Anda di halaman 1dari 12

DESENSITISASI SISTEMATIK SEBAGAI SEBUAH METODE

MENGATASI FOBIA PADA KECOA

Mata Kuliah: Teori dan Teknik Intervensi Individu


Dosen Pengampu: Nandy Agustin Syakarofath, S.Psi, M.A

Kelas: E 2017

Kelompok 8

Himamy Khalimathus R. 201610230311234

Pipit Krisnawati 201710230311269

Hanifatul Qoniah 201710230311275

Maghfirah Rachma Firdausi 201710230311300

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG
2019
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Fobia sering kali dimiliki oleh seseorang. Apabila terdapat
rasa takut akan sesuatu tekadang tidak mengidap sesuatu
adalah lucu dan aneh, tetapi bagi orang yang mengalami hal
tersebut benar-benar menakutkan dan sering kali tidak diketahui
penyebab dari hal tersebut. Kebanyakan orang menyebut hal
tersebut dengan istilah fobia pada manusia. Fobia merupakan
ketakutan terhadap peristiwa yang biasa dalam hidup tetapi
menjadi luar biasa, seperti takut pada kucing, ayam, kambing,
boneka, bulu dan yang lain. Untuk sampai pada taraf gangguan
psikologis, fobia tersebut harus secara signifikan mempengaruhi
gaya hidup atau menyebakan stres yang signifikan. Fobia
seringkali berawal pada masa anak-anak. Banyak anak
mengembangkan ketakutan terhadap objek atau situasi spesifik,
tetapi hal ini akan berlalu. Meskipun demikian, beberapa di-
antaranya terus berlanjut mengembangkan fobia kronis yang
signifikan (Merckelbach dalam Firosad, 2016). Munculnya
fenomena fobia mendorong kami untuk melakukan bagaimana
mengurangi fobia pada seseorang denga teknik desensitisasi
sistematik. Desensitisasi sistematik merupakan bentuk terapi
perilaku yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk
mengatasi masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi
ini dilandasi oleh prinsip reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang
menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon tertentu
yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam
pelaksanaannya anak mempraktikan relaksasi sambil
membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap. Terapi
ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk
mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).
B. BASELINE & ANALISA MASALAH

1. Baseline

a. Antecedent

Subjek merupakan seorang perempuan yang baru


lulus dari kuliah dan memiliki ketakutan pada kecoa. Pada
asesmen awal, subjek mengaku sudah lama takut pada
kecoa, ia merasa jijik setiap kali melihatnya, baik secara
langsung maupun di gambar. Saat masih kecil, subjek
pernah memainkan kardus (dipukul-pukul), lalu ada kecoa
keluar dari kardus tersebut. Subjek terkejut, namun saat itu
ketakutannya masih biasa. Dulu ia mengaku tidak tahu
bahwa kecoa bisa terbang. Namun, semenjak mengetahui
informasi yang mengatakan bahwa kecoa bisa terbang, ia
menjadi was-was dan semakin takut. Ketakutannya
bertambah dengan adanya insiden yang kurang
menyenangkan dengan kecoa. Beberapa waktu lalu pernah
ada kejadian kecoa terbang yang membuat histeris satu kos.
Lalu, ia pernah melihat kecoa yang hinggap di kipas
anginnya, serta pernah juga ada kecoa terbang dan masuk
ke lemarinya. Dan membuat subjek langsung menutup
lemarinya sampai ada orang lain yang berani mengeluarkan
kecoa tersebut.
b. Behavior
Ketika bertemu kecoa, subjek memilih menghindar.
Karena dahulu pernah ada insiden kecoa terbang di kosnya,
ia menjadi agak trauma yang ditunjukkan dengan
perilakunya yang selalu membiarkan jendela dan pintunya
tertutup. Hal itu dilakukan ketika masih baru ada kejadian
tersebut. Tapi lama-lama, karena sudah jarang/tidak pernah
ada kecoa masuk ketika pintunya dibuka, ia mulai berani
untuk membiarkan pintunya terbuka, namun untuk jendela
dibiarkan tertutup. Waktu itu ada kejadian kecoa terbang
masuk ke lemarinya. Karena hal tersebut membuat subjek
menutup lemarinya dan tidak membukanya sampai ada
orang lain yang datang dan memastikan kecoa sudah
dikeluarkan dan dimatikan. Ketika ada orang lain yang
datang ke kamar kosnya, ia menyuruh orang tersebut
mengeluarkan kecoa dengan nada yang agak tinggi.
c. Consequence
Dari ketakutan yang ia alami ketika bertemu kecoa,
apalagi ketika kecoa yang dilihatnya terbang, membuatnya
menjadi takut dan was-was terhadap semua kecoa. Ia lebih
memilih menghindari objek yang membuatnya takut, dalam
hal ini adalah kecoa.
2. Analisa Masalah

