Anda di halaman 1dari 10

LAPORAN BLIND CASE MINOR KLINIS

KASUS XXX

Dosen Pengampu:
Dr. Wisjnu Martani, S.U., Psikolog

Disusun oleh :
Sulistua Ditha Hardiyaningsih
18/434137/PPS/03673

PROGRAM MAGISTER PSIKOLOGI PROFESI


FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS GADJAH MADA
2019
A. IDENTITAS KLIEN
1. Identitas Diri Klien
Nama : BP
Usia : 71 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan : SMEA (SMK)
Pekerjaan : Mantan karyawati usaha konveksi
Agama : Islam
Status : Menikah, mempunyai suami 5 tahun lebih muda, anak 1 sudah
berkeluarga dan mempunyai seorang anak
Alamat : Pengging, Jawa tengah
2. Tujuan
Adapun tujuan dari asesmen yang dilakuakan adalah untuk mengetahui
permasalahan dan kondisi psikologis klien.
3. Keluhan
Hampir setahun ini ada perubahan yang terjadi pada perilaku nenek BP. Ia menjadi
orang yang mudah uring-uringantanpa sebab, namun suatu saat dirinya seharian
diam saja tidak melakukan apa-apa di rumah, bahkan tidak mau makan seharian.
Namun kalau sedang baik moodnya ia kadang bernyanyi-nyanyi kecil. Anak dan
menantunya bingung bagaimana harus memperlakukan ibunya.
4. Dugaan sementara
Berdasarkan hasil asesmen yang dilakukan, maka dugaan sementara permasalahan
yang terjadi pada klien (nenek BP) adalah Loneliness.

B. ASESMEN
Melakukan wawancara terhadap subjek, anak dan menantu subjek di rumah.
1. Rancangan dan pelaksanaan Asesmen
No Aspek/data yang digali Metode Sumber Pelaksanaan

1 Kondisi Fisik

Mengetahui keadaan fisik Wawancara Klien dan Istri Terlaksana


klien
Observasi non Klien Terlaksana
partisipan
Data sekunder Medical Belum
Report Terlaksana

2 Sosial
Mengetahui hubungan Observasi non Klien Terlaksana
sosial klien di partisipan
Lingkungan Wawancara Tetangga Belum
Terlaksana

Mengetahui interaksi dan Wawancara Anak dan Belum


klien dengan keluarga menanti klien Terlaksana

3 Perilaku klien

Mengetahui perilaku klien Wawancara Klien Belum


di rumah dan lingkungan Anak, menantu terlaksana
sekitarnya Tetangga
Tabel 1. Rancangan dan pelaksanaan asesmen

2. Hasil Asesmen (Observasi dan Wawancara)


Lingkungan fisik dari rumah Nenek BP cukup kondusif dalam mendukung
suasana hatinya , misalnya rumah tidak terlalu besar, memiliki halaman walau
tidak luas dan ada tanaman bunga sehingga dengan kondisi fisik yang demikian
sebenarnya dapat menimbulkan interaksi yang cukup dekat dan intens antar
anggota keluarga.
Anggota keluarga yang tinggal bersama Nenek BP juga lengkap (suami, anak
menantu, dan cucu). Hal ini tentunya dapat menjadi support system yang baik bagi
Nenek BP. Namun, kondisi suami Nenek BP yang mengalami stroke, dan tidak
dapat beraktivitas secara penuh menyebabkan Nenek BP tidak dapat berinteraksi
dengan optimal dengan suaminya. Ditambah lagi dengan kesibukan anaknya yang
bekerja di luar rumah sehingga kurang memperhatikan kondisi psikologis Nenek
BP. Cucunya ada dirumah namun lebih banyak bermain dengan teman sebaya dan
bermain sendiri (musik dan gawai).
C. Kerangka Teoritis

