KELAS D
Disusun oleh:
Kelompok 6
NO NAMA NIM Nilai Presentasi Nilai Makalah
3 Angeline 201301231
FAKULTAS PSIKOLOGI
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat dan
karunianya kelompok kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini dengan baik dan tepat
waktu. Adapun judul dari makalah ini adalah “Sejarah Tes Grafis”.
Penulisan makalah ini merupakan bentuk pemenuhan tugas mata kuliah Psikologi Tes
Proyektif. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada dosen pengampu mata kuliah ini, Ibu
Dr. Rahmi P. Rangkuti., Psikolog dan Ibu Indri K. Nasution, M.Psi., Psikolog yang telah
memberikan tugas makalah kepada kelompok. Kami berharap makalah ini dapat berguna
Kelompok juga menyadari bahwa makalah yang kami buat ini masih memiliki banyak
kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kami berharap adanya kritik dan
saran yang membangun dari para pembaca sehingga menjadikan makalah ini lebih baik lagi.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami oleh siapapun yang membacanya.
Kelompok 6
i
DAFTAR ISI
ii
TES GRAFIS
1. Sejarah Perkembangan Tes Grafis
Tes grafis merupakan salah satu teknik proyeksi yang berguna untuk mengklasifikasi
dan memahami kepribadian seseorang dalam bentuk gambar. Karya grafis adalah segala
macam bentuk coretan, tulisan tangan, gambar dan lukisan yang dikerjakan dan dihasilkan
manusia atas dasar intensionalitas, atau faktor-faktor internal. Tes gambar proyektif didasarkan
tanggapan seseorang melalui gambar tokoh tertentu seperti orang atau tema umum seperti
rumah, pohon dan gambar, yang mencerminkan kepribadian, persepsi, dan sikap. Gambar-
gambar ini dianggap menawarkan alternatif untuk ekspresi diri yang bisa menghasilkan
informasi tentang seseorang. Maka dari itu teknik proyeksi yang dipakai tes grafis ini seringkali
disebut sebagai teknik ekspresif (Karyono & Listiara, 2002).
1. Elemen ruang. Bagaimana individu menempatkan dirinya dalam gambar yang telah
dibuat. Ini mencakup bagaimana individu menempatkan gambar pada kertas, apakah
ditempatkan ditengah, kiri, kanan, atas atau bawah.
2. Elemen gerak. Berupa analisis grafologi, yaitu manifestasi dorongan atau kebutuhan yang
tersirat. Ini mencakup bagaimana individu menggerakkan alat tulis (seperti pensil) dalam
menggambar, terdiri dari tekanan pensil, cara subyek membuat garis dan bayangan.
3. Elemen bentuk. Kematangan atau kepastian diri individu terlihat dari bentuk yang ia
gambar. Ini mencakup bagaimana proporsi gambar yang dibuat, elaborasi, detail, distorsi,
bagian yang tidak digambar dan sebagainya.
4. Elemen warna. Penekanan warna hitam dan putih, yaitu hasil goresan pensil dan
penggunaan kertas.
Dasar teori tes grafis adalah teori psikologi gestalt dan psikoanalisis. Adapun
kedudukan tes grafis adalah:
1
3. Sebagai tes motorik. Tes grafis dapat memberikan gambaran perkembangan motorik halus
seseorang melalui cara menulis dan menggambar sesuatu.
Sebagai salah satu instrumen diagnostik yang digunakan dalam setting klinis,
penggunaan tes grafis juga mengarah pada asesmen kepribadian (personality) secara utuh. Oleh
karenanya, diperlukan telaah atau analisis yang seksama dalam menginterpretasi data yang
diperoleh dari pelaksanaan tes-tes grafis. Subjek yang dapat dikenai tes grafis adalah seluruh
lapisan masyarakat, dengan syarat mengenal kertas dan pensil serta penggunaannya. Khusus
untuk tes Wartegg, usia minimal subjek adalah 8 tahun, karena kurang dari 8 tahun akan sulit
memahami instruksi. Lansia tidak dianjurkan untuk diberi tes grafis karena kemampuan
motorik dan visual sudah memasuki fase penurunan. Tes grafis bisa disajikan secara klasikal
dan individual.
