OLEH :
NIM : 19101013/D/NO.URUT 09
1. M A T S U M O T O ( 2 0 0 4 )
Dalam arti sempit, psikologi lintas budaya secara sederhana hanya berarti
melibatkan unsur latar belakang keragaman budaya yang berbeda dalam
memaknai hal psikologis.
Dalam arti luas, psikologi lintas budaya terkait dengan pemahaman atas
apakah kebenaran dan prinsip-prinsip psikologis bersifat universal (berlaku
bagi semua orang di semua budaya) ataukah khas budaya (culture spscific,
berlaku bagi orang-orang tertentu di budaya-budaya tertentu)
2. T R I A N D I S , M A L P A S S , & D A V I D S O N ( 1 9 7 2 )
3. B R I S L I N G , L O N N E R , & T H O R N D I K E ( 1 9 7 3 )
Psikologi lintas budaya adalah kajian ilmiah mengenai perilaku manusia dan
penyebarannya; sekaligus memperhitungkan cara perilaku itu dibentuk; dan
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Pengertian ini mengarahkan perhatian pada dua hal pokok, yaitu keragaman
perilaku manusia di dunia, dan kaitan antara perilaku individu dengan konteks
budaya, tempat perilaku terjadi
5. T R I A N D I S ( 1 9 8 0 )
Psikologi lintas budaya berkutat dengan kajian sistematik mengenai perilaku
dan pengalaman sebagaimana pengalaman itu terjadi dalam budaya yang
berbeda, yang dipengaruhi budaya atau mengakibatkan perubahan-
perubahan dalam budaya yang bersangkutan.
Jadi dari pengertian psikologi lintas budaya menurut para ahli di atas saya
dapat menyimpulkan bahwa psikologi lintas budaya merupakan kajian-kajian
perilaku manusia dalam mengatur, memengaruhi, mengubah rupa (bentuk,
sifat, fungsi, dan sebagainya) fenomena kejiwaan dan perilaku manusia
dalam persamaan dan perbedaan berbagai budaya.
Untuk mempelajari manusia dan budaya dalam prinsip- prinsip psikologi lintas
budaya, terdapat dua pendekatan dasar dalam mempelajarinya, yaitu :
Cara-cara ini akan berbeda tergantung pada sumber daya yang dimiliki dalam
masyarakat tersebut, seperti bentang alam, kepadatan penduduk,
ketersediaan makanan dan sumber- sumber lain, dst. Menghadapi kebutuhan
yang berbeda dalam lingkungannya, setiap kebudayaan akan me-
ngembangkan perbedaan-perbedaan yang kemudian berdampak pada
perilaku orang-orang dalam kebudayaan tersebut. Pendekatan emik dalam
hal ini menjadi sesuatu yang lebih obyektif, karena perilaku kebudayaan
dikaji dan dikategorikan menurut pandangan orang yang dikaji itu sendiri.
Kajian dapat berupa definisi dan cara menganalisis proses kognitif
masyarakat yang diberikan oleh masyarakat yang mengalami peristiwa itu
sendiri, bukan pandangan peneliti.
Psikologi lintas budaya menjadi studi yang kritis dan komparatif atas efek
kultural pada manusia. Psikologi lintas budaya menarik pandangannya dari
dua contoh atau lebih yang merepresentasikan dua kelompok kelompok
budaya. Sebagai contoh, jika kita ingin mengetahui faktor-faktor psikologis
yang mempengaruhi pola pengasuhan ayah pada suatu kelompok budaya,
dan atau membandingkannya dengan keadaan lain yang sama namun
dialami oleh kelompok budaya yang berbeda, maka pemikiran tersebut
termasuk dalam pemikiran ilmiah kajian psikologi lintas budaya. Emic atau
ethic menjadi sudut pandang (point of view) yang digunakan untuk
mendapatkan, analisa hingga interpretasi atas data-data yang diperoleh.
1. Mendeskripsikan fenomena
2. Memberikan penjelasan atas deskripsi fenomena yang dihasilkan
dengan menginterpretasikan data.
3. Prediksi ke depan atas data-data yang dimiliki peneliti hingga muncul
saran.
Dari beragam metode penelitian dalam psikologi lintas budaya baik secara
kuantitatif maupun kualitatif, berikut adalah metode penelitian dalam psikologi
lintas budaya yang paling lazim digunakan :
1. Etnografi
2. Kajian Folklore
3. Etnometodolog
4. Etnosains
5. Interaksionisme Simbolik
6. Grounded Theory
Dan karena penemuan teori tersebut didasarkan pada data, bukan dari
simpulan deduktif logik, kemungkinan bagi ilmu untuk berkembang
secara progresif menjadi besar. Grounded theory bertujuan untuk
menemukan dan atau tepatnya mengembangkan rumusan teori atau
mengembangkan konseptualisiasi teoritik berdasarkan data-data.
