Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH PSIKOPATOLOGI

GANGGUAN NEUROLOGIS & CBS

Oleh :
Nathanaela Candice 111911133134
Angelina Amanda 111911133136
Bitya Alvyna 111911133138
Adelia Hani 111911133163
Gabriella Emeralda 111911133164

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2021
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI...............................................................................................................................i
BAB I KERANGKA TEORI.....................................................................................................1
1.1. DEFINISI SINDROM.....................................................................................................1
1.1.1 DEFINISI GANGGUAN NEUROLOGIS................................................................1
1.1.2 DEFINISI CULTURE BOUND SYNDROME.........................................................1
1.2 GEJALA...........................................................................................................................2
1.2.1 GEJALA GANGGUAN NEUROLOGIS..................................................................2
1.2.2 GEJALA GANGGUAN CULTURE BOUND SYNDROME (CBS).......................2
1.3 ETIOLOGI.......................................................................................................................4
1.3.1 ETIOLOGI GANGGUAN NEUROLOGIS........................................................4
1.3.2 ETIOLOGI CULTURE BOUND SYNDROME.......................................................5
1.4 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS..............................................................................5
1.4.1 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS NEUROLOGIS.............................................5
1.4.2 PENGUKURAN DAN DIAGNOSA CBS.............................................................6
BAB II ANALISA KASUS.....................................................................................................12
2.1 DESKRIPSI KASUS SECARA UMUM.......................................................................12
2.1.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap partisipan
“E” di Jawa Tengah).........................................................................................................12
2.1.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap penderita
demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto Mangunkusumo)................................13
2.2 Analisa Kasus.................................................................................................................14
2.2.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap partisipan
“E” di Jawa Tengah).........................................................................................................14
2.2.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap penderita
demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto Mangunkusumo)................................17
2.3 Diagnosa Multiaksial......................................................................................................20
2.3.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap partisipan
“E” di Jawa Tengah).........................................................................................................20
2.3.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap penderita
demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto Mangunkusumo)................................21
BAB III SIMPULAN DAN SARAN.......................................................................................22
3.1 SIMPULAN....................................................................................................................22
3.2 SARAN...........................................................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................ii

i
BAB I

KERANGKA TEORI

1.1. DEFINISI SINDROM

1.1.1 DEFINISI GANGGUAN NEUROLOGIS

Gangguan Neurologis merupakan gangguan yang terjadi pada sistem


saraf. Pembahasan kali ini akan membahas lebih lanjut mengenai sindrom
delirium dan dementia yang merupakan bagian dari gangguan neurologis.

1. Delirium

Delirium merupakan keadaan mental yang tidak normal dimana terjadi


penurunan kesadaran dan proses berpikir yang bersifat naik turun dan
gawat (Departemen Kesehatan RI, 2015).

2. Dementia

Dementia merupakan gejala yang tidak normal disebabkan oleh


kerusakan atau sakit pada otak dan berkembang secara perlahan serta
terjadi dalam jangka panjang. Tidak jarang dementia juga mengganggu
fungsi psikologis dan perilaku seseorang (Departemen Kesehatan RI,
2015).

1.1.2 DEFINISI CULTURE BOUND SYNDROME

Culture Bound Syndrome (CBS) merupakan gejala klinis yang terjadi


secara abnormal atau gangguan yang terjadi dengan gejala-gejala tertentu
menurut konteks budaya atau etnis tertentu yang bersifat berulang, berpola,
dan mengganggu. Seringkali CBS dianggap oleh masyarakat lokal sebagai
penyakit atau penderitaan yang dinamakan sesuai kepercayaan lokal
(Henderson, ... Fricchione,2010).

1
1.2 GEJALA

1.2.1 GEJALA GANGGUAN NEUROLOGIS

1. Delirium

Gejala yang muncul yaitu, berkurangnya atensi (kemampuan


memfokuskan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian), defisit
memori, disorientasi, dan gangguan berbahasa, agitasi (perasaan gelisah,
jengkel, marah) psikomotor, gangguan persepsi, gangguan emosi,
kekacauan arus dan isi pikir, gangguan siklus tidur-bangun. Gejala ini
terjadi dalam periode waktu yang pendek dan cenderung berfluktuasi
dalam sehari (Departemen Kesehatan RI, 2015).

2. Dementia

Gejala yang muncul yaitu, penderita kesulitan untuk mempelajari


informasi baru dan mudah lupa terhadap kejadian yang baru dialami serta
gangguan fungsi kognitif kompleks disertai gangguan perilaku seperti,
disorientasi waktu dan tempat; kesulitan melakukan pekerjaan sehari hari;
tidak mampu membuat keputusan; kesulitan berbahasa; kehilangan
motivasi dan inisiatif; gangguan pengendalian emosi; nilai sosial
terganggu; dan berbagai perubahan perilaku dan psikologis lainnya
(agresif impulsif, halusinasi, waham) (Departemen Kesehatan RI, 2015).

2
1.2.2 GEJALA GANGGUAN CULTURE BOUND SYNDROME (CBS)

1. Ataque de nervious

Pada sindrom ini, gejala yang muncul berupa gangguan emosi yang
intens termasuk, kecemasan, kemarahan, dan kesedihan akut. Selain itu,
penderita juga mengalami panas di dada yang naik ke kepala, berteriak tak
terkendali, menangis, gemetar, serta melakukan agresi secara verbal dan
fisik (American Psychiatric Association, 2013).

2. Dhat

Gejala spesifik yang muncul pada sindrom dhat yaitu penderita


mengalami kehilangan air mani dan disfungsi seksual seperti impotensi.
Sedangkan untuk gejala umum penderita mengalami kecemasan ekstrim
terkait rasa lemah, kelelahan, penurunan berat badan, depresi, dan keluhan
somatik ganda lainnya (American Psychiatric Association, 2013).

3. Khyal Cap

Khyal attacks atau serangan angin yang ditemukan pada orang


Kamboja di Amerika Serikat menimbulkan beberapa gejala pada
penderitanya yaitu, serangan panik seperti pusing, jantung berdebar, sesak
nafas, ekstremitas dingin, kecemasan, dan gairah otonom lainnya
(misalnya nyeri leher) (American Psychiatric Association, 2013).