Tes grafis pada awalnya digunakan untuk mengukur inteligensi dan prestasi sekolah,
tapi ada juga beberapa yang digunakan untuk tes kepribadian. Di Amerika Serikat, pada
pertengahan tahun 1930-an, dimulai secara bebas dalam interpretasi tes untuk mengukur
kemampuan mental dengan metode kualitatif. Awalnya tes ini bertujuan untuk mengukur
inteligensi, meskipun masih bersifat sedikit kaku. Sejarah Tes Grafis sudah berkembang di
awal abad 19. Pada akhir abad 19, Fechne, Wundt dan Ebbinghaus merupakan psikiater di
bidang gangguan mental, yang mempengaruhi teknik untuk melakukan assesmen klinis
terhadap para pasiennya. Dalam pengukuran kepribadian, Tes Grafis muncul sebagai salah satu
jenis tes kepribadian untuk bentuk proyektif.
Perkembangan awal tes ini dimulai pada awal abad ke- 20, meskipun pada dekade
sebelumnya sudah ditemui interpretasi grafologi berupa pembacaan tulisan tangan, tanda
tangan dan coretan-coretan manusia. Di bidang grafologi, terdapat tokoh penting, seperti
Goodenough, Machover, Moch, Kinget, Wartegg dan lain sebagainya. Bidang grafologi ini
terus berkembang hingga saat ini, untuk mengungkap proyeksi dari grafis, baik dengan metode
kualitatif maupun kuantitatif. Pengembangan formal pertama dari teknik grafis adalah Tes
Draw-A-Man (DAM) yang dibuat oleh Goodenough pada tahun 1926. Perkembangan ini
diikuti munculnya tes grafis lain, diantaranya BAUM, HTP (House Tree Person) dan Wartegg.
Pada tahun 1950 – 1960-an khususnya ketika teori psikoanalisa mendominasi, tes grafis
menjadi populer meskipun masih terdapat kritik. Pada tahun 1961, tes grafis termasuk tes
paling populer di rumah sakit, klinik, dan pusat konseling. Namun pada tahun 1970 – 1980-an,
kepopuleran tes ini menurun karena review dan validitas yang tidak memuaskan, menurunnya
2
kepercayaan pada psikoanalisa, hingga pertanyaan mengenai manfaat (cost-benefit) tes itu
sendiri.
Tes grafis, meskipun mampu untuk mengungkap aspek kepribadian seseorang, tetapi
memiliki beberapa keterbatasan dalam pelaksanaan dan interpretasinya, seperti: tidak
mengikuti prosedur formal untuk standarisasi konstruksi tes, administrasi dan petunjuk skoring
yang tidak konsisten, norma interpretasi yang kurang sistematis, objektivitas skoring minimal,
interpretasi didasari akal sehat, reliabilitas dan validitas yang kurang, serta kurang adanya
penelitian yang dikaitkan dengan budaya untuk petunjuk interpretasi. Tes grafis yang banyak
dikenal adalah Baum, DAP (Draw A Person/Man), HTP (House Tree Person), dan Wartegg.
1. Sistem hidup pohon merupakan sistem terbuka. Maksudnya, pola tumbuh (kondisi
pertumbuhan) pohon dapat secara jelas terlihat dari luar, terbuka (sangat mudah diamati).
Inilah salah satu perbedaan utama sistem hidup pohon dengan sistem hidup manusia atau
hewan. (Sifat pohon mudah diinterpretasikan).