Karena itu, pemilihan sampel pada grounded theory mengarah pada
kelompok atau subkelompok yang akan memperkaya penemuan ciri-
ciri utama. Basis grounded theory adalah analisis kualitatif data
lapangan.
E. Article
Marshall H. Segall
what the many varieties of cross-cultural psychologists do, what kinds of research are
carried out, what the implications of the field's research findings might be, and how
the field has evolved from its beginnings some four decades ago. To clarify these
matters is the intent of this paper.
The developers of modern cross-cultural psychology (see below for a brief
history) meant it to be unabashedly multicultural and maximally inclusive (see Berry
& Dasen, 1974), although it has often fallen short of these ideals. Berry and Dasen
discussed three complementary goals that were proposed for the emerging field: to
transport and test our current psychological knowledge and perspectives by using
them in other cultures; to explore and discover new aspects of the phenomenon
being studied in local cultural terms; and to integrate what has been learned from
these first two approaches in order to generate more nearly universal psychology,
one that has pan-human validity The existence of universals in other disciplines (for
example, biology, linguistics, sociology, and anthropology) provided some basis for
the assumption that we would be able to work our way through to this third goal with
some success.
Along the way, questions have been raised regarding the best name for the
enterprise. For instance, Lonner (1992) expressed concern that "cross-cultural
psychology" might appear too limited or restricted, because of its unfortunate
historical association with two-culture contrasts--the kind of research sorties that
lead to uninterpretable data, as Campbell (1961) pointed out. Also, to some
observers, this name may call to mind an overly intense focus on quantitative,
reductionist methods and a shunning of more innovative, qualitative techniques.
Over the years, the debate was quiet, bubbling up only in the 1990s (e.g., Dasen,
1993; Davidson, 1994; Diaz-Guer rero, 1993; Malpass, 1993; Poortinga & van de
Vijver, 1994; Segall, 1993), but a better name for the enterprise than "cross-cultural
psychology" never emerged. Our position on the name issue is that what cross-
cultural psychology is called is not nearly as important as what it does--to ensure that
the broadest range of psychological topics be explored within the broadest possible
spectrum of ethnicity and culture and by diverse methodologies.
Cross-cultural psychology, defined broadly as we do here, comprises many ways
of studying culture as an important context for human psychological development
and behavior. Articulate spokespersons for cultural psychology (e.g., Boesch, 1991;
Cole, 1996; Shweder & Sullivan, 1993) offer one approach for focusing on culture as
integral to all psychological functioning, with culture and psychology viewed as
"mutually constitutive phenomena" (Miller, 1997, p. 88). Cross-cultural psychology
consists mostly of diverse forms of comparative research (often explicitly and always
at least implicitly) in order to discern the influence of various cultural factors, many of
them related to ethnicity, on those forms of development and behavior.
In this comparative mode, culture is treated as comprising a set of independent
or contextual variables affecting various aspects of individual behavior (Lonner &
Adamopoulos, 1997; Segall, 1984). Cross-cultural research typically seeks evidence of
such effects.
Aware of the famous early definition of culture by the anthropologist Herskovits,
who stated, "Culture is the man-made part of the environment" (Herskovits, 1948, p.
17), cross-cultural researchers occasionally seek as well the influence of individuals'
behavior on ever-changing culture. When doing so, the independent and dependent
variables are interchanged, and their distinction becomes blurred. But more often
than not, the search is for culture's effect on behavior.
That such a comparative research enterprise, albeit clearly feasible, is difficult has
been confronted constructively from the start, by some of psychology's most
respected methodologists (e.g., Campbell, 1964). We have consistently argued that
all psychologists necessarily carry their own culturally based perspectives with them
when studying in other cultures; as restated recently, "these perspectives were initial
sources of bias (usually Euro-American), to be confronted and reduced as work
progressed in the other culture(s)" (Berry, in press).
The modern era of cross-cultural psychology began shortly after the end of World
War II. Its rapid expansion may be attributed to a shared motivation to understand
the attendant horrors of the war and to expand the intellectual horizons of
psychology beyond parochial, nationalistic boundaries. With the increased salience of
international perspectives accompanying the cold war, the study of human behavior
in cultural context evolved particularly rapidly. The half decade 1966-1970 saw the
start of the quarterly Cross-Cultural Psychology Bulletin (originally called the Cross-
Cultural Social Psychology Newsletter, published aperiodically) and the International
Journal of Psychology, as well as an initial Directory of Cross.
