Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH

KEPRIBADIAN INDIVIDU

Diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Psikologi Umum
Dosen :
Prof. Dr. Cece Rahmat, M.Pd.
Dra. Hj. Setawati, M.Pd.

Oleh
Kelompok 11

Kania Rosma Salsabila 1908624


Sherdinne Mutfathia S 1909037
Silfia Dindasari 1907758
Yushini Hasya Nuha 1907787

Departemen Psikologi Pendidikan dan Bimbingan


Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
2019
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya
sehingga penulisan makalah ini dapat rampung sesuai dengan jadwal yang
ditentukaan oleh penulis sendiri. Shalawat beriring salam diperuntukkan bagi nabi
besar junjungan umat islam, Nabi Muhammad SAW. Yang telah menuntun umat
menuju jalan kebenaran yang dilimpahi berkah oleh Allah SWT.
Ucapan terima kasih kepada teman-teman yang telah membantu dan
berkontribusi dalam penulisan makalah ini. Sehingga makalah ini dapat tersusun
dengan sebagaimana mestinya.
Makalah ini merupakan salah satu tugas mata kuliah Psikologi Umum di
program studi Psikologi Pendidikan dan Bimbingan lingkungan Fakultas Ilmu
Pendidikan pada Universitas Pendidikan Indonesia Bandung.s Selanjutnya penulis
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dra. Hj. Setiawati,
M.Pd. dan Prof. Dr. Cece Rahmat, M.Pd. selaku dosen mata kuliah Psikologi
Umum.
Akhir kata tak ada gading yang tak retak, oleh sebab itu penulis menyadari
terdapat banyak kesalahan disana-sini dalam penulisan dan penyusunan makalah
ini. Diharapkan kririk dan saran untuk perbaikan makalah ini kedepannya, Terima
kasih.

Bandung, 23 September 2019


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………. i

DAFTAR ISI……………………………………………………………… ii

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………... 1

1. LATAR BELAKANG…………….………………………….. 1
2. RUMUSAN MASALAH…………………………………………..
2
3. TUJUAN PEMBAHASAN………………………………………...
2

BAB II PEMBAHASAN………………………………………………............
3

1. PENGERTIAN KEPRIBADIAN…………………………………. 3
2. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI……………..... 4
3. TEORI KEPRIBADIAN ERIK ERIKSON…...………………...... 7
4. TIPE-TIPE KEPRIBADIAN……………………...…………….....
14
5. ASPEK-ASPEK KEPRIBADIAN………………...………… 20

BAB III ANALISIS PERILAKU………………...


………………………………….. 23

BAB IV
PENUTUP……………………………………………………………………
26

1. KESIMPULAN………………………………………………………
……. 26
2. SARAN…………………………………………………………………
….. 26
DAFTAR
PUSTAKA………………………………………………………………….
27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia adalah makhluk Tuhan Yang Maha Esa yang diberi akal
sehat yang paling sempurna dari makhluk hidup di dunia untuk berpikir
dan berkarya di dunia ini. Manusia adalah makhluk sosisal, dimana ia
tidak bias hidup sendirian. Yang berarti manusia pasti bergantung pada
orang lain.

Mutu pendidikan selalu menjadi sorotan dari berbagai pihak. Mutu


pendidikan sangat dipengaruhi oleh mutu pembelajaran. Manusia sebagai
kesatuan badani dan rohani hidup dalam ruang dan waktu, memiliki
kesadaran (consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness). Manusia
memiliki berbagai kebutuhan, nafsu, insting, serta tujuan hidup. Namun,
Manusia mempunyai kepribadian yang berbeda-beda.

Kepribadian berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan


bahwa kepribadian sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan
fisik) yang merupakan suatu struktur dan sekaligus proses. Jadi,
kepribadian merupakan sesuatu yang dapat berubah. Secara eksplisit
Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh dan mengalami
perubahan.

Pada zaman Yunani kuno, topeng merupakan perlengkapan yang


digunakan oleh para aktor sandiwara. Karakter yang dimainkan oleh para
aktor adalah menampilkan kepribadian atau karakter sesuai dengan topeng
yang digunakan. Dalam hal ini, topeng menggambarkan tentang siapa,
apa, mengapa dan bagaimana perilaku seseorang. Kata “Topeng” dalam
bahasa Yunani adalah persona, yang kemudian diserap dalam bahasa
Inggris menjadi personality. Kata ini digunakan untuk menunjukkan
sesuatu yang tertanam dalam diri manusia.

Kepribadian juga didefinisikan sebagai kecenderungan sejak lahir


(herediter) yang dipengaruhi oleh lingkungan dan pendidikan, sehingga
berpengaruh pada kejiwaan dan tindakannya dalam kehidupan. Hal ini
merupakan pandangan kepribadian dari Weller.

Konsep kepribadian telah menjadi konsep yang demikian luasnya,


sehingga konsep ini menjadi suatu konstruksi yang tidak mungkin
dirumuskan dalam satu definisi saja tetapi dalam definisi yang dapat
mencakup keseluruhannya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa itu Kepribadian?
2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kepribadian?
3. Bagaimana teori kepribadian menurut Erik Eriksom?
4. Apa saja tipe-tipe kepribadian?
5. Apa saja aspek-aspek kepribadian?

C. Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari makalah ini yaitu :

1. Mendeskripsikan pengertian dari kepribadian


2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian
3. Mendeskripsikan teori kepribadia menurut Erik Erikson
4. Mendeskripsikan tipe-tipe kepribadian
5. Mendeskripsikan aspek-aspek kepribadian
BAB II

KEPRIBADIAN MANUSIA

A. Pengertian Kepribadian

Berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian


sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu
struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat
berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh
dan mengalami perubahan.

Akan tetapi, menurut Koetjaraningrat pengertian Kepribadian adalah


beberapa ciri watak yang diperlihatkan seseorang secara lahir, konsisten, dan
konsekuen dalam bertingkah laku, sehigga individu memiliki identitas khusus
yang berbeda dengan orang lain.

Teori kepribadian lainnya datang dari Alfred Adler. Menurut Adler,


manusia merupakan makhluk individual yang termotivasi oleh dorongan-
dorongan sosial yang memang sudah dibawa ketika lahir. Alfred Adler merupakan
pelopor dalam ilmu psikologi yang membahas tentang teori bawah sadar yang
merupakan bagian penting di dalam sebuah kepribadian seseorang. Adler juga
menerapkan teori urutan lahir untuk memprediksi kepribadian seseorang. Adler
yakin bahwa keturunan, lingkungan, dan kreatifitas di dalam lingkungan mmampu
membantuk kepribadian seseorang. Berikut ini penggambaran sifat anak yang
didasarkan pada urutan lahir:

 Anak pertama: Lebih bersifat menjaga, mengatur dengan baik, memiliki


kecemasan yang tinggi, pengkritik, serta mampu melindungi.
 Anak kedua: memiliki motivasi yang tinggi, senang bersaing,
pemberontak, mudah putus ada, serta dapat bekerja sama.

