Anda di halaman 1dari 11

Pelanggaran Kode Etik Psikologi

Asesmen

Amanda Damayanti1, Meilysa Anggraini2, Shubhan Al Faqih Pane3


Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang
Email: amandadamayanti004@gmail.com

Abstract

The code of ethics of psychology is the study of ethics or guidelines that must
be observed in the behavior and behavior of all psychologists and groups of
psychological scientists in the course of their professions. There are many chapters in
the psychological codebook used to regulate the security, privacy and authority of the
psychological profession. This study aims to dig deeper into the violation of the ethics
code of assessment committed by an agency and to learn more deeply about the
process of violation committed by the agency. The results of this study show that there
are still many agencies that violate the code of ethics, especially in cases related to
assessment.

Keywords: Violations of the code of ethics, assessments, psychologists

Abstrak

Kode etik psikologi merupakan ilmu yang mempelajari tentang etika atau
pedoman yang harus diperhatikan dalam bersikap dan berperilaku oleh seluruh
psikolog dan kelompok ilmuwan psikologi dalam menjalankan profesi masing-
masing. Terdapat banyak pasal yang ada dalam buku kode etik psikologi yang
digunakan untuk mengatur keamanan, privasi dan peneguhan otoritas profesi
psikologi. Penelitian ini bertujuan untuk menggali lebih dalam mengenai pelanggaran
kode etik asesmen yang dilakukan oleh suatu intansi dan mengetahui lebih mendalam
mengenai proses pelanggaran yang dilakukan oleh instansi tersebut. Hasil penelitian
ini menunjukkan bahwa masih terdapat banyak instansi yang melanggar kode etik,
terutama pada pasai-pasal yang berkaitan dengan asesmen.

Kata kunci: Pelanggaran kode etik, assesmen, psikolog


PENDAHULUAN

Kode etik merupakan prinsip-prinsip yang menempel pada suatu profesi yang
memerlukannya dan dalam penyusunannya tersusun secara sistematis, kode etik
sendiri dipercaya sebagai tolak ukur dalam mengukur profesional seseorang dalam
bidang profesi tersebut. Salah satunya adalah psikologi, sebagai acuan dalam
bertindaknya tingkah laku, ucapan maupun perbuatan saat proses layanan ataupun
pelaksanaan seorang psikolog dan ilmuwan psikologi dalam berkegiatan. Di dalam
buku kode etik psikologi Indonesia sendiri terdapat bab yang menjelaskan mengenai
aturan kode etik, yakni tentang asesmen psikologi. Asesmen psikologi adalah
prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis. Termasuk didalam asesmen
psikologi adanya prosedur observasi, wawancara, pemberian satu atau seperangkat
instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk melakukan penilaian dan/atau
pemeriksaan psikologi. Namun sering kali kita menjumpai banyak dalam kode etik
ini dilanggar atau diabaikan oleh seorang psikologi dan ilmuwan psikologi lainnya.

Seorang psikolog dapat melakukan pemeriksaan psikologi. Pemeriksaan


psikologi adalah suatu rangkaian kegiatan yang berguna dalam masyarakat untuk
berbagai kepentingan. Dalam dunia industri dan organisasi, pemeriksaan psikologi
umumnya dilakukan untuk kepentingan seleksi, penempatan karyawan, maupun
promosi jabatan. Sedangkan dalam lingkungan pendidikan, pemeriksaan psikologis
dilakukan sebagai upaya penentuan minat dan bakat siswa, serta mengetahui
kapasitas intelektual dari siswa dengan berbagai macam tujuan. Sementara dalam
ranah klinis atau sosial, pemeriksaan psikologis merupakan salah satu pertimbangan
dalam menentukan jenis terapi atau intervensi tertentu yang dapat membantuindividu
untuk berfungsi lebih baik ke kehidupannya sehari-hari. Tujuan pemeriksaan
psikologis adalah untuk mendapatkan suatu hasil pemeriksaan maupun evaluasi yang
memadai (Suwartono, 2020).

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis berusaha untuk menganalisis


permasalahan terkait pelanggaran kode etik asesmen psikologi yang dilakukan oleh
suatu intansi dan mengetahui lebih mendalam mengenai proses pelanggaran yang
dilakukan oleh instansi tersebut. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan
pemahaman bagi para psikolog/ilmuwan yang melakukan pelanggaran kode etik
tersebut.
METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian studi literatur. Menurut Zed


(2014) metode studi literatur adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
metode pengumpulan data pustaka. Studi kepustakaan dilakukan oleh setiap peneliti
dengan tujuan utama yaitu mencari dasar untuk memperoleh dan membangun
landasan teori, kerangka berpikir dan menentukan dugaan sementara atau disebut juga
dengan hipotesis penelitian. Sehingga para peneliti dapat mengelompokkan,
mengalokasikan, mengorganisasikan dan menggunakan variasi pustaka dalam
bidangnya. Dengan melakukan studi kepustakaan, para peneliti mempunyai
pendalaman yang lebih luas dan mendalam terhadap masalah yang hendak diteliti.
Data yang digunakan berasal dari jurnal, buku kode, artikel yang berisikan tentang
konsep yang diteliti.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pasal 62

Dasar Asesmen

Asesmen Psikologi adalah prosedur evaluasi yang dilaksanakan secara sistematis.


Termasuk didalam asesmen psikologi adalah prosedur observasi, wawancara,
pemberian satu atau seperangkat instrumen atau alat tes yang bertujuan untuk
melakukan penilaian dan/atau pemeriksaan psikologi.

1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi melakukan observasi, wawancara,


penggunaan alat instrumen tes sesuai dengan kategori dan kompetensi yang
ditetapkan untuk membantu psikolog melakukan pemeriksaan psikologis.
2) Laporan hasil pemeriksaan psikologis yang merupakan rangkuman dari semua
proses asesmen, saran dan/atau rekomendasi hanya dapat dilakukan oleh Psikolog
sesuai dengan kompetensinya, termasuk kesaksian forensik yang memadai
mengenai karakteristik psikologis seseorang hanya setelah Psikolog yang
bersangkutan melakukan pemeriksaan kepada individu untuk membuktikan
dugaan diagnosis yang ditegakkan.
3) Psikolog dalam membangun hubungan kerja wajib membuat kesepakatan dengan
lembaga/institusi/organisasi tempat bekerja mengenai hal-hal yang berhubungan
dengan masalah pengadaan, pemilikan, penggunaan dan penguasaan sarana
instrumen/alat asesmen.
4) Bila usaha asesmen yang dilakukan Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dinilai
tidak bermanfaat Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tetap diminta
mendokumentasikan usaha yang telah dilakukan tersebut.

Pasal 63

Penggunaan Asesmen

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan teknik asesmen psikologi,


(wawancara atau observasi, pemberian satu atau seperangkat instrumen tes) dengan
cara tepat mulai dari proses adaptasi, administrasi, penilaian atau skor,
menginterpretasi untuk tujuan yang jelas baik dari sisi kewenangansesuai dengan
taraf jenjang pendidikan, kategori dan kompetensi yang disyaratkan, penelitian,
manfaat dan teknik penggunaan. Hal-hal yang harus diperhatikan berkaitan dengan
proses asesmen adalah:

1) Konstruksi Tes: Validitas dan Reliabilitas


a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi menggunakan instrumen asesmen yang
jelas validitas dan reliabilitasnya. Instrumen asesmen ditetapkan hanya dapat
digunakan sesuai dengan populasi yang diujikan pada saat pengujian validitas
dan reliabilitas.
b) Jika instrumen asesmen yang digunakan belum diuji validitas dan
reliabilitasnya. Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus menjelaskan
kekuatan dan kelemahan dari instrumen tersebut serta interpretasinya.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dalam mengembangkan instrumen dan
teknik asesmen harus menggunakan prosedur psikometri yang tepat,
pengetahuan ilmiah terkini dan profesional untuk desain tes, standardisasi,
validasi, penyimpangan dan penggunaan.

2) Administrasi dan Kategori Tes


Administrasi asesmen psikologi adalah pedoman prinsip dasar yang harus
dipatuhi dalam melakukan proses asesmen psikologi. Termasuk dalam proses
asesmen psikologiadalah observasi, wawancara dan pelaksanaan psikodiagnostik.

3) Kategori Alat Tes dalam Psikodiagnostik:


a) Kategori A: Tes yang tidak bersifat klinis dan tidak membutuhkan keahlian
dalam melakukan administrasi dan interpretasi.
b) Kategori B: Tes yang tidak bersifat klinis tetapi membutuhkan pengetahuan
dan keahliandalam administrasi dan interpretasi.
c) Kategori C: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi
tes dan prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan
dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu dan bimbingan
konseling.
d) Kategori D: Tes yang membutuhkan beberapa pengetahuan tentang konstruksi
tes dan prosedur tes untuk penggunaannya dan didukung oleh pengetahuan
dan pendidikan psikologi seperti statistik, perbedaan individu. Tes ini juga
membutuhkan pemahaman tentang testing dan didukung dengan pendidikan
psikologi standar psikolog dengan pengalaman satu tahun disupervisi oleh
psikolog dalam menggunakan alat tersebut.

4) Tes dan Hasil Tes yang Kadaluarsa


Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tidak mendasarkan keputusan asesmen,
intervensi atau saran dari data hasil tes yang sudah kadaluarsa untuk digunakan
pada saat sekarang. Dalam kondisi relatif konstan hasil tes dapat berlaku untuk 2
tahun, namun dalam kondisi atau keperluan khusus harus dilakukan pengetesan
kembali.

5) Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/qualified


Asesmen psikologi perlu dilakukan oleh pihak-pihak yang memang
berkualifikasi, perlu dihindari untuk menggunakan orang atau pekerja yang tidak
memiliki kualifikasi memadai. Untuk mencegah asesmen psikologi oleh pihak
yang tidak kompeten:
a) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi dapat menawarkan bantuan jasa
asesmen psikologi kepada professional lain termasuk Psikolog dan/atau
Ilmuwan Psikologi lain.
b) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi tersebut harus secara akurat
mendeskripsikan tujuan, validitas, reliabilitas, norma termasuk juga
prosedur penggunaan dan kualifikasi khusus yang mungkin diperlukan
untuk menggunakan instrumen tersebut.
c) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi yang menggunakan bantuan jasa
asesmen psikologi dari Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi lain untuk
memperlancar pekerjaannya ikut bertanggung jawab terhadappenggunaan
instrumen asesmen secara tepat termasuk dalam hal ini penerapan, skoring
dan penterjemahan instrumen tersebut.
Pasal 64

Informed Consent dalam Asesmen

Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi harus memperoleh persetujuan untuk


melaksanakan asesmen, evaluasi, intervensi atau jasa diagnostik lain sebagaimana
yang dinyatakan dalam standar informed consent, kecuali jika

a) pelaksanaan asesmen diatur oleh peraturan pemerintah atau hukum;


b) adanya persetujuan karena pelaksanaan asesmen dilakukan sebagai bagian dari
kegiatan pendidikan, kelembagaan atau orgainsasi secara rutin misal: seleksi,
ujian;
c) pelaksanaan asesmen digunakan untuk mengevaluasi kemampuan individu yang
menjalani pemeriksaan psikologis yang digunakan untuk pengambilan keputusan
dalam suatu pekerjaan atau perkara.

Pasal 65

Interpretasi Hasil Asesmen

Psikolog dalam menginterpretasi hasil asesmen psikologi harus mempertimbangkan


berbagai faktor dari instrumen yang digunakan, karakteristik peserta asesmen seperti
keadaan situasional yang bersangkutan, bahasa dan perbedaan budaya yang mungkin
kesemua ini dapat mempengaruhi ketepatan interpretasi sehingga dapat
mempengaruhi keputusan.

Pasal 66

Penyampaian Data dan Hasil Asesmen

1) Data asesmen Psikologi adalah data alat/instrument psikologi yang berupa data
kasar, respon terhadap pertanyaan atau stimulus, catatan serta rekam psikologis.
Data asesmen ini menjadi kewenangan Psikolog dan/atauIlmuwan Psikologi yang
melakukan pemeriksaan. Jika diperlukan data asesmen dapat disampaikan kepada
sesama profesi untuk kepentingan melakukan tindak lanjut bagi kesejahteraan
individu yang menjalani pemeriksaan psikologi.
2) Hasil asesmen adalah rangkuman atau integrasi data dari seluruh proses
pelaksanaan asesmen. Hasil asesmen menjadi kewenangan Psikolog yang
melakukan pemeriksaan dan hasil dapat disampaikan kepada pengguna layanan.
Hasil ini juga dapat disampaikan kepada sesama profesi, profesi lain atau pihak
lain sebagaimana yang ditetapkan oleh hukum.
3) Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan
hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan dalam kemampuan bahasa
dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa.

Pasal 67

Menjaga Alat, Data dan Hasil Asesmen

1) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan


instrumen/alat tes psikologi, data asesmen psikologi dan hasil asesmen psikologi
sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku, aturan hukum
dan kewajiban yang telahtertuang dalam kode etik ini.
2) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan
data hasil asesmen psikologi sesuai dengan kewenangan dan sistem pendidikan
yang berlaku yang telah tertuang dalam kode etik ini.
3) Psikolog dan/atau Ilmuwan Psikologi mempunyai hak kepemilikan sesuai dengan
kewenangan dan sistem pendidikan yang berlaku serta bertanggungjawab
terhadap alat asesmen psikologi yang ada di instansi/ organisasi tempat dia
bekerja.

Contoh Kasus Pelanggaran

Kasus 1

Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2
SD ke psikolog di biro psikologi Y. sang ibu meminta kepada psikolog agar anaknya
diperiksa apakah anaknya menderita kelainan autisme atau tidak. Sang ibu khawatir
bahwa anaknya menderita kelainan autisme karena sang ibu melihat tingkah laku
anaknya berbeda dengan tingkah laku anak-anak seumurnya. Psikolog itu kemudian
melakukan tes terhadap anaknya dan hasilnya sudah diberikan kepada sang ibu, tetapi
sang ibu tersebut tidak memahami istilah-istilah dalam ilmu-ilmu psikologi. Ibu
tersebut meminta hasil ulang tes dengan bahasa yang lebih mudah dipahami. Setelah
dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut di diagnosa oleh psikolog yang ada
di biro psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi, setelah
beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut
membawa anaknya kembali ke biro psikologi yang berbeda di kota X, dan ternyata
anak tersebut tidak mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah
mendapatkan beberapa terapi dari biro sebelumnya. Setelah diselidiki ternyata biro
psikologi Y tersebut tidak memiliki izin praktek dari HIMPSI dan yang menangani
bukan psikolog, tetapi hanya seorang sarjana psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin
melaporkannya kepada pihak yang berwajib, tetapi ibu tersebut dengan psikologi itu
tidak melakukan draft kontak dalam proses terapi.

Analisis Kasus Pelanggaran :

Hal ini tentunya melanggar pelanggaran kode etik psikologi Pasal 63, ayat 5
(Penggunaan Asesmen). Asesmen yang dilakukan oleh orang yang tidak
kompeten/qualified, pada kasus tersebut biro psikologi Y tersebut tidak memiliki izin
praktek dari HIMPSI dan yang menangani bukan psikolog, tetapi hanya seorang
sarjana psikologi Strata 1. Dan melanggar Pasal 66, ayat 3 (Penyampaian Data dan
Hasil Asesmen) Psikolog harus memperhatikan kemampuan penggunaan layanan
dalam menjelaskan hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan adalah
kemampuan bahasa dan istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa dan pada
kasus tersebut sang ibu tidak memahami istilah-istilah pada hasil tes anaknya.

Solusi Kasus Pelanggaran :

 Melaporkannya kepada pihak yang berwajib dengan membawa hasil tes anak
yang di diagnosa autis tersebut dan membandingkannya dengan hasil tes anak
yang di diagnosa slow learned.
 Melakukan tes ulang pada psikolog yang berbeda tentang hambatan
perkembangan yang dialami anak, karena mungkin saja si anak benar mengalami
autis atau slow learned atau gangguan yang lainnya.
 Ketika mengungi psikolog atau suatu biro psikologi, harap memperhatikan SIP
dan Nomor Praktek dari psikologi atau biro psikologi yang bersangkutan yang
dikeluarkan oleh HIMPSI pusat.
 Harus meminta adanya informed consentjika klien harus melakukan terapi agar
memudahkan antara psikolog dan klien.

Kasus 2

Kronologi kejadian bermula ketika korban ingin mengikuti reqruitment polri


yang diadakan setiap tahunnya pada 2019. Korban mengetahui bahwa tes tahunan
polri ini tentunya terdapat beberapa tes tahapan agar dapat diterima salah satunya
terdapat tes psikologi. Tentunya dalam hal ini terdapat banyak beberapa pihak luar
yang menyediakan kursus atau simulasi tes untuk memudahkan peserta mengikuti tes
asli nya ketika mengerjakan soal. Korban mengikuti kursus tersebut disalah satu
lembaga yang ia ketahui yang mana pada awalnya di lembaga tersebut juga terdapat
beberapa tes lainnya juga sepertites akademik, tes kesehatan, tes jasmani serta tes
psikologi. Mulanya korban mengikuti serangkaian tes tersebut seperti ia mengikuti
kursus tes lainnya, justru yang membuat kaget adalah ternyata korban mendapatkan
tes psikologi yang mana ketika korban menginjak bangku kuliah jurusan psikologi
ternyata hal tesebut merupakan pelanggaran kode etik psikologi. Korban mengikuti
kursus tes untuk reqruitment polri ini di dua tempat, yang pertam adi rumah psikologi
yang berlokasi di daerah janti, malang. Pada awalnya korban diukur dari kepribadian
serta inteligensinya. Kemudian korban juga diberikan serta dilatih untuk mengerjakan
alat tes kraeplin setiap harinya agar korban terbiasa dengan angka-angka tersebut agar
bisa mendapatkan nilai bagus nantinya.

Korban pun berasumsi bahwa hal ini terjadi dikarenakan beberapa faktor baik
dari sisi calon siswa maupun pihak penyedia kursus, seperti diantaranya terlalu
banyaknya minat peserta untuk mengikuti reqruitmen tahunan polri yang mana hal ini
membuat semakin ketatnya persaingan yang menjadikan beberapa peserta
menghalalkan segala cara untuk bisamasuk meskipun melanggar hukum yang
seharusnya. Kemudian korban juga berasumsi bahwa hal ini bisa terjadi karena
masalah ekonomi bagi pihak penyelenggara kursus. Korban bisa berasumsi seperti ini
dikarenakan biaya kursus yang tidak murah, bahkan disebutkan bahwa biaya kursus
dapat mencapai harga 10 juta rupiah.

Analisis dan Solusi Kasus Pelanggaran :

Hal ini tentunya melanggar pelanggaran kode etik psikologi pasal 67 tentang
membocorkan alat tes kepada pihak umum yang mana hal tersebut seharusnya
dilarang demi menjaga kerahasiaan alat tes psikologi. Untuk tindak lanjut mengenai
hal ini korban tidak mengetahui apakah instansi tersebut sudah mendapatkan sanksi
kode etik atau belum, akan tetapi kasus ini akan lebih baik jika ditindak lanjuti
langsung oleh himpunan psikologi agar instansi yang berkaitan dapat diberikan sanksi
sesuai ketentuan yang berlaku, karena jika tidak maka alat tes psikologi dapat tersebar
lebih luas lagi yang mana hal tersebut dapat menurunkan kualitas dari tes psikologi
itu sendiri.
PENUTUP

Pelanggaran kode etik psikologi bukanlah suatu hal yang bisa dianggap
remeh. Dalam memberikan pelayanan psikologi kepada masyarakat, wajib harus
mematuhi peraturan dan etika psikologi. Contoh kasus yang terjadi diatas sudah jelas
melanggar kode etik psikologi terutama pada pasal 63 ayat 5, yaitu “Asesmen yang
dilakukan oleh orang yang tidak kompeten/qualified”, pasal 66 ayat 3, yaitu
“Psikolog harus memperhatikan kemampuan pengguna layanan dalam menjelaskan
hasil asesmen psikologi. Hal yang harus diperhatikan dalam kemampuan bahasa dan
istilah Psikologi yang dipahami pengguna jasa”, dan pasal 67, yaitu “Psikolog
dan/atau Ilmuwan Psikologi wajib menjaga kelengkapan dan keamanan
instrumen/alat tes psikologi”. Dan pihak-pihak yang bersangkutan ini dapat
melaporkannya ke pada HIMPSI untuk dapat ditangani lebih lanjut sebagaimana
prosedurnya.

DAFTAR PUSTAKA

Dina, B. Bab XI Kode Etik Psikologi Indonesia. Diakses dari


https://id.scribd.com/document/328224457/BAB-XI-KODE-ETIK-
PSIKOLOGI-INDONESIA pada tanggal 07 September 2023, pukul 19.20
WIB

HIMPSI. (2010). Kode Etik Psikologi Indonesia. Jakarta: Pengurus Pusat Himpunan
Psikologi Indonesia.

Kirana, Y. (2020). Psikologi dan etika profesi dalam nilai-nilai ilmu pengetahuan.
Jurnal Hukum dan Keadilan, 7, 130–149.

Rayhansyah, A. (2022). Pelanggaran Kode Etik Psikologi Pasal 67. Diakses dari
https://www.academia.edu/80568866/PELANGGARAN_KODE_ETIK_PSIK
OLOGI_PASAL_67_HIMPUNAN_PSIKOLOGI_INDONESIA_SEBUAH_S
TUDI_KASUS pada tanggal 07 September 2023, pukul 17.35 WIB

Yuwono, I. D. (2011). Memahami berbagai etika profesi dan pekerjaan. Yogyakarta:


Pustaka Yusticia.

Anda mungkin juga menyukai