2. Sistem hidup manusia merupakan sistem tertutup. Semua organ-organnya sudah ada sejak
awal. Di dalam tubuh, semua organ diberi makan dengan kekuatan yang sama seumur
hidupnya dan dikendalikan oleh organ-organ pusat. Kondisi yang terjadi di dalamnya tidak
terlihat dengan jelas dan tertutup. Hal lainnya, manusia mempunyai hati dan akal, yang
tentu saja sulit diinterpretasikan dari luar. Hal tersebut adalah cara tegas membedakan sifat
manusia dengan pohon. (Sifat manusia sulit diinterpretasikan).
3. Sifat pohon yang cenderung terbuka ini (mudah dibaca), bertentangan dengan sifat manusia
yang tertutup, dimanfaatkan oleh psikolog untuk membaca kepribadian seseorang. Gambar
pohon yang dibuat oleh seseorang, mencerminkan kondisi kepribadian orang tersebut.
Melalui gambar pohon, psikolog akan mudah membaca kepribadiannya, karena sifat pohon
yang terbuka.
3
Tes BAUM merupakan salah satu metode tes yang digunakan untuk menganalisa
karakter kepribadian individu dengan menggambar sebuah pohon. Tes BAUM Dapat diberikan
kepada anak-anak dan orang dewasa. Materi yang digunakan dalam tes ini adalah kertas A4
berat 80 gr atau ukuran folio, kertas HVS berat 70 gr, pensil, alas menggambar yang licin dan
keras. Instruksi yang diberikan pada tes ini adalah “Gambarlah pohon berkayu, kecuali pohon
jenis: randu, cemara, palma, beringin, perdu, bambu dan pohon-pohon lainnya yang tidak
berkayu”. Subjek diminta untuk menggambar pohon dikarenakan untuk melihat bagaimana
subyek memandang dan menempatkan diri dilingkungannya. Setelah selesai menggambar
pohon lalu diminta untuk memberikan nama pohon tersebut. Dalam melakukan interpretasi
gambar, perlu diperhatikan usia dan latar belakang subjek. Kematangan usia menentukan
bentuk objek yang digambar. Latar belakang subjek cenderung berpengaruh dengan jenis
pohon yang digambar. Dalam pelaksanaannya, tes Baum merupakan tes yang sederhana dan
waktu yang dibutuhkan untuk administrasi relatif singkat (sekitar 5-15 menit).
Kemudahan dalam mengadminstrasian menjadikan tes ini sebagai alat yang digunakan
untuk mengekspresikan citra diri, mengevaluasi kepribadian dan keadaan emosional saat
individu diminta untuk menggambarkan pohon. Gambar pohon dalam tes ini adalah cara tidak
langsung untuk mengekspresikan diri, sehingga subjek dapat mengkomunikasikan keadaan
pikiran laten mereka secara non-verbal. Tes ini telah banyak dipelajari pada pasien skizofrenia
yang dapat menunjukkan kapasitas yang baik untuk bisa membedakan kondisi patologis dari
kondisi normal. Selain itu, tes ini juga disarankan untuk menilai fungsi mental pada orang
dengan gangguan kognitif.
4
B. DAP (Draw a Person/Man)
Sejarah DAP bermula dari Cookie dan Ricci yang melihat adanya hubungan antara
perkembangan kognitif pada anak dan perkembangan kemampuan menggambar pada tahun
1800- an. Kemudian Goodenough pada tahun 1926 mengembangkan tes ini untuk melihat
perkembangan kognitif pada anak. Pada 1963, Harris merevisi yang kemudian merubah nama
tes tersebut menjadi Goodenough-Harris Drawing Test (GHDT) (Kubierske,2008).