 Anak bungsu: realistis, manja, tergantung dengan yang lain, serta


ambisius.

 Anak tunggal: manja, takut bersaing, berusaha menjadi pusat perhatian,


namun dewasa secara sosial.

B. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kepribadian

Meskipun memiliki makna yang berbeda, antara kepribadian dan karakter


juga terdapat kesamaan yaitu keduanya sama – sama dipengaruhi oleh faktor
genetik dan faktor lingkungan.

Faktor keturunan atau faktor genetik diantara kepribadian dan karakter


akan sangat mempengaruhi individu. Disisi lain, faktor lingkungan dapat
membuat individu mengembangkan kepribadian dan membentuk karakter yang
kesemuanya bergantung kepada lingkungan dimana individu tersebut tinggal dan
berinteraksi. . Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepribadian seseorang
dapat dikelompokkan dalam dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

1. Faktor Internal
a. Keturunan
Keturunan merujuk pada faktor genetika seorang individu.
Tinggi fisik, bentuk wajah, gender, temperamen, komposisi otot
dan refleks, tingkat energi dan irama biologis adalah karakteristik
yang pada umumnya dianggap bawaan dari individu. Terdapat tiga
dasar penelitian yang berbeda yang memberikan sejumlah
kredibilitas terhadap argumen bahwa faktor keturunan memiliki
peran penting dalam menentukan kepribadian seseorang. Dasar
pertama berfokus pada penyokong genetis dari perilaku dan
temperamen anak-anak, kedua berfokus pada anak-anak kembar
yang dipisahkan sejak lahir, dan ketiga meneliti konsistensi
kepuasan kerja dari waktu ke waktu dan dalam berbagai situasi.
Penelitian terhadap anak-anak memberikan dukungan yang kuat
terhadap pengaruh dari faktor keturunan. Bukti menunjukkan
bahwa sifat-sifat seperti perasaan malu, rasa takut, dan agresif
dapat dikaitkan dengan karakteristik genetis bawaan. Temuan ini
mengemukakan bahwa beberapa sifat kepribadian mungkin
dihasilkan dari kode genetis sama yang memperanguhi faktor-
faktor seperti tinggi badan dan warna rambut.

2. Faktor Eksternal
a. Lingkungan
Faktor lain yang memberi pengaruh cukup besar terhadap
pembentukan karakter adalah lingkungan di mana seseorang
tumbuh dan dibesarkan; norma dalam keluarga, teman, dan
kelompok sosial; dan pengaruh-pengaruh lain yang seorang
manusia dapat alami. Faktor lingkungan ini memiliki peran dalam
membentuk kepribadian seseorang. Sebagai contoh, budaya
membentuk norma, sikap, dan nilai yang diwariskan dari satu
generasi ke generasi berikutnya dan menghasilkan konsistensi
seiring berjalannya waktu sehingga ideologi yang secara intens
berakar di suatu kultur mungkin hanya memiliki sedikit pengaruh
pada kultur yang lain.
b. Budaya
Perkembangan dan pembentukan kepribadian pada diri
masing – masing orang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan
masyarakat di mana seseorang itu dibesarkan. Beberapa aspek
kebudayaan yang sangat mempengaruhi perkembangan dan
pembentukan kepribadian antara lain:
 Nilai-nilai (Values)

Di dalam setiap kebudayaan terdapat nilai-nilai hidup yang


dijunjung tinggi oleh manusia-manusia yang hidup dalam
kebudayaan itu. Untuk dapat diterima sebagai anggota suatu
masyarakat, kita harus memiliki kepribadian yang selaras
dengan kebudayaan yang berlaku di masyarakat itu.

 Adat Istiadat
Adat dan tradisi yang berlaku disuatu daerah, di samping
menentukan nilai-nilai yang harus ditaati oleh anggota-
anggotanya, juga menentukan pula cara-cara bertindak dan
bertingkah laku yang akan berdampak pada kepribadian
seseorang.
 Pengetahuan dan Keterampilan
Tinggi rendahnya pengetahuan dan keterampilan seseorang
atau suatu masyarakat mencerminkan pula tinggi rendahnya
kebudayaan masyarakat itu. Makin tinggi kebudayaan suatu
masyarakat makin berkembang pula sikap hidup dan cara-cara
kehidupannya.

 Bahasa
Di samping faktor-faktor kebudayaan yang telah diuraikan
di atas, bahasa merupakan salah satu faktor yang turut
menentukan cirri-ciri khas dari suatu kebudayaan. Betapa erat
hubungan bahasa dengan kepribadian manusia yang memiliki
bahasa itu. Karena bahasa merupakan alat komunikasi dan alat
berpikir yang dapat menunukkan bagaimana seseorang itu
bersikap, bertindak dan bereaksi serta bergaul dengan orang
lain.

c. Faktor Sosial
Faktor sosial yang dimaksud di sini adalah masyarakat ;
yakni manusia-manusia lain disekitar individu yang bersangkutan.
Termasuk juga kedalam faktor sosial adalah tradisi-tradisi, adat
istiadat, peraturan-peraturan, bahasa, dan sebagainya yang berlaku
dimasyarakat itu. Sejak dilahirkan, anak telah mulai bergaul
dengan orang-orang disekitarnya. Dengan lingkungan yang
pertama adalah keluarga. Dalam perkembangan anak, peranan
keluarga sangat penting dan menentukan bagi pembentukan
kepribadian selanjutnya. Keadaan dan suasana keluarga yang
berlainan memberikan pengaruh yang bermacam-macam pula
terhadap perkembangan kepribadian anak.

