Psikologi UGM
PARADIGMA HUMANISTIK
CONDITION OF WORTH
Subjek hanya akan merasa dirinya BERHARGA jika ia dapat menjadi contoh bagi adik (kandung)nya dan
adik-adik sepupunya, menjadi anak yang patuh pada perintah dan keinginan orangtua,
bertanggungjawab,menjadi anak yang dapat membanggakan keluarga, cantik, kurus, putih, cepat lulus, bekerja,
dan menikah dengan pria mapan:
…Saya berharga/patut dicintai ... bila saya cantik, pintar, patuh, manut, ...dlsb”..
..BUKAN SAYA kalau tidak pintar..
..BUKAN SAYA kalau tidak dapat menjadi contoh bagi adik-2
INKONGRUENSI
1
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Disorganized behavior
2
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
lukisan dan gambaran tentang siapa dia. Dengan kata lain, anak itu mengembangkan suatu ”pengertian-diri”(self
concept)
Cara-cara khusus bagaimana diri itu berkembang dan apakah dia akan menjadi sehat atau tidak
tergantung cinta yang diterimanya dalam masa kecil. Pada waktu ”diri mulai berkembang, anak juga belajar
membutuhkan cinta. Rogers menyebut kebutuhan ini ”penghargaan positif (positif regard”
Setiap anak terdorong untuk mencari positif regard. Tetapi tidak setiap anak menemukan kepuasan yang
cukup terhadap kebutuhan ini. Anak puas kalau dia mendapatkan kasihsayang, cinta, dan persetujuan dari orang-
orang lain, tetapi dia kecewa kalau dia menerima celaan dan kurang mendapat cinta dan kasih sayang. Anak
mengamati autau celaan sebagai sutau celaan yang luas dan tersebar dalam setiap segi apa adanya. Anak menjadi
peka terhadap setiap tanda penolakan dan segera mulai merencanakan tingkah lakunya menurut reaksi yang
diharapkan akan diberikan. Anak harus bekerja keras untuk positive regard dengan mengorbankan aktualisasi
diri.
Karena anak menerima conditional positive regard, pertama-tama dari ibunya kemudian dari dirinya,
syarat-syarat penghargaan berkembang. Ini berarti bahwa anak itu merasa suatu perasaan harga-dirihanya dalam
syarat-syarat tertentu. melaksanakan tingkah laku yang dilarang menyebabkan anak merasa salah dan tidak
berharga.
Orang-orang dengan syarat penghargaan harus membatasi tingkah laku mereka dan mengubah
kenyataankarena meskipun menyadari tingkah laku dan pikiran yang tidak pantas, namun merasa terancam kalau
mereka memamerkannya. Karena individu tidak dapat berinteraksi sepenuhnya dan terbuka dengan lingkungan
mereka, maka mereka mengembangkan apa yang disebut Rogers ”ketidakharmonisan”(incongruence) antara
konsep diri dan kenyataan yang mengitari mereka (Schultz, 1991)
Alwisol (2007) menyatakan bahwa semakin besar jurang ketidaksesuaian antara konsep diri dengan
pengalaman organismik, semakin orang menjadi rentan (vulnerable). Jika vulnerabilita muncul dari orang yang
tidak menyadari ketidaksesuaian dalam dirinya, kecemasan dan ancaman muncul akibat dari orang yang sangat
sadar dengan ketidaksesuaiannya itu. Rogers mendefinisikan kecemasan sebagai ”keadaan ketidaknyamanan atau
ketegangan yang sebabnya tidak diketahui”. Ketika orang semakin menyadari ketidakkongruenan antara
pengalaman dengan persepsi dirinya, kecemasan berubah menjadi ancaman tyerhadap konsep diri kongruen dan
terjadi pergeseran menajdi sikap diri takkongruen.disorganisasi kepribadian dapat terjadai mendadak atau
berangsur-angsur, namun sumbernya tetap sama, yakni defense yang tidak dapat dioperasikan dan struktur self
yang pecah. Jadi tingkah laku disorganisasi adalah akibat dari ketidakkongruenan antara self dengan
pengalaman. Besarnya perbedaan atara self dengan pengalaman inilah yang emnentukan parahnya salahsuai
psikologik. Disorganisasi kepribadian dapat disembuhkan/dikoreksi dengan terapi yang memberinya penerimaan
positif tanpa syarat.