Goodenough dalam Anastasi Anne (1990:306) mengemukakan bahwa tes DAP memiliki
korelasi yang tinggi dengan tes penalaran (reasoning), spatial aptitude test, perceptual test,
accuracy, numeric aptitude, dan koordinasi motorik khususnya untuk anak Taman Kanak-
Kanak (TK) maupun anak Sekolah Dasar (SD). Namun, untuk anak usia empat belas tahun ke
atas memiliki korelasi yang rendah dalam spatial aptitude dan accuracy aptitude. Tes DAP
tidak hanya berkembang dalam cabang kognitif. Machover, Levy, Hammer, koppitz dan Jolles
mengembangkan DAP dalam cabang proyektif. Mereka menggunakan asumsi berdasarkan
sikap dan perasaan yang dikomunikasikan secara non-verbal (Kubierske,2008). Machover juga
menggunakan dasar teori psikoanalisa yang memercayai bahwa simbol merupakan jembatan
penghubung antara ketidaksadaran dan kesadaran (Sadock & Sadock, Kubierske, 2008).
Administrasi tes DAP adalah testee diberikan kertas polos ukuran kwarto, yang di
depan testee dengan ukuran panjang ke atas dan lebar untuk dasar menggambar, pensil 2B, dan
karet penghapus. Instruksi yang diberikan tes adalah sebagai berikut: "Saya ingin kamu
menggambar orang, berusahalah sebaik mungkin". Petunjuk yang diberikan adalah
menggambar orang, bukan seorang laki-laki atau wanita, testee sendiri yang menentukan jenis
kelamin orang yang akan digambar. Penggunaan tes DAP yang lengkap, testee diminta
menggambar dua kali, jika tes yang pertama sudah selesai testee ditanyai yang digambar laki-
laki atau wanita, gambar kedua menggambar orang dengan jenis kelamin yang berbeda dari
gambar pertama. Dalam kenyataannya, informasi tentang keadaan psikologis lebih banyak
terdapat pada gambar pertama. Dengan demikian, untuk memberikan waktu, biaya, dan tenaga
yang memberikan tes DAP, sebaiknya anak hanya disuruh menggambar satu kali saja dan
langsung dianalisis (Supartini, 2005).
5
C. HTP (House Tree Person)
HTP merupakan tes proyektif yang dikembangkan oleh John Buck (1948) pada
awalnya merupakan hasil dari skala Goodenough (1926) yang kemudian dikembangkan pada
tahun 1969. Tes ini digunakan untuk menilai fungsi intelektual serta untuk mengetahui respon
seseorang terhadap rangsangan yang diberikan dan tanggapan tersebut diharapkan dapat
memberikan tentang emosi yang tersembunyi atau konflik internal yang dialami. Sesuai dengan
namanya, tes menugaskan seorang individu untuk menggambar secara bebas tanpa dibatasi
ukuran berupa rumah, pohon, dan orang.
Pada tes HTP, testee akan dimintai untuk menggambar rumah, pohon, dan orang dalam
selembar kertas secara bebas. Kemudian mereka diminta untuk mengidentifikasikan masing-
masing gambar dengan menceritakan tentang hubungan mereka dan apa yang mereka lakukan
dalam gambar dan mengapa itu dilakukan. Setiap gambar yang dibikin mengasumsikan bahwa
ada aspek simbolis yang dihasilkan dari dunia masing-masing individu. Seperti; Rumah dapat
mewakili stabilitas, dan rasa memiliki serta mencerminkan kehidupan rumah tangga, hubungan
intra keluarga; Pohon lebih mementingkan indera pertumbuhan, vitalitas, dan perkembangan
seseorang serta hubungan subjek dengan lingkungan sekitarnya; dan Orang tersebut
menggambarkan hubungan interpersonal subjek. Sedangkan pandangan teoritis menyatakan
bahwa rumah mewakili ibu klien, sedangkan pohon mewakili ayah, dan orang mewakili diri
sendiri.
Kelebihan tes HTP adalah tes ini dikatakan mencerminkan perasaan seseorang yang
biasanya diwakili oleh gambar rumah. Gambar pohon juga dikatakan mencerminkan emosional
dan kepribadian. Dalam pengelolaan tes ini termasuk sederhana dan hanya membutuhkan
waktu sedikit. Tes ini juga bebas budaya karena tidak memerlukan perintah dengan bahasa
yang rumit. Tes ini juga cocok digunakan untuk testee yang memiliki tingkat pendidikan
terbatas, kemampuan intelektual terbatas dan individu yang cenderung pemalu dan menarik
6
diri. Namun seperti tes proyektif lainnya, kelemahan tes grafis ini adalah validitas dan
reliabilitas yang termasuk kategori lemah.
D. Wartegg
Tes Wartegg merupakan tes proyektif yang berakar dari psikoanalisa dan psikologi
Gestalt yang yang dikembangkan pada tahun 1920 dan 1930-an. Tes Wartegg ini digunakan
untuk asesmen kepribadian yang merupakan kombinasi Teknik completions dan expression
karena telah 6 memiliki stimulus-stimulus yang perlu diselesaikan dengan mengekspresikan
suatu gambar (Nietzel & Bernstein, 1987). Tes proyektif ini menggunakan teknik konstitutif,
yaitu di mana subjek diberikan materi yang tidak terstruktur dan kemudian subjek diminta
untuk mengisinya Materi tersebut bertujuan untuk menghindarkan faktor-faktor yang
mengancam, misalnya tes yang ambigu maupun yang dapat menimbulkan keraguan pada
subjek.
7
sampai dengan materi yang terkahir digambarkan dengan angka “8”. Seusainya menuliskan
angka, subjek akan diminta untuk menilih dengan opsi sebagai berikut:
Tes Wartegg ini digunakan untuk menggali fungsi dasar kepribadian, seperti emosi,
imajinasi, intelektual, dan aktivitas yang dimiliki oleh individu. Dasar dari tes ini adalah bahwa
tiap individu memiliki cara-cara yang berbeda di dalam mempersepsi dan bereaksi terhadap
situasi yang tidak terstruktur dan cara-cara ini merupakan pembeda bagi masing-masing
kepribadian (Kinget, 1964). Kelebihan tes ini adalah termasuk tes yang praktis dan tidak mahal,
administrasi dan interpretasi juga tidak memerlukan waktu yang lama, tes ini dapat dilakukan
secara kelompok maupun klasikal serta interpretasi dapat dilakukan secara kualitatif dan
kuantitatif. Namun terdapat kelemahan dalam tes ini yaitu memiliki bias budaya yang tinggi
dan validitas serta reliabilitas yang belum bisa dipastikan.
8
data yang diperoleh pada penilaian dan skoring dari satu uji tes dengan uji tes yang lain. Sebuah
alat ukur yang valid, pastilah reliabel. Namun, alat ukur yang reliabel, belum tentu memiliki
validitas yang tinggi.
Tes grafis digunakan untuk mengukur kematangan intelektual, kendali atas impuls diri,
kemampuan adaptasi, dan kecemasan seorang individu. Namun karena paradigma ilmu
pengetahuan saat ini yang lebih mengutamakan aspek kuantitatif dalam menjamin keabsahan
suatu ilmu, cukup sulit untuk menentukan validitas dari tes grafis. Alasannya adalah karena tes
grafis memiliki kekurangan dalam prosedur pemberian nilai (skor) dan data normatif (Anastasi
& Urbina, 2007) dalam hasil administrasinya, sehingga cara pengujian validitas saat ini belum
dapat mengukur validitas dari tes grafis ini. Walaupun begitu, masih banyak ahli klinis yang
menyukai alat tes ini dan juga ahli statistik yang meragukan hasil dari alat tes ini (Adcock,
1965).