4. Kufungisisa

Kufungisisa atau terlalu banyak berpikir merupakan ungkapan distress


yang terjadi di Shona, Zimbabwe. Kufungisisa melibatkan perenungan
terhadap peristiwa yang menjengkelkan yang kemudian menimbulkan
beberapa gejala seperti, kekhawatiran berlebihan, depresi, gangguan
somatik, kecemasan, serangan panik, mudah tersinggung, dan perasaan
panas atau sensasi merangkak di kepala (American Psychiatric
Association, 2013).

5. Maladi moun

3
Maladi moun atau secara harfiah disebut sebagai penyakit yang
disebabkan oleh manusia atau penyakit yang dikirim adalah sindrom yang
terjadi di Haiti. Gejala yang ditimbulkan penderita antara lain, psikosis
yaitu, sulit membedakan antara kenyataan dengan imajinasi, mengalami
depresi, ketidakmampuan penderita untuk melakukan aktivitas sehari-hari,
dan kegagalan sosial atau akademis (American Psychiatric Association,
2013).

6. Shenjing Shuairuo

Sindrom budaya Tiongkok terkait kelemahan sistem saraf. Sindrom ini


didefinisikan sebagai sindrom yang terdiri dari tiga dari lima kelompok
gejala nonhierarkis yaitu, kelemahan (kelelahan mental), tidur (misalnya,
insomnia), emosi (misalnya, merasa kesal), kegembiraan (misalnya,
ingatan meningkat), dan nyeri saraf (misalnya, sakit kepala) (American
Psychiatric Association, 2013).

7. Susto

Susto atau ketakutan lazim terjadi pada orang Mexico, Amerika


Tengah, dan Amerika Selatan. Gejala yang muncul pada sindrom ini antara
lain, gangguan nafsu makan, kurang tidur atau tidur berlebihan, susah tidur
atau mimpi, perasaan sedih, rendah diri atau merasa kotor, kepekaan
interpersonal, kurangnya motivasi untuk melakukan sesuatu, dan gejala
somatik seperti, nyeri otot, pucat, sakit kepala, sakit perut, diare (American
Psychiatric Association, 2013).

8. Taijin Kyofusho

Gangguan ketakutan interpersonal dalam budaya Jepang. Gejala


yang timbul berupa, kecemasan, penghindaran situasi interpersonal karena
adanya pemikiran, perasaan, atau keyakinan bahwa penampilan dan
tindakan seseorang dalam interaksi sosial tidak memadai atau
menyinggung orang lain. Sindrom ini mencakup dua bentuk yang
berhubungan yaitu, tipe sensitif yang mana penderita memiliki kepekaan
sosial yang ekstrim dan merasa cemas tentang interaksi antar pribadi dan
tipe ofensif yang mana mayor perhatiannya menyinggung orang lain
(American Psychiatric Association, 2013).

4
1.3 ETIOLOGI

1.3.1 ETIOLOGI GANGGUAN NEUROLOGIS

2. DELIRIUM
Disebabkan oleh kondisi medis umum diantaranya kerusakan sistem
saraf pusat seperti trauma di kepala; Penyakit sistemik seperti stroke akibat
panas; Penyakit jantung; Gangguan metabolik seperti diabetes; Penyakit
paru seperti hipoksia; obat-obatan semisal steroid; Endokrin contohnya
pada abnormalitas tiroid; Hematologi semisal anemia; Renal semisal gagal
ginjal; Hepar semisal hipotitis. Selain kondisi medis umum dapat
disebabkan juga oleh intoksikasi zat serta putus zat (Departemen
Kesehatan RI, 2015).
3. DEMENTIA
Dementia disebabkan oleh sel-sel otak yang mati karena terjadinya
plak yang merupakan kumpulan dari beta amiloid serta serat yang kusut
dimana tersusun dari protein tau. Selain karena faktor di atas dementia
juga bisa terjadi karena pembuluh darah pada otak tersumbat sehingga
menghalangi peredaran darah menuju otak dan kekurangan vitamin B12
(Departemen Kesehatan RI, 2015).

1.3.2 ETIOLOGI CULTURE BOUND SYNDROME

Dalam konteks budaya, culture bound syndrome dipercaya terjadi


karena adanya sihir, mantra yang jahat, ataupun karena nenek moyang yang
sedang marah. Dalam penelitian, CBS disebabkan oleh adanya common ego
defense mechanism dimana seseorang mengalami perasaan bersalah atau rasa
malu. Biasanya saat individu tidak melakukan upacara adat dalam budayanya
maka akan timbul perasaan bersalah, malu, ataupun rasa ingin menghukum
orang lain sehingga menimbulkan penyakit atau gangguan (Henderson, ...
Fricchione,2010).

1.4 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS

1.4.1 PENGUKURAN DAN DIAGNOSIS NEUROLOGIS

1. Pengukuran Delirium

5
Alat ukur Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-
ICU) merupakan ukuran yang valid dan dapat diandalkan dalam
menentukan skala keparahan delirium pada pasien yang berada di ICU.
CAM-ICU memiliki skala 7 poin. Skor CAM-ICU selanjutnya
dikategorikan sebagai 0-2: tidak ada delirium, 3-5: delirium ringan sampai
sedang, dan 6-7: delirium berat. Terdapat empat komponen yang dinilai
pada CAM-ICU yaitu, kemunculan delirium yang akut dan fluktuatif,
adanya gangguan perhatian, disertai dengan alur pemikiran yang tidak
terorganisir, dan penurunan tingkat kesadaran (Khan, 2018).
Diagnosis Delirium
Gangguan kesadaran yang ditandai dengan berkurangnya kemampuan
memfokuskan, mempertahankan dan mengalihkan perhatian, adanya
perubahan dalam kognisi (defisit memori, disorientasi, gangguan
berbahasa), gangguan Psikomotor berupa hipoaktivitas atau hiperaktivitas,
gangguan siklus tidur berupa insomnia atau siklus tidur terbalik. Gejala
memburuk pada malam hari dan mimpi yang mengganggu atau mimpi
buruk yang dapat berlanjut menjadi halusinasi setelah bangun tidur,
Gangguan emosional berupa depresi, kecemasan, takut, lekas marah,
euforia, apatis dan rasa kehilangan akal (Departemen Kesehatan RI, 2015).
2. Pengukuran Demensia
Salah satu alat ukur untuk mengukur demensia adalah Mini Mental
State Examination (MMSE). Alat ukur ini digunakan sebagai pemeriksaan
kognitif terkait daya ingat dan penurunan fungsi kognitif. MMSE yang
dilakukan dengan wawancara langsung pada pasien memiliki 11 item
penilaian yang digunakan untuk menilai atensi dan orientasi, memori,
registrasi, recall, kalkulasi, kemampuan bahasa, dan kemampuan untuk
menggambar poligon kompleks. Rentang skor MMSE adalah 1-30. Skor
yang lebih rendah dari 24 dinyatakan memiliki gangguan kognitif
(Creavin, 2016).
Diagnosis Demensia
Gangguan fungsi luhur, termasuk memori, orientasi, pemahaman,
kalkulasi dan kapasitas belajar, bahasa dan pertimbangan, kesadaran tidak
berkabut, gangguan fungsi kognitif biasanya disertai oleh deteriorasi
kontrol emosi, perilaku sosial atau motivasi. Gejala harus sudah nyata

6
untuk setidak tidaknya 6 (enam) bulan bila ingin membuat diagnosis klinis
demensia yang mantap (Departemen Kesehatan RI, 2015).