Walter J. Lonner
Cultural Psychological Research (Berry, 1968). These
years were marked also by the publication of a
multisocietal study of cultural influences on visual
perception (Segall, Campbell, & Herskovits, 1966), a
paperback volume entitled Cross-Cultural Studies
(Price-Williams, 1969), and the inauguration of the
Journal of CrossCultural Psychology in 1970. By the
1980s, enough research had been done to justify two
major handbooks, one in cross-cultural psychology
generally (Triandis et al., 1980) and the other in human
development (Munroe, Munroe, & Whiting, 1981).
Albeit vigorous, the discipline was marked by some
conceptual and methodological weaknesses. In the
early days, there was, far too often, a naive application of EuroAmerican theoretical
notions and, worse, instruments designed, produced, and validated in Euro-American
settings to research conducted in other settings. This approach, dubbed "imposed
etic" (Berry, 1969) most often yielded uninterpretable "cross-cultural" differences.
Recently, it was once again criticized (Greenfield, 1997b) appropriately, if belatedly.
On the other hand, when it could be demonstrated that the instrument, although
produced in one setting, was nonetheless applicable in many other settings,
differences obtained with that instrument could be taken as reflecting some cultural
variables. When, in addition, those differences were predicted on the basis of a
theory (as in the case of Brunswikian theory of phenomenal absolutism predicting
cultural differences in optical illusion susceptibility), empirical findings became highly
interpretable, if not immune from plausible alternative interpretations (e.g., Segall,
Campbell, & Herskovits, 1966).
Following the linguist Pike (1967), many cross-cultural psychologists used the
terms etic and emic to refer, respectively, to (a) comparative, across-cultures studies,
and to (b) careful, internal exploration of psychological phenomena in local cultural
terms. When such emic research succeeded, it would be expected to provide
indigenous, culturally based meanings that were most probably missed when making
the initial imposed etic approach to psychological phenomena in various cultures.
Consequently, one could emerge with what has been termed a "derived etic" (Berry,
1969), which is clearly to be preferred over an "imposed etic."
If extensive use of emic approaches in a number of cultures produced
instruments that satisfy the derived etic criteria, then comparative examination with
such an instrument of behavior in various cultures could yield either differences or
similarities in psychological functioning. If obtained behavioral differences were
superficial, but nonetheless, reflective of underlying shared psychological
phenomena, even these could support notions of psychological universals. For
example, the Segall, Campbell, and Herskovits study (1966) obtained cross-cultural
differences in illusion susceptibility, but these differences reflected a universally
shared process of active interpretation of ambiguous stimuli by perceivers in all the
cultures sampled in ways that were always "ecologically valid" (Brunswik & Kamiya,
1953).
In the extreme, and probably late in the game, even a universal psychology might
emerge, but we argue that universality can never be assumed in advance. Berry,
Poortinga, Segall, & Dasen (1992) posed three theoretical orientations in cross-
cultural psychology, which they called "absolutism," "relativism," and "universalism."
The absolutist position is one that assumes that human phenomena are basically the
same (qualitatively) in all cultures: honesty is honesty, and depression is depression,
no matter where one observes it. From the absolutist perspective, culture is thought
to play little or no role in either the meaning or display of human characteristics.
Assessments of such characteristics are likely to be made using standard instruments
(perhaps with linguistic translation), and interpretations are made facilely, but most
likely erroneously, without alternative culturally based views taken into account. This
orientation resembles, of course, the imposed etic approach that was characteristic
of some early cross-cultural work. Cross-cultural psychology is still stereotyped and
unfairly criticized for having used this research mode in its earlier incarnations. It is
true, however, that although a priori absolutism is deplored, a universally applicable
psychological theory remains a tantalizing and presumably attainable goal for many
cross-cultural psychologists. They seek it in a more sophisticated manner than they
used to.
Cultural relativism, a term advanced by the anthropologist Boas (1911) and
expanded and disseminated by Herskovits (1948), was initially meant primarily to
warn against invalid cross-cultural comparisons, flavored by ethnocentric value
judgments. Berry et al. (1992) appropriated the word relativism to designate the
opposite of absolutism. Thus, for relativists, in this sense, there is typically little or no
interest in intergroup similarities, a stark contrast with absolutists, who assume there
to
John W. Berry
be species-wide basic processes that produce many
similarities.
Absolutists would be prone to attempt context-
free measurements, using standard psychological
instruments, frequently making evaluative
comparisons, and, as a consequence, open themselves
up to the error of using "imposed etics" when working
in societies other than their own. In contrast,
relativists would lean toward strictly emic research,
considering context-free concepts and their
measurement to be impossible. They would try to
avoid all comparisons, which, if made at all, would be as nonevaluative as possible.