Tes grafis menggunakan gambar proyektif dengan stimulus yang abstrak dan ambigu
dalam pengadministrasiannya dengan tujuan mengungkap ciri-ciri kepribadian individu secara
spesifik melalui alam bawah sadarnya. Tes grafis berfungsi untuk membantu individu
memproyeksikan alam bawah sadarnya secara tersirat ke alat tes sehingga dapat menembus
mekanisme pertahanan diri individu tersebut. Namun karena hasilnya tersirat dan harus
diinterpretasi oleh seseorang yang telah berpengalaman dalam ilmu psikoanalisa dan memiliki
pengalaman dalam hal klinis, maka data yang dihasilkan tidak berbentuk kuantitatif dan
biasanya hasil interpretasi antara satu pakar dengan pakar lainnya memiliki perbedaan yang
jelas. Karena alasan inilah pengujian validitas alat tes ini sangat sukar untuk dilakukan karena
alat tes ini tidak dapat menjelaskan mengapa gambar proyektif bisa menjadi indikator yang
valid dalam mengukur aspek tertentu pada kepribadian individu.
Dalam tes grafis, sejauh ini pengukuran reliabilitas hanya dilakukan pada tes DAP.
Seperti studi reliabilitas (Khasu & Williams, 2016) alat tes DAP yang dilakukan pada 147 siswa
SD kelas satu dan dua di Malawi, Afrika, ditemukan bahwa koefisien alfa Cronbach yang
9
didapatkan dari seluruh sampel adalah sebesar 0,81 dengan menggunakan interval kepercayaan
95%. Koefisien alfa pada sampel laki-laki dan perempuan adalah 0,79 dan 0,83. Studi antar
scorer menghasilkan nilai r = 0,85 untuk skor IQ dari 50 sampel acak dari dua peneliti.
Kesimpulan dari studi reliabilitas ini adalah alat tes DAP memiliki reliabilitas yang cukup baik
saat diadministrasikan pada anak-anak di Malawi, Afrika. Kemudian reliabilitas test-retest
DAP berdasarkan skoring kuantitatif dengan menggunakan panduan DAP yang dibuat oleh
Harris (1963) memperoleh nilai reliabilitas yang sedang (Median r = 0.74). Sedangkan
reliabilitas interrater jauh lebih baik, yaitu median 0.90 untuk gambar laki-laki dan 0.94 untuk
gambar wanita. Namun, perlu diperhatikan bahwa alat tes grafis memiliki kelemahan dalam
pengujian reliabilitas seperti cara interpretasi yang berbeda antar scorer dan variasi antar
gambar yang sering timbul apabila retest dilakukan. Variasi-variasi dalam hasil tes dan
interpretasinya lah yang menjadi faktor pengganggu dalam penentuan reliabilitas tes proyektif.
10
DAFTAR PUSTAKA
Anastasi, A., & Urbina, S. (2007). Tes Psikologi (7 ed.). (M. Drs. Robertus Hariono S. Iman,
Trans.) Jakarta: PT Indeks.
Karyono, & Listiara. (2002). Buku Pegangan Mata Kuliah Tes Grafis. Semarang.
Khasu, D. S., & Williams, T. O. (2016). The Score Reliability of Draw-A-Person Intellectual
Ability Test (DAP:IQ) for Rural Malawi Students. Journal of International Education
Research, 12(2).
Koch, C. (1952). The Tree Test: The tree-drawing test as an aid in psychodiagnosis. Bern:
Hans Huber.
Nastiti, D. (2021). Modul Laboratorium Individual Tes Grafis dan Wartegg. Umsida Press.
Persada, I. B., & Agustina. (2019). Penerapan Art Therapy dengan Pendekatan Kelompok
untuk Menurunkan Kecemasan pada Anak Binaan di LPKA Tangerang. Jurnal Muara
Ilmu Sosial, Humaniora, dan Seni, 3(1), 269-275.
11
REVIEW JURNAL
Vol. 3
Tahun 2019
Reviewer Kelompok 6
12
Kecemasan adalah perasaan tidak menyenangkan remaja di LPKA tentang
Definisi
Operasional kemungkinan bahaya pada masa depan dan ketidakmampuan
Variabel menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi yang menimbulkan
Dependent kekhawatiran, perasaan tidak jelas, takut, kegelisahan, dan panik.