1. Lansia
Lansia atau yang di sebut sebagai lanjut usia merupakan masa dimana
kemampuan akal dan fisik menurun, yang di mulai denngan adanya beberapa
perubahan dalam hidup (Basuki, 2015). Laslett (dalam Suardiman, 2011)
menyatakan bahwa menjadi tua merupakan proses perubahan biologis secara terus-
menerus yang dialami manusia pada semua tingkatan umur dan waktu. Untuk
menentukan apakah seseorang telah menjadi lanjut usia dapat dilihat berdasarkan
ciri-ciri fisik, mental age dan chronological age. Rambut memutih, kulit
berkeriput, gigi mulai tanggal serta keropos tulang merupakan ciri-ciri fisik yang
sering muncul pada individu yang lanjut usia meski sebenarnya tidak terlalu jelas
kapan mulai terjadinya proses menjadi tua ini (Hurlock dalam Kusumiati, 2009).
Santrock (2011) mengungkapkan bahwa masa lanjut usia dimulai ketika seseorang
mulai memasuki usia 60 tahun. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh
Santrock, Hurlock (2002) juga mengemukakan bahwa yang disebut lanjut usia
adalah orang yang berusia 60 tahun ke atas. Menurut Hurlock, lanjut usia
merupakan tahap akhir siklus perkembangan manusia, masa di mana semua orang
berharap akan menjalani hidup dengan tenang, damai, serta menikmati masa
pensiun bersama anak dan cucu tercinta dengan penuh kasih sayang.

2. Loneliness pada lansia


Menurut Brehm & Kassin, loneliness juga dapat ditimbulkan karena
perasaan yang kurang mengenai kehidupan sosial dengan seseorang, namun
menurut beberapa peneliti perasaan kurang tersebut diakibatkan karena
ketidaksesuaian antara apa yang sebenarnya ia dapatkan dengan apa yang individu
tersebut harapkan (dalam Arumdina:2013).
Loneliness adalah masalah meresap di kalangan orang tua dengan kuat pada
hubungan yang ada pada dukungan sosial, baik secara mental dan kesehatan fisik
disertai dengan kognisi. Menurut Adrian, Perubahan- perubahan fisiologis dan
perubahan kemampuan motorik yang terjadi, tidak jarang membuat para lansia
memunculkan perasaan tidak berguna kemudian mengalami demotivasi dan
menarik diri dari kemudian mengalami demotivasi dan menarik diri dari
lingkungan sehingga kebutuhan untuk diperhatikan menjadi berlebih,
kemudian mengalami demotivasi dan menarik diri dari lingkungan sehingga
kebutuhan untuk diperhatikan menjadi berlebih, dan hal tersebut kemudian
memunculkan kesepian pada lansia (Putra dkk, 2012).

Menurut Gunarsa (dalam Munandar, 2017), tidak semua orang lanjut usia
bisa menikmati masa senjanya dalam kehangatan keluarga dan terdapat masalah
pokok psikologis yang dialami oleh para lansia. Pertama adalah masalah yang
disebabkan oleh perubahan hidup dan kemunduran fisik yang dialami oleh lansia.
Kedua, lansia yang sering mengalami kesepian yang disebabkan oleh putusnya
hubungan dengan orang-orang yang paling dekat dan disayangi. Ketiga, post
power syndrome, hal ini banyak dialami lansia yang baru saja mengalami pensiun,
kehilangan kekuatan, penghasilan dan kebahagiaan. Berdasarkan masalah
psikologis yang dialami lansia, lansia memerlukan dukungan keluarga yang
diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan lansia.

Ada beberapa hal penyebab loneliness pada lansia (Putra dkk, 2012) antara lain :

a. Longgarnya kegiatan dalam mengasuh anak-anak karena anak-anak sudah


dewasa dan bersekolah tinggi bahkan menikah sehingga tidak memerlukan
penangan yang terlampau rumit.

b. Berkurrangnya teman atau relasi akibat kurangnya aktifitas di luar

c. Berkurangnya aktivitas sehingga waktu luang bertambah banyak

d. Meninggalnya pasangan hidup

e. Anak-anak yang meninggalkan rumah karena menempuh pendidikan, bekerja.

f. Anak-anak yang sudah menikah dan membentuk keluarganya sendiri.