1.4.2 PENGUKURAN DAN DIAGNOSA CBS

1. Pengukuran Ataque de nervios


Explanatory Model Interview Catalogue (EMIC) diadaptasi oleh
Guarnaccia dan Lewis-Fernández berdasarkan format umum yang
dikembangkan oleh Weiss et al. (1992) yang digunakan dalam studi
tentang berbagai sindrom dalam berbagai pengaturan budaya. EMIC yang
sudah diadaptasi berfungsi untuk menilai gagasan umum peserta tentang
berbagai bentuk nervios (saraf); deskripsi pengalaman spesifik ataque de
nervios, termasuk dukungan sistematis dari daftar periksa gejala;
membantu mencari ataque; evaluasi tingkat keparahan ataque; dan
penyebab yang dirasakan dari pengalaman ini. Selain itu, wawancara juga
memasukkan 28 item daftar gejala yang mungkin dialami peserta selama
episode ataque de nervious yang ditanggapi dengan (ya) atau (tidak).
Setelah EMIC, dilakukan Composite International Diagnostic
Interview (CIDI) untuk menilai diagnosis yang terkait dengan gejala
ataque de nervios seperti, gangguan panik, depresi berat, distimia,
agorafobia, gangguan kecemasan umum, gejala somatik dan disosiatif.
Tanggapan atas pertanyaan CIDI kemudian dianalisis menggunakan
algoritma komputer (Febo San Miguel, V. E. dkk., 2006).
Diagnosis Ataque de nervios
Gangguan panik sebagai respon kecemasan akan perpisahan, gangguan
disosiatif, gangguan konversi (gejala neurologis fungsional), gangguan
ledakan intermiten, gangguan kecemasan spesifik dan tidak spesifik,
trauma spesifik atau tidak spesifik, dan gangguan terkait stressor
(American Psychiatric Association, 2013).
2. Pengukuran Dhat
Development of the preliminary Dhat disorder severity scale dimulai
dengan deskripsi keyakinan dan penyebabnya selama seminggu terakhir,
diikuti dengan pertanyaan untuk mengesampingkan penyebab alternatif
pelepasan dan cara perjalanan Dhat. Bagian berikutnya yaitu keyakinan
kesehatan terdiri dari daftar 25 dimensi yang dinilai dari nol hingga tiga.

7
Dimensi tersebut antara lain, persepsi pandangan orang lain, organisasi
logis atau kewajaran, fluktuasi dalam keyakinan atau kurangnya stabilitas
atau perubahan kekuatan, akurasi keyakinan, tingkat penerimaan oleh
orang lain atau keanehan, tingkat penerimaan oleh para ahli dalam sistem
pengobatan tradisional, wawasan tentang patologi keyakinan, wawasan
keakuratan keyakinan, kekuatan perlawanan, kecepatan pembentukan
keyakinan, egosyntonic, extension, salience atau kepentingan, pengaruh
pengalaman, pengaruh pada kognisi, pengaruh pada perilaku, pengaruh
pada dampak, waktu yang dihabiskan, intensitas keasikan, dan tekanan
diri. Melalui keyakinan kesehatan tersebut, dapat diukur tingkat keparahan
depresi, kecemasan, dan neurotisme (Prakash, 2016).
Diagnosis Dhat
Gangguan depresi mayor, gangguan depresi persisten, gangguan
kecemasan umum, gangguan gejala somatik, gangguan kecemasan
penyakit, gangguan ereksi, ejakulasi dini (premature), disfungsi seksual
spesifik atau tidak spesifik, dan masalah akademis (American Psychiatric
Association, 2013).
3. Pengukuran Khyal Cap
Hopkin Symptom Checklist 25 (HSCL-25) adalah ukuran yang banyak
digunakan yang telah diterjemahkan dan divalidasi untuk populasi Laos,
Kamboja, dan Vietnam. Alat ukur ini berisi skala kecemasan (10 item) dan
skala depresi (15 item), dengan setiap item dinilai pada skala tipe Likert 1-
4. Selain itu, ditambahkan item untuk menilai gejala somatik yang spesifik
secara budaya seperti, tinnitus, penglihatan kabur, nyeri leher, dan
ekstremitas dingin dan sakit. Gejala pusing dan pingsan juga harus
ditambahkan yang nantinya dijadikan dalam satu pertanyaan HSCL-25
bersama dengan "kelemahan" ("pingsan, pusing, atau lemah ”). Dalam
tambahan somatik, item terpisah harus menilai pusing, pingsan,
kelemahan, dan pusing saat berdiri (Hinton, 2006).
Diagnosis Khyal Cap
Serangan panik yang dapat membentuk pengalaman kecemasan dan
trauma lainnya, gangguan kecemasan umum, agoraphobia, gangguan stress
pasca trauma, dan gangguan kecemasan penyakit (American Psychiatric
Association, 2013).