C. Teori Kepribadian Erik Erikson


Erik Erikson adalah seorang psikolog yang merupakan murid dari
Sigmund Freud seorang tokoh psikoanalitik. Erikson mengambil psikoanalitik
sebagai dasar teorinya namun ia mengikut sertakan pengaruh-pengaruh sosial
individu dalam perkembangannya. Berbeda dengan Freud yang berpendapat
bahwa pengalaman masa kanak-kanak, terutama di lima tahun awal, yang
mempengaruhi kepribdian seseorang ketika dewasa. Erikson berpendapat
bahwa masa dewasa bukanlah sebuah hasil dari pengalaman-pengalaman masa
lalu tetapi merupakan proses kelanjutan dari tahapan sebelumnya.
Erik Erikson membantah ide Freud yang mengatakan bahwa identitas
sudah ditentukan dan terbentuk sejak kanak-kanak, pada usia lima atau enam
tahun. Erikson berpendapat bahwa pembentukan identitas merupakan proses
yang berlangsung seumur hidup.
Manusia adalah makhluk yang unik dan menerapkan system terbuka serta
saling berinteraksi. Manusia selaulu berusaha untuk mempertahankan
keseimbangan hidupnya. Keseimbangan yang dipertahankan oleh setiap
individu untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya, keadaan ini
disebut dengan sehat. Sedangkan seseorang dikatakan sakit apabila gagal
dalam mempertahankan keseimbangan diri dan lingkungannya. Sebagai
makhluk social, untuk mencapai kepuasana dalam kehidupan, mereka harus
membina hubungan interpersonal positif .
Konsep dasar kepribadian manusia menurut Erik Erikson tidak hanya
dipengaruhi oleh keinginan/dorongan dari dalam diri individu, tapi juga
dipengaruhi oleh faktor-faktor luar, seperti adat, budaya, dan lingkungan
tempat dimana kepribadian individu berkembang dengan menghadapi
serangkaian tahapan-tahapan sejak manusia lahir (bayi) hingga memasuki
usila lanjut usia (masa dewasa akhir).
Erikson mengembang-modifikasikan teori freud mengenai struktur
kepribadian sebelumnya. Ia lebih menekankan pengembangan teorinya kepada
unsur “ego” dan hubungannya dengan Id.

A. Ego Kreatif
Ego memiliki komponen yang tidak ada dalam teori Psikoanalisis Freud,
yaitu kepercayaan, penghargan, otonomi, kemauan, kerajinan, kompetensi,
identitas, kesetiaan, keakraban, cinta, generativitas, pemeliharaan dan
integritas. Dengan kompinen-komponen tersebut, manusia bisa menemukan
pemecahan kreatif atas masalah pada setiap tahap kehidupannya melalui
penggunaan dari hasil kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang
disediakan lingkungan. Sehingga, Ego yang mengatur Id, superego dan dunia
luar, bukan sebaliknya, sebagaimana teorinya Freud, ego justeru menjadi
budak dari Id.

B. Ego Otonomi Fungsional


1. Teori ego Erikson merupakan pengembangan dari teori perkembangan
seksual-infantil dari Freud
2. Fungsi psikoseksual Freud bersifat Epigenesis
3. Id dan Ego memiliki hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi,
tergantung pada stimulus yang diberikan oleh lingkungan.

C. Aspek Psikoseksual
Erikson mengakui adanya aspek psikoseksual dalam perkembangan
individu, yang menurutnya bisa berkembang positif dan negatif. Dia
memusatkan perhatiannya kepada mendeskripsikan bagaimana kapasitas
kemanusiaan mengatasi aspek psikoseksual itu; bagaimana mengembangkan
insting seksual menjadi positif.
Adapun tahapan perkembangan menurut Erik Erikson, yaitu:

1. Tahap Pertama (Infancy / Masa Bayi)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan trust – mistrust. Perilaku bayi
didasari oleh dorongan mempercayai atau tidak mempercayai orang-orang di
sekitarnya. Dia sepenuhnya mempercayai orang tuanya, tetapi orang yang
dianggap asing dia tidak akan mempercayainya. Oleh karena itu kadang-
kadang bayi menangis bila di pangku oleh orang yang tidak dikenalnya. Ia
bukan saja tidak percaya kepada orang-orang yang asing tetapi juga kepada
benda asing, tempat asing, suara asing, perlakuan asing dan sebagainya. Kalau
menghadapi situasi-situasi tersebut seringkali bayi menangis.
Tahap ini berlangsung pada masa oral, kira-kira terjadi pada umur 0-1 tahun.
Tugas yang harus dijalani pada tahap ini adalah menumbuhkan dan
mengembangkan kepercayaan tanpa harus menekan kemampuan untuk
hadirnya suatu ketidakpercayaan. Kepercayaan ini akan terbina dengan baik
apabila dorongan oralis pada bayi terpuaskan, misalnya untuk tidur dengan
tenang, menyantap makanan dengan nyaman dan tepat waktu, serta dapat
membuang kotoron (eliminsi) dengan sepuasnya.
Oleh sebab itu, pada tahap ini ibu memiliki peranan yang secara kualitatif
sangat menentukan perkembangan kepribadian anaknya yang masih kecil.
Apabila seorang ibu bisa memberikan rasa hangat dan dekat, konsistensi dan
kontinuitas kepada bayi mereka, maka bayi itu akan mengembangkan
perasaan dengan menganggap dunia khususnya dunia sosial sebagai suatu
tempat yang aman untuk didiami, bahwa orang-orang yang ada didalamnya
dapat dipercaya dan saling menyayangi. Kepuasaan yang dirasakan oleh
seorang bayi terhadap sikap yang diberikan oleh ibunya akan menimbulkan
rasa aman, dicintai, dan terlindungi. Melalui pengalaman dengan orang
dewasa tersebut bayi belajar untuk mengantungkan diri dan percaya kepada
mereka.
Hasil dari adanya kepercayaan berupa kemampuan mempercayai lingkungan
dan dirinya serta juga mempercayai kapasitas tubuhnya dalam berespon secara
tepat terhadap lingkungannya. Sebaliknya, jika seorang ibu tidak dapat
memberikan kepuasan kepada bayinya, dan tidak dapat memberikan rasa
hangat dan nyaman atau jika ada hal-hal lain yang membuat ibunya berpaling
dari kebutuhan-kebutuhannya demi memenuhi keinginan mereka sendiri,
maka bayi akan lebih mengembangkan rasa tidak percaya, dan dia akan selalu
curiga kepada orang lain.
Bayi memerlukan kasih sayang dari orang sekitarnya, terutama kedua
orangtuanya. Menurut Yususf & Nurihsan, “Kondisi atau kualitas keakraban
dan kehangatan yang diciptakan orangtua, tidak mengartikan orang tua harus
sempurna. Ayah dan ibu tidak perlu menjadi sempurna dengan tergesa-gesa
tapi harus sempurna secara pasti (konsisten)”. (2011, hlm. 104). Sebagian
besar ibu (dalam budaya Barat, setidaknya) melakukan hal tertentu setiap kali
mereka mendekati bayi mereka: mereka memandang bayi mereka, menyentuh
dan memeluk mereka, memeriksa untuk melihat apakah ada sesuatu yang
menyakiti mereka. Dan bayi umumnya menanggapi dengan menatap kembali,
meringkuk, membuat suara kenikmatan, dan sebagainya. (Hall & Lindzey,
1985, hlm. 90)