Few scholars are found at either pole. However, for some years, one could find
many European and American experimental psychologists who stubbornly denied
that cultural factors affected psychological processes, and they proceeded to
accumulate culture-bound findings that they believed to be universally valid for all of
humankind. In parallel, some adherents of the cultural psychology movement (e.g.,
Shweder & Sullivan, 1993) sometimes place themselves quite close to the relativist
pole, emphasizing that psychological processes and structures vary in such
fundamental ways in different cultural contexts that they are beyond comparison, or
nearly so. Although this orientation resembles the one currently espoused by
"cultural" psychologists, many do make comparisons (see Miller, 1997).
Where are most cross-cultural psychologists on these dimensions defined in the
extremes by absolutism and relativism? The answer is somewhere in between, where
they strike a balance, revealing an orientation that borrows from both of the poles.
Cross-cultural psychologists typically expect both biological and cultural factors to
influence human behavior, but, like relativists, assume that the role of culture in
producing human variation both within and across groups (especially across groups) is
substantial. For example, Poortinga, van de Vijver, Joe, and Van de Koppel (1987)
examined cultural variables very carefully (a process they call "peeling the onion") in
order to reveal the "psychic unity of mankind" at the core of culture. Of course, the
outer layers of the "onion" are important cultural phenomena in their own right.
So, many cross-cultural psychologists allow for similarities due to species-wide
basic processes but consider their existence subject to empirical demonstration. This
kind of universalism assumes that basic human characteristics are common to all
members of the species (i.e., constituting a set of psychological givens) and that
culture influences the development and display of them (i.e., culture plays different
variations on these underlying themes, called "variform universals" by Lonner, 1980).
Assessments are based on the presumed underlying process, but measures are
developed in culturally meaningful versions. Comparisons are made cautiously, using
a wide variety of methodological principles and safeguards, whereas interpretations
of similarities and differences are attempted that take alternative culturally based
meanings into account (see van de Vijver & Leung, 1997a, 1997b). This orientation
resembles the derived etic approach. It is characteristic of much of contemporary
cross-cultural psychology and is also advocated by some cultural psychologists (e.g.
Greenfield, 1997a). It thus serves as a communal basis for convergence of the various
approaches to cross-cultural psychology (see Lonner & Adamopoulos, 1997, and
Poortinga, 1997).
Terjemahan
Sebuah sejarah psikologi lintas budaya menunjukkannya sebagai bagian yang semakin
penting dari psikologi modern. Meskipun ada kesepakatan yang tersebar luas bahwa
budaya merupakan komponen yang sangat diperlukan dalam memahami perilaku
manusia, ada perbedaan konseptual yang patut diperhatikan mengenai cara-cara di
mana budaya dan perilaku saling terkait. Perspektif mencakup absolutisme dan
relativisme, masing-masing dengan konsekuensi metodologis untuk masalah
penelitian kontemporer seperti nilai-nilai (termasuk individualisme-kolektivisme),
perbedaan gender, kognisi, agresi, hubungan antarkelompok, dan akulturasi
psikologis. Kekhawatiran sosial terkait dengan topik-topik ini dijelaskan secara
singkat. Ketika semua psikologi akhirnya memperhitungkan efek budaya pada
perilaku manusia (dan sebaliknya), istilah-istilah seperti psikologi lintas budaya dan
budaya akan menjadi tidak perlu.
Masih dapatkah, ketika kita mendekati milenium (yang diukur pada kalender Barat,
Kristen), untuk mengadvokasi bahwa semua ilmuwan sosial, terutama psikolog,
mempertimbangkan budaya secara serius ketika mencoba memahami perilaku
manusia? Ini telah menjadi proposisi jelas bagi semua yang karyanya telah lama
diidentifikasi dengan psikologi lintas budaya (misalnya, Berry et al., 1997) dan banyak
bagian penyusunnya - "psikologi budaya" (Shweder & Sullivan, 1993), "etnopsikologi"
(Diaz-Guerrero, 1975), "psikologi sosial" (Berry, 1983), dan "lapsychologie
interulturelle" (Camilleri & Vinsonneau, 1996) - serta disiplin ilmu terkait terdekat -
"antropologi psikologis" (Bock , 1994; Hsu, 1972; LeVine, 1973, 1982), dan
"antropologi komparatif" (Ember & Ember, 1988; Munroe & Munroe, 1997; Whiting
& Child, 1953). Sudah lama dinyatakan, seolah-olah itu adalah diktum, yaitu, "perilaku
manusia bermakna hanya jika dilihat dalam konteks sosiokultural di mana ia terjadi"
(mis., Segall, 1979, hal. 3, penekanan ditambahkan)! Artikel ini, diarahkan terutama
untuk para pembaca American Psychologist, memiliki beberapa perintis. Dalam jurnal
ini, ada beberapa artikel yang menyerukan perhatian lebih pada budaya oleh para
peneliti psikologis (misalnya, Betancourt & Lopez, 1993; Cole, 1984; Fowers &
Richardson, 1996; Gergen, Gulerce, Lock, & Misra, 1996; Greenfield, 1997b; Phinney,
1996; Triandis & Brislin, 1984).