Masalah yang dialami oleh subjek RIZ merupakan ketakutan


atau kecemasannya terhadap kecoa. Hal ini disebabkan adanya
pengalaman yang kurang menyenangkan ketika berhadapan dengan
kecoa. Dahulu subjek tidak mengetahui bahwa kecoa dapat terbang,
jadi ia bersikap biasa saja. Namun, setelah mengetahui ada informasi
yang mengatakan bahwa kecoa dapat terbang, ia menjadi was-was
dan takut.
Selain disebabkan oleh hal-hal yang telah disebutkan di atas,
Individu yang mempunyai kecenderungan mengalami gangguan fobia
dipengaruhi oleh faktor internal seperti kemampuan otak menilai suatu
peristiwa, perasaan individu terhadap sesuatu dan yang lain.
Sedangkan faktor eksternal seperti hewan, tumbuhan, lingkungan, dan
yang lain (Nielsen, 2005). National Institute of Mental Health (1999),
mengemukakan bahwa faktor fisik dan psikologis merupakan sesuatu
yang saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain dan
mengatakan bahwa sistem limbic merupakan serangkaian hubungan
internal dari struktur otak yang berbentuk sirkuit dan mempunyai
fungsi utama dalam memotivasi emosi. Bagian yang berperan utama
dalam sistem limbic adalah korteks, hipokampus, dan amigdala.
Sistem limbic pada mamalia berhubungan dengan pola-pola instinktif,
mempunyai peran beradaptasi terhadap lingkungan disetiap
permasalahan yang muncul. Individu yang mengalami trauma dan
fobia mempunyai tingkat kortisol lebih rendah dibanding dengan orang
normal. Temuan ini mengemukakan bahwa perubahan neurohormonal
mempengaruhi individu terhadap kecenderungan trauma (Goleman:
1999).
Peran otak juga mempunyai pengaruh terhadap kecenderungan
trauma dan fobia. Otak berperan memberikan makna dan penilaian
terhadap situasi atau peristiwa yang terjadi. Ketika individu
dihadapkan pada situasi atau permasalahan, maka yang biasa terjadi
adalah penilaian terhadap stressor. Penilaian awal terhadap stressor
bisa bersifat positif, netral dan negatif. Selanjutnya individu melakukan
pengukuran terhadap kemampuan dalam mengatasi stressor yang
ada. Pengukuran terhadap kemampuan dirinya disebut penilaian
sekunder. Setelah itu individu melakukan penilaian ulang yang
akhirnya mengarah pada pemilihan strategi penyelesaian masalah.
Proses penilaian dan pemberian makna terhadap stressor sangat
berpengaruh pada reaksi individu dalam menghadapi stres, apakah itu
respon positif yang membuat individu menjadi optimis dalam
menghadapi stres atau respon negatif yang mengarah kepada
pesimis. Individu yang mempunyai penilaian dan pemaknaan negatif
terhadap suatu peristiwa maka kecenderungan individu untuk
mengalami trauma dan fobia lebih besar..
Oleh karena itu peneliti merancang program ini untuk membantu
dalam memperbaiki perilaku yang sebelumnya. Harapannya jika apa
yang telah dilakukan ini berhasil maka kemudian hari dapat
menjadikan ia pribadi yang lebih berani lagi menghadapi ketakutannya
dan tidak menghindar.
C. RANCANGAN PROGRAM
1. Definisi Operasional
Brammer & Shostrom (abimanyu & manrihu, 1996:333)
menyatakan bahwa: ”desensitisasi adalah proses membukakan
klien untuk meningkatkan jumlah rangsangan yang bersifat
merangsang kecemasan sampai klien menghentikan respon
kecemasannya”. Disamping itu mereka juga menyatakan bahwa
desensitisasi adalah metode untuk mengurangi keresponsifan
emosional terhadap rangsangan yang menakutkan atau tidak
menyenangkan dengan mengenalkan suatu aktivitas yang
bertentangan dengan respon yang menakutkan itu. Misalnya
takut berbicara di depan umum atau takut dengan kucing
dihubungkan dengan suatu kesenangan yang bertentangan dan
perasaan relaks.
Desensitisasi sistematik merupakan bentuk terapi perilaku
yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi
masalah fobia spesifik (Martin & Pear, 2007). Terapi ini dilandasi
oleh prinsip reciprocal inhibition, yaitu stimulus yang
menimbulkan rasa takut dipasangkan dengan respon tertentu
yang dapat menghalangi munculnya perasaan takut. Dalam
pelaksanaannya anak mempraktikan relaksasi sambil
membayangkan stimulus yang ditakuti secara bertahap. Terapi
ini telah digunakan secara luas dan terbukti efektif untuk
mengatasi masalah takut yang berlebihan (Kazdin, 1980).

