Anda di halaman 1dari 6

MAKALAH KODE ETIK PSIKOLOGI

INTERVENSI

Disusun Oleh:

M HASRULLAH : 161810001

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BINA DARMA
PALEMBANG

2019
INTERVENSI

Intervensi yang Dilakukan oleh Psikolog dan Ilmuwan + Psikoedukasi - Artikel ini
menjelaskan bab dua belas dan tiga belas dari kode etik psikologi Indonesia. Bab ini
berisikan tentang intervensi dan psikoedukasi.

Bab Dua Belas dari kode etik psikologi Indonesia pasal 68 menjelaskan hal mengenai
intervensi yaitu: Dasar Intervensi

Bab Tiga Belas dari kode etik psikologi Indonesia pasal 69-70 menjelaskan hal
mengenai psikoedukasi yaitu: Batasan umum dalam psikoedukasi Penjelasan mengenai
pelatihan dan tanpa pelatihan dalam psikoedukasi

Pasal 68 : Dasar Intervensi Bab ini menjelaskan apa yang dimaksud dengan
intervensi dan juga hal hal yang mendasarinya. Intervensi adalah: Suatu kegiatan yang
dilakukan secara sistematis dan terencana berdasar hasil asesmen untuk mengubah keadaan
seseorang, kelompok orang atau masyarakat yang menuju kepada perbaikan atau mencegah
memburuknya suatu keadaan atau sebagai usaha preventif maupun kuratif
Jadi intervensi dilakukan setelah melakukan asesmen dan bertujuan untuk membawa
perubahan kea rah yang lebih baik dalam kehidupan individu. Adapun hal hal yang dibahas
dalam pas intervensi ini adalah:

Jenis intervensiIntervensi dalam bidang psikologi dapat berbentuk:


1. intervensi individual
2. intervensi kelompok
3. intervensi komunitas
4. intervensi organisasi maupun sistem.

Metode dalam intervensi Metode yang digunakan dalam intervensi dapat berbentuk:
1. Psikoedukasi
2. konseling dan terapi.
Psikoedukasi yang diberikan hendaklah sesuia dengan keperluan berdasarkan asesmen yang
dilakukan. Begitu juga dengan konseling dan terapi. Hendaklah psikolog dan ilmuwan
psikologi memastikan jenis konseling dan terapi yang sesuia untuk digunakan sebagai usaha
kuratif.
Pasal 69 : Batasan Psikoedukasi Ada banyak bentuk intervensi yang dapat digunakan
dalam dunia psikologi, baik itu intervensi individual, kelompok, bahkan komunitas. Tiap
intervensi memiliki pendekatannya masing-masing apakah psikoanalisa, psikodinamika,
cognitive-behavior, humanistik, dan sebagainya. Salah satu intervensi yang dapat digunakan
dalam berbagai seting dan dapat diterapkan secara individual ataupun kelompok adalah
Psikoedukasi. Psikoedukasi sebenanrnya sudah cukup populer dalam praktek-praktek helping
selama 30 tahun terakhir di Amerika dan seluruh dunia. Namun, untuk Indonesia sendiri
bentuk intervensi ini belum banyak diterapkan untuk setiap setting Pasal ini menjelaskan
megenai apa yang dimaksud dengan psikoedukasi dan penjelasan mengenai batasan dalam
psikoedukasi.

Adapun yang dimakud dengan psikoedukasi adalah: Psikoedukasi adalah kegiatan


yang dilakukan untuk :
1. Kegiatan usaha pencegahan gangguan psikologis pada individu meningkatkan
pemahaman dan keterampilan sebagai usaha pencegahan dari meluasnya gangguan
psikologis di suatu kelompok, komunitas atau masyarakat

2. Meningkatkan pemahaman terhadap orang lain yang mengalami gangguan psikologis.


kegiatan yang dilakukan untuk meningkatkan pemahaman bagi lingkungan (terutama
keluarga) tentang gangguan yang dialami seseorang setelah menjalani psikoterapi.

Di dalam Walsh (2010), ia menjelaskan mengenai pengertian psikoedukasi dari Griffiths


(2006). Berdasarkan pengertian tersebut, ia ditarik kesimpulan bahwa fokus dari psikoedukasi
adalah sebagai berikut :
- Mendidik partisipaan mengenai tantangan dalam hidup
- Membantu partisipan mengembangkan sumber-sumber dukungan dan dukungan
sosial dalam menghadapi tantangan hidupMengembangkan keterampilan coping
untuk menghadapi tantangan hidup .
- Mengembangkan dukungan emosional
- Mengurangi sense of stigma dari partisipan
- Mengubah sikap dan belief dari partisipan terhadap suatu gangguan (disorder)
- Mengidentifikasi dan mengeksplorasi perasaan terhadap suatu isu
- Mengembangkan keterampilan penyelesaian masalah
- Mengembangkan keterampilan crisis-intervention.
Psikoedukasi, baik individu ataupun kelompok tidak hanya memberikan
informasiinformasi penting terkait dengan permasalahan partisipannya tetapi juga
mengajarkan keterampilan-keterampilan yang dianggap penting bagi partisipannya untuk
menghadapi situasi permasalahannya. Psikoedukasi kelompok dapat diterapkan pada
berbagai kelompok usia dan level pendidikan. Asumpsi lainnya, PE kelompok lebih
menekankan pada proses belajar dan pendidikan daripada self-awareness dan self-
understanding dimana komponen kognitif memiliki proporsi yang lebih besar daripada
komponen afektif (Brown, 2011). Namun ini tidak berarti bahwa PE sama sekali tidak
menyentuh aspek selfawareness dan self-understanding. Hal ini dikembalikan kepada sasaran
dari PE itu sendiri anak-anak, remaja, dan orang dewasa di berbagai seting. Psikoedukasi
kelompok ini juga dapat terdiri dari 1 sesi ataupun lebih berbicara tentang Psikoedukasi
kelompok, sekilas tampak serupa dengan konseling dan terapi kelompok. Akan tetapi,
terdapat perbedaan-perbedaan yang perlu dihayati sebagai dasar untuk menentukan
kompetensi dan pengetahuan apa saja yang diperlukan untuk mengadakan psikoedukasi
kelompok. Brown (2011) menjelaskan hal tersebut dalam sebuah tabel yang menjelaskan
perbedaan kedua kelompok.
Pasal 70 : Hal Terkait Pelatihan dan Tanpa Pelatihan dalam Psikoedukasi Pasal ini
membahas terkait pelatihan dan tanpa pelatihan dalam psikoedukasi. Adapun hal hal terkait
perihal pelatihan dan tanpa pelatihan antara lain adalah: Metode Psikoedukasi Psikoedukasi
dapat dilakukan dalam bentuk :
A. Pelatihan Pelatihan telah diuraikan secara rinci pada Buku Kode Etik ini bab VIII
tentang Pendidikan dan Pelatihan.
B. Tanpa pelatihan Tanpa Pelatihan dapat dilakukan secara:
Langsung dalam bentuk ceramah dan pemberian penjelasan secara lisan. Tidak langsung
dalam bentuk penyebarluasan:
- Leaflet
- Pamphlet
- Iklan layanan masyarakat.
- Ataupun bentuk-bentuk lain yang memberikan edukasi tentang suatu isue dan/atau
masalah yang sedang berkembang di masyarakat .

C. Psikoedukasi Tanpa pelatihan dapat dilakukan oleh:


 Psikolog dan/atau ilmuwan psiko-logi yang memahami metode psikoedukasi
 Psikolog dan/atau ilmuwan psiko-logi yang memahami masalah yang ada dalam suatu
komunitas dan/atau masyarakat
.
D. Tahapan Psikoedukasi tanpa pelatihan adalah:
 Yang harus dilakukan meliputi asesmen
 Perancangan program
 Implementasi program
 Monitoring dan evaluasi programe.

E. Psikolog dan/atau ilmuwan psikologi dalam melakukan psikoedukasi non training


harus sesuai kaidah-kaidah ilmiah serta bukti empiris yang ada dan berdasarkan hasil
asesmen yang dilakukan.

F. Intervensi Psikoedukasi non training dihentikan jika berdasarkan hasil monitoring dan
evaluasi menunjukkan telah terjadi perubahan positif ke arah kesejahteraan
masyarakat yang dapat dipertanggung jawabkan.
G. Jika terjadi dampak negatif sebagai akibat dari perlakuan tersebut, pelaksana Psiko-
edukasi non training berkewajiban untuk mengembalikan ke keadaan semula.

Sebagai kesimpulan dari pasal psikoedukasi, psikoedukasi adalah suatu bentuk intervensi
yang dapat diterapkan pada secara individual, kelompok ataupun dalam keluarga yang
bertujuan untuk rehabilitasi sehingga individu tidak mengalami masalah yang sama ketika
dihadapkan pada tantangan tertentu ataupun pencegahan agar individu tidak mengalami
gangguan ketika menghadapi suatu tantangan. Dengan modelnya yang fleksibel dimana
konten informasi dan tools yang digunakan disesuaikan dengan situasi ataupun masalah
tertentu, PE berpotensi untuk diterapkan tidak hanya pada area psikiatri saja tetapi pada
hampir semua aspek kehidupan, tingkatan usia dan pendidikan. PE juga dapat diterapkan
sebagai intervensi tunggal ataupun digabungan dengan psikoterapi lainnya.

STUDI KASUS

Seorang ibu membawa anaknya yang masih duduk di bangku dasar kelas 2 ke psikolog
di Biro Psikologi YYY. Sang Ibu meminta kepada psikolog agar anaknya diperiksa apakah
anaknya termasuk anak autisme atau tidak. Sang Ibu khawatir bahwa anaknya menderita
kelainan autisme karena sang Ibu melihat tingkah laku anaknya berbeda dengan tingkah laku
anak-anak seumurnya. Psikolog itu kemudian melakukan test terhadap anaknya. Dan hasilnya
sudah diberikan kepada sang Ibu, tetapi sang Ibu tersebut tidak memahami istilah-istilah
dalam ilmu Psikologi. Ibu tersebut meminta hasil ulang test dengan bahasa yang lebih mudah
dipahami. Setelah dilakukan hasil tes ulang, ternyata anak tersebut didiagnosa oleh Psikolog
yang ada di Biro Psikologi itu mengalami autis. Anak tersebut akhirnya diterapi. Setelah
beberapa bulan tidak ada perkembangan dari hasil proses terapi. Ibu tersebut membawa
anaknya kembali ke Biro Psikologi yang berbeda di kota X, ternyata anak tersebut tidak
mengalami autis, tetapi slow learned. Padahal anak tersebut sudah mengkonsumsi obat-
obatan dan makanan bagi anak penyandang autis. Setelah diselediki ternyata Biro Psikologi
YYY tersebut tidak memiliki izin praktek dan yang menangani bukan Psikolog, hanyalah
sarjana Psikologi Strata 1. Ibu tersebut ingin melaporkan kepada pihak yang berwajib, tetapi
Ibu tersebut dengan Psikolog itu tidak melakukan draft kontrak dalam proses terapi.

Anda mungkin juga menyukai