Namun demikian, psikologi pada umumnya telah lama mengabaikan "budaya"
sebagai sumber pengaruh pada perilaku manusia dan masih sedikit
memperhitungkan teori atau data dari selain budaya Eropa-Amerika. Tidak mudah
untuk memahami mengapa psikologi begitu enggan mengenali budaya. Mungkin
jawabannya terletak pada pengamatan (dikaitkan dengan Marshall McLuhan): "Ini
mudah sekali sehingga ikan tidak menemukan air." Sama jelasnya, psikolog tidak
menemukan budaya. Konteks apa pun untuk perilaku manusia yang mencakup segala
hal sebagai budaya bagi individu yang sedang berkembang cenderung diabaikan, atau
jika diperhatikan, dianggap diterima begitu saja. Dan secepat ikan keluar dari air
menemukan pentingnya, psikologi baru-baru ini juga harus bersaing dengan budaya
sebagai fondasi penting untuk disiplin. Ketika masyarakat nasional menjadi semakin
beragam dan kontak internasional menjadi hal yang umum, para psikolog tidak lagi
dapat mengambil sikap acultural atau unicultural. Inventarisasi yang dilakukan
beberapa tahun yang lalu dari isi buku teks sarjana dalam psikologi mengungkapkan
bahwa budaya dalam kaitannya dengan perilaku hampir selalu tidak ada, atau, paling
banter, baik asal-asalan atau renungan (Lonner, 1990). Namun, kami dapat memuji
beberapa teks psikologi pengantar bahwa, selama beberapa tahun terakhir telah
melakukan upaya yang kuat untuk memperbaiki situasi (mis., Sternberg, 1995; Wade
& Tavris, 1996; Westen, 1996). Terlepas dari upaya ini, masih ada pengabaian yang
meluas. Mungkin pengabaian ini mencerminkan beberapa kesalahpahaman tentang
Marshall H. Segall
Apa yang dilakukan oleh banyak varietas psikolog
lintas budaya, jenis penelitian apa yang
dilakukan, apa implikasi dari temuan penelitian
lapangan, dan bagaimana bidang tersebut telah
berevolusi dari permulaannya sekitar empat
dekade lalu. Untuk memperjelas masalah ini
adalah maksud dari makalah ini.
Para pengembang psikologi lintas-budaya
modern (lihat di bawah untuk sejarah singkat)
menjadikannya multikultural dan inklusif secara
maksimal (lihat Berry & Dasen, 1974), walaupun
sering gagal memenuhi cita-cita ini. Berry dan
Dasen membahas tiga pelengkap tujuan yang diusulkan untuk bidang yang muncul:
untuk mengangkut dan menguji pengetahuan dan perspektif psikologis kita saat ini
dengan menggunakannya dalam budaya lain; untuk mengeksplorasi dan menemukan
aspek-aspek baru dari fenomena yang sedang dipelajari dalam istilah budaya lokal;
dan untuk mengintegrasikan apa yang telah dipelajari dari dua pendekatan pertama
ini untuk menghasilkan lebih banyak psikologi universal, yang memiliki validitas pan-
manusia Keberadaan universal dalam disiplin ilmu lain (misalnya, biologi, linguistik,
sosiologi, dan antropologi) menyediakan beberapa dasar untuk asumsi bahwa kita
akan dapat bekerja melalui tujuan ketiga ini dengan beberapa keberhasilan.
Sepanjang jalan, pertanyaan telah diajukan tentang nama terbaik untuk
perusahaan. Sebagai contoh, Lonner (1992) menyatakan keprihatinannya bahwa
"psikologi lintas budaya" mungkin tampak terlalu terbatas atau terbatas, karena
hubungan sejarahnya yang tidak menguntungkan dengan dua perbedaan budaya -
jenis penelitian yang mengarah pada data yang tidak dapat diinterpretasikan, seperti
Campbell ( 1961) menunjukkan. Juga, bagi beberapa pengamat, nama ini mungkin
mengingatkan kita pada fokus yang terlalu intens pada metode kuantitatif,
reduksionis dan menghindari teknik kualitatif yang lebih inovatif. Selama bertahun-
tahun, debat itu hening, hanya terjadi pada 1990-an (misalnya, Dasen, 1993;
Davidson, 1994; Diaz-Guer rero, 1993; Malpass, 1993; Poortinga & van de Vijver,
1994; Segall, 1993), tetapi nama yang lebih baik untuk perusahaan daripada
"psikologi lintas budaya" tidak pernah muncul. Posisi kami tentang masalah nama
adalah bahwa apa yang disebut psikologi lintas budaya tidak sepenting apa yang
dilakukannya - untuk memastikan bahwa topik psikologi seluas mungkin dieksplorasi
dalam spektrum etnis dan budaya seluas mungkin dan dengan beragam metodologi .