8
4. Pengukuran Kufungisisa
Brain Fag Syndrome Scale (BFSS) adalah skala penyaringan yang
dikembangkan oleh Prince dan disempurnakan oleh Morakinyo. Terdapat
tujuh aitem dalam BFFS yaitu, i suffer unpleasant sensations in my body
related to study, i am satisfied with my general efficiency in studying and
with retention (assimilation) of what I study, these unpleasant sensations
(burning, crawling, heat, cold) make it difficult for me to study or
assimilate what I read, i experience brain burning, crawling heat or cold
or other unpleasant sensations in my head, while studying, I find it
difficult to concentrate when studying, when I read, I feel that the words
don't make sense, dan I get period of complete exhaustion and fatigue.
Skala ini menyaring dan mendiagnosis sindrom brain-fag menggunakan
tiga opsi respons 0, 1, 2, sesuai dengan tidak pernah, kadang-kadang dan
sering. Skor berkisar antara 1 - 14 dan skor yang lebih tinggi mewakili
manifestasi dari sindrom tersebut. Jika responden memiliki skor 6 ke atas,
responden dianggap memanifestasikan brain-fag (Ola, 2011).
Diagnosis Kufungisisa
Gangguan depresi mayor akibat kekhawatiran berlebihan, gangguan
depresi persisten (dysthymia), gangguan kecemasan umum, gangguan
stress pasca trauma, gangguan obsesif-kompulsif, dan gangguan
kehilangan kompleks persisten (American Psychiatric Association, 2013).
5. Pengukuran maladi moun
Alat ukur Haitian Crole berfungsi untuk mengukur adanya
ketidakseimbangan depresi yang secara khusus terjadi pada orang Haiti.
Haitin Crole memanfaatkan basis penelitian depresi kesehatan mental
Eropa dan Amerika Utara yang menghasilkan Zanmi Lasante Depression
Symptom Inventory (ZLDSI). Terdapat 13 item ukuran skrining di Kreol
Haiti untuk suasana hati yang tertekan dan gejala vegetatif. Item tersebut
adalah thinking to much, feeling down, discouraged or totally hopeless,
thoughts that you would be better off dead, or of hurting yourself in some
way, feeling you are a failure or feeling bad about yourself feeling you’ve
lost the taste for doing anything, Feeling you have a constricted heart,
having no appetite, crying or feeling like crying, feeling tired or having
little energy, low energy, moving or speaking so slowly that people have

9
noticed, difficulty sleeping without waking early, dan difficulty falling
asleep. Item ini diberi skor pada empat poin yaitu skala 0–3 yang
dimaksudkan untuk mengukur frekuensi kesusahan (Rasmussen, 2015).
Diagnosis maladi moun
Gangguan delusi yang muncul ketika terdapat gejala baru yang
berpengaruh pada perubahan perilaku sehingga menimbulkan kecurigaan
akan adanya serangan spiritual, tipe penganiayaan, dan skizofrenia dengan
fitur paranoid. (American Psychiatric Association, 2013)
6. Pengukuran Shenjing shuairuo
Shenjing shuairuo diukur menggunakan gejala neurasthenia dari sistem
diagnostik ICD-10. Diagnosis shenjing shuairuo dibuat jika salah satu dari
dua gejala inti muncul: 1) Kelelahan yang meningkat terus-menerus
setelah upaya mental atau 2) Kelemahan dan kelelahan tubuh setelah
sedikit usaha dan disertai dengan dua gejala tambahan (misalnya, nyeri
otot, mudah tersinggung). Setiap item dinilai sebagai ada atau tidak ada
(diberi kode sebagai 0 tidak ada dan 1 ada). Reliabilitas konsistensi
internal berdasarkan Kuder-Richardson Formula 20 adalah 0,72 (Hall, B.
J., dkk, 2018).
Diagnosis Shenjing shuairuo
Gangguan depresi mayor akibat ketidakmampuan untuk mengubah
situasi serta pikiran-pikiran yang bertentangan dan keinginan yang tidak
terpenuhi, gangguan depresi persisten, gangguan kecemasan umum,
gangguan kecemasan sosial, fobia spesifik, dan gangguan stress pasca
trauma (American Psychiatric Association, 2013)
7. Pengukuran Susto
Susto Symptoms Scale terdiri dari variabel untuk setiap gejala yang
akan digunakan untuk mengukur kesejahteraan fisik antara peserta yang
berkelanjutan dan yang tidak. Terdapat 22 gejala yaitu, dried up, cure,
spirit, nightmare, no sleep, cry, jump, worry, earth, heat, desire, fright, no
eat, depress, headache, heart, pain, sickly, fever, vomit, fall, dan bored.
Untuk mengukur kesehatan fisik, informan ditanya apakah pernah
mengalami gejala berikut ini di masa lalu lima tahun. Skala Gejala Susto
dirancang untuk mengukur tingkat kesejahteraan individu dengan
menetapkan nilai numerik ke pilihan jawaban dalam skala tersebut.

10
Jawaban ya dan tidak diberikan masing-masing 1 dan 0. Skor maksimum
yang dapat diterima seseorang adalah 22, yang berarti mereka telah
mengalami semua 22 gejala yang menonjol secara budaya yang terkait
(Brooks, 2016).
Diagnosis Susto
Gangguan depresi mayor terkait kehilangan, ditinggalkan, kesedihan,
citra diri yang buruk, dan keinginan bunuh diri, gangguan stress pasca
trauma, trauma spesifik/ tidak spesifik lainnya, gangguan terkait stressor,
dan gangguan gejala somatic yang mana ditandai dengan penderita
mencari perawatan kesehatan (American Psychiatric Association, 2013).
8. Pengukuran Taijin kyofusho
Liebowitz Social Anxiety Scale (LSAS) berfungsi untuk mengukur
takut/kecemasan dan perilaku menghindar (avoidance) terhadap 24 situasi
“performance” dan “social”. Terdapat 13 aitem terkait performance dan 11
aitem terkait social yang dinilai berdasarkan 4 pembeda, 0=tidak/tidak
pernah, 1= jarang, 2= sering, dan 3=sangat/hampir selalu). Item tersebut
yaitu, menggunakan telepon di depan umum, berpartisipasi dalam
kelompok kecil, makan di depan umum, minum dengan orang lain di
tempat umum, berbicara kepada orang berwenang, pergi ke pesta,
memanggil seseorang yang tidak dikenal, bertemu orang asing, buang air
kecil di toilet umum, menjadi pusat perhatian, mengerjakan tes, dan
lainnya (Vriends, 2013).
Diagnosis Taijin kyofusho
Gangguan kecemasan sosial, gangguan dysmorphic tubuh, gangguan
delusi (kekhawatiran mungkin memiliki kualitas delusi), gangguan
obsesif-kompulsif yang sejenis dengan gangguan obsesif-kompulsif,
sindrom referensi penciuman (American Psychiatric Association, 2013).