2. Tahap Kedua (Childhood / Masa Kanak-Kanak Awal)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan autonomy – shame, doubt. Pada
masa ini sampai batas-batas tertentu anak sudah bisa berdiri sendiri, dalam arti
duduk, berdiri, berjalan, bermain, minum dari botol sendiri tanpa ditolong oleh
orang tuanya, tetapi di pihak lain dia telah mulai memiliki rasa malu dan
keraguan dalam berbuat, sehingga seringkali minta pertolongan atau
persetujuan dari orang tuanya.
Pada tahap kedua adalah tahap anus-otot (anal-mascular stages), masa ini
biasanya disebut masa balita yang berlangsung mulai dari usia 1-3 tahun.
Tugas yang harus diselesaikan pada masa ini adalah kemandirian (otonomi)
sekaligus dapat memperkecil perasaan malu dan ragu-ragu. Apabila dalam
menjalin suatu relasi antara anak dan orangtuanya terdapat suatu
sikap/tindakan yang baik, maka dapat menghasilkan suatu kemandirian.
Namun, sebaliknya jika orang tua dalam mengasuh anaknya bersikap salah,
maka anak dalam perkembangannya akan mengalami sikap malu dan ragu-
ragu.
Sedikit malu dan ragu adalah hal yang tidak dapat dielakkan tapi
bermanfaat. Tanpa itu, anaka akan berkembang pada tendensi maladiptif,
Erikson menyebutnya dengan impulsiveness yang akan membuat anak
melakukan sesuatu tanpa pertimbangan. Orang yang kompulsif akan merasa
semua gampang dilakukan dan akan sempurna. Sehingga banyak orang yang
pemalu dan merasa ragu pada dirinya. Sedikit kesabaran dan toleransi dalam
membantu anak akan membantu perkembangan anak. (Yususf & Nurihsan,
2011, hlm. 105).
Di lain pihak, anak dalam perkembangannya pun dapat menjadi pemalu
dan ragu-ragu. Jikalau orang tua terlalu membatasi ruang gerak/eksplorasi
lingkungan dan kemandirian, sehingga anak akan mudah menyerah karena
menganggap dirinya tidak mampu atau tidak seharusnya bertindak sendirian.
Orang tua dalam mengasuh anak pada usia ini tidak perlu mengobarkan
keberanian anak dan tidak pula harus mematikannya. Dengan kata lain,
keseimbanganlah yang diperlukan di sini. Ada sebuah kalimat yang seringkali
menjadi teguran maupun nasihat bagi orang tua dalam mengasuh anaknya
yakni “tegas namun toleran”. Makna dalam kalimat tersebut ternyata benar
adanya, karena dengan cara ini anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol
diri dan harga diri. Apabila anak tidak berhasil melewati fase ini, maka anak
tidak akan memiliki inisiatif yang dibutuhkan pada tahap berikutnya dan akan
mengalami hambatan terus-menerus pada tahap selanjutnya. (Alwisol, 2009,
hlm. 93)

3. Tahap Ketiga (Play Age/Masa Bermain)


Masa ini sering disebut dengan masa pra sekolah (Preschool Age) yang
ditandai dengan adanya kecenderungan initiative – guilty. Pada masa ini anak
telah memiliki beberapa kecakapan, dengan kecakapan-kecakapan tersebut dia
terdorong melakukan beberapa kegiatan, tetapi karena kemampuan anak
tersebut masih terbatas adakalanya dia mengalami kegagalan. Kegagalan-
kegagalan tersebut menyebabkan dia memiliki perasaan bersalah, dan untuk
sementara waktu dia tidak mau berinisatif atau berbuat.
Tahap ketiga ini juga dikatakan sebagai tahap infantile genital, locomotor atau
yang biasa disebut masa bermain. Tahap ini pada suatu periode tertentu saat
anak menginjak usia 3 sampai 6 tahun, dan tugas yang harus diemban seorang
anak pada masa ini ialah untuk belajar punya gagasan (inisiatif) tanpa banyak
terlalu melakukan kesalahan. Inisiatif maksudnya respon positif pada
tantangan dunia, tanggung jawab, belajar keahlian baru, dan merasa
bermanfaat. Orangtua mengharapkan inisiatif yang ditimbulkan anak adalah
anak mampu mengeluarkan idenya. Kita terima harapan fantasi dan
imajinasinya. Pada tahap ini, waktunya bermain bukan belajar formal. (Yusus
& Nurihsan, 2011, hlm. 105).
Ketidakpedulian (ruthlessness) merupakan hasil dari maladaptif yang
keliru, hal ini terjadi saat anak memiliki sikap inisiatif yang berlebihan namun
juga terlalu minim. Orang yang memiliki sikap inisiatif sangat pandai
mengelolanya, yaitu apabila mereka mempunyai suatu rencana baik itu
mengenai sekolah, cinta, atau karir mereka tidak peduli terhadap pendapat
orang lain dan jika ada yang menghalangi rencananya apa dan siapa pun yang
harus dilewati dan disingkirkan demi mencapai tujuannya itu. Akan tetapi bila
anak saat berada pada periode mengalami pola asuh yang salah yang
menyebabkan anak selalu merasa bersalah akan mengalami malignansi yaitu
akan sering berdiam diri (inhibition). Berdiam diri merupakan suatu sifat yang
tidak memperlihatkan suatu usaha untuk mencoba melakukan apa-apa,
sehingga dengan berbuat seperti itu mereka akan merasa terhindar dari suatu
kesalahan. Kecenderungan atau krisis antara keduanya dapat diseimbangkan,
maka akan lahir suatu kemampuan psikososial adalah tujuan (purpose).

