Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Psikologi lingkungan yang merupakan salah satu cabang Psikologi yang tergolong masih
muda adalah ilmu perilaku yang berkaitan dengan lingkungan fisik. Psikologi lingkungan sendiri
berusaha mempelajari bagaimana motivasi, sikap, perasaan dan sebagainya dari manusia
terhadap lingkungannya. Yang menjadi fokus kajian psikologi lingkungan bukan pada tingkah
laku manusia itu sendiri melainkan pada hubungan antara tingkah laku, manusia, dan lingkungan
fisiknya. Psikologi lingkungan membicarakan juga tentang kesesakan (crowding), kepadatan
(density), daerah pribadi (personal space), dan faktor-faktor sosial yang mempengaruhinya.
Tujuan dari studi tentang psikologi lingkungan adalah agar kita dapat menganalisa, menjelaskan,
meramalkan, dan kalau diperlukan untuk memanipulasi atau merekayasa lingkungan fisik.

Teori-teori psikologi lingkungan dipengaruhi, baik oleh tradisi teori besar yang
berkembang dalam disiplin Psikologi maupun di luar Psikologi. Ada tiga tradisi besar orientasi
teori Psikologi dalam menjelaskan dan memprediksi perilaku manusia. Pertama, perilaku
disebabkan faktor dari dalam (deterministik). Kedua, perilaku disebabkan faktor lingkungan atau
proses belajar. Ketiga perilaku disebabkan interaksi manusia-lingkungan.

Teori yang berorientasi lingkungan dalam Psikologi lebih banyak dikaji oleh
behavioristik. Perilaku terbentuk karena pengaruh umpan balik (pengukuh positif dan negatif)
dan pengaruh modelling. Perilaku merupakan fungsi dari lingkungan dan organisme.
Berdasarkan premis dasar tersebut, muncul beberapa teori mini dalam Psikologi seperti teori
beban lingkungan, teori hambatan perilaku, teori level adaptasi, stres lingkungan, dan teori
ekologi. Berikut ini akan dipaparkan teori mini tersebut dalam makalah.

B. Rumusan Masalah
Makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah, yaitu :
1. Apa yang dimaksud dengan teori stress lingkungan?
2. Apa yang dimaksud dengan teori pembangkitan?
3. Apa yang dimaksud dengan teori kelebihan beban?

1
4. Apa yang dimaksud dengan teori kekurangan beban?
5. Apa yang dimaksud dengan teori tingkat adaptasi?
6. Apa yang dimaksud dengan teori kendala tingkah laku?
7. Apa yang dimaksud dengan teori psikologi ekologi
8. Apa yang dimaksud dengan teori cara berpikir?

C. Tujuan Makalah
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah
1. Untuk mengetahui apa saja teori-teori hubungan antara tingkah laku dengan
lingkungan.
2. Untuk memahami setiap teori hubungan antara tingkah laku manusia dengan
lingkungannya.
3. Untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Lingkungan.

2
BAB II

ISI

A. Teori Stress Lingkungan (Environment Stress Theory)


Teori stress lingkungan pada dasarnya merupakan aplikasi teori stress dalam
lingkungan. Berdasarkan model input-process-output, maka terdapat tiga pendekatan
dalam stress yaitu stress sebagai stressor, stress sebagai respon atau reaksi, dan stress
sebagai proses. Oleh karena itu stress terdiri dari tiga komponen yaitu stressor, proses,
dan respon.
1. Stressor adalah sumber atau stimulus yang mengancam kesejahteraan seseorang,
seperti suara bising, panas, sesak, atau kepadatan tinggi.
2. Respon stress adalah reaksi yang melibatkan komponen emosional, pikiran, fisiologis,
dan perilaku.
3. Proses merupakan proses transaksi antara stressor dengan kapasitas diri. Oleh karena
itu istilah stress tidak hanya merujuk pada stressor dan respon stress saja, tetapi
keterkaitan diantara ketiganya (stressor, stress, respon). Artinya, terdapat transaksi
antara stressor dengan kapasitas diri untuk menentukan respon stress. Jika stressor
lebih besar daripada kapasitas diri maka stress negatif akan muncul, sebaliknya jika
stressor sama dengan atau lebih kecil dari kapasitas diri maka tidak akan
menimbulkan stress negatif. Dalam kaitannya dengan stress lingkungan, terdapat
transaksi antara karakteristik lingkungan (stressor) dengan karakteristik individu
(kapasitas diri) yang menentukan apakah suatu situasi dapat menimbulkan stress atau
tidak (Helmi, 1999).
Contohnya udara panas bagi sebagian orang akan menurunkan kinerja, tetapi bagi
orang lain yang terbiasa tinggal di daerah gurun, udara panas tersebut tidak
menghambat kinerja.
Namun, menurut Lazarus (dalam Sarwono, 1995) stress bukan hanya meliputi
hubungan antara stimulus-respon, melainkan juga melibatkan kesadaran (kognitif),
khususnya dalam tingkah laku coping atau menentukan strategi coping. Ketika
individu hendak bereaksi atau merespon terhadap stressor ia harus menentukan
strategi dengan memilih tingkah laku, yaitu menghindar, menyerang secara fisik atau