D. Dinamika Psikologis dan Diagnosis
1. Dinamika psikologis
Gambaran dinamika psikologis pada klien

Maasalah:
Kesehatan Fisik:
 Anak dan menantu bekerja
 Gangguan fisik wajar
 Cucu bermain dengan
 berkurangnya pendengaran
teman
 badan dingin, mudah lesu,
 Suami mengalami stroke
jari tangan kaku, lutut
menjadi pegal.

Nenek tidak ada lawan interaksi


dan merasa sendiri di rumah

Pola Perilkau:
 Moody (Diam, uring-
uringan)
 Seharian tidak mau makan

2. Diagnosis
Hasil asesmen yang telah diperoleh maka diambil diagnosis dari
permasalahan klien yaitu, Loneliness. Perubahan perilaku yaitu menjadi sering
uring-uringan tanpa sebab jelas dan bisa juga diam tanpa melakukan apa-apa
selama seharian, kehilangan nafsu makan. Namun ketika kondisi biasa / bagus
moodnya Nenek BP masih bisa produktif dengan melakukan hal positif. Kondisi
yang dialami Nenek BP tersebut, walaupun secara fisik masih nampak baik- baik
saja, namun secara psikologis Nenek BP merasakan kesepian (loneliness) karena
tidak ada orang di dalam rumahnya yang dapat diajak berinteraksi / berkomunikasi
dengan intens dan mendalam walaupun orangnya lengkap. Hal ini menyebabkan
Nenek BP merasa tidak ada yang memperhatikannya sehingga berpengaruh pada
perubahan mood yang fluktuatif.
E. PROGRAM INTERVENSI

1. Rancangan Intervensi
Intervensi multi-komponen dikembangkan menggunakan pendekatan kognitif-
perilaku, yang merupakan pendekatan yang paling sesuai untuk lansia (Satre,
Knight & David, 2006). Pendekatan ini dapat diadaptasikan sesuai dengan
kebutuhan sehingga dapat diaplikasikan secara efektif pada lansia. Selain
pendekatan kognitif-perilaku, intervensi multi-komponen juga menggunakan
pendekatan kelompok yang memiliki beberapa keunggulan untuk digunakan pada
lansia (Cordioli et al., 2002).
Pertama, pendekatan kelompok dapat berperan sebagai sarana untuk katarsis,
di mana mengekspresikan berbagai macam keluhan merupakan hal yang sangat
terapeutik bagi lansia. Kedua, lansia memiliki kesempatan untuk bertemu dengan
lansia lainnya dan mengembangkan rasa kebersamaan, altruisme, dan saling
mendukung sehingga dapat meningkatkan dukungan sosial, yang kebanyakan
berkurang secara dramatis pada lansia dibandingkan dengan kalangan usia yang
lebih muda. Ketiga, pendekatan kelompok juga memberikan kesempatan pada
lansia untuk saling berbagi masalah masing-masing, dan menemukan universalitas
dari masalah yang dimiliki.
Dengan demikian, mereka memperoleh pemahaman bahwa banyak individu
lain memiliki masalah serupa, dan mereka dapat saling mempelajari solusi yang
kiranya tepat untuk digunakan dalam keseharian. Dengan Kombinasi antara
berbagai macam pendekatan tersebut, intervensi ini dinamakan Multicomponent
Cognitive Behavior Group Therapy dalam penelitian ini, yang selanjutnya disebut
dengan MCBGT.
Intervensi yang digunakan dalam penelitian ini (MCBGT) terdiri dari delapan
sesi dengan setiap sesi memiliki fokus pada suatu teknik tertentu. MCBGT
menggunakan beberapa teknik yang diperkirakan sesuai untuk diaplikasikan pada
lansia di Indonesia untuk membantu mereka menangani stress dan kesepian.
Teknik-teknik tersebut terdiri dari psikoedukasi, relaksasi, self- monitoring,
pendekatan kognitif, komunikasi efektif, dan pemecahan masalah.
2. Tahap Pelaksanaan Intervensi
Intervensi akan dilaksanakan sebanyak delapan kali pertemuan, dengan
dua pertemuan setiap minggunya, dengan rincian sesi sebagai berikut:

Waktu Pertemuan Rencana Kegiatan


Pertemuan pertama Perkenalan, promosi, pembinaan rapor,
pre-test/pra intervensi.

