Asesmen
Abstract
The code of ethics of psychology is the study of ethics or guidelines that must
be observed in the behavior and behavior of all psychologists and groups of
psychological scientists in the course of their professions. There are many chapters in
the psychological codebook used to regulate the security, privacy and authority of the
psychological profession. This study aims to dig deeper into the violation of the ethics
code of assessment committed by an agency and to learn more deeply about the
process of violation committed by the agency. The results of this study show that there
are still many agencies that violate the code of ethics, especially in cases related to
assessment.
Abstrak
Kode etik psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang etika atau
pedoman yang harus diperhatikan dalam bersikap dan berperilaku oleh seluruh
psikolog dan kelompok ilmuwan psikologi dalam menjalankan profesi masing-
masing. Terdapat banyak pasal yang ada dalam buku kode etik psikologi yang
digunakan untuk mengatur keamanan, privasi dan peneguhan otoritas profesi
psikologi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pelanggaran
kode etik asesmen yang dilakukan oleh suatu intansi dan mengetahui lebih mendalam
mengenai proses pelanggaran yang dilakukan oleh instansi tersebut. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak instansi yang melanggar kode etik,
terutama pada pasai-pasal yang berkaitan dengan asesmen.
Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang menempel pada suatu profesi yang
memerlukannya dan dalam penyusunannya tersusun secara sistematis, kode etik
sendiri dipercaya sebagai tolak ukur dalam mengukur profesional seseorang dalam
bidang profesi tersebut. Salah satunya adalah psikologi, sebagai acuan dalam
bertindaknya tingkah laku, ucapan maupun perbuatan saat proses layanan ataupun
pelaksanaan seorang psikolog dan ilmuwan psikologi dalam berkegiatan. Di dalam
buku kode etik psikologi Indonesia sendiri terdapat bab yang menjelaskan mengenai
aturan kode etik, yakni tentang asesmen psikologi. Asesmen psikologi adalah
prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Termasuk didalam asesmen
psikologi adanya prosedur observasi, wawancara, pemberian satu atau seperangkat
instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan/atau
pemeriksaan psikologi. Namun sering kali kita menjumpai banyak dalam kode etik
ini dilanggar atau diabaikan oleh seorang psikologi dan ilmuwan psikologi lainnya.
Pasal 62
Dasar Asesmen
Pasal 63
Penggunaan Asesmen
Pasal 65
Pasal 66
1) Data asesmen Psikologi adalah data alat/instrument psikologi yang berupa data
kasar, respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis.
Data asesmen ini menjadi kewenangan Psikolog dan/atauIlmuwan Psikologi yang
melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada
sesama profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan
individu yang menjalani pemeriksaan psikologi.
2) Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses
pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang
melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan.
Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak
lain sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum.
3) Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan
hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan dalam kemampuan bahasa
dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa.
Pasal 67
Kasus 1
Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2
SD ke psikolog di biro psikologi Y. sang ibu meminta kepada psikolog agar anaknya
diperiksa apakah anaknya menderita kelainan autisme atau tidak. Sang ibu khawatir
bahwa anaknya menderita kelainan autisme karena sang ibu melihat tingkah laku
anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya. Psikolog itu kemudian
melakukan tes terhadap anaknya dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi
sang ibu tersebut tidak memahami istilah-istilah dalam ilmu-ilmu psikologi. Ibu
tersebut meminta hasil ulang tes dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah
dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut di diagnosa oleh psikolog yang ada
di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi, setelah
beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut
membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, dan ternyata
anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah
mendapatkan beberapa terapi dari biro sebelumnya. Setelah diselidiki ternyata biro
psikologi Y tersebut tidak memiliki izin praktek dari HIMPSI dan yang menangani
bukan psikolog, tetapi hanya seorang sarjana psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin
melaporkannya kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan psikologi itu
tidak melakukan draft kontak dalam proses terapi.