Psikologi lintas budaya, didefinisikan secara luas seperti yang kita lakukan di sini,
terdiri dari banyak cara mempelajari budaya sebagai konteks penting untuk
perkembangan dan perilaku psikologis manusia. Juru bicara mengartikulasikan untuk
psikologi budaya (misalnya, Boesch, 1991; Cole, 1996; Shweder & Sullivan, 1993)
menawarkan satu pendekatan untuk berfokus pada budaya sebagai bagian integral
dari semua fungsi psikologis, dengan budaya dan psikologi dipandang sebagai
"fenomena saling konstitutif" (Miller, 1997, hlm. 88). Psikologi lintas budaya sebagian
besar terdiri dari beragam bentuk penelitian komparatif (seringkali secara eksplisit
dan selalu setidaknya secara implisit) untuk melihat pengaruh berbagai faktor
budaya, banyak dari mereka yang terkait dengan etnis, pada bentuk-bentuk
perkembangan dan perilaku.
Dalam mode komparatif ini, budaya diperlakukan sebagai terdiri dari serangkaian
variabel independen atau kontekstual yang mempengaruhi berbagai aspek perilaku
individu (Lonner & Adamopoulos, 1997; Segall, 1984). Penelitian lintas budaya
biasanya mencari bukti efek seperti itu.
Sadar akan definisi awal budaya yang terkenal oleh antropolog Herskovits, yang
menyatakan, "Budaya adalah bagian buatan manusia dari lingkungan" (Herskovits,
1948, hlm. 17), peneliti lintas budaya kadang-kadang mencari juga pengaruh individu.
'Perilaku pada budaya yang selalu berubah. Ketika melakukan itu, variabel
independen dan dependen dipertukarkan, dan perbedaannya menjadi kabur. Tetapi
lebih sering daripada tidak, pencarian adalah efek budaya pada perilaku.
Bahwa perusahaan riset komparatif seperti itu, meskipun jelas layak, sulit telah
dihadapi secara konstruktif sejak awal, oleh beberapa ahli metodologi psikologi yang
paling dihormati (mis., Campbell, 1964). Kami secara konsisten berargumen bahwa
semua psikolog harus membawa perspektif mereka sendiri berdasarkan budaya
ketika mereka belajar di budaya lain; sebagaimana dinyatakan kembali baru-baru ini,
"perspektif ini merupakan sumber bias awal (biasanya orang Eropa-Amerika), yang
harus dikonfrontasi dan dikurangi ketika pekerjaan berkembang dalam budaya lain"
(Berry, in press).
Era modern psikologi lintas-budaya dimulai tak lama setelah berakhirnya Perang
Dunia II. Ekspansi yang cepat dapat dikaitkan dengan motivasi bersama untuk
memahami kengerian yang menyertai perang dan untuk memperluas cakrawala
intelektual psikologi di luar batas-batas parokial, nasionalistik. Dengan meningkatnya
arti-penting perspektif internasional yang menyertai perang dingin, studi tentang
perilaku manusia dalam konteks budaya berkembang sangat cepat. Setengah dekade
1966-1970 menjadi awal dari Buletin Psikologi Lintas-Budaya triwulanan (awalnya
disebut Buletin Psikologi Sosial Lintas-Budaya, diterbitkan secara aperiodik) dan
Jurnal Psikologi Internasional, serta Direktori awal Cross.
Walter J. Lonner
Penelitian Psikologis Budaya (Berry, 1968). Tahun-
tahun ini ditandai juga oleh publikasi studi multisocietal
tentang pengaruh budaya pada persepsi visual (Segall,
Campbell, & Herskovits, 1966), volume buku kecil
berjudul Studi Lintas Budaya (Price-Williams, 1969), dan
peresmian buku tersebut. Jurnal CrossCultural
Psychology pada tahun 1970. Pada 1980-an, penelitian
yang cukup telah dilakukan untuk membenarkan dua
buku pegangan utama, satu di psikologi lintas budaya
umumnya (Triandis et al., 1980) dan yang lainnya
dalam pengembangan manusia (Munroe, Munroe, &
Whiting , 1981).
