Anda di halaman 1dari 14

Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.

Psikologi UGM
PARADIGMA HUMANISTIK

CONDITIONAL POSITIVE REGARD (Lack of Unconditonal Positif Regard)


Orangtua subjek menuntut subjek tumbuh sebagai anak yang: dapat menjadi contoh bagi adik
(kandung)nya dan adik-adik sepupunya, patuh, bertanggungjawab, membanggakan keluarga, cantik, kurus,
putih, cepat lulus, bekerja, menikah dengan pria mapan
….” Bukan anak mama kalau tidak dapat menjadi contoh adik-2mu”
….” Mama tidak sayang kalau kamu tidak patuh pada orangtuamu”
…..”Bukan anak mama kalau tidak cantik..mama kan cantik…
….” Mama sayang kalau kamu pinter..nilaimu bagus..juara..”

CONDITIONAL POSITIVE SELF-REGARD


Subjek merasa bahwa ia harus dapat menjadi contoh bagi adik (kandung)nya dan adik-adik sepupunya,
menjadi anak yang patuh pada perintah dan keinginan orangtua, bertanggungjawab, membanggakan keluarga,
cantik, kurus, putih, cepat lulus, bekerja, menikah dengan pria mapan
…..” Saya harus menjadi juara agar Mama sayang saya..”
....” Saya harus pinter agar tidak mengecewakan Mama...”
.....”Saya harus patuh..manut pada mama agar Mama....

CONDITION OF WORTH
Subjek hanya akan merasa dirinya BERHARGA jika ia dapat menjadi contoh bagi adik (kandung)nya dan
adik-adik sepupunya, menjadi anak yang patuh pada perintah dan keinginan orangtua,
bertanggungjawab,menjadi anak yang dapat membanggakan keluarga, cantik, kurus, putih, cepat lulus, bekerja,
dan menikah dengan pria mapan:
…Saya berharga/patut dicintai ... bila saya cantik, pintar, patuh, manut, ...dlsb”..
..BUKAN SAYA kalau tidak pintar..
..BUKAN SAYA kalau tidak dapat menjadi contoh bagi adik-2

INKONGRUENSI

IDEAL SELF REAL SELF


 patuh pada perintah orangtua,  Merasa belum membanggakan
 menjadi anak yang dapat V keluarga, tdk bisa jd contoh baik
membanggakan keluarga  Merasa tidak cantik
 menjadi wanita yang cantik S  Gemuk; berkulitgelap
 menjadi wanita yang kurus  belum lulus kuliah
 berkulit putih  belum bekerja

Subjek rentan mengalami ketegangan/kecemasaan

Defense,Simtom Distorted Behavior


fisik :mis
atau Menolak real selfnya,
alter of self, split
Disorganized Behavior
personality

1
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM

 Menolak Real Self


 Dalam khayalannya, subjek Mengubah
konsep diri yang sebenarnya menjadi konsep
diri yang diinginkan

Disorganized behavior

A. RANCANGAN INTERVENSI PENDEKATAN CLIENT-CENTERED


I) KONSEP TEORI
a) Perkembangan ”Diri”
Anak mengembangkan kemampuan untuk membedakan antara apa yang emnajdi milik atau bagian dari
dirinya dan semua benda lain yang dilihat, didengar, diraba, dan diciumnya ketika dia mulain emmbentuk suatu