11
BAB II

ANALISA KASUS

2.1 DESKRIPSI KASUS SECARA UMUM

2.1.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap


partisipan “E” di Jawa Tengah)

Kesurupan adalah keadaan dimana seseorang diambil alih


kemampuannya oleh spirit, roh atma nya sendiri, atau oleh energi lain di luar
pemikirannya (Sri Diniari & Hanati, 2012). Dimana pada akhirnya, orang itu
menjadi lain dalam hal bicara, perilaku dan sifatnya. Perilaku orang tersebut
akan menjadi seperti kepribadian yang ”memasukinya”. Kesurupan
menyebabkan seseorang bebas mengungkapkan emosi secara terang-terangan,
seperti marah, iri hati, kekerasan fisik, tanpa mendapat sanksi dari masyarakat.
Orang yang kesurupan biasanya mempunyai kepribadian histrionik dengan
keyakinan dan kepercayaan yang kuat sebagaimana halnya keinginan untuk
mengalami kesurupan (Sri Diniari & Hanati, 2012).

Pada saat mengalami kesurupan, partisipan “E” bersikap agresif seperti


mengamuk, memukuli dan mengejar orang yang dianggap pernah
menyakitinya. Gejala kesurupan terbagi dalam tiga fase, yaitu gejala
prakesurupan, saat kesurupan, dan gejala pascakesurupan (Anjaryani &
Rahardanto, 2016). Dalam gejala prakesurupan, partisipan “E” mengalami
beberapa gejala fisik, yaitu merasa pusing dan kepala terasa berat. Partisipan
juga mengaku sebelum mengalami kesurupan biasanya mengalami mimpi
buruk, yang menjadi stimulus yang semakin memfasilitasi munculnya
kesurupan (Anjaryani & Rahardanto, 2016). Dalam kasus kesurupan patologis
yang dialami oleh partisipan “E”, ia mengalami kesembuhan melalui seorang
paranormal yang mengobati dirinya. Sebelumnya partisipan telah berobat
dengan berbagai cara, yaitu dengan cara ruqyah, dukun, hingga didoakan oleh
pendeta, namun semuanya tidak dapat menyembuhkan partisipan (Anjaryani
& Rahardanto, 2016).

12
2.1.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap
penderita demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo)

Demensia merupakan sindrom yang umumnya bersifat kronis atau


progresif, dimana terdapat penurunan fungsi kognitif lebih dari yang mungkin
diharapkan dari penuaan normal. Faktor utama dari demensia ini adalah faktor
usia. Demensia mempengaruhi memori, orientasi, pemikiran, pemahaman
perhitungan, bahasa dan penilaian, kapasitas belajar, namun tidak
mempengaruhi kesadaran. Gangguan fungsi kognitif penderita demensia
biasanya disertai oleh kemunduran dalam kontrol emosi, perilaku sosial, dan
motivasi. (WHO, 2019) Perjalanan penyakit demensia biasanya dimulai secara
perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya
tidak disadari. Terdapat tiga kategori utama penyakit demensia, yaitu
Demensia Alzheimer, Demensia Senilis, dan Demensia Frontotemporal.

Dalam kasus ini, berusia diatas 60 tahun, hilangnya ingatan atau


pelupa, seperti lupa meletakkan kunci atau dompet, yang dapat menjadi
semakin buruk seiring berjalannya waktu; kesulitan berkomunikasi dan
mencari kata-kata yang tepat untuk menyampaikan keinginannya yang jika
memburuk dapat membuat pasien menjadi mudah frustasi dan mudah marah;
Penanganan yang diterima selama ini oleh pengidap demensia ialah metode
dan teknik perawatan psikososial yang dilakukan oleh para pekerja sosial.
Dengan memberikan nasehat dan pandangan berkenaan dengan cara merawat
pasien demensia di rumah. Cara “care giving” dari keluarga sangat penting
untuk memastikan kenyamanan hidup pasien demensia terpenuhi.
Sedangkan, delirium adalah kondisi penurunan kesadaran yang bersifat
akut, terjadi secara mendadak, dan fluktuatif. Pengidap mengalami
kebingungan parah dan kesadaran terhadap lingkungan sekitar berkurang.
Seringkali, demensia dan delirium dianggap sama karena gejalanya yang
tampak tumpang tindih. Tetapi, kedua sindrom ini jelas berbeda. Tidak selalu
pengidap delirium adalah penderita demensia. Dalam kasus ini, delirium
diidap oleh pasien geriatri, yang merupakan pasien usia diatas 60 tahun yang
mengalami setidaknya paling sedikit dua penyakit. Pasien memiliki penyakit
yang merusak organ dan juga penyakit yang menyerang secara biopsikososial.

13
Biasanya pasien lanjut usia datang ke rumah sakit dengan kondisi lanjut dan
mereka sudah berisiko tinggi mengembangkan delirium selama awal masa
rawat inap, seperti dititipkan kepada perawat di rumah sakit oleh keluarga.
Gejala delirium ditandai dengan: kemampuan berpikir yang buruk seperti
buruknya daya ingat, terutama untuk jangka pendek, disorientasi, kesulitan
berbicara atau mengingat kata-kata, bicara bertele-tele, serta kesulitan dalam
memahami pembicaraan, membaca dan menulis; gangguan emosional seperti
gelisah, takut atau paranoid, depresi, mudah tersinggung, apatis, perubahan
mood mendadak, dan perubahan kepribadian; serta mengalami perubahan
perilaku seperti halusinasi, gelisah dan berperilaku agresif, mengeluarkan
suara mengerang atau memanggil, menjadi pendiam dan menutup diri,
pergerakan melambat, serta terganggunya kebiasaan tidur. Lalu, penanganan
sementara yang telah diterima oleh pasien geriatri di rumah sakit ialah,
pemberian obat Quetiapin yang adalah obat antipsikotik baru yang paling
menimbulkan sedasi dan paling aplikatif dalam pengobatan delirium agitasi.