Meskipun penuh semangat, disiplin itu ditandai oleh
beberapa kelemahan konseptual dan metodologis. Pada hari-hari awal, ada, terlalu
sering, aplikasi naif konsep teoritis EuroAmerican dan, lebih buruk lagi, instrumen
dirancang, diproduksi, dan divalidasi dalam pengaturan Euro-Amerika untuk
penelitian yang dilakukan di pengaturan lain. Pendekatan ini, dijuluki "etic yang
dipaksakan" (Berry, 1969) paling sering menghasilkan perbedaan "lintas budaya" yang
tidak dapat ditafsirkan. Baru-baru ini, sekali lagi dikritik (Greenfield, 1997b) tepat, jika
terlambat. Di sisi lain, ketika dapat ditunjukkan bahwa instrumen, meskipun
diproduksi dalam satu pengaturan, masih berlaku di banyak pengaturan lain,
perbedaan yang diperoleh dengan instrumen itu dapat dianggap mencerminkan
beberapa variabel budaya. Ketika, di samping itu, perbedaan-perbedaan itu diprediksi
berdasarkan teori (seperti dalam kasus Brunswikian, teori absolutisme fenomenal
yang memprediksi perbedaan budaya dalam kerentanan ilusi optik), secara empiris
temuan menjadi sangat dapat ditafsirkan, jika tidak kebal dari interpretasi alternatif
yang masuk akal (mis., Segall, Campbell, & Herskovits, 1966).
Mengikuti ahli bahasa Pike (1967), banyak psikolog lintas budaya menggunakan
istilah etic dan emic untuk merujuk, masing-masing, ke (a) studi banding, lintas-
budaya, dan (b) eksplorasi hati-hati dari fenomena psikologis dalam budaya lokal
ketentuan Ketika penelitian emik tersebut berhasil, diharapkan akan memberikan
makna asli, berdasarkan budaya yang paling mungkin terlewatkan ketika melakukan
pendekatan etik awal yang dipaksakan terhadap fenomena psikologis di berbagai
budaya. Akibatnya, seseorang dapat muncul dengan apa yang disebut sebagai "etik
turunan" (Berry, 1969), yang jelas lebih disukai daripada "etik yang dipaksakan."
Jika penggunaan luas pendekatan emik dalam sejumlah kultur menghasilkan
instrumen yang memenuhi kriteria etik turunan, maka pemeriksaan komparatif
dengan instrumen perilaku dalam berbagai kultur dapat menghasilkan perbedaan
atau kesamaan dalam fungsi psikologis. Jika perbedaan perilaku yang diperoleh
adalah dangkal, tetapi tetap, mencerminkan fenomena psikologis bersama yang
mendasarinya, bahkan ini dapat mendukung gagasan universal psikologis. Sebagai
contoh, studi Segall, Campbell, dan Herskovits (1966) memperoleh perbedaan lintas
budaya dalam kerentanan ilusi, tetapi perbedaan ini mencerminkan proses
interpretasi aktif bersama rangsangan ambigu oleh pengamat dalam semua budaya
yang disampel dengan cara yang selalu " valid secara ekologis "(Brunswik & Kamiya,
1953).
Dalam keadaan ekstrem, dan mungkin di akhir permainan, bahkan psikologi
universal mungkin muncul, tetapi kami berpendapat bahwa universalitas tidak pernah
dapat diasumsikan sebelumnya. Berry, Poortinga, Segall, & Dasen (1992)
mengemukakan tiga orientasi teoretis dalam psikologi lintas-budaya, yang mereka
sebut "absolutisme," "relativisme," dan "universalisme." Posisi absolut adalah yang
mengasumsikan bahwa fenomena manusia pada dasarnya sama (secara kualitatif)
dalam semua budaya: kejujuran adalah kejujuran, dan depresi adalah depresi, di
mana pun orang mengamatinya. Dari sudut pandang absolut, budaya dianggap hanya
memainkan sedikit atau tidak sama sekali peran, baik dalam arti maupun tampilan
karakteristik manusia. Penilaian karakteristik seperti itu mungkin dilakukan dengan
menggunakan instrumen standar (mungkin dengan terjemahan linguistik), dan
interpretasi dibuat dengan lancar, tetapi kemungkinan besar keliru, tanpa pandangan
berbasis budaya alternatif dipertimbangkan. Orientasi ini menyerupai, tentu saja,
pendekatan etik yang dipaksakan yang merupakan karakteristik dari beberapa
pekerjaan lintas budaya awal. Psikologi lintas budaya masih distereotipkan dan
dikritik secara tidak adil karena menggunakan mode penelitian ini dalam inkarnasinya
sebelumnya. Memang benar, bahwa walaupun absolutisme apriori disesalkan, teori
psikologi yang berlaku secara universal tetap menjadi tujuan yang menggiurkan dan
mungkin dapat dicapai bagi banyak psikolog lintas budaya. Mereka mencarinya
dengan cara yang lebih canggih daripada biasanya.