3
dengan kata-kata saja, dan mencari kompromi. Penentuan pilihan itu dilakukan
didalam kognisi.

B. Teori Pembangkitan (Arousal Approach)


Menurut Sarwono (1995) melalui teori ini menyatakan bahwa arousal
(pembangkitan penginderaan) yang rendah akan menghasilkan pekerjaan (performance)
yang rendah pula. Makin tinggi arousalnya, makin tinggi hasil pekerjaan itu. Pada
pekerjaan-pekerjaan yang mudah, hasilnya akan terus meningkat dengan meningkatnya
arousal, tetapi pada pada pekerjaan-pekerjaan yang sulit, hasil pekerjaan justru akan
menurun jika arousal sudah melebihi batas tertentu.
Dalam psikologi lingkungan, hubungan antara arousal dan performance ini
dinamakan dengan Hukum Yerkes dan Dodson. Menurut hukum ini, pembangkitan
penginderaan (arousal) melalui peningkatan rangsang, dapat menghasilkan hasil kerja
pada tugas-tugas yang sederhana, tetapi justru akan menganggu dan menurunkan prestasi
kerja dalam tugas-tugas yang rumit. Contohnya, suara musik didalam mobil bisa
merangsang semangat pengemudi, tetapi suara musik yang sama dapat menganggu
konsentrasi orang yang sedang mengerjakan persoalan matematika. Contoh lainnya
adalah ketika seseorang sedang santai mengambar atau mencuci mobil maka bunyi radio
yang memperdengarkan music rock, akan menambah semangat orang itu. Makin keras
musiknya, dia akan semakin senang. Namun, jika ia sedang serius bermain catur atau
mencatat anggaran uang bulanan, kebisingan itu dianggap menganggu dan sudah tidak
lagi menyenangkan.

C. Teori Kelebihan Beban (Environmental Load Theory)


Cohen dan Milgram (dalam Sarwono, 1995) melalui teori ini menyatakan bahwa
manusia memiliki keterbatasan dalam mengolah stimulus dari lingkungan sekitarnya.
Berdasarkan teori kelebihan beban, ketika stimulus yang berada disekitar seseorang lebih
besar dari pada kapasitas pengolahan informasi maka terjadilah kelebihan beban
(overload). Akibatkanya sejumlah stimuli harus diabaikan agar individu dapat
memusatkan perhatiannya pada stimuli tertentu saja. Strategi pemilihan tingkah laku
coping untuk memilih stimuli mana yang mau diprioritaskan atau diabaikan pada suatu