2.2 Analisa Kasus

2.2.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap


partisipan “E” di Jawa Tengah)

Pada saat berada pada simtom prakesurupan, mimpi buruk yang kerap
dialami oleh Partisipan “E” sering dihubungkan dengan pengalaman traumatis
dan umumnya lebih sering terjadi ketika individu dalam kondisi stres. Pada
saat kesurupan, Partisipan memiliki persepsi bahwa dirinya dirasuki oleh
siluman kera, jin yang melindungi dirinya, dan juga arwah gadis yang telah
meninggal. Perilaku partisipan ini menyerupai karakteristik pada gangguan
identitas disosiatif, yakni terdapat dua atau lebih kepribadian berbeda, seperti
yang tercantum dalam DSM-V. Disisi lain, partisipan mengakui bahwa dirinya
dapat mengetahui apa yang terjadi saat kesurupan, tetapi dirinya merasa
dikendalikan oleh kekuatan atau kepribadian yang lain. Hal ini
mengindikasikan bahwa fungsi kognitif partisipan “E” masih berfungsi,
namun partisipan kehilangan kendali akan fungsi motoriknya. Perilaku
partisipan ini menyerupai gejala gangguan depersonalisasi atau derealisasi
dimana Individu merasa menjadi pengamat di luar tubuhnya dan mengalami

14
perasaan ketidaknyataan atau terpisah dari tubuhnya (Anjaryani &
Rahardanto, 2016).

Rancangan Intervensi yang dapat dilakukan, sebagai berikut,

1. Subjek yang Memerlukan Intervensi


 Partisipan “E”, Orang tua khususnya ibu, dan orang sekitar (rekan -
rekan kerja) “E”.

2. Intervention Objectives

 Partisipan “E” : partisipan “E” dapat mengelola stres dan


kecemasan yang timbul akibat keadaan lingkungan sekitar terutama
lingkungan kerja dan keadaan keluarga yang memiliki hubungan
kurang baik terutama dengan ibu partisipan. Partisipan dapat
mengendalikan temperamen.
 Orang tua (ibu partisipan) : ibu partisipan mampu mengerti dan
memahami perbedaan pendapat yang muncul antara partisipan “E”
dengan sang ibu. Ibu partisipan mampu menyikapi perbedaan
pendapat dengan sikap positif, memberikan dukungan emosional,
dan mengembangkan sikap altruistik.
 Untuk orang sekitar (rekan - rekan kerja) “E” : Intervensi pada
level Knowledge dimana rekan - rekan kerja “E” diharapkan
mampu untuk memahami dan mempraktekkan materi yang akan
disampaikan pada sebuah sesi psikoedukasi mengenai “bullying
pada dunia kerja”.

3. Objective Criteria

 Untuk partisipan “E” : partisipan “E” tidak lagi mengalami


kesurupan patologis (intensitas berkurang 70% dari biasanya) yang
akan diukur pada evaluasi. Partisipan “E” dapat
mengkomunikasikan keadaannya kepada orang disekitarnya dan
terbangun hubungan yang baik antara partisipan “E” dengan
keluarga serta rekan kerjanya.
 Untuk orang tua (ibu partisipan) : Tidak menggunakan kata kasar
ketika memiliki perbedaan pendapat dengan partisipan. Melakukan
diskusi dua arah ketika terjadi perbedaan pendapat. Memberi

15
dukungan emosional dengan menelpon partisipan paling tidak
sekali dalam sehari untuk menanyakan kabar partisipan dan
memberi partisipan semangat untuk menjalani rutinitas.
 Untuk orang sekitar (rekan - rekan kerja) “E” : Memberi apresiasi
dan semangat kepada tiap orang yang ada di lingkungan kerja
termasuk kepada partisipan “E”

4. Metode Intervensi

Berdasarkan studi kasus yang dilakukan pada partisipan “E”, kami


mengusulkan beberapa bentuk intervensi yang dapat dilakukan kepada
partisipan “E” dan orang disekitarnya termasuk orang tua. Bentuk
intervensi yang kami usulkan meliputi psikoedukasi, konseling, dan
psikoterapi.

1. Psikoedukasi
Bentuk intervensi ini akan kami terapkan pada rekan - rekan kerja
partisipan “E” yang merupakan orang - orang yang turut mengambil
peran penting pada kesejahteraan psikologis partisipan “E”.
Psikoedukasi yang akan kami sampaikan merupakan psikoedukasi
mengenai “bullying di lingkungan kerja”. Intervensi ini diharapkan
dapat meningkatkan pengetahuan rekan - rekan kerja partisipan “E”
akan pentingnya menjaga kesejahteraan psikologis di lingkungan kerja.
Berikut adalah rancangan intervensi psikoedukasi yang hendak kami
lakukan :

a. Melakukan asesement kebutuhan klien

b. Menyusun dan mengembangkan modul yang difokuskan pada


pengembangan pengetahuan tertentu yang komponen nya
terdiri dari topik, tujuan, media, prosedur, waktu, materi.
2. Konseling
Konseling diberikan kepada orang tua khususnya ibu partisipan
“E” dengan tujuan untuk memberikan dorongan, pemahaman dan
membantu klien mengatasi masalah yang berhubungan dengan
komunikasi antara klien dengan anaknya atau partisipan “E”. Frekuensi

16
konseling akan dilakukan 2 minggu sekali dengan durasi 60 menit.
Berikut merupakan tahapan intervensi konseling yang kami rancang :

a. Perkenalan antara klien dengan konselor : tahap ini diperlukan


untuk membangun hubungan dan komunikasi yang baik antara
klien dengan konselor guna proses konseling kedepannya.

b. Orientasi dan eksplorasi pengenalan : pada tahap ini, konselor


dan klien akan saling bertukar harapan masing - masing
terhadap proses konseling yang akan dijalani. Konselor mulai
meminta klien untuk menceritakan problemnya masing-masing
dan diharapkan klien mulai terbuka

c. Penjelasan konselor mengenai kesimpulan solusi dan


implementasi

d. Rencana tindakan

e. Evaluasi yang akan dilakukan secara bertahap selama proses


konseling berlangsung

3. Psikoterapi
Terapi Psikologi (psikoterapi) adalah kegiatan yang dilakukan
untuk penyembuhan dari gangguan psikologis atau masalah
kepribadian dengan menggunakan prosedur baku berdasar teori yang
relevan dengan ilmu psikoterapi. Intervensi ini akan diterapkan pada
partisipan “E” setelah melalui serangkaian proses asesmen guna
mengetahui gangguan psikologis apa yang dialami partisipan “E” yang
menyebabkan partisipan “E” mengalami kesurupan patologis.