Langkah-langkah dalam melakukan desensititasi sistematis yaitu:


a. Analisis tingkah laku yang membangkitkan kecemasan
b. Menyusun tingkat kecemasan
c. Membuat daftar situasi yang memunculkan/ meningkatkan
taraf kecemasan mulai dari ypng paling rendah sampai
paling tinggi’
d. Melatih relaksasi konseli yang digariskan Yacobsen dan
diuraikan secara rinci oleh Wolpe yaitu dengan berlatih
pengenduran otot dan bagian tubuh dengan titik berat wajah,
tangan, kepala, leher, pundak, punggung, perut, dada, dan
anggota badan bagian bawah.
e. Konseli mempraktikan 30 menit setiap hari, hingga terbiasa
untuk santai dengan cepat.
f. Pelaksanaan Desensitisasi sistematis konseli dengan santai
dan mata tertutup.
g. Meminta konseli membayangkan dirinya berasa pada satu
situasi yang netral, menyenangkan, santai, nyaman, tenang.
Saat konseli santai diminta membayangkan situasi yang
menimbulkan kecemasan pada tingkat paling rendah.
h. Dilakukan terus secara bertahap sampai tingkat yang
memunculkan rasa cemas dan hentikan.
i. Kemudian dilakukan relaksasi lagi sampai konseli santai,
diminta membayangkan lagi pada situasi dengan
kecemasan yang lebih tinggi dari sebelumnya.
j. Terapi selesai apabila konseli mampu tetap santai ketika
membayangkansituasi yang sebelumnya paling
menggelisahkan dan mencemaskan.
2. Tujuan

Untuk menghilangkan atau meminimalisir ketakutan


subjek terhadap kecoa.
3. Subyek

Subyek dalam penelitian ini adalah seorang lulusan S1


yang memiliki ketakutan terhadap kecoa.

4. Pelaksana

Pelaksana dari kegiatan penelitian ini , merupakan


mahasiswa dan mahasiswi Fakultas Psikologi semester empat
Universitas Muhammadiyah Malang, yang beranggotakan empat
orang yaitu :
- Himamy Khalimathus R. : Sebagai Observer 1

- Pipit Krisnawati : Sebagai Observer 2

- Hanifatul Qoniah : Sebagai Fasilitator 2

- Maghfirah Rachma Firdausi : Sebagai Fasilitator 1

5. Tempat Kegiatan

Kegiatan kali ini bertepatan di tempat kos subyek di Jl.


Bendungan Sutami.

6. Waktu Kegiatan

Hari ke-

Kegiatan Jum’at-Minggu, Senin- Jumat Senin 20 Juni


31 Mei – 2 Juni 17 - 20 Juni 2019
2019 2019

Asessment + pretest X

Merancang program X

Implementasi
X
program

Evaluasi + postest X

7. Media yang digunakan:


a. Alat tulis
b. Tempat duduk
c. Ruang yang kondusif
8. Gambaran kegiatan ( Implementasi Program):

Agar saat praktikum berjalan baik, maka perlu menyusun program-


program yang akan dilakukan sebagai panduan dalam memberikan terapi
pada klien. Berikut merupakan tahap-tahap dalam proses terapi dengan
menggunakan teknik desensitisasi sistematik:

Tahap 1 Melakukan asesmen


Tahap 2 Memberikan pre-test
Tahap 3 Mencari tempat yang kondusif untuk relaksasi
Menyusun tingkatan situasi yang ditakuti dari yang
Tahap 4 ringan ke berat
Tahap 5 Melakukan relaksasi
Klien disuruh membayangkan kecoa yang jaraknya 5
Tahap 6 meter dari tempatnya
Klien disuruh membayangkan kecoa semakin
Tahap 7 mendekat ke arahnya
Klien disuruh membayangkan kecoa terbang ke arah
Tahap 8 lain
Klien disuruh membayangkan kecoa terbang
Tahap 9 mengarah ke dirinya
Klien disuruh membayangkan kecoa menempel di
Tahap 10 bajunya
Klien disuruh membayangkan memegang kecoa dan
Tahap 11 membuangnya
Tahap 12 Memberikan post-test

9. Rundown Acara

Pertemuan ke- Hari/tanggal Kegiatan Keterangan


31 Mei – 2 Juni Melakukan
1
2019 asesmen
Memberikan tes
untuk mencari tau
sejauh mana
ketakutannya
Memberikan pre-
2 10 Juni 2019 pada kecoa dan
test
menyusun hirarki
kecemasan dari
yang paling
ringan
Menyuruh klien
Melakukan membayangkan
relaksasi dan kecoa
17 – 20 Juni
3-5 menyuruh klien berdasarkan
2019
membayangkan urutan hirarki
kecoa yang telah
disusun
Memberikan tes
untuk
Memberikan membandingkan
6 20 Juni 2019
post-test hasil pada tes
awal sebelum
dilakukan terapi
10. Analisis SWOT
a. Strenght
Teknik modifikasi perilaku desensitisasi sistematik ini teknik
modifikasi perilaku yang tidak membutuhkan biaya yang
mahal, cocok untuk menangani orang yang mengalami fobia.
b. Weakness

c. Kesulitan-kesulitan
dalam relaksasi, yang
bisa jadi menunjuk
apada
Kesulitan-kesulitan dalam hal relaksasi. Kemungkinan klien
akan susah untuk berelaksasi ketika komunikasi antara
terapis dengan klien masih kurang baik.
d. Oppourtunity
Subjek dapat membayangkan objek yang ditakutinya sesuai
dengan arahan dari terapis.
e. Threat
Ketika subjek selesai dalam terapi ini subjek dapat berkurang
fobianya terhadap kecoa. Dan ketika tesknik relaksasi gagal
maka terapi ini dianggap tidak berhasil.

Penutup

. Teknik desensitisasi sistematik ini adalah bentuk terapi perilaku


yang dikembangkan oleh Joseph Wolpe untuk mengatasi masalah fobia
spesifik (Martin & Pear, 2007). Dalam pelaksanaannya anak
mempraktikan relaksasi sambil membayangkan stimulus yang ditakuti
secara bertahap. Diharapkan penelitian ini dapat membantu subjek dalam
mengatasi fobianya terhadap kecoa.

Daftar Pustaka

Firosad, Ahmad Masrur. (2016). Teknik desensitisasi sistematik untuk


mengurangi fobia mahasiswa. ISSN: Print 1412-9760. Vol 5
http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/20318777-T31567-Penerapan%20in%20vivo.pdf

http://irvanhavefun.blogspot.com/2012/03/teknik-relaksasi-dan-desensititasi.html

Anda mungkin juga menyukai