4
waktu tertentu inilah yang menetukan reaksi positif atau negatif dari individu itu terhadap
lingkungannya.
Jika informasi yang masuk mempunyai makna yang tinggi, perhatian mendalam
akan dilakukan. Tetapi jika stimulus kurang bermakna, stimulus tersebut tidak
diperhatikan atau diabaikan. Misalnya seseorang mengendarai mobil di jalan raya yang
padat. Dalam situasi demikian, sopir lebih mencurahkan perhatian mendalam pada situasi
jalan raya dan kurang memperhatikan percakapan penumpang. Perhatian mendalam
mengendarai mobil, mengurangi perhatian terhadap interaksi orang di sekelilingnya,
merupakan upaya menghindarkan diri dari kecelakaan lalu lintas. Ketika jalan yang padat
sudah terlampaui, maka sopir akan melanjutkan pembicaraan kembali.
Kelebihan kapasitas yang terlalu besar akan menyebabkan individu tidak mampu
lagi menanganinya dalam kognisi sehingga akan menimbulkan gangguan kejiwaan
seperti merasa bosan, tertekan, jenuh, dan lain-lain. Contoh terjadinya kelebihan beban
karena stimuli yang berlebihan adalah di kota besar. Orang yang tinggal di kota besar
sering mengeluh jenuh, bosan, ingin melarikan diri untuk mencari ketenangan dan
kedamaian karena banyaknya stimulus seperti gedung-gedung tinggi, kendaraan, lampu
kota, dan papan reklame yang mereka temui setiap harinya.

D. Teori Kekurangan Beban (Understimulation Theory)


Terbalik dengan teori kelebihan beban, Zubek (dalam Sarwono, 1995)
mengatakan bahwa kurangnya rangsangan atau stimulus terhadap indera manusia
menyebabkan timbulnya rasa kosong, sepi, dan cemas. Akibatnya juga bisa timbul
kebosanan dan kejenuhan. Misalnya, penghuni kompleks perumahan rakyat yang
bangunan rumahnya serba sama di seluruh area pemukiman itu. Mereka akan mengalami
kebosanan karena kurangnya stimuli. Untuk lebih menggairahkan semangat, perlu
diadakan tambahan-tambahan stimuli sehingga nampaklah sejumlah penduduk yang
menanam pohon di depan rumahnya agar tidak membosankan.
Jika stimulasi informasi terlalu sedikit (understimulation), orang akan mengalami
deprivasi sensori. Deprivasi sensori ini menghambat perkembangan secara optimal. Hal
ini tampak sekali pada perkembangan anak, jika anak kurang mendapatkan stimulasi,
maka perkembangan psikologisnya akan terhambat. Contoh yang lain, ketika seseorang

5
mengendarai mobil di jalan tol yang panjang, akan terjadi proses stimulasi lingkungan
fisik yang monoton, sebab lingkungan fisik di sekitar jalan tol sangat monoton, selain
yang ditemui jalan yang panjang, jarak jalan dengan tepi jalan cukup jauh, biasanya di
tepi jalan bukan perkampungan tetapi sawah, ladang, atau pabrik. Stimulasi lingkungan
yang monoton ini, membuat penumpang dan sopir merasa bosan.

E. Teori Tingkat Adaptasi (Adaptation Level Theory)


Wohlwill mengatakan bahwa setiap orang mempunyai tingkat adaptasi tertentu
terhadap rangsang atau kondisi lingkungan tertentu. Contohnya, orang Tibet mempunyai
tingkat adaptasi yang sangat tinggi terhadap kadar oksigen dalam udara karena mereka
bisa hidup di pegunungan yang sangat tinggi diatas permukaan laut. Untuk orang-orang
biasa, hidup atau berada di tempat yang kadar oksigennya rendah seperti itu akan
menimbulkan sebuah masalah. Dapat disimpulkan bahwa reaksi setiap orang terhadap
lingkungannya bergantung pada tingkat adaptasi orang yang bersangkutan pada
lingkungan itu.
Kondisi lingkungan yang dekat atau sama dengan tingkat adaptasi dalah kondisi
yang optimal. Orang cenderung selalu mempertahankan kondisi optimal ini, dalam skema
Bell dinamakan kondisi homeostatis. Terdapat tiga kategori stimulus yang dijadikan tolak
ukur dalam hubungan lingkungan dan tingkah laku, yaitu stimulus fisik yang merasang
indera (suara, caha, suhu udara), stimulus sosial, dan gerakan. Untuk ketiga stimulus itu
masing-masing memiliki tiga dimensi lagi, yaitu intensitas, diversitas, dan pola. Dalam
ketiga dimensi itu yang paling menyenangkan untuk individu adalah yang tidak terlalu
kecil/sedikit/lemah dan juga tidak terlalu besar.kuat.banyak. Misalnya dalam hal
intensitas, suara yang tidak terlalu keras lebih menyenangkan daripada yang terlalu keras
atau terlalu lemah. Dalam hal diversitas (variasi rangsang), terlalu banyak atau terlalu
sedikit macam rangsang juga tidak menyenangkan, misalnya dalam hal pola, rangsang-
rangsang yang terlalu berstruktur (bangunan yang terlalu rapi berderet-deret, bentuknya
sama) mungkin sama tidak menyenangkan dengan lingkungan perumahan kumuh yang
sama sekali tidak teratur.