4. Tahap Keempat (School Age/Masa Sekolah)


Masa ini ditandai adanya kecenderungan industry–inferiority. Sebagai
kelanjutan dari perkembangan tahap sebelumnya, pada masa ini anak sangat
aktif mempelajari apa saja yang ada di lingkungannya. Dorongan untuk
mengatahui dan berbuat terhadap lingkungannya sangat besar, tetapi di pihak
lain karena keterbatasan-keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya
kadang-kadang dia menghadapi kesukaran, hambatan bahkan kegagalan.
Hambatan dan kegagalan ini dapat menyebabkan anak merasa rendah diri.
Tahap keempat ini dikatakan juga sebagai tahap laten yang terjadi pada
usia sekolah dasar antara umur 6 sampai 12 tahun. Tugasnya adalah
mengembangkan suatu kapasitas untuk industri atau menghasilkan dan saat
menghindari sebuah perasaan rendah diri yang berlebihan. Anak-anak harus
mengendalikan imajinasinya dan mengabdikan diri mereka kepada pendidikan
dan untuk mempelajari keterampilan sosial yang dituntut oleh masyarakat.
(Yusus & Nurihsan, 2011, hlm. 106).
Salah satu tugas yang diperlukan dalam tahap ini ialah adalah dengan
mengembangkan kemampuan bekerja keras dan menghindari perasaan rasa
rendah diri. Saat anak-anak berada tingkatan ini area sosialnya bertambah luas
dari lingkungan keluarga merambah sampai ke sekolah, sehingga semua aspek
memiliki peran, misalnya orang tua harus selalu mendorong, guru harus
memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya, dan lain sebagainya.
Tingkatan ini menunjukkan adanya pengembangan anak terhadap rencana
yang pada awalnya hanya sebuah fantasi semata, namun berkembang seiring
bertambahnya usia bahwa rencana yang ada harus dapat diwujudkan yaitu
untuk dapat berhasil dalam belajar. Anak pada usia ini dituntut untuk dapat
merasakan bagaimana rasanya berhasil, apakah itu di sekolah atau ditempat
bermain. Melalui tuntutan tersebut anak dapat mengembangkan suatu sikap
rajin. Berbeda kalau anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa
tidak mampu (inferioritas), sehingga anak juga dapat mengembangkan sikap
rendah diri. Oleh sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangatlah penting
untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia seperti ini.
Kegagalan di bangku sekolah yang dialami oleh anak-anak pada umumnya
menimpa anak-anak yang cenderung lebih banyak bermain bersama teman-
teman dari pada belajar, dan hal ini tentunya tidak terlepas dari peranan orang
tua maupun guru dalam mengontrol mereka.
5. Tahap kelima (adolescence/masa remaja)
Di sini, anak sudah mulai menjadi remaja. Masa ini merupakan masa
pencarian identitas. Akan ada berbagai macam gangguan yang harus diatasi
agar dapat mencapai identitasnya. Jika tidak maka akan terjadi krisis identitas.
Bahwa agar kita tidak mengalami krisis untuk mencari identitas, kita harus
taat/setia untuk dapat ideal dan menjadi identitas yang kuat.

6. Tahap keenam (young adulthood/masa dewasa awal)


Dalam tahap ini, orang dewasa awal siap dan ingin menyatukan
identitasnya dengan orang lain. Pendekatan yang mencerminkan fakta bahwa
kita mencintai, memelihara persahabatan, dan pekerjaan, kita membaginya
dengan orang lain. Menikah mungkin salah satu contoh terbaik untuk
pendekatan, dan dengan demikian pasangan akan menjadi satu. Earlier sexual
encounters are little more than efforts to define a person’s own sexual identity;
“each partner is really trying only to reach himself” (Erikson dalam Hall &
Lindzey, 1985, hlm. 87). “lebih awalnya menemukan pasangan sedikit lebih
dari usaha untuk menegaskan orang tentang sexual identity nya; ‘tiap orang
benar – benar mencoba hanya untuk meraih dirinya sendiri’”. Isolasi adalah
hal yang berbahaya dalam tahap ini, ketidak mampuan untuk mengambil
kesempatan dengan satu identitas untuk berbagi kerukunan (Erikson dalam
Hall & Lindzey, 1985, hlm.87). Cinta adalah sifat yang harus dimiliki dalam
tahap ini, seperti yang dijelaskan pada.

7. Tahap Ketujuh (middle adutlhood/ dewasa madya)


Krisis psikososial yang ditandai dengan perhatian terhadap apa yang
dihasilkan serta pembentukan dan penetapan garis pedoman untuk generasi
mendatang. Pada masa ini orang akan berkembang menjadi lebih produktif
dan kreatif, akan tetapi krisis yang terjadi disebagian orang adalah terjadinya
stagnantion atau tidak berkembang, kepribadian menjadi menurun dan
menurunnya perhatian diri. Menurut Erikson (dalam Hall & Lindzey, 1985,
hlm.87) Care is the”widening concern for what has been generated”. “peduli
adalah perhatian yang luas untuk orang dapat bangkit”
8. Tahap Kedelapan (late adulthood/ dewasa akhir)
Integritas, kebijaksanaan dan keputus-asaan, mewarnai tahap usia ini.

D. Tipe-Tipe Kepribadian
Tipe Kepribadian Manusia dalam Psikologi pertama kali digaungkan oleh
Hipokrates (460-375 SM), Bapak Ilmu Kedokteran yang berpendapat bahwa
kepribadian seseorang dipengaruhi oleh proses-proses faali dalam tubuh,
terutama oleh bekerjanya cairan-cairan dalam tubuh. Teorinya tentu saja
tentang cairan-cairan tubuh yang sekarang tidak relevan lagi, namun
tipologinya masih banyak dipakai. Seperti tipe Sanguinis yang sebagian
dipengaruhi oleh darah, tipe Plegmatis yang paling berpengaruh adalah
kelenjar ludah, tipe Melankolis banyak dipengaruhi oleh empedu hitam, dan
Koleris banyak dipengaruhi oleh empedu kuning.
Kemudian pendapat ini dikembangkan oleh Galenus yang mengemukakan
adanya dominasi salah satu cairan tadi akan menyebabkan munculnya
kepribadian khas pada diri seseorang, berikut penjelasannya.

1. Sanguinis

Selalu mendahulukan perasaan daripada pemikiran adalah karakter


khas tipe Sanguinis. Selalu bersemangat dan hangat kepada setiap orang
yang ia temui membuat dirinya dicintai banyak orang akibat
keramahannya tersebut. Maka tak jarang individu dengan tipe Sanguin
tidak menemukan masalah dalam kehidupan sosialnya, karena memang
sanguin sejatinya mudah bergaul dan akrab walau dengan orang yang baru
dikenal. Kemudian sangat tidak suka dengan kesedihan membuat
Sanguinis selalu mencari cara untuk terus bahagia.

Namun di balik sisi positifnya, Sanguinis ini cenderung agak sulit


untuk fokus pada suatu hal, egois, pelupa, suka terlambat, dan sering
membesar – besarkan hal yang kecil. Mereka juga orang yang takut untuk
tidak populer. Mereka menyukai kepopuleran dan akan stress jika mereka
tidak populer dalam hidup.
Sanguinis termasuk ekstrovert. Biasanya, mereka orang yang selalu
menjadi pembicara, serta memiliki pribadi yang menarik.

2. Melankolis

Orang yang termasuk golongan Melankolis adalah mereka yang


sering merasa khawatir dan orang-orang yang mudah menyerah. Individu
dengan tipe melankolis pun kurang bisa menyuarakan opininya, cenderung
melihat masalah dari sisi negatif, dan sering disebut anti sosial karena
kemampuan bersosialisasi yang kurang baik. Namun kelebihan Melankolis
adalah seseorang yang analitis dan sangat kreatif. Walaupun begitu
Melankolis kadang sering meremehkan diri mereka sendiri yang pada
kenyataannya diri mereka tidak seburuk itu.