3
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Corey (203) menyebutkan bahwa peran terapis client-centered berakar pada cara-cara keberadaannya
dan sikap-sikapnya, bukan pada penggunaan teknik-teknik yang dirancang untuk menjadikan klien ”berbuat
sesuatu”. Pada dasarnya, terapis menggunakan dirinya sendiri sebagai alat untuk mengubah. Fungsi terapis
membangun suatu iklim terapeutik yang emnunjang pertumbuhan klien.
Rogers (dalam Ardani,dkk,2007) menyatakan sikap-sikap konselor yang diharapkan yaitu:
1. Congruence and Genuiness, yaitu sikap yang menunjukkan kesungguhan hati atau ketulusan untuk
membantu klien
2. Feeling Self, yaitu bahwa konselor harus terbuka terhadap diri dan perasaannnya terlebih dahulu
3. Accurate Empatic Understanding, yaitu pengertian yang mendalam dan akurat terhadap diri dan masalah
klien
4. unconditional postive regard, yaitu dapat emnunjukkan penghargaan positif bagi klien tanpa syarat apapun
5. Acceptance, yaitu sikap penuh penerimaan disertai perhatian yang tulus terhadap klien apapun masalahnya
6. realness dan otentik, yaitu sikap nyata yang dan disadari yang harus diperlihatkan oleh konselor dihadapan
klien tanpa ada kepura-puraan
7. Caring, yaitu sikap penuh kepedulian dan kerjasama dalam menolong klien.
e)Proses Terapeutik
Phares dan Trull (dalam Ardani, dkk, 2007) menyatakan bahwa rangkaian proses terapi telah digambarkan
Rogers dengan mencakup tujuh tahapan, yaitu:
1. Keengganan mengungkapkan diri, perasaan diri belum diungkapkan, hubungan yang dkeat dianggap sebagai
ancaman
2. perasaan terkadang diungkapkan tapi individu masih jauh dari pengalaman personalnya meskipun juga sudah
mulai menunjukkan pengakuan bahwa problem itu ada
3. menggambarkan perasaan yang telah lalu sebagai sesuatu yang tidak dapat diterima, ekspresi diri mulai
mengalir lebih bebas, baru mulai mengakui bawha problem ada dalam individu
4. penggambaran perasaan personal secara bebas menjadi milik pribadi , adanya ekspresi tanggung jawab diri,
mulai mengambil resiko berhubungan dengan orang lain berdasar pada perasaan
5. ekspresi yang bebas terhadap perasaan dan menerimanya, perasaan yang ditolak mulai jelas berda dalam
kesadaran, emngungkapkan konflik antara pikiran dan emosi, menerima tanggungjawab personal terhadp
masalah-masalah
6. menerima perasaan tanpa perlu menolak, keinginan untuk mengambil resiko emnajdi diri sendiri dalam
berhubungan dengan orang lain, mempercayai orang lain utnuk dapat menerima
7. individu mulai menikmati pengalaman diri, mengalami perasaan-perasaan baru, berkurangnya inkongruensi,
mampu mengecek validitas pengalaman
4
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
menggunakan konsep dirinya sendiri yang otentik, bukan konsep diri sebagaimana yang diidnginkan oleh ibu
dan keluarganya. Sehingga subjek dapat menjadi lebih realstis dan dapat mengaktualisasikan dirinya
Untuk memfasilitasi terbentuknya pribadi yang berfungsi sepenuhnya, terapis diharapkan membentuk
iklim yang kondusif, yaitu memberikan ketulusan, keterbukaan, empati, penghargaan psoitif tanpa syarat,
penerimaan dan kepedulian terhadap subjek.
b) Rancangan Terapi
Ada tujuh tahapan terapi yang akan dilakukan. tahapan berikutnya akan dilakukan setelah target pada
tahapan sebelumnya tercapai.
5
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Catatan:
6
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Dalam pelaksanaan terapi, setelah terapi memasuki tahap IV, subjek mulai kesulitan untuk mengekspresikan
perasaan-perasaan yang dialaminya terutama yang berkaitan dengan hubungan antara subjek dengan ibunya. Subjek
juga menolak hal-hal yang ia rasakan terhadap ibu dan ayahnya.
Subjek mengatakan bahwa ada ketidakpuasan yang dimilikinya terhadap kedua orangtunya, namun hal ini
tidak dapat diungkapkannya karena ia merasa bahwa agama melarangnya untuk mengungkapkan ketidakpuasannya
terhadap orangtua. Ia juga khawatir jika ia ia mengungkapkan perasaanya pada orangtua maka penyakit jantung ibunya
dan penyakit stroke ayahnya akan kambuh.
Subjek mengaku merasa sedih karena jika kesal, maka ayahnya sering menamparnya. Ia ingin sekali
menanyakan pada ayahnya, magapa ia diperlakukan seperti itu. Ia juga ingin menanyakan pada ibunya, apakah ibunya
bahagia memiliki anak seperti dia, yang gemuk, berkulit coklat, dan tidak menjadi primadona seperti ibunya dimasa
mudanya dulu. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Karenanya, rasa sedih yang
dirasakannya selalu disimpannya dan dipendamnya. Bahkan dalam salah satu sesi terapi subjek menyatakan bahwa ia
sudah lupa bagaimana rasanya sedih. Secara kognitif subjek tahu dan dapat mengungkapkan pada terapis bahwa ia
sedih, namun secara afeksi subjek merasa sulit untuk merasakan ”sedih”.
Karenanya, sbelum masuk ke tahap berikutnya dalam terapi client-centerd, terapis memutuskan untuk
melakukan teknik intervensi yang bertujuan agar subjek dapat mengungkapkan perasaannya terhadap kedua
orangtuanya secara imajiner. Teknik yang digunakan adalah teknik ”empty chair”.
7
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Penggunaan kursi kosong juga diungkapkan dalam (http://www.bookrags.com/research/gestalt-therapy-
woh/), yang menyebutkan bahwa dalam teknik empty chair, pasien berbincang dengan sebuah kusi kosong,
membayangkan dirinya berhubungan dengan permasalahan yang belum terselesaikan yang duduk di kursi. Saat
pasien berkata pada ”orang yang duduk di kursi , pasien membayangkan respon orang tersebut terhadap perasaan
yang ia ekspresikan. Jadi, dalam teknik empty chair, klien juga secara aktif ikut membayangkan respon orang yang
sedang berkonflik dengannya terhadap dirinya maupun cara orang tersebut memandang permasalahan yang sedang
mereka alami.
Sementara itu, Ramnya (2007) menyatakan bahwa saat Klien mengekspresikan konflik dengan orang lain,
melalui teknik ini, klien diarahkan untuk mengatakanya pada orang tersebut yang dibayangkan duduk diatas “empty
chair” disamping atau dihadapan klien. Hal ini akan membantu klien untuk mengalami dan memahami perasaannya
lebih dalam. Kemudian, hal ini juga akan menstimulasi pikiran, menandai emosi, dan sikap. Misalnya, terapis dapat
mengatakan “Bayangkan ayahmu duduk di kursi ini (sekitar 3 kaki jaraknya), lihatlah dia dengan jelas, dan sekarang,
katakanlah padanya apa yang Anda rasakan saat Ia tidak jujur pada ibu anda..”.
Banyak hal yang dapat digunakan dalam empty chair: orang lain, objek (mobil atau cincin perkawinan),
bagian dari kepribadian (orangtua yang mengkritik, natural child, introvesi, obsesi terhadap pekerjaan), emosi,
simtom (sakit kepala, kelelahan), mimpi, steterotipe (hitam, lelaki macho, wanita mandiri). Kuncinya adalah interaksi
emosi yang dalam dan detail, dalam percakapan. Terapis seharusnya menukar dan memajukan masing-masing kursi
dank lien berkata pada orang-sifat-objek pada kursi lainnya. ”Percakapan” ini akan mengklarifikasikan perasaan dan
reaksi terhadap orang lain dan dapat meningkatkan pemahaman terhadap orang lain tersebut.
Dalam http://www.sharonsnir.com/pdfs/GoodTherapy.pdf., disebutkan tentang contoh penggunaan empty
chair bagi klien: Misalnya, seseorang yang mengkomplain bahwa ibunya terlalu mengkritik diminta untuk berkata
pada ibunya dalam empty chair. Kemudian-pada saat yang penting, saat klien benar-benar ”menolak” , klien diminya
untuk duduk di kursi yang kosong dan menjadi ibunya yang mengkritiknya, untuk memeragakan bahasa tubuh, suara
dan kata-kata yang diungkapkan ibunya. klien biasanya mengatakan, ”Aku tak bisa melakukannya! Aku tidak ingi
begini!”. hal ini disebabkan orang tersebut tidak ingin mengenali kritik yang kemungkinan dibentuk oleh ibunya
yang suka mengkritik., tetapi kini menjadi bagian yang tidak disadari oleh orang tersebut. Jika orang tersebut dapat
menampilkan eksperimen dan menjadi pengkritik sebagaimana ibunya, kemudian terapis dapat menanyakan apakah
energi kritik tersebut disadari sebagai bagian dalam diri klien. Klien juga dibimbing untuk menyadari bahwa ibunya
yang selalu mengkritik ada di dalam dirinya, dan ia, saat ini, mengkritik dirinya sendiri sekasar apa yang pernah
ibunya lakukan padanya.
d. Kelebihan
Ramnya (2007) menyebutkan beberapa hasil yang akan diperoleh klien dalam terapi empty chair, yaitu :
i. Adanya Perubahan Kognitif
Dalam prose ini, klien akan mendapatkan pemahaman tentang apa yang akan dipikirkan oleh orang yang ia
bayangkan dalam menghadapi permasalahan yang sama. Ia juga akan mempelajari apakah ia memproyeksikan
pemikirannya pada orang lain tersebut
ii. Adanya Perubahan Perilaku
8
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Klien akan memiliki perilaku baru dalam lingkungan yang mendukung dalam terapi dan meluaskan
kesadarannya. Lebih dari sekedar menerima lingkungan secara pasif, ia akan menentukan posisinya dalam suatu
permaslahan penting dan membuat pilihan yang akan membuatnya mendapatkan hal yang ia inginkan
iii. Adanya Perubahan Afek
Klien akan merasa mampu mengatasi kejutan-kejutan yang akan ia temui dalam kehidupan sehari-hari
Sementara itu, dalam (http://www.bookrags.com/research/gestalt-therapy-woh/), disebutkan bahwa teknik ini
dapat menjadi cara yang powerful bagi perasaan yang terpendam dan mendapatkan insight baru terhadap perasaan
tersebut
e. Keterbatasan
Ada dua situasi dimana terapis sebaiknya tidak menggunakan teknik ini. Yang pertama adalah jika klien
psikotik atau berpotensi psikotik. Hal ini dapat memacu terjadinya psikosis. Situasi lainnya adalah jika terapis
memiliki cukup informasi yang dapat dipercaya bahwa ibu, ayah, atau fisur parental lainnya yang dibicarakan oleh
klien adalah seorang yang gila. Dalam situasi ini aka lebih baik untuk tidak mengundang klien pada ’neraka’ orang
lain (http://www.ynot1.com.au/ blogs/More%20about% 20two% 20chair.pdf.)
f. Konseptualiasi kasus
Teknik Empty Chair biasanya digunakan dalam mengatasi masalah interpersonal (misalnya, kemarahan klien
terhadap sesorang, merasa terlalu submisif, kesepian, dll. http://plaza.ufl.edu/jerez64/paper2.html). Subjek mengatakan
bahwa ada ketidakpuasan yang dimilikinya terhadap kedua orangtunya, namun hal ini tidak dapat diungkapkannya
karena ia merasa bahwa agama melarangnya untuk mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap orangtua. Ia juga
khawatir jika ia ia mengungkapkan perasaanya pada orangtua maka penyakit jantung ibunya dan penyakit stroke
ayahnya akan kambuh.
Subjek mengaku merasa sedih karena jika kesal, maka ayahnya sering menamparnya. Ia ingin sekali
menanyakan pada ayahnya, magapa ia diperlakukan seperti itu. Ia juga ingin menanyakan pada ibunya, apakah ibunya
bahagia memiliki anak seperti dia, yang gemuk, berkulit coklat, dan tidak menjadi primadona seperti ibunya dimasa
mudanya dulu. Namun ia tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut. Karenanya, rasa sedih yang
dirasakannya selalu disimpannya dan dipendamnya.
Dalam hal ini penggunaan teknik empty chair pada subjek bertujuan untuk memfasilitasi subjek untuk
mengalami dan memahami perasaannya secara lebih mendalam, terutama berkaitan dengan hubungan interpersonal
subjek dengan ibunya.
9
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Hal-hal lain yang sekiranya dapat dipersiapkan dalam pelaksanaan teknik empty chair adalah air
minum dan penyediaan tissue bagi subjek. Hal ini perlu dipersiapkan mengingat teknik empty chair adalah
teknik yang membuat subjek memahami perasaannya dan cukup menguras emosi, sehingga adakalanya kedua
hal tersebut akan berguna dalam proses terapi.
10
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Dalam pelaksanaan teknik ini digunakan
tiga kursi. Yang pertama digunakan
untuk duduk bagi subjek. Satu kursi
(kosong) diletakkan didepan subjek. Satu
kursi lainnya ditelakkan dibelakang kursi
subjek, dapat digunakan oleh terapis.
Tahap IV: Relaksasi betujuan agar Relaksasi yang digunakan adalah
Relaksasi subjek merasa nyaman, relaksasi napas. Terapis meminta subjek
rileks dan tidak tegang untuk mengatur pernapasannya. Terapis
meminta subjek memejamkan mata
merilekskan tubuh sembari mengatur
pernapasannya hingga ia merasa nyaman.
Tahap V: Subjek dapat Terapis berada dibelakang subjek,
Proses mengungkapkan perasaan kemudian meminta subjek
pengungkapan yang selama ini ia pendam membayangkan bahwa ibunya hadir dan
perasaan dan tak dapat diungkapkan, duduk di kursi kosong yang terletak
terutama pada ibunya. didepan subjek.
Setelah subjek benar-benar dapat
membayangkan kehadiran ibunya, terapis
meminta subjek mengungkapkan hal-hal
yang selama ini dipendamnya dan ingin
ia ungkapkan kepada ibunya.
Terapis dapat memfasilitasi subjek untuk
mengeksplorasi perasaannya dengan
memberikan kalimat-kalimat tidak utuh
yang akan dilengkapi oleh subjek, yang
merefleksikan perasaan, keinginan,
harapan, ketakutan, pertanyaan-
pertanyaan subjek, dll, yang ingin ia
sampaikan pada ibunya.
Tahap VI: Subjek mencoba untuk Terapis meminta subjek untuk ”bertukar
Proses memahami cara pandang peran” menjadi ibunya. dengan
penggantian ibunya terhadap perasaan- memerankan sosok ”ibu”, kemudian
peran perasaan, pemikiran- berusaha mengungkapkan perasaan,
pemikiran-pemikiran, dan keinginan, dan harapan ibu terhadap
pertanyaan-pertanyaan subjek. serta menjawab pertanyaan-
subjek. pertanyaan subjek
tahap VII: Mengetahui hal-hal yang Terapis mengeksplorasi hal-hal yang
Evaluasi didapatkan subjek selama dirasakan subjek selama mengungkapkan
sesi terapi perasaannya sendiri dan saat berperan
Sebagai ”jembatan” dengan menjadi ibu, dll.
sesi berikutnya Terapis menanyakan hal-hal yang
dirasakan subjek setelah proses terapi,
perubahan apa yang terjadi pada dirinya
11
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
sebelum dan setelah proses terapi
Terapis menanyakan hal-hal yang
didapatkan subjek dalam proses terapi
Terapis-subjek membuat kesepakatan
untuk sesi terapi selanjutnya
12
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Daftar Pustaka:
Corey, G. 2003. teori dan praktek konseling dan psikoterapi. Bandung: Refika Aditama
Ivey, A.E, dkk. 1993. Counseling and Psychotherapy. A Multicultural Perspective. 3rd edition. MA: Allyn&Bacon
Ramnya, C.N. 2007. The “Empty Chair” Technique. http://changingminds.org/ articles/articles/ empty_chair.htm,
diakses pada 11 Mei 2008
http://www.sharonsnir.com/pdfs/GoodTherapy.pdf.
http://www.ynot1.com.au/blogs/More%20about%20two%20chair.pdf.
13
Sofia Retnowati –Contoh: Paradigma Humanistik – MagPro.Fak.Psikologi UGM
Disusun Oleh:
Libbie Annatagia
(PS/ 1566)
14