang. Sebab, ketika seluruh bidang psikologi menjadi benar-benar
internasional dan benar-benar antarbudaya-dengan kata lain, ketika itu menjadi
benar-benar ilmu perilaku manusia - psikologi lintas budaya akan mencapai tujuannya
dan menjadi berlebihan.

Anda mungkin juga menyukai