2
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
lukisan dan gambaran tentang siapa dia. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu ”pengertian-diri”(self
concept)
Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak
tergantung cinta yang diterimanya dalam masa kecil. Pada waktu ”diri mulai berkembang, anak juga belajar
membutuhkan cinta. Rogers menyebut kebutuhan ini ”penghargaan positif (positif regard”
Setiap anak terdorong untuk mencari positif regard. Tetapi tidak setiap anak menemukan kepuasan yang
cukup terhadap kebutuhan ini. Anak puas kalau dia mendapatkan kasihsayang, cinta, dan persetujuan dari orang-
orang lain, tetapi dia kecewa kalau dia menerima celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang. Anak
mengamati autau celaan sebagai sutau celaan yang luas dan tersebar dalam setiap segi apa adanya. Anak menjadi
peka terhadap setiap tanda penolakan dan segera mulai merencanakan tingkah lakunya menurut reaksi yang
diharapkan akan diberikan. Anak harus bekerja keras untuk positive regard dengan mengorbankan aktualisasi
diri.
Karena anak menerima conditional positive regard, pertama-tama dari ibunya kemudian dari dirinya,
syarat-syarat penghargaan berkembang. Ini berarti bahwa anak itu merasa suatu perasaan harga-dirihanya dalam
syarat-syarat tertentu. melaksanakan tingkah laku yang dilarang menyebabkan anak merasa salah dan tidak
berharga.
Orang-orang dengan syarat penghargaan harus membatasi tingkah laku mereka dan mengubah
kenyataankarena meskipun menyadari tingkah laku dan pikiran yang tidak pantas, namun merasa terancam kalau
mereka memamerkannya. Karena individu tidak dapat berinteraksi sepenuhnya dan terbuka dengan lingkungan
mereka, maka mereka mengembangkan apa yang disebut Rogers ”ketidakharmonisan”(incongruence) antara
konsep diri dan kenyataan yang mengitari mereka (Schultz, 1991)
Alwisol (2007) menyatakan bahwa semakin besar jurang ketidaksesuaian antara konsep diri dengan
pengalaman organismik, semakin orang menjadi rentan (vulnerable). Jika vulnerabilita muncul dari orang yang
tidak menyadari ketidaksesuaian dalam dirinya, kecemasan dan ancaman muncul akibat dari orang yang sangat
sadar dengan ketidaksesuaiannya itu. Rogers mendefinisikan kecemasan sebagai ”keadaan ketidaknyamanan atau
ketegangan yang sebabnya tidak diketahui”. Ketika orang semakin menyadari ketidakkongruenan antara
pengalaman dengan persepsi dirinya, kecemasan berubah menjadi ancaman tyerhadap konsep diri kongruen dan
terjadi pergeseran menajdi sikap diri takkongruen.disorganisasi kepribadian dapat terjadai mendadak atau
berangsur-angsur, namun sumbernya tetap sama, yakni defense yang tidak dapat dioperasikan dan struktur self
yang pecah. Jadi tingkah laku disorganisasi adalah akibat dari ketidakkongruenan antara self dengan
pengalaman. Besarnya perbedaan atara self dengan pengalaman inilah yang emnentukan parahnya salahsuai
psikologik. Disorganisasi kepribadian dapat disembuhkan/dikoreksi dengan terapi yang memberinya penerimaan
positif tanpa syarat.

b) Orang yang berfungsi sepenuhnya


Lima sifat orang yang berfungsi sepenuhnya (Rogers, dalam Schultz,1991) yaitu: keterbukaan pada
pengalaman, memiliki kehidupan eksistensiak, percaya terhadap organisme orang senidiri, memiliki perasaan
bebas, dan memiliki kreativitas.

c)Tujuan dasar terapi


corey (2003) menyebutkan bahwa tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang
kondusif bagi usaha membantu klien untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh.

d) Fungsi dan peran terapis

3
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Corey (203) menyebutkan bahwa peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaannya
dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien ”berbuat
sesuatu”. Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Fungsi terapis
membangun suatu iklim terapeutik yang emnunjang pertumbuhan klien.
Rogers (dalam Ardani,dkk,2007) menyatakan sikap-sikap konselor yang diharapkan yaitu:
1. Congruence and Genuiness, yaitu sikap yang menunjukkan kesungguhan hati atau ketulusan untuk
membantu klien
2. Feeling Self, yaitu bahwa konselor harus terbuka terhadap diri dan perasaannnya terlebih dahulu
3. Accurate Empatic Understanding, yaitu pengertian yang mendalam dan akurat terhadap diri dan masalah
klien
4. unconditional postive regard, yaitu dapat emnunjukkan penghargaan positif bagi klien tanpa syarat apapun
5. Acceptance, yaitu sikap penuh penerimaan disertai perhatian yang tulus terhadap klien apapun masalahnya
6. realness dan otentik, yaitu sikap nyata yang dan disadari yang harus diperlihatkan oleh konselor dihadapan
klien tanpa ada kepura-puraan
7. Caring, yaitu sikap penuh kepedulian dan kerjasama dalam menolong klien.

e)Proses Terapeutik
Phares dan Trull (dalam Ardani, dkk, 2007) menyatakan bahwa rangkaian proses terapi telah digambarkan
Rogers dengan mencakup tujuh tahapan, yaitu:
1. Keengganan mengungkapkan diri, perasaan diri belum diungkapkan, hubungan yang dkeat dianggap sebagai
ancaman
2. perasaan terkadang diungkapkan tapi individu masih jauh dari pengalaman personalnya meskipun juga sudah
mulai menunjukkan pengakuan bahwa problem itu ada
3. menggambarkan perasaan yang telah lalu sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima, ekspresi diri mulai
mengalir lebih bebas, baru mulai mengakui bawha problem ada dalam individu
4. penggambaran perasaan personal secara bebas menjadi milik pribadi , adanya ekspresi tanggung jawab diri,
mulai mengambil resiko berhubungan dengan orang lain berdasar pada perasaan
5. ekspresi yang bebas terhadap perasaan dan menerimanya, perasaan yang ditolak mulai jelas berda dalam
kesadaran, emngungkapkan konflik antara pikiran dan emosi, menerima tanggungjawab personal terhadp
masalah-masalah
6. menerima perasaan tanpa perlu menolak, keinginan untuk mengambil resiko emnajdi diri sendiri dalam
berhubungan dengan orang lain, mempercayai orang lain utnuk dapat menerima
7. individu mulai menikmati pengalaman diri, mengalami perasaan-perasaan baru, berkurangnya inkongruensi,
mampu mengecek validitas pengalaman