6
F. Teori Kendala Tingkah Laku (The Behavior Constant Theory)
Premis dasar teori ini adalah stimulasi yang berlebih atau tidak diinginkan,
mendorong terjadinya arousal atau hambatan dalam kapasitas pemrosesan informasi.
Akibatnya, orang merasa kehilangan kontrol terhadap situasi yang sedang berlangsung
(Fisher dkk, 1984). Perasaan kehilangan kontrol merupakan langkah awal dari teori
kendala perilaku. Istilah ‘hambatan’ berarti terdapat ‘sesuatu’ dari lingkungan yang
membatasi (atau menginterferensi dengan sesuatu), apa yang manjadi harapan. Hambatan
dapat muncul, baik secara aktual dari lingkungan atau pun interpretasi kognitif. Dalam
situasi yang diliputi perasaan bahwa ada sesuatu yang menghambat perilaku, orang
merasa tidak nyaman. Pengatasan yang dilakukan adalah orang mencoba menegaskan
kembali kontrol yang dimiliki dengan cara melakukan antisipasi faktor-faktor lingkungan
yang membatasi kebebasan perilaku. Usaha tersebut dikatakan sebagai reaktansi
psikologis (psychological reactance). Jika usaha tersebut gagal, muncul ketidakberdayaan
yang dipelajari atau learned helplessness (Veitch & Arkkelin, 1995).
Averill (dalam Fisher, 1984) mengatakan bahwa ada beberapa tipe kontrol
terhadap lingkungan yaitu kontrol perilaku, kontrol kognitif, dan kontrol lingkungan.
Kontrol lingkungan mengarahkan perilaku untuk mengubah lingkungan misalnya
mengurangi suasana yang bising, membuat jalan tidak berkelok-kelok, membuat tulisan/
angka dalam tiap lantai di gedung yang bertingkat, atau membuat pagar hidup untuk
membuat rumah bernuansa ramah lingkungan. Kontrol kognitif dengan mengandalkan
pusat kendali di dalam diri, artinya mengubah interpretasi situasi yang mengancam
menjadi situasi penuh tantangan. Kontrol keputusan, dalam hal ini, orang mempunyai
kontrol terhadap alternatif pilihan yang ditawarkan. Semakin besar kontrol yang dapat
dilakukan, akan lebih membantu keberhasilan adaptasi. Teori kendala perilaku ini banyak
dikembangkan Altman. Konsep penting dari Altman (Gifford, 1987) adalah bagaimana
seseorang memperoleh kontrol melalui privasi agar kebebasan perilaku dapat diperoleh.
Dinamika psikologis dari privasi merupakan proses sosial antara privasi, teritorial, dan
ruang personal. Privasi yang optimal terjadi ketika privasi yang dibutuhkan sama dengan
privasi yang dirasakan. Privasi yang terlalu besar menyebabkan orang merasa terasing,
sebaliknya terlalu banyak orang lain yang tidak diharapkan, perasaan kesesakan
(crowding) akan muncul sehingga orang merasa privasinya terganggu.