Definisi Art therapy adalah jenis terapi yang menggunakan seni untuk
Operasional penyembuhan seseorang yang mengalami gangguan emosi dan
Variabel
Independen kecemasan.
13
3. Terapis menyiapkan perlengkapan penelitian yaitu lembar biodata,
informed consent, alat menggambar (kertas gambar A3, Cat Poster,
kuas, palet, pensil, penghapus, gelas plastik, dan tisu).
4. Terapis mengukur kecemasan anak sebelum diberikan intervensi.
5. Terapis melakukan 8 sesi intervensi (art therapy).
Sesi intervensi dilakukan sebanyak dua kali dalam seminggu selama
satu bulan. Setiap sesinya berlangsung selama 60 menit hingga 90
menit dan dilakukan dalam kelompok.
6. Terapis mengukur kecemasan anak setelah diberikan intervensi.
Berdasarkan hasil dari perbandingan antara pre-test dan post-test alat ukur
STAIC-T, secara umum para partisipan mengalami penurunan kecemasan
yang dilihat dari penurunan skor kecemasan. Namun, terdapat satu
partisipan yang tidak menunjukkan penurunan skor.
Hasil Penelitian
Kelemahan partisipan yang terlalu sedikit (hal ini juga mempengaruhi validitas).
Penelitian 2. Sampel tidak bervariatif, hanya laki-laki.
3. Hasil tes grafis tidak dijabarkan dalam hasil penelitian.
Intervensi kelompok dengan pendekatan Art therapy menunjukkan adanya
penurunan kecemasan pada keempat subjek. Penurunan kecemasan dapat
terlihat dari skor alat ukur STAIC-T dan juga hasil tes grafis (DAP,
BAUM & Wartegg). Penggunaan Art therapy membantu subjek untuk
Kesimpulan
memahami kecemasan yang dialami, membantu subjek yang sebelumnya
sulit untuk mengekspresikan pemikiran dan perasaan dalam kata-kata agar
dapat tersalur melalui seni dan gambar. Art therapy juga membantu
individu untuk mencari jalan keluar dari masalah yang di alami dan
14
individu tidak merasa kesepian karena setiap sesi melakukan diskusi
bersama partisipan lain.
15
KELOMPOK 6
Eliza Yolanda Purba 201301229
Angeline 201301231
tes motorik
03 memberikan gambaran
perkembangan motorik
halus
Sejarah Tes Grafis sudah berkembang di awal abad 19.
Pada akhir abad 19, Fechne, Wundt dan Ebbinghaus
merupakan psikiater di bidang gangguan mental, yang
mempengaruhi teknik untuk melakukan assesmen
klinis terhadap para pasiennya.
02 03
Sistem hidup Sifat pohon yang
manusia cenderung terbuka
merupakan (mudah dibaca).
sistem tertutup.
Baum Test (Tree Test)
Materi yang digunakan:
1. Kertas HVS warna putih ukuran A4.
2. Pensil HB.
3. Meja kayu/permukaan meja rata/alas rata.
4. Ruangan tidak banyak dekorasi.
5. Pencahayaan yang cukup.
Waktu tes:
Instruksi 5-15 menit
Baum Test (Tree Test)
Sejarah DAP bermula dari Cookie dan Ricci yang melihat adanya
hubungan antara perkembangan kognitif pada anak dan perkembangan
kemampuan menggambar pada tahun 1800- an.
DAP
(Draw a Person/Man)
HTP (House Tree Person)
HTP (House Tree Person)
Kelebihan tes HTP yaitu mencerminkan
perasaan seseorang yang biasanya diwakili
oleh gambar rumah. Gambar pohon
mencerminkan emosional dan kepribadian.