II) RANCANGAN INTERVENSI


a) Tujuan Terapi
Terapi yang akan diberikan pada subejk adalah client-centered therapy. Corey (2003) menyebutkan
bahwa tujuan dasar terapi client-centered adalah menciptakan iklim yang kondusif bagi usaha membantu klien
untuk menjadi seorang pribadi yang berfungsi penuh
Dalam kasus ini, subjek diharapkan dapat menjadi pribadi yang berfungsi sepenuhnya (terbuka pada
pengalaman, memiliki kehidupan eksistensial, percaya terhadap organisme sendiri, memiliki perasaan bebas,
dan memiliki kreativitas). Dengan menjadi pribadi yang sepenuhnya, subjek diharapkan dapat menyadari dan

4
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
menggunakan konsep dirinya sendiri yang otentik, bukan konsep diri sebagaimana yang diidnginkan oleh ibu
dan keluarganya. Sehingga subjek dapat menjadi lebih realstis dan dapat mengaktualisasikan dirinya
Untuk memfasilitasi terbentuknya pribadi yang berfungsi sepenuhnya, terapis diharapkan membentuk
iklim yang kondusif, yaitu memberikan ketulusan, keterbukaan, empati, penghargaan psoitif tanpa syarat,
penerimaan dan kepedulian terhadap subjek.

b) Rancangan Terapi
Ada tujuh tahapan terapi yang akan dilakukan. tahapan berikutnya akan dilakukan setelah target pada
tahapan sebelumnya tercapai.

Tahapan Target Kegiatan


Tahap I :  Terjalin keakraban antara Terapis Menyapa dengan subjek dengan
Building subjek dengan terapis hangat, menanyakan kabar subjek, dan
Rapport  Subjek merasa aman, membuka percapakan santai. Misalnya
nyaman dan percaya pada tentang apa yang dilakukan Subjek sebelum
terapis pergi ke tempat terapis, tentang kegemaran
subjek, dll
Tahap II  Subjek dapat  Subjek mulai sedikit berbagi tentang
mengungkapkan perasaannya pengalaman dan mencoba
walaupun masih jauh dari mengungkapkan perasaannya
pengalaman personalnya  Subjek mulai dapat menceritakan hal-hal
 Subjek menyadari adanya yang dirasakan membebani dirinya dan
masalah menjadi masalah dalam kehidupannya
 Terapis mendukung situasi dengan
ketulusan, empati, dan kepedulian
Tahap III  Subjek mengakui dan  Subjek mengemukakan perasaannya
menerima perasaan-perasaan dengan lancar pada terapis (senang, sedih,
yang ada dalam dirinya. getir,dll) pada terapis
 Subjek menyadari adanya  Terapis merefleksikan perasaan-perasaan
tanggung jawab diri subjek, berempati terhadap perasaan
subejk serta tidak menghakimi pernyataan
dan perasaan subjek
 Terapis ”melihat” kondisi apakah kalimat-
kalimat subjek secara tersirat sudah
menunjukkan adanya kesadaran untuk
bertanggungjawab terhadap diri sendiri
Tahap IV  Subjek dapat  Subjek mengeksprsikan secara verbal
emngekspresikan perasaan maupun non verbal perasaan-perasan
yang dimilikinya yang dimilikinya (Senang, sedih, jengkel,
 Subjek mulai menyadari marah, kesal, dll)
perasaan-perasaan dalam  Subjek mengungkapkan perasaan-
dirinya yang ia ditolak perasaan yang sebenarnya tidak ingin ia
akui sebagai perasaannya

5
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM

 Terapis mengkondisikan suasana agar


subejk dapat mengekspresikan perasaan
yang dimilikinya dengan tidak
menghakimi atau menilai ekspresi
perasaan subjek sebagai sesuatu yang
buruk
Tahap V  Subjek dapat menerima  Subjek menyadari perasaan yang
perasaan yang sebelumnya sebelumnya ditolak dan memiliki
ditolak keinginan untuk beusaha menerima
 Subjek memiliki keinginan perasaan tersebut
untuk mengambil resiko  Subjek mengemukakan tentang
emnajdi diri sendiri dalam keinginannya untuk mencoba menjadi
berhubungan dengan orang dirinya sendiri dan percaya bahwa
lain oranglaian dapat menerima dirinya
 Subjek mulai dapat  Terapis memberikan penghargaan positif
mempercayai orang lain tanpa syarat pada subjek untuk
utnuk dapat menerima meningkatkan kepercayaan subjek
dirinya terhadap oranglain
Tahap VI  Subjek dapat menikmati  Subjek mengemukakan tentang
pengalaman-pengalaman pengalamnnya dan perasaannya saat ini
yang terjadi dalam dirinya  Subjek mengemukakan tentang
 Subjek dapat mengalami keinginannya untuk ”berdamai dengan
perasaan-perasaan baru diri sendiri”, yaitu dengan
 Subjek mulai dapat ”mendamaikan” antara tuntutannya
”mendamaikan” antara terhadap diri dengan kenyataan diri yang
harapan-harapan dalam sebenarnya
dirinya dengan kenyataan  Terapis memberikan penghargaan posistif
yang ada (menyelaraskan diir tanpa syarat dan memberikan dukungan
ideal dengan diri yang nyata) secara verbal maupun non verbal untuk
 Subjek merasa mendapat menguatkan keyakinan subjek bahwa ia
kepuasan dari pengalaman mampu belajar menjadi dirinya sendiri
yang telah dan sedang yang otentik serta menatap masa
dilaluinya depannya
tahap VII:  Subjek mencoba belajar  Terapis meminta subejk untuk
Evaluasi menjadi diri yang berfungsi menceritakan perubahan yang dialami
seutuhnya dalam dirinya (sebelum dan setelah terapi)
 Terapis meminta subjek menceritakan
tentang sejauh mana ia siap untuk belajar
menjadi diri yang berfungsi seutuhnya

Catatan:

6
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Dalam pelaksanaan terapi, setelah terapi memasuki tahap IV, subjek mulai kesulitan untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan yang dialaminya terutama yang berkaitan dengan hubungan antara subjek dengan ibunya. Subjek
juga menolak hal-hal yang ia rasakan terhadap ibu dan ayahnya.
Subjek mengatakan bahwa ada ketidakpuasan yang dimilikinya terhadap kedua orangtunya, namun hal ini
tidak dapat diungkapkannya karena ia merasa bahwa agama melarangnya untuk mengungkapkan ketidakpuasannya
terhadap orangtua. Ia juga khawatir jika ia ia mengungkapkan perasaanya pada orangtua maka penyakit jantung ibunya
dan penyakit stroke ayahnya akan kambuh.
Subjek mengaku merasa sedih karena jika kesal, maka ayahnya sering menamparnya. Ia ingin sekali
menanyakan pada ayahnya, magapa ia diperlakukan seperti itu. Ia juga ingin menanyakan pada ibunya, apakah ibunya
bahagia memiliki anak seperti dia, yang gemuk, berkulit coklat, dan tidak menjadi primadona seperti ibunya dimasa
mudanya dulu. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Karenanya, rasa sedih yang
dirasakannya selalu disimpannya dan dipendamnya. Bahkan dalam salah satu sesi terapi subjek menyatakan bahwa ia
sudah lupa bagaimana rasanya sedih. Secara kognitif subjek tahu dan dapat mengungkapkan pada terapis bahwa ia
sedih, namun secara afeksi subjek merasa sulit untuk merasakan ”sedih”.
Karenanya, sbelum masuk ke tahap berikutnya dalam terapi client-centerd, terapis memutuskan untuk
melakukan teknik intervensi yang bertujuan agar subjek dapat mengungkapkan perasaannya terhadap kedua
orangtuanya secara imajiner. Teknik yang digunakan adalah teknik ”empty chair”.

III. Teknik Empty Chair


a. Empty Chair
Teknik Empty Chair adalah salah satu cara yang digunakan dalam Terapi Gestalt yang dapat diaplikasikan
yang dikembangkan dan dipopulerkan oleh Frederick “Fritz” Perls (Ramnya, 2007).
Teknik Empty Chair biasanya digunakan dalam mengatasi masalah interpersonal (misalnya, kemarahan klien
terhadap sesorang, merasa terlalu submisif, kesepian, dll. Hal ini dilakukan seperti bermain peran, tetapi dalam kasus
ini klien memerankan kedua peran. Dengan menggunakan dua kursi, konselor menawarkan klien untuk bertukar
kursi sebagaimana percakapan berkembang. ”Akting yang aktual dan pergerakan membantu klien bersentuhan
dengan emosi sensimotornya. (Ivey dan Ivey, dalam http://plaza.ufl.edu/jerez64/paper2.html)

b. Tujuan Empty Chair


Empty chair, teknik Gestalt yang terkenal, diantara yang lainnya, secara langsung bertujuan untuk membantu
orang mengenali-ulang proyeksi yang dimilikinya (http://www.sharonsnir.com/pdfs/GoodTherapy.pdf.)
Tujuan proyeksi dalam penggunaan teknik empty chair juga diungkapkan oleh Ivey, dkk, dalam bukunya,
”Counseling and Psychotherapy”, yaitu bahwa selain mengalami dan memahami perasaannya secara lebih
mendalam, klien juga dapat belajar bahwa ia telah memproyeksikan pemikiran-pemikirannya terhadap orang lain
melalui penggunaan teknik empty chair.

c. Proses Empty Chair


Ivey, dkk(1993) mengungkapkan bahwa teknk ”empty chair” adalah salah satu teknik termudah yang dapat
dilakukan dalam proses konseling. Saat klien mengekspresikan konflik dengan orang lain, klien diminta untuk
membayangkan bahwa orang lain yang berkonflik dengannya tersebut duduk pada sebuah kursi yang kosong,
kemudian klien mencoba untuk berbicara dengan orang tersebut. Setelah klien mengucapkan beberapa kata, konselor
meminta klien untuk bertukar kursi dan menjawab dan berkata-kata seolah-olah ia adalah orang lain yang berkonflik
dengannya tersebut. Konselor mengarahkan dialog antara klien dengan ”oranglain” tersebut dengan secara konstan
mengganti-ganti posisi dan peran klien

7
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Penggunaan kursi kosong juga diungkapkan dalam (http://www.bookrags.com/research/gestalt-therapy-
woh/), yang menyebutkan bahwa dalam teknik empty chair, pasien berbincang dengan sebuah kusi kosong,
membayangkan dirinya berhubungan dengan permasalahan yang belum terselesaikan yang duduk di kursi. Saat
pasien berkata pada ”orang yang duduk di kursi , pasien membayangkan respon orang tersebut terhadap perasaan
yang ia ekspresikan. Jadi, dalam teknik empty chair, klien juga secara aktif ikut membayangkan respon orang yang
sedang berkonflik dengannya terhadap dirinya maupun cara orang tersebut memandang permasalahan yang sedang
mereka alami.
Sementara itu, Ramnya (2007) menyatakan bahwa saat Klien mengekspresikan konflik dengan orang lain,
melalui teknik ini, klien diarahkan untuk mengatakanya pada orang tersebut yang dibayangkan duduk diatas “empty
chair” disamping atau dihadapan klien. Hal ini akan membantu klien untuk mengalami dan memahami perasaannya
lebih dalam. Kemudian, hal ini juga akan menstimulasi pikiran, menandai emosi, dan sikap. Misalnya, terapis dapat
mengatakan “Bayangkan ayahmu duduk di kursi ini (sekitar 3 kaki jaraknya), lihatlah dia dengan jelas, dan sekarang,
katakanlah padanya apa yang Anda rasakan saat Ia tidak jujur pada ibu anda..”.
Banyak hal yang dapat digunakan dalam empty chair: orang lain, objek (mobil atau cincin perkawinan),
bagian dari kepribadian (orangtua yang mengkritik, natural child, introvesi, obsesi terhadap pekerjaan), emosi,
simtom (sakit kepala, kelelahan), mimpi, steterotipe (hitam, lelaki macho, wanita mandiri). Kuncinya adalah interaksi
emosi yang dalam dan detail, dalam percakapan. Terapis seharusnya menukar dan memajukan masing-masing kursi
dank lien berkata pada orang-sifat-objek pada kursi lainnya. ”Percakapan” ini akan mengklarifikasikan perasaan dan
reaksi terhadap orang lain dan dapat meningkatkan pemahaman terhadap orang lain tersebut.
Dalam http://www.sharonsnir.com/pdfs/GoodTherapy.pdf., disebutkan tentang contoh penggunaan empty
chair bagi klien: Misalnya, seseorang yang mengkomplain bahwa ibunya terlalu mengkritik diminta untuk berkata
pada ibunya dalam empty chair. Kemudian-pada saat yang penting, saat klien benar-benar ”menolak” , klien diminya
untuk duduk di kursi yang kosong dan menjadi ibunya yang mengkritiknya, untuk memeragakan bahasa tubuh, suara
dan kata-kata yang diungkapkan ibunya. klien biasanya mengatakan, ”Aku tak bisa melakukannya! Aku tidak ingi
begini!”. hal ini disebabkan orang tersebut tidak ingin mengenali kritik yang kemungkinan dibentuk oleh ibunya
yang suka mengkritik., tetapi kini menjadi bagian yang tidak disadari oleh orang tersebut. Jika orang tersebut dapat
menampilkan eksperimen dan menjadi pengkritik sebagaimana ibunya, kemudian terapis dapat menanyakan apakah
energi kritik tersebut disadari sebagai bagian dalam diri klien. Klien juga dibimbing untuk menyadari bahwa ibunya
yang selalu mengkritik ada di dalam dirinya, dan ia, saat ini, mengkritik dirinya sendiri sekasar apa yang pernah
ibunya lakukan padanya.

d. Kelebihan
Ramnya (2007) menyebutkan beberapa hasil yang akan diperoleh klien dalam terapi empty chair, yaitu :
i. Adanya Perubahan Kognitif
Dalam prose ini, klien akan mendapatkan pemahaman tentang apa yang akan dipikirkan oleh orang yang ia
bayangkan dalam menghadapi permasalahan yang sama. Ia juga akan mempelajari apakah ia memproyeksikan
pemikirannya pada orang lain tersebut
ii. Adanya Perubahan Perilaku

8
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Klien akan memiliki perilaku baru dalam lingkungan yang mendukung dalam terapi dan meluaskan
kesadarannya. Lebih dari sekedar menerima lingkungan secara pasif, ia akan menentukan posisinya dalam suatu
permaslahan penting dan membuat pilihan yang akan membuatnya mendapatkan hal yang ia inginkan
iii. Adanya Perubahan Afek
Klien akan merasa mampu mengatasi kejutan-kejutan yang akan ia temui dalam kehidupan sehari-hari
Sementara itu, dalam (http://www.bookrags.com/research/gestalt-therapy-woh/), disebutkan bahwa teknik ini
dapat menjadi cara yang powerful bagi perasaan yang terpendam dan mendapatkan insight baru terhadap perasaan
tersebut

e. Keterbatasan
Ada dua situasi dimana terapis sebaiknya tidak menggunakan teknik ini. Yang pertama adalah jika klien
psikotik atau berpotensi psikotik. Hal ini dapat memacu terjadinya psikosis. Situasi lainnya adalah jika terapis
memiliki cukup informasi yang dapat dipercaya bahwa ibu, ayah, atau fisur parental lainnya yang dibicarakan oleh
klien adalah seorang yang gila. Dalam situasi ini aka lebih baik untuk tidak mengundang klien pada ’neraka’ orang
lain (http://www.ynot1.com.au/ blogs/More%20about% 20two% 20chair.pdf.)

f. Konseptualiasi kasus
Teknik Empty Chair biasanya digunakan dalam mengatasi masalah interpersonal (misalnya, kemarahan klien
terhadap sesorang, merasa terlalu submisif, kesepian, dll. http://plaza.ufl.edu/jerez64/paper2.html). Subjek mengatakan
bahwa ada ketidakpuasan yang dimilikinya terhadap kedua orangtunya, namun hal ini tidak dapat diungkapkannya
karena ia merasa bahwa agama melarangnya untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap orangtua. Ia juga
khawatir jika ia ia mengungkapkan perasaanya pada orangtua maka penyakit jantung ibunya dan penyakit stroke
ayahnya akan kambuh.
Subjek mengaku merasa sedih karena jika kesal, maka ayahnya sering menamparnya. Ia ingin sekali
menanyakan pada ayahnya, magapa ia diperlakukan seperti itu. Ia juga ingin menanyakan pada ibunya, apakah ibunya
bahagia memiliki anak seperti dia, yang gemuk, berkulit coklat, dan tidak menjadi primadona seperti ibunya dimasa
mudanya dulu. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Karenanya, rasa sedih yang
dirasakannya selalu disimpannya dan dipendamnya.
Dalam hal ini penggunaan teknik empty chair pada subjek bertujuan untuk memfasilitasi subjek untuk
mengalami dan memahami perasaannya secara lebih mendalam, terutama berkaitan dengan hubungan interpersonal
subjek dengan ibunya.

g. Rancangan penggunaan teknik empty chair.


i. Hal-hal yang harus dipersiapkan
a. Ruangan
Ruangan yang digunakan dalam pelaksanaan terapi adalah ruangan yang nyaman bagi subjek, baik
secara fisik maupun psikis. Secara fisik artinya adalah ruangan mengakomodasi kebutuhan terapi. Secara
psikis berarti ruangan yang digunakan menimbulkan perasaan nyaman dan aman bagi subjek dalam
mengungkapkan perasaannya maupun saat pelaksanaan terapi. Misalnya, tertutup dan terjaga kerahasiaannya.
b. Kursi
Dalam pelaksanaan teknik ini digunakan tiga kursi. Yang pertama digunakan untuk duduk bagi subjek.
Satu kursi (kosong) diletakkan didepan subjek. Satu kursi lainnya ditelakkan dibelakang kursi subjek, dapat
digunakan oleh terapis.
c. Lain-lain

9
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Hal-hal lain yang sekiranya dapat dipersiapkan dalam pelaksanaan teknik empty chair adalah air
minum dan penyediaan tissue bagi subjek. Hal ini perlu dipersiapkan mengingat teknik empty chair adalah
teknik yang membuat subjek memahami perasaannya dan cukup menguras emosi, sehingga adakalanya kedua
hal tersebut akan berguna dalam proses terapi.

ii.Rancangan Pelaksanaan Empty Chair


Tahapan proses terapi dengan teknik empty chair:
a. Building Rapport
b. Penjelasan tentang teknik
c. Penataan setting terapi
d. Relaksasi
e. Proses pengungkapan perasaan
f. Proses penggantian peran
g. Evaluasi

Tahapan Tujuan Proses


Tahap I :  Terjalin keakraban antara Terapis Menyapa dengan subjek dengan
Building subjek dengan terapis hangat, menanyakan kabar subjek, dan
Rapport  Subjek merasa aman, membuka percapakan santai. Kemudian
nyaman dan percaya pada terapis menanyakan perkembangan subjek
terapis setelah sesi terakhir (sesi sebelumnya)
 Sebagai ”jembatan” antar
sesi
Tahap II:  Subjek memiliki pemahaman  Terapis menjelaskan sekilas tentang
Penjelasan tentang teknik empty chair, teknik empty chair, terutama berkaitan
tentang teknik proses, serta manfaatnya dengan terpendamnya perasaan subjek
empty cair  Subjek merasa siap akibat kesulitan subjek untuk
menjalani proses terapi mengungkapkan perasaannya secara
langsung terhadap kedua orangtuanya
 Terapis menanyakan kesediaan dan
kesiapan subjek menjalani proses terapi
dengan teknik empty chair
Tahap III:  Memperlancar proses terapi  Setelah subjek menyatakan kesediaan dan
Penataan kesiapannya menjalani teknik empty
setting terapi chair, terapis mulai mengatur setting
tempat.

10
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
 Dalam pelaksanaan teknik ini digunakan
tiga kursi. Yang pertama digunakan
untuk duduk bagi subjek. Satu kursi
(kosong) diletakkan didepan subjek. Satu
kursi lainnya ditelakkan dibelakang kursi
subjek, dapat digunakan oleh terapis.
Tahap IV:  Relaksasi betujuan agar  Relaksasi yang digunakan adalah
Relaksasi subjek merasa nyaman, relaksasi napas. Terapis meminta subjek
rileks dan tidak tegang untuk mengatur pernapasannya. Terapis
meminta subjek memejamkan mata
merilekskan tubuh sembari mengatur
pernapasannya hingga ia merasa nyaman.
Tahap V:  Subjek dapat  Terapis berada dibelakang subjek,
Proses mengungkapkan perasaan kemudian meminta subjek
pengungkapan yang selama ini ia pendam membayangkan bahwa ibunya hadir dan
perasaan dan tak dapat diungkapkan, duduk di kursi kosong yang terletak
terutama pada ibunya. didepan subjek.
 Setelah subjek benar-benar dapat
membayangkan kehadiran ibunya, terapis
meminta subjek mengungkapkan hal-hal
yang selama ini dipendamnya dan ingin
ia ungkapkan kepada ibunya.
 Terapis dapat memfasilitasi subjek untuk
mengeksplorasi perasaannya dengan
memberikan kalimat-kalimat tidak utuh
yang akan dilengkapi oleh subjek, yang
merefleksikan perasaan, keinginan,
harapan, ketakutan, pertanyaan-
pertanyaan subjek, dll, yang ingin ia
sampaikan pada ibunya.
Tahap VI:  Subjek mencoba untuk  Terapis meminta subjek untuk ”bertukar
Proses memahami cara pandang peran” menjadi ibunya. dengan
penggantian ibunya terhadap perasaan- memerankan sosok ”ibu”, kemudian
peran perasaan, pemikiran- berusaha mengungkapkan perasaan,
pemikiran-pemikiran, dan keinginan, dan harapan ibu terhadap
pertanyaan-pertanyaan subjek. serta menjawab pertanyaan-
subjek. pertanyaan subjek
tahap VII:  Mengetahui hal-hal yang  Terapis mengeksplorasi hal-hal yang
Evaluasi didapatkan subjek selama dirasakan subjek selama mengungkapkan
sesi terapi perasaannya sendiri dan saat berperan
 Sebagai ”jembatan” dengan menjadi ibu, dll.
sesi berikutnya  Terapis menanyakan hal-hal yang
dirasakan subjek setelah proses terapi,
perubahan apa yang terjadi pada dirinya
11
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
sebelum dan setelah proses terapi
 Terapis menanyakan hal-hal yang
didapatkan subjek dalam proses terapi
 Terapis-subjek membuat kesepakatan
untuk sesi terapi selanjutnya

V. Follow Up pertemuan dengan subjek


Setelah sesi dengan menggunakan empty chair, subjek telah bertemu dengan terapis sebanyak 3 kali. Dalam
pertemuan pertama (setelah sesi empty chair), subjek menyatakan kelegaannya karena telah dapat mengeluarkan
perasaan yang ingin ia ungkapkan pada ibunya, walaupun hanya ”ibu imajinasi” yang seolah-olah duduk pada kursi
kosong yang ada di depannya. Ia juga mengungkapkan keinginannya untuk mengutarakan secara langsung perasaannya
tersebut pada ”ibu yang sesungguhnya”.
Namun demikian, pada pertemuan kedua dan ketiga (setelah sesi empty chair), subjek menyatakan
keraguannya terhadap rencana dirinya untuk mengutarakan perasaannya tersebut pada ibunya. ia justru menyatakan
akan melupakan sejenak hal-hal yang mengganjal antara dirinya dan ibunya, karena ingi berkonsentrasi terhadap
skripsinya. Saat ini subjek sedang memfokuskan diri pada skripsinya.
Berkaitan dengan ungkapan-ungkapan ibu subjek yang terkadang menurut subjek menyakitkan hatinya,
menurut subjek ungkapan-ungkapan ibu subjek frekuensinya sudah berkurang, terutama yang berkaitan dengan kondisi
fisik subjek. Namun demikian, kedua orangtua subjek masih belum merestui hubungan subjek dengan pacarnya. Hal
inilah yang terkadang masih membebani pikiran subjek.
Saat ini frekuensi mengkhayal subjek sudah berkurang, terutama jika kesibukannya sedang padat. Namun
demikian, khayalan tersebut terkadang masih muncul, terutama jika subjek sedang sendirian dan sedang tidak
melakukan hal apapun.

Perkembangan subjek (hasil observasi):


a) Observasi Penampilan Umum
Jika pada pertemuan-pertemuan awal subjek selalu menggunakan make up lengkap (bedak, lipstick, blush on,
eye shadow, dan mascara) saat bepergian, pada pertemuan-pertemuan terakhir subjek masih menggunakan make up
saat bepergian, nemun tidak selengkap seperti diawal pertemuan (yang masih “wajib” digunakan adalah bedak, lipstick
dan mascara)
b) Observasi Saat autoanamnesa
Saat menceritakan tentang perlakuan dan perkataan oragtua yang menurut subjek kurang menyenangkan, suara
subjek masih terdengar datar dan merendah (seperti pada pertemuan-pertemuan awal). Namun ia tampak tidak lagi
menghela napas setelah menceritakan hal tersebut. Subek juga sudah tidak menghindari kontak mata dengan observer
saat bercerita tentang ibunya.

12
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM

Daftar Pustaka:

Alwisol. 2007. Psikologi Kepribadian. Edisi revisi. Malang: UMM Press

Ardani, T. A, dkk. 2007. Psikologi Klinis. Yogyakarta: Graha Ilmu

Corey, G. 2003. teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama

Ivey, A.E, dkk. 1993. Counseling and Psychotherapy. A Multicultural Perspective. 3rd edition. MA: Allyn&Bacon

Ramnya, C.N. 2007. The “Empty Chair” Technique. http://changingminds.org/ articles/articles/ empty_chair.htm,
diakses pada 11 Mei 2008

Schultz, D. 1991. Psikologi Pertumbuhan: Model-Model Kepribadian Sehat. Yogyakarta: Kanisisus

http://www.bookrags.com/research/gestalt-therapy-woh/ yang direkam pada 30 Apr 2008

http://www.sharonsnir.com/pdfs/GoodTherapy.pdf.

http://www.ynot1.com.au/blogs/More%20about%20two%20chair.pdf.

13
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM

REVISI RANCANGAN INTERVENSI


“KASUS A”
Mata Kuliah: Tugas Mandiri Blok Intervensi

Disusun Oleh:
Libbie Annatagia
(PS/ 1566)

Magister Profesi Psikologi


Bidang Mayor Klinis
Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta
2008

14

Anda mungkin juga menyukai