Hal ini tentunya melanggar pelanggaran kode etik psikologi Pasal 63, ayat 5
(Penggunaan Asesmen). Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak
kompeten/qualified, pada kasus tersebut biro psikologi Y tersebut tidak memiliki izin
praktek dari HIMPSI dan yang menangani bukan psikolog, tetapi hanya seorang
sarjana psikologi Strata 1. Dan melanggar Pasal 66, ayat 3 (Penyampaian Data dan
Hasil Asesmen) Psikolog harus memperhatikan kemampuan penggunaan layanan
dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan adalah
kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa dan pada
kasus tersebut sang ibu tidak memahami istilah-istilah pada hasil tes anaknya.
Melaporkannya kepada pihak yang berwajib dengan membawa hasil tes anak
yang di diagnosa autis tersebut dan membandingkannya dengan hasil tes anak
yang di diagnosa slow learned.
Melakukan tes ulang pada psikolog yang berbeda tentang hambatan
perkembangan yang dialami anak, karena mungkin saja si anak benar mengalami
autis atau slow learned atau gangguan yang lainnya.
Ketika mengungi psikolog atau suatu biro psikologi, harap memperhatikan SIP
dan Nomor Praktek dari psikologi atau biro psikologi yang bersangkutan yang
dikeluarkan oleh HIMPSI pusat.
Harus meminta adanya informed consentjika klien harus melakukan terapi agar
memudahkan antara psikolog dan klien.
Kasus 2
Korban pun berasumsi bahwa hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor baik
dari sisi calon siswa maupun pihak penyedia kursus, seperti diantaranya terlalu
banyaknya minat peserta untuk mengikuti reqruitmen tahunan polri yang mana hal ini
membuat semakin ketatnya persaingan yang menjadikan beberapa peserta
menghalalkan segala cara untuk bisamasuk meskipun melanggar hukum yang
seharusnya. Kemudian korban juga berasumsi bahwa hal ini bisa terjadi karena
masalah ekonomi bagi pihak penyelenggara kursus. Korban bisa berasumsi seperti ini
dikarenakan biaya kursus yang tidak murah, bahkan disebutkan bahwa biaya kursus
dapat mencapai harga 10 juta rupiah.
Hal ini tentunya melanggar pelanggaran kode etik psikologi pasal 67 tentang
membocorkan alat tes kepada pihak umum yang mana hal tersebut seharusnya
dilarang demi menjaga kerahasiaan alat tes psikologi. Untuk tindak lanjut mengenai
hal ini korban tidak mengetahui apakah instansi tersebut sudah mendapatkan sanksi
kode etik atau belum, akan tetapi kasus ini akan lebih baik jika ditindak lanjuti
langsung oleh himpunan psikologi agar instansi yang berkaitan dapat diberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku, karena jika tidak maka alat tes psikologi dapat tersebar
lebih luas lagi yang mana hal tersebut dapat menurunkan kualitas dari tes psikologi
itu sendiri.
PENUTUP
Pelanggaran kode etik psikologi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap
remeh. Dalam memberikan pelayanan psikologi kepada masyarakat, wajib harus
mematuhi peraturan dan etika psikologi. Contoh kasus yang terjadi diatas sudah jelas
melanggar kode etik psikologi terutama pada pasal 63 ayat 5, yaitu “Asesmen yang
dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/qualified”, pasal 66 ayat 3, yaitu
“Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan
hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan dalam kemampuan bahasa dan
istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa”, dan pasal 67, yaitu “Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan
instrumen/alat tes psikologi”. Dan pihak-pihak yang bersangkutan ini dapat
melaporkannya ke pada HIMPSI untuk dapat ditangani lebih lanjut sebagaimana
prosedurnya.
DAFTAR PUSTAKA
HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.
Kirana, Y. (2020). Psikologi dan etika profesi dalam nilai-nilai ilmu pengetahuan.
Jurnal Hukum dan Keadilan, 7, 130–149.
Rayhansyah, A. (2022). Pelanggaran Kode Etik Psikologi Pasal 67. Diakses dari
https://www.academia.edu/80568866/PELANGGARAN_KODE_ETIK_PSIK
OLOGI_PASAL_67_HIMPUNAN_PSIKOLOGI_INDONESIA_SEBUAH_S
TUDI_KASUS pada tanggal 07 September 2023, pukul 17.35 WIB