Relativisme kultural, istilah yang dikembangkan oleh antropolog Boas (1911) dan
diperluas dan disebarluaskan oleh Herskovits (1948), pada awalnya dimaksudkan
terutama untuk memperingatkan terhadap perbandingan lintas-budaya yang tidak
valid, yang dibumbui oleh penilaian nilai etnosentris. Berry et al. (1992) menggunakan
kata relativisme untuk menunjuk kebalikan dari absolutisme. Dengan demikian, bagi
para relativis, dalam pengertian ini, biasanya ada sedikit atau tidak ada minat pada
kesamaan antarkelompok, suatu kontras yang tajam dengan absolutis, yang
menganggap ada.
John W. Berry
Menjadi proses dasar seluruh spesies yang
menghasilkan banyak kesamaan.
Absolutis akan cenderung untuk mencoba
pengukuran bebas konteks, menggunakan instrumen
psikologis standar, sering membuat perbandingan
evaluatif, dan, sebagai konsekuensinya, membuka diri
terhadap kesalahan menggunakan "etika yang dipaksakan" ketika bekerja di
masyarakat selain mereka sendiri. Sebaliknya, relativis akan condong ke arah
penelitian emik yang ketat, menganggap konsep bebas konteks dan pengukurannya
menjadi tidak mungkin. Mereka akan mencoba untuk menghindari semua
perbandingan, yang, jika dibuat sama sekali, akan menjadi tidak bernilai mungkin.
Beberapa sarjana ditemukan di kedua kutub. Namun, selama beberapa tahun,
orang dapat menemukan banyak psikolog eksperimental Eropa dan Amerika yang
dengan keras kepala menyangkal bahwa faktor budaya mempengaruhi proses
psikologis, dan mereka melanjutkan untuk mengumpulkan temuan yang terikat
budaya yang mereka yakini secara universal valid untuk semua umat manusia. Secara
paralel, beberapa penganut gerakan psikologi budaya (misalnya, Shweder & Sullivan,
1993) kadang-kadang menempatkan diri mereka cukup dekat dengan kutub relativis,
menekankan bahwa proses dan struktur psikologis bervariasi dalam cara-cara
mendasar seperti itu dalam konteks budaya yang berbeda sehingga mereka berada di
luar perbandingan, atau hampir seperti itu. Meskipun orientasi ini mirip dengan yang
saat ini didukung oleh psikolog "budaya", banyak yang melakukan perbandingan
(lihat Miller, 1997).
Di mana sebagian besar psikolog lintas budaya pada dimensi-dimensi ini
didefinisikan secara ekstrem oleh absolutisme dan relativisme? Jawabannya ada di
suatu tempat di antaranya, di mana mereka mencapai keseimbangan,
mengungkapkan orientasi yang meminjam dari kedua kutub. Psikolog lintas budaya
biasanya mengharapkan faktor biologis dan budaya untuk mempengaruhi perilaku
manusia, tetapi, seperti halnya para relativis, menganggap bahwa peran budaya
dalam menghasilkan variasi manusia baik di dalam maupun lintas kelompok
(terutama lintas kelompok) adalah substansial. Sebagai contoh, Poortinga, van de
Vijver, Joe, dan Van de Koppel (1987) meneliti variabel budaya dengan sangat hati-
hati (sebuah proses yang mereka sebut "mengupas bawang") untuk mengungkapkan
"kesatuan psikis umat manusia" pada inti budaya. . Tentu saja, lapisan luar "bawang"
adalah fenomena budaya penting dalam hak mereka sendiri.
Jadi, banyak psikolog lintas budaya memungkinkan untuk kesamaan karena proses
dasar spesies luas tetapi menganggap keberadaan mereka tunduk pada demonstrasi
empiris. Jenis universalisme ini mengasumsikan bahwa karakteristik dasar manusia
adalah umum untuk semua anggota spesies (yaitu, membentuk seperangkat givens
psikologis) dan bahwa budaya mempengaruhi perkembangan dan tampilan mereka
(yaitu, budaya memainkan variasi berbeda pada tema-tema yang mendasarinya, yang
disebut "variform universal" oleh Lonner, 1980). Penilaian didasarkan pada proses
dasar yang diduga, tetapi langkah-langkah dikembangkan dalam versi yang bermakna
secara budaya. Perbandingan dibuat dengan hati-hati, menggunakan berbagai prinsip
dan perlindungan metodologis, sedangkan interpretasi persamaan dan perbedaan
diupayakan yang mempertimbangkan makna berbasis budaya alternatif (lihat van de
Vijver & Leung, 1997a, 1997b). Orientasi ini menyerupai pendekatan etik turunan. Ini
adalah karakteristik dari banyak psikologi lintas budaya kontemporer dan juga
dianjurkan oleh beberapa psikolog budaya (mis. Greenfield, 1997a). Dengan demikian
ia berfungsi sebagai basis komunal untuk konvergensi berbagai pendekatan psikologi
lintas budaya (lihat Lonner & Adamopoulos, 1997, dan Poortinga, 1997).