Melankolis termasuk introvert. Melankolis juga termasuk orang


yang menjunjung tinggi keindahan.

3. Koleris

Koleris dikenal sebagai tipe kepribadian yang memiliki semangat


dan selalu optimis. Koleris ini cenderung mempunyai kemampuan
Leadership atau jiwa memimpin yang bagus dikarenakan mereka mudah
menentukan sebuah keputusan.

Sisi negatif dari sifat koleris ini adalah cenderung memerintah


karena sifat kepemimpinannya tadi, tidak mudah untuk mengalah, tidak
sabaran, mudah marah dan menyukai keributan hingga pertengkaran yang
berujung perkelahian. Intinya karakter koleris adalah tipe yang memiliki
semangat tinggi serta emosi yang meledak-ledak.

Koleris termasuk ekstrovert. Biasanya, koleris adalah sang tokoh utama.

4. Plegmatis

Tidak suka kekerasan dan selalu cinta damai adalah karakter khas
dari seorang Plegmatis. Plegmatis juga seorang yang sering menyebarkan
kebahagiaan lewat humor-humornya yang jenaka. Mereka orang yang
tidak mudah terpengaruh dan tipe yang tidak mau terlihat populer.
Plegmatis lebih suka ketenangan dan tidak mau ambil pusing terhadap hal-
hal yang menurutnya tidak terlalu penting. Namun negatifnya, Individu
dengan tipe koleris tidak suka dipaksa, cenderung menunda sesuatu hal
dan tidak cepat tertarik terhadap hal-hal baru.
Plegmatis termasuk Introvert. Biasanya, sang plegmatis adalah
orang yang memiliki kerendah hatian dan simpati yang tinggi. Ia juga
seringkali menjadi penengah suatu masalah.

Selanjutnya tipologi yang lebih modern dilakukan antara lain oleh Carl
Gustav Jung (1875-1961) yang mendasarkan penggolongannya pada perilaku
atau karakteristik psikologis saja.
1. Tipe Introvert, yaitu orang dengan kepribadian yang cenderung untuk
menarik diri dan menyendiri, terutama dalam keadaan emosional, sedang
menghadapi masalah atau konflik. Ia pemalu dan lebih suka menyendiri
daripada bergabung dengan orang banyak.
2. Tipe Ekstrovert, yaitu orang yang dalam keadaan tertekan justru akan
menggabungkan diri dengan orang banyak sehingga bebannya
berkurang. Ia peramah dan memilih pekerjaan-pekerjaan seperti
pedagang, pekerja sosial, jurubicara dan semacamnya, yaitu pekerjaan-
pekerjaan yang banyak melibatkan orang-orang.
Jung percaya bahwa tidak ada yang 100% ekstrovert atau 100%
introvert sebagai gantinya kita membawa kedua sifat tersebut. Namun
kebanyakan pikiran cenderung bersandar di satu sisi atau di sisi lain. Jika
kedua karakteristik sama-sama hadir, kita dapat berbicara tentang
seseorang yang memiliki kepribadian ambivert.
3. Tipe Ambivert, yaitu orang orang yang tidak termasuk introvert maupun
ekstrovert. Ciri kepribadiannya merupakan campuran dari kedua jenis di
atas.

Pada 1960-an, psikolog Hans Eysenck, menambahkan gagasan dari


Carl Jung tadi. Beliau berpendapat bahwa perbedaan utama antara
introvert dan ekstrovert terletak pada cara mereka mendapatkan dan
mengisi ulang kembali energi mental mereka. Secara alami, orang
introvert memiliki tingkat aktivitas otak yang lebih tinggi dan karenanya
mereka merasakan kebutuhan yang lebih besar untuk melindungi diri dari
rangsangan eksternal. Dengan menarik diri itulah mereka bisa
mendapatkan energi mental tadi. Sedangkan untuk ekstrovert, aktivitas
sarafnya lebih rendah sehingga mereka mengatasi kekurangan ini dengan
mengekspos diri mereka terhadap rangsangan eksternal. Hal ini lah yang
bisa mengisi baterai batin atau energi mental mereka.
Untuk mengilustrasikan perbedaannya, mari kita bandingkan dua
orang anak ini, Jay dan Ann. Jay merupakan seorang ekstrovert. Dia suka
dikelilingi oleh teman sekelasnya. Dia senang menjadi pusat perhatian
dan suka berbicara dengan teman-temannya tentang semua hal. Dia bisa
menyelenggarakan pertandingan sepak bola atau futsal dengan orang
asing. Dengan mencari rangsangan sosial inilah ia memperoleh energi
mentalnya. Kemuadia Ann, ia adalah seorang introvert. Ketika orang lain
bermain-main di taman, ia lebih sering menikmati duduk sendirian
melihat-lihat pemandangan yang ada. Untuk mengisi ulang baterainya
itu, Ann membutuhkan waktu yang tenang dan hening.
Orang introvert sering dianggap sebagai anti sosial, mereka juga
sebenarnya tidak selalu dan semuanya pemalu, meskipun mereka
kelihatan seperti itu karena mereka tidak suka dengan obrolan ringan
atau basa-basi. Ann sebenarnya tidak pemalu sama sekali. Dia tidak takut
untuk berbicara dengan siapa pun, bahkan para seniornya. Namun ketika
sudah terlalu banyak orang di sekitarnya dan percakapan menjadi rumit
atau membingungkan, dia menjadi sangat lelah atau berkurang energy
mentalnya. Strateginya adalah memisahkan diri dan fokus terhadap
dirinya sendiri untuk mengisi ulang energinya tadi melalui keheningan.
Sedangkan Jay suka memiliki banyak orang di sekitarnya. Melompat dari
satu percakapan ke percakapan yang lain bisa merangsang energinya
bertambah.
Beberapa ahli mengklaim, bahwa ekstrovert dan introvert
menggunakan area otak yang berbeda untuk membentuk pikiran mereka.
Seorang ekstrovert cenderung menggunakan memori jangka pendek dan
karena itu mampu datang ke asosiasi cepat. Karena itu Jay berbicara
dengan cepat dan banyak. Ia tampak pintar, karena otaknya selalu
menawarkan jawaban dengan cepat. Namun, dia sering berbicara
sebelum dia berpikir dan kemudian malah berubah pikiran. Sedangkan
seseorang seperti Ann yang introvert bekerja dengan otaknya untuk hati-
hati dalam mengambil informasi dari ingatan jangka panjangnya.
Pikirannya lebih kompleks dan karenanya perlu lebih banyak waktu
untuk berkembang. Karena itu ia berpikir terlebih dahulu dan kemudian
berbicara.