7
G. Teori Psikologi Ekologi
Teori ini mempelajari hubungan timbal balik antara lingkungan dengan tingkah
laku. Hal yang unik pada teori ini adalah adanya set tingkah laku (behavioral setting)
yang dipandang sebagai faktor tersendiri. Set tingkah laku adalah pola tingkah laku
kelompok yang terjadi sebagai akibat kondisi lingkungan tertentu. Misalnya, jika ada
sebuah ruangan dengan 4 dinding, 2 pintu, dan beberapa jendela, ruangan tersebut berisi
papan tulis, sebuah meja tulis dibagian depan, dan sejumlah bangku yang berderet
menghadap meja itu. Set tingkah laku yang terjadi pada orang-orang yang memasuki
ruangan itu adalah rangkaian tingkah laku murid yang belajar dikelas. Ika ruangan yang
sama berisi perabotan kantor maka orang-orang didalamnya juga bertingkah laku
sebagaimana lazimnya karyawan kantor. Orang di kolam renang berpakaian renang,
orang menghadiri acara pernikahan memakai pakaian resmi yang rapi, dan seterusnya.
Set tingkah laku ini pada gilirannya tentu akan mempengaruhi tingkah laku masing-
masing individu, tetapi jika ada individu yang bertingkah aku tidak esuai dengan pola
kelompok maka seluruh kelompok akan merasa terganggu. Misalnya, jika dikelas ada
yang tertidur, jika ada suatu acara resmi yang mengharuskan berpakaian rapi tapi
menggunakan pakaian biasa dan bersandal, sementara yang lain menggunakan pakaian
resmi. Maka yang mempersepsikan bahwa interaksi timbal balik antara individu dan
lingkungan berada di luar batas toleransi atau batas optimal adalah seluruh anggota
kelompok, bukan manusia yang bersangkutan saja.

H. Teori Cara Berpikir


Berbeda dari teori-teori sebelumnya, teori ini justru mengkhususkan diri pada
pengaruh tingkah laku pada lingkungan. H.L. Leff (1978:10-11) menyatakan ada dua
macam cara orang berpikir dalam menanggapi rangsang dari lingkungan. Pertama adalah
cara berpikir linear dan yang kedua adalah cara berpikir sistem. Perbedaan cara berpikir
ini menyebabkan perbedaan dalam reaksi terhadap ligkungan. Misalnya, dalam
menghadapi masalah kemacetan jalan raya. Orang yang berpikir secara linear akan
mengatakan bahwa kemacetan ini disebabkan oleh terlalu banyaknya kendaraan
dibandingkan dengan Panjang dan lebarnya jalan. Untuk menyelesaikannya, maka harus
dilakukan pelebaran atau penambahan panjang jalan atau mengurangi jumlah kendaraan

8
dijalan. Namun, orang yang berpikir secara sistem akan mengatakan bahwa factor
penyebab kemacetan itu bermacam-macam. Ada faktor ledakan penduduk, urbanisasi,
kemiskinan, rendahnya pendidikan bahkan rendahnya dana dari pemerintah. Semua itu
ikut dipertimbangakan sehingga jalan keluar yang dipilih pun bisa bermacam-macam.
Misalnya, meningkatkan frekuensi dan daya tamping kendaraan umum, menertibkan
pejalan kaki dan pedagang kaki lima.

9
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Psikologi lingkungan merupakan ilmu mempelajari bagaimana motivasi, sikap,
perasaan dan sebagainya dari manusia terhadap lingkungannya. Terdapat teori-teori
psikologi lingkungan yang dapat dikaji untuk melihat bagaimana lingkungan fisik dapat
mempengaruhi perilaku manusia dan begitu pula sebaliknya. Macam-macam teori
mengenai psikologi lingkungan adalah sebagai berikut Teori Stress Lingkungan
(Environment Stress Theory), Teori Pembangkitan (Arousal Approach), Teori Kelebihan
Beban (Environmental Load Theory), Teori Kekurangan Beban (Understimulation
Theory), Teori Tingkat Adaptasi (Adaptation Level Theory), Teori Psikologi Ekologi, dan
Teori Cara Berpikir.

B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis
akan lebih fokus pada details dalam menjelaskan tentang makalah diatas dengan suber-
sumber yang lebih banyak.

10
DAFTAR PUSTAKA

Helmi, A. F. (1999). Beberapa teori psikologi lingkungan. Jurnal Buletin Psikologi, 7(2),
7-19.
Sarwono, S. W. (1995). Psikologi Lingkungan. Jakarta : PT Gramedia Widiasarana
Indonesia.

11

Anda mungkin juga menyukai