Pertemuan kedua Acara pembukaan program.

Pertemuan ketiga Pelaksanaan sesi 1: perkenalan


kelompok, penjelasan program yang
dilaksanakan, sharing masalah,
relaksasi pernapasan, dan relaksasi
progresif.

Pertemuan keempat Pelaksanaan sesi 2: Praktek relaksasi,


psikoedukasi mind-body, CBT, stres,

kesepian.

Pertemuan kelima Pelaksanaan sesi 3: Praktek relaksasi,

self-monitoring pada stres dan kesepian


Pertemuan keenam Pelaksanaan sesi 4: Praktek relaksasi,

self-monitoring, dan action planning.

Pertemuan ketujuh Pelaksanaan sesi 5: Praktek relaksasi,


pendekatan kognitif (identifikasi
negative automatic thought,
restrukturisasi kognitif dengan
metode ABCDE).
Pertemuan kedelapan Pelaksanaan sesi 6: Praktek relaksasi,
pelatihan komunikasi efektif.

Pertemuan kesembilan Pelaksanaan sesi 7: Praktek relaksasi,

teknik pemecahan masalah


(identifikasi masalah, harapan, solusi
yang tersedia, dan kemudian
menentukan solusi yang kiranya
paling sesuai), kemudian pekerjaan
rumah untuk mencobakan solusi
terpilih.

Pertemuan kesepuluh Pelaksanaan sesi 8: Praktek relaksasi,


sharing, feedback untuk peserta, dan
penutupan program intervensi.

Tabel 2. Jadwal pelaksanaan intervensi

Rancangan intervensi menggunakan acuan dari program General


Multicomponent Wellness yang dikembangkan oleh Rybarczyk, DeMarco,
DeLaCruz, Lapidos, dan Fortner (2001). Intervensi tersebut dimodifikasi agar
lebih sesuai untuk diterapkan pada lansia di Indonesia, serta untuk
menangani stres dan juga kesepian. Durasi setiap sesi diperkirakan 2,5 jam,
dan program berlangsung selama satu bulan dengan dua kali sesi pertemuan
setiap minggunya. Jarak antara sesi satu dengan lainnya berkisar antara dua
sampai tiga hari. Jangka waktu antara sesi ketujuh dengan sesi delapan yang
merupakan sesi terakhir adalah satu minggu, untuk melihat efektivitas dari
program intervensi yang dijalankan.

3. Evaluasi Hasil
Evaluasi dari program intervensi ini adalah setelah dilakukan selama dua
bulan dilakukan evaluasi mengenai program ini. Apabila klien mampu mengikuti
dengan baik dan ada perubahan positif pada klien maka program intervensi tetap
dilakukan.. Namun apabila klien tidak mampu mengikuti atau tidak ada perubahan
maka perlu dilakukan perubahan program intervensi.

DAFTAR PUSTAKA

American Psychiatric Association. (2013). Diagnostic And Statistical Manual of Mental


Disorder Edition “DSM-5”. Washington DC: American Psychiatric Publishing.
Washinton DC.

Hurlock, Elizabeth. B., (1980). Psikologi Perkembangan. Suatu Pendekatan Sepajang


Rentang Kehidupan. Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.

Kuntjoro, R. S., (2002). Dukungan sosial pada lansia. Jakarta: Erlangga.

Malchiodi, C. A. (2007). The art therapy sourcebook. New York, NY: McGraw-Hill.

Santrock, J. W. (2011). Life-span development. New York: McGraw-Hill.

Stuart-Hamilton, I. (2006). The psychology of ageing: An introduction. Edisi ke-4. London :


Jessica Kingsley Publishers.

Anda mungkin juga menyukai