2.2.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap


penderita demensia senilis & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo)

A. Dementia Senilis
Faktor utama yang mempengaruhi terjadinya dementia adalah faktor
usia. Tetapi faktor utama dari demensia senilis ialah gangguan degenerasi
vaskular Arterioclerosis dari pembuluh darah otak. Yang juga didukung
oleh faktor resiko diantaranya; penyakit Alzheimer, pola hidup yang tidak

17
sehat; malas berolahraga, pola makan tidak sehat, dan sering berpikir
negatif, serta stress berlebih. Dari hal-hal tersebut serta penjelasan di
bagian sebelumnya, dapat dilakukan rancangan intervensi sebagai berikut :
1. Subjek yang Memerlukan Intervensi
 Pengidap Demensia, keluarga dari pengidap, pekerja sosial
(yang merawat klien)

2. Intervention Objectives

 Pengidap Demensia : dapat menggunakan waktu dengan tetap


produktif dan sehat, tidak memendam pikiran negatif
 Keluarga dari pengidap : memastikan bahwa terpenuhinya
kesejahteraan anggota keluarga yang mengidap demensia
 Pekerja sosial : memberikan perawatan dan pertolongan yang
sigap dan cakap disaat klien membutuhkan

3. Objective Criteria

 Pengidap Demensia : Dengan mengikuti kegiatan yang positif,


misalnya olahraga ringan secara rutin, menjalankan hobi ringan
seperti membaca, mendengarkan lagu. Bergabung dalam
komunitas yang positif untuk tetap menjaga interaksi dengan
lingkungan sosial dengan baik. Serta terbuka untuk bercerita
kepada keluarga atau orang yang dipercaya.
 Keluarga dari pengidap : Mempelajari keterampilan perawatan
yang baik, memastikan bahwa asupan nutrisi dan menerapkan
pola makan sehat, misalnya dengan mengonsumsi makanan
rendah lemak dan tinggi serat.
 Pengasuh dan/pekerja sosial : Memiliki skill profesional dan
sabar untuk merawat klien, memberikan pertolongan klien
untuk menghadapi, mengatasi dan memecahkan berbagai hal,
seperti memecahkan masalahnya, mengurangi kecemasan dan
ketegangannya, dan upaya-upaya untuk menenangkan.
4. Metode Intervensi
 Psikoterapi

18
- Melakukan asesmen untuk memastikan apakah gejala yang
dialami klien merupakan gejala demensia.
- Membina hubungan profesional antara psikiater dengan
klien, psikiater dengan keluarga, dan hubungan baik antara
psikiater dan keluarga sehingga suportif untuk klien.
 Psikoedukasi
Pentingnya dilakukan psikoedukasi bagi keluarga dan
pengasuh klien untuk memberikan pemahaman mengenai
demensia sehingga mereka dapat memahami bahwa dukungan
moral bagi klien amat dibutuhkan untuk membantunya
menghadapi situasi ini. Sehingga psikiater dan keluarga dapat
bersinergi membantu klien.
B. Delirium
1. Subjek yang Memerlukan Intervensi
 Pengidap Delirium dan keluarga dari pasien.

2. Intervention Objectives

 Pengidap Delirium : membangun kebiasaan baik sebelum usia


rentan terkena delirium dan menghindari faktor yang bisa
menyebabkan terjadinya delirium
 Keluarga dari pengidap : dapat memberikan bantuan psikososial
yang bersifat mendorong pasien untuk dapat berada dalam kondisi
yang lebih baik.

3. Objective Criteria

 Pengidap Delirium : menghindari penggunaan obat yang


meningkatkan risiko delirium, seperti ranitidin, digoksin,
ciprofloxacin, kodein, amitriptilin (antidepresan), benzodiazepine.
 Keluarga dari pengidap : Mengingat bahwa gejala delirium tidaklah
khas, maka bila keluarga dari klien melihat ada tanda-tanda yang
cenderung ke gejala delirium, bisa segera berkonsultasi pada ahli,
memberikan perhatian dan juga motivasi pada pasien, dengan
mengajak berbicara, bercerita, berolahraga ringan dan kegiatan
positif lainnya sebagai bentuk dukungan moril.

19
4. Metode Intervensi

 Psikoterapi
- Psikiater melakukan asesmen untuk memastikan apakah gejala
yang dialami klien merupakan gejala delirium.
- Membina hubungan profesional antara psikiater dengan klien,
psikiater dengan keluarga, sehngga tumbuhlah hubungan baik
dan suportif antara klien dan keluarga.
 Psikoedukasi
Pentingnya dilakukan psikoedukasi bagi keluarga dan pengasuh
klien untuk memberikan pemahaman mengenai delirium sehingga
mereka dapat memahami bahwa dukungan moral bagi klien amat
dibutuhkan untuk membantunya menghadapi situasi ini. Sehingga
terapis dan keluarga dapat bersinergi membantu klien.

2.3 Diagnosa Multiaksial

2.3.1 Culture Bound Syndrome : Kesurupan Patologis (Studi kasus terhadap


partisipan “E” di Jawa Tengah)

Axis I : F44.3 Gangguan Trans dan Kesurupan

Axis II : tidak ada

Axis III : tidak ada

Axis IV : Hubungan yang tidak baik dengan keluarga terutama ibu, rekan
kerja, dan pengaruh budaya serta keyakinan yang kuat terhadap
mahluk gaib.

Axis V : GAF : 55

2.3.2 Gangguan Neurologis : Dimensia & Delirium (Studi kasus terhadap


penderita demensia senilis & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo)

Dimensia Senilis

Axis I : F01.0 Gangguan Mental Organik (+ Simtomatik)

Axis II : tidak ada

20
Axis III : Gangguan degenerasi saraf vaskuler Arterioclerosis (pada
pembuluh darah otak)

Axis IV : Stress berlebihan

Axis V : GAF : 70

Delirium

Axis I : F.050 Gangguan Mental Organik (+ Simtomatik)

Axis II : tidak ada

Axis III : Penyakit bawaan, Infeksi sepsis, gangguan kognitif,

penurunan fungsi status

Axis IV : Hubungan dengan lingkungan sosial, seperti keluarga, yang

kurang baik/suportif

Axis V : GAF : 70

21
BAB III

SIMPULAN DAN SARAN

3.1 SIMPULAN

Gangguan neurologis merupakan gangguan yang terjadi dalam sistem saraf yang
diantaranya adalah delirium dan juga dementia. Delirium sendiri merupakan gangguan serius
pada kemampuan mental yang menyebabkan penurunan kesadaran dan dan ketidakstabilan
berpikir serta kebingungan pada lingkungan sekitar. Delirium dapat diukur menggunakan
Confusion Assessment Method-Intensive Care Unit (CAM-ICU) untuk menentukan skala
keparahan delirium pada pasien yang berada di ICU. Sedangkan dementia adalah penurunan
fungsi kognitif yang ditandai dengan penurunan memori, pemikiran, perilaku sosial, serta
kontrol emosi. Dementia dapat diukur menggunakan Mini Mental State Examination
(MMSE) dengan cara pemeriksaan kognitif terkait daya ingat dan penurunan fungsi kognitif.

Culture bound syndrome adalah keadaan abnormal yang berulang dan mengganggu
penderitanya yang dipengaruhi oleh budaya, etnis, atau daerah tertentu. Dalam DSM V
(American Psychiatric Association, 2013) terdapat beberapa jenis CBS diantaranya ataque de
nervios (Amerika), dhat (Asia Selatan), khyal cap (Kamboja), kufungisisa (Zimbabwe),
maladi moun (Haiti), shenjing shuairuo (Tiongkok), susto (Meksiko), dan taijin kyofusho
(Jepang).

Pada analisa kasus gangguan neurologis demensia dan delirium kami menggunakan
studi kasus terhadap penderita demensia & terhadap pasien geriatri di RS Cipto
Mangunkusumo. Kami akan memberikan intervensi pada pengidap demensia dan delirium,
keluarga dari pengidap, pekerja sosial (yang merawat klien) dengan memberikan psikoterapi
pada penderita serta pemberian psikoedukasi pada keluarga dan pengasuh.

Dalam analisa kasus culture bound syndrome kami mengambil kasus kesurupan
patologis dengan studi kasus terhadap partisipan “E” di Jawa Tengah. Berdasarkan kasus
tersebut intervensi yang akan kami berikan diantaranya, psikoedukasi untuk lingkungan dekat
klien, pemberian konseling khususnya pada ibu klien serta psikoterapi bagi klien. Menurut
kami pemberian intervensi penting tidak hanya bagi klien, namun juga lingkungan sekitarnya
dengan harapan mempercepat proses penyembuhannya.

22
3.2 SARAN

Saran dan masukan untuk penelitian selanjutnya agar dapat memperdalam materi dan
menambahkan data-data yang akurat dari sumber yang terpercaya, juga memperdalam materi
yang akan dibuat. Makalah yang kami buat ini sudah cukup menggunakan berbagai literatur
guna pengumpulan data dan berasal dari sumber terpercaya. Serta parafrase kalimat sehingga
menjadi kalimat yang lebih mudah dipahami. Pada sub definisi hingga hasil analisa studi
kasus sudah cukup lengkap dan mudah dipahami. Pedoman gangguan mental dalam makalah
ini juga dijelaskan secara rinci dan dikaitkan dengan kasus yang kami observasi. Kami pun
menggunakan pedoman buku DSM V dan PPDGJ III untuk menggolongkan gangguan
neurologis dan CBS ini ke dalam multiaxial agar lebih mudah untuk mengintervensi. Kendala
yang kami alami saat pengerjaan, dalam mendapatkan data yang jelas dan lengkap pada studi
kasus guna menentukan intervensi yang tepat. Hal tersebut dikarenakan kami tidak
mengobservasi secara langsung, namun menggunakan kasus yang sudah ada. Kami berharap
kedepannya makalah ini bisa menjadi lebih baik lagi dan dapat bermanfaat bagi para
pembacanya.

23
DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic and Statistical Manual of Mental


Disorder Edition (DSM-V). Washington : American Psychiatric Publishing.

Anjaryani, A. M., & Rahardanto, M. S. (2016). DINAMIKA KESURUPAN PATOLOGIS:


STUDI KASUS DI JAWA TENGAH. Experientia, 4(1), 11-22. 907-2172-1-SM.pdf

Brooks, B. B. (2016). Using a Susto Symptoms Scale to Analyze Social Wellbeing in the
Andes. Sociology and Anthropology , 106-113.

Creavin, S. T. (2016). Mini‐Mental State Examination (MMSE) for the detection of dementia
in clinically unevaluated people aged 65 and over in community and primary care
populations. Cochrane Database of Systematic Reviews.

David C. Henderson M.D., ... Gregory L. Fricchione M.D., in Massachusetts General


Hospital Handbook of General Hospital Psychiatry (Sixth Edition), 2010

Departemen Kesehatan RI. (2015). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di
Indonesia (PPDGJ) Edisi III. Dirjen Pelayanan Medis RI: Jakarta.

Febo San Miguel, V. E., Guarnaccia, P. J., Shrout, P. E., Lewis-Fernández, R., Canino, G. J.,
& Ramírez, R. R. (2006). A Quantitative Analysis of Ataque de Nervios in Puerto Rico:
Further Examination of a Cultural Syndrome. Hispanic Journal of Behavioral Sciences,
28(3), 313–330.

Hall, B. J., Chang, K., Chen, W., Sou, K. L., Latkin, C., & Yeung, A. (2018). Exploring the
association between depression and shenjing shuairuo in a population representative
epidemiological study of Chinese adults in Guangzhou, China. Transcultural
Psychiatry, 1-21.

Hinton, D. E. (2006). Symptom Presentation and Symptom Meaning Among Traumatized


Cambodian Refugees: Relevance to a Somatically Focused Cognitive-Behavior
Therapy. HHS Public Access, 249-260.

Khan, B. A. (2018). The CAM-ICU-7 Delirium Severity Scale: A Novel Delirium Severity
Instrument for Use in the Intensive Care Unit. National Center for Biotechnology
Information, 851-857.

Ola, B. (2011). Factorial validation and reliability analysis of the brain fag syndrome scale.
Afican Health Science, 334-340.

ii
Prakash, S. (2016). A study on phenomenology of Dhat syndrome in men in a general
medical setting. Indian Journal of Psychiatry, 129-141.

Rasmussen, A. (2015). Development and validation of a Haitian Creole screening instrument


for depression. Transcult Psychiatry, 33-57.

Sri Diniari, N. K., & Hanati, N. (2012). KESURUPAN, TINJAUAN DARI SUDUT
BUDAYA DAN PSIKIATRI. Medicina, 43(1), 37-40. 4949-1-7744-1-10-
20130307.pdf

Vriends, N. (2013). Taijin Kyofusho and Social Anxiety and Their Clinical Relevance in
Indonesia and Switzerland. Frontiers in Psychology.

WHO. (2019, September 19). Dementia. Retrieved from World Health


Organization: https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dementia

iii
LAMPIRAN

iv

Anda mungkin juga menyukai