Kemudian dalam Tipe Kepribadian Manusia, Myers-Briggs


mengelompokkan kepribadian manusia berdasarkan pengembangan teori
Carl Jung. Beliau mengemukakan bahwa di dalam kepribadian seorang
manusia, terdapat dua pasangan dikotomi fungsi kognitif manusia. Yang
pertama fungsi rasional, yaitu Thinking (Berpikir) dan Feeling
(Merasakan). Yang kedua adalah fungsi irasional yaitu sensasi dan
intuisi.
Dari dua fungsi tersebut, Myers-Briggs mengembangkan teorinya
dalam empat pasangan tipe indikator yang kemudian membentuk hingga
16 kepribadian manusia. Pasangan itu adalah :
1. Extraversion (E) – Introversion (I)
Indikator ini berbicara mengenai respon seseorang dan bagaimana orang
tersebut berinteraksi di lingkungan luar mereka. Jika Ektravert
menunjukkan minat pada aksi dan interaksi sosial, maka sebaliknya,
Introvert menunjukkan minatnya pada pikiran, menyukai interaksi sosial
yang mendalam dan lebih berenergi ketika sendiri.

2. Sensing (S) – Intuition (N)


Kedua indikator ini memberikan berbicara tentang bagaimana karakter
seseorang dalam mengumpulkan informasi yang ada di luar. Mereka
yang memilih sensing akan mengutamakan hal yang nyata yang bisa
mereka indera langsung dan berorientasi pada fakta dan hal yang
mendetail. Intuisi menunjukkan mereka lebih berorientasi pada
probabilitas, memprediksikan sesuatu dan senang berpikir sesuatu yang
abstrak.

3. Thinking (T) – Feeling (F)


Thinking dan Feeling menggambarkan bagaimana seseorang menentukan
keputusan dari informasi yang mereka terima. Pemikir akan menentukan
berdasarkan fakta. Sedangkan perasa akan mengutamakan emosi saat
menentukan sesuatu.

4. Judging (J) – Perceiving (P)


Kedua indikator ini berbicara tentang bagaimana individu menunjukkan
sikapnya kepada dunia luar. Orang dengan tipe Judging akan bersikap
tegas terhadap keputusannya. Sedangkan tipe Perceiving menunjukkan
sikap yang lebih fleksibel.

E. Aspek-Aspek Kepribadian
M. Ngalim Purwanto (1990:156-159) menguraikan beberapa aspek
kepribadian yang penting dan berhubungan dengan pendidikan dalam rangka
pembentukan pribadi anak, yaitu sebagai berikut:
a. Sifat-sifat kepribadian (personality traits), yaitu sifat-sifat yang ada pada
individu, seperti penakut, pemarah, suka bergaul, peramah, serta menyendiri.
b. Intelegensi kecerdasan temasuk di dalamnya kewaspadaan, kemampuan
belajar, kecakapan berfikir.
c. Pernyataan diri dan cara menerima pesan-pesan (appearance and
inpressien).
d. Kesehatan jasmani.
e. Bentuk tubuh.
f. Sikapnya terhadap orang lain.
g. Pengetahuan, kualitas dan kuantitas pengetahuan yang dimiliki seseorang.
h. Keterampilan (skill).
i. Nilai-nilai yang ada pada seseorang dipengaruhi oleh adat istiadat, etika,
kepercayaan yang dianutnya.
j. Penguasaan dan kuat lemahnya perasaan
k. Peranan (roles) adalah kedudukan atau posisi seseorang di dalam
masyarakat di mana ia hidup.
l. The self, yaitu anggapan dan perasaan tertentu tentang siapa, apa, dan di
mana sebenarnya ia berada.

Menurut Ahmad D. Marimba, pada garis besarnya aspek-aspek


kepribadian itu dapat digolongkan dalam tiga hal, yaitu:
1) Aspek-aspek kejasmanian, meliputi tingkah laku luar yang mudah tampak
dan ketahuan dari luar, misalnya cara-cara berbuat, berbicara, dan sebagainya.
2) Aspek-aspek kejiwaan, meliputi aspek-aspek yang tidak segera dapat dan
diketahui dari luar, misalnya cara berfikir, sikap, dan minat.
3) Aspek- aspek kerohanian yang luhur, meliputi aspek-aspek kejiwaan yang
lebih abstrak, yaitu filsafat hidup dan kepercayaan.

Yoesoef Noesyirawan, sebagaimana dikutip Ahmad Fauzi (1989:67)


mengelompokkan aspek-aspek kepribadian dalam empat bagian, yaitu:
a. Vitalitas sebagai konstata dari semangat hidup pribadi.
b. Tempramen sebagai konstanta dari warna dan corak pengalaman pribadi
serta cara bereaksi dan bergerak.
c. Watak sebagai konstanta dari hasrat, perasaan, dan kehendak pribadi
mengenai nilai-nilai.
d. Kecerdasan, bakat, daya nalar, sebagai konstanta kemampuan pribadi.

Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan tentang aspek-aspek


kepribadian, yang di dalamnya mencakup:
• Karakter yaitu konsekuen tidaknya dalam mematuhi etika perilaku,
konsiten tidaknya dalam memegang pendirian atau pendapat.
• Temperamen yaitu disposisi reaktif seorang, atau cepat lambatnya
mereaksi terhadap rangsangan-rangsangan yang datang dari lingkungan.
• Sikap; sambutan terhadap objek yang bersifat positif, negatif atau
ambivalen.
• Stabilitas emosi yaitu kadar kestabilan reaksi emosional terhadap
rangsangan dari lingkungan. Seperti mudah tidaknya tersinggung, marah,
sedih, atau putus asa
• Responsibilitas (tanggung jawab) adalah kesiapan untuk menerima risiko
dari tindakan atau perbuatan yang dilakukan. Seperti mau menerima risiko
secara wajar, cuci tangan, atau melarikan diri dari risiko yang dihadapi.
• Sosiabilitas yaitu disposisi pribadi yang berkaitan dengan hubungan
interpersonal. Seperti: sifat pribadi yang terbuka atau tertutup dan kemampuan
berkomunikasi dengan orang lain.

Para ahli psikologi memberikan penekanan bahwa yang dipelajari oleh


psikologi bukanlah jiwa, tetapi tingkah laku manusia, baik perilaku yang
kelihatan (overt) maupun yang tidak kelihatan (covert).

Tingkah laku manusia dianalisis ke dalam tiga aspek atau fungsi, yaitu:
1. Aspek Kognitif (pengetahuan), yaitu pemikiran, ingatan, hayalan,
daya bayang, inisiatif, kreativitas, pengamatan, dan pengindraan.
Fungsi aspek kognitif adalah menunjukkan jalan, mengarahkan,
dan mengendalikan tingkah laku.
2. Aspek Afektif, yaitu kejiwaan yang berhubungan dengan
kehidupan alam perasaan atau emosi, sedangkan hasrat, kehendak,
kemauan, keinginan, kebutuhan, dorongan, dan element motivasi
lainnya disebut aspek konatif atau psiko-motorik (kecenderungan
atau niat tindak) yang tidak dapat dipisahkan dengan aspek afektif.
Kedua aspek tersebut sering disebut aspek finalis yang berfungsi
sebagai energi atau tenaga mental yang menyebabkan manusia
bertingkah laku.
3. Aspek Motorik, yaitu berfungsi sebagai pelaksana tingkah laku
manusia seperti perbuatan dan gerakan jasmani lainnya.

BAB III

ANALISIS PERILAKU

1. Analisis perilaku oleh silfia

Nama : Silfia Dindasari

Tempat : Jalan Raya

Waktu : 12 september 2019

Pada saat itu saya sedang


membeli roti bakar didepan
gang dekat rumah saya, lalu
ada seseorang yang turun dari
bis kota. Tetapi yang saya
herankan seseorang tersebut
berjalan tetapi ia selalu menunduk kepalanya, seaakan ada seseorang yang
mengawasinya.

2. Analisis perilaku oleh Yushini


Nama : Yushini Hasya Nuha

Tempat :Masjid UPI

Waktu : Senin, 09 September 2019

Pada hari Senin, saya pergi ke masjid yang berada di Universitas


Pendidikan Indonesia. Saat itu, saya sedang berdua dengan teman satu sekolah
menengah saya. Saat saya sedang melihat sekitar, mata saya tertuju pada lelaki
yang sedang membaca sebuah kertas yang sepertinya seperti sebuah tugas. Akan
tetapi, ia melihat kertas itu dengan tersenyum bahkan hampir sedikit tertawa.
Cukup lama saya mengamatinya. Lalu, beberapa saat kemudian, ia menepuk
pundak sang teman yang tepat berada di depannya. Ia tersenyum seperti sedang
menyemangati temannya.

Menurut kami, dapat disimpulkan bahwa lelaki tersebut memiliki


kepribadian Koleris. Karena individu tersebut mempunyai semangat dan optimis.
Ia memberikan semangat kepada temannya agar tidak patah semangat.

3. Analisis perilaku oleh Sherdinne


Nama : Sherdinne Mutfathia
Sekarningrum
Tempat : Bus Damri Ledeng-L.W Panjang
Waktu : Senin, 05 September 2019

Saya mengamati seorang pria lanjut usia yang terlihat sedang membaca
Koran tanpa berkomunikasi dengan siapa pun. Disaat orang lain berkutat dengan
ponselnya atau tidak melakukan apa apa, kakek itu mengisi waktu perjalannya
dengan membaca koran. Setelah mungkin cukup lelah, beliau berhenti sejenak
dalam kegiatan membacanya dan tak lama kemudian pun tertidur. Lalu, setelah
terbangun dari tidurnya, beliau memperhatikan keadaan sekitar lalu kembali
memakai kacamatanya dan kembali membaca koran.

Selama membaca atau tertidur, sang kakek terlihat memposisikan dirinya


senyaman mungkin dalam melakukan kegiatan tersebut. Seperti membuka salah
satu alas kakinya lalu menaikkan satu kakinya ke kursi , atau melepas
kacamatanya ketika tertidur.

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan psikologi, Gordon Allport menyatakan bahwa kepribadian
sebagai suatu organisasi (berbagai aspek psikis dan fisik) yang merupakan suatu
struktur dan sekaligus proses. Jadi, kepribadian merupakan sesuatu yang dapat
berubah. Secara eksplisit Allport menyebutkan, kepribadian secara teratur tumbuh
dan mengalami perubahan.

Dari berbagai pandangan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa


kepribadian adalah sebuah kesatuan yang terintegrasi, dimana terdiri dari aspek
psikis dan fisik. Aspek psikis contohnya kecerdasan, sifat, tindakan, minat, cita-
cita, bakat, pola pikir, idealisme dll. Sedangkan aspek fiisk meliputi bentuk tubuh,
kesehatan jasmani dll. Kesatuan yang terintegrasi tersebut kemudian berinteraksi
dengan lingkungan yang ada disekeliling seseorang sehinga muncul pola tingkah
laku atau perilaku yang khas seseorang.

Kepribadian itu bersifat dinamis (dapat berubah-ubah), meskipun dalam


tiap perubahan-perubahannya, seseorang memiliki pola yang sifatnya khas (tetap).
Namun kepribadian juga merupakan sesuatu yang berjangka lama. Ini artinya ia
akan menggambarkan sifat seseorang dalam kurun waktu yang relatif lama. Jadi,
kepribadian digunakan untuk menggambarkan atau menjelaskan perbedaan antar
individu.

B. Saran
1. Selalu jalin hubungan antara guru dengan orang tua untuk memantau
perkembangan perilaku anak.
2. Menanamkan sejak dini sikap toleransi, karena kepribadian setiap individu
beragam.

DAFTAR PUSTAKA

Binus, P. (2015). Pengaruh Kepribadian Menurut Teori Big Five Factor terhadap
Sikap Altruisme pada Mahasiswa Bina Nusantara.
Nurhibatullah. Pengertian Kepribadia dan Aspek Kepribadian. Diakses dari
nurhibatullah.blogspot.com.
Satura, Syahrul. (2016). Teori kepribadian Erik H. Erikson.
file:///C:/Users/yushi/Downloads/1779-3683-1-SM.pdf
Savitra, K. (2017). 36 Tipe Kepribadian Manusia Menurut Psikologi. Online.
Diakses dari: https://dosenpsikologi.com/tipe-kepribadian-manusia
Koblin, J. (2018). Introverts vs. Extraverts. Online. Diakses dari:
https://docs.google.com/document/d/1YCiXRT8h26R-
eYBKPYG6i_C0x1bYrpdRRn6Kjxqja0Y/edit
Krismawati, Yeni. (2014). Teori Psikologi Perkembangan Erik H. Erikson dan
Manfaatnya Bagi Tugas Pendidikan Kristen Dewasa Ini. Kurios: Jurnal
Teologi dan Pendidikan Agama Kristen. Diakses dari
file:///C:/Users/yushi/Downloads/20- 43-1-SM.pdf.
Wirawan Sarwono, S. (2009). Pengantar Psikologi Umum. Depok: Rajawali Pers.
Wikipedia. 2019. Diakses dari Id.wikipedia.org.
Yusuf, S. & Nurihsan, J. (2019). Teori Kepribadian. Bandung : PT. Remaja
Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai