1) Terapi Kelompok
Terapi kelompok ( group therapy ) adalah Suatu pendekatan sosiokultular yang
menangani gangguan psikologis dengan cara mengajak sekelompok individu dengan
gangguan psikologis serupa untuk bergabung dalam sebuah sesi yang umumnya dipimpin
oleh tenaga kesehatan profesional.
Pendukung terapi kelompok biasanya menekankan bahwa terapi individual memiliki
keterbatasan karena terapi tersebut menematkan klien diluar konteks hubungan yang normal.
Padahal, menurut mereka, hubungan manusialah yang menjadi kunci keberhasilah sebuah
terapi.
Terapi kelompok memiliki banyak bentuk- termasuk psikodinamika, humanistik,
behavior(perilaku) dan koknitif- ditambah lagi dengan pendekatan yang tidak merefleksikan
perspektif terapieutik utama (Y. Chung dkk, 2013).
Karena terapi kelompok memberikan bantuan emosional dan psikologis, terapi ini paling
umum dan paling tepat digunakan untuk menangani gangguan kesehatan jiwa.
Ada empat teknik yang paling banyak digunakan dalam terapi keluarga antara lain;
Terapi pasangan dilakukan dengan cara yang kurang lebih sama seperti pada terapi
keluarga. Terapi pasangan mencoba menemukan solusi untuk beberapa masalah antara lain
penggunaan alkohol yang berlebihan, kecemburuan, masalah seksual, perselingkuhan peran
gender, keluarga dengan dua jenis pekerjaan, kecemburuan,perceraian dan masalah lainya.
Konflik dalam hubungan yang dekat umumnya mimiliki komunikasi yang buruk, sehingga
terapis berusaha memperbaiki komunikasi antar kedua pasangan.
Kelompok pendukung self-help ini menjadi pendengar yang simpatik bagi anggotanya
saat berbagai masalah dan pelepasaan emosi. Dukungan sosial, role-modeling dan diskusi
bersama untuk menemukan strategi konkret pemecahan masalah yang terdapat dalam
kelompok tersebut menambah ekfektivitas dalam kelompok pendukung self-help. Seseorang
yang menjadi korban pemerkosaan mungkin saja tidak percaya dengan terapis yang berkata
kepadanya bahwa waktu akan membantunya untuk membangun kehidupan kembali. Namun,
pesan yang sama dari sesama korban pemerkosaan- seseorang yang telah melalui amarah,
rasa takut dan peristiwa traumatis yang sama-memilikikemungkinan untuk dapat lebih
dipercaya. Bagi individu yang memiliki kecenderungan untuk mengatasi masalah dengan
cara mencari informsi dan membangun afiliasi dengan teman sebaya, kelompok pendukung
self-help dapat mengurani tekanan dan mendorong penyesuaian diri yang lebih baik.
Meskipun demikian, kelompok dapat menjadi pengaruh positif maupun negatif pada diri
individu, sehingga ketua kelompok memiliki peran penting dalam mengawasi proses yang
terjadi.
Gerakan komunitas yang sehat mental lahir pada tahun 1960, ketika sikap masyarakat
terhadap penderita gangguan psikologis mulai mengalami perubahan. Kondisi menyedihkan
beberapa fasilitas kesehatan mental pada saat itu turut mendorong munculnya gerakan ini.
5) Perspektif Budaya
Kompetensi lintas budaya (cross-culturaal competence) Penilaian terapis terhadap
kemampuannya mengelola isu budaya dalam terapi dan persepsi klien terhadap kemampuan
terapis tersebut. Aspek utama dalam komprtensi lintas budaya adalah kemampuan untuk
menunjukan rasa hormat pada berbagai kepercayaan dan praktik budaya serta
menyeimbangkan tujuan dan nilai dalam sebuah budaya.
6) Etnis
Banyak kelompok etnis minoritas yang lebih memilih untuk mendiskusikan masalah
mereka dengan orang tua, teman dan keluarga daripada tenaga kesehatan mental profesional.
Peneliti telah menemukan bahwa ketika terdapat kesesuaian etnis antara terapis dan klien,
serta apabila terapis memberikan pelayanaan yang berkaitan dengan etnis tertentu secara
spesifik, jumlah klien yang mengundurkan diri dari proses terapi, menjadi lebih sedikit,
bahkan dalam banyak kasus, klien juga memberikan hasil terapis yang baik (Jackson &
Greene, 2000).
Meskipun demikian, terapi juga dapat menjadi efektif meskipun terapis dan klien
memiliki latar belakang etnis yang berbeda, apabila terapi memiliki kemampuan klinis yang
baik serta sensitif budaya (Akhtar,2006). Dari sudut pandangan budaya, psikoterapis yang
handal akan memiliki pengetahuan yang baik mengenai latar belakang budaya klien,
memahami pengaruh sosiopolitis dan memiliki kompetensi bekerja dengan berbagai
kelompok dengan latar belakang budaya yang berbeda.
7) Gender
Salah satu dampak perubahan peran gender bagi peria dan wanita adalah
penngevaluasian ulang tuuan psikoterapi. Secara teradisional, tujuan psikoterapi umumnya
adalah untuk memberikan otonomi atau kepercayaan diri kepada kllien. Namun, tujuan
tersebut tampaknya memiliki dampak lebih penting pada pria daripada wanita, yang secara
umum memiliki kehidupan lebih banyak ditandai dengan hubungan yang dimiliki danrelasi-
relasi yang dimiliki bersama orang lain. Oleh karena itu, para psikologpun beragumen bahwa
tujuan terapi harus lebih banyak memfokuskaan perhatian pada hubungan dan keterikatan
klien dengan orang lain, khususnya bagi klien wanita, atau menekankan pada kedua aspek
otonomi/kemampuan penentuan diri(self-determination) serta hubungan/relasi dengan orang
lain.
Para terapis feminis percaya bahwa psikoterapi tradisional terus membawa bias gender
dalam praktiknya dan belum cukup menjawab kepenuhan wanita. Oleh karena itu, beberapa
jenis terapi nontradisional pun muncul sebagai alternatif yang bertujuan untuk membebaskan
klien dari peran dan